• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2 kajian pustaka tesis AKTIVITAS KATALIS K3PO4/NaZSM-5 MESOPORI PADA TRANSESTERIFIKASI REFINED PALM OIL (RPO) MENJADI BIODIESEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bab 2 kajian pustaka tesis AKTIVITAS KATALIS K3PO4/NaZSM-5 MESOPORI PADA TRANSESTERIFIKASI REFINED PALM OIL (RPO) MENJADI BIODIESEL"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS – SK2402

AKTIVITAS KATALIS K

3

PO

4

/ NaZSM-5

MESOPORI

PADA TRANSESTERIFIKASI

REFINED PALM OIL

(RPO)

MENJADI BIODIESEL

SAMIK

1409201703

DOSEN PEMBIMBING

Dra. Ratna Ediati, M. Si, Ph. D Dr. Didik Prasetyoko, M. Sc

PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN KIMIA JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

(2)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katalis

Katalis adalah zat yang dapat meningkatkan laju reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi, tapi tidak habis dalam suatu reaksi (Murzin dan Salmi, 2005). Berdasarkan fasanya, material katalis dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (1) Katalis homogen yaitu katalis yang mempunyai fasa sama dengan fasa pereaksinya. (2) Katalis heterogen yaitu katalis yang mempunyai fasa yang berbeda dengan fasa pereaksinya. Adapun perbedaan katalis homogen dan heterogen dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbedaan Katalis Homogen dan Heterogen Faktor Katalis homogen Katalis heterogen Fasa Katalis Fasanya sama dengan

reaktan

Fasanya berbeda dengan reaktan

Laju reaksi Lebih cepat Umumnya lebih lambat

Konversi Tinggi Bervariasi

Selektivitas Tinggi Bervariasi

Aktivitas Tinggi Bervariasi

Waktu hidup

(Life time)

Lebih cepat Lebih lama

Sifat Bersifat korosif

Mencemari lingkungan

Kurang bersifat korosif

Umumnya tidak mencemari lingkungan

Setelah digunakan Sulit dipisahkan dari produk.

Produk biasanya harus dinetralkan

Mudah dipisahkan dari produk. Produk biasanya tidak perlu dinetralkan

Regenerasi Sulit diregenerasi Mudah diregenerasi

Biaya Lebih mahal Lebih murah

Contoh Katalis untuk produksi biodiesel

NaOH, KOH, atau metoksidanya, asam sulfur, H2SO4

K dan HCl

3PO4, KI/silika mesopori,

ZnO-Al2O3/ZSM-5, CaO-ZnO

(3)

6

2.1.1 Katalis Heterogen Untuk Memproduksi Biodiesel

Katalis heterogen umumnya menggunakan material padatan yang memiliki luas permukaan yang besar. Katalis padatan lebih sering digunakan karena proses pemisahan katalis dari produknya lebih mudah dan biasanya lebih ekonomis, serta lebih tahan terhadap temperatur tinggi, sehingga banyak digunakan pada industri. Macam-macam katalis heterogen yang digunakan untuk memproduksi biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Macam-Macam Katalis Heterogen untuk Memproduksi Biodiesel

No Katalis Jenis

minyak nabati Hasil (H) atau Konversi (K) (%)

Kondisi Referensi

Jumlah katalis* (%)

Suhu

(oC) Waktu Alkohol Minyak

1. ZnO-

Al2O3

Minyak kacang kedelai /

ZSM-5

H = 99,00 8 62 20

memit 4,55 ml/ 10 g Kim, dkk., 2009

2. K3PO4 Minyak

Jelantah H = 97,30 4 60 2 jam 6 Guan, dkk., 2009

3. KF/Ca-Al

Hidrotalsit Minyak kelapa sawit

H = 97,14 5 65 1 jam 12 Gao, dkk.,

2010

4.. CaO-ZnO Minyak

biji kelapa sawit

H = 96,00 10 60 1 jam 30

Ngamcharuss-rivichai, dkk., 2008

5. KI/

Silika mesopori

Minyak kacang kedelai

K = 90,09 5 70 8 jam 16 Samart, dkk.,

2009

6. Mg/

MCM-41

Minyak kacang kedelai

K = 85,00 10 60 24 jam 65 ml/

5 g

Georgogianni, dkk., 2009

7. KNO3

Al2O/

Minyak kacang kedelai

3

K = 84,00 6 70 6 jam 12 Vyas, dkk.,

2009

*% berat katalis dari berat minyak

Berdasarkan Tabel 2.2, katalis yang terbanyak menghasilkan biodiesel adalah ZnO-Al2O3/ZSM-5. Kim dkk. (2009) menyelidiki pengaruh natrium pada

aktivitas katalitik yang didukung campuran logam oksida (SnO-Al2O3 dan

ZnO-Al2O3) pada nano ZSM-5 untuk transesterifikasi minyak kacang kedelai menjadi

biodiesel. Ketika natrium hidroksida tidak terlibat dalam prosedur pembuatan katalis, campuran katalis logam oksida (SnO-Al2O3 dan ZnO-Al2O3) tidak

(4)

7

tidak berasal dari situs logam oksida, tetapi dari permukaan gugus hidroksil yang terikat dengan natrium. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa aktivitas katalitik dari logam oksida, untuk reaksi transesterifikasi minyak nabati dengan metanol yang dilaporkan dalam literatur, mungkin berhubungan dengan jenis alkali yang terlibat dalam metode pembuatan katalis.

