PENINGKATAN KINERJA
PENGUSAHAAN
HUTAN
ALAM PRODUKSI
MELALUI KEBIJAKSANAAN PENATAAN INSTITUSI
Oleh :
Hariadi Kartodihardjo
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
PERFORMANCE IMPROVEMENT OF
NATURAL FOREST CONCESSION THROUGH INSTITUTIONAL APPROACH
Hariadi Kartodiardjo
(Under supervision of Prof. Dr. Ir. Rudy C . Tarumingkeng, Prof. Dr.
It-.
Dudung Darusman, Dr. Ir. Agus Pakpahan, Dr. Ir. Boen M. Purnama, and Prof. Dr. Ir. Rahardjo S. Suparto)
Abstract
This study is intended to predict the performance of naturzl production forest concession in Indonesia by using institution impact model under consideration that forest concessions is an economic activity. It is found that the institution of the concessions within the last 25 years has not been able to promote sustainable forest management. It contributes about 2.5% annualy to the degradation of natural production forest, which can be considered as a social cost of the system. The cost is driven by fiee riders in the utilization of the forest that give more profit to concession holders and rent seekers nourished by institution weakness. This indicates the need to integrate kee riders and rent seeker in the contribution system in order to achieve the sustainable forest management.
It is proposed to impose policy measure that incorporate standing stocks as concession assets. The policy is implemented in the form of administrative transaction between government and concession holders. On the other hand, the concession holders should be given a bargaining transaction in determining appropriate forest management technology. The holders should be given a full length of concession period and a responsibility to rehabilitate log-over forest. Compensation should be given to the holders in the form of fieedom in determining domestic and foreign market of produced log.
HARIADI KARTODIHARDJO (Nrp. 92532). Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi. (Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rudy C . Tarumingkeng sebagai ketua, Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, Dr. Ir. Agus Pakpahan, Dr. Ir. Boen M. Purnama, Prof. Dr. Ir.
Rahardjo S . Suparto, masing-masing sebagai anggota).
Jika dalam perusahaan pada urnumnya jurnlah barang persediaan (stock)
lebih sedikit daripada jumlah produk yang dihasilkan, dalam pengusahaan hutan
alam produksi jumlah persediaan (growing stock capital) sangat tinggi jika diban-
dingkan dengan jumlah produk (kayu bulat) yang dihasilkan. Dengan demikian,
pengamanan dan pengadaan stock hutan sangat penting. Sementara itu pengetahu-
an untuk menentukan jumlah, pertumbuhan, nilai dan pengamanan stock hutan,
serta menetapkan kebijaksanaan pemanfaatannya memerlukan biaya tinggi (high
transaction cost). Situasi biaya transaksi tinggi menghadirkan perilaku penung-
gangan gratis (f?ee rider).
Tujuan pengusahaan hutan alam produksi belum dapat dicapai, ha1 ini ditun-
jukkan oleh rendahnya prestasi kerja berbagai kegiatan yang harus dilaksanakan
oleh pemegang HPH. Peraturan pengusahaan hutan alam produksi yang telah
ditetapkan melalui mekanisme transaksi administratif seperti tertuang dalam
setiap Swat Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pemberian Hak Pengusahaan
Hutan terbukti tidak efektif dilaksanakan oleh pemegang HPH.
Model imp& institusi digunakan untuk memenuhi kebutuhan memprediksi
kiierja yang dipengaruhi oleh kebijaksanaan penataan institusi. Melalui perban-
dingan institusi antara pengusahaan hutan alam dan pengelolaan hutan tanaman di
P. Jawa dapat ditarik kesimpulan bahwa institusi pengusahaan hutan alam pro-
duksi tidak mengendalikan tetapi justru meningkatkan biaya transaksi. Perbedaan
organisasi. Organisasi HPH cenderung tidak mengembangkan kemampuannya
dalam melaksanakan pengelolaan hutan alam produksi.
Dengan berlakunya institusi pengusahaan hutan alam produksi selama kurang
lebih 25 tahun memberikan indikasi bahwa selama periode tersebut kerugian
yang disebabkan oleh penunggangan gratis dalarn pengusahaan hutan alam pro-
duksi dapat diompensasi oleh keuntungan pemegang HPH sebagai perusahaan
swasta @rivate firm) dan perilaku pencari rente (rent seeking behavior) yang
timbul dari lemahnya institusi. Pembenaran adanya kompensasi tersebut diakibat-
kan karena visi pengusahaan hutan dibangun diatas suatu pengertian bahwa hutan
dibawah penguasaan pemerintah dan pemegang HPH. Proses kalkulasi pengam-
bilan keputusan kurang mengikut-sertakan kepentingan masyarakat luas yang
sebenarnya juga menjadi pemilik hutan.
Untuk memasukkan pemegang HPH sebagai penunggang gratis ke dalam
sistem kontribusi pengarnanan hutan, diadopsi suatu instrumen kebijaksanaan
pengusahaan hutan alam produksi dengan cara memperhitungkan kayu di hutan
sebagai aset pemegang HPH. Dalam pelaksanaannya ditetapkan pemerintah
melalui mekanisme transaksi administratif. Agar kemampuan organisasi HPH berkembang dan dapat mengatasi kondisi ekologis hutan yang spesifik menurut
lokasinya, teknologi manajemen pengelolaan hutan ditentukan melalui mekanis-
me transaksi tawar-menawar antara pemerintah dan pemegang HPH.
Insentif agar pemegang HPH melestarikan produksi kayu di hutan akan
efektif apabila pemegang HPH tidak diperkenankan mengundurkan diri sebelum
masa kontraknya habis, clan disertai kewajiban untuk melaksanakan rehabilitasi
hutan selama waktu kontrak. Untuk mencapai profitabilitas usaha, pemegang
HPH hams dibebaskan menjual kayu bulat yang dihasilkan baik untuk tujuan
PENINGKATAN KINERJA
PENGUSAHAAN HUTAN ALAM PRODUKSI
MELALUI KEBIJAKSANAAN PENATAAN INSTITUSI
Oleh :
Hariadi Kartodihardjo
disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : PENINGKATAN KINERJA PENGUSAHAAN
I HUTAN ALAM PRODUKSI MELALUl
KEBIJAKSANAAN PENATAAN INSTITUSI
Nama Mahasiswa : Hariadi Kartodihardjo
Nomor Pokok : 92.532
Menyetujui :
1. Komisi Pembimbing
-- - Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
(Ketua)
Dr. Ir. Boen M. Purnama Prof. Dr. Ir. ~ a h a r k j d . Suparto
(Anggota) (Anggota)
2. Ketua Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
9----
Prof. Dr. Ir. Zahrial CotoRIWAYAT
HIDUP PENULIS
Penulis dilahiikan di Desa Pesantren, Kabupaten Jombang, Jawa Timur,
24 April 1958, sebagai anak ke dua belas dari dua belas bersaudara dari ayah
K. Kartodihardjo dan Ibu Suntariniigsih.
Menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Ngrawan I, Kecamatan
Tembelang, Kabupaten Jombang tahun 1970, sekolah lanjutan tingkat pertama
SMP Negeri I Jombang tahun 1973, dan sekolah lanjutan atas Sekolah
Menengah Persiapan Pembangunan Jombang tahun 1976. Mengikuti kuliah S 1
di Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1976 dan menyelesaikan Sarjana
Kehutanan tahun 1981. Pendidikan S2 di IPB dengan beasiswa TMPD dan
memperoleh gelar Magister Sains Ilmu Pengetahuan Kehutanan tahun 1989.
