• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENYELENGGARAAN TERPADU DAN EFEKNYA BAGI PENDIDIKAN POLITIK MASYARAKAT: PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PENYELENGGARAAN TERPADU DAN EFEKNYA BAGI PENDIDIKAN POLITIK MASYARAKAT: PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

Sistem politik pada era ini, sering disebut sebagai sistem politik demokratis partisipatif, sebagai hasil perubahan dari sistem politik sebelumnya (masa orde baru) yang sering dikatakan sebagai sistem politik otoriter-represif.

Partisipasi yang dimaksud disini meliputi partispasi publik dalam proses-preoses perencanaan, pengambilan, pelaksanaan dan pengawasan keputusan ataupun kebijaksanaan. Partisipasi-partisipasi publik tersebut dapat berupa penerimaan, pendukungan, penolakan, penerimaan dengan syarat, ataupun pemberian alternatif. Namun diakui, bahwa jika sistem nasional perdiksi dari tiga pilar utama yaitu sistem politik, sistem hukum dan sistem ekonomi sistem politik yang akan menjadi insfrastruktur bagi sistem-sistem yang lain. Sistem politik yang demokratis partisipatif, pada tahap awal akan memunculkan tatantan hukum otonom, dengan kecenderungan keadilan prosedural. Pada tahap berikutnya akan berkembang menjadi tatanan hukum responsif, dengan kecenderungan keadilan substantif (Nume dan Seclzmick, 1978). Keadilan substantif adalah keadilan yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Keadilan yang demikian dalam kenyataannya sudah yang dan terbatas pada keadilan hukum, tetapi juga keadilan sosial, termasuk keadilan politik.

Perubahan-perubahan struktural yang terjadi pada era reformasi ini, antara lain dapat dilihat : amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali, dengan berbagai konsekuensinya, perubahan susunan kekuasaan negara, kemandirian kekuasaan kehakiman (UU No. 4/2004); otonomi daerah yang diperluas (UU No.22/1999, UU no 32/2004; PERPU No.3/2005: PP No. 6/2005 dan PP No. 17/2005), termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, pemilu (pemilihan umum) legislatif (UU No.12/2003 UU No. 10/2008); Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU No. 23/2003) dan seterusnya. Perubahan-perubahan struktural tersebut cenderung lebih cepat

(2)

terjadi, dibandingkan dengan perubahan kultural. Suatu sistem politik yang solid atau stabil-dinamis memerlukan keseimbangan kualitas antara struktur politik dan kultur politik (Nurhadiantomo, 2007/;2008).

Yang dimaksud dengan ”Pemilu Legislatif” disini adalah pemilu dalam rangka pemilihan anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) baik DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/kota, yang juga sering disebut ”Pilwan” (Pemilihan dewan). Sementara yang dimaksud dengan ”Pemilihan Eksekutif” dalam konteks ini adalah pemilu dalam rangka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yang sering disingkat dengan ”Pilpres” yang meliputi Pilpres I (putaran pertama) dan Pilpres II (putaran kedua). Dalam sistem politik demokratis – partisipatif, yaitu sistem politik yang mengutamakan partisipasi masyarakat, khususnya partisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan dan pengawasan keputusan. Pemilu legislatif dan pemilu eksekutif merupakan proses pengambilan keputusan yang berskala besar dan mendasar, karena akan menentukan jalannya penyelenggaraan kehidupan bernegara-bangsa.

(3)

praktek penyelenggaraan Pemilu. Kualitas penyelenggaraan Pemilu tersebut tidak terlepas dari kondisi budaya politik dan budaya hukum yang berjalan dalam kehidupan bernegara-bangsa dan bermasyarakat.

Dalam kehidupan bernegara-bangsa konsep”Pendidikan Politik” tertuang dalam GBHN tahun 1978, yang antara lain disebutkan: ”Pendidikan politik rakyat ditingkatkan, agar makin sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga ikut serta secara aktif dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan. Sementara itu, Alfian menyebutkan bahwa pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk merubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan menghasilkan sikap dan tingkah laku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal itu dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru (Alfian, 1977).