Menurut Guan dkk. (2009), K3PO4 tidak larut dalam metanol dan minyak.

Ketika K3PO4 diaduk di dalam metanol pada suhu 60 oC selama 30 menit dengan

rasio molar metanol/minyak = 6:1., filtrat metanol tidak reaktif pada reaksi tranesterifikasi (lihat Gambar 2.1). Hal ini menunjukkan bahwa K3PO4 hampir

tidak larut di metanol atau tidak membentuk CH3OK di fase metanol pada kondisi

tersebut.

Gambar 2.1. Efek K3PO4

(Guan, dkk., 2009).

yang larut pada transesterifikasi minyak jelantah

Kelemahan K3PO4 adalah dapat larut dalam air dan menyebabkan

berkurangnya aktivitas katalitik K3PO4. Selain itu, ion K+ dari K3PO4 dapat

berekasi dengan FFA membentuk sabun. K3PO4 dapat menjadi K2HPO4 dan atau

KH2PO4 selama reaksi transesterifikasi, karena bereaksi dengan metanol. K3PO4

yang sudah digunakan dapat diregenerasi dengan menggunakan larutan KOH, sehingga dapat digunakan kembali untuk reaksi transesterifikasi menghasilkan biodiesel 87,20% (Guan, dkk., 2009). K3PO4 yang sudah digunakan dapat

(5)

8

K2HPO4 + KOH ═ K3PO4 + H2

KH

O (2.1)

2PO4 + 2KOH ═ K3PO4 + 2H2O (2.2)

Gao dkk. (2010) menyelidiki pengaruh rasio massa KF/Ca-Al hidrotalsit pada hasil biodiesel. Gambar 2.2 menunjukkan peningkatan rasio massa KF yang diimpregnasikan pada Ca-Al hidrotalsit mengakibatkan peningkatan hasil biodiesel. Berdasarkan data XRD, peningkatan hasil biodiesel berhubungan dengan peningkatan jumlah fase KCaF3, KCaCO3F dan CaAl2F4(OH). Rasio

massa KF 80% dan 100% menghasilkan biodiesel yang terbanyak dalam transesterifikasi minyak kelapa sawit.

Gambar 2.2. Pengaruh rasio massa KF/Ca-Al hidrotalsit pada hasil biodiesel pada suhu 65 oC, rasio molar metanol/minyak = 12:1 (Gao, dkk., 2010)

2.1.2 Padatan Pendukung (Support) Katalis

(6)

9

katalis, menstabilkan pendispersian, memberikan kekuatan mekanik, serta memperbaiki aktivitas katalis (Parego dan Villa, 1997; Zabeti, dkk., 2009).

Menurut Parego dan Villa (1997), pemilihan pendukung katalis didasarkan pada beberapa hal, yaitu:

a. Keinertan

b. Sifat mekanik yang diinginkan, termasuk ketahanan terhadap kikisan, kekerasan dan kekuatan terhadap tekanan.

c. Kestabilan pada kondisi reaksi dan regenerasi.

d. Luas permukaan, biasanya yang tinggi tapi tidak selalu.

e. Porositas, meliputi ukuran pori rata-rata dan distribusi ukuran pori. f. Ekonomis

Salah satu metode yang umum digunakan untuk preparasi katalis berpendukung adalah metode impregnasi, dimana pendukung berpori dimasukkan ke dalam larutan prekursor yang mengandung agen katalitik yang diharapkan. Metode ini mempunyai dispersi fasa aktif yang tinggi dan tidak menyebabkan kerusakan pada struktur pendukung (Lensveld, dkk., 2001). Metode ini meliputi tiga tahap, yaitu : (1) kontak pendukung dengan larutan impregnasi dalam jangka waktu tertentu, (2) pengeringan pendukung dan (3) aktivasi katalis dengan kalsinasi, reduksi atau perlakuan yang lain (Parego dan Villa, 1997).

Beberapa contoh pendukung katalis yang digunakan untuk produksi biodiesel antara lain ZSM-5 (Kim, dkk., 2009), Ca-Al Hydrotalcite (Gao, dkk., 2010), silika mesopori (Samart, dkk., 2009), MCM-41 (Georgogianni, dkk., 2009), Al2O3 (Vyas, dkk., 2009) dan lain-lain. Selain berfungsi sebagai

pendukung katalis, ZSM-5 adalah salah satu jenis zeolit yang juga dapat berfungsi sebagai katalis.

2.2 Zeolite Socony Mobil-5 (ZSM-5)

Zeolit adalah kristalin aluminosilikat yang mengandung pori-pori dan rongga-rongga berskala molekular dengan rentang ukuran dari 3 Å sampai 15 Å. Singkatan ZSM-5 berasal dari nama Zeolite Socony Mobil, merupakan salah satu

(7)

10

ZSM-5 adalah Nan[AlnSi96-nO192]16H2O dengan n antara 3-27 (Douglas, dkk.,

1994). Struktur primer ZSM-5 yaitu tetrahedral [SiO4]4- dan [AlO4]5- yang saling

sambung membentuk unit bangun cincin 5-1 pentasil, seperti tampak dalam Gambar 2.3 a. Cincin pentasil tersebut selanjutnya akan membentuk back bone

pentasil yang terlihat pada Gambar 2.3 b dan back bone tersebut tersambung

dengan kerangka heksasil yang membentuk struktur kerangka ZSM-5 satu dimensi, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.3 c (Gates, 1992).

