• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik oseanografi fisik di perairan samudera hindia timur pada saat fenomena indian ocean dipole (iod) fase positif tahun 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik oseanografi fisik di perairan samudera hindia timur pada saat fenomena indian ocean dipole (iod) fase positif tahun 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF

TAHUN 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007

PRAMUDYO DIPO HADINOTO

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

iii

PRAMUDYO DIPO HADINOTO. Karakteristik Oseanografi Fisik di Perairan Samudera Hindia Timur Pada Saat Fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) Fase Positif Tahun 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA dan FADLI SYAMSUDIN.

Terdapat fenomena antar-tahunan di Samudera Hindia yang terjadi karena adanya interaksi antara atmosfer dan laut yang dikenal dengan nama Indian

Ocean Dipole (IOD). Fenomena IOD merupakan struktur dua kutub yang

ditandai dengan adanya perbedaan suhu muka laut terhadap normalnya. Anomali dari SPL selama peristiwa IOD mempunyai hubungan yang erat sekali dengan peristiwa anomali angin permukaan di pusat ekuator Samudera Hindia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter oseanografi fisik di perairan Samudera Hindia Timur pada saat fase pembentukan, fase pematangan dan fase peluruhan dari fenomena IOD positif. Tujuan yang kedua ialah untuk mengetahui perbandingan karakter oseanografi fisik di perairan Samudera Hindia Timur antara fenomena IOD positif pada tahun yang berbeda.

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data rata-rata bulanan pada tahun terjadinya IOD positif tahun 1994, 1995, 1997, 1998, 2006 dan 2007. Parameter yang digunakan yaitu angin yang diperoleh dari ECMWF, arus yang diperoleh dari GFDL–NOAA, dan suhu yang diperoleh dari TAO – NOAA. Lokasi penelitian berada di 10o LU – 15o LS dan 90o BT – 125o BT.

Pengolahan data untuk melihat sebaran spasial angin dan arus dengan menggunakan perangkat lunak Surfer 9, sedangkan ODV 4 digunakan untuk sebaran spasial dan vertical suhu. Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) dilakukan dengan menggunakan parameter suhu dan perangkat lunak MATLAB

R2010a.

Menguatnya Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) pada musim peralihan I (Maret – Mei) diikuti dengan mulai mendinginnya SPL yang merupakan indikasi dari pembentukan fenomena IOD. Pada saat Angin Muson Tenggara (Juni – Agustus) dan permulaan musim peralihan II, di daerah selatan Jawa terlihat adanya upwelling yang kemudian semakin meluas hingga pada puncaknya yaitu bulan September (fase pematangan) dan mulai menghilang dibulan Oktober dengan memanasnya SPL di Samudera Hindia Timur pada bulan November (fase peluruhan).

(3)

INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF TAHUN

1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007

Oleh:

PRAMUDYO DIPO HADINOTO

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan

Ilmu kelautan

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE

(IOD) FASE POSITIF TAHUN 1994/1995, 1997/1998 DAN 2006/2007

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

(5)

iv

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

vi

Judul Penelitian : KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF TAHUN 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007

Nama Mahasiswa : Pramudyo Dipo Hadinoto

Nomor Pokok : C54060616

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Dr. Ir. Fadli Syamsudin, M.Sc NIP. 19640801 198903 1 001 NIP. 1960704 199412 1 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

(7)
(8)

vii

Puji syukur kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA

HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE

(IOD) FASE POSITIF TAHUN 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007”.

Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua Orangtua, serta kakak-kakak atas segala dukungan dan do’anya. 2. Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc dan Dr. Ir. Fadli Syamsudin, M.Sc

selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu serta pemikiran selama penyusunan skripsi.

3. Bapak Dr. Ir. John Iskandar Pariwono selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan untuk penyempurnaan skripsi.

4. GFDL dan TAO – NOAA juga ECMWF yang telah menyediakan data yang digunakan dalam penelitian ini.

5. Rekan-rekan ITK 43 dan warga ITK atas bantuan, saran dan semangatnya. 6. Saudara Asyhari Adisaputra S.IK. yang telah banyak membantu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap, skripsi ini dapat memberikan kontribusi informasi dan wawasan yang berguna bagi penulis dan pihak yang membacanya.

Bogor, 11 Oktober 2011

(9)

viii

Halaman

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kondisi Oseanografi Fisik Daerah Penelitian ... 3

2.2 Indian Ocean Dipole (IOD) ... 6

2.3 Suhu ... 9

2.4 Angin ... 11

2.5 Arus ... 12

3. METODE PENELITIAN ... 15

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 15

3.2 DataPenelitian ... 15

3.2.1 Data Angin ... 15

3.2.2 Data Arus Permukaan ... 16

3.2.3 Data Suhu ... 18

3.3 Pengolahan dan Analisis Data ... 18

3.3.1 Sebaran Spasial dan Vertikal ... 18

3.3.2 Analisis Emperical Orthogonal Function (EOF) ... 19

(10)

ix

4.1 Angin Permukaan ... 25

4.2 Arus Permukaan ... 37

4.3 Suhu Laut ... 49

4.3.1 Sebaran Horizontal SPL ... 49

4.3.2 Sebaran Vertikal Suhu ... 60

4.4Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) ... 65

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

5.1 Kesimpulan ... 73

5.2 Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(11)

x

Halaman

1. Ilustrasi SPL saat (a)Dipole Mode positif, (b)Dipole Mode negatif ... 8

2. Sebaran suhu umum vertikal ... 10

3. Lokasi penelitian ... 15

4. Langkah dalam asimilasi data ... 17

5. Diagram alir proses penelitian ... 24

6. Kontur standar deviasi kecepatan angin (a) periode 1994/1995 (b) periode 1997/1998 (c) periode 2006/2007 ... 26

7. Plot angin tahun 1994 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 27

8. Plot angin tahun 1995 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 29

9. Plot angin tahun 1997 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 30

10. Plot angin tahun 1998 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 31

11. Plot angin tahun 2006 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 33

12. Plot angin tahun 2007 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 34

13. Kontur standar deviasi kecepatan arus (a) periode 1994/1995 (b) periode 1997/1998 (c) periode 2006/2007 ... 37

14. Plot arus tahun 1994 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 39

15. Plot arus tahun 1995 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 40

16. Plot arus tahun 1997 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 42

17. Plot arus tahun 1998 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 44

18. Plot arus tahun 2006 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember ... 45

(12)

xi

21. Kontur SPL tahun 1994 berturut-turut (a) Januari - (l) Desember ... 52

22. Kontur SPL tahun 1995 berturut-turut (a) Januari - (l) Desember ... 54

23. Kontur SPL tahun 1997 berturut-turut (a) Januari - (l) Desember ... 55

24. Kontur SPL tahun 1998 berturut-turut (a) Januari - (l) Desember ... 57

25. Kontur SPL tahun 2006 berturut-turut (a) Januari - (l) Desember ... 58

26. Kontur SPL tahun 2007 berturut-turut (a) Januari - (l) Desember ... 59

27. (a) Kontur Suhu Vertikal setiap periode pada lintasan 1; (b) Kontur SD Suhu Vertikal setiap periode pada lintasan 1 ... 62

28. (a) Kontur Suhu Vertikal setiap periode pada lintasan 2; (b) Kontur SD Suhu Vertikal setiap periode pada lintasan 2 ... 62

29. Sebaran suhu vertikal bulan September lintasan 2 (9,7oLS dan 90,5oBT hingga 115,5oBT) setiap tahunnya (a) 1994 (b) 1995 (c) 1997 (d) 1998 (e) 2006 (f) 2007 ... 63

30. Distribusi variabilitas komponen (a) u angin (b) v angin ... 66

31. Distribusi variabilitas komponen (a) u arus (b) v arus ... 67

32. Distribusi variabilitas SPL dari kiri mode-1, mode-2, mode-3 ... 69

33. Grafik analisis temporal komponen (a) u angin (b) v angin ... 70

34. Grafik analisis temporal komponen (a) u arus (b) v arus ... 71

(13)

xii

(14)

1 1.1Latar Belakang

Para ahli berpendapat bahwa Samudera Hindia mempunyai peran yang penting dalam iklim dunia. Samudera Hindia yang terletak di antara benua Asia dan Australia diketahui memiliki fluktuasi inter-seasonal, seasonal, dan juga

inter-annual. Para ahli mulai banyak meneliti Samudera Hindia setelah pada

akhir tahun 1997 hingga awal tahun 1998 terjadi bencana banjir dan kekeringan. Indonesia pun merasakan dampaknya yaitu pada waktu yang sama terjadi

kekeringan yang hebat (Schott et al., 2008). Bencana-bencana ini diduga karena fenomena interannual (antar tahunan) yang dikenal dengan nama Indian Ocean

Dipole (IOD). Fenomena IOD merupakan struktur dipole yang ditandai dengan

adanya perbedaan suhu muka laut terhadap normalnya.