Arti penting partisipasi rakyat dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan, yang merupakan hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan sebagai salah satu tujuan pokok dari pendidikan politik. Tentu saja, intensitas dan cakupan partisipasi pada masa orde baru dengan sistem politik yang cenderung otoriter-represif, berlainan dengan intensitas dan cakupan partisipasi pada era reformasi dengan sistem politik yang cenderung demokratis – partisipatif. Tetapi harus diakui, bahwa demokrasi sebagai landasan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat pada era reformasi ini masih dalam tahapan pembelajaran yang disebut sebagai era demokratisasi menuju masyarakat demokratis dalam arti yang sebenarnya. Pada awal reformasi, misalnya dalam proses kampanye 1999, gerakan massa dan elite partai politik (Parpol) peserta pemilu dalam kampanye, belum dapat membedakan antara apa yang disebut ”liar” dengan ”bebas” karena kebebasan senantiasa berada dalam koridor hukum, etika dan tanggung jawab.

(4)

”kerangka ideal” dari suatu sistem politik, yang pada gilirannya akan mendukung system politik yang dimaksudkan. Pada pasal 33 ayat (1) UU No.2 tahun 2008, disebutkan : ”Partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: a. Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, b. Meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, c. Meningkatkan kemandirian, kedeweasaan dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa”. Selanjutnya, pada pasal 31 ayat (2) UU No. 2 tahun 2008, disebutkan: ”Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila”.

Dari apa yang telah dikemukakan, pendidikan politik memiliki makna dan cakupan yang sangat luas, baik proses atau metode maupun isi pesan-pesan (messages) berupa nilai-nilai dan norma-norma. Pendidikan politik sebagai suatu proses, akan menghasilkan suatu efek baik kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), maupun konatf (tingkahlaku), melalui berbagai jalur pendidikan yang ada, dan memakan waktu yang panjang. Seperti halnya pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan, maka pendidikan politik merupakan bagian integral dari kebudayaan politik, dan kultur politik bersama struktur politik merupakan penyangga dari suatu sistem politik.

(5)

Sejak tahun 2004, bangsa Indonesia telah berhasil menyelenggarakan tiga pemilu dalam satu rangkaian pemilu 2004, yaitu pemilihan anggota DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota, serta dua tahap pemilihan Presiden putaran pertama dan kedua. Sebelum tahun 2004, bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan presiden sebanyak sembilan kali melalui lembaga legislatif. Tetapi sejak tahun 2004 untuk pertama kalinya bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil presiden secara langsung. Pemilian eksekutif secara langsung itu segera diikuti penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil daerah secara langsung, baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota.

Secara umum Pemilu 2004, baik Pilwan maupun Pilpres adalah peristiwa yang sukses dan menjadi salah satu sejarah baru sebagai konsolidasi demokrasi yang solid. Meski demikian, masih terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki. Misalnya, adanya data yang tidak sama antara data yang dimiliki BPS dengan data KPU tentang jumlah orang yang memiliki hak suara. Kecenderungan korupsi pemilu dan money politics masih ditemui dengan berbagai ragam dan bentuk. Masih dijumpai adanya PNS, bahkan TNI dan Polri, yang tidak netral dalam beberapa kasus dan kejadian yang dilaporkan di daerah. Sistem pemungutan suara yang menggunakan informasi teknologi (T) dalam rangka mendukung data pusat tabulasi nasional KPU yang masih lemah (Trikantoro, 2005; Badoh dan Djani, 2006).

(6)

dimaksud ayat (3) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Begitu pula, pasal pasal 20 UU No.2 tahun 2008, disebutkan ”Kepengurusan Partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pasal 19 ayat (2) dan (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004 bahwa pemilih perempuan mencapai 53% dari seluruh pemilih yang ada, calon legislatif yang terpilih dari kaum perempuan hanya 11,27%. Dengan semakin keadilan dan kesetaraan gender (pasal 1 ayat (1) UU No.2/2008), diharapkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif pusat dan daerah sekurang-kurang dapat mencapai 30%.