Gambar 2.3 Kerangka Dasar ZSM-5 (a) Struktur pentasil tersambung, (b) Back bone dan (c) Struktur ZSM-5 satu lapis (Gates, 1992)

ZSM-5 dikategorikan sebagai suatu kelompok zeolit berpori medium, mempunyai sistem saluran-saluran dengan ukuran pori antara 4,5 Å sampai 6,5 Å, yang dibentuk oleh dua tipe cincin beranggotakan 10 oksigen (Gambar 2.4 a). Gambar 2.4 b menunjukkan sistem pori dalam ZSM-5. Tipe pertama adalah suatu saluran berbentuk bulat panjang dan lurus, dengan potongan melintang bebas (5,1 x 5,6 Å ). Tipe kedua, tegak lurus pada saluran pertama adalah suatu saluran ziq-zaq dengan potongan melintang (5,4 x 5,6 Å ) (Christophe, 2003).

(8)

11

Material berpori seperti ZSM-5 telah banyak digunakan sebagai katalis dan support katalis. Menurut IUPAC, material berpori dibagi menjadi tiga kelas; material mikropori (ukuran pori-pori < 2nm), mesopori (2–50nm) dan makropori (>50nm) (Sing, dkk., 1985). Zeolit dengan ukuran pori kira-kira 5,5 Å mengijinkan difusi dari cabang asam lemak atau alkil ester (Zhang, dkk., 2008). Untuk meningkatkan difusi reaktan pada ZSM-5, maka diperlukan peningkatan ukuran pori-pori ZSM-5 menjadi ZSM-5 mesopori (Khalifah, 2010).

2.3 Sintesis ZSM-5 mesopori

ZSM-5 mesopori disintesis dalam sistem hidrotermal yang mengandung air, sumber alumina, sumber silika, agen pengarah struktur dan molekul templat organik. Sumber alumina yang digunakan berupa natrium aluminat. Kebanyakan sumber silika yang digunakan dalam sintesis zeolit komersial tersedia dalam suatu bentuk larutan, koloid dan suatu turunan organik seperti tetraetilortosilikat (TEOS). Berbagai macam spesies organik telah digunakan sebagai agen templat dalam sintesis zeolit ZSM-5, kation tetrapropilamonium (TPA+

Sintesis dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pemeraman (aging),

penambahan templat untuk pembentukan mesopori, hidrotermal dan kalsinasi. Pemeraman merupakan proses nukleasi pada sintesis zeolit, yang dapat mempengaruhi proses kristalisasi dan produk akhir zeolit. Waktu pemeraman yang lebih lama pada sintesis ZSM-5 dapat meningkatkan kristalinitas ZSM-5 (Gonçalves dkk., 2008). Penambahan templat/surfaktan adalah proses setelah pemeraman. Templat berfungsi sebagai cetakan pori. Panjang rantai templat berpengaruh terhadap ukuran pori aluminosilikat mesopori hasil sintesis. Sintesis ZSM-5 mesopori dapat dilakukan dengan menggunakan templat TPAOH dan agen pengarah mesopori seperti gel polivinil butiral / PVB (Zhu,dkk., 2009) atau cetyltrimethylammonium bromide / CTABr (Gonçalves, dkk., 2008, Zhang,

dkk., 2008).

) telah diketahui sebagai agen templat yang paling efektif dan kebanyakan produk-produk ZSM-5 komersial disintesis menggunakan templat organik ini (Cundy, dkk., 1995,

(9)

12

Setelah penambahan templat, dilakukan proses hidrotermal yang memungkinkan adanya pemutusan dan pembentukan ikatan baru T -O-T (T = Si, Al) yang dikatalisis oleh ion hidroksil menghasilkan material kristalin (Cundy dan Cox, 2005). Proses selanjutnya adalah kalsinasi untuk menghilangkan surfaktan dengan cara dipanaskan. Penghilangan surfaktan bertujuan untuk memperoleh kerangka aluminosilikat yang terbuka, berongga dan untuk pemantapan kerangka (Beck, dkk., 1992).

2.4 Karakterisasi Katalis

Ada beberapa macam karakterisasi yang digunakan untuk mengetahui karakteristik katalis yang disintesis, diantaranya adalah Fourier Transform Infrared

(FTIR), X-Ray Diffraction (XRD) dan adsorpsi nitrogen.

2.4.1 Fourier Transform Infrared (FTIR)

Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) adalah metode analisis

yang digunakan untuk menentukan jenis gugus fungsi dari senyawa sehingga dapat memberikan informasi untuk penentuan struktur molekulnya. Karakterisasi suatu material dengan spektroskopi FTIR menghasilkan data yang dapat mendukung data yang diperoleh dari karakterisasi metode lain, misalnya struktur suatu material yang telah ditentukan dengan teknik XRD, akan lebih terpercaya bila didukung dengan karakterisasi menggunakan spektroskopi FTIR.

(10)

13

Akibatnya setiap molekul akan mempunyai spektra inframerah yang karakteristik.

