• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resistant Starch Tipe Iii dan Tipe Iv Dari Pati Garut (Maranta Arundinacea L), Gadung (Dioscorea Hispida Dennst) dan Talas (Colocasia Esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resistant Starch Tipe Iii dan Tipe Iv Dari Pati Garut (Maranta Arundinacea L), Gadung (Dioscorea Hispida Dennst) dan Talas (Colocasia Esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT

(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN

TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK

Oleh :

MANGINAR MARSAULINA PURBA F 24102025

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Manginar Marsaulina Purba. F24102025. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Dari Pati Garut (Maranta arundinacea L), Gadung (Dioscorea hispida

Dennst) dan Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Antung Sima, 2007.

ABSTRACT

Prebiotik merupakan komponen pangan yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia dan merupakan makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat. Berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam bahan pangan, RS dibagi menjadi 4 tipe. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena adanya pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik RS tipe III dan tipe IV dari pati garut, gadung dan talas serta potensinya sebagai prebiotik.

Jenis umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Seleksi jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS dan BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media, yaitu MRSB tanpa dekstrosa+RS (m-MRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi RS yang digunakan adalah 2.5 %. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputi uji kadar RS, densitas kamba, densitas padat, derajat putih, kelarutan dalam air, aw, kadar amilosa, uji amilograf, dan uji kadar gula pereduksi serta analisis serat pangan (dietary fiber) dan asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil degradasi bakteri.

Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 13.72%, 13.58%, dan 8.97%. Daya cerna pati RS tipe IV pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 19.57 %, 78.66 %, dan 52.25 %. Rendemen pati yang tinggi dan daya cerna pati yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi terpilihnya garut sebagai bahan untuk penelitian tahap selanjutnya.

Uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis media, jenis RS, dan konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan. Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05 dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil pertumbuhan bakteri yang nyata diantara kedua jenis media yang digunakan. Pertumbuhan BAL pada media m-MRSB+RS lebih tinggi bila dibandingkan pada media s-RS, sedangkan ketiga jenis BAL tidak berbeda nyata.

(3)

tidak berbeda nyata dengan RS tipe IV pada media s-RS. Akan tetapi, RS tipe IV pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Demikian juga RS tipe III pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Jenis RS yang paling baik untuk pertumbuhan bakteri pada media m-MRSB dan s-RS adalah RS tipe IV.

Perbedaan konsentrasi kultur mempengaruhi viabilitas BAL pada media s-RS3 dan media m-MRSB+RS3. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi kultur yang ditambahkan pada media maka viabilitas BAL akan semakin tinggi juga.

Untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV garut dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum sa28k pada media s-RS4. RS tipe IV garut dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat karena memiliki serat pangan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 8.11 gram/100gram. SCFA hasil degradasi RS tipe IV oleh Lactobacillus plantarum sa28k adalah asam asetat sebanyak 0.04 % (w/v), sedangkan asam format, propionat dan butirat tidak terdeteksi.

(4)

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT

(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN

TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK

Oleh

MANGINAR MARSAULINA PURBA F 24102025

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT

(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN

TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Manginar Marsaulina Purba F24102025

Dilahirkan pada tanggal 30 Januari 1984 Di Tarutung, Sumatera Utara

Tanggal Lulus: 15 Januari 2007

Menyetujui, Bogor, Januari 2007

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Antung Sima, STP Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(6)

Manginar Marsaulina Purba. F24102025. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Dari Pati Garut (Maranta arundinacea L), Gadung (Dioscorea hispida

Dennst) dan Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Antung Sima, 2007.

RINGKASAN

Prebiotik merupakan komponen pangan yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia dan merupakan makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat. Berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam bahan pangan, RS dibagi menjadi 4 tipe. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena adanya pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik RS tipe III dan tipe IV dari pati garut, gadung dan talas serta potensinya sebagai prebiotik.

Jenis umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Seleksi jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS dan BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media, yaitu MRSB tanpa dekstrosa+RS (m-MRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi RS yang digunakan adalah 2.5 %. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputi uji kadar RS, densitas kamba, densitas padat, derajat putih, kelarutan dalam air, aw, kadar amilosa, uji amilograf, dan uji kadar gula pereduksi serta analisis serat pangan (dietary fiber) dan asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil degradasi bakteri.

Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 13.72%, 13.58%, dan 8.97%. Daya cerna pati RS tipe IV pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 19.57 %, 78.66 %, dan 52.25 %. Rendemen pati yang tinggi dan daya cerna pati yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi terpilihnya garut sebagai bahan untuk penelitian tahap selanjutnya.

Uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis media, jenis RS, dan konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan. Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05 dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil pertumbuhan bakteri yang nyata diantara kedua jenis media yang digunakan. Pertumbuhan BAL pada media m-MRSB+RS lebih tinggi bila dibandingkan pada media s-RS, sedangkan ketiga jenis BAL tidak berbeda nyata.

(7)

tidak berbeda nyata dengan RS tipe IV pada media s-RS. Akan tetapi, RS tipe IV pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Demikian juga RS tipe III pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Jenis RS yang paling baik untuk pertumbuhan bakteri pada media m-MRSB dan s-RS adalah RS tipe IV.

Perbedaan konsentrasi kultur mempengaruhi viabilitas BAL pada media s-RS3 dan media m-MRSB+RS3. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi kultur yang ditambahkan pada media maka viabilitas BAL akan semakin tinggi juga.

Untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV garut dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum sa28k pada media s-RS4. RS tipe IV garut dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat karena memiliki serat pangan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 8.11 gram/100gram. SCFA hasil degradasi RS tipe IV oleh Lactobacillus plantarum sa28k adalah asam asetat sebanyak 0.04 % (w/v), sedangkan asam format, propionat dan butirat tidak terdeteksi.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Manginar Marsaulina Purba. Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 30 Januari 1984. Penulis adalah anak dari Bapak Soaloon Purba dan Ibu Rohani. Penulis menempuh pendidikan di SDN 5 Tarutung (1990-1996), SLTPN 2 Tarutung (1996-1999), dan SMUN 1 Tarutung (1999-2002).

Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat, kasih dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil penelitian di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2006 - Desember 2006.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun material berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie MS., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran, motivasi, arahan, dukungan, dan bimbingan selama perkuliahan dan penelitian.

2. Ibu Antung Sima, STP, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan saran, bimbingan dan semangat selama melakukan penelitian dan penyelesaian skripsi.

3. Ibu Ir. C.C. Nurwitri, DAA, atas kesediaannya menjadi dosen penguji serta bimbingan, bantuan dan semangat yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

4. Ibu Siti Nurjanah, STP, Msi., yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama melakukan penelitian.

5. Program Hibah Kompetisi B Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah mendanai penelitian ini.

6. Keluargaku tercinta, Bapak, Mama, Abang dan Kakak atas doa, cinta, kasih sayang, nasehat, dan motivasi tiada henti.

7. Ribka, Woro, dan Nanda. Terima kasih atas bantuan, semangat dan hari-hari kebersamaan, dan untuk kerjasama kita yang menyenangkan selama penelitian dan penyusunan skripsi.

(10)

9. Eva, Oga, Inda, Mumus, Ica, Christ, Novi, dan Tina. Terimakasih untuk persahabatan yang kalian suguhkan. Kalian dapat membuat penulis merasa betah di ITP.

10.Sahabatku Riris (terimakasih untuk persahabatan yang tidak pernah berakhir), Irene, Fina, Intan, Ibeth, Krisna, Eri, dan Ruth. Kalian membuat hari-hari penulis menyenangkan.

11.Partaru terutama Ernest dan Mike yang banyak membantu penulis selama penelitian

12.Teman-teman di lab yang telah membantu penelitian : Randy, Ina, Aponk, Tukep, Bobby, Ulik, Izal, Dadik, Kiki, Bona, Risna, Eko, dan Herold. 13.Tintin, Ririn, dan Olga. Terima kasih untuk kerjasama kita selama ini. 14.Teman-teman di LA Priezta. Terimakasih segala bantuan dan hari-hari

yang menyenangkan. 15.Teman-teman ITP 39.

16.Junharto yang selalu memberikan dukungan, semangat dan perhatian. 17.Semua pihak yang turut membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana

dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfat bagi seluruh pembaca.

Bogor, Januari 2007

(11)

SKRIPSI

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT

(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN

TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK

Oleh :

MANGINAR MARSAULINA PURBA F 24102025

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Manginar Marsaulina Purba. F24102025. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Dari Pati Garut (Maranta arundinacea L), Gadung (Dioscorea hispida

Dennst) dan Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Antung Sima, 2007.

ABSTRACT

Prebiotik merupakan komponen pangan yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia dan merupakan makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat. Berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam bahan pangan, RS dibagi menjadi 4 tipe. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena adanya pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik RS tipe III dan tipe IV dari pati garut, gadung dan talas serta potensinya sebagai prebiotik.

Jenis umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Seleksi jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS dan BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media, yaitu MRSB tanpa dekstrosa+RS (m-MRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi RS yang digunakan adalah 2.5 %. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputi uji kadar RS, densitas kamba, densitas padat, derajat putih, kelarutan dalam air, aw, kadar amilosa, uji amilograf, dan uji kadar gula pereduksi serta analisis serat pangan (dietary fiber) dan asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil degradasi bakteri.

Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 13.72%, 13.58%, dan 8.97%. Daya cerna pati RS tipe IV pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 19.57 %, 78.66 %, dan 52.25 %. Rendemen pati yang tinggi dan daya cerna pati yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi terpilihnya garut sebagai bahan untuk penelitian tahap selanjutnya.

Uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis media, jenis RS, dan konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan. Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05 dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil pertumbuhan bakteri yang nyata diantara kedua jenis media yang digunakan. Pertumbuhan BAL pada media m-MRSB+RS lebih tinggi bila dibandingkan pada media s-RS, sedangkan ketiga jenis BAL tidak berbeda nyata.

(13)

tidak berbeda nyata dengan RS tipe IV pada media s-RS. Akan tetapi, RS tipe IV pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Demikian juga RS tipe III pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Jenis RS yang paling baik untuk pertumbuhan bakteri pada media m-MRSB dan s-RS adalah RS tipe IV.

Perbedaan konsentrasi kultur mempengaruhi viabilitas BAL pada media s-RS3 dan media m-MRSB+RS3. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi kultur yang ditambahkan pada media maka viabilitas BAL akan semakin tinggi juga.

Untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV garut dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum sa28k pada media s-RS4. RS tipe IV garut dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat karena memiliki serat pangan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 8.11 gram/100gram. SCFA hasil degradasi RS tipe IV oleh Lactobacillus plantarum sa28k adalah asam asetat sebanyak 0.04 % (w/v), sedangkan asam format, propionat dan butirat tidak terdeteksi.

(14)

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT

(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN

TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK

Oleh

MANGINAR MARSAULINA PURBA F 24102025

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

RESISTANT STARCH TIPE III DAN TIPE IV DARI PATI GARUT

(Maranta arundinacea L), GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) DAN

TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot) SEBAGAI PREBIOTIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Manginar Marsaulina Purba F24102025

Dilahirkan pada tanggal 30 Januari 1984 Di Tarutung, Sumatera Utara

Tanggal Lulus: 15 Januari 2007

Menyetujui, Bogor, Januari 2007

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Antung Sima, STP Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(16)

Manginar Marsaulina Purba. F24102025. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Dari Pati Garut (Maranta arundinacea L), Gadung (Dioscorea hispida

Dennst) dan Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) Sebagai Prebiotik. Dibawah bimbingan: Betty Sri Laksmi Jenie dan Antung Sima, 2007.

RINGKASAN

Prebiotik merupakan komponen pangan yang tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia dan merupakan makanan untuk bakteri menguntungkan yang hidup di usus besar manusia (probiotik). Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat. Berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam bahan pangan, RS dibagi menjadi 4 tipe. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena adanya pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik RS tipe III dan tipe IV dari pati garut, gadung dan talas serta potensinya sebagai prebiotik.

Jenis umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan satu jenis umbi terpilih. Seleksi jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Tahap kedua bertujuan untuk mendapatkan satu jenis RS dan BAL. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum. Pemilihan ini didasarkan pada viabilitas BAL yang ditumbuhkan pada dua jenis media, yaitu MRSB tanpa dekstrosa+RS (m-MRSB+RS) dan suspensi RS dalam air (s-RS). Konsentrasi RS yang digunakan adalah 2.5 %. Selain uji viabilitas juga dilakukan uji fisiko kimia, meliputi uji kadar RS, densitas kamba, densitas padat, derajat putih, kelarutan dalam air, aw, kadar amilosa, uji amilograf, dan uji kadar gula pereduksi serta analisis serat pangan (dietary fiber) dan asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil degradasi bakteri.

Dari uji tahap pertama diperoleh data rendemen pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 13.72%, 13.58%, dan 8.97%. Daya cerna pati RS tipe IV pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 19.57 %, 78.66 %, dan 52.25 %. Rendemen pati yang tinggi dan daya cerna pati yang rendah merupakan faktor yang mempengaruhi terpilihnya garut sebagai bahan untuk penelitian tahap selanjutnya.

Uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis media, jenis RS, dan konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan. Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05 dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil pertumbuhan bakteri yang nyata diantara kedua jenis media yang digunakan. Pertumbuhan BAL pada media m-MRSB+RS lebih tinggi bila dibandingkan pada media s-RS, sedangkan ketiga jenis BAL tidak berbeda nyata.

(17)

tidak berbeda nyata dengan RS tipe IV pada media s-RS. Akan tetapi, RS tipe IV pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Demikian juga RS tipe III pada media m-MRSB berbeda nyata dengan RS tipe III dan RS tipe IV pada media s-RS. Jenis RS yang paling baik untuk pertumbuhan bakteri pada media m-MRSB dan s-RS adalah RS tipe IV.

Perbedaan konsentrasi kultur mempengaruhi viabilitas BAL pada media s-RS3 dan media m-MRSB+RS3. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi kultur yang ditambahkan pada media maka viabilitas BAL akan semakin tinggi juga.

Untuk analisis dietary fiber digunakan RS tipe IV garut dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum sa28k pada media s-RS4. RS tipe IV garut dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat karena memiliki serat pangan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 8.11 gram/100gram. SCFA hasil degradasi RS tipe IV oleh Lactobacillus plantarum sa28k adalah asam asetat sebanyak 0.04 % (w/v), sedangkan asam format, propionat dan butirat tidak terdeteksi.

(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Manginar Marsaulina Purba. Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 30 Januari 1984. Penulis adalah anak dari Bapak Soaloon Purba dan Ibu Rohani. Penulis menempuh pendidikan di SDN 5 Tarutung (1990-1996), SLTPN 2 Tarutung (1996-1999), dan SMUN 1 Tarutung (1999-2002).

Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(19)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat, kasih dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil penelitian di laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2006 - Desember 2006.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun material berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie MS., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran, motivasi, arahan, dukungan, dan bimbingan selama perkuliahan dan penelitian.

2. Ibu Antung Sima, STP, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan saran, bimbingan dan semangat selama melakukan penelitian dan penyelesaian skripsi.

3. Ibu Ir. C.C. Nurwitri, DAA, atas kesediaannya menjadi dosen penguji serta bimbingan, bantuan dan semangat yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

4. Ibu Siti Nurjanah, STP, Msi., yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama melakukan penelitian.

5. Program Hibah Kompetisi B Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah mendanai penelitian ini.

6. Keluargaku tercinta, Bapak, Mama, Abang dan Kakak atas doa, cinta, kasih sayang, nasehat, dan motivasi tiada henti.

7. Ribka, Woro, dan Nanda. Terima kasih atas bantuan, semangat dan hari-hari kebersamaan, dan untuk kerjasama kita yang menyenangkan selama penelitian dan penyusunan skripsi.

(20)

9. Eva, Oga, Inda, Mumus, Ica, Christ, Novi, dan Tina. Terimakasih untuk persahabatan yang kalian suguhkan. Kalian dapat membuat penulis merasa betah di ITP.

10.Sahabatku Riris (terimakasih untuk persahabatan yang tidak pernah berakhir), Irene, Fina, Intan, Ibeth, Krisna, Eri, dan Ruth. Kalian membuat hari-hari penulis menyenangkan.

11.Partaru terutama Ernest dan Mike yang banyak membantu penulis selama penelitian

12.Teman-teman di lab yang telah membantu penelitian : Randy, Ina, Aponk, Tukep, Bobby, Ulik, Izal, Dadik, Kiki, Bona, Risna, Eko, dan Herold. 13.Tintin, Ririn, dan Olga. Terima kasih untuk kerjasama kita selama ini. 14.Teman-teman di LA Priezta. Terimakasih segala bantuan dan hari-hari

yang menyenangkan. 15.Teman-teman ITP 39.

16.Junharto yang selalu memberikan dukungan, semangat dan perhatian. 17.Semua pihak yang turut membantu hingga penelitian ini dapat terlaksana

dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfat bagi seluruh pembaca.

Bogor, Januari 2007

(21)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... .. i

DAFTAR ISI ... ... iii

DAFTAR TABEL ... ... v

DAFTAR GAMBAR ... .. vi

DAFTAR LAMPIRAN ... .. vii

I. PENDAHULUAN...1

A. LATAR BELAKANG... ..1

B. TUJUAN... 2

C. MANFAAT PENELITIAN... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... .3

A. UMBI...4

1.Garut (Maranta arundinaceae L) ... 4

2. Gadung (Dioscorea hispida Dennst)...5

3. Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)...6

B. PATI...9

C. RESISTANT STARCH (RS)...10

D. PREBIOTIK...11

E. PROBIOTIK...12

1. Bifidobacterium bifidum ...13

2. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus...12

3. Lactobacillus plantarum...14

III. BAHAN DAN METODE...15

A. BAHAN DAN ALAT... ...15

B. METODOLOGI PENELITIAN... 15

C. METODE ANALISIS... 19

D. PENGOLAHAN DATA... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 27

A. SELEKSI UMBI...27

(22)

1. Analisis Fisikokimia Umbi Terpilih... 31 2. Uji Prebiotik Secara in Vitro...40 C. ANALISIS SERAT PANGAN DAN ASAM LEMAK

(23)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia umbi garut.... ………... 4 Tabel 2. Komposisi kimia umbi gadung...6 Tabel 3. Komposisi kimia talas per 100 gram bahan mentah...9 Tabel 4. Hasil analisis sifat fisikokimia pati, RS tipe III dan

(24)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Umbi Garut (Maranta arundinacea L)... 3 Gambar 2. Tanaman Garut (Maranta arundinacea L)... 3 Gambar 3. Umbi Gadung ((Dioscorea hispida Dennst)... 5 Gambar 4. DaunGadung ((Dioscorea hispida Dennst)... 5 Gambar 5. Umbi Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)... 7 Gambar 6. Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)... 7 Gambar 7. Diagram Alir Penelitian... 17 Gambar 8. Histogram Rendemen Pati Berbagai Jenis Umbi... 27 Gambar 9. Histogram Kadar Air Pati Berbagai Jenis Umbi... 28 Gambar 10. (a) Pati Garut, (b) RS Tipe III Garut dan (c) RS

Tipe IV Garut... 28 Gambar 11. Histogram Daya Cerna RS Tipe IV 3 Jenis Umbi... 30 Gambar 12. Histogram Kadar RS Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV

Umbi Garut... 32 Gambar 13. Histogram Densitas Kamba dan Densitas Padat Pati, RS

Tipe III dan RS Tipe IV Garut. ...33 Gambar 14. Histogram Nilai Kelarutan RS Pati, RS Tipe III dan RS

Tipe IV Umbi Garut ... 34 Gambar 15. Histogram Aktivitas Air (aW) Pati, RS Tipe III dan RS

Tipe IV Garut... 35 Gambar 16. Histogram Kadar Amilosa Pati, RS Tipe III dan RS

Tipe IV Umbi Garut... 36 Gambar 17. Granula Pati dan RS... 39 Gambar 18. Viabilitas BAL pada berbagai media yang mengandung

RS selama inkubasi 24 jam... 41 Gambar 19. Viabilitas BAL dalam media s-RS3 dan m-MRSB

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekapitulasi Rendemen dan Kadar Air Pati Berbagai Jenis Umbi- umbian...54 Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Daya cerna RS Tipe III dan RS Tipe IV

Tiga Jenis Umbi...55 Lampiran 3. Rekapitulasi Hasil Daya Cerna Pati………...55 Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Kadar Amilosa...56 Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Analisis Fisik Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Umbi Garut ...57

(26)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah yang timbul sebagai akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk adalah bertambahnya kebutuhan akan bahan pangan. Masalah pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang penting di samping papan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu misalnya beras dan gandum dapat menyebabkan ketahanan pangan nasional menjadi rapuh. Masih banyak potensi sumber pangan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan memanfaatkan potensi sumber bahan pangan lokal seperti umbi-umbian, Indonesia dapat menciptakan ketahanan pangan yang tangguh.

Tanaman umbi-umbian seperti garut, talas dan gadung mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan. Garut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif maupun penghasil pati untuk bahan baku industri. Saat ini, pengolahan garut umumnya memanfaatkan tepung yang dijadikan berbagai hasil olahan. Tepung garut dapat digunakan sebagai bahan makanan untuk membuat bubur, puding, biskuit, kue basah, kue kering, dan campuran cake. Selain itu, tepung garut juga digunakan dalam industri bedak dan lem (Anonim, 2006a). Pengolahan talas sebagian besar memanfaatkan umbi segar dengan teknik pengolahan yang masih sederhana, diantaranya diolah menjadi keripik, kolak, produk gorengan dan rebusan. Umbi gadung dimanfaatkan sebagai makanan ringan seperti keripik dan digunakan sebagai obat rematik dan kencing manis(Anonim, 2006b).

(27)

starch (RS). Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia yang sehat (Gonzales, et al., 2004). RS akan masuk ke usus besar dan difermentasi oleh mikroflora dalam usus, sehingga dapat menstimulir pertumbuhan bakteri baik, terutama Bifidobacteria dan Lactobacillus yang bermanfaat. Karena sifatnya ini, RS berpotensi sebagai prebiotik.

Sumber prebiotik yang sering digunakan adalah FOS (Fruktooligosakarida), GOS (Galaktooligosakarida) dan inulin. Apabila dikonsumsi terlalu banyak, sumber prebiotik komersial ini dapat menyebabkan konstipasi. Menurut Lehmann (2002), dibandingkan dengan FOS, RS memiliki beberapa keuntungan yaitu memiliki indeks glisemik yang rendah, tidak menyebabkan konstipasi, dan menurunkan kolesterol.

Suatu bahan pangan dengan kadar amilosa yang tinggi dapat dibuat menjadi RS. Garut, gadung dan talas memiliki kadar amilosa yang cukup tinggi sehingga dapat dibuat menjadi RS yang berpotensi sebagai prebiotik.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik RS tipe III dan tipe IV dari pati garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst) dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot) serta potensinya sebagai prebiotik.

C. MANFAAT PENELITIAN

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. UMBI

1. Garut (Maranta arundinacea L)

Garut berasal dari Amerika Selatan, khususnya daerah beriklim tropis, kemudian menyebar ke negara-negara tropis lainnya seperti Indonesia, India, Sri Lanka dan Filipina (Anonim, 2004a). Di berbagai daerah di Indonesia, garut dikenal dengan nama sagu banban (Batak), marus (Bali), dan patat sagu (Sunda). Dalam farmakologi Cina, garut dikenal dengan nama Cuk Yu (Anonim, 2003b).

Garut membutuhkan tanah yang gembur, tak mengandung pasir, dan dapat tumbuh subur baik pada ketinggian 500 meter sampai 1.500 meter (Anonim, 2003b). Tanah yang lembab dan tempat-tempat yang terlindung merupakan habitat yang terbaik untuk tanaman garut. Garut merupakan tanaman berumur panjang, usianya mencapai 7 tahun, dan dapat dipanen setiap tahun (Anonim, 2000a).

Gambar 1. Umbi Garut (Maranta arundinacea L)

(29)

Tanaman garut memiliki ketinggian 0,5 meter sampai 1 meter. Daunnya berwarna hijau, di sisi bawah berambut halus, berbentuk jorong panjang dengan ujung yang meruncing. Bunga garut berbunga majemuk dan berwarna putih (Anonim, 2003b). Tanaman garut berakar serabut. Rhizomanya mula-mula tampak berupa batang yang merayap, lalu menembus ke dalam tanah, dan membengkak menjadi suatu organ berdaging. Rhizoma garut memiliki sifat yang khas, yaitu melengkung seperti busur panah, berwarna putih, berdaging, dan terbungkus sisik-sisik yang saling menutupi. Panjangnya sekitar 20 - 40 cm dengan diameter 2 - 5 cm (Anonim, 2000).

Berdasarkan karakteristik umbinya, garut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu garut Banana dan garut Creole. Menurut Villamajor dan Jurkema (1996), Creole mempunyai rimpang yang panjang dan langsing, lebih menyebar dan menembus ke dalam tanah, lebih berserat, tumbuh bergerombol dekat permukaan tanah, lebih mudah dipanen dan diolah untuk diambil patinya. Kultivar Banana mempunyai rimpang yang lebih pendek dan gemuk, tumbuh dengan tandan terbuka pada pemukaan tanah, sehingga lebih mudah dipanen. Umbi garut dibungkus dengan sisik-sisik yang membungkus secara teratur. Sisik-sisik berwarna putih sampai coklat pucat.

Greenwood (1956) menyatakan bahwa kadar amilosa dalam pati garut adalah 20.5%. Komposisi kimia umbi garut kultivar Creole dan Banana dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Garut Dalam 100 Gram Bahan*) Komposisi Kultivar

Creole Banana

Air (g) 69.1 72.0

Abu (g) 1.4 1.3

Lemak (g) 0.1 0.1

Serat (g) 1.3 0.6

Protein kasar (g) 1.0 2.2

Pati (g) 21.7 19.4

(30)

2. Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

Umbi gadung berasal dari India. Gadung adalah sejenis tanaman umbi-umbian liar yang banyak tumbuh di wilayah tropis. Umbi gadung merupakan umbi dari tanaman menjalar yang termasuk dalam famili Dioscoreaceae. Gadung termasuk ke dalam kelas Monocotylodonae ordo Liliflorae (Lingga, 1995).

Gadung biasa tumbuh di hutan, dan semak belukar. Tanaman ini memiliki tinggi 5 - 10 meter. Batangnya kecil dan bulat, ditumbuhi bulu, dan duri yang tajam. Daunnya adalah daun majemuk yang terdiri dari tiga helai daun atau lebih, berbentuk jantung, dan berurat seperti jala. Bunga tumbuhan ini terletak pada ketiak daun, tersusun dalam bulir dan berbulu. Pada pangkal batang tumbuhan gadung terdapat umbi yang besar dan kaku yang terletak di dalam tanah. Kulit umbi berwarna gading atau coklat muda dan daging umbinya berwarna kuning atau putih gading. (Anonim, 2002). Tebal kulit gadung antara 0.15 cm sampai 0.3 cm dan diameternya antara 10 cm sampai 15 cm (Lingga, 1995).

Gambar 3. Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst)

(31)

Umbi ini berbentuk bulat panjang dengan sisi yang sejajar atau melebar terhadap puncak, luasnya semakin menyempit di sekeliling alas. Umbi yang sudah masak berwarna coklat atau kuning kecoklatan, dan berbulu halus .

Menurut Sutikno (1980), kadar amilosa pati gadung adalah sebesar 10.24%. Komposisi kimia umbi gadung dapat dilihat pada Tabel 2 (Wijandi, 1976).

Tabel 2. Komposisi Kimia Umbi Gadung*)

Komponen Persen (%)

Kadar air 78.0

Karbohidrat 18.0 Lemak 0.16 Protein 1.81 Serat kasar 0.93

Kadar abu 0.69

Diosgenin** 0.20-0.70 Dioscorin** 0.04 *) Sumber : Wijandi (1976)

**) Berdasarkan bobot kering

Gadung mengandung senyawa sianida dan alkaloid dioskorin yang bersifat racun yang secara alami terdapat dalam umbi. Gejala-gejala keracunan yang timbul akibat mengkonsumsi gadung malproses antara lain adalah adanya rasa tidak enak di kerongkongan yang kemudian dilanjutkan dengan pening, lemas dan muntah-muntah (Lingga, 1995).

3. Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)

(32)

Tumbuhan talas berupa herba bergetah dengan ketinggian mencapai 40 cm hingga 1.5 meter. Talas biasa tumbuh liar di pinggiran air sungai, rawa, tanah tandus, atau ditanam. Tumbuhan ini hidup baik di ketinggian 250 sampai 2000 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan talas memiliki daun berjumlah 2 sampai 5 helai, bertangkai dan berwarna hijau, bergaris-garis hijau tua atau keungu-unguan. Bagian batang talas di bawah tanah berbentuk umbi. Curah hujan untuk pertumbuhan tanaman talas adalah 175 cm per tahun. Talas juga dapat tumbuh di dataran tinggi, pada tanah tadah hujan dan tumbuh sangat baik pada lahan yang bercurah hujan 2000 mm per tahun atau lebih. Selama pertumbuhan, tanaman talas menyukai tempat terbuka dengan penyinaran penuh serta tanaman ini mudah tumbuh pada lingkungan dengan suhu 25-30ºC dan kelembaban tinggi (Anonim, 2005).

Gambar 5. Umbi Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)

Gambar 6. Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L) Schoot)

(33)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hartati dan Prana (2003), kadar amilosa talas yang diuji pada 20 kultivar talas adalah berkisar antara 10.54 % - 21.44 %. Pada Tabel 3 dapat dilihat komposisi kimia talas per 100 gram bahan mentah.

Tabel 3. Komposisi Kimia Talas Per 100 Gram Bahan Mentah*) Kandungan gizi Jumlah

Varietas talas yang ada di Bogor menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Talas pandan, varietas ini mempunyai ciri berpohon pendek, bertangkai

daun agak keunguan, pangkal batang berwarna merah atau kemerahan dengan umbi lonjong berkulit coklat dan daging berwarna keunguan, seperti direbus berbau pandan.

(34)

3. Talas sutera, varietas ini mempunyai ciri berdaun halus yang berwarna hijau muda, pelepah daun hijau dengan pangkal berwarna putih dan umbi berwarna putih yang rasanya enak (Anonim, 2004b).

B. PATI

Pati adalah salah satu dari jenis polisakarida yang disimpan sebagai cadangan makanan tumbuh-tumbuhan, yang terdapat dalam biji-bijian, batang maupun umbi-umbian. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α -glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total. Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran dan letak hilum yang unik (Winarno, 1997).

Pada daerah dimana rantai-rantai polimer tersusun secara teratur di dalam molekul pati dinyatakan sebagai daerah kristal. Diantara daerah-daerah teratur tersebut terdapat susunan rantai-rantai polimer tidak teratur yang disebut daerah amorf (Winarno,1997). Bentuk granula pati adalah semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Kira-kira 70% dari massa pati tersusun atas daerah amorf dan 30% sebagai daerah kristal. Daerah amorf mengandung sejumlah amilosa sebagai komponen utama, tetapi juga mengandung sejumlah amilopektin. Penyusun utama daerah kristalin adalah amilopektin (Belitz dan Grosch, 1999).

(35)

luar granula. Dengan demikian, mereka menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan membengkak. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi tersebut disebut retrogadasi (Winarno, 1997).

C. RESISTANT STARCH (RS)

Pati dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis berdasarkan tingkat daya cerna dari pati, yaitu Digestible Starch dan Resistant starch (RS) (Sajilata, 2006). Digestible Starch adalah pati yang dapat dicerna, mencakup Rapidly Digestible Starch (RDS) dan Slowly Digestible Starch (SDS). Rapidly Digestible Starch (RDS) adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis secara sempurna oleh enzim amilase. Slowly Digestible Starch (SDS) dihidrolisis secara lambat.

Resistant starch (RS) adalah bagian dari pati yang tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat. Berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam bahan pangan, RS dibagi menjadi 4 tipe. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan, contohnya pati pisang mentah dan pati kentang mentah. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena adanya pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia (Gonzales, et al., 2004).

(36)

kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Struktur ini biasanya sangat stabil. Amilosa pati ini membentuk RS tipe III yang stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase.

Kandungan RS tipe III dalam makanan secara alami pada umumnya rendah. Jumlah RS tipe III dapat meningkat saat makanan dipanggang atau pada saat pengolahan makanan dalam produk pasta dan produk sereal. Akan tetapi cara seperti itu hanya meningkatkan kadar RS tipe III sampai maksimal 3%. Oleh karena itu, perlu dilakukan perlakuan khusus untuk meningkatkan kandungan RS tipe III, yaitu dengan cara debranching dan autoclaving.

RS tipe IV diperoleh dengan cara memodifikasi pati dengan ikatan silang, yaitu dengan mereaksikan pati dengan larutan Phosphorus oksiklorida (POCl3) dalam kondisi basa. Reaksi ini akan membentuk jembatan antara rantai molekul sehingga didapatkan jaringan makromolekul yang baru.

Resistant starch (RS) tidak dapat dicerna di usus halus manusia yang sehat, sehingga RS akan mencapai kolon dan akan difermentasi oleh mikroflora. Setelah mencapai kolon, RS akan difermentasi oleh mikroflora usus dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (Short chain fatty acid/SCFA) (Sajilata, 2006). Selama fermentasi, dibentuk SCFA seperti asam asetat, propionat dan butirat.

D. PREBIOTIK

(37)

Pada umumnya, prebiotik utama adalah oligosakarida, yaitu sejenis gula yang tidak dapat dicerna maupun diserap sampai mencapai usus besar. Oligosakarida adalah gula yang terdiri dari 2-20 unit sakarida, atau disebut juga polisakarida rantai pendek. Secara alamiah oligosakarida terdapat pada buah dan sayur dan secara komersil dapat dihasilkan melalui proses hidrolisis polisakarida. Keberadaan oligosakarida dalam mikroflora usus berpotensial untuk meningkatkan jumlah Bifidobacteria dalam kolon (Fuller, 1997).

Para peneliti terdahulu menggolongkan oligosakarida sebagai antigizi, karena menimbulkan gas dalam perut atau flatulensi. Seiring dengan majunya perkembangan ilmu kimia dan biokimia pangan, senyawa oligosakarida tidak lagi dianggap sebagai antigizi. Senyawa ini kemudian dianggap berguna bagi tubuh, karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan dalam usus. Oligosakarida memiliki sifat fungsional bagi kesehatan karena senyawa ini tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Sifatnya menyerupai serat pangan, sehingga tidak dapat diserap dalam usus kecil yang pada gilirannya akan masuk ke usus besar. Selanjutnya senyawa ini akan difermentasi oleh bakteri-bakteri yang terdapat di usus besar dan untungnya bakteri jahat tidak menyukai zat gizi ini. Proses fermentasi akan mengubah komposisi flora usus. Bakteri yang menguntungkan yaitu Bifidobacteria dan Lactobacillus bertambah jumlahnya, sedangkan bakteri yang merugikan seperti Clostridium dan koliform ditekan pertumbuhannya (Sibuea, 2002).

E. PROBIOTIK

Bakteri yang terdapat dalam pencernaan dibagi dalam dua kelompok yaitu bakteri yang menguntungkan dan bakteri yang merugikan karena merusak dan menyebabkan penyakit pada sel-sel usus. Bakteri baik yang menguntungkan dikenal sebagai bakteri probiotik. Bakteriprobiotik ini memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan tubuh. Flora bakteri usus yang ideal adalah yang didominasi oleh bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus.

(38)

Bifidobakteria pertama kali ditemukan oleh Tissier tahun 1899 pada feses bayi yang diberi ASI. Telah diketahui pula bahwa bifidobakteria ternyata juga terdapat pada usus orang dewasa sampai orang tua, disamping pada bayi. Bifidobakteria adalah bakteri anaerobik, hidup pada suhu optimum 36ºC-38ºC dan pada pH 6.4-7.0. Bakteri ini memiliki efek bakteriostatik terhadap E.coli dan bakteri Gram negatif (Ballongue, 1993).

Bifidobacterium bifidum merupakan spesies bakteri asam laktat dari genus bifidobakteria. Pada awalnya dikenal dengan nama Bacillus bifidus, kemudian menjadi Lactobacillus bifidus dan akhirnya menjadi Bifidobacterium bifidum. Bakteri ini mampu menekan terjadinya kanker kolon. Bifidobacterium bifidum bersifat paling tahan terhadap cairan pencernaan. Bakteri ini dapat menaklukkan berbagai hambatan fisiologis seperti asam lambung dan cairan empedu sehingga dapat mencapai dan bertahan hidup dalam usus manusia. Di dalam usus, bakteri ini membantu meningkatkan kesehatan dengan cara mengaktifkan sel-sel kekebalan, meningkatkan jumlah bakteri berguna, dan mengurangi jumlah bakteri yang merugikan.

b. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus

Lactobacillus casei adalah bakteri Gram positif, bersifat anaerobik fakultatif, non motil, tidak membentuk spora, berbentuk batang dan merupakan anggota bakteri asam laktat yang banyak digunakan dalam industri. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus ternyata efektif untuk mengatasi beberapa bentuk diare pada manusia, termasuk diare akut pada anak-anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Lactobacillus casei subspesies rhamnosus dapat menurunkan kolonisasi bakteri patogenik. Selain itu, Lactobacillus casei subspesies rhamnosus juga mampu meningkatkan kemampuan sel darah putih untuk menelan dan membunuh bakteri berbahaya secara lebih efektif (Anonim, 2000b).

(39)

Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat dari famili Lactobacillaceae. Bakteri ini berbentuk batang dan pada umumnya berukuran tunggal atau membentuk rantai pendek. Lactobacillus plantarum adalah salah satu jenis bakteri asam laktat dan termasuk dalam :

Famili : Lactobacillaceae Genus : Lactobacillus Sub genus : Streptobacterium

Pembentukan asam yang cepat dalam jumlah yang tinggi oleh aktivitas starter Lactobacillus plantarum baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan bakteri asam laktat lain, telah diketahui dapat menyebabkan bakteri perusak dan bakteri patogen terhambat pertumbuhannya atau bahkan tidak dapat bertahan hidup.

(40)

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas (Colocasia esculenta (L) Schoot). Garut yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Genetika, Cimanggu, Bogor. Sedangkan talas dan gadung diperoleh dari pasar tradisional di daerah Bogor. Bakteri yang digunakan terdiri dari Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Bifidobacterium bifidum dan Lactobacillus plantarum sa28k. Lactobacillus casei subspesies rhamnosus dan Bifidobacterium bifidum yang digunakan diperoleh dari Universitas Gadjah Mada. Sedangkan Lactobacillus plantarum sa28k diperoleh dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan-bahan lain yang digunakan adalah akuades, NaOH, POCl3, HCl, HClO4 0.36 M, asam iso butirat, enzim α-amilase (heat stable), enzim pepsin, enzim pankreatin, enzim amyloglucosidase, bufer fosfat, natrium dodesilsulfat, etanol, aseton, buffer Na-Fosfat 0.1M, buffer Na-Fosfat 0.05M, 3,5-dinitrosalisilat, Na-K-tartarat, NaCl, CaCO3, MRS (de Mann Rogosa Sharpe) Agar dan Broth, proteose pepton, yeast extract, amonium sitrat, natrium asetat, magnesium sulfat, manganase sulfat, dikalium fosfat, tween 80, dan bacto agar.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas ukur, erlenmeyer, cawan petri, gelas piala, gelas pengaduk, pipet Mohr, mikropipet, tip, sudip, fial magnetic stirer, manik-manik, pisau, slicer, ember, kain saring, talenan, vortex, mortar, blender basah, blender kering, neraca analitik, pH meter, hot plate, water bath, whiteness meter, brabender unit, HPLC, otoklaf, sentrifuse, spektrofotometer, anoxomat, anaerobic jar, inkubator, oven, oven vakum, freezer, freeze dryer, dan lemari pendingin.

(41)

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7, meliputi: (1) Seleksi umbi, (2) Seleksi RS dan seleksi BAL dan (3) Analisis dietary fiber dan SCFA.

SELEKSI UMBI

Umbi (garut, gadung, talas)

Ekstraksi Pati

Pembuatan RS

RS tipe III dan tipe IV

Uji rendemen dan daya cerna

Jenis umbi terpilih

SELEKSI RS DAN BAL

Lactobacillus casei subspesies rhamnosus, Lactobacillus plantarum sa28k, dan Bifidobacterium bifidum

Inokulasi 1% dan 5%

(42)

@

m-MRSB + RS s-RS

Inkubasi (24 jam, 370C)

Analisis fisikokimia:

• Kadar RS • aw

• Densitas kamba dan densitas padat • Kadar amilosa • Kelarutan dalam air • Uji amilograf • Derajat putih • Gula pereduksi

Jenis RS dan BAL terpilih

ANALISIS RS DAN BAL TERPILIH

Analisis Dietar fiber dan SCFA

Gambar 7. Diagram Alir Penelitian

1. Ekstraksi Pati dari Umbi

Umbi garut, gadung dan talas diekstraksi patinya dengan cara : umbi dikupas, dicuci, dipotong kecil, diekstraksi dengan air (umbi : air = 1 : 4), diendapkan, disaring, dikeringkan dengan oven (suhu 40oC), dan diblender.

2. Pembuatan Resistant Starch Tipe III (Metode Lehmann, 2002)

(43)

3. Pembuatan Resistant Starch Tipe IV

Sebanyak 100 gram pati dilarutkan dalam 150 ml akuades, diatur pH sampai 10.5 dengan NaOH 5% sambil diaduk dengan kuat. Selanjutnya ditambah dengan POCl3 0.2% dari berat tepung, diinkubasi pada environmental orbital shaker (T = 40oC, kecepatan putaran 200 rpm, selama 2 jam). Kemudian diatur pH-nya sampai 5.5 menggunakan HCl dan disaring dengan penyaring vakum. Endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air 150 ml sebanyak 5 kali. Selanjutnya, pati dikeringkan menggunakan oven vakum (50oC, 24 jam), digiling dan diayak.

4. Uji Prebiotik secara in vitro

a. Perhitungan jumlah BAL awal (Fardiaz, 1989)

BAL dibuka dari ampul dan disegarkan ke dalam 10 ml MRSB, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator 370C selama 48 jam. Setelah 48 jam, BAL tersebut kembali disegarkan dengan mengambil 1 ml dari tabung MRSB lama ke tabung berisi MRSB baru. MRSB itu kemudian diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu 370C.

Metode ini dilakukan untuk setiap BAL (Lactobacillus casei subsp. Rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum) yang digunakan. Untuk Bifidobacterium bifidum penanganannya sedikit berbeda karena bakteri ini hidup secara anaerobik. Maka, inkubasi dilakukan menggunakan alat Anoxomat.

b. Uji viabilitas BAL

1. Persiapan uji viabilitas BAL

(44)

Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO (Harrigan, 1998) dan dinyatakan dalam CFU/ml.

N = ____∑ c____ (n1 + 0.1 n2) x d N : Jumlah mikroba (CFU/ml)

∑c : Jumlah koloni dari semua cawan pada 2 tingkat pengenceran yang terdapat 25-250 koloni

n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama (25-250 koloni) n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua (25-250 koloni) d : Pengenceran pertama (25-250 koloni)

2. Viabilitas BAL

Disiapkan RS steril, air steril masing-masing 50 ml/sampel dan MRSB steril tanpa dekstrosa (MRSB racikan) masing-masing 50ml/sampel. Sebanyak 2.5 ml BAL yang berumur 1 hari dipipet dan dimasukkan ke dalam campuran larutan 50 ml MRSB racikan + 2.5% RS dan larutan 50 ml air steril + 2.5% RS. Larutan ini kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.

Setelah inkubasi 24 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer NaCl 0.85% 10 ml dan divortex untuk memperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10-7 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10 -5

-10-8 dengan menggunakan media MRSA dalam cawan petri. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C dalam posisi terbalik. Pemupukan dilakukan duplo setiap pengenceran. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO (Harrigan, 1998) dan dinyatakan dalam CFU/ml.

C. METODE ANALISIS

a. Analisis kadar air (AOAC, 1984)

(45)

cepat kurang lebih 5 gram sampel yang sudah dihomogenkan dalam cawan. Tempatkan cawan ke dalam oven selama 6 jam. Untuk

produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam). Pindahkan cawan ke desikator, lalu dinginkan. Setelah dingin timbang kembali.

Keringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap.

% Kadar air (dry basis) = W3 x 100 W2 % Kadar air (wet basis) = W3 x 100

W1

Keterangan: W1: Bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W2: Bobot sampel setelah dikeringkan (g) W3: W2-W1

b. Rendemen pati

Pengukuran rendemen pati dihitung berdasarkan perbandingan berat pati yang diperoleh terhadap berat umbi tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%).

Rendemen (%) = b × 100%

a Keterangan:

a = berat umbi tanpa kulit (g) b = berat pati yang diperoleh (g)

c. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al.,1992)

(46)

Sampel dibuat suspensi dalam aquades (1%), kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90°C kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-fosfat 0.1 M, pH 7. Lalu diinkubasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan larutan enzim α-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 30 menit.

Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit. Warna merah oranye yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer Na-fosfat 0.1 M pH 7.

%DC pati = (kadar maltosa sampel-kadar maltosa blanko sampel) x100% (kadar maltosa pati murni-kadar maltosa blanko pati murni)

c. Pengukuran kadar RS (Kim et al., 2003)

(47)

suhu ruang semalaman. Endapan disaring dengan kertas saring. Residu yang larut dicuci dengan 20 ml etanol 78% (3 kali), 10 ml etanol murni (2 kali) dan 10 ml aseton (2 kali). Residu dikeringkan dalam oven pada suhu 40°C.

Resistant starch (%) = berat residu yang tidak larut (g) x 100 Berat sampel (g)

e. Densitas kamba (Khalil, 1999)

Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi sampel dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml.

f. Densitas padat (Khalil, 1999)

Densitas padat diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat sampel ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat sampel dengan volume ruang yang ditempati. Densitas padat dinyatakan dalam satuan g/ml.

g. Kelarutan dalam air (Sathe dan Salunkhe, 1981 dalam Muchtadi dan Sumartha, 1992)

Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner dan pompa vakum. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100ºC selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

a = berat kering sampel (gram)

(48)

c = berat kertas saring (gram)

h. Amilograf

Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi RS tipe III dan RS tipe IV. Sebanyak 45 gram sampel (100 mesh) dilarutkan dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit.

Mesin amilograf dihidupkan. Begitu suspensi mencapai suhu 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari:

1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik 2. Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai

maksimum viskositas dapat dicapai

3. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Brabender Unit.

i. Derajat putih

Pengukuran untuk warna RS dan pati alami dilakukan dengan menggunakan alat whiteness meter “Kett Electric Laboratory C-100-3”. Sampel pati dimasukkan ke dalam tempat sampel sehingga lensanya benar-benar tertutup. Kemudian diletakkan pada kotak penganalisa alat. Selanjutnya dengan cara menekan tombol penunjuk maka persentase derajat keputihan akan terlihat pada jarum penunjuk.

j. Aktivitas air (aw )

(49)

pada suhu 20,25 dan 290C dengan cara memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Nilai aw dapat dibaca setelah ada tulisan “completed” di layar.Bila aw yang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah aw meter. Nilai aw dan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di layar.

k. Kadar amilosa (Metode Juliano, 1971 yang dimodifikasi di dalam Nisviaty, 2006)

Pembuatan kurva standar

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N lalu didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.

Penetapan sampel

(50)

Kadar amilosa (%) 100%

l. Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber) (Hellendoorn, et al., 1975)

Sejumlah sampel yang akan dianalisis dihancurkan dengan blender. Kemudian ditambahkan beberapa tetes isoamil alkohol dan kristal timol. Suspensi yang diperoleh dijadikan 1 liter. Sebanyak 50 ml dari suspensi tersebut (mengandung tidak lebih dari 1 gram pati) dipipet ke dalam gelas piala 250 ml, lalu tambahkan 50 ml HCl 0.2 N dan 100 mg pepsin. Setelah diaduk dengan rata, campuran tersebut diinkubasikan pada suhu 40°C selama 18 jam. Setelah pencernan pepsin, campuran dinetralkan dengan larutan NaOH 4 N dan 50 ml larutan bufer pH 6.8. Kemudian ditambahkan 100 mg pankreatin dan 300 mg natrium dodesilsulfat. Campuran diinkubasikan pada suhu 40°C selama 1 jam sambil diaduk. Setelah pencernaan, campuran tersebut diasamkan dengan HCl 4 N sampai mencapai pH 4-5. Suspensi kemudian disentrifusi selama 30 menit. Supernatan disaring dengan filter gelas 1-G-3 yang berisi pasir setebal 15 mm. Endapan dicuci dengan air destilata dan disentrifusi kembali. Cuci residu yang diperoleh dan disaring dengan filter gelas 1-G-3. Bilas tiga kali dengan air dan tiga kali dengan aseton. Filter gelas yang mengandung residu dikeringkan pada suhu 105°C semalam. Berat residu kering menyatakan kandungan serat makanan dari sampel.

(51)

format (0.236 %), asam asetat (0.257 %), asam propionat (0.3254 %) dan asam butirat (0.2139 %).

[SCFA] = Area sampel x [Standar] Area standar

D. PENGOLAHAN DATA

(52)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SELEKSI UMBI

Umbi yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 jenis, yaitu garut (Maranta arundinacea L), gadung (Dioscorea hispida Dennst), dan talas Colocasia esculenta (L) Schoot). Tujuan dari seleksi ini adalah untuk memperoleh satu jenis umbi yang berpotensi sebagai prebiotik dengan cara membuat pati umbi tersebut menjadi Resistant Starch (RS). Penyeleksian jenis umbi didasarkan pada rendemen pati dan daya cerna RS. Umbi yang memiliki rendemen pati paling tinggi dan daya cerna RS yang paling rendah dipilih untuk diteliti pada tahap selanjutnya.

1. Rendemen dan Kadar Air Pati

Gambar 8. Rendemen Pati Tiga Jenis Umbi

(53)

berdasarkan perbandingan berat pati yang diperoleh terhadap berat umbi tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen pati yang paling tinggi adalah garut, yaitu sebesar 13.72 %. Rendemen pati yang tinggi memberi keuntungan karena dapat mengurangi biaya untuk pembelian bahan baku, efisiensi waktu pembuatan pati, mengurangi energi, dan mengurangi limbah.

Selain rendemen, dilakukan juga analisa terhadap kadar air pati ketiga jenis umbi. Perbandingan kadar air pati ketiga jenis umbi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kadar Air Pati Tiga Jenis Umbi-umbian

Kadar air pati garut, gadung, dan talas berturut-turut sebesar 6.73 %, 10.47 %, dan 3.59 %. Analisa kadar air pati dilakukan untuk mengetahui bobot pati kering ketika dilakukan perhitungan daya cerna pati yang dihitung dalam bobot kering. Dari hasil pengukuran kadar air diperoleh bahwa kadar air pati yang paling tinggi berturut-turut ke yang paling rendah adalah pati gadung, pati garut dan pati talas.

2. Hasil Pembuatan RS Tipe III dan RS Tipe IV

(54)

retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Struktur ini sangat stabil. Proses ini menghasilkan RS tipe III yang tahan terhadap enzim amilase. RS tipe ini mempunyai penampakan yang agak berbeda dengan pati asalnya. Warna RS tipe ini lebih gelap dibanding pati aslinya dan agak sulit untuk disuspensikan dalam air.

Gambar 10. Pati Garut, RS Tipe III Garut dan RS Tipe IV Garut

Pati dari umbi garut, gadung, dan talas dibuat menjadi RS tipe IV. RS tipe IV diperoleh dengan cara memodifikasi pati dengan ikatan silang, yaitu dengan mereaksikan pati dengan larutan Phosphorus oksiklorida (POCl3) dalam kondisi basa. Reaksi ini akan membentuk jembatan antara rantai molekul sehingga didapatkan jaringan makromolekul yang baru. Fosfat yang ada dalam POCl3 akan membentuk jembatan fosfat yang resisten terhadap enzim amilolitik. RS tipe IV yang dihasilkan memiliki penampakan yang mirip dengan pati. RS tipe IV berwarna putih dan dapat disuspensikan dalam air dengan mudah. Pati dan RS yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10.

3. Uji Daya Cerna Pati

(55)

metode pengukuran daya cerna pati secara in vitro. Dalam metode ini pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi gula-gula sederhana (glukosa, maltosa) dan alfa limit dekstrin. Jumlah glukosa dan maltosa diukur secara spektrofotometri setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat (DNS). Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase terhadap pati murni.

Gambar 11. Daya Cerna RS Tipe IV dari Tiga Jenis Umbi

Daya cerna RS tipe IV dari garut, gadung dan talas dapat dilihat pada Gambar 11, berturut-turut adalah sebesar 19.57 %, 78.66 % dan 52.25 %. Semakin rendah daya cerna suatu pati berarti semakin sedikit pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin rendahnya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Daya cerna RS tipe IV garut paling rendah bila dibandingkan dengan RS tipe IV dari talas dan gadung. Pati dengan daya cerna yang rendah berpotensi sebagai prebiotik. Hal ini menunjukkan bahwa RS tipe IV dari garut berpeluang tinggi menjadi prebiotik bila dibandingkan dengan RS tipe IV dari gadung dan talas. Nilai daya cerna RS tipe IV garut ini lebih kecil dari daya cerna patinya (27.44 %) yang dapat dilihat pada Lampiran 3.

(56)

ekstrinsik yang mempengaruhi pencernaan pati adalah transit time, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati dan keberadaan komponen pangan lainnya.

Umbi garut memiliki rendemen pati yang paling tinggi dan daya cerna RS tipe IV yang paling rendah dari umbi gadung dan talas. Oleh karena itu, umbi garut terpilih untuk diteliti lebih lanjut.

B. SELEKSI RS DAN JENIS BAL

Penelitian tahap kedua meliputi seleksi jenis RS dan BAL pati garut berdasarkan sifat fisiko kimia dan kemampuannya untuk menumbuhkan BAL. Pengujian dilakukan secara in vitro dengan menumbuhkan BAL pada RS yang disuspensikan dalam air (media s-RS) dan media MRSB tanpa dekstrosa (m-MRSB+RS).

1. Analisis Fisikokimia Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Garut

Analisis sifat fisikokimia yang dilakukan pada pati alami, RS tipe III dan RS tipe IV dari garut meliputi analisis kadar RS, densitas kamba, densitas padat, uji kelarutan dalam air, derajat putih, aw, kadar amilosa, uji amilograf dan gula pereduksi. Pada Tabel 4 tercantum data hasil analisis fisikokimia.

Tabel 4. Hasil Analisis Fisikokimia Pati, RS Tipe III dan RS Tipe IV Garut No Parameter Pati RS tipe III RS tipe IV

a Kadar RS (%) 1.85 6.65 4.42

b Densitas kamba (g/ml) 0.752 0.605 0.669 Densitas padat (g/ml) 0.976 0.732 0.921 c Kelarutan dalam air (%) 8.45 12.96 9.98

d Derajat putih 100.95 - 103.60

e aw 0.41 0.36 0.42

(57)

Suhu puncak gelatinisasi (oC)

81.3 91.75 83.75

Viskositas (BU) 1010 690 2410

h Gula pereduksi (%) 0.05 0.27 0.15

a. Kadar Resistant Starch (RS)

Pati RS tipeIII RS tipe IV

Ka

Kadar RS pati, RS tipe III dan RS tipe IV dari pati garut berturut-turut sebesar 1.85%, 6.65%, dan 4.42%. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa pati alami dari garut memiliki kandungan RS, yaitu sebesar 1.85%. Kandungan RS tipe III pada garut lebih tinggi daripada RS tipe IV.

RS tipe III merupakan tipe pati yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional yang berbasis resistant starch. Kandungan RS tipe III dalam makanan secara alami pada umumnya rendah. Jumlah RS tipe III dapat meningkat saat makanan dipanggang atau pada saat pengolahan makanan. Akan tetapi, cara seperti ini hanya meningkatkan kadar RS tipe III sampai maksimal 3% (Edmonton dan Saskatoon, 1998).

Gambar

Gambar 1. Umbi Garut (Maranta arundinacea L)
Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Garut Dalam 100 Gram Bahan*)
Gambar 4. Daun Gadung (Dioscorea hispida Dennst)
Tabel 2. Komposisi Kimia Umbi Gadung*)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memindahkan kalor dari medium bertemperatur rendah ke medium dengan temperatur lebih tinggi diperlukan suatu sistem yang disebut refrigerasi.. Proses refrigerasi terjadi

Panggung komedi masih menjadi tema fovorit program acara televisi sampai saat ini, bahkan acara yang tidak berbasi panggung komedi seperti talk show hingga ceramah agama sekalipun

[r]

Organisasi ini berkedudukan di Jakarta sebagai Tingkat Pusat dan dapat dibentuk – mempunyai anggota ditiap Propinsi, Kabupaten serta Kotamadya di seluruh Indonesia, yang

Menurut UU No.7 tahun 1971, fungsi arsip dibedakan atas dua yaitu arsip dinamis dan arsip statis.Arsip dinamis adalah arsip yang masih secara langsung

Ungkapan yang menyatakan bahwa “tolong menolong dalam kegiatan asuransi adalah tolong menolong yang dilarang oleh al-Qur’an karena termasuk dalam tolong menolong dalam praktik

Salah satu jenis hutan yang terdapat di daerah tropis dan memiliki banyak pohon adalah hutan kayu putih yang terletak di Pajimatan Imogiri.. Hutan ini termasuk

Strategi distribusi yang dilakukan dinilai baik oleh konsumen, tetapi ada beberapa kekurangan yang harus segera diantisipasi oleh perusahaan, yaitu jumlah outlet