• Tidak ada hasil yang ditemukan

Photovoltaic Effect In A CdS/P3HT-Chitosan Junction

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Photovoltaic Effect In A CdS/P3HT-Chitosan Junction"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK FOTOVOLTAIK PADA

PERSAMBUNGAN CdS/P3HT-KITOSAN

SITTI YANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis Efek Fotovoltaik Pada Persambungan CdS/P3HT-Kitosan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

Sitti Yani NRP G751090071

(3)

SITTI YANI. Photovoltaic Effect In A CdS/P3HT-Chitosan Junction. Under direction of AKHIRUDDIN MADDU and IRMANSYAH.

A CdS/Polymer junction has been fabricated and it’s photovoltaic effect has been studied. The polymer is a blend of poly-3hexyltiophene (P3HT), chitosan and polyethileneglicol (PEG). Boron in situ doping of CdS using Chemical Bath Deposition (CBD) was investigated. The effect of B-doping and annealing on optical properties as well as on electrical and morphology of CdS film were studied. The structure and morphology of the film were detected by X-Ray Diffraction (XRD) and Scanning Electron Microscopy (SEM). The polymer film was sandwiched between the CdS semiconductor and an ITO glass to form an ITO/CdS/Polymer/ITO photovoltaic cell. Time constant (τ) and open circuit voltage (Voc) were investigated by using voltage censor. The bandgap of films were determined using absorbance edge method. The results of annealing optical bandgap of undoped CdS shifted from 2,49 eV down to 2,39 eV. Phase transition of CdS due to annealing temperature and induced lattice damage due to doping. The room temperature conductivity of polymer is 3,8 – 6,6 x 10-7 S/cm as function of frequency between 100 – 5000 Hz. The Voc of the fabricated cells ranges between 107 – 286 mV and time constant ranges between 2,5 to 43,75 s.

(4)

Energi matahari merupakan energi yang terbesar di permukaan bumi. Energi ini dapat dimanfaatkan secara langsung maupun secara tidak langsung. Energi matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik dalam mekanisme fotovoltaik. Piranti pengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dapat dibuat dengan menyambungkan antara semikonduktor tipe-p dan semikonduktor tipe-n. Cadmium sulfida merupakan salah satu jenis semikonduktor tipe-n dimana mempunyai dua struktur kristal yaitu kubik dan heksagonal. CdS memiliki gap energi sebesar 2,3-2,5 eV. CdS fase kubik merupakan fase metastabil dimana dapat berubah menjadi fase heksagonal jika diannealing pada suhu di atas 300o

Poly3-heksiltiophene adalah semikonduktor tipe-p yang merupakan turunan dari polimer tiophene. Polimer ini memiliki mobilitas hole yang tinggi dan stabil di lingkungan udara maupun dalam air. Jika polimer ini digabungkan dengan polimer jenis lain, maka pembawa muatan pada polimer ini akan bertambah. Dengan adanya pembawa muatan yang banyak ini maka akan meningkatkan kinerja persambungan yang akan dibuat.

C. Metode pembuatan CdS dapat dilakukan dengan sangat mudah. Selain itu bahan yang digunakan pula sangat mudah didapatkan.

Cadmium sulfida dibuat dengan metode Chemical Bath Deposistion (CBD), menggunakan CdCl2 sebagai sumber ion cadmium, CS(NH2)2 sebagai sumber ion sulfur, NH4OH sebagai agen pengkompleks dan mengatur kecepatan reaksi serta TEA untuk mempertahankan larutan agar tidak cepat mengendap. Dua bahan yang pertama diaduk dengan kelajuan 300 rpm selama 30 menit pada suhu 30oC. Selanjutnya ditambahkan NH4OH dan TEA dan diaduk dengan kelajuan yang sama selama 90 menit pada suhu 70oC. Pemberian doping Boron dilakukan dengan penambahan asam borat (H3BO3) dengan jumlah masing-masing 4% wt, 6%wt dan 8%wt. Pemberian doping Boron ini dimaksudkan untuk mengubah gap energi CdS yang dihasilkan. Selanjutnya film tipis yang dihasilkan diannealing pada suhu 200oC, 300oC dan 400oC selama 1 jam dengan kenaikan suhu 1oC/menit. Film-film ini selanjutnya dikarakterisasi UV-Vis, XRD dan SEM masing-masing untuk mengetahui pita serapan, struktur kristal dan morfologi film yang dihasilkan. Di atas film yang dihasilkan selanjutnya ditetesi dengan polimer campuran antara P3HT dengan kitosan dengan menggunakan metode drop casting agar diperoleh ketebalan polimer yang sama pada permukaan film CdS. Persambungan ini selanjutnya diukur respon dinamik dan kestabilan tegangannya dengan menghubungkannya dengan sensor tegangan. Pengukuran ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tegangan rangkaian terbuka (Voc

Hasil karakterisasi optik CdS yang dihasilkan menunjukkan bahwa pemberian doping Boron dapat mengubah besarnya gap energi CdS. Akibat annealing, spektrum absorbansi bergeser ke arah merah (red shift) yang juga menunjukkan penyempitan gap energi. Besarnya gap energi masing-masing film ditentukan dengan menggunakan metode tepi absorbansi (absorbance egde). Dari pola XRD CdS terlihat bahwa pemberian doping mempengaruhi fase CdS yang

(5)

dengan fase heksagonal yang amorf. Ketika diberikan doping Boron maka fase kubik CdS muncul pada profil XRD. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan pH larutan bath ketika diberikan sejumlah doping.

Pengukuran parameter fotovoltaik pada persambungan CdS/P3HT-kitosan menunjukkan bahwa semua sel yang dihasilkan dapat merespon cahaya dengan baik walaupun ada sebagian sel yang konstanta waktu (τ)nya besar yang menunjukkan recovery respon sel tersebut kurang baik. Hal ini dipengaruhi oleh ketebalan polimer yang diteteskan. Semakin tebal polimernya maka hambatan dalam sel pun akan semakin besar sehingga elektron sulit untuk bergerak melintasi persambungan. Besarnya tegangan rangkaian terbuka (Voc) yang terukur, bervariasi yang merupakan fungsi dari gap energi dan konduktansi CdS. Annealing terhadap film CdS dapat meningkatkan konduktifitas. Semakin sempit gap energi CdS maka semakin banyak elektron yang dapat tereksitasi ke pita konduksi maka semakin besar pula tegangan yang dihasilkan.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

EFEK FOTOVOLTAIK PADA

PERSAMBUNGAN CdS/P3HT-KITOSAN

SITTI YANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biofisika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

CdS/P3HT-Kitosan

Nama : Sitti Yani

NRP : G751090071

Program Studi : Biofisika

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui,

Ketua Program Studi Biofisika Dekan Sekolah Pascasarjana

Tanggal Ujian: 16 Juni 2011 Tanggal Lulus: Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si

Ketua

Dr. Ir. Irmansyah, M.Si Anggota

(10)
(11)

Puji syukur hanyalah bagi Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufik dan hidayahnya-Nya hingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tema dari penelitian ini adalah Efek Fotovoltaik Pada Persambungan CdS/P3HT-Kitosan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 sampai Juni 2011 di Laboratorium Biofisika, IPB dan Litbang Kehutanan, Bogor.

Teristimewa penulis ungkapkan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Ayahanda (La Farimu, S.Pd), Ibunda (Waode Harna), Kakak (Sitti Hasniar, S.STP) dan Adik (Fajarmin S.Pd dan Muhammad Rais) atas curahan kasih sayang, yang senantiasa memberikan semangat, doa, perhatian, dan pengorbanannya yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studi.

Penulis sadar sepenuhnya bahwa tugas akhir ini dapat dirampungkan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Irmansyah, M.Si sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan kritik yang sangat berharga bagi penulis selama pengerjaan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Kartono, M.Si yang bersedia sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Sidang Tesis penulis. Penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan biaya pendidikan dan penelitian. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ida Usman, M.Si, Dr. Irzaman, M.Si, Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si dan Kepala SMA Negeri 1 Lohia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Biofisika IPB. Terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen Biofisika yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu yang sangat berharga.

(12)

Muhammad Arsal, S.Pi*, Ir. Muhammad Alwi, M.Si, Ir. Tasruddin, Eldin Hasan Adimu, S.Pi, Robin, S.Pi, Asis Bujang, S.Pi, Fendi, S.Si, Suwarjoyosurayatno, S.Pi, Laode Aslin, S.Pi) dan Pondok Ijo (Al Azhar, S.Pi, M.Si). Terima kasih telah hadir menjadi teman-teman yang selalu optimis sehingga meringankan kesulitan-kesulitan yang penulis hadapi dan terima kasih pula atas dukungan dan kebersamaannya. Buat teman-teman dan sahabat yang tidak penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak senantiasa penulis harapkan untuk bekal penulis di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan IPTEK dan dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2011

(13)

Penulis dilahirkan di Lasunapa (Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara) pada tanggal 24 Juni 1986, sebagai anak kedua dari pasangan La Farimu dan Waode Harna.

Tahun 2004, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Raha, di Kabupaten Muna dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Haluoleo. Penulis menyelesaikan studi strata satu (S1) pada tahun 2008 sebagai lulusan terbaik Jurusan Fisika Universitas Haluoleo.