Spektra inframerah ZSM-5 mesopori dengan rasio molar SiO2/Al2O3 20

pada daerah 1400-400 cm-1, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Pita di daerah 1224 dan 549 cm-1 menunjukkan pita khas zeolit ZSM-5 yang membedakan dengan tipe zeolit lainnya dan sensitif terhadap perubahan struktur. Pita di daerah 450, 800 dan1100 cm-1 merupakan karakteristik SiO4 (atau AlO4) unit

tetrahedral, dimana puncak ini tidak sensitif terhadap perubahan struktur. Pita absorpsi yang kuat di daerah 1000-1200 cm-1 menunjukkan vibrasi internal SiO4,

AlO4 tetrahedral. Pita di sekitar 1100 cm-1 menunjukkan vibrasi regangan

asimetris internal Si-O-T. Pita di sekitar 800 cm-1menunjukkan regangan simetris eksternal dan pita di 549 cm-1 adalah vibrasi kisi cincin lima (Khalifah, 2010).

Gambar 2.5 Spektra FTIR ZSM-5 mesopori dengan rasio molar SiO2/Al2O3

(Khalifah, 2010)

20

2.4.2 X-Ray Diffraction (XRD)

X-Ray Diffraction (XRD) atau difraksi sinar-X adalah suatu peralatan yang

(11)

14

fase kristal dan struktur atom-atom dari suatu material (Chorkendorff dan Niemantsverdriet, 2003). Jika suatu material ditumbuk oleh berkas sinar-X monokromatik (sinar-X dengan panjang gelombang tertentu), maka sinar-X tersebut dapat dipantulkan oleh atom-atom penyusun material sesuai dengan hukum pemantulan sinar tampak oleh cermin, seperti pada Gambar 2.6. Apabila atom-atom pada material tersebut tersusun dengan rapi dan berulang, sebagaimana terdapat pada material kristalin, maka akan diperoleh pola pantulan yang berulang serta mengikuti prinsip difraksi sinar tampak oleh celah sempit.

Gambar 2.6 Difraksi sinar-X oleh kisi kristal

Berkas sinar yang dipantulkan oleh dua buah bidang pemantul atau lebih hanya akan saling menguatkan apabila memenuhi Hukum Bragg sebagai berikut:

n = 2d sin θ (2.3)

Di mana n adalah orde sinar (bilangan bulat, mulai dari 1), adalah panjang gelombang dari berkas sinar, θ adalah sudut pantulan (sama dengan 90o

Identifikasi kristal dilakukan secara empiris dimana diperlukan data standar mengenai harga d dan garis intensitas dari senyawa murni. Dengan

(12)

15

1980). Pola difraksi sinar-X dari suatu material kristalin adalah khas, sesuai dengan struktur kristalnya serta atom-atom penyusunnya.

Pola difraksi sinar-X dari H-ZSM-5 mikropori dan ZSM-5 mesopori memiliki puncak-puncak yang sama, yaitu intensitas puncak yang cukup tinggi di 2θ = 7.8; 8.7; 9.0; 22.9 dan 23.2° yang merupakan puncak karakteristik struktur MFI. Perbedaannya hanya pada puncak yang muncul di daerah 2θ = 2 – 3,94° pada ZSM-5 mesopori (Viswanadham, 2008). Hal ini sesuai dengan puncak karakteristik untuk material yang mempunyai mesopori teratur, yaitu di daerah 2θ = 2 – 4°(Meynen, dkk., 2009). Gambar 2.7 menunjukkan difraktogram ZSM-5 mesopori dengan rasio SiO2/Al2O3 20.

Gambar 2.7. Difraktogram ZSM-5 mesopori rasio SiO2/Al2O3 20 (Khalifah,

2010)

Kim dkk.(2009) mempelajari pengaruh impregnasi ZnO-Al2O3 dan

SnO-Al2O3 pada ZSM-5 terhadap pola difraksi sinar-X dari ZSM-5. Hasil XRD

menunjukkan penurunan intensitas puncak utama dari ZSM-5 sebagai pendukung katalis setelah ZnO-Al2O3 dan SnO-Al2O3

Tentang katalis K

diimpregnasikan pada ZSM-5 (lihat Gambar 2.8).

3PO4, Qafisheh, dkk. (2007) mempelajari pengaruh

pemanasan terhadap pola difraksi sinar-X dari K3PO4. Hasil XRD tidak

menunjukkan perubahan kristalografi dan morfologi dari K3PO4 (lihat Gambar

(13)

16

disebabkan karena K3PO4 merupakan senyawa hidrat dengan rumus molekul

K3PO4·3H2O.

Gambar 2.8 Difraktogram dari (a) ZSM-5, (b) ZnO-Al2O3/ZSM-5 yang dikalsin

pada 500 oC (c) SnO-Al2O3/ZSM-5 yang dikalsin pada 500 oC, (d)

SnO-Al2O3/ZSM-5 yang dikalsin pada 580 oC dan (e)

ZnO-Al2O3/ZSM-5 yang dikalsin pada 580 oC (Kim dkk., 2009).

Gambar 2.9 Pengaruh pemanasan terhadap pola difraksi sinar-X dari K3PO

(Qafisheh, dkk., 2007) 4 Rumus molekul K3PO4·3H2O pada penelitian Qafisheh, dkk., (2007)

(14)

17

pada suhu antara 100 sampai 200 oC. Ketika suhu dinaikkan sampai 400 oC diketahui ada 3 molekul H2O yang lepas. K3PO4 stabil pada suhu di atas

400 oC karena pada suhu di atas 400 oC massa sampel stabil.