Beranjak dari tema dan apa yang telah diuraikan di atas, penelitian ini berfokus pada beberapa beberapa hal, yang meliputi: pertama, partisipasi dalam pemilu, khususnya derajat partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya serta kecenderunganya meningkat atau menurun, yang merupakan efek dari proses pendidikan politik. Kedua, kampanye Pemilu sebagai suatu proses komunikasi politik yang akan membawa berbagai efek, seperti hasil voting bagi masing-masing kontestan, termasuk berbagai jenis pelanggaran hukum dan etika yang kontraproduktif terhadap proses pendidikan politik. Ketiga, keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam kepengurusan parpol, dan pada gilirannya juga dalam lembaga legislatif pusat dan daerah pada pemilu 2009 mendatang. Motivasi yang melatarbelakangi ide tersebut, serta maknanya bagi keberadaan perempuan di negeri ini. Keempat, peranan dan citra parpol dalam penentuan calon legislatif (Caleg) menurut pandangan pemilih. Kelima, ide pemilu terpadu Pilwan-Pilpres, Pilgub, Pilbup, Pilwali, hingga Pilkades. Tingkat kejenuhan pemilih, tentunya yang harus diperhitungkan dalam pemilihan langsung tersebut. Keenam, format dan substansi hukum sebagai kebijakan publik dalam pemilu terpadu.

(7)

2. Road map penelitian

Studi tentang pemilu (pemilihan umum) di Indonesia, sejak pemilu 1955 (pemilu pertama), dan enam kali penyelenggaraan pemilu pada masa order baru, telah banyak dilakukan baik oleh peneliti asing maupun peneliti Indonesia sendiri. Tetapi studi tentang Pemilu di Indonesia pada masa reformasi, khususnya pemilu 2004, yang merupakan satu rangkaian Pilwan dan Pilpres (secara langsung) yang terdiri dari Pilpres I dan Pilpres II, dengan pendekatan parsial ataupun komprehensif, relatif masih terbatas.

Salah satu hasil studi tentang pemilu di era reformasi, terutama pemilu 2004 baik Pilwan maupun pilpres, yang menarik adalah hasil studi dari Ibrahim Fahmy Badoh dan Luky Djani dengan topik: Korupsi pemilu yang diterbitkan oleh Indonesia corruption watch (ICW) tahun 2006. kajian ini mengetengahkan berbagai hal berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, khususnya pemilu 2004 yang menyangkut pelanggaran hukum dan etika, berbagai kerawanan hukum yang mengawal penyelenggaraan pemilu, politik uang (money politics), pelanggaran administratif, pengelolaan dana kampanye, hingga usulan perbaikan sistem pemilu termasuk undang-undang yang menjadi landasan pemilu. Hasil studi ini sangat bermanfaat dalam upaya perbaikan sistem pemilu berikutnya. Hasil studi lain adlaah Karya Didik Supriyanto tentang Menjaga Independensi Penyelengaraan Pemilu. Yang diterbitkan oleh Perludem tahun 2007, sehubungan dengan lahirnya UU No. 22/2007 tentang penyelenggaraan Pemilu, berkaitan dengan potensi dan fungsi KPU dan KPUD, serta pihak pengawas pemilu.

(8)

aspek, sebagaimana telah disebutkan di depan yang secara ringkas dapat diketengahkan kembali, yang meliputi: partipasi dalam pemilu, khususnya derajat partisipasi pemilih, kampanye pemilu dan hasil voting bagi masing-masing konstestan, keterwakilan perempuan, khususnya dalam pemilu 2009, peranan dan citra parpol dalam penentuan Caleg dan Pemilu Terpasu Pilwan – Pilpres dalam perspektif pemilih.