Fenomena IOD mempunyai dampak dalam bidang sosial ekonomi yang tidak hanya pada negara di sekitar Samudera Hindia tetapi juga pada beberapa bagian di dunia (Sukresno, 2010). Fenomena ini memiliki periode yang

bergantian, oleh karena itu jika terjadi perubahan pada fenomena IOD (positif dan negatif) akan dapat mengakibatkan perubahan sistem perairan di lautan Indonesia dan juga musim di Indonesia terutama pada wilayah di sekitar Samudera Hindia timur.

(15)

yang berasal dari cahaya matahari saja, namun dapat juga akibat adanya

perpindahan massa air di suatu perairan. Anomali dari SPL selama peristiwa IOD mempunyai hubungan yang erat sekali dengan peristiwa anomali angin

permukaan di pusat ekuator Samudera Hindia (Saji et al. 1999). Oleh karena itu angin permukaan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pola dari SPL di perairan Samudera Hindia Timur.

Penelitian terkait pernah dilakukan oleh Saji dan Yamagata (1999) mengenai fenomena IOD di Samudera Hindia tropis. Hasil yang didapat yaitu SST yang dingin pertama kali terlihat pada bulan Mei – Juni dan secara drastis menghangat pada bulan Oktober. Dengan demikian penelitian mengenai pola SPL, arus dan angin di Samudera Hindia timur dapat memberikan gambaran karakter oseanografi fisik pada saat fase pembentukan, pematangan dan peluruhan dari fenomena IOD positif, serta perbedaannya pada tahun IOD positif yang berbeda.

1.2Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik oseanografi fisik di perairan Samudera Hindia Timur pada saat fase pembentukan, fase pematangan dan fase peluruhan dari fenomena IOD positif.

(16)

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kondisi Oseanografi Fisik Daerah Penelitian

Wyrtki (1961) menyatakan bahwa sirkulasi Samudera Hindia bagian timur dipengaruhi oleh sistem Angin Muson. Terjadinya angin muson ini karena

adanya perbedaan tekanan udara antara massa Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember-Februari di belahan bumi utara terjadi musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan terjadi musim panas sehingga terjadi pusat tekanan tinggi di Benua Asia dan pusat tekanan rendah di Benua Australia. Hal ini akan

menyebabkan angin berhembus dari Benua Asia menuju Benua Australia. Angin ini pada wilayah selatan khatulistiwa dikenal sebagai Angin Muson Barat Laut

(Northwest Monsoon), sebaliknya pada bulan Juli-Agustus berhembus Angin

Muson Tenggara (Southeast Monsoon) (Wyrtki, 1961). Angin Muson yang bertiup sepanjang tahun mempengaruhi kecepatan dan arah arus permukaan laut. Perubahan arah angin yang terjadi sepanjang tahun sesuai dengan musim juga akan mempengaruhi perubahan arah arus permukaan laut di Samudera Hindia bagian timur.

(17)

Barat Laut akan digantikan oleh Angin Muson Tenggara, dan Musim Peralihan II adalah periode saat Angin Muson Tenggara akan digantikan dengan Angin Muson Barat Laut. Pada Musim Peralihan ini arah angin sudah tidak menentu dan

kekuatan angin pada umumnya lemah. Menurut Wyrtki (1961) adanya pergantian arah muson dua kali dalam setahun dan mencapai puncaknya pada bulan-bulan tertentu menyebabkan pola sirkulasi massa air di lautan juga turut berubah arah. Perubahan arah ini menjadi sirkulasi massa air di perairan Indonesia dan

sekitarnya.

Letak geografis perairan selatan Jawa dan barat Sumatera yang berada pada sistem Angin Muson menyebabkan kondisi oseanografis di perairan ini dipengaruhi sistem Angin Muson (Wyrtki, 1961; Purba et al., 1997), serta

dipengaruhi oleh perubahan iklim global seperti El Nino dan Indian Ocean Dipole Mode (Saji et al., 1999; Shinoda et al, 2004). Selain itu perairan selatan Jawa juga dipengaruhi oleh aliran massa air yang masuk dari Samudera Pasifik Tropis Barat (5o LU) melalui perairan Indonesia ke Samudera Hindia (12o LS) yang dikenal dengan Indonesian Throughflow (ITF) atau Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) (Gordon et al., 2003)

(18)

Jawa (APJ). Menurut Wyrtki (1961) Arus Pantai Jawa merupakan arus pada lapisan permukaan yang bergerak ke arah tenggara di sepanjang perairan dekat pantai barat daya Sumatera dan kearah timur di selatan Pulau Jawa hingga

Sumbawa. Arus ini mencapai puncaknya pada bulan Maret, dimana pada saat itu merupakan akhir Musim Barat.

Selain AKS yang bergerak ke arah barat, pada perairan barat Sumatera juga terdapat arus kuat yang bergerak dari arah barat yang dikenal dengan Arus Sakal Khatulistiwa (Equatorial Counter Current) atau ASK. ASK akan bertemu dengan AKS yang berasal dari timur di perairan bagian barat/barat daya Sumatera. Pada bulan Desember ASK terjadi di sekitar ekuator, namun ASK juga dapat mencapai wilayah 6°LS walaupun pada daerah tersebut kecepatan ASK

cenderung lebih lambat daripada ketika terjadi di daerah ekuator. Kemudian pada bulan Januari dan Februari ketika terjadi Angin Muson Barat, Arus Khatulistiwa Utara (North Equatorial Current) akan mendesak ASK ke selatan pada wilayah 3°LS hingga 5°LS. Selanjutnya pada bulan Maret dan April ASK akan

meningkat dan bergerak pada wilayah 3°LU hingga 5°LU (Wrytki, 1961). Pada musim peralihan berkembang Jet Wrytki (Indian Equatorial Jet) yang bergerak ke arah timur di wilayah tropis Samudera Hindia. Jet Wrytki memiliki peran penting dalam mengakumulasikan massa air permukaan yang hangat ke bagian timur Samudera Hindia yang kemudian akan menyebabkan lapisan tercampur akan semakin dalam (Schott et al, 2009). Tomczak dan

(19)

lebih. Pada musim peralihan II Jet Wyrtki menjadi lebih cepat dan puncaknya pada bulan November dengan kecepatan 1,0 – 1,3 m/detik.

Berdasarkan penelitian Susanto et al (2001), dari data SPL dan anomali tinggi paras laut (TPL) sepanjang pantai selatan Jawa hingga barat Sumatera, sebaran angin dan struktur suhu, terungkap bahwa upwelling terjadi pada bulan Juni-Oktober dengan SPL yang dingin dan tinggi paras laut yang lebih rendah.

Standar deviasi SPL bulanan rata-rata di daerah sepanjang pantai selatan Jawa dan barat Sumatera, menunjukkan variabilitas yang tinggi dan disimpulkan bahwa daerah dengan standar deviasi SPL yang tinggi berasosiasi dengan pusat

upwelling (Susanto et al., 2001). Pusat upwelling dengan standar deviasi SPL

yang tinggi bergerak ke arah barat dan menuju ekuator selama Muson Tenggara (Juni - Oktober). Alur perpindahan ini tergantung pada perkembangan kondisi angin secara musiman dan perubahan lintang yang mempengaruhi parameter

Coriolis, dimana pusat upwelling ini konsisten dengan alur perpindahan angin

sejajar pantai (longshore wind) yang intensif. Upwelling berakhir berkaitan dengan pembalikan arah angin pada Muson Barat Laut dan datangnya gelombang Kelvin. Berdasarkan penelitian Pariwono et al. (1988), lokasi upwelling terjadi persis pada daerah pantai yaitu di daerah perbatasan paparan benua (continental

shelf) dengan laut dalam yang berlangsung pada akhir Musim Timur

(Oktober-November).

2.2Indian Ocean Dipole (IOD)

(20)

dengan SPL negatif atau lebih dingin dari normalnya di pantai barat Sumatera atau Samudera Hindia bagian timur (90oBT – 110oBT, 10oLS – 0o) dan anomali positif di Samudera Hindia bagian barat (50oBT – 70oBT, 10oLS – 10oLU). Fenomena ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tidak bergantung pada ENSO. Fenomena ini dinamakan Indian Ocean Dipole (IOD).

Indian Ocean Dipole adalah suatu fenomena yang terjadi karena adanya

interaksi antara atmosfer dan laut. fenomena ini dapat diidentifikasi dengan menganalisis anomali suhu muka air laut (SPL) di Samudera Hindia pada bagian barat dan timur. Untuk indeksnya digunakan Dipole Mode Index (DMI) yang dapat mengidentifikasi fenomena IOD. Nilai DMI menggambarkan perbedaan anomali suhu permukaan laut dari dua daerah yaitu bagian barat ekuator dari Samudera Hindia (50oBT – 70oBT dan 10oLS – 10oLU) dan timur ekuator dari Samudera Hindia (90oBT – 110oBT dan 10o LS – 0o). Anomali suhu permukaan laut dari bagian barat yang dikurangi dengan anomali suhu permukaan laut bagian timur akan menghasilkan nilai DMI tersebut.