Gambar 2.10 Kurva TGA untuk K3PO4·3H2

(Qafisheh, dkk., 2007)

O (ukuran partikel 90-110 m)

(15)

18

Gambar 2.11 Pola XRD dari KI/silika mesopori dengan konsentrasi KI 5, 10, dan 15% w (Samart, dkk., 2009)

Puncak karakteristik K2O kristal kubik berpusat muka teramati pada 2θ =

25,3; 41,9; 51,9 dan 66,9° dan puncak karakteristik fasa silikat hidrat (SiO2·H2O) teramati pada 2θ = 21,8 dan 35,7°. Intensitas puncak K2O terus

meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi KI yang diimpregnasikan pada silika mesopori.

2.4.3 Adsorpsi Nitrogen

Adsorpsi nitrogen merupakan adsorpsi fisik (fisisorpsi) yang digunakan untuk menentukan distribusi ukuran pori dan luas permukaan spesifik suatu padatan (Haber, dkk., 1995). Bentuk dan ukuran pori material penting untuk diamati karena selain sangat menentukan proses difusi melewati material tersebut, bentuk dan ukuran pori ini secara langsung mempengaruhi selektivitas reaksi katalisis. Luas permukaan spesifik adalah luas permukaan partikel tiap satuan massa atau volume dari material. Teori adsorpsi digunakan untuk penentuan luas permukaan spesifik adsorben.

Hubungan antara jumlah yang terabsorp dengan tekanan kesetimbangan (atau tekanan relatif) pada suhu tertentu didefinisikan sebagai isoterm adsorpsi desorpsi. Isoterm secara umum diilustrasikan dalam bentuk kurva dari Vads (Volume gas yang teradsorpsi) terhadap P atau P/Po (P =

tekanan kesetimbangan, Po = tekanan penguapan). Menurut IUPAC bentuk

isoterm bisa diklasifikasikan dalam enam tipe isoterm, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.12.

(16)

19

kekuatan adhesi antara molekul-molekul adsorbat dan adsorben. Isoterm tipe IV dan tipe V karakteristik untuk adsorben mesopori yang berturut-turut merupakan adsorpsi monolayer dan multilayer yang disertai dengan adanya kondensasi kapiler. Adanya pori pada permukaan padatan akan memberikan efek pembatasan jumlah lapisan pada adsorbat dan terjadi fenomena kondensasi kapiler. Kondensasi kapiler ini menyebabkan terjadinya histerisis (Adamson, 1997, Rouquerol, dkk., 1999). Tipe VI merupakan padatan tak berpori yang mempunyai permukaan seragam. Tipe ini tidak termasuk dalam klasifikasi Brunauer.

Gambar 2.12 Klasifikasi isoterm adsorpsi desorpsi menurut IUPAC (Adamson, 1997, Rouquerol, dkk., 1999)

(17)

20

telah terasorpsi dan entalpi adsorpsi (H1) sama untuk tiap lapisan dan 4). Pada

tekanan penjenuhan (Po) jumlah lapisan yang teradsorpsi adalah terbatas.

Isotermal BET mengikuti persamaan:

(

0

)

0

1

1

p

p

C

V

C

C

V

p

p

V

p

m m

+

=

(2.4) di mana:

V : jumlah gas yang teradsorp pada tekanan p

Vm

p

: jumlah gas dalam monolayer 0

V→ ∞ pada P = P

: tekanan penjenuhan

C : konstanta yang didefinisikan sebagai berikut

0      ∆ −∆ = RT H H

C exp ad cond (2.5)

Had dan Hcond adalah entalpi adsorpsi pada layer pertama dan seterusnya. plot antara:

(

)

p p V p − 0

sebagai sumbu y dan 0

p p

sebagai sumbu x akan

dihasilkan persamaan garis lurus dengan gradien =

(

)

C V C m 1 −

dan intersep =

C

Vm

1 . Sehingga didapatkan:

Vm = 1/(slope + intersep) (2.6) Kemudian untuk menghitung luas permukaan, digunakan rumus berikut:

18

10

0224

,

0

×

=

m m

A

N

V

SA

(2.7)

di mana:

SA : luas permukaan (Surface Area) Vm : volume adsorbat (cm3

0,0224 cm

) per gram padatan

3

N : bilangan Avogadro

= 22,4 L/1000

(18)

21 (Mc Cash, 2000)

Persamaan BET hanya dapat digunakan untuk adsorpsi isoterm dengan nilai P/Po berkisar antara 0,05–0,3 (Adamson, 1997). Persamaan tersebut

didasarkan pada asumsi bahwa (1) terjadi adsorpsi banyak lapis, bahkan pada tekanan yang sangat rendah diabaikan, (2) interaksi antar molekul yang teradsorpsi. (3) kecepatan adsorpsi mempunyai nilai yang sama dengan kecepatan desorpsi. (4) adsorben mempunyai permukaan yang homogen, yaitu mempunyai keadaan energi yang sama. Perhitungan luas permukaan spesifik dari isotermal BET dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.7.

ZSM-5 dengan rasio molar SiO2/Al2O3 20 mempunyai luas permukaan

spesifik BET 304 m2 g-1 dan volume mesopori 0,25 cc g-1. Volume mesopori semakin meningkat dengan semakin kecilnya rasio molar SiO2/Al2O3. Grafik

isoterm pada Gambar 2.13 memperlihatkan histerisis pada P/Po = 0,5-0,99

untuk semua sampel ZSM-5. Loop histerisis paling besar diperlihatkan oleh sampel

ZSM-5 rasio SiO2/Al2O3 20 yang mengindikasikan bahwa jumlah mesopori

pada ZSM-5 rasio molar SiO2/Al2O3 20 paling banyak (Khalifah, 2010).