3. Hasil-hasil Penelitian Tahap I (Tahn I/2009)

a. Partisipasi dalam pemilu

Derajat partisipasi dalam pemilu legislatif (Pilwan) khususnya Pemilu bagi anggota DPR (2009), terendah dalam sejarah pemilu di Indonesia. Pemilih yang masih dalam daftar pemilih tetap (DPT) berjumlah 171.068.667 orang dan yang menggunakan hak pilihnya 70,96%, sehingga yang tidak menggunakan hak pilihnya 29,04%. Pemilih yang masuk dalam DPT Pemilu Eksekutif / Pemilu Presiden (Pilpres) (2009), berjumlah 176.367.056 orang dan yang menggunakan hak pilihnya 72,56%, sehingga yang tidak menggunakan hak pilihnya 27,44 % dan suara tidak sah 5,06%. Dibandingkan dengan Pilwan 2009, derajat partisipasi Pilpres 2009 ada peningkatan 1,6% suatu peningkatan yang belum signifikan. Tetapi jika dibandingkan dengan Pilpres 2004 (putaran I) dengan derajat partisipasi 78,23% dan suara tdak 2,17% dan Pilpres 2004 (Putaran II) dengan tingkat partisipasi 76,63% dan suarat tidak 2,06% derajat partisipasi pada Pilpres 2009 cenderung terus menurun.

Bagi pemilih yang menggunakan hak pilihnya, baik pada Pilwan 2009 maupun pilpres 2009, memiliki alasan bahwa partisipasi dalam Pemilu sebagai kewajiban hak, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

b. Non voting dan DPT

(9)

voting (golput) mencapai 43,45%, derajat partisipasi akan terlihat lebih rendah lagi. Semenara itu, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres 2009 mencapai 27,44% yang berarti ada kenaikan 1,6% dibandingkan dengan Pilwan 2009, suatu kenaikan yang tidak signifikan dalam proses perkembangan partisipasi publik. Jika ditambah dengan suara tidak sah dadlam pilpres 2009 yang mencapai 5,06%, persentase Golput mencapai 32,5% walaupun lebih dibanding Golput dalam Pilwan 2009 yang mencapai 43,45%, angka itu tetap cenderung tinggi. Ada dua faktor penyebab menurunnya derajat partisipasi dalam Pilwan 2009 dan Pilpres 2009, pertama, kejenuhan, dan kedua apatisme. Masyarakat khususnya pemilih merasa jenuh, karena banyaknya acara pemilihan kepemimpinan secara langsung, sejak dari Pilkades, Pilkada (gubernur, bupati/walikota), Pilwan hingga pilpres. Apatisme juga menghinggapi masyarakat khususnya pemilih, bahwa sistem pemilihan langsung nasional maupun lokal, baik legislatif maupun eksekutif, sesuai dengan aspirasi rakyat. Pola kepemimpinan yang sesuai dengan aspirasi rakyat adalah kepemimpinan yang dapat melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.

Dalam pilwan 2009, DPT berjumlah 171.068.667 orang, dan dalam Pilpres 2009 DPT berjumlah 176.367.056 orang yang berarti terdapat selisih 5.298.389 orang. Dari data ini terlihat, bahwa dalam Pilwan 2009, setidak-tidaknya terdapat 5.298.389 orang yang kehilangan hak pilihnya. Jumlah itu kemungkinan akan lebih besar lagi, karena pada pilpres 2009 masih ada penduduk yang sebenarnya memilkiki hak pilih, tetapi tidak masuk dalam DPT. Hal demikian, menunjukkan lemahnya administrasi kependudukan nasional, selain pelanggaran terhadap hak sipil dan politik yang telah diratifikasi tahun 2005.

c. Kampanye pemilu

(10)

pemilu (Pilwan dan Pilpres) lebih bersifat rasional-persuatif dibandingkan emosional-konfrontatif. Walaupun terjadi pelanggaran hukum dan etika kampanye relatif kecil dan tidak berkembang menjadi konflik terbuka antara pendukung parpol. Kedua, kegaiarahan dalam kampanye terbuka dalam pemilu 2009 (Pilwan dan Pilpres) seperti rapat akbar, panggung terbuka dan arak-arakan kendaraan bermotor cenderung menurun, dibandingkan dengan pemilu 2004 (Pilwan dan Pilpres), apalagi dibandingkan dengan pemilu 1999 dengan massa Peserta pemilu yang sangat tinggi. Ketiga, televisi khususnya tv-swasta menjadi sumber utama informasi pemilu, dan saluran-saluran (channels) komunikasi yang lain termasuk komunikasi sosial sebagai faktor pendukung dalam preoses difusi informasi pemulu tersebut. Keempat, dalam pandangan masyarakat khususnya pemilih, messages pemilu (Pilwan dan Pilpres) berupa visi, missi dan program-program, dianggap serupa/sejenis dalam arti tidak ada yang “mengigit dan inovatif. Dalam situasi seperti ini tentunya parpol yang berkuasa, yang memiliki peluang lebih besar dalam difusi informasi atas program-program yang telah berhasil dijalankannya. Kelimat baik dalam Pilwan maupun pilpres, pencitraan tokoh ataupun public figure lebih menarik afinitas politik dibandingkan dengan program-program yang ditawarkan. Keenam, lingkungan sosial seperti lingkungan RT dan RW, tempat-tempat ibadah, pos ronda, warung-warung kopi, tempat berkumpul anak-anak muda, bahkan lingkungan keluarga, cenderung bersifat netral. Hal demikian, karena berakhirnya ”politik aliran” dan memudarnya ikatan-ikatan politik primordial.

(11)

politik dalam proses kampanaye itu. Tingkat pelanggaran hukum sejak dari pelanggaran lalu lintas hingga politik uang dan pelanggaran etika politik seperti penyelenggaraan panggung hiburan seronok, pemasangan tanda gambar caleg yang tidak pantas, relatif terbatas. Terjadinya politik uang, disamping karena tindakan caleg, juga karena sikap masyarakat sendiri, yang cenderung terbuka terhadap politik uang tersebut. Adanya aturan main, bahwa untuk meraih ”calon jadi” tidak lagi ditentukan oleh jumlah suara yang diperoleh masing-masing caleg, menjadi salah satu faktor pendorong yang kuat terjadinya politik uang. Dapat dicatat pula, bahwa politik uang lebih banyak dilakukan oleh caleg baru, terutama untuk DPRD, sedangkan caleg lama cenderung kehabisan dana.

Relatif terbatasnya pelanggaran hukum dan etika politik dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 (Pilwan dan Pilpres), yang berarti tingkat ketaatan terhadap hukum dan etika politik relatif tinggi.

d. Keterwakilan perempuan

Kepengurusan Partai politik ditingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%, yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing (UU No. 2/2008, pasal 2, ayat 5, dan pasal 20). Dalam UU No. 10/2008, pasal 35, ayat 2 juga disebutkan : di dalam daftar bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.

(12)

pendekatan kuantitatif (target 30%) tidak ada salahnya dalam menegakkan keadilan gender. Tetapi pendekatan kualitatif juga tidak kalah pentingnya, dalam arti bahwa anggota parlemen perempuan secara kualitas terandalkan dalam memperjuangkan keadilan gender, kepentingan dan aspirasi perempuan.

e. Perananan dan citra partai politik (parpol)

Sebagai infrastruktur politik, kedudukan dan peranan parpol sangat strategis dalam proses pemunculan suprastruktur politik, yaitu apa yang dihasilkan oleh Pemilu. Dalam pandangan pemilih ada beberapa hal yang perlu dicatat, pertama, bahwa parpol belum dapat berperan secara optimal dalam menyalurkan aspirasi rakyat, khususnya aspirasi konstituen. Kedua, parpol belum mampu memunculkan kader-kader terbaiknya sebagai caleg, karena salah satu syaratnya adalah dana yang relatif besar yang harus disediakan oleh para kader terbaik tersebut. Ketiga, secara organisatoris, parpol belum mampu menjaga komunikasi secara berkelangsungan dengan konstituenya. Karena kondisi tersebut