Pada waktu normalnya, angin barat yang lemah bergerak dari sisi bagian timur Afrika (Samudera Hindia bagian barat) ke pantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur). Saat terjadinya fenomena IOD, anomali SPL negatif (lebih rendah dari pada suhu normalnya) di pantai barat Sumatera yang mengakibatkan terjadinya tekanan tinggi di daerah ini, dan di pantai timur Afrika terdapat

(21)

Siklus IOD diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar Selat Lombok hingga Selatan Jawa pada sekitar bulan Mei – Juni. Selanjutnya pada bulan Juli- Agustus, anomali negatif tersebut menguat dan semakin meluas sampai pantai barat Sumatera, sementara itu di Samudera Hindia bagian barat muncul pola anomali suhu permukaan laut positif. Adanya

perbedaan tekanan di antara keduanya, semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan September – Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November – Desember (Saji et al.,1999).

Dipole Mode dibagi menjadi dua fase yakni Dipole Mode Positif dan

Dipole Mode Negatif. Dipole Mode Positif, terjadi pada saat tekanan udara

permukaan di atas wilayah barat Sumatera relatif bertekanan lebih tinggi dibandingkan wilayah timur Afrika yang bertekanan relatif rendah, sehingga udara mengalir dari bagian barat Sumatera ke bagian timur Afrika yang mengakibatkan pembentukkan awan-awan konvektif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normal, sedangkan di wilayah Sumatera terjadi kekeringan, begitu sebaliknya dengan Dipole Mode Negatif.

Sumber: http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod

Gambar 1.Ilustrasi SPL saat (a)Dipole Mode positif, (b)Dipole Mode negatif b)

(22)

Tahun – tahun IOD antara lain adalah 1961, 1967, 1972, 1994, 1997 (Saji

et al, 1999), 2006 dan 2007 (JAMSTEC, 2008). Pada tahun 1961 tidak ditemukan

El Nino di Samudera Pasifik. Pada tahun 1967, IOD terjadi bersamaan dengan La

Nina, sedangkan pada tahun 1972 dan 1997 IOD terjadi bersamaan dengan El Nino yang kuat (Saji et al, 1999). Saji dan Yamagata (2001) mengidentifikasikan bahwa kejadian DM (+) meliputi tahun 1982-1983, 1994-1995 dan 1997-1998 dan kejadian DM (-) pada tahun 1983-1984, 1988-1989, 1992-1993, 1995-1996 dan 1998-1999.

2.3Suhu

Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu di laut berkisar antara -2oC hingga 30oC, dimana pada suhu -2oC terjadi pembentukan lapisan es sedangkan pada suhu 30oC merupakan batas terjadinya proses radiasi dan pertukaran bahang dengan atmosfer (King, 1963). Suhu mempengaruhi metabolisme, tingkah lakudan perkembangbiakan biota-biota laut (Laevastu dan Hela, 1970). Pengaruh secara tidak langsung suhu terhadap perairan berupa daya larut oksigen yang akan mempengaruhi respirasi dari biota-biota tersebut.

(23)

Gambar 2. Sebaran Suhu Umum Vertikal

Penyebaran suhu pada permukaan laut membentuk zona berdasarkan letak lintang. Semakin mendekati garis khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan

semakin meningkat dan sebaliknya, suhu akan semakin menurun mendekati kutub (lintang tinggi). Hal ini terjadi karena daerah yang paling banyak menerima sinar matahari terletak antara lintang 10o LU – 10o LS.

Lapisan permukaan atau lapisan tercampur (mixed layer) dapat disebut sebagai lapisan homogen karena terjadi pengadukan massa air oleh angin, arus, dan pasang surut, sehingga terbentuk suhu yang seragam atau homogen. Secara vertikal suhu di lautan dibagi menjadi tiga zona (Richard dan Davis, 1991) yaitu:

1. Lapisan permukaan tercampur (mix surface layer) yang merefleksikan suhu rata-rata tiap lintang. Lapisan ini cenderung homogen oleh pencampuran massa air.

(24)

3. Lapisan dalam (deep layer) mencerminkan ciri khas asal massa air tiap lintang. Lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m dengan penurunan suhu yang lambat.

2.4Angin

Menurut Pariwono dan Manan (1991), angin didefinisikan sebagai gerakan udara mendatar (horizontal) yang disebabkan oleh perbedaan tekanan udara antara dua tempat. Semakin besar perbedaan tekanan udara maka semakin besar pula kecepatan angin yang berhembus.Salah satu penyebab timbulnya angin adalah gradien tekanan. Gaya gradien tekanan timbul karena adanya perbedaan suhu udara. Dalam hal ini hubungan antara permukaan bumi dalam menerima energi radiasi matahari yang sama tapi mempunyai laju pemanasan yang berbeda – beda dari satu tempat ke tempat lain.Faktor lain yang berpengaruh dalam pembentukan angin adalah gaya Coriolis. Gaya Coriolis timbul akibat rotasi bumi dan

menyebabkan perubahan gerak angin ke arah kanan pada belahan bumi bagian utara dan pembelokan angin ke arah kiri pada belahan bumi bagian selatan.

(25)

1). Musim Barat/Barat-Laut (Desember- Februari)

Pada Musim Barat/Barat-Laut matahari berada di belahan bumi selatan sehingga belahan bumi selatan menerima lebih banyak penyinaran matahari daripada belahan bumi utara.Hal ini menyebabkan pusat tekanan tinggi berada diatas benua Asia sedangkan pusat tekanan rendah berada di atas benua

Australia.Pada periode ini di perairan barat Sumatera Angin Muson bertiup dari barat laut menuju tenggara.

2). Musim Timur/Tenggara (Juni – Agustus)

Pada Musim Timur/Tenggara dimana matahari berada di belahan bumi utara, benua Asia mengalami pemanasan yang lebih intensif sehingga menjadi pusat tekanan rendah sedangkan benua Australia terbentuk pusat tekanan tinggi.Hal ini menyebabkan pada periode ini di perairan barat Sumatera angin bertiup dari tenggara menuju barat laut.

3). Musim Peralihan (Maret- Mei dan September - November)

Pada periode ini matahari bergerak melintasi khatulistiwa sehingga angin menjadi lemah dan arahnya tidak menentu.Periode Maret - Mei dikenal dengan Musim Peralihan I sedangkan periode September – November dikenal dengan Musim Peralihan II.

2.5Arus

(26)

Pond dan Pickard (1983) mengklasifikasikan gaya yang bekerja pada massa air menjadi dua, yaitu gaya primer dan gaya sekunder. Gaya primer merupakan gaya yang menyebabkan pergerakan massa air. Gaya primer ini adalah gaya gravitasi, gaya gesekan angin, tekanan atmosfer dan seismik. Gaya sekunder merupakan gaya yang disebabkan karena adanya gerakan massa air, yaitu Coriolis dan gaya gesekan.

Berdasarkan penyebab pergerakan massa air, Pond dan Pickard (1983) mengelompokan gerakan massa air menjadi enam kelompok, yaitu:

1. Gerakan angin (Wind driven current) merupakan arus yang

dibangkitkan oleh adanya angin dipermukaan laut, dimana kecepatan arus akan mengecil seiring dengan bertambahnya kedalaman sampai akhirnya angin tersebut tidak berpengaruh lagi terhadap arus.

2. Gerakan termohalin ini terjadi di laut dalam yang hanya dipengaruhi oleh adanya perbedaan densitas air laut. Massa air yang memiliki densitas yang tinggi akan tenggelam dan bergerak disepanjang dasar lautan.

3. Arus pasang surut akan menyebabkan naik turunnya permukaan laut secara periodik sehingga terjadi perbedaan relief permukaan laut. 4. Tsunami merupakan gelombang seismik yang dihasilkan akibat

pergeseran dasar laut pada saat gempa bumi.

5. Gerakan turbulen dihasilkan karena gaya gesekan yang terjadi pada batas massa air.

6. Gerakan lainnya seperti gelombang internal, gelombang Kelvin dan

(27)
(28)

15

3.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Seluruh kegiatan penelitian mengambil lokasi di perairan Samudera Hindia Timur pada koordinat 10o LU - 15o LS dan 90o BT - 125o BT. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Agustus 2010 sampai April 2011 di

Laboratorium Data Processing Oseanografi dan Workshop Akustik dan

Instrumentasi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Lokasi Penelitian

3.2 Data Penelitian

3.2.1 Data Angin

Data angin diperoleh dari program ERA-interm dari situs European Center

For Medium Range Forecast (ECMWF) yang dapat diunduh dari www.ecmwf.int.

(29)

dan bekerja sama dengan 34 negara-negara di Eropa, agensi satelit (EUMETSAT, ESA, NOAA, NASA, dan JAXA), komisi Eropa (GMES, EEA, dan EFAS) dan

World Meteorological Organization (WMO). Data angin ECMWF merupakan

data hasil analisis ulang dan interpolasi dari data meteorologi berbagai pusat penelitian parameter cuaca di dunia yang dimulai dari tahun 1989 dan berlanjut secara terus-menerus.