Gambar 2.13 Grafik isoterm adsorpsi desorpsi N2 dari ZSM-5 dengan variasi

Rasio molar SiO2/Al2O3 20

Rasio molar SiO2/Al2O3 50

Rasio molar SiO2/Al2O3 100

(19)

22

rasio molar SiO2/Al2O3 20, 50 dan 100 (Khalifah, 2010).

Samart, dkk. (2009) melaporkan silika mesopori mempunyai luas permukaan BET 801 m2 g-1

Qafisheh, dkk. (2007) mempelajari pengaruh pemanasan terhadap luas permukaan dari K

. Luas permukaan BET dari KI/silika mesopori tidak bisa ditentukan. Ini karena pori-pori silika tertutup oleh logam kalium. Sehingga sifat silika yang berpori (porous silica) berubah menjadi mirip dengan sifat padat

tidak berpori (non porous solid), yang tidak bisa ditentukan dengan tepat oleh

BJH model.

3PO4. Hasil adsorpsi nitrogen menunjukkan bahwa K3PO4

tanpa pemanasan mempunyai luas permukaan 2,22 m2 g-1. Setelah K 3PO4

dipanaskan pada suhu 200 dan 600 oC, luas permukaannya berturut-turut menjadi

3,39 dan 4,56 m2 g-1. Peningkatan luas permukaan K

3PO4 disebabkan perubahan

morfologi permukaan setelah K3PO4 dipanaskan.

2.5 Biodiesel dari Refined Palm Oil (RPO)

Indonesia dikenal sebagai produsen terbesar minyak kelapa sawit dengan jumlah produksi minyak kelapa sawit pada tahun 2007/2008 mencapai 18 juta ton (Mekhilef, dkk., 2011). Sehingga Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan biodiesel karena mempunyai bahan baku seperti minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil / CPO) yang melimpah.

CPO sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, dapat diperbarui sehingga tidak akan menimbulkan kekhawatiran akan habisnya bahan baku tersebut. Proses pengolahan dan pemanfaatan CPO menjadi biodiesel aman bagi manusia dan lingkungan karena CPO dapat terbiodegradasi. Alasan-alasan inilah yang membuat para ahli banyak melirik CPO sebagai bahan baku alternatif menggantikan ketergantungan akan minyak diesel (Arbianti, dkk., 2007). Tetapi CPO mempunyai kadar asam lemak bebas atau Free Fatty Acid (FFA) 0,5%,

sehingga jika bereaksi dengan katalis basa dapat membentuk sabun. Refined Palm Oil (RPO) adalah fraksi cair dari CPO yang telah mengalami proses refinasi. RPO

(20)

23

dasar biodiesel (minyak nabati / lemak hewan) dengan kandungan FFA yang rendah (dengan batasan antara kurang dari 0,5% sampai kurang dari 2%). Jenis FFA dan asam lemak terbanyak di RPO adalah asam palmitat (C16H32O2)

(Basiron, 2005). Komposisi asam lemak di minyak kelapa sawit dapat dilihat di Tabel 2.3

Tabel 2.3 Komposisi Asam Lemak di Minyak Kelapa Sawit

Asam Lemak Struktur Jumlah (% berat)

Asam kaproat C6:0 0,02

Asam Kaprilat C8:0 0,096

Asam kaprat C10:0 0,08

Asam laurat C12:0 1,2

Asam miristat C14:0 1,42

Asam palmitat C16:0 42,84

Asam palmitoleat C16:1 0,13

Asam stearat C18:0 4,21

Asam oleat C18:1 39,58

Asam linoleat C18:2 9,92

Asam arakidat C20:0 0,38

Asam alfa linolenat C18:3 0,12

(Hayyan, dkk., 2010)

Biodiesel memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan minyak diesel yaitu: merupakan sumber daya energi terbarukan (renewable energy), tidak

bersifat toksik, ramah lingkungan karena bahan baku tidak mengandung sulfur serta emisi (COx dan particular matter) rendah, angka setana (cetane number)

tinggi, viskositas tinggi dan memiliki sifat pelumasan baik, tidak perlu modifikasi mesin dan campuran biodiesel dan bahan bakar diesel dapat meningkatkan efisiensi mesin (Murugesan, dkk., 2009a).

(21)

24

dan berlaku di daerah pemasaran biodiesel tersebut (Destianna, dkk., 2007).. Persyaratan mutu biodiesel dapat dilihat di Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Persyaratan Mutu Biodiesel Menurut SNI-04-7182-2006

Parameter dan satuannya Batas nilai Metode uji

Massa jenis pada 40 oC, kg/m3 850 – 890 ASTM D 1298 Viskositas kinematik pada 40 oC, mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0 ASTM D 445

Angka setana min. 51 ASTMD 613

Titik nyala (mangkok tertutup), oC min. 100 ASTM D 93

Titik kabut, oC maks. 18 ASTM D 2500

Korosi bilah tembaga ( 3 jam, 50 oC) maks. no. 3 ASTM D 130 Residu karbon,%- massa,

- dalam contoh asli

- dalam 10% ampas distilasi

Maks. 0,05 (maks 0,03)