(14)

x

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan Penelitian... 3

1.3 Manfaat Penelitian... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Semikonduktor…..…...………. 5

2.2. Cadmium Sulfida (CdS)….……… 9

2.3. Polythiophene... 12

2.4 Kitosan ... 13

2.4 Sel Surya... 13

2.4.1 Sel Surya Persambungan Semikonduktor p-n (Solid State p-n Junction)... 15

2.4.2 Sel Surya Hibrid... 18

III. METODE PENELITIAN ... 21

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 21

3.2. Alat dan Bahan... 21

3.3. Metode Pembuatan dan Karakterisasi... 21

3.3.1 Pembuatan Lapisan Tipis CdS... 21

3.3.2 Karakterisasi Lapisan Tipis CdS... 23

3.3.3 Pembuatan Lapisan Tipis P3HT-Kitosan ... 24

3.3.4 Pembentukan Junction CdS/P3HT-Kitosan ... 25

3.3.6 Uji Performans ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Karakteristik Polimer P3HT-Kitosan ... 27

4.1.1 Karakteristik Optik P3HT ... 27

4.1.2 Konduktifitas Polimer P3HT-Kitosan ... 28

4.2. Karakteristik Film Tipis CdS ... 30

(15)

xi Kitosan ...

(16)

xii 1. Pita energi bahan (a) isolator, (b) semikonduktor dan (c) konduktor… 6 2. Pada pita valensi, elektron menyerap foton (hν) dan pindah ke pita

konduksi meninggalkan hole……….……….. 6

3. a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi lima menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-n... 8

4. a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi tiga menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-p... 9

5. Difraksi sinar X film CdS pada suhu annealing yang berbeda………… 11

6. Energi gap film CdS doping Galium sebagi fungsi perbandingan [Ga]/[Cd]………. 12

7. Struktur polimer Poly3-heksiltiophene …….……… 12

8. Struktur kitosan …….……….… 13

9. Diagram sebuah potongan sel surya (PV sel)………..… 14

10. Semikonduktor yang diiluminasi cahaya dengan energi foton yang lebih besar daripada bandgap semikonduktor……… 16

11. Diagram energi pada persambungan p-n ketika diiluminasi cahaya dengan energi foton (hυ) yang lebih besar daripada bandgap (a) ketika dihubung singkat (short circuit) dan (b) ketika hubung Singkat dibuka (open circuit) ……….. 17

12. Level energi molekul konjugat-π (eksitasi elektron dari orbital π ke π*)……… 18

13. Interface antara dua semikonduktor polimer yang berbeda (D = donor, A = aseptor) yang dapat memfasilitasi transfer muatan oleh pemisahan eksiton atau transfer energi, dimana semua eksiton ditransfer dari donor ke aseptor……… 19

14. Skema deposisi CBD ……….. 23

15. Struktur sel surya CdS/P3HT-Kitosan………25

16. Absorbsi dan transmitansi P3HT ……… 28

17. Kurva konduktansi dan resistansi P3HT-kitosan ……… 28

18. Absorbsi film tipis CdS dengan jumlah doping yang sama (0% wt) dan temperatur annealing yang berbeda ……… ………….. 35

19. Absorbsi CdS doping Boron 4% wt ……….………. 37

20. Absorbsi CdS doping Boron 6% wt …………..………. 37

21. Absorbsi CdS doping Boron 8% wt ………..………37

22. Grafik perubahan gap energi film CdS berdasarkan jumlah doping ….. 39

23. Pola XRD film Y1 ……… 41

24. Pola XRD film Y2 ……… 43

25. Pola XRD film Y3 ……… 43

26. Pola XRD film Y4 ……… 44

27. Penampang melintang film tipis CdS pada permukaan ITO ... 46

(17)

xiii 30. Kurva karakteristik arus(I)-tegangan(V) sel A1 dan A2 ... 31. Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel A1, A2, A3 dan A4

terhadap cahaya ……… 51 32. Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel B1, B2, B3 dan B4

terhadap cahaya ……… 51 33. Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel C1, C2, C3 dan C4

terhadap cahaya ……… 52 34. Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel D1, D2, D3 dan D4

(18)

xiv 1. Celah energi pada berbagai semikonduktor ………. 7 2. Konduktifitas polimer P3HT-kitosan berdasarkan frekuensi yang

diberikan ………... 30 3. Gap energi CdS berdasarkan temperatur annealing ……… 35 4. Gap energi CdS berdasarkan jumlah doping Boron dan temperatur

annealing ……… 38 5. Kode film tipis CdS yang diXRD ……… 40 6. Ukuran kristal CdS tanpa doping dan doping Boron 4%, 6% dan

8% wt ……. ……… 44

7. Tegangan rangkaian terbuka (Voc

(19)

xv Halaman

1. Data JPDS No.80-0006 : Cadmium Sulfida fase heksagonal ………… 63

2. Data JPDS No.80-0019 : Cadmium Sulfida fase kubik ..………….. 64

3. Data konduktansi dan impedansi P3HT-Kitosan ………. 65

4. Perhitungan konduktifitas P3HT-Kitosan ……… 67

5. Cara perhitungan konstanta waktu (τ) ……….. … 68

6. Perhitungan konstanta waktu sel A1, A2, A3 dan A4 ……… 69

7. Perhitungan konstanta waktu sel B1, B2, B3 dan B4……… 71

8. Perhitungan konstanta waktu sel C1, C2, C3 dan C4……… 73

9. Perhitungan konstanta waktu sel D1, D2, D3 dan D4……… 75

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Listrik merupakan sumber energi yang memberikan kontribusi yang paling besar dalam peningkatan kualitas hidup manusia di muka bumi. Pertambahan jumlah penduduk yang diiringi oleh kemajuan teknologi yang terus meningkat mengakibatkan kebutuhan energi listrik juga terus mengalami peningkatan. Sementara itu, energi listrik hasil konversi sumber energi konvensional dari bahan bakar fosil seperti minyak bumi ketersediaannya semakin menipis dan suatu saat akan habis. Jika hal ini tidak diantisipasi lebih dini, ancaman krisis energi dapat terjadi dalam waktu yang tidak lama lagi. Oleh karena itu, manusia kemudian berupaya menemukan sumber-sumber energi alternatif sebagai pengganti sumber energi dari bahan bakar fosil. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber energi non-konvensional seperti energi radiasi matahari. Sekitar 4 x 1020 J/det energi diemisikan sebagai radiasi elektromagnetik dalam daerah spektral dengan intensitas radiasi dalam ruang bebas pada jarak rata-rata bumi dari matahari sebesar 1353 W/m2. Selain pemanfaatannya secara langsung energi radiasi matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik melalui mekanisme fotovoltaik pada suatu alat yang disebut sel surya (solar cell). Proses konversi energi matahari ini menjadi energi listrik melalui proses fotovoltaik tidak mencemari lingkungan, berlimpah, dan merupakan sumber energi yang terbaharui. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi, luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024

(21)

beberapa dekade terakhir dan telah dimanfaatkan untuk penerangan, transportasi dan sumber daya listrik pada berbagai peralatan elektronik. Modul sel surya yang telah digunakan secara komersial adalah sel surya berbasis silikon dengan efisiensi konversi sekitar 20%. Namun demikian sel surya berbasis silikon masih relatif mahal, khususnya dalam hal teknologi produksinya sehingga belum terjangkau oleh masyarakat umum. Mahalnya teknologi ini diakibatkan beberapa faktor, yang terutama adalah mahalnya penyediaan bahan dasar silikon dan metode pabrikasinya yang masih menggunakan teknologi tinggi berbiaya tinggi sehingga biaya produksi massal masih sangat tinggi. Untuk itu, dibutuhkan cara baru dalam pembuatan sel surya dalam jumlah banyak dan biaya yang rendah.

Perkembangan teknologi dalam hal pembuatan piranti yang dapat menjadi sumber energi yang bersih merupakan isu yang sedang dikembangkan dalam hal ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, pada abad ke-21 ini, teknologi dikembangkan untuk memperoleh sumber energi yang didasarkan pada sumber energi yang tidak dapat diperbaharui diubah menjadi sumber energi baru (Polo et al. 2006).

Saat ini penelitian sel surya sangat intensif dilakukan dengan material dan struktur yang sangat bervariasi. Berbagai jenis material semikonduktor diuji karakteristiknya untuk mendapatkan karakter yang sesuai untuk aplikasi sel surya, diantaranya adalah bahan organik. Di lain pihak, pengembangan metode-metode sederhana dalam pabrikasi sel surya banyak dilakukan untuk menekan biaya produksinya. Banyak teknologi pembuatan sel surya yang telah berkembang saat ini termasuk sel surya nanokristalin tersensitasi dye, sel surya fotoelektrokimia, polymer/fullerene bulk heterojunction, small molecule thin films dan sel surya hybrid organik–inorganik.

(22)

pembuatannya relatif mudah. Metode yang digunakan dalam konstruksi sel surya merupakan metode yang relatif sederhana dan murah dalam pembuatan film tipis semikonduktor, yaitu metode CBD (Chemical Bath Deposition) untuk preparasi lapisan tipis CdS dan metode drop coating untuk deposisi lapisan P3HT-kitosan.

Sel surya dengan kelebihan yang dimilikinya mampu mengungguli pembangkit listrik konvensional dalam hal kebersihan dan efisiensi. Biaya yang dibutuhkan dalam pengembangan dan pembuatan sel surya juga tidak sebanyak yang dibutuhkan dalam pengembangan sumber energi lain misalnya nuklir. Keunggulan inilah yang menarik para ilmuwan untuk terus mengembangkan sel surya.