Program Pendidikan Doktor di IPB ditempuh sejak tahun 1992, dengan
beasiswa TMPD DepDikbud. Sejak tahun 1993 penulis bergabung sebagai
Anggota Kelompok Kerja Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan sejak 1995
penulis sebagai peneliti lepas di Centre for Internasional Forestry Research
(CIFOR).
Penulis saat ini bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan,
IPB. Isteri penulis Rusti Rushelia, BSc, telah mempunyai tiga orang anak :
Reza Widyananto (13 tahun), Dian Prasetyohadi (8 tahun), dan Lutfi Tri
KATA PENGANTAR
Disertasi berjudul Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi
Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi disusun untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr.
Ir.
Rudy C. Taruming-keng sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, Dr.
Ir. Agus Pakpahan, Dr. lr. Boen M. Pumama. dan Prof. Dr. Ir. Rahardjo S.
Suparto, masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas
bimbingan dan pengarahaanya sehingga penulis dapat menyelesaikan program
S, di IPB. Ucapan yang sama disampaikan pula kepada Prof. Dr. Emil Salim
dan Dr. Untung Iskandar sebagai penguji di luar Komisi Pembimbing.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada berbagai pihak yang telah
membantu terlaksananya survai lapangan, wawancara, dan telaah pustaka
sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Disampaikan Juga Kepada :
1. Pimpinan Fakultas Kehutanan IPB dan Program Pascasarjana IPB yang
telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh program
pascasarjana di IPB,
2. T i Manajemen Program DoMor (TMPD) Depdikbud, yang telah
memberikan bantuan dana program Sj di TPB,
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sadan Widarmana (alm) yang telah memberi motivasi
kepada penulis untuk melaksanakan penelitian disertasi ini,
4. Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan dan staf yang telah memberikan
kesempatan bagi penulis untuk mendapatkan data dan informasi tentang
pengusahaan hutan di Indonesia,
5. Rekan-rekan sejawat pada Fakultas Kehutanan JPB dan dalam KeIompok
Diskusi Intermeso Bogor, yang telah memberikan dorongan dan
sumbangan pemikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini,
6. Rekan-rekan pada Kelompok Kerja Ekolabel Indonesia, WALHI, Pelangi,
RMI, dan Telapak yang telah memberikan informasi dan sumbangan
pemikirannya,
7. Pimpinan Project I CIFOR, yang telah memberikan kesempatan diskusi dan
memperoleh informasi serta pustaka yang diperlukan dalam penelitian ini.
...
DAFTAR IS1
Halaman DAFTAR IS1
...
vi. .
DAFTAR TABEL
...
xuDAFTAR GAMBAR
...
xivDAFTAR LAMPIRAN
...
xv...
I
.
PENDAHULUAN 1A
.
Latar Belakang...
1. .
B . Tujuan dan Kegunaan Penellt~an
...
2. .
C . Ruang Lingkup Penelltlan
...
4. .
...
D
.
Organisasl Laporan 6I1
.
KERANGKA . PEMIKIRAN DAN METODA PENELITIAN...
8 A . Pengaruh Institusi Terhadap Kinerja Pengusaahaan Hutan...
81
.
Lemahnya Kelembagaan dan Kontrol Pelaksanaannya ... 10 2.
Perilaku dan Kapabilitas Permegang Hak Pengusahaan Hutan...
I 4. .
...
B . Penyempurnaan Instltusl 17
1
.
Pengendalian Interdependensi dari Situasi Sumberdaya Hutan...
18...
.
2 Pengendalian Perilaku PerusAaan 19
C . Hipotesis
...
21. .
...
D . Metoda Penelltlan 21
1 . Data dan Lokasi Penelitian
.
...
21.
...
2
.
Waktu Penelltlan 2 1.
...
3 Analisis Data dan Pengujian Hoipotesis
..
22.
4 Impilkasi Kebyaksanaan
...
24...
UI
.
SISTEM PENGUSAHAAN HlLlTAN ALAM PRODUKSI 28I
...
A
.
Tujuan dan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi 28B
.
Kelembagaan...
321
.
Peraturan Pengusahaan Hutan Alam Produksi...
32 2.
Alokasi HPH oleh Pemerintah...
35 3.
Kondisi Ligkungan...
40 a.
Pembangunan Ekonomi Nasional...
40 b.
Tata Ruang Wilayah...
41 c . Kontribusi Pembangunan Kehutanan bagi Daerah...
42 C.
Kapabilitas HPH...
421 . Jumlah dan Kualifikasi Tenaga Ke rja
...
42...
.
2 Peran Rimbawan dalam Pe~gambilan Keputusan di HPH 45
...
3 . Investasi dan Profitabilitas Pengusahaan Hutan 46 D
.
Ringkasan...
48J
Y
.
ADAPTASI PEMEGANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TERHADAPINSTITUSI
...
50A . Adaptasi Pemegang HPH terhadap Institusi
...
50B
.
Biaya Transaksi. Kontrak. dan ukuran kinerja...
561
.
Biaya Transaksi...
56 2 . Kontrak...
59 3.
Ukuran Kinerj a...
64C
.
Penyempurnaan Institusi...
66...
D
.
Dampak Perubahan Istitusi Terhadap Kinerja 671
.
Profitabilitas Pengusahaan Hutan Saat Ini...
67...
.
2 Profitabilitas Pengusahaan Hutan Setelah Adanya Perubahan Institusi 68
...
3.
Insentif untuk Pelestarian Produksi 70...
...
V
.
IMPLIKASI KEBIJAKSANAAN 74I
A
.
Impliiasi terhadap Pembaharuan Kerangka Pemikiran...
741
.
Kerangka Pemikiran Saat Ini : hutan sebagai Fa!stor utama...
742
.
Pembaharuan Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan...
Kehutanan 77 B.
Implikasi terhadap Kebijaksanaan Penguasaan Hutan Alam Produksi...
80...
1 . Memperhitungkan Kayu di Hutan sebagai Asset 80...
2.
HPH bagi Masyarakat Lokal 81...
3.
Pengusahaan Hutan Alam ~ l e h BUMN 83 4.
Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP)...
86. .
...
C . Jmplementasi Keb~jaksanaan 88 1 . Pelestarian Hutan dan Perolehan Devisa...
882
.
Potensi Kayu Hutan Alam dan Pembiayaan Pemerintah...
903
.
Tuntutan Alokasi Surnberdaya Hutan secara Adil...
914 . Perdagangan Bebas dan Ecolabeling
... 91
D . Konflik Kepentingan
...
96.
...
E Rngkasan 99 VI.
RINGKASAN PENEMUAN. KESIMPULAN DAN SARAN...
103A
.
Rngkasan Penemuan dan Kesirnpulan...
102B . Saran
...
105DAFTAR PUSTAKA
L A M P I R A N
DAFTAR
TABEL
I
No
Teks Halaman1
.
Hak-Hak yang Terikat Berdasarkan Posisi Kelompok Masyarakat...
152
.
Jumlah dan Distribusi HPH Contoh...
223
.
Perkembangan Kierja HPH Tahun 198911990-1993/1994...
294
.
Peringatan Teradap HPH yang Dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan Tahun 1989/1990-199311994...
305 . Prestasi Kerja 60 unit Hak Pengusahaan Hutan di Indonesia pada Tahun 1995
...
316
.
Peraturan Pengusahaan Hutan Alam Produksi...
327
.
Investasi HPH yang Disetujui Pemerintah. September 1969...
368 . Perusahaan Milik Yayasan Angkatan Bersenjata dalam Industri Perkayuan dan HPH
...
389 . Konglomerasi HPH di Indonesia. Tahun 1988
...
3910 . Konglomerasi HPH di Indonesia. Tahun 1994
...
3911
.
Kasesuaian Jurnlah dan Kualifikasi Tenaga Teknis Kehutanan yang Bekerja di HPH dengan Standar Departemen Kehutanan...
4312
.
Komposisi Tenaga Teknis Kehutanan dalam Kegiatan Perencanaan. Produksi dan Pembinaan dan Perlindungan Hutan di HPH...
4413
.
Hasil Simulasi Nilai IRR (%) dan NPV (ribuan Rp.) Pengusahaan Hutan Alam Produksi dengan Luas 100.000 Ha...
4714
.
Pengaruh Institusi terhadap Perilaku dan Kine rja Hak Pengusahaan Hutan Alarn Produksi...
5315 . Perbandingan Institusi dan Organisasi Pengusahaan Hutan Alam Produksi dan Hutan Tanaman di P
.
Jawa (Perum Perhutani) ... 57.
DAFTAR GAMBAR
Teks Halaman
1. Struktur Hierarki Penetapan Prioritas Kebijaksanaan Pengusahaan Hutan Alam
..
252. Struktur Hierarki Penetapan Kebijaksanaan Pengusahaan Hutan Alam Produksi
Berdasarkan Kepentingan dan Daya Tawar Pemerintah daan Pemegang HPH... 26
3. Hasil Analisis Sidik Lintas (Path analysis)
...
5 14. Hubungan Peubah-Peubah HPH (Keutuhan Hutan dan Umur HPH)
... 60
5. Hubungan Kondisi Peubah-Peubah HPH (Keutuhan Hutan
-
Tata Batas-
Konversi Hutan oleh Sektor Lain)
...
606 . Hubungan Kondisi Peubah-Peubah HPH (Keutuhan Hutan
-
Hubungan KondisiPeubah-Peubah HPH (Keutuhan Hutan -TPTI
-
Perlindungan Hutan)...
617. Hubungan Kondisi Peubah-Peubah HPH (Keutuhan Hutan
-
IndustriPerkayuan)
...
6 18. Hubungan Umur HPH, Prosentase Virgin Forest dan Kinerja HPH Berdasarkan
Penilaian Departemen Kehutanan Tahun 1995.
...
659. Hierarki Penetapan Kebijaksanaan Pemerintah Berdasarkan Pendekatan
Normatif
...
9410. Bentuk Hierarki Penentuan Skenario Prilaku Pemerintah dan Pemegang HPH... 99
DAFTAR LAMPIRAN
I
1: Data Dasar dari 60 HPH Contoh
...
1142
.
Pemilikan HPH dari Alokasi HF'H oleh Pemerintah (Sumber : Kammen. 1991)..
120...
3 . Rincian Jumlah d m Kualifikasi Tenaga Profesi Kehutanan di 10 Unit HPH 121...
4
.
Jumlah Tenaga Teknis Kehutanan yang Ditetapkan Berdasarkan Luas HPH 1225
.
Jumlah Investasi 547 HPH dengan Luas 59. 7 Juta ha...
123 6.
Perhitungan Profitabilitas Pengusahaan Hutan Alam Produksi dengan Luas100.000 ha
...
124...
7 . Hasil Perhitungan Korelasi Antar Peubah dari 60 HPH Contoh 136I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang Undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kehutanan, sebagian besar hutan alam di Indonesia dimiliki oleh negara.
Pengusahaan hutan alam produksi di luar P. Jawa yang dilaksanakan dengan sistem
hak pengusahaan hutan W H ) dimulai sejak tahun 1970, yaitu sejak diterbitkannya
Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang HPH dan Hak Pemungutan Hasil
Hutan. Dalam kurun waktu tersebut, untuk memacu investasi di bidang
pengusahaan hutan, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Instrumen kebijaksanaan pengusahaan hutan alam yang diikuti oleh
kebijaksanaan penanaman modal asing tersebut telah memacu perkembangan
pengusahaan hutan alam produksi. Pada tahun 1970, HPH yang aktif beroperasi
berjumlah 45 unit, pada tahun 1976 berjumlah 263 unit, pada tahun 1980
berjumlah 454 unit. Sampai akhir 1996 HPH yang beroperasi berjumlah 565 unit,
mengelola hutan alam produksi seluas 60,l juta Ha (DEPHUT, 1997).
Kawasan hutan di Indonesia yang masih berhutan seluas 92,4 juta ha
(DEPHUT, 1997), merupakan 40% dari kawasan hutan alam tropis Asia, atau 6%
dari hutan alam tropis dunia yang masih tersisa. Selama periode 1981
-
1990,kerusakan hutan alam di Indonesia sekitar 1, 3 juta Ha per tahun atau 1,21% per
tahun (Barbier, et all, 1994). Seiring dengan publikasi Barbier tersebut jumlah
target produksi kayu bulat Indonesia dari HPH menurun dari sebesar 37 juta m3
per tahun pada awal Pelita V menjadi 22 juta m3 per tahun mulai awal Pelita VI.
(DEPHUT, 1995).
Selama periode 1989
-
1995, instrumen kebijaksanaan untuk melaksanakanpengusahaan hutan alam produksi di Indonesia diperbaiki melalui penambahan 132
peraturan. Dalam periode yang sama 50 peraturan dicabut dan 20 peraturan
disempumakan PEPHUT, 1996a). Namun demikian hasil penilaian kinerja HPH
pada akhir 1995 menunjukkan bahwa 90% atau 524 unit HPH yang ada pada
waktu itu belum melaksanakan usaha perlindungan dan pengamanan hutan secara
memadai, sehingga banyak terjadi perambahan hutan, pencurian kayu, dan
penebangan liar di dalam areal HPH (DEPHUT, 1995). Berdasarkan 60 HPH
contoh, hutan alam telah ditebang sebelum waktunya rata-rata sebesar 2,5 % per
tahun.
Kebijaksanaan Departemen Kehutanan untuk meningkatkan kinerja pengusa-
haan hutan d a m belum berhasil. Akibatnya pada akhir 1995 sejurnlah 111 unit
HPH dicabut haknya dan sebagian diantaranya diserahkan pengelolaannya kepada
pemerintah melalui BUMN Kehutanan yaitu PT. Inhutani (DEPHUT, 1995).
Sampai dengan Maret 1996, HPH yang sepend.hnya dikelola BUMN berjurnlah 156 unit dengan luas 10.146.400 Ha. Sedangkan HPH yang dikelola dengan cara
patungan dengan menyertakan saham BUMN berjumlah 31 unit dengan luas
3.140.000 Ha. (DEPHUT, 1996b).
Penelitian ini dilaksanakan untuk mendapatkan pengetahuan mengapa
institusi yang diwujudkan dalam bentuk seperangkat peraturan pengusahaan hutan
alam produksi yang telah diberlakukan pemerintah belum sepenuhnya
mengarahkan reaksi para pemegang HPH untuk melaksanakan pengusahaan hutan
secara berkesinambungan.
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian bertujuan menyempurnakan institusi untuk meningkatkan kinerja
pengusahaan hutan d a m produksi, dengan sasaran penelitian sebagai berikut :
1. Mendapatkan hasil rumusan permasalahan pengusahaan hutan alam produksi
2. Mendapatkan pengetahuan tentang hubungan antara institusi, prilaku dan
kinerja pengusahaan hutan d a m produksi
3. Mendapatkan pengetahuan tentang pengaruh perubahan institusi terhadap
kinerja pengusahaan hutan alam produksi
4. Dapat merumuskan bentuk pemecahan masalah pengusahaan hutan alam
produksi.
Penataan institusi dilaksanakan melalui pengaturan distribusi hak dan kewajib-
an dalam bentuk hak pemilikanl (property right) dan batas yurisdiksi2 (jurisdictio-
nal boundary) setelah mempertimbangkan adanya karakteristik sumberdaya hutan
yaitu biaya transaksi tinggi3 (high transaction cost). Indikator yang dipergunakan
untuk mengukur kiierja pengusahaan hutan alam produksi adalah sebagai berikut :
1. Dapat dicapai keberlanjutan produksi. Indikator yang menentukannya adalah
penebangan tahunan sesuai dengan. jatah tebangan tahunan yang diijinkan
(annual allowable cut) yang telah ditetapkan, terjamin keamanan kawasan dan
tegakan, serta dilaksanakan rehabilitasi bekes tebangan.
2. Rentabilitas usaha jangka panjang dapat dicapai, dengan indikator dapat
dicapainya nilai cut offrate4 yang ditetapkan. Potensi hutan dapat mendukung
pendapatan yang diproyeksikan berdasarkan investasi yang ditanamkan.
Hasil penelitian ini diharapkan menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi
pemerintah dalam menetapkan langkah-langkah prioritas penyempumaan sistem
pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia. Disamping itu juga diharapkan
berguna bagi peneliti lain sebagai bahan referensi, khusus bagi mereka yang
sedang atau akan meneliti permasalahan yang berkaitan dengan pelestarian hutan
alam produksi.
'
Memurut Barzel (1993) property right yang d i m i l i oleh individu atau organisasi terhadap sumberdayatertentu adalah hak atau kekuasaan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk mengkonsumsi,
mendapatkan penghasilan dan menjual sumberdaya tersebut.
Batas jurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam proses pengambilan keputusan. Batas
jurisdiksi dapat berarti batas kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suahl organisasi atau
mengandung makna kedua-duanya (Schmid, 1987).
'
Biaya transaksi (hansoction cost) adalah biaya untuk mengukw nilai atribut barang dan jasa (informationcost) yang akan dipertukarkan biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), serta biaya untuk'
menetapkan kontraklperjanjian (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan perjanjian (policing cost) (North, 1991).
Cur off rate adalah besaran minimal nilai IRR yang dianggap masih menyebabkan suatu usaha
C. Ruang Lingkup Penelitian
Pengusahaan hutan alarn produksi yang diiaksud dalam penelitian ini adalah
pengusahaan hutan yang dilaksanakan melalui pemberian hak pengusahaan hutan
berdasarkan PP. No. 21 tahun 70 clan PP. 18 tahun 1975 tentang Hak Pengusahan
Hutan (HF'H) dan Hak Pernungutan Hasil Hutan (HPHH).
Peraturan pemerintah menentukan kondisi lingkungan kerja bagi individu atau
organisasi. Kondisi lingkungan menyediakan tatanan kesempatan (opportunity
sets) tertentu. Setiap individu atau organisasi melakukan respon dan reaksi terhadap tatanan kesempatan yang tersedia, untuk memaksimumkan apa yang
diinginkan (Shaffer, 1980). Menurut Schmid (1987), North (1991), dan Barzel
(1993), tatanan kesempatan tersebut merupakan perwujudan dari suatu bentuk
institusi. Institusi yang dimaksud baik berupa peraturan formal seperti peraturan
pemerintah maupun peraturan informal seperti kebiasaan, adat, dl].
Respon dan reaksi pemegang HPH sangat tergantung dari struktur biaya yang
ditanggung untuk melaksanakan produksi kayu bulat di satu pihak dan institusi
pengusahaan hutan di pihak lain.
Dalam penelitian ini aktivitas pemegang HPH dianggap sebagai aktivitas
ekonomi. Aktivitas ekonomi adalah aktivitas transaksi, yaitu transaksi untuk
mendapatkan sejumlah masukan (input) yang diperlukan untuk menghasilkan
sejumlah luaran (output). Menurut (North, 1991) biaya produksi terdiri dari biaya
transformasi (lahan, tenaga kerja, dan modal) dan biaya transaksi.
Dalam pengusahaan hutan, biaya transaksi yang dimaksud adalah biaya untuk
mendapatkan informasi mengenai kondisi hutan sebagai dasar pembuatan
peraturan kerja, biaya untuk merurnuskan bentuk kontrak antara pemilik
sumberdaya hutan - dalam ha1 ini pemerintah - dan pemegang HPH, serta biaya
untuk menjalankan kontrak yaitu biaya pengesahan dan pengawasan berbagai
dan rehabilitasi areal bekas tebangan, perlindungan hutan, konservasi lingkungan
serta pembinaan masyarakat desa hutan.
Perusahaan hutan berbeda dengan perusahaan pada umumnya. Kayu di hutan
berfimgsi ganda yaitu dapat sebagai aset tetap Cfmeed asset) pada saat pohon masih
berdiui dan dapat sebagai produk saat pohon sudah ditebang. Oleh karena itu dalam
penilaian aset perusahaan hutan yang dinilai adalah tegakan yang sedang
mengalami pertumbuhan (growing stock). Dalam perusahaan pada umumnya
terdapat perputaran yang cepat dari produk. Sedangkan stock hanya merupakan
bagian kecil dari produksi tahunan. Dalam perusahaan hutan terjadi sebaliknya.
Pada waktu tertentu terdapat ratio yang tinggi antara stock dan produksi tahunan,
dengan besaran yang bervariasi antara 5 :1 pada hutan tanaman jenis kayu cepat
tumbuh sarnpai 50 : 1 pada hutan alam atau hutan tanaman jenis lambat tumbuh.
Dengan demikian pengamanan dan pengadaan stock dalam perusahaan hutan
sangat penting (Opensaw, 1980).
Dalarn penilaian aset hutan terdapat berbagai asumsi yang ditetapkan seperti
lama rotasi tebang, riap, biaya dan harga. Oleh karena itu penilaian asset hutan sulit
untuk dapat dinyatakan secara eksak dan obyektif. Hal ini menunjukkan bahwa
pengelolaan hutan yang baik sangat tergantung pada ketersediaan informasi yang
disamping sangat mahal diperoleh, juga informasi itu sendiri banyak mengandung
ketidak-pastian. Hal ini menunjukkan tingginya biaya informasi pengusahaan hutan
alam produksi.
Hutan alam sebagai bagian dari faktor produksi mempunyai karakteristik selalu
menempati kawasan yang luas. Di beberapa wilayah, hutan mempunyai pemilikan
ganda Masyarakat setempat menganggap hutan milik adat (common property),
pemerintah menganggap hutan milik negara (state properv) (Ngo, 1990 dalam
Padoch dm Peluso, 1996). Kondisi hutan alam produksi tersebut mengakibatkan
Institusi pengusahaan hutan tidak menetapkan kayu di hutan sebagai aset
perusahaan
HPH.
Hal ini menyebabkan lemahnya proper& right hutan. Demikianpula akunting yang dilakukan perusahaan tidak memasukkan sumberdaya hutan
sebagai aktiva tetap yang harus dipertahankan nilainya. Pemegang HPH memiliki
batas yurisdiksi terbatas, karena hanya berhak memasuki dan memungut kayu
dalam kawasan hutan alam produksi yang telah ditetapkan, dan tidak berhak mene-
tapkan bentuk manajemen hutan. Pemerintah menentukan pedoman pelaksanaan
manajemen pengusahaan hutan, mengesahkan perencanaan clan mengontrol
pelaksanaannya. Keikutsertaan pemerintah dalam menentukan dan mengontrol
pelaksanaan manajemen pengusahaan hutan tersebut berperan pula meningkatkan
biaya transaksi.
Tingginya biaya transaksi, lemahnya property right hutan, dan rendahnya
resiko perusahaan akibat tidak diperhitungkannya kayu dihutan sebagai aset peme-
gang HPH dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang dapat mengurangi perhatian
pemegang HPH terhadap upaya pelestarian hutan. Dalam penelitian ini dilakukan
pula penyempurnaan kerangka pemikiran dan kebijaksanaan pengusahaan hutan
alam produksi, serta analisis respon pemegang HPH terhadap institusi yang
ditekomendasikan berdasarkan indikator profitabilitas usaha dan kekuatan posisi
tawar antara pemegang HPH dan pemerintah.
D. Organisasi Laporan
Hasil penelitian ini selengkapnya disajikan dalam enam Bab. Uraian mengenai
teori, kerangka pemikiran, dan metoda penelitian disajikan dalam Bab 11. Untuk
memahami situasi mengenai pengusahaan hutan alam di Indonesia, dalam Bab
III
diuraikan mengenai sistem pengusahaan hutan alam produksi, bentuk kelembaga-
an, pemilikan HPH, surnberdaya manusia di perusahaan HPH, investasi HPH dan
Jika faktor-faktor lain yaitu sumberdaya hutan, sumberdaya manusia dan
teknologi dianggap tetap, perubahan institusi &an mengubah prilaku aktor yang
terlibat (Schrnid, 1987). Untuk itu dalam Bab IV diuraikan adaptasi HPH terhadap
institusi yang bejalan saat ini, bentuk perubahan institusi yang diiekomendasikan,
inovasi HPH terhadap perubahan institusi, serta dampak perubahan institusi
terhadap kiierja finansial HPH.
Jika p e m u s a n kebijaksanaan pengusahaan hutan berdasarkan sudut pandang
ekonomi institusi diterapkan, diperlukan perubahan paradigma dalam pengusahaan
hutan. Dalam implementasinya, pemerintah clan pemegang HPH akan melakukan
respon terhadap perubahan institusi. Oleh karena itu perlu pula diketahui
pertimbangan-pertimbangan subyektif pemegang HPH dan pemerintah terhadap
perubahan institusi pengusahaan hutan alam. Dalam Bab V diuraikan implikasi
perubahan institusi pengusahaan hutan alam produksi. Rumusan kesimpulan dan
rekomendasi h a i l penelitian disajikan dalam Bab VI. Penjelasan sebagai suplemen
Berdasarkan latar belakang penelitian dapat ditunjukkan bahwa penerapan pera-
turan pengusahaan hutan alam produksi belum dapat mengarahkan perilaku pemegang
HPH agar melaksanakan pengusahaan hutan secara berkelanjutan. Dalam Bab ini
diuraikan kerangka pemikiran yang dapat menjelaskan perilaku pemegang HPH
tersebut. Perurnusan metodologi penelitian didasarkan pada sintesis antara konsep
institusi dan permasalahan pengusahaan hutan produksi dari berbagai hasil penelitian
sebelurnnya. Hasilnya dipergunakan untuk merumuskan hipotesis penelitian. Bagian
akhir Bab ini diuraikan metoda penelitian.
A. Pengaruh Institusi Terhadap Kinerja Pengusahaan Hutan
Pelestarian hutan alam produksi dapat dicapai apabila institusi pengusahaan hutan
alam produksi mampu mengarahkan prilaku pemegang HPH, sehingga :
1. Hutan alam produksi tidak ditebang melebihi kapasitasnya, dan
2. Pemegang HPH mampu mengamankan hutan dari berbagai bentuk
ganggums,
3. Dalam suatu kondisi pemegang
HPH
mendapatkan keuntungan darisejumlah investasi dan modal kerja yang telah ditanamkan.
Kosonen, et.al. (1996) menghitung nilai internal rate ojreturn (IRR) pengusahaan
hutan alam produksi sebesar antara 14%
-
19%. Dengan cut off rate sebesar 11%maka secara finansial pengusahaan hutan alam produksi menguntungkan. Permasalah-
annya mengapa meskipun pengusahaan hutan alam produksi layak dilakukan,
pemegang HPH tidak bersedia menjalankan syarat pelestarian hutan seperti pada butir
1 dan butir 2 di atas.
Menurut Shaffer (1980), sistem ekonomi terdiri dari tiga komponen yang saling
mempengaruhi satu sama lain yaitu kondisi lingkungan, respon clan reaksi pelaku-
pelaku ekonomi terhadap lingkungan yang dihadapinya, serta kinerja ekonomi yang
diakibatkannya. Konsep ini disebut konsep lingkungan-prilaku-kinerja. Bentuk
kesempatan yang tersedia (opportunity sets) dalam lingkungan yang d i i s u d k a n
Shaffer (1980) tersebut, berdasarkan pandangan North (1991), tergantung dari aturan
main baik yang bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun informal seperti
kebiasaan, adat, dll. Menurut Schmid (1987), North (1991), dan Barzel (1993) aturan
main tersebut merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi antar
indiwidu atau kelompok masyarakat yang terlibat. lmplikasi bentuk interdependensi
tersebut menurut Schmid (1987) mengakibatkan 'siapa mendapatkan apa' dalam suatu
sistem ekonomi tertentu.
Institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup
ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan
(Pakpahan, 1990). Menurut North (1991) institusi mengatur apa yang dilarang
dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat
mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu institusi adalah instrumen yang mengatur
hubungan antar individu6. Menurut Schmid (1987) institusi adalah seperangkat
ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana mereka telah mendefinisikan
kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang
dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang
telah diberikan, serta tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut
mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya
Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya instihlsi, organisasi menye- diakan mekanisme yang mengatur hubungan antar individu. Namun demikian &pat dibedakan, bahwa aturan yang ada dalam kelembagan dipergunakan untuk menata aturan main dari pemain-pemain yang terlibat atau organisasi-organisasi yang terlibat. Sedangkan aturan yang ada dalam organisasi ditujukan unhlk memenang- kan &lam permaian tersebut.Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial dan organisasi pendidikan (North, 1991). Runan (1986) mendefinisikan institusi sebagai
dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Sedangkan menurut Pakpahan, (1990)
institusi merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi
antar individu atau kelompok masyarakat terhadap sesuatu, kondisi atau situasi
melalui penetapan hak pemilikan @roper& right), aturan perwakilan (rule of
representation), atau batas yurisdiksi (jurisdictional boundary).
Berdasarkan pengertian mengenai institusi di atas, jika kinerja HPH tidak sesuai
dengan yang diharapkan, berarti institusi pengusahaan hutan alam produk-si belum
dapat mengarahkan respon dan reaksi pemegang HPH untuk mencapai kineja yang
diharapkan. Hal ini disebabkan oleh dua aspek sebagai berikut :
1. Lemahnya Institusi dan Kontrol Pelaksanaannya
Berbeda dengan perusahaan pada urnumnya, aset perusahaan hutan mempunyai
pengertian tersendiri, karena kayu di hutan berfungsi ganda yaitu dapat sebagai aset
tetap fixed asser)'pada saat pohon masih berdiri dan dapat sebagai produk saat pohon
sudah ditebang. Oleh karena itu dalam penilaian aset perusahaan hutan sebenarnya
yang dinilai adalah tegakan yang sedang mengalami pertumbuhan (growing stock).
(Openshaw, 1980).
Dalam penilaian aset hutan terdapat berbagai asumsi yang ditetapkan seperti lama
rotasi tebang, riap, biaya dan harga. Oleh karena itu penilaian hutan tidak dapat
dinyatakan secara eksak dan obyektif (Openshaw, 1980). Secara teknis pendapat
Openshaw tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan hutan yang baik sangat
tergantung ketersediaan informasi yang disamping sangat mahal diperoleh, juga
informasi itu sendiri banyak mengandung ketidak-pastian. Untuk mendapatkan
infomasi mengenai rotasi tebang dan riap memerlukan penelitian dengan waktu
panjang dan lokasi tersebar berdasarkan tipe hutan dan kualitas tempat tumbuh.
Sedangkan informasi mengenai biaya dan harga sangat tergantung dari teknologi yang
digunakan, skala usaha dan peubah-peubah ekonomi makro. Hal ini menunjukkan
Menurut North (1991) biaya transaksi (transaction cost) adalah biaya untuk
mengukur nilai atribut barang dan jasa (information cost) yang akan dipertukarkan,
biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), serta biaya untuk
menetapkan kontraklperjanjian (contractual cost) dan biaya untuk menjalankan
perjanjian (policing cost). Oleh karena itu menurut North, (1991) biaya produksi
terdiii dari biaya transformasi (nilai dari lahan, tenaga kerja,
dan
modal)dan
biayatransaksi.
Menurut Schmid (1987) biaya transaksi merupakan salah satu karakteristik
inherent sumberdaya alam . yang melekat padanya7, yang secara alami &pat memberikan bentuk interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang
terlibat (Schmid, 1987). Lebih lanjut Schmid (1987) mengatakan bahwa institusi akan
&pat efektif dijalankan jika institusi tersebut mampu mengendalikan karakteristik
inherenr sumberdaya alam tersebut. Pelaksanaan pengusahaan hutan alam produksi
diawali oleh transaksi hutan dari pemerintah kepada pemegang HPH. Sehingga situasi
sumberdaya hutan yang dianggap sangat penting untuk dikendalikan oleh institusi
pengusahaan hutan alam produksi adalah situasi biaya transaksi tinggi.
Data dan pengetahuan mengenai potensi hutan alam produksi di Indonesia yang
dimiliki pemerintah relatif sangat terbatas (Ascher, 1993). Kenyataan tersebut
menunjukkan bahwa proses transaksi yang dilaksanakan dalam pengusahaan hutan
alam produksi belum didasarkan pada perumusan dan pelaksanaan kontrak antara
pemegang HPH dan pemerintah yang dapat mendefinisikan kejelasan karakteristik
barang (information cost), dalam ha1 ini kayu di hutan. Hal ini menyebabkan tingginya
biaya untuk menetapkan kontrak/perjanjian (contractual cost) clan biaya untuk
menjalankan kontrak/perjanjian (policing cost) tersebut.
Sikap utama prilaku komersial yang mendasari perusahaan swasta disamping
bertumpu kepada proses untuk mendapatkan keuntungan, juga melakukan m i n i i i
resiko (Meiler & Meiners, 1986). Untuk meminimumkan resiko usaha, perusahaan
mengatur komposisi terbaik penggunaan jenis-jenis aset yang dimiliki, serta berupaya
menentukan cara terbaik menggunakan aset melalui peningkatan efisiensi dan
meminimumkan penggunaan met yang tidak perlu (Hampton, 1989). 4
Selanjutnya.Hampton (1989) menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai
tujuan memaksirnumkan keuntungan yang diperolehnya akan berupaya meningkatkan
likuiditas dengan cara mengkonversi aset yang tidak berguna (idle) menjadi uang tunai
(cash) dan meningkatkan profitabilitas dengan cara meminimumkan biaya produksi.
Lebih lanjut diiatakan bahwa perusahaan yang baik berupaya meminimurnkan resiko,
mengejar pertumbuhan perusahaan, membayar deviden, dan memelihara nilai aset
yang dimiliki.
Dalam perusahaan pada umumnya, terdapat perputaran yang cepat dari produk.
Sedangkan stock hanya merupakan bagian kecil dari produksi tahunan. Dalam
perusahaan hutan terjadi sebaliknya. Pada waktu tertentu terdapat ratio yang tinggi
antara stock dan produksi tahunan, dengan besaran yang bewariasi antara 5 : 1 pada
hutan tanaman jenis kayu cepat tumbuh sampai 50 : 1 pada hutan alam atau hutan
tanaman jenis lambat turnbuh (Openshaw, 1980). Dengan demikian pengamanan dan
pengadaan stock dalam perusahaan hutan sangat penting.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang pemberian HPH~,
institusi pengusahaan hutan alam produksi yang dijalankan pemerintah tidak
memasukkan kayu di hutan sebagai aset perusahaan9. Dengan kinerja pengusahaan
hutan alam produksi yang selama ini tidak seperti yang diiarapkan, berarti respon dan
reaksi pemegang HPH tidak berusaha menjaga clan meningkatkan nilai kayu di hutan. Dari sisi kepentingan usaha komersial, hal ini dapat dimengerti karena kayu di hutan
Penjabaran hak dan kewajiban pemegang HPH diuraikan dalam Bab 111.
Argumentasi mengapa kebijaksanaan ini ditempuh tidak &pat ditemukan secara termlis. Namun demikiai dari hasil diskusi dengan Bp. Mangasa Manik (pegawai Departemen Kehutanan) dikatakan karena hutan
tersebut milk negara. Pernyataan pemerintah secara resmi pemah diungkapkan oleh media masa pada saat go
public pabrik perkayuan PT. Artika Optima Inti milik Grup Djayanti, bahwa hutan produksi tidak &pat digunakan sebagai asset pemegang HPH.
bukan aset pemegang HPH. Institusi ini pula dianggap sebagai penyebab HPH tidak
tertarik untuk melaksanaan pengamanan hutan, cenderung melaksanakan over cutting
karena hutan dianggap sebagai asset yang idle, serta enggan melaksanakan rehabilitasi
. hutan bekas tebanganlO.
Rendahnya iuran HPH yang dihitung berdasarkan jumlah luas HPH yang
diusahakan menyebabkan unit pengusahaan hutan alam produksi terlalu luas untuk
dapat dikelola secara intensif. Thiele (1994) menyatakan bahwa unit pengusahaan
hutan yang terlalu luas menyebabkan berkurangnya insentif bagi pemegang HPH
untuk mencegah kegiatan perladangan dan pencurian kayu serta menyebabkan
sumberdaya hutan mengalami idle.
Kontrol pelaksanaan peraturan pengusahaan hutan alam produksi oleh pemerintah
masih lemah. Hal ini disebabkan oleh adanya prilaku rent seeking. Rendahnya
pungutan dari pengusahaan hutan yang diterima pemerintah berarti pemegang HPH
menerima potensi rente tinggi. Hal ini mendorong terjadinya prilaku rent seeking dan
membuka jalan prilaku korupsi sehingga mengurangi pelaksanaan penegakan
peraturan yang dilaksanakan pemerintah (Thiele, 1994).
Darusman (1997) menyebutkan dua sumber angka nilai rente ekonomi
pengusahaan hutan yang diterima pemerintah yang dihitung oleh Sutopo dan
Darusman (1992) sebesar 3196, sementara itu APHl (1994) merasa dan meyakini
bahwa para pengusaha HPH telah mengeluarkan sekurang-kurangnya 84% bagian dari
rente tersebut, menunjukkan bahwa sebesar 53% bagian dari rente ekonomi telah
bocor menjadi biaya-biaya yang tidak tepat penggunaannya akibat penyakit ekonomi
biaya tinggi.
Ascher (1993) mengatakan bahwa pelaksanaan perpanjangan HPH dengan dasar
pertimbangan yang kurang jelas, akibat terbatasnya informasi mengenai pelaksanaan
pengusahaan hutan yang dimiliki pemerintah, disamping menyebabkan prilaku rent
'O Badasarkan evaluasi kinerja 60 HPH oleh Departernen Kehutanan tahun 1995 rnenunjukkan bahwa tata batas
kawasan hutan baru diselesaikan 49,48%, hutan yang ditebang sebelum waktunya per tahun sebesar rata-raw
2,5%, sedangkan pelaksanaan kegiatan TPTI sebesar 5 1,7% dari 100% yang seharusnya dilaksanakan.
seeking juga mengurangi insentif pemegang HPH mencapai kinerja yang diiarapkan.
Ascher (1993), Dauvergne (1994), King (1996) dan Ross (1996) menyatakan bahwa
penyempumaan kebijaksanaan pengusahaan hutan alarn produksi tidak berjalan
dengan baik semata-mata karena permasalahan politik.
Ascher (1993) mengatakan bahwa pemerintah melaksanakan pengusahaan hutan
untuk tujuan pencapaian pertumbuhan ekonomi dan penarikan nilai rente ekonomi
hutan yang rendah merupakan instrumen kebijaksanaan untuk mencapainya
Dauvergne (1994) mempunyai pandangan hampir serupa, bahwa kerusakan hutan
diakibatkan oleh struktur dan proses politik pemerintah clan melahirkan kebijaksanaan
yang mendorong pemanfaatan hutan untuk meningkatkan perolehan devisa serta
sebagai faktor pendorong pertumbuhan industri.
Ross (1996) menyatakan bahwa di negara-negara berkembang,. termasuk
Indonesia, konsesi hutan dialokasikan melalui patron-patron politik. King (1996)
memandang bahwa penyempurnaan kebijaksanaan pengusahaan hutan terhambat oleh
adanya karakter pemerintahan yang bersifat patrimonial. Selanjutnya King (1996)
berpendapat bahwa penyempumaan kebijaksanaan pengusahaan hutan dapat
berlangsung jika terdapat perubahan regim pemerintahan, penurunan secara tajam
pasokan kayu dari hutan alarn, atau jika terdapat ancaman ekspor produk perkayuan.
2. Perilaku dan Kapabilitas Pemegang Hak Pengusahaan Hutan
Kemungkinan kedua jika kinerja pengusahaan hutan alarn produksi tidak sesuai
dengan yang diharapkan karena organisasi HPH tidak mempunyai perilaku clan
kemampuan untuk meiakukan reaksi seperti yang diharapkan pemerintah melalui
bentuk institusi yang diberlakukan.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan surnberdaya milik negara, seperti hutan,
Schlager dan Ostrom (1992) mengemukakan bahwa dalam pelaksanaannya, hak
management, exclusion dan alienation". Selanjutnya Schlager dan Ostrom (1992)
membedakan hak-hak yang seharusnya dipunyai oleh empat kelompok masyarakat
yang mempunyai strata hak pemiliian dari yang paliig tinggi sampai yang paling
rendah yaitu owner, proprietor, claimant, dan autorized user, seperti disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1 . Hak-hak yang Terikat Berdasarkan Posisi Kelompok Masyarakat
Strata Hak
(Access and Withdrawal)
Dalam pelaksanaan pengusahaan hutan12, pemegang HPH hanya mendapatkan
Memasuki dan memanfaatkan
I
X I X I X I XPEMILIK (Owner)
Menentukan bentuk pengelolaan
I
X(Management)
Menentukan keikut-sertaanlme-
ngelwkan pihak lain (Exclusion)
Dapat memperjual-belikan hak
(Alienation)
hak access dan withdrawal berdasarkan batasan Schlager dan Ostrom (1992).
X
I
XI
Rendahnya strata hak pemilikan diduga menjadi penyebab rendahnya inovasi
(Proprietor)
Sumber : Schlager dan Ostrom (1 992). Proper@ Right Regimes and Natural Resources :
A Conceptual Analysis. Land Economic 68(3) :249-262
X
X
pemegang HPH untuk rnelaksanakan aktivitas pengusahaan hutan secara efisien dan
X
berkeianjutan. Schmid, (1987) mengatakan bentuk institusi mempunyai implikasi PENYEWA
(Claimant)
terhadap inisiatif dan kemampuan suatu organisasi untuk menjalankan penegakan PENGGUNA (Autorued User)
peraturan (law enforcement) guna mengatasi permasalahan free riderI3, komitmen,
efisiensi perusahaan, dan adanya sejurnlah faktor eksternal yang mempengaruhinya.
I ' Access yaitu hak untuk maasuki suatu batas fisik sumberdaya y m g telah ditetapkan, sedangkan withdrawal
adalah hak untuk memanfaatkan produk dari sumberdaya yang telah ditentukan. Monagernenl adalah hak
untuk mengahlr paanfaatan dan mengubah benhlk sumberdaya menjadi produk tertentu. Exclusion diartikan
sebagai hak untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan akses dan bagaimana hak tersebut &pat
d i a l i a n . Sedangkan alienation diartikan sebagai hak untuk menjual atau menyewakan salah satu atau lebii
hak-hak sebelumnya.
l2 Pemegang HPH tidak mendapatkan kewenangan untuk menentukan bentuk manajemen pengusahaan hum'
dan dilarang memindahkan hak pengmhmmya kepada pihak lain. Uraian selengkapnya mengenai
kebijaksanaan pemerintah dalam pengusahaan hutan alam produksi disajikan dalam Bab 111.
Jika pemegang HPH tidak mempunyai hak menentukan management, exclusion
dan alienation terhadap sumberdaya hutan yang dikelolanya, serta kayu di hutan
bukan sebagai aset HPH, maka pelestarian sumberdaya hutan diabaikan. Karena kayu
di hutan tidak masuk dalam akunting atau register yang harus diperhitungkan
keutuhan nilainya oleh perusahaan.
Rendahnya intensitas pengelolaan hutan oleh pemegang HPH ditunjukkan oleh
hasil penelitian Badan Litbang Kehutanan (1996) terhadap sepuluh HPH contoh yang
menyatakan bahwa rasio antara jumlah sarjana kehutanan (orang) dengan luas hutan
(ha) yang dikelola sebesar 1 : 26.700, rasio antara jurnlah tenaga teknis kehutanan
(sarjana, diploma, dan SKMA) dengan luas hutan (ha) sebesar 1 : 13.000, sedangkan
rasio antara seluruh jumlah pekerja HPH (orang) dengan luas hutan (ha) sebesar 1 :
570. Berdasarkan evaluasi Departemen Kehutanan tahun 1995, jumlah tenaga teknis
kehutanan yang bekerja di HPH sebesar 39,17% dari ~ t a n d a r ' ~ yang telah ditetapkan.
Berdasarkan penelitian Litbang Kehutanan (1996) tersebut, di HPH, pengambilan
keputusan yang bersifat teknis kehutanan melibatkan tenaga kerja rimbawan Vorester)
yang berada pada berbagai posisi/jabatan tingkat atas. Namun pengambilan keputusan
yang bersifat non-teknis seperti yang berkaitan dengan kebijaksanaan keuangan.
perupahan clan lain-lain, pada umumnya ti& melibatkan tenaga kerja rirnbawan.
Kebijakan yang bersifat strategis tersebut biasanya hanya ditangani oleh pemegang
saharn dan para komisaris.
Rimbawan yang memegang jabatan tersebut memiliki kewenangan untuk
mengusulkan anggaran biaya untuk berbagai rencana misalnya pada tahap penyusunan
RKT. Namun pada akhir tahun kegiatan, mereka tidak mendapat informasi mengenai
realisasi biaya yang telah diieluarkan perusahaan untuk berbagai kegiatan. Meskipun
sebenarnya informasi tersebut sangat penting bagi mereka dalam melaksanakan
" Be~dasarkan SK Ditjen Pengusahaan Hutan Departemen Kehutanan No 537/KptslIV-RPHl1989 tentang Kriteria dan Tata Cara Penilaian Pelaksanaan Kegiatan Pengusahaan Hutan.