ASTM D 4530

Air dan sedimen,%-vol. maks. 0,05 ASTM D 2709 Temperatur distilasi 90%, oC maks. 360 ASTM D 1160 Abu tersulfatkan,%-massa maks. 0,02 ASTM D 874 Belerang, ppm-b (mg/kg) maks. 100 ASTM D 5453

Fosfor, ppm-b (mg/kg) maks. 10 AOCS Ca 12-55

Angka asam, mg-KOH/g maks. 0,8 AOCS Cd 3-63

Gliserol bebas,%-massa maks. 0,02 AOCS Ca 14-56 Gliserol total,%-massa maks. 0,24 AOCS Ca 14-56 Kadar ester alkil,%-massa min. 96,5 dihitung Angka iodium, g-I2/(100 g) maks. 115 AOCS Cd 1-25

Uji Halphen negatif AOCS Cb 1-25

(Badan Standardisasi Nasional, 2006)

2.6 Reaksi Transesterifikasi

(22)

25

(Helwani, dkk., 2009). Gambar 2.14 menunjukkan keseluruhan reaksi transesterifikasi dari trigliserida.

Trigliserida Alkohol FAME (Biodiesel) Gliserol Gambar 2.14 Keseluruhan reaksi transesterifikasi dari trigliserida (Lam, dkk., 2010)

Keseluruhan reaksi ini terdiri dari tiga tahapan reaksi yang juga terjadi secara bolak-balik, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.15 (Murugesan, dkk., 2009b).

[[[]

Trigliserida + CH3OH Digliserida + R1COOCH3

Digliserida + CH3OH Monogliserida + R2COOCH3

Monogliserida + CH3OH Gliserol + R3COOCH3

Gambar 2.15 Tahapan reaksi transesterifikasi dari trigliserida (Murugesan, dkk., 2009b)

Pada Gambar 2.16 menunjukkan mekanisme reaksi transesterifikasi minyak dan metanol dengan katalis CaO, yaitu: (1) Katalis memberikan cukup situs adsorpsi untuk metanol, sehingga ikatan O – H di metanol putus membentuk ion CH3O- dan H+. (2) ion CH3O- bereaksi dengan karbon karbonil di molekul

(23)

26 R1, R2 dan R3

R

= Rantai karbon dari asam lemak

4 = Gugus alkil dari alkohol

Gambar 2.16 Mekanisme reaksi transesterifikasi minyak dan metanol dengan katalis CaO (Lam, dkk., 2010)

2.7 Beberapa Variabel yang Mempengaruhi Reaksi Transesterifikasi

2.7.1 Jenis Alkohol dan Rasio Molar Alkohol/Minyak

(24)

27

Rasio molar (mol/mol) alkohol/minyak yang dibutuhkan agar reaksi transesterifikasi secara stoikiometri lengkap adalah 3:1. Dalam prakteknya, rasio yang dibutuhkan lebih tinggi untuk mengatur agar kesetimbangan bergeser ke arah produk sehingga menghasilkan FAME maksimum (Helwani, dkk., 2009, Vyas, dkk., 2009). Akan tetapi, rasio molar yang tinggi (di atas 15:1) mengakibatkan emulsi dalam campuran metil ester dan menyulitkan pengambilan gliserol, karena metanol berlebih larut dalam gliserol sehingga mengurangi metanol yang bereaksi dengan trigliserida dan menyebabkan pengurangan hasil bodiesel (Nairoj, dkk., 2008, Sibarani, dkk., 2007). Rasio molar 6:1 umumnya digunakan di dalam proses industri karena menghasilkan biodiesel lebih besar dari 98% (Murugesan, dkk., 2009b).

2.7.2 Jenis dan Konsentrasi Katalis

Ada tiga jenis katalis yang digunakan untuk membuat biodiesel dari trigliserida dengan alkohol, yaitu katalis asam dan katalis basa baik berupa katalis homogen maupun heterogen, serta enzim (Murugesan, dkk., 2009b). Umumnya, katalis homogen yang digunakan untuk menghasilkan biodiesel adalah NaOH, KOH, atau metoksidanya, H2SO4

Katalis basa heterogen lebih efektif dari pada katalis asam dan enzim (Helwani, dkk., 2009). Hal ini disebabkan laju reaksi pembuatan biodiesel dengan katalis basa heterogen lebih cepat dari pada katalis asam (Zabeti, dkk., 2009, Lam, dkk., 2010). Menurut Sharma dkk (2008) reaksi transesterifikasi pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis basa 4000 kali lebih cepat dari pada menggunakan katalis asam. Macam-macam katalis heterogen yang digunakan untuk memproduksi biodiesel dapat dilihat pada Tabel 2.2.

dan HCl. Namun katalis ini sulit dipisahkan setelah reaksi. Penggunaan katalis heterogen memberikan banyak keuntungan dikarenakan katalis ini dapat dengan mudah dipisahkan dari produknya dengan filtrasi (Guan, dkk., 2009, Georgogianni, dkk., 2009).

(25)

28

mengurangi konversi minyak dan metanol menjadi biodiesel yaitu menjadi 84% (seperti ditunjukkan pada Gambar 2.17). Hal ini mungkin disebabkan karena kelebihan katalis mengganggu pencampuran metanol, minyak dan katalis.

Gambar 2.17 Persentase konversi minyak dan metanol menjadi biodiesel dengan jumlah katalis 2,5% w, 5% w dan 7,5% w (Samart, dkk., 2009).