Data angin pada ERA-interm merupakan data kecepatan angin 10 meter diatas permukaanlaut yang terdiri dari komponen barat-timur atau zonal (u) dan utara-selatan atau meridional (v). Data angin ini telah mengalami pengolahan sebelumnya sehingga menghasilkan data tiap 6 jam, dan ada juga data rata-rata harian juga bulanan yang memiliki resolusi spasial 2,5o x 2,5o.

Data angin yang digunakan pada penelitian ini adalah data kecepatan angin yang telah dirata-ratakan menjadi data kecepatan angin bulanan dari tahun 1994-1998, 1997-1998 dan 2006-2007. Data yang diperoleh merupakan data kecepatan angin pada posisi koordinat 10 oLU – 15 oLS dan 90– 125 oBT.

3.2.2 Data Arus Permukaan

Data arus permukaan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari situs Geophyssical Fluid Dynamic Laboratory (GFDL) NOAA

(http://gfdl.noaa.gov ). Data ini merupakan program observasi kelautan dari

tahun 1976 hingga tahun 2006 (ARGO, MRB, OSD, dan MBT) dan data atmosferik reanalisis (NCEP/NCAR) yang diasimilasikan ke dalam sistem

(30)

Sistem asimilasi yang dilakukan untuk mendapatkan data tersebut terdiri atas sebuah ensemble filter yang diaplikasikan ke dalam climate coupled model GFDL generasi kedua (CM2.1) (Delworth et al., 2006). Langkah-langkah bagaimana data asimilasi bekerja dalam memperbaharui perkiraan dari data sebelumnya ditampilkan pada Gambar 4. Langkah 1 adalah memperbarui fungsi densitas probabilitas (PDF) di lokasi pengamatan sebagai pengamatan yang baru (dilambangkan dengan panah berlabel langkah 1). Panah 1 menunjukan bahwa PDF sebelum di lokasi pengamatan diganti dengan pengamatan baru, dan panah 2 mempresentasikan pergeseran dari rata-rata ensemble sebelumnya pada

pengamatan yang baru di lokasi pengamatan. Langkah kedua yaitu menggunakan distribusi korelasi untuk mendistribusikan kenaikan pengamatan ke titik grid yang berpengaruh. Panah 3 merupakan proses memperbaharui PDF pada titik grid.

(31)

3.2.3 Data Suhu

Data suhu yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil mooring dari Buoy pada program Global Tropical Moored Buoy Array yang dilakukan oleh NOAA, bekerjasama dengan berbagai negara menyediakan data secara terus-menerus untuk meneliti iklim dan pendugaannya. Komponen buoy utama

meliputi TAO/TRITON di Samudera Pasifik, PIRATA di Samudera Atlantik dan RAMA di Samudera Hindia. Fokus utama fenomenologi dari susunan buoy ini yaitu ENSO di Samudera Pasifik, perbedaan antara kutub di belahan bumi, kejadian hangatnya ekuator, aktifitas badai di Samudera Atlantik, monsoons,

Indian Ocean Dipole, dan variabilitas antar musiman di Samudera Hindia.

Data suhu yang digunakan pada penelitian ini adalah data suhu air laut dengan periode tahun 1994-1995, 1997-1998 dan 2006-2007 pada wilayah

koordinat 10 oLU-15 oLS dan 90 oBT- 125 oBT dengan titik kedalaman 5 m, 15 m, 155 m, 300 m dan 525 m. Data ini diperoleh dari situs NOAA

(http://pmel.noaa.gov) yang diunduh pada tanggal 15 Agustus 2010 dengan

resolusi spasial 1o x 1o. Pada daerah lintang sedang hingga rendah resolusi spasial pada lintang akan menjadi lebih tinggi hingga akhirnya mencapai 1/3o pada daerah dekat ekuator, sedangkan resolusi spasial untuk bujur tetap 1o. Data yang digunakan adalah data suhu air laut yang telah dirata-ratakan perbulan.

3.3 Pengolahan dan Analisis Data

3.3.1 Sebaran Spasial dan Vertikal

(32)

data angin dan arus, sebaran spasial ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak SURFER 9, dengan hasil tampilan berupa plot arah dan kecepatan.

Sedangkan untuk data suhu sebaran spasial ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View 4, dengan hasil tampilan berupa kontur suhu. Untuk data suhu juga dilihat sebaran vertikalnya menurut kedalaman pada koordinat 9.670 LS dan 90.5o BT – 115o BT juga pada koordinat 94.5o BT dan 14.5o LS – 5.3o LU. Sebaran vertikal suhu pada kedalaman 15 m, 155 m, 300 m dan 525 m. Kedalaman yang digunakan dianggap mewakili lapisan permukaan, lapisan campuran, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Semua data yang

digunakan berada dalam format NetCDF. Data tersebut kemudian dibuka terlebih dahulu dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View 4 yang kemudian dikelompokan dengan menggunakan Microsoft Excel dan di tampilkan kembali dengan menggunakan Ocean Data View 4.

3.3.2 Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF)

Secara umum analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) adalah teknik yang mencoba untuk menggabungkan kedua korelasi spasial dan temporal (Weave dan Nosstrom, 1982 dalam Hannachi, 2004). Metode ini telah menjadi alat yang berguna untuk mengekstrak struktur dinamik, tren dan osilasi, dan untuk menyaring data.

Tehnik EOF telah lama terdapat dalam statistik, dan Hotelling (1933) telah memperkenalkan Principal Component Analysis (PCA) yang merupakan nama lain untuk EOF. Tujuan utama dari analisis EOF adalah untuk mengurangi

(33)

Analisis EOF menentukan sebuah set dari fungsi orthogonal yang mempunyai karakteristik kovarian dari time series untuk sebuah set dari grid

points. Jadi setiap X grid points dengan nilai N dalam waktu, kita punya setiap X

pola EOF dengan nilai N dalam waktu. Variabilitas sekala besar akan berada pada order rendah EOF dan order tinggi EOF akan mempunyai amplitudo rendah dengan sangat berkurangnya gangguan.

EOF1 merupakan indeks time series yang menghasilkan peta regresi atau korelasi dengan amplitudo yang semuanya kuat. Sedangkan EOF2 merupakan indeks time series yang menghasilkan peta regresi atau korelasi dengan amplitudo yang kuat setelah mengurangi variabel yang berhubungan dengan EOF1. Dan begitu pula untuk EOF selanjutnya.

Kelebihan dari analisis EOF adalah dapat menghasilkan indeks time series dengan menjelaskan variabilitas dalam jumlah banyak, metode yang tepat untuk mengkarakteristik secara spasial pola dominan dari variabel, data yang

direpresentasikan tersusun rapat, pola EOF dan time series merupakan garis lurus yang bebas. Kekurangan dari analisis EOF yaitu, dapat menjadi sensitif untuk memilih wilayah spasial dan periode waktunya, hasilnya dapat menjadi tercampur antara EOF jika nilai eigenvalues serupa dan derajat kebebasan dalam time series terlalu kecil.

Analisis EOF dapat didefinisikan sebagai berikut, setelah anomali data matriks telah ditentukan, kovarians dari matriks kemudian ditentukan dengan:

...

...

(1)

dimana :

(34)

X’ : Susunan matriks T : Transpose

dimana memuat kovarian antara berbagai pasangan grid point. Tujuan dari EOF adalah untuk mencari kombinasi linier dari semua variabel, dengan kata lain grid

pointsyang menjelaskan varian maksimum. Hal itu untuk menentukan arah a =

(a1,...,ap)T sehingga X’a memiliki variabilitas maksimum. Sekarang varian time

series terpusat X’a adalah:

Var (X’a) =

=

...

(2)

Untuk mengatasi masalah biasanya kita membutuhkan vektor a untuk menjadi sebuah kesatuan. Oleh karena itu hasilnya berupa:

...

(3)

Solusi mudahnya adalah eigen value problem (EVP):

...

(4)

Dari definisi matriks kovarian ∑ merupakan simetrikal dan juga dapat

berupa diagonal. Matriks kovarian juga semi definite, maka semua eigenvalue bernilai positif. Eigen value umumnya digunakan untuk menulis perbedaan yang dijelaskan dalam persentasi sebagai berikut:

...

(5)

Proyeksi pada bidang anomali X’ ke-k pada EOF ak yaitu ck = X’ak merupakan Principal Component (PC) ke-k:

(35)

3.3.3 Analisis Regresi dan Korelasi Sederhana

Untuk dapat menduga sebuah pola , sebelumnya harus diketahui dulu hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Regresi dan korelasi sederhana adalah suatu cara untuk mengetahui hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Pengukuran hubungan antara variabel dinamakan dengan proses korelasi, sedangkan pendugaan dan kesalahan pendugaan dinamakan dengan proses regresi.

Untuk persamaan dari garis penduga yaitu:

...(7)

Proses statistik untuk memperoleh regresi dengan kesesuaian terbaik untuk serangkaian titik dari pasangan data bisa kita peroleh dengan meminimumkan penyimpangan (deviasi) titik-titik dari garis yang yang akan kita buat. Dengan prinsip kuadrat minimum (least square) , dapat dibuat suatu garis lurus yang memiliki kesesuaian terbaik yang meminimumkan jumlah kuadrat penyimpangan nilai yang diamati dengan yang diduga.

Persamaan dari kuadrat terkecil untuk A dan b yaitu:

...(8)

...(9)

dimana :

...(10)

...(11)

(36)

Koefisien korelasi adalah suatu angka yang menunjukan tinggi rendahnya derajat hubungan antara dua variabel atau lebih. Koefisien korelasi besarnya sudah tertentu, yaitu variasi antara 1 dan -1.

Persamaan koefisien korelasi yaitu:

...

...(13)

dimana :

r < 0 : derajat hubungan antara dua variabel menunjukan hal yang berlawanan (koefisien korelasi negatif)

r = 0 : tidak ada hubungan sama sekali antara dua variabel

r > 0 : derajat hubungan antara dua variabel menunjukan hal yang sejajar atau pararel (koefisien korelasi positif)

3.3.4 Diagram Alir Penelitian

Proses pengolahan data penelitiandapatdilihatpada diagram alir yang terdapat pada Gambar 8. Tahap pertama data angin, arus dan suhu diekstrak dengan menggunakan perangkat lunak ODV 4 sehingga menghasilkan file dengan format .txt sehingga file dapat diolah dengan perangkat lunak lainnya. Tahap kedua data angin, arus dan suhu yang telah berformat .txt kemudian disusun dengan menggunakan perangkat lunak Ms.Excel 2010. Pada tahap ketiga data angin dan arus diinterpolasi dengan menggunakan perangkat lunak Surfer 9 untuk menghasilkan plot arah dan kecepatan sebaran horizontalnya, sedangkan untuk data suhu dilakukan interpolasi pada perangkat lunak ODV 4 sehingga

menghasilkan kontur sebaran horizontal dan vertikalnya.

(37)

EOF dalam mode 1 dan 2 juga histogram dari nilai Eigen. Selain itu data SPL dan DMI juga digunakan untuk membuat kontur dari korelasi antara SPL dengan nilai DMI pada tahun-tahun yang diteliti.

Gambar 5. Diagram Alir Proses Penelitian Angin

Permukaan

Arus Permukaan

Suhu Permukaan

Distribusi Variabilitas

Principal Component Data Angin

Sumber : ECMWF

Data Arus

Sumber : NOAA - GFDL

Data Suhu

Sumber : NOAA - PMEL

Analisis Spasial Horizontal Analisis Empirical Orthogonal Function

(38)

25 4.1 Angin Permukaan

Untuk Standar Deviasi (SD) dari kecepatan angin tiap periodenya

digambarkan dengan kontur nilai dari SD yang ditampilkan pada Gambar 6. Pada periode 1 (tahun 1994/1995) nilai SD terbesar bernilai 2,8 yang berada di selatan Samudera Hindia Timur antara 5oLS hingga 10oLS dari 95oBT hingga 105oBT. Selain itu, pada periode 1 juga terdapat daerah dengan SD bernilai 2.6 yang berada di sekitar 10oLS pada bujur 90oBT hingga 95oBT. Periode 2 (tahun 1997/1998) SD terbesar bernilai 2,2 yang berada di bagian barat Sumatera di sekitar 5oLS dari 95oBT hingga 100oBT. Periode 2 memiliki kontur yang tidak rapat, hal ini menandakan bahwa pada periode 2 kecepatan angin cenderung homogen.

(39)

(a) (b) (c)

Gambar 6. Kontur standar deviasi kecepatan angin (a) periode 1994/1995 (b) periode 1997/1998 (c) periode 2006/2007

(40)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

Gambar 7. Plot angin tahun 1994 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember Pada bulan Januari 1995 pola angin terlihat berbeda dengan Januari 1994, dimana angin yang bertiup dominan menuju timur dengan kecepatan yang rendah. Namun pada Februari 1995 angin yang menuju arah timur tersebut semakin

(41)

pola angin yang dimiliki tidak sama dengan April 1994, angin yang bertiup dari arah barat Samudera Hindia menuju ke arah timur memiliki kecepatan tiupan yang lebih tinggi dari April 1994. Kecepatan angin yang bertiup dari arah barat menuju timur ini antara 3 m/s – 4 m/s di daerah ekuator. Angin tenggara dibulan Mei hingga Juli mulai berkembang, sampai puncaknya pada bulan Agustus. Angin dari arah tenggara ini mendominasi pola tiupan angin di Samudera Hindia timur. Pada bulan Agustus 1995 angin yang bertiup dominan dari arah tenggara menuju barat laut dengan kecepatan antara 5 m/s – 10 m/s dan semakin mengecil di daerah ekuator.

September 1995 angin yang bertiup dari arah barat menuju timur ini mulai terlihat dan mencapai puncaknya pada bulan November 1995, sedangkan angin yang berhembus dari tenggara mulai melemah dan terdesak oleh angin dari barat. Angin dari arah barat Samudera Hindia yang menuju timur meningkat

kecepatannya yaitu antara 4 m/s – 7 m/s dengan wilayah yang semakin meluas terjadi pada bulan November 1995. Angin yang bertiup dari arah barat ini mencakup daerah dari 5oLS hingga 5oLU. Namun pada bulan Desember 1995 angin yang bertiup di seluruh daerah Samudera Hindia timur terlihat melemah, begitu juga angin yang bertiup dari barat ke timur mulai melemah dengan

(42)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

Gambar 8. Plot angin tahun 1995 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember Pada periode 2 dibulan Januari 1997 dan Februari 1997 angin yang bertiup dari arah tenggara tidak terlihat. Pada dua bulan ini, angin yang bertiup dominan dari arah barat menuju timur. Puncaknya pada bulan Februari 1997 dimana angin dari barat ini bertiup dengan kecepatan antara 5 m/s – 8 m/s di daerah dari ekuator hingga 5oLS. Angin yang bertiup ke arah barat ini, bertiup dengan kecepatan yang lebih tinggi dan daerah yang lebih luas jika dibandingkan dengan periode 1. Pada bulan Maret 1997 angin dari arah tenggara mulai terlihat di selatan

(43)

Agustus 1997 dan terus berlanjut sampai bulan November 1997 dengan kecepatan antara 6 m/s – 10 m/s. Namun pada bulan September 1997 hingga Oktober 1997 di sekitar 10oLS hingga 15oLS dan 115oBT hingga 125oBT angin yang bertiup sudah berubah arah dan dengan kecepatan yang rendah. Pada bulan November 1997 angin yang bertiup ke arah barat tidak terlihat di sekitar ekuator, hal ini sangat berbeda dengan bulan November pada periode 1. Gambar 9 merupakan plot arah dan kecepatan angin tahun 1997 tiap bulannya.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(44)

Pada tahun 1998 angin yang bertiup dominan dari arah barat menuju timur di daerah ekuator. Hal ini sangat berbeda sekali dengan periode 1 bahkan dengan tahun 1997 pola angin yang bertiup juga sangat berbeda. Gambar 10 merupakan plot arah dan kecepatan angin tiap bulan pada tahun 1998.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(45)

tenggara ini selalu ada disetiap bulan pada tahun 1998, namun angin ini bertiup dengan kecepatan yang rendah dan luasan yang kecil. Angin dari arah tenggara mencapai puncak pada bulan Agustus 1998 di daerah 90oBT hingga 125oBT dan pada lintang 5oLS hingga 15oLS. Angin dari arah barat menuju timur di sekitar ekuator pun juga selalu ada pada setiap bulan.

Berbeda dengan periode 1 dan periode 2, pada periode 3 seperti yang ditampilkan pada Gambar 11, angin dari arah barat menuju timur di sekitar ekuator terlihat dari mulai bulan Januari hingga April 2006 yang merupakan musim Barat. Pada bulan Januari hingga Maret 2006 angin dari arah barat di sekitar ekuator menguat dengan kecepatan antara 4 m/s – 6 m/s dan meluas dari 5oLU hingga 5oLS. Hal ini sangat berbeda dengan periode-periode sebelumnya yang hanya terlihat sampai bulan Februari. Untuk angin dari arah tenggara mulai terlihat menguat pada bulan Mei 2006 hingga puncaknya pada bulan Agustus 2006, dengan luasan hingga ekuator dan berkecepatan antara 6 m/s – 10 m/s. Pada bulan September hingga November 2006 angin dari arah barat tidak terlihat, pola tiupan angin masih didominasi oleh angin tenggara. Pada tahun 2006, angin tenggara memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun

(46)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(47)

sekitar ekuator pada bulan November hingga Desember 2007 dengan kecepatan yang rendah dan luasan hingga 7oLS. Gambar 12 merupakan plot arah dan kecepatan angin tahun 2007 tiap bulannya.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

Gambar 12. Plot angin tahun 2007 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember Pada periode Musim Barat yaitu pada bulan Desember, Januari dan

(48)

hingga Februari posisi tegak lurus penyinaran matahari berada pada belahan bumi selatan, sehingga pusat tekanan daerah rendah berada di Benua Australia dan pusat tekanan tinggi berada di Benua Asia, akibatnya pada perairan utara Jawa dan Sumatera dekat dengan ekuator angin akan bertiup dari barat daya ke timur laut (Wilopo, 2005).

Musim Peralihan I antara Musim Barat dengan Musim Timur yaitu pada bulan Maret hingga Mei, ditandai dengan pola angin yang mulai mengalami perubahan arah dimana pada wilayah barat Sumatera angin berubah bertiup dari barat/barat daya menuju timur/timur laut. Sedangkan pada wilayah Sumatera dan Jawa bagian selatan angin bertiup dari tenggara ke barat laut. Hal ini disebabkan pergeseran posisi penyinaran matahari dari belahan bumi selatan menuju ekuator, sehingga daerah pusat tekanan tinggi berubah. Pada Musim Peralihan I angin bertiup dengan kecepatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Musim Barat pada daerah Samudera Hindia timur.

(49)

sedangkan di sebagian wilayah Sumatera bagian selatan dan Jawa sampai Nusa Tenggara angin yang bertiup disebut dengan Angin Muson Timur.

Untuk Musim Peralihan II dari Musim Timur ke Musim Barat dimulai pada bulan September hingga bulan November, dimana posisi matahari mulai bergerak menuju ekuator. Musim ini ditandai dengan angin yang mulai

mengalami perubahan arah dan kecepatan angin. Dapat terlihat perubahan arah angin dimana pada Sumatera bagian selatan angin rata-rata bertiup dari selatan menuju utara, sedangkan pada wilayah Sumatera dan Jawa bagian selatan angin rata-rata bertiup dari tenggara/selatan menuju timur laut/utara.

Pola kecepatan angin tinggi terjadi disekitar bulan Juni sampai dengan November pada tiap tahun pengamatan, sedangkan kecepatan angin yang terendah terjadi sekitar bulan Desember sampai Mei tiap tahun pengamatan. Hal ini

diperkuat dengan penelitian Wilopo (2005) yang menyatakan bahwa pergantian pola kecepatan angin ini masing-masing terjadi satu kali dalam satu tahun, dengan lama masing-masing terjadinya pola kecepatan angin berkisar 6 bulanan. Berikut merupakan table perbedaan karakter angin di Samudera Hindia timur tiap periode. Tabel 1. Perbedaan karakter angin pada tiap periode

No Faktor

-Selatan Jawa -Barat Sumatera -Selatan Sumatera

2. Nilai standar deviasi tinggi

-2,8

-2,6 - 2,2 -2,8

3. Puncak Musim

Barat Februari Februari Februari Desember Maret Maret

4. Puncak Musim

Timur Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus Agustus

5. Kecepatan

(50)

4.2 Arus Permukaan

Untuk standar deviasi (SD) dari kecepatan arus tiap periodenya

digambarkan dengan kontur nilai SD yang ditampilkan pada Gambar 13. Pada periode 1 nilai SD terbesar bernilai 0,3 yang berada dibagian selatan Jawa antara 8oLS hingga 10oLS dari 105oBT hingga 107oBT. Pada periode 2 nilai SD terbesar bernilai 0,32 yang berada dibagian selatan Jawa disekitar antara 8oLS hingga 10oLS dari 105oBT hingga 107oBT juga terdapat disekitar ekuator. Sedangkan pada periode 3 nilai SD terbesar bernilai 0,2 yang berada dibagian selatan Jawa disekitar 10oLS dari 105oBT hingga 107oBT juga didaerah ekuator hingga 7oLS. Secara umum diambil kesimpulan bahwa SD yang besar berada di sekitar bagian selatan Jawa. Hal ini menandakan bahwa kecepatan arus di perairan selatan Jawa dan di ekuator memiliki keragaman yang tinggi. Periode 2 merupakan periode yang memiliki kontur yang lebih rapat dan nilai SD lebih tinggi dibandingkan dengan periode lainnya. Ini menunjukan bahwa periode 2 memiliki keragaman kecepatan arus yang tinggi (lebih fluktuatif) yang selanjutnya diikuti periode 1 dan periode 3.

(a) (b) (c)

(51)

Aliran arus pada bulan Januari 1994, umumnya mengalir ke arah Barat. Namun di wilayah 5oLS hingga 10oLS, pada bulan Februari hingga April terdapat arus yang mengalir ke arah timur. Arus ini merupakan ASK yang terdesak oleh AKU sehingga arus ini terdesak lebih ke selatan. Pada bulan Mei arus di Samudera Hindia timur di lintang 5oLS hingga 10oLS mengalir ke arah selatan yang mungkin dikarenakan desakan dari ASK. Pada bulan Agustus arus yang mengalir dominan menuju barat dengan AKS yang mulai menguat dengan kecepatan hingga 0,75 m/s.

(52)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

Gambar 14. Plot arus tahun 1994 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember Pada tahun 1995 arus yang mengalir menuju timur/barat daya dengan kecepatan sampai 0,5 m/s terlihat di sekitar ekuator dari bulan Januari hingga bulan Mei, yang bergerak ke arah selatan karena adanya desakan dari AKU. AKS pada bulan Januari hingga Juni terlihat melemah dengan kecepatan yang rendah dan daerah yang lebih ke selatan sampai 10oLS. Puncaknya pada bulan Juni dimana arus di bagian selatan dominan ke barat daya.

(53)

November diikuti dengan menguatnya arus dari arah barat sehingga mendesak AKS dan AKU. Pada bulan November dan Desember terdapat arus yang menyusur di pantai barat Sumatera dan pantai selatan Jawa, dengan AKS yang mengalir berkecepatan tinggi sekitar 0,75 m/s – 1 m/s dan dibulan Desember pada daerah sekitar ekuator mengalir arus dengan kecepatan hingga 0,5 m/s menuju barat. Berikut merupakan plot arah dan kecepatan arus pada tahun 1995 pada tiap bulannya.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(54)

Pada bulan Januari tahun 1997 arus yang mengalir umumnya berkecepatan rendah, namun hanya di daerah sekitar ekuator arus yang mengalir memiliki kecepatan yang tinggi berkisar hingga 0,75 m/s. Pada bulan Februari di sekitar ekuator terlihat adanya Arus Sakal Khatulistiwa (ASK) yang menuju arah timur dengan kecepatan hingga 0,75 m/s dan juga terdapat arus di selatan Jawa yang mengalir menuju barat dengan kecepatan hingga 0,5 m/s yang menyusur pantai selatan Jawa.

Arus pada bulan Maret hingga April mengalir dengan kecepatan rendah hanya dibagian selatan Jawa arus mengalir dengan kecepatan hingga 0,5 m/s menuju arah barat. Pada bulan Mei terdapat arus yang mengalir di sekitar ekuator dari arah barat menuju timur dengan kecepatan hingga 1 m/s pada lintang antara 5oLU hingga 5oLS. Arus ini mendesak AKS dan AKU, hingga terlihat AKS mengalir menuju barat daya dan AKU mengalir menuju tenggara. Arus ini juga mengakibatkan adanya arus yang menyusur pantai barat Sumatera dengan arah menuju tenggara dan menyusur pantai selatan Jawa dengan arah ke barat. Arus yang mengalir kuat di sekitar ekuator ini diduga adalah Jet Wyrtki yang umumnya terlihat pada bulan Mei dan November pada tiap tahunnya.

(55)

November hingga Desember AKS mulai melemah dengan terdapat arus menyusur pantai di barat Sumatera dan selatan Jawa. Berikut merupakan plot arah dan kecepatan arus ditiap bulannya pada tahun 1997.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

Gambar 16. Plot arus tahun 1997 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember Tahun 1998 memiliki pola arus yang tidak seperti tahun-tahun

sebelumnya. Dimulai pada bulan Januari, terdapat arus yang mengakibatkan adanya arus yang menyusur pantai di barat Sumatera hingga selatan Jawa. Namun hal ini berbeda dengan bulan Februari dimana arus yang mengalir

(56)

bulan April hingga Mei arus dari arah barat mulai terlihat kembali di sekitar ekuator, namun dengan kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan bulan Januari. Sedangkan dibulan Juni arus dari barat ini lebih ke selatan yaitu pada daerah 5oLS hingga 10oLS, hal ini mengakibatkan AKS terdesak dan mengalir dengan kecepatan rendah. Arus dari barat ini juga menyusur pantai selatan Jawa yang terlihat pada bulan Januari hingga puncaknya dibulan Juni dengan daerah hingga selatan Jawa Timur.

Pada bulan Juli arus di selatan Jawa mengalir dengan kecepatan tinggi hingga 1,5 m/s menuju ke barat. Arus yang kuat di daerah selatan ini

mengakibatkan adanya arus yang menyusur pantai barat Sumatera dari arah tenggara menuju barat laut. Pada bulan Agustus terlihat AKS melemah dikarenakan adanya arus dari barat menuju timur di sekitar ekuator dari 5oLU hingga 5oLS, namun hal ini menyebabkan adanya arus yang menyusur pantai barat Sumatera hingga Selat Sunda dengan arah menuju tenggara dan di pantai selatan Jawa dengan arah menuju barat.

Arus dibulan September pada daerah ekuator mengalir menuju barat dengan kecepatan hingga 0,5 m/s.. AKS terdesak kearah selatan, dimana AKS mulai terlihat di sekitar 10o LS mengalir menuju barat dengan kecepatan

(57)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

Gambar 17. Plot arus tahun 1998 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember Pada tahun 2006 kecepatan arus rata-rata mengalir rendah pada setiap bulannya. Januari hingga bulan Juni terdapat arus yang mengalir ke arah

(58)

Pada bulan Juli AKS mulai menguat dengan puncaknya pada bulan

Agustus, dimana AKS terlihat hingga 3oLU dengan kecepatan yang rata-rata sama yaitu berkisar 0,5 m/s sehingga mendesak AKU lebih ke utara. Terdapat arus yang mengalir menuju timur di sekitar ekuator hingga 5oLU dengan kecepatan rendah dibulan September, sehingga mengakibatkan adanya arus yang mengalir menyusur pantai barat Sumatera. Pada bulan November dan Desember arus yang menuju timur ini terlihat kembali dan menguat di sekitar ekuator. Berikut

merupakan plot arah dan kecepatan arus tiap bulannya pada tahun 2006.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(59)

Tahun 2007 bulan Januari di daerah antara ekuator dan 5oLS terdapat arus yang mengalir menuju timur dengan kecepatan tinggi hingga 0,75 m/s, sehingga mengakibatkan adanya arus yang menyusur pantai di selatan pantai barat

Sumatera hingga selatan Jawa bagian timur. Arus ini menyebabkan terdesaknya AKU dan AKS, namun pada bulan Februari arus ini melemah sehingga hanya terdapat disekitar 5oLS dengan kecepatan yang menurun. Pada daerah di sekitar ekuator terdapat arus yang mengalir menuju arah barat dengan kecepatan hingga 1,25 m/s. Pada bulan Maret hingga Mei arus dari arah barat ini mulai menguat kembali dengan cakupan dari 5oLS hingga 10oLS dan mencapai puncaknya pada bulan April dimana arus ini terlihat dari ekuator hingga 10oLS dengan kecepatan hingga 0,5 m/s sehingga mengakibatkan adanya arus yang menyusur pantai barat Sumatera dan selatan Jawa bagian tengah dengan arah menuju tenggara.

AKS mencapai maksimum pada bulan Agustus dengan kecepatan hingga 0,75 m/s dengan cakupan daerah hingga ekuator. Bulan September AKU kembali menguat hingga mencapai 3oLS, sedangkan dibulan November arus dari barat yang menuju timur ini mulai terlihat kembali. Pada bulan November arus ini berada di sekitar 5oLS dengan kecepatan hingga 1 m/s yang mengakibatkan terdesaknya AKS ke selatan dan juga menyebabkan adanya arus yang menyusur pantai barat Sumatera bagian selatan dan pantai selatan Jawa.

(60)

lintang 10oLS namun dengan kecepatan hingga 1.25 m/s. Di bulan Desember arus dari arah barat ini mulai meluas dengan kecepatan yang melemah namun

menyebabkan adanya arus yang menyusur pantai barat Sumatera dan selatan Jawa, dengan arah tenggara di barat Sumatera dan timur diselatan Jawa. Berikut merupakan plot arah dan kecepatan arus tiap bulannya pada tahun 2007.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(61)

arus yang mengalir menuju ke arah timur. Pada saat angin Muson Barat Laut bertiup (Desember – Februari) terdapat arus dari barat menuju timur yang mengakibatkan AKS terdesak ke selatan. Sehingga di selatan Jawa terdapat APJ yang berasal dari pantai barat Sumatera yang mengalir ke arah timur hingga Jawa bagian timur dan bahkan hingga P. Timor di tahun 1998. Namun pada tahun 1997 dimana bertepatan dengan adanya fenomena El Nino, arus dari pantai barat Sumatera ini hanya sampai di Selat Sunda dan di Jawa bagian selatan arus yang menyusur pantai mengalir menuju barat. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wyrtki (1962) yang mengatakan bahwa pada saat bertiupnya Muson Barat Laut poros AKS bergeser ke lepas pantai dan di perairan selatan Jawa APJ yang berasal dari pantai barat Sumatera mengalir ke arah timur sampai P.Timor.

Pada Muson Peralihan I dan II (Maret hingga Mei dan September hingga November) terdapat arus dari arah barat menuju timur yang mengakibatkan adanya arus yang menyusur pantai di barat Sumatera dan selatan Jawa. Pada bulan Mei dan November terdapat Jet Wyrtki dan gelombang Kelvin yang mengalir dari Samudera Hindia barat. Pada tahun 1998 dibulan November dan tahun 1997 dibulan Mei arus ini mengalir dengan kuat. Menurut Molcard et al (2001) dalam Purba (2007) pada musim pancaroba (Mei dan November), gelombang Kelvin yang berasal dari tropis barat dan tengah Samudera Hindia bergerak mengalir ke timur.

(62)

adanya aliran massa air dari S. Pasifik Utara yang masuk melalui AKU dan massa air dari barat daya perairan Australia melalui AKS. Pola kecepatan arus tinggi terjadi sekitar bulan Mei sampai November pada tiap tahun pengamatan, sedangkan kecepatan angin yang rendah terjadi sekitar bulan Desember sampai April tiap tahun pengamatan. Berikut merupakan table perbedaan karakter arus di Samudera Hindia timur pada tiap periode.

Tabel 2. Perbedaan karakter arus pada tiap periode No Faktor

Pembeda

Periode 1 Periode 2 Periode 3 1994 1995 1997 1998 2006 2007

1. Lokasi standar

deviasi tinggi -Sekitar Jawa Barat

-Selatan Jawa Barat

-Sekitar Ekuator -Selatan Jawa Barat

2. Nilai standar

deviasi tinggi -0,3

- 0.32

- 0,32 -0,2

3. ASK / Jet

Wyrtki kuat Desember November Desember November Desember November

4.3 Suhu Laut

Pola distribusi suhu di Samudera Hindia timur ditampilkan dalam rata-rata 2 tahunan (tiap periode) dan rata-rata bulanan. Distribusi suhu yang ditampilkan berupa distribusi horizontal Suhu Permukaan Laut dan Distribusi verikal suhu pada daerah 10oLS dan pada daerah 95oBT. Distribusi SPL dapat dikaitkan dengan aliran arus dan angin Muson yang bertiup pada daerah Samudera Hindia timur.

4.3.1 Sebaran Horizontal SPL

(63)

perairan barat Sumatera nilai SD meningkat yaitu bernilai 1,2, jika dibandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya bernilai sekitar 0,75 hingga 1. Pada periode 3 nilai SD hampir sama dengan periode 1 namun dengan daerah yang lebih luas. Secara keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa SD yang besar berada di sekitar bagian selatan Jawa, dengan nilai dari SD terbesar berada pada periode 1 dan 3 yang bernilai 1,75. Hal ini menunjukan bahwa pada periode 1 dan 3 diperairan selatan Jawa, memiliki keragaman yang lebih tinggi (lebih fluktuatif) dibandingkan pada periode 2 dan didaerah perairan lainnya.

(a) (b) (c)

Gambar 20. Kontur standar deviasi SPL (a) periode 1994/1995 (b) periode 1997/1998 (c) periode 2006/2007

Januari tahun 1994 SPL di Samudera Hindia timur berkisar antara 26oC hingga 30oC dan SPL terdingin berada pada daerah 10oLS hingga 15oLS di sekitar 100oBT. Pada bulan Februari SPL mulai memanas dengan suhu berkisar dari 27,5oC - 30,5oC dan daerah terpanas berada di tenggara Samudera Hindia timur dengan SPL dominan 29oC. Namun di perairan selatan P.Timor hingga Jawa Timur, memiliki SPL yang tinggi dengan kemungkinan massa air berasal dari perairan Pasifik Selatan yang terbawa arus ke arah barat. SPL di Samudera Hindia timur pada bulan Maret mulai menghangat dengan suhu berkisar dari 28oC - 30oC di daerah perairan barat Sumatera.

(64)

Sumatera hingga perairan selatan Jawa dan P.Sumbawa. Sedangkan dibulan Mei SPL di perairan selatan Jawa mulai mendingin dengan suhu berkisar 27oC - 28,5oC, namun di perairan selatan P.Sumbawa SPL hangat dengan suhu 29oC - 30oC begitu juga dengan perairan di barat Sumatera dari 10oLU hingga 5oLS dengan kisaran SPL 29oC - 30oC. SPL pada bulan Juni di perairan bagian selatan Samudera Hindia timur mendingin dengan suhu 27oC - 28oC, namun pada

perairan barat Sumatera di sekitar ekuator dari 5oLU hingga 5oLS SPL berkisar dari 29oC - 30oC. SPL di perairan selatan Jawa pada bulan Juli pada daerah 8oLS hingga 10oLS terlihat mendingin dengan suhu berkisar dari 25,5oC - 26,5oC. SPL yang rendah ini terus berlanjut hingga bulan Oktober dengan daerah yang meluas dan puncaknya pada bulan September, dimana SPL berkisar dari 24oC - 26oC dengan daerah di 5oLS hingga 11oLS dan 93oBT hingga 115oBT. Namun pada bulan Agustus SPL yang rendah tidak hanya ditemukan di perairan selatan Jawa saja, di perairan barat Sumatera pada lintang 5oLS terdapat SPL yang rendah dengan suhu 26oC.

(65)

Pada bulan November dan Desember tidak ditemukan lagi daerah yang diduga upwelling, dimana rata-rata SPL di Samudera Hindia timur menghangat dengan suhu berkisar dari 26oC - 30oC. Hal ini diikuti dengan adanya arus yang mengalir dari barat (Samudera Hindia tengah) menuju timur (Samudera Hindia timur) yang merupakan ASK dan Jet Wyrtki. Berikut merupakan gambar sebaran horizontal SPL tiap bulannya pada tahun 1994.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(66)

dimana suhu terhangat berada di perairan tenggara Samudera Hindia timur yaitu pada bujur 115oBT hingga 125oBT dan pada bulan Februari SPL yang tinggi mulai meluas hingga mencapai perairan barat Sumatera, namun dengan rata-rata yang lebih rendah yaitu berkisar 30oC. Memanasnya SPL di Samudera Hindia timur terjadi hingga bulan April dengan SPL rata-rata bernilai 30oC - 29oC.

Pada bulan Mei, SPL di tenggara Samudera Hindia timur mulai mendingin dengan suhu berkisar 29oC, sedangkan diperairan selatan Jawa suhu berkisar antara 28,5oC - 29oC. Namun pada daerah ekuator SPL menghangat dengan kisaran suhu 30oC - 30,5oC, hal ini dikarenakan adanya masukan massa air dari Samudera Hindia tengah menuju Samudera Hindia timur, sehingga terjadi penumpukan massa air hangat di perairan barat Sumatera. Adanya penumpukan massa air ini diduga karena adanya Jet Wyrtki dan ASK yang mengalir menuju perairan barat Sumatera. Hal ini juga terjadi pada bulan Juni dimana SPL di perairan barat Sumatera masih menghangat, sedangkan di bagian selatan Samudera Hindia timur SPL mendingin dengan kisaran suhu 27,5oC - 28,5oC.

Pada bulan Juli, SPL di perairan selatan Jawa khususnya di daerah selatan Jawa Timur suhu mendingin dengan kisaran antara 27,5oC - 28oC dan terus

(67)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(68)

mendingin dengan suhu berkisar antara 27oC - 28,5oC. Pada bulan Juli SPL di perairan Samudera Hindia timur menurun dengan suhu berkisar dari 28oC - 28,5oC. Pada bulan Agustus, di perairan selatan Jawa memiliki SPL rendah yang diduga merupakan daerah upwelling. Daerah upwelling ini bergerak semakin ke timur hingga puncaknya pada bulan Oktober dengan SPL berkisar 25oC - 26oC. Daerah upwelling ini kemudian mulai mengecil dibulan November dan hilang dibulan Desember. Berikut merupakan sebaran SPL tiap bulannya tahun 1997.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(69)

SPL di Samudera Hindia timur, pada tahun 1998 memiliki kecenderungan lebih hangat daripada tahun-tahun yang dibahas sebelumnya. Pada bulan Januari SPL di Samudera Hindia timur berkisar dari 28oC - 29,5oC, hal ini berlangsung hingga bulan Mei dengan daerah yang lebih meluas hingga perairan barat Sumatera. Pada bulan April hingga Juni, SPL di sekitar ekuator menghangat dengan suhu berkisar antara 30oC - 31oC. Adanya Jet Wyrtki yang membawa massa air hangat dari Samudera Hindia tengah, menyebabkan penumpukan massa air hangat di perairan barat Sumatera sehingga menyebabkan SPL menghangat. Namun di perairan 10oLS hingga 15oLS, SPL mulai mendingin dengan puncaknya dibulan September. SPL yang dingin ini meluas dengan suhu berkisar antara 26oC - 29oC akibat adanya AKS. Sedangkan pada bulan Oktober hingga Desember, SPL di perairan selatan Jawa menghangat dan di perairan barat Sumatera mendingin. Memanasnya SPL dan tidak ditemukannya daerah

upwelling di Samudera Hindia timur terjadi disepanjang tahun 1998 dengan

dominan SPL terendah terjadi pada bulan September.

Pada tahun 1998 juga terjadi fenomena La Nina, sehingga diduga terdapat kaitan dengan SPL di Samudera Hindia timur. Periode 2 yaitu tahun 1997/1998 memiliki pola SPL yang berbeda tiap tahunnya yang diduga ada hubungan dengan fenomena El Nino pada tahun 1997 dan langsung diikuti dengan fenomena La

Nina pada tahun 1998. Hal ini dapat dilihat dari luasan daerah upwelling yang

(70)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

Gambar 24. Kontur SPL tahun 1998 berturut-turut (a) Januari - (l) Desember Pada Januari hingga Maret tahun 2006, SPL di perairan selatan Jawa dan di perairan barat Sumatera bernilai antara 29oC - 30oC. Namun pada bulan April hingga Juni SPL di perairan selatan Jawa mulai mendingin, sedangkan di perairan barat Sumatera SPL tetap menghangat. Dibulan Juli hingga Oktober, terdapat

upwelling di perairan selatan Jawa dan meluas pada bulan Agustus yang

(71)

5oLS hingga 10oLS dengan SPL berkisar antara 25.5oC - 26oC. Mendinginnya SPL di perairan selatan Jawa diikuti dengan mendinginnya SPL di perairan barat Sumatera. Puncaknya pada bulan September dimana SPL bernilai 27oC - 29oC. Pada bulan November dan Desember tahun 2006, SPL di Samudera Hindia timur mulai menghangat. Berikut merupakan kontur SPL tiap bulan tahun 2006.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(72)

Juni pada perairan 10oLS hingga 15oLS. Pada bulan Juli hingga Oktober

upwelling mulai terlihat, dengan puncaknya pada bulan September di perairan

selatan Jawa dengan suhu berkisar 25oC - 26oC. Daerah upwelling ini mulai mengecil pada bulan Oktober dengan suhu berkisar antara 25,5oC - 26oC. Pada bulan November dan Desember, SPL di perairan Samudera Hindia timur kembali menghangat. Berikut merupakan kontur sebaran SPL tiap bulan pada tahun 2007.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(73)

4.3.2 Sebaran Vertikal Suhu

Untuk membuktikan adanya upwelling pada suatu daerah, dapat dilihat dari sebaran vertikal suhunya dengan lapisan termoklin sebagai acuan. Sebaran vertikal Suhu berupa penggambaran kontur suhu permukaan rata-rata perperiode (2 tahunan) pada dua daerah yaitu 9,7oLS pada bujur 90,5oBT hingga 115,5oBT sebagai lintasan 1 dan pada 94,5oBT dengan lintang dari 5,3oLU hingga 14,5oLS sebagai lintasan 2, dengan menggunakan titik contoh kedalaman 15 m, 155 m, 298 m dan 524 m. Data suhu dari titik kedalaman ini kemudian diinterpolasi sehingga didapatkan sebaran vertikal suhunya.

Pada lintasan 1 yaitu lintang 9,7oLS dengan bujur 90,5oBT hingga 115,5oBT, untuk periode 1 tahun 1994/1995, rata-rata kedalaman dari lapisan termoklin yaitu berada pada 70 m hingga 120 m pada setiap bujurnya. Ketebalan dari lapisan termoklin pada periode 1 rata-rata berkisar 50 m dengan suhu berkisar dari 24oC - 16,5oC. Keadaan ini juga terjadi di periode 2 tahun 1997/1998 dan periode 3 tahun 2006/2007. Untuk lintasan 2 yaitu pada bujur 94,5oBT dengan lintang dari 5,3oLU hingga 14,5oLS, rata-rata kedalaman lapisan termoklin

periode 1 berada pada 50 m hingga 120 m di daerah 5oLU hingga 10oLS dan pada kedalaman 50 m hingga 210 m di daerah 10oLS - 15oLS. Hal ini terjadi

Gambar

Gambar 2. Sebaran Suhu Umum Vertikal
Gambar 3. Lokasi Penelitian
Gambar 5. Diagram Alir Proses Penelitian
Gambar 9. Plot angin tahun 1997 berturut-turut bulan (a) Januari - (l) Desember
+7

Referensi

Dokumen terkait