1.2 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini dikembangkan sistem sel surya film tipis hibrid berbasis bahan organik-inorganik yang murah. Demikian juga metode yang digunakan cukup sederhana yang tidak memerlukan peralatan rumit dan canggih sehingga biaya produksinya lebih murah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek fotofoltaik pada persambungan CdS/Poly3-heksilthiophene-kitosan.

1.3 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Memberikan informasi tentang pengaruh doping dan temperatur annealing lapisan CdS terhadap efek fotovoltaik pada persambungan CdS/P3HT-kitosan. 2. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya baik yang sifatnya mengkaji

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Semikonduktor

Material zat padat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian utama yaitu isolator, semikonduktor dan konduktor. Isolator memiliki konduktivitas yang rendah yang berkisar antara 10-18 sampai 10-8 S/cm sedang konduktor seperti aluminium dan perak memiliki konduktivitas yang tinggi yang berkisar antara 105 sampai 107

Setiap atom memiliki elektron. Elektron mengorbit di dalam atom dengan tingkatan energi tertentu. Kulit-kulit yang ada pada atom menunjukkan tingkatan energi elektron. Elektron pada atom tunggal menempati orbital atom. Orbital atom elektron akan membelah ketika atom-atom mengumpul saling berdekatan. Mengumpulnya atom-atom tersebut menyebabkan jumlah orbital atom menjadi besar dan perbedaan energi di antara orbital atom tersebut mengecil sehingga akan terbentuk pita energi.

S/cm. Bahan semikonduktor memiliki konduktivitas antara isolator dan konduktor. Konduktivitas dari bahan semikonduktor secara umum peka terhadap temperatur, iluminasi, medan magnet, dan jumlah partikel pengotor (impuritas). Kepekaan bahan semikonduktor ini menyebabkan bahan ini banyak digunakan dalam aplikasi fisika. Studi tentang semikonduktor dimulai pada abad ke-19.

Konsep pita energi sangat penting dalam mengelompokkan material sebagai konduktor, semikonduktor dan isolator. Besarnya lebar celah energi dapat menentukan apakah suatu material termasuk konduktor, semikonduktor atau isolator. Celah energi memisahkan pita valensi dengan pita konduksi. Elektron pada pita valensi dapat loncat menuju pita konduksi dengan cara menyerap sejumlah energi yang melebihi celah energi. Celah energi masing-masing material ditunjukkan pada Gambar 1 (Goetzberger 1998).

(24)

Gambar 1 Pita energi bahan (a) isolator, (b) semikonduktor dan (c) konduktor

Celah energi yang memisahkan kedua pita tersebut yaitu pita terlarang atau disebut juga sebagai bandgap (Eg). Salah satu karakteristik penting semikonduktor adalah memiliki celah energi yang relatif kecil yaitu berkisar antara 0,2-2,5 eV. Energi celah pita yang kecil ini memungkinkan suatu elektron memasuki level energi yang lebih tinggi. Perpindahan elektron ini dapat terjadi karena pengaruh suhu dan penyinaran (Gambar 2) (Wijaya 2007).

Gambar 2 Pada pita valensi, elektron menyerap foton (hν) dan pindah ke pita konduksi meninggalkan hole

(25)

Jika jalur terlarang sempit, elektron bebas mudah dibangkitkan hanya dengan energi kecil. Bila lebar, maka elektron bebas jarang dibangkitkan seperti halnya pada isolator. Celah energi untuk beberapa semikondutor dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dari daftar ini terbukti bahwa intan merupakan isolator yang paling baik karena celah energinya 6 eV. InSb dan semacamnya mempunyai kondukivitas yang besar pada temperatur kamar karena celah energinya kecil.

Tabel 1 Celah Energi Pada Berbagai Semikonduktor

Semikonduktor Celah energi (eV) pada suhu 300 K Si

Hanya sedikit bahan yang disebut sebagai semikonduktor dalam keadaan tidak murni. Oleh karena itu, dalam pembuatannya semikonduktor yang murni dicampurkan dengan bahan lain. Bahan ini disebut sebagai bahan pengotor atau dopan. Semikonduktor yang tidak dikotori oleh bahan lain disebut semikonduktor intrinsik, sedangkan yang diberi pengotor disebut semikonduktor ekstrinsik (Soga 2006).

(26)

3a). Karena hasil penggabungan silikon dengan atom pentavalen menghasilkan satu elektron yang tidak berpasangan, maka atom pentavalen disebut atom donor. Penambahan atom donor ini akan mengubah keadaan energi Fermi mendekat di bawah pita konduksi (Gambar 3b). Semikonduktor jenis ini atom pengotornya memiliki kelebihan elektron (atom donor), hal ini menyebabkan kelebihan elektron di dalam kristal sehingga semikonduktor bermuatan negatif.

Gambar 3 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi lima menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-n (Sze dan Kwok 2007)

(27)

Gambar 4 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi tiga menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-p (Sze dan Kwok 2007)

Jika disinari cahaya, bahan semikonduktor akan mengalami efek fotovoltaik, yaitu penyerapan energi cahaya sehingga membangkitkan elektron untuk tereksitasi ke pita konduksi dan menghasilkan arus listrik. Dari sifatnya tersebut maka bahan semikonduktor ini banyak digunakan sebagai bahan dasar untuk berbagai macam piranti optoelektronik diantaranya fotodioda dan sel surya. Peristiwa hantaran listrik pada semikonduktor adalah akibat adanya dua partikel masing-masing bermuatan positif dan negatif yang bergerak dengan arah yang berlawanan akibat adanya pengaruh medan listrik.

2.2 Cadmium Sulfida (CdS)

(28)

produksinya rendah. Cadmium sulfida (CdS) sangat berguna dalam hal optoelektronika, piezo-elektronika, dan bahan semikonduktor. Film tipis CdS sangat menarik terutama masalah efisiensi pengunaannya dalam pembuatan sel surya (Patidar et al. 2004 dan Devi 2007)

Penelitian tentang sifat fisika film CdS merupakan hal yang menarik. Film tipis CdS juga menarik jika digunakan untuk meningkatkan efisiensi sel surya. Beberapa tahun terakhir, banyak bahan semikonduktor subgroup II–VI digunakan sebagai bahan pembuatan sel surya. Ada beberapa teknik pendeposisian yang digunakan untuk menumbuhkan lapian CdS sehingga sifat optik, listrik dan strukturnya sesuai dengan yang diinginkan. Beberapa diantaranya menggunakan pendeposisian secara kimia, physical vapour deposition, spray pyrolysis (Hiie et al. 2006), electro deposition, chemical bath deposition (Hiie et al. 2006, Khallaf et al. 2008 dan 2009, Zhou et al. 2008, Cetinorgu et al. 2006, Metin et al. 2008),

teknik brush plating (Murali et al. 2007), hidrotermal (Jinxin et al. 2007) dan

lain-lain. Dari semua teknik di atas, Chemical Bath Deposition (CBD) merupakan teknik yang biasanya digunakan untuk menumbuhkan film tipis CdS. Teknik CBD memiliki banyak keuntungan seperti sederhana, tidak membutuhkan peralatan yang canggih, bahan yang terbuang sedikit, merupakan cara yang ekonomis teknik pendeposisian pada area yang luas untuk semikonduktor golongan II–VI seperti CdS, dan tidak menghasilkan gas yang beracun (Cetinorgu

et al. 2006). Metode CBD merupakan proses yang lambat, sehingga orientasi kristalnya dapat diatur dengan peningkatan struktur bulirnya. Film CdS yang ditumbuhkan dengan metode CBD memiliki stoikiometri yang tinggi dan resistansi dark yang tinggi.

(29)

jika menggunakan metode penumbuhan dengan CBD. Selain itu, penggunaan complexing agent juga dapat mempengaruhi sifat fisis CdS. Penambahan complexing agent ammonium dapat memperbesar jumlah cadmium sulfida yang terbentuk dibanding molekul pengotor lainnya (Malinowska et al. 2005).

Suhu annealing mempengaruhi ukuran kristal, sifat optik dan sifat listrik film CdS. Jika film CdS dianneling pada suhu kamar atau pada suhu rendah maka akan terdapat molekul pengotor lain yang terbentuk seperti Cadmium sianida (CdSN) (Gambar 5) (Haider 2008).

K.R. Murali et al. (2007) menunjukkan bahwa ukuran kristal CdS

meningkat jika CdS dideposisi pada suhu yang semakin tinggi. Karena ukuran kristalnya berbeda, maka energi gapnyapun berbeda (Gambar 6). Doping CdS dengan unsur pada golongan IIIA seperti aluminum, indium, boron, dan galium dapat dilakukan untuk mengubah sifat listrik dan gap energi CdS. Pola difraksi XRD yang diperoleh ketika CdS didoping Boron tidak terlihat adanya puncak baru yang menunjukkan bahwa ion B3+ tidak mengubah kristal CdS. Semakin besar perbandingan konsentrasi Galium dan Cadmium maka energi gap CdSpun berubah. Ion Ga3+ mungkin malah menggantikan ion Cd2+. Hasil foto SEM menunjukkan morfologi CdS doping Galium tidak mengalami perubahan (Khallaf et al. 2009). Selain itu pula dilakukan doping dengan unsur golongan IIIA lainnya yaitu Boron dan diperoleh hasil yang sama (Khallaf et al. 2009).

(30)

Gambar 6 Energi gap film CdS doping Galium sebagi fungsi perbandingan [Ga]/[Cd] (Khallaf et al. 2009)

2.3 Polytiophene

Polimer tiophene relatif stabil di udara bebas maupun di lingkungan air dan memiliki mobilitas hole yang tinggi (Lin 2005). Polythiophene dapat dibuat dari monomer 3-methylthiophene secara klasik maupun elektrokimia. Thiophene merupakan salah satu polimer konduktif jenis aromatik heterocylic yang hampir mirip dengan pyrrole. Rumus kimianya adalah C4H4S, dimana sulfur merupakan heteroatom. Polimer poly3-heksiltiophene merupakan turunan dari polytiophene. Struktur polimer poly3-heksiltiophene ditunjukkan pada Gambar 9.

(31)

2.4 Kitosan

Kitosan merupakan bahan dasar suatu polielektrolit yang mengandung gugus amina dan gugus hidroksil, yang banyak digunakan sebagai bahan molekul transpor aktif suatu anion dalam larutan. Kitosan memiliki sifat mudah terdegradasi, biokompetibel dan tidak beracun. Sifat-sifat kitosan dihubungkan dengan adanya gugus amina dan kardoksil yang terikat. Adanya gugus tersebut menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang baik dan penyumbang sifat elektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai amino exchange. Gambar 8 menunjukkan struktur kitosan.

Gambar 8 Struktur Kitosan (Hirano 2000)

2.5 Sel Surya

Pada sekitar akhir abad 19, aliran listrik surya diketemukan oleh ahli fisika Jerman bernama Alexandre Edmond Becquerel secara kebetulan dimana berkas sinar matahari jatuh pada larutan elektro kimia bahan penelitian, sehingga muatan elektron pada larutan meningkat. Pada awal abad 20, Albert Einstein menamakan penemuan ini dengan ‘photoelectric effect’, yang kemudian menjadi pengertian dasar pada ‘photovoltaic effect’, dimana selempeng metal melepaskan ‘photon’ partikel energi cahaya ketika terkena sinar matahari.

(32)

Tahun 1950 - 1960, teknologi disain dan efisiensi sel surya terus berlanjut dan diaplikasikan ke pesawat ruang angkasa (photovoltaic energies). Tahun 1970-an, dunia menggalakkan sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan, maka PV mulai diaplikasikan ke ‘low power warning systems’ dan ‘offshore buoys’ (tetapi produksi PV tidak dapat banyak karena masih “handmade”). Baru pada tahun 1980-an, perusahaan-perusahaan PV bergabung dengan instansi energi pemerintah agar dapat lebih memproduksi PV sel dalam jumlah besar, sehingga harga sel surya dapat serendah mungkin.

Sel surya diproduksi dari bahan semikonduktor yaitu silikon berperan sebagai isolator pada temperatur rendah dan sebagai konduktor bila ada energi dan panas. Sebuah silikon sel surya adalah sebuah diode yang terbentuk dari lapisan atas silikon tipe n (silicon doping of ‘phosphorous’), dan lapisan bawah silikon tipe p (silicon doping of ’boron’) seperti Gambar 9.

Gambar 9 Diagram sebuah potongan Sel Surya (PV sel) (http://rhazio.files.wordpress.com/2007/09/sry2.jpg)

Elektron-elektron bebas terbentuk dari jutaan foton atau benturan atom pada lapisan penghubung (junction = 0.2-0.5 micron4

Pengembangan sel surya semakin banyak menggunakan bahan semikonduktor yang bervariasi dan silikon yang secara individu (chip) banyak digunakan, diantaranya :

) yang menyebabkan terjadinya aliran listrik.

(33)

b. Polycrystalline/Multi-crystalline (Si), dibuat dari peleburan silikon dalam tungku keramik, kemudian pendinginan perlahan untuk mendapatkan bahan campuran silikon yang akan timbul di atas lapisan silikon. Sel ini kurang efektif dibanding dengan sel mono-crystalline (efektivitas 18%), tetapi biaya pembuatannya lebih murah.

c. Gallium Arsenide (GaAs). Galium Arsenide pada unsur periodik III-V berbahan semikonduktor ini sangat efisien dan efektif dalam menghasilkan energi listrik sekitar 25%. Banyak digunakan pada aplikasi pemakaian sel surya (Rahardjo 2008).

Sampai saat ini modul sel surya komersial memiliki efisiensi berkisar antara 5 hingga 15 persen tergantung material penyusunnya. Tipe silikon kristal merupakan jenis piranti sel surya yang memiliki efisiensi tinggi meskipun biaya pembuatannya relatif lebih mahal dibandingkan sel surya jenis lainnya. Tipe modul sel surya inilah yang banyak beredar di pasaran.

Sebenarnya ada produk sel surya yang efisiensinya bisa mencapai 40%, namun belum dijual secara massal. Prestasi ini dicapai oleh DoE yang sudah mengembangkannya sejak awal tahun 1980. Pencapaian efisiensi hingga 40% tersebut dilakukan dengan mengkonsentrasikan cahaya matahari. Teknologi ini menggunakan konsentrator optik yang mampu meningkatkan intensitas cahaya matahari sehingga konversi listriknya pun juga meningkat. Sedangkan pada umumnya teknologi sel surya hanya mengandalkan cahaya matahari alami atau dikenal dengan "one sun insolation" yang hanya mampu menghasilkan efisiensi 12 hingga 18 persen (Suhono 2009).

2.4.1 Sel Surya Persambungan Semikonduktor p-n (Solid State p-n Junction)

Ketika bahan semikonduktor diiluminasi cahaya (misalkan dari cahaya matahari) dengan energi yang lebih besar daripada energi bandgap semikonduktor, maka akan terjadi eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi (Hummel 2001). Dengan kata lain terbentuk pasangan hole-elektron karena elektron meninggalkan hole di pita valensi (Gambar 10).

(34)

dikonversikan menjadi energi listrik. Hanya foton yang mempunyai energi foton cukup (hν>Eg) untuk mengatasi celah energi yang dapat dikonversikan. Dalam pertidaksamaan di atas h adalah konstanta Planck (6,626 x 10-34 J.s.), ν adalah frekuensi foton (Hz) dan Eg

Semakin tinggi intensitas cahaya dengan energi foton hν > E adalah energi celah energi (eV).

g

ε

, maka semakin banyak jumlah foton yang diterima sel surya, sehingga jumlah pasangan elektron dan hole yang dibangkitkan semakin besar. Karena pengaruh medan listrik ( ) maka pembawa muatan bebas (elektron dan hole) yang terdapat di daerah lapisan deplesi akan mendapat gaya listrik sebesar

F = qε (1)

dimana q adalah muatan elektron atau hole (Yani 2008).

Ketika persambungan dihubung singkat (short-circuit) maka pemisahan muatan yang terjadi menyebabkan timbulnya arus pada kawat penghubung (disebut arus hubung singkat, Isc pada Gambar 11a). Ketika kawat penghubung dibuka (open circuit), maka hole akan bergerak dari daerah deplesi menuju sisi p, demikian pula elektron bergerak menuju sisi n menghasilkan perbedaan potensial antara kedua sisi (disebut tegangan open circuit, Voc pada Gambar 11b). Karakteristik arus-tegangan persambungan p-n setelah diiluminasi cahaya didapatkan pada persamaan (4) dikurangi rapat arus short-circuit.

(35)

Gambar 11 Diagram energi pada persambungan p-n ketika diiluminasi cahaya dengan energi foton (hν) yang lebih besar dari bandgap (a) ketika dihubung singkat (short circuit) dan (b) ketika hubung singkat dibuka (open circuit) (Soga 2006)

Jika diasumsikan luas permukaan sel surya adalah satu satuan luas, maka karakteristik arus-tegangan dapat dinyatakan oleh persamaan berikut :

(

)

SC

Ketika dihubung-buka (open circuit), arus yang mengalir I=0, sehingga tegangan open circuit bisa dinyatakan sebagai



(36)

2.5.2 Sel Surya Hibrid

Transpor muatan pada semikonduktor organik bergantung pada kemampuan pembawa muatan untuk melintas dari satu molekul ke molekul lain. Loncatan muatan pembawa dari satu molekul ke molekul lain ditentukan oleh celah energi antara tingkat energi HOMO (high occupied molecule orbital) dan LUMO (lowest unoccupied molecule orbital). Gambar 12 menunjukkan tingkat energi HOMO dan LUMO pada semikonduktor organik. Transpor muatan pada semikonduktor organik lebih ditentukan oleh orbit ikatan π daripada orbit ikatan σ. Hal ini terjadi karena energi eksitasi yang dibutuhkan oleh elektron pada orbital π menuju orbital π* yang lebih kecil dibandingkan dengan elektron yang berada pada orbital ikatan σ.

Bahan semikonduktor organik yang digunakan sebagai lapisan aktif sel surya dapat berbentuk molekul atau polimer konjugat.

Gambar 12 Level energi molekul konjugat-π (eksitasi elektron dari orbital π ke π*)

(37)

mengalami rekombinasi dalam waktu singkat. Pemisahan muatan terjadi pada interface antara molekul donor dan aseptor, yang dimediasi oleh penurunan potensial yang besar. Setelah terjadi foto-eksitasi elektron dari HOMO ke LUMO, elektron dapat melompat dari LUMO donor (bahan dengan LUMO yang tinggi) ke LUMO aseptor jika terdapat perbedaan potensial ΔΦ antara potensial ionisasi donor dan afinitas elektron aseptor yang lebih besar dari energi ikat eksiton (Gambar 13). Proses ini disebut sebagai transfer muatan terfotoinduksi, dapat mempermudah mobilitas muatan bebas jika hole tertinggal pada donor karena tingkat HOMOnya yang lebih besar. Sebaliknya, jika HOMO aseptor lebih besar, transfer eksiton sepenuhnya terjadi pada bahan dengan bandgap kecil yang disertai dengan kehilangan energi.

Pemisahan eksiton yang efisien pada heterojunction, bahan donor dan aseptor sangat berhubungan. Skala jarak optimum berhubungan dengan panjang difusi eksiton, besarnya sekitar dalam skala nanometer. Selain itu, ketebalan lapisan aktif harus sebanding dengan panjang penetrasi cahaya dimana pada semikonduktor organik, nilainya berkisar antara 80–200 nm (Kietzke 2007).

Gambar 13 Interface antara dua semikonduktor polimer yang berbeda (D = donor, A = aseptor) yang dapat memfasilitasi transfer muatan oleh pemisahan eksiton atau transfer energi, dimana semua eksiton ditransfer dari donor ke aseptor (Keitzke 2007)

(38)

yang dapat dipisahkan secara efektif tetapi juga memiliki dua saluran yang terpisah untuk transport elekron dan hole, yaitu masing-masing semikonduktor nanorod dan lapisan polimer (Yang et al. 2006).

Kajian tentang sel surya hibrid organik-inorganik heterojunction diawali dengan fotovoltaik organik berbasis molekul-molekul kecil, kemudian diikuti oleh sel fotovoltaik berbasis polimer. Lu et al. (2009) membuat sel surya hibrid dengan menyambungkan CdS dengan polimer poly3-octylthiophene (P3OT) yang merupakan turunan dari polythiophene dan diperoleh efisiensi konversi sebesar 0,015 % dengan intensitas penyinaran 100 mW/cm2. Dari penelitian ini diperoleh rapat arus short circuit yang kecil yang diakibatkan oleh P3OT yang tebal dan mobilitas pembawa muatannya yang rendah. Ketebalan lapisan P3OT ternyata sangat mempengaruhi besarnya ISC dan VOC. Doping bahan HgCl2

Aktifitas fotofoltaik pada persambungan dua semikonduktor organik tipe-n dan semikonduktor anorganik tipe-p telah dilakukan oleh banyak peneliti. S.A. Mohammad (2007) telah meneliti efek fotofoltaik pada persambungan ZnTe dan polimer konduktif (PEO/polyethilene oxide-kitosan). Di dalam polimer itu ditambahkan larutan NH

pada CdS mengubah energi gap CdS dan meningkatkan konduktifitas listrik lapisan tipis (Salinas et al. 2006).

(39)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 - Juni 2011 di Laboratorium Biofisika dan Laboratorium Fisika Lanjut, Departemen Fisika IPB. Karakterisasi XRD dan SEM dilakukan di Litbang Kehutanan, Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hot plate, magnetic stirrer, stirrer, pipet, tabung reaksi, gelas kimia, furnace, spektroskopi UV-Vis, LCR Meter model HIOKI 3522-50 HiTESTER, Interface Scientific Workshop 750 (PASCO), Photometer PMA2200, lampu MHF M1102, SEM Zeiss EVO-50, Shimadzu XRD-7000 MAXIMA, gelas ukur dan neraca analitik sedangkan bahan yang digunakan adalah kaca TCO, cadmium klorida (CdCl2), thiourea (CS(NH2)2), TEA, polietilenglikol (PEG), asam borat (H3BO3), kitosan, poly3-heksiltiophene (P3HT), amonium hidroksida (NH4OH), asam asetat, dan akuades.

3.3 Metode Pembuatan dan Karakterisasi

3.3.1 Pembuatan Lapisan Tipis CdS

Lapisan tipis CdS (bahan semikonduktor tipe-p) dibuat dengan metode CBD (Chemical Bath Deposition). Dengan metode ini, film terdeposisi pada substrat dengan mencelupkan substrat ke dalam larutan yang mengandung ion-ion Cd2+ dan ion-ion sulfida S

2-Bahan-bahan yang digunakan adalah CdCl

sambil dipanaskan serta diaduk. Metode pembuatan CdS ini diadopsi dari metode yang telah dilakukan oleh Eitssayeam et al. (2005) dengan memodifikasi beberapa hal seperti konsentrasi larutan dan waktu deposisi.

(40)

pengkompleks (complexing agent), air destilasi dan TEA sebagai stabiliser agar larutan tidak cepat mengendap.

Skema metode CBD ditunjukkan pada Gambar 14, terdiri dari dua gelas piala dengan ukuran berbeda. Salah satunya berukuran kecil sehingga dapat dimasukkan ke dalam gelas yang lebih besar. Gelas yang kecil diisi larutan deposisi, kemudian dimasukkan ke dalam gelas lebih besar yang diisi air. Sebelumnya, pada dinding sebelah dalam gelas kecil ditempel beberapa substrat kaca dengan ukuran tertentu (misalnya 1 x 2 cm2). Selanjutnya, kedua gelas diletakkan di atas pemanas (hot plate) yang dilengkapi pengaduk magnetik (magnetic stirrer).

(41)

Gambar 14 Skema deposisi CBD

3.3.2 Karakterisasi Lapisan Tipis CdS

Agar ketebalan film yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan untuk membuat sel surya hybrid, maka perlu dilakukan optimasi dalam proses deposisi. Optimasi yang harus dilakukan pada kondisi deposisi, meliputi konsentrasi larutan-larutan yang digunakan, temperatur deposisi dan waktu deposisi.

Sampel-sampel lapisan tipis CdS yang berhasil ditumbuhkan dengan metode CBD selanjutnya dikarakterisasi dengan XRD dan spektroskopi UV-Vis. Karakterisasi XRD dilakukan untuk memastikan CdS telah tumbuh pada substrat serta untuk mengetahui struktur kristal CdS. Pola-pola difraksi berupa puncak-puncak karakteristik orientasi kristal CdS, digunakan untuk menentukan parameter kisi dan ukuran kristal. Uji Spektroskopi UV-VIS ditujukan untuk mengetahui sifat optik lapisan CdS hingga dapat ditentukan nilai celah energinya. Selanjutnya diuji konduktansi dan resistansinya dengan menggunakan

Sedangkan, waktu deposisi ditujukan untuk mendapatkan ketebalan lapisan CdS yang diinginkan.

LCR Meter model HIOKI 3522-50 HiTESTER.

Hotplate Stirrer Termometer

Substrat

Stirrer Larutan deposisi

(42)

Sifat optik lapisan tipis CdS yang dibuat dengan metode CBD diukur pada temperatur ruang dengan menggunakan Spektrometer Ocean Optic 2000 dengan

range panjang gelombang 200 -1000 nm. Analisis gap energi dilakukan secara manual dengan menggunakan kurva absorbansi sehingga dapat diketahui panjang gelombang terbesar yang diserap oleh bahan dengan menggunakan metode tepi absorbansi (absorbance edge). Dari data panjang gelombang itu dapat diketahui

besarnya gap energi dengan menggunakan persamaan berikut:

λ

c h

Eg = (5)

dengan Eg adalah gap energi (eV), h adalah konstanta Planck (6,63 x 10-34 Js), c

adalah kecepatan cahaya di udara (3 x 108) dan λ adalah panjang gelombang (nm). Dimana 1 eV = 1,6 x 10-19

3.3.3 Pembuatan Lapisan Tipis P3HT-Kitosan

J.

(43)

3.3.4 Pembentukan Junction CdS/P3HT-Kitosan

Lapisan tipis P3HT-kitosan (bahan semikonduktor organik tipe-p) yang dihasilkan dari proses sebelumnya selanjutnya dideposisi di atas permukaan lapisan CdS dengan metode drop casting. Setelah itu, di atas polimer tersebut dilapisi dengan ITO.

CdS adalah bahan semikonduktor inorganik tipe-n, sedangkan P3HT-kitosan adalah bahan semikonduktor organik dengan tipe-p. Pada sistem sel surya Polythiophene/CdS, lapisan polythiophene sebagai lapisan aktif yang berfungsi menangkap energi cahaya (foton) sedangkan lapisan CdS sebagai lapisan jendela. Diharapkan kontak dua bahan dengan fasa berbeda (organik dan inorganik) ini akan membentuk persambungan (junction) semikonduktor yang sangat menentukan dalam aksi dioda sel surya. Pembentukan junction CdS/P3HT-kitosan ini dijelaskan berikut ini. Mula-mula lapisan tipis CdS dideposisikan pada substrat kaca ITO dengan metode CBD (Chemical Bath Deposition), kemudian lapisan tipis P3HT-kitosan dideposisikan di atas permukaan CdS dengan metode drop casting. Substrat kaca ITO disisakan sedikit (tanpa lapisan CdS/P3HT-kitosan) untuk tujuan kontak arus. Terakhir dilengkapi lapisan kontak di atas permukaan ITO dan di atas permukaan lapisan P3HT-kitosan (Gambar 15).

Gambar 15 Struktur Junction CdS/P3HT-Kitosan Kontak

Kontak

Substrat kaca

Substrat kaca

ITO ITO

Polimer

CdS

(44)

3.3.5 Uji Performans

(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Polimer P3HT-Kitosan

4.1.1 Karakteristik Optik P3HT

Poly3-hexylthiophene (P3HT) yang memiliki berat molekul 65,5 gram/mol ini merupakan semikonduktor organik tipe-p yang mendapat perhatian sangat besar saat ini karena polimer ini memiliki mobilitas hole yang tinggi jika digunakan sebagai material semikonduktor. Mobilitas hole P3HT sebesar 3.8 3.9 x 10-4 cm2/Vs (Yang et al. 2007). Penggunaan material ini juga sangat sederhana, mudah dilarutkan dan konduktif. Karena alasan inilah maka P3HT dapat digunakan pada banyak aplikasi. Selain itu polimer ini relatif stabil terhadap perubahan temperatur dan kondisi lingkungan. Penggunaan polimer juga dapat mengatasi masalah pada semikonduktor inorganik yang efektibilitas dan stabilitasnya yang rendah. Polimer organik memiliki gap yang lebih lebar dibandingkan dengan semikonduktor. Hal ini merupakan hal yang sangat mendukung untuk digunakan dalam aplikasi sel surya.

(46)

Gambar 16 Absorbansi dan Transmitansi P3HT

4.1.2 Konduktifitas Polimer Kitosan-P3HT

Kitosan merupakan biopolimer yang memiliki atom untuk menyumbangkan elektron dalam bentuk atom oksigen dan nitrogen. Dalam penelitian ini, polimer yang digunakan merupakan campuran antara P3HT dengan kitosan dimana penambahan kitosan diharapkan dapat menambah pembawa muatan mayoritas P3HT yaitu muatan positif (Mohamad et al. 2007). Gambar 17 menunjukkan besarnya konduktansi dan resistansi P3HT-kitosan. Dimana karakteristik ini merupakan salah satu karakteristik penting yang sangat dibutuhkan karena dalam sebuah sel surya, bagian yang paling berperan dalam penyerapan foton adalah bagian polimernya. Jadi polimer harus memiliki mobilitas hole yang besar yang berkaitan langsung dengan konduktifitas bahan.

(47)

Nilai konduktifitas menyatakan kemampuan film menghantarkan ion/ proton. Semakin besar nilai konduktifitas berarti kemampuan film dalam menghantarkan elektron juga semakin besar. Pada penelitian ini, pengukuran konduktifitas dan impedansi dilakukan dengan memvariasikan frekuensi dari 100- 5 kHz. Konduktifitas makin meningkat dengan meningkatnya frekuensi sedangkan nilai impedansi malah sebaliknya yakni semakin besar frekuensi maka nilai impedansi makin kecil. Hal ini sesuai dengan Hukum Ohm sebagai berikut.

R I

V = (6)

dengan V = tegangan listrik (V), I = arus (A) dan R = hambatan (Ω). Nilai tegangan listrik itu sendiri sangat dipengaruhi oleh besarnya frekunsi berdasarkan persamaan:

t V

V = makssinω dimana ω = 2µ f dengan f = frekuensi.

Dari persamaan di atas terlihat bahwa semakin besar frekuensi maka makin besar pula tegangan yang dihasilkan. Nilai konduktifitas berbanding terbalik dengan hambatan sesuai dengan persamaan di bawah ini sehingga semakin kecil nilai hambatan maka nilai konduktifitasnya semakin besar.

R

G = 1 (7)

Impedansi sebanding dengan hambatan sehingga persamaan konduktifitas daat dirumuskan:

Z

G = 1 (8)

Sehingga konduktifitas berbanding terbalik dengan impedansi.

Besarnya hambatan (resistansi) suatu bahan dipengaruhi oleh ketebalan bahan (l), hambatan jenis bahan (ρ), dan luas penampang bahan (A). Secara matematis, hubungan ketiga faktor tersebut dapat dituliskan sebagai berikut.

A

Konduktifitas merupakan kebalikan dari hambatan jenis atau resistivitas sehingga untuk menghitung besarnya konduktifitas digunakan persamaan berikut.

(48)

Keterangan:

Dari hasil pengukuran diketahui bahwa ketebalan P3HT-kitosan adalah 0,135 mm dengan luas penampang 1,3 cm2. Tabel berikut menunjukkan besar konduktifitas berdasarkan frekuensi dengan menggunakan data resistansi bahan. Dari data terlihat bahwa besarnya konduktifitas polimer P3HT-kitosan berkisar antara 3,84791 sampai 6,55162 x 10-7 S/m dimana merupakan fungsi frekuensi. Dari nilai konduktifitas ini diketahui bahwa polimer ini merupakan bahan semikonduktor (untuk semikonduktor σ = 10-8 – 104

Frekuensi (Hz)

S/cm).

Tabel 2 Konduktifitas Polimer P3HT-Kitosan

Z x 106 (Ω) ρ x 106 (Ωm) σ x 10-7 (S/cm)

4.2 Karakteristik Film Tipis CdS

4.2.1 Proses Deposisi Film CdS

(49)

dihasilkan memperlihatkan morfologi dan konduktifitas yang baik seperti tingkat kekasaran film dan densitas pinhole (kekosongan) jika dibandingkan dengan film yang dihasilkan dengan menggunakan metode pendeposisian yang lain.

Dalam penelitian ini, metode CBD digunakan untuk menumbuhkan film tipis CdS dengan menggunakan cadmium klorida (CdCl2) sebagai sumber ion cadmium (II) (Cd2+) dan thiourea sebagai sumber ion sulfur (S2-). Selain itu, amonium (NH4OH) digunakan sebagai larutan buffer untuk mempertahankan pH selama pendeposisian dilakukan dan untuk mengontrol kecepatan reaksi.Selain itu, konsentrasi NH4OH juga dapat mempengaruhi seberapa banyak CdCl2 yang terhidrolisis dalam air. Sedangkan TEA digunakan agar larutan yang dihasilkan tidak cepat mengendap.

Film CdS yang dibuat dengan menggunakan metode Chemical Bath Deposition (CBD) memiliki stoikiometri yang tinggi dan menunjukkan resistansi dark yang tinggi pula. Selain itu, metode ini dipilih agar menghasilkan film yang lebih transparan karena dalam penelitian ini CdS digunakan sebagai window layer sehingga cahaya matahari yang jatuh pada film tipis ini dapat menembus lapisan di bawahnya. Kondisi penumbuhan CdS pada ITO telah dioptimasi baik dalam hal temperatur deposisi, lama deposisi dan kecepatan putarnya. Pada saat awal, dilakukan deposisi pada suhu 30oC selama 30 menit dengan kecepatan putar 300 rpm. Pada saat deposisi ini hanya dimasukkan sumber ion Cd dan S-nya saja. Setelah itu, deposisi dilanjutkan dengan penambahan amonim hidroksida dan TEA. Deposisi ini dilakukan selama 2 jam pada temperatur 70o

Tahapan pembentukan CdS terbagi dalam 3 tahapan yaitu tahap awal proses nucleation center, pembentukan ion per ion (mekanisme heterogen) dan pembentukan cluster per cluster (mekanisme homogen) (Mahdi et al. 2009). Proses nucleation center merupakan proses pembentukan ion Cadmium dan ion sulfur baik itu pada permukaan substrat maupun dalam larutan bath. Pembentukan CdS ion per ion menghasilkan CdS dengan morfologi yang sangat baik

(50)

dibandingkan jika yang terjadi adalah cluster per cluster. Mekanisme ion per ion ini terjadi pada pH sekitar 12. Sedangkan cluster per cluster terjadi dalam larutan dengan pH sekitar 10,5 bahkan pada pH 10, tidak ada CdS yang menempel pada permukaan substrat namun hanya membentuk koloid dalam larutan bath dan khususnya pada substrat yang menyebabkan terbentuknya film dengan derajat kristalinitas yang rendah (Pentia et al. 2000).

Dalam penelitian ini, terlihat pembentukan CdS dengan mekanisme homogen yang ditandai dengan banyaknya terdapat endapan yang menunjukkan terbentuknya koloid dalam larutan bath yang berwarna kekuning-kuningan. Akibatnya akan mempengaruhi struktur kistal CdS yang terbentuk dimana jika dibandingkan kedua mekanisme pembentukan CdS tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari segi struktur CdS yang dihasilkan akan lebih baik dibanding jika terjadi makanisme homogen. Kristalinitas CdS yang dihasilkan oleh mekanisme heterogen lebih baik jika dibandingkan dengan mekanisme homogen.

Lama deposisi dan temperatur deposisi mempengaruhi karakteristik fisik CdS yang dihasilkan. Jika deposisi dilakukan selama kurang dari 2 jam maka film yang dihasilkan sangat tipis. Sebaliknya jika deposisi dilakukan selama lebih dari 2 jam maka film yang dihasilkan akan semakin tebal. Film yang tebal tidak cocok digunakan sebagai window layer dalam sel surya karena cahaya matahari yang mengenai sel surya tidak akan menembus sampai pada junction. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan pendeposisian selama 2 jam. Berkaitan dengan dua mekanisme yang dijelaskan sebelumnya, jika deposisi dilakukan dalam jangka waktu yang lama maka semakin banyak cluster CdS yang menempel pada permukaan sampel sehingga akan menghasilkan morfologi film yang kurang baik.

(51)

Mekanisme pembentukan CdS tergantung pada prekursor yang digunakan dalam pembentukan CdS. Baik itu pemilihan sumber ion cadmium (Cd2+) maupun sumber ion sulfurnya (S2-).

Pembentukan CdS dengan menggunakan metode CBD, dapat dibuat dalam larutan yang bersifat basa dan harus terjadi hidrolisis thiourea di dalamnya. Pembentukan CdS dalam penelitian ini digunakan NH4OH yang berperan sebagai sumber basa dan agen pengkompleks untuk ion cadmium. Pembentukan ion kompleks diawali dengan terbentuknya Cd(OH)2 yang berupa endapan dengan reaksi sebagai berikut

CdCl2 + 2NH4OH → Cd(OH)2 + 2NH4Cl

Endapan Cd(OH)2 yang berwarna putih dapat bereaksi dengan larutan amonia sehingga dapat terbentuk ion kompleks [Cd(NH3)4]2+ dengan reaksi:

Cd(OH)2 + 4NH4OH → [Cd(NH3)4](OH)2 + 4H2O

Ion kompleks yang terjadi [Cd(NH3)4](OH)2 memiliki atom pusat Cadmium dan ligan [(NH3)4(OH)2]. Endapan Cd(OH)2 yang terjadi memiliki pH sekitar 8 dan ketika senyawa ini bereaksi dengan amonia maka pHnya berubah sekitar 11. Ion kompleks [Cd(NH3)4](OH)2 dapat terurai kembali menjadi

[Cd(NH3)4](OH)2 → [Cd(NH3)4]2+ + 2OH

-Selanjutnya dalam larutan terjadi dekomposisi ion kompleks tetramine [Cd(NH3)4]2+ sesuai dengan reaksi berikut ini

[Cd(NH3)4]2+ → Cd2+ + 4NH3

Sedangkan hirolisis thiourea itu sendiri terjadi dalam larutan yang bersifat basa dimana terjadi generasi ion S2- :

(NH2)2CS + 2OH- → S2- + CN2H2 + H2O

Ion cadmium yang dihasilkan dari dekomposisi ion kompleks tetramin selanjutnya bereaksi dengan ion S2- untuk membentuk CdS sebagai berikut.

Cd2+ + S

2-CdS secara luas digunakan sebagai material window pada sel surya karena memiliki bandgap yang lebar (2,42 eV), bersifat fotokonduktifitas, dan memiliki afinitas elektron yang tinggi. Sifat transparan film CdS juga yang mendukung digunakannya CdS sebagai material sel surya. Gap energi CdS dapat

(52)

ubah sesuai dengan prekursor yang digunakan dan dapat pula dilakukan dengan penambahan doping dari golongan IIIA dalam sistem periodik unsur.

Secara umum, CdS memiliki dua fase yaitu fase kubik yang merupakan fase metastabil dan fase heksagonal yang merupakan fase yang stabil pada temperatur ruang. Selain itu dalam beberapa literatur menunjukkan struktur CdS yang lainnya yaitu orthorombik (Jafari et al. 2010). Proses annealing secara khusus dapat mengubah fase CdS dari kubik menjadi heksagonal. Jika film dipanasi pada suhu di atas 300 oC, maka fase CdS akan mengalami fase transisi dari fase kubik menjadi fase heksagonal. Namun tidak semua fase kubik berubah menjadi fase heksagonal tetapi hanya sebagian saja (Mahdi et al. 2009).

Jika garam cadmium (CdSO4) digunakan sebagai prekursor, maka film yang terbentuk strukturnya kubik dan heksagonal dan pemanasan film CdS pada suhu 450 oC selama 2 jam tidak mempengaruhi struktur kristal CdS. Penelitian lainnya menemukan bahwa film CdS dengan fase kubik berubah menjadi fase heksagonal jika diannealing pada temperatur 300 oC selama 30 menit dengan disertai dengan pembentukan cadmiun oksida (CdO). Annealing pada suhu 350o

4.2.2 Karakteristik Optik CdS

C selama 15 menit meningkatkan spasi interplanar film.

a. CdS Tanpa Doping

(53)

besar yaitu 20 – 70% di daerah cahaya tampak. Pita absorbsi yang cukup landai menunjukkan tingkat kristalinitas film yang rendah (Lesmana, 2009).

Gambar 18 Absorbsi film tipis CdS dengan temperatur annealing yang berbeda

Tabel 3 Gap energi CdS berdasarkan temperatur annealing Temperatur Annealing (oC) Gap Energi (eV)

Tanpa Annealing

200 300 400

2,49 2,44 2,393 2,390

(54)

b. CdS Doping Boron

Dari penelitian sebelumnya oleh diketahui bahwa CdS yang dibuat dengan metode ini memiliki resistivitas dark sebesar 1,03 x 102 Ωcm. Selanjutnya diperoleh bahwa besarnya resistivitas dark CdS bergantung pada prekursor Cd yang digunakan dan stoikiometri film. CdS-CBD yang memiliki resistivitas dark yang rendahlah yang banyak dimanfaatkan terutama untuk diaplikasikan dalam sel surya.

Oleh karena itu salah satu cara untuk mereduksi resistivitas dark CdS yang besar adalah dengan in situ doping boron terhadap CdS. Telah banyak penelitian yang melakukan doping terhadap CdS terutama doping tersebut berasal dari golongan IIIA seperti Al, Cu, Li, Ni dan Ag.

Doping Boron terhadap CdS dilakukan dengan penambahan asam borat (H3BO3) ketika dilakukan proses CBD. Penambahan asam borat dilakukan 5 menit setelah CBD dimulai. Penambahan asam borat dilakukan dengan konsentrasi yang sekecil mungkin. Karena penambahan konsentrasi asam borat yang besar akan mempercepat proses deposisi yang nantinya akan menghasilkan morfologi CdS yang kurang baik yakni berpori, film yang dihasilkan sangat tipis dan menghasilkan bubuk yang banyak yang akan menghalangi proses deposisi. Banyaknya asam borat yang ditambahkan bergantung pada massa CdCl2. Dalam penelitian ini dilakukan 3 variasi penambahan asam borat yakni 4%, 6% dan 8% wt.

(55)

Gambar 19 Absorbsi CdS doping Boron 4% wt

Gambar 20 Absorbsi CdS doping Boron 6% wt

(56)

Dari hasil analisis bandgap terlihat bahwa terjadi perubahan gap energi. Tabel 4 menunjukkan perubahan gap energi yang terjadi ketika diberikan doping Boron dengan jumlah doping dan temperatur annealing yang berbeda. Gap energi ini diperoleh dengan menggunakan persamaan (5). Makin banyak jumlah doping, gap energinya makin kecil. Dipercaya bahwa dengan penambahan Boron, maka terjadi penambahan jumlah ion B3+ pada film sama dengan terjadi pengurangan jumlah sulfur yang meningkatkan level donor pada bandgap CdS.

Akibat peningkatan konsentrasi ion B3+

Jumlah Doping (%)

, yang juga meningkatkan penurunan jumlah sulfur, level donor menurun dan mendekati pita konduksi CdS yang menyebabkan bandgap semakin lebar (Khallaf 2009). Semakin besar gap maka semakin seditik jumlah elektron yang dapat mencapai level pita konduksi. Atau diperlukan energi yang lebih besar untuk mengeksitasi elektron pada pita konduksi. Pemberian doping Boron dalam jumlah yang sedikit tidak mengganggu molekul lainnya yang terbentuk. Jika Boron mengganggu pembentukan senyawa dalam proses CBD maka dapat dipastikan jumlah CdS yang terbentuk akan semakin sedikit karena Boron akan menggantikan posisi ion Cadmium.

Tabel 4 Gap Energi CdS berdasarkan jumlah doping Boron dan Suhu Annealing

Suhu Annealing (oC) Eg (eV)

4 Tanpa Annealing

200

6 Tanpa Annealing

200

8 Tanpa Annealing

200

(57)

Gambar 22 Grafik perubahan gap energi film CdS berdasarkan jumlah doping

Telah diketahui bahwa CdS merupakan semikonduktor tipe-n dimana pembawa muatan mayoritasnya adalah elektron. Jadi ketika didoping dengan Boron yang bermuatan positf maka akan menaikkan level donor semakin mendekati pita konduksi sehingga dapat memperbesar gap energi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khallaf (2007) yang juga memberikan doping Boron terhadap CdS. Namun, pemberian doping Boron ke dalam larutan CBD pada jumlah yang sangat sedikit. Khallaf mengemukakan bahwa pemberian doping Boron dalam jumlah banyak akan mempengaruhi reaksi yang terjadi dalam larutan bath. Karena paramter utama dalam proses CBD adalah konsentrasi NH4OH yang diberikan di mana senyawa ini dapat memisahkan ion Cd2+ dari CdCl2 melalui pembentukan ion kompleks. Jadi dengan penambahan asam borat yang cukup banyak dapat mempengaruhi kinerja basa (NH4OH).

(58)

4.2.3 Struktur Film Tipis CdS

Dengan menggunakan metode preparasi yang berbeda, CdS dapat hadir dalam tiga struktur kristal: hexagonal (wurtzite), kubik (zincblende) dan campuran keduanya. Selain fase yang terakhir tersebut, dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa film tipis CdS yang dihasilkan memiliki kedua fase tersebut jika dibuat dengan menggunakan metode CBD.

Kadangkala metode CBD yang dilakukan pada temperatur rendah menyebabkan pembentukan fase kubik pada film tipis CdS. Terdapat banyak variabel yang mempengaruhi struktur kristalnya termasuk karakteristik dari sumber ion cadmium dan sulfurnya, substrat yang digunakan dan bahkan proses stirringnya. Lee (2009) mengemukakan bahwa substrat yang digunakan mempengaruhi fase struktur film tipis CdS-CBD. Substrat yang berbeda menghasilkan fase kubik dan heksagonal tapi jika digunakan substrat kaca akan menghasilkan CdS dengan fase heksagonal yang sesuai dengan hasil penelitian ini. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa konsentrasi amonium yang rendah dalam larutan menyebabkan terbentuknya fase wurtzite karena Cd(OH)2

Kode Film Tipis

akan membentuk suspensi (tidak terlarut secara keseluruhan) (Mahdi et al. 2009).

Pengukuran dengan X-Ray Diffraction (XRD) Shimadzu XRD-7000 Maxima menggunakan panjang gelombang Cu sebesar 1,5406 Å. Kristalografi CdS dapat diamati dengan menggunakan teknik difraksi sinar X. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa CdS hadir dalam dua bentuk fase kristal, yaitu heksagonal dan kubik. Berikut ini adalah kode film tipis CdS berdasarkan jumlah doping.

Tabel 5 Kode film tipis CdS yang diXRD Keterangan Y1

Y2 Y3 Y4

Doping 0% wt, tanpa annealing

Doping 4% wt, tanpa annealing

Doping 6% wt, tanpa annealing

Doping 8% wt, tanpa annealing

(59)

berdasarkan besarnya intensitas secara berturut-turut terbaca pada 27,0228o dan 25,7147o. Dari data Join Committee Power Diffraction Standard (JCPDS) No. 80-006 untuk cadmium sulfida diketahui bahwa pada 2θ 25o dan 27o merupakan CdS dengan struktur heksagonal. Dari data XRD yang dihasilkan menunjukkan bahwa CdS telah tumbuh pada permukaan ITO. Sedangkan sudut 21o

θ β

λ cos k D =

merupakan sudut difraksi untuk ITO. Permukaan ITO muncul pada pola XRD dapat disebabkan karena film CdSnya yang terlalu tipis.

Ukuran kristal (crystalline size) sampel film tipis CdS diperoleh dengan menggunakan persamaan Scheerer (Dumbrava et al. 2010, Dwivedi 2010) sebagai berikut.

Dengan k adalah konstanta sebesar 0,89; λ adalah panjang gelombang sumber sinar-X (dalam hal ini Cu Kα sebesar 1,54 Å atau 15,4 nm) dan β adalah lebar setengah puncak difraksi atau Full Width Half Maximum (FWHM) dan θ adalah sudut difraksi (rad). Nilai β yang digunakan adalah nilai-nilai puncak maksimum dan minimum yang dimiliki oleh fase kubik atau heksagonal CdS.

Gambar 23 Pola XRD film Y1

Perhitungan dengan menggunakan persamaan Scheerer didapatkan ukuran kristal CdS berdasarkan besarnya intensitas masing-masing sebesar 0,040418 µm dan 0,031007 µm. Dengan rata-rata ukuran kristal sebesar 0,03527125 µm.

H H

(60)

Karena fase CdS yang dihasilkan adalah heksagonal maka panjang kisi a = b = 4,121 Å dan panjang kisi c = 6,682 Å. Sedangkan besar sudut α = β = 90o dan γ = 60o.

Karena fase CdS yang terbentuk adalah heksagonal maka tidak terjadi perubahan struktur CdS walaupun diannealing pada suhu 200, 300 dan 400oC selama 1 jam. Annealing hanya dapat mengubah ukuran kristal tanpa mengubah fasenya yang juga dapat mempengaruhi besarnya gap energi (Tabel 1). Perubahan ukuran kristal dapat disebabkan oleh penguapan sulfur pada suhu di atas 200oC. Intensitas difraksi yang rendah menunjukkan struktur amorf lebih mendominasi film dibandingkan kristalnya.

Pola intensitas XRD untuk CdS dengan doping 4% wt ditampilkan pada Gambar 25. Dari data pola XRD pada gambar 24 di atas terlihat bahwa CdS terdeteksi pada puncak 2θ berdasarkan besar intensitas masing-masing pada 30,9355o; 35,8588o dan 44.5081o. Pada 2θ 30,9355o dan 44,5081o menunjukkan CdS fase kubik yang bersesuaian dengan orientasi bidang (200) dan (220). Hal ini sesuai dengan data JCPDS No. 80-0019. Sedangkan fase heksagonal terlihat pada puncak difraksi pada sudut 2θ 35,8588o yang bersesuaian dengan orientasi bidang (102). Dengan menggunakan persamaan Scheerer, ukuran kristalnya sebesar 0,029655 µm dan 0,051004 µm masing-masing untuk fase kubik dan heksagonal. Dimana rata-rata ukuran kristalnya adalah 0,0384927 µm. Dari pola difraksi dapat diketahui bahwa pada CdS ini fase kristalnya didominasi oleh fase kubik. Konstanta kisi CdS fase kubik sebesar 5,811 Å dengan besar sudut α = β = γ = 90o.

(61)

Gambar 24 Pola XRD film Y2

Pola difraksi sinar X untuk film Y3 terlihat pada gambar 26. Terlihat bahwa CdS yang terbentuk masih didominasi oleh fase kubik walaupun banyak puncak lainnya yang memperlihatkan fase heksagonal CdS. Fase heksagonal CdS terdeteksi pada 2θ sebesar 26,0742o; 35,8383o dan 48,9810o yang bersesuaian dengan bidang (002), (102) dan (103). Sedangkan fase kubik terdeteksi pada 2θ sebesar 30,9444o dan 44,4418o yang bersesuaian dengan bidang (200) dan (220). Dengan menggunakan persamaan Scheerer, ukuran kristalnya sebesar 0,03411 µm dan 0,05719 µm masing-masing untuk fase kubik dan heksagonal.

Gambar 25 Pola XRD film Y3

Namun demikian, walaupun diberikan doping Boron sebanyak 8% wt tetapi pola difraksi tidak menunjukkan kehadiran senyawa lainnya selain CdS fase kubik dan heksagonal. Fase kubik terdeteksi pada 2θ sekitar 30,9444o

C

dan

ITO

H C

H ITO

C H

(62)

48,5562o yang bersesuaian dengan bidang (200) dan (103) sedangkan fase heksagonalnya terdeteksi pada puncak pada 2θ sekitar 26,6533o dan 43,4086o yang masing-masing bersesuaian dengan orientasi bidang (002) dan (110). Dengan ukuran kristal rata-rata sebesar 0.03441 µm.

Dari hasil XRD tidak terlihat pula terbentuknya puncak baru misalnya puncak untuk B, BS atau B2S3, hal ini menunjukkan bahwa penambahan doping boron tidak mempengaruhi struktur kristal film CdS. Boron yang diberikan ke dalam larutan bath dapat mengalami dua hal. (1) Boron akan menggantikan posisi ion Cd2+ dalam kristal. Karena radius ion B3+ (0,2Å) lebih kecildaripada radius ion Cd2+ maka ukuran kristal CdS secara keseluruhan akan berkurang. Oleh karena itu, pada struktur kristal CdS hanya terjadi cacat kristal saja namun tidak mempengaruhi morfologinya secara umum. (2) Boron hanya akan berada pada kisi kristal yang berarti ukuran kristal akan semakin besar. Hal ini dapat memperpendek spasi interplanar kristal. Tabel 6 menampilkan ukuran kristal CdS berdasarkan jumlah doping Boron yang diberikan.

Gambar 26 Pola XRD film Y4

Tabel 6 Ukuran kristal CdS tanpa doping dan doping asam borat 4%, 6% dan 8% wt

Jumlah

doping 2θ (deg)/fase β/FWHM (deg)

Ukuran kristal 0% 27,0228 (heksagonal) 0,2 0,040418 4% 30,9355 (kubik) 0,275 0,029655 6% 30,9479 (kubik) 0,26 0,031367 8% 30,9444 (kubik) 0,237 0,03441

C H H

(63)

Boron merupakan unsur metaloid golongan IIIA dalam Sistem Periodik Unsur. Pemberian doping Boron mempengaruhi karakteristik film yang dihasilkan misalnya tingkat kekasaran film. Semakin besar konsentrasi doping Boron yang diberikan maka semakin kasar permukaan filmnya. Walaupun tingkat kekasarannya tidak dapat dilihat secara kasat mata (Eitssayeam et al. 2005). Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa salah satu tujuan pemberian doping Boron adalah untuk menurunkan pH larutan. CdS yang dihasilkan dari larutan prekursor dengan pH sekitar 12 akan menghasilkan CdS dengan fase heksagonal. Jadi dengan penambahan asam borat pada larutan prekursor maka CdS yang dihasilkan didominasi oleh fase kubik walaupun masih ada puncak XRD yang menunjukkan hadirnya fase heksagonal CdS. Semakin rendah pH larutan maka fase CdS yang terbentuk akan bervariasi. Namun untuk menghasilkan CdS dengan kristalinitas yang baik, maka pH larutan harus berkisar antara 12-12,5 (Pentia 2000).

Annealing dapat mempengaruhi struktur film yang dihasilkan. Film yang diannealing pada suhu di atas 300o

4.2.4 Morfologi Film CdS

C akan mengubah fase CdS dari kubik yang metastabil menjadi fase heksagonal yang stabil. Selain itu, terjadi penguapan sulfur pada permukaan sampel sehingga permukaan CdS tersebut akan mengalami oksidasi akibat pengikatan oksigen dari udara.

Karakteristik permukaan film tipis CdS diteliti dengan menggunakan Scanning Electron Mycroscope (SEM) Zeiss tipe EVO-50. Gambar 27 menunjukkan penampang melintang CdS pada permukaan ITO yang dideposisikan pada suhu 70o

Salah satu kekurangan metode CBD adalah terbentuknya pinhole (kekosongan) pada permukaan sampel. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan kadar ion OH

C tanpa pemberian doping Boron dan tanpa annealing.

Gambar

Gambar 6  Energi gap film CdS doping Galium sebagi fungsi perbandingan
Gambar 16 Absorbansi dan Transmitansi P3HT
Gambar 23 Pola XRD film Y1
Gambar 27 Penampang melintang film tipis CdS pada permukaan ITO
+7

Referensi

Dokumen terkait