2.7.3 Waktu dan Suhu Reaksi

Umumnya, persentase konversi meningkat ketika waktu reaksi lebih lama. Waktu optimum reaksi dapat diketahui dengan pengambilan produk reaksi secara periodik (Khalifah, 2010). Samart, dkk (2009), melaporkan pengaruh waktu reaksi terhadap konversi minyak dan metanol menjadi biodiesel dengan hasil konversi terbesar (94%) pada waktu reaksi 10 jam (Gambar 2.18).

Hasil metil ester maksimum terjadi pada suhu kisaran 60-80 oC

(26)

29

Gambar 2.18 Persentase konversi minyak dan metanol menjadi biodiesel pada waktu reaksi 6 jam, 8 jam dan 10 jam (Samart, dkk., 2009).

2.8 Analisis Hasil Reaksi Transesterifikasi dengan Kromatografi Gas

Salah satu metode yang digunakan untuk menganalisa campuran zat yang mengandung biodiesel, gliserol, monogliserida, digliserida dan trigliserida adalah metode kromatografi gas (Murugesan, dkk., 2009b). Kromatografi gas atau gas

chromatograpy (GC) adalah tehnik pemisahan senyawa-senyawa yang mudah

menguap didasarkan pada distribusi antara dua fasa yaitu fasa diam (stationer)

dan fasa bergerak (mobil). Senyawa yang dianalisis dilewatkan pada kolom dan

ketika keluar dari kolom tersebut akan terdeteksi dan dianalisis secara elektronik. Fungsi fase diam dalam kolom adalah untuk memisahkan suatu senyawa, sehingga masing-masing komponennya keluar dari kolom pada waktu yang berbeda (waktu retensi).

(27)

30

Identifikasi puncak kromatogram dapat dilakukan dengan berbagai metode analisis kualitatif, diantaranya: 1) Membandingkan waktu retensi analit dengan waktu retensi standar. Bila kedua waktu retensi (standar dan analit) tersebut sesuai maka kita dapat mengidentifikasi tiap puncak pada kromatogram. 2) Mengidentifikasi puncak GC dengan metode spektrometri. Spektrometer massa atau spektrometer infra merah dapat langsung disambungkan ke kolom GC. Setiap puncak dapat direkam spektranya secara menyeluruh. 3) Melakukan analisis spektrometri NMR terhadap setiap komponen yang telah terpisahkan dan keluar dari kolom.

Analisis kuantitatif, seperti menentukan konsentrasi biodiesel (FAME) dihitung dengan analisis GC dengan menggunakan metode standar internal. Zhang, dkk (2010) menggunakan standar internal metil heptadekanoat dengan hasil kromatogram seperti ditunjukkan pada Gambar 2.19.

Waktu retensi (menit)

Gambar 2.19 Kromatogram hasil reaksi transesterifikasi minyak kelapa sawit dan dimetil karbonat menggunakan katalis Novozym 435.

(28)

31

Zhang, dkk (2010) melaporkan bahwa senyawa A menunjukkan senyawa yang tidak diketahui, MG (Monogliserida), FAGC (Fatty Acids Glycerol

Carbonate), DG (Digliserida), TG (Trigliserida). Identifikasi puncak biodiesel

(FAME) terdapat pada kisaran waktu retensi (tR

Kadar biodiesel (FAME) dalam hasil reaksi dihitung dengan menggunakan data yang dihasilkan oleh GC dengan memakai kurva kalibrasi biodiesel standar. Kurva kalibrasi biodiesel standar dibuat dengan cara membuat biodiesel dengan berbagai konsentrasi lalu ditambah benzil alkohol sebagai larutan standar internal. Kurva ini merupakan kurva antara rasio berat sebagai sumbu X dan rasio area sebagai sumbu Y. Perhitunngan area biodiesel, rasio berat dan rasio areapada biodiesel standar adalah:

) antara 8 – 14 menit, yaitu metil miristat (C14:0) pada 8,457 menit, metil palmitat (C16:0/Jumlah C = 16 dan jumlah ikatan rangkap = 0) pada 10,010 menit, metil heptadekanoat (C17:0) pada 10,847 menit, C18 meliputi (metil linoleat (C18:2) pada 11,434 menit, metil oleat (C18:1) pada 11,496 menit, metil stearat (C18:0) pada 11,743 menit) dan metil arakidat (C20:0) pada 13,688 menit. Tidak adanya puncak pada daerah karakteristik monogliserida, digliserida dan trigliserida menunjukkan bahwa reaksi transesterifikasi minyak kelapa sawit dan dimetil karbonat menggunakan katalis Novozym 435 menghasilkan kadar biodiesel yang besar.

Area biodiesel = area total – (area benzil alkohol + area tidak dikenal) (2.8)

Dengan memasukkan nilai rasio area biodiesel dari sampel sebagai Y ke dalam persamaan garis pada kurva kalibrasi biodiesel (Y = aX – b) diperoleh nilai rasio berat biodiesel (X), lalu dapat dihitung kadar biodiesel.

(29)

32

Gambar

Tabel 2.1 Perbedaan Katalis Homogen dan Heterogen
Tabel 2.2 Macam-Macam Katalis Heterogen untuk Memproduksi Biodiesel
Gambar 2.1. Efek K3PO4                       (Guan, dkk., 2009).
Gambar 2.2. Pengaruh rasio massa KF/Ca-Al hidrotalsit pada hasil biodiesel pada                     suhu 65 oC, rasio molar metanol/minyak = 12:1 (Gao, dkk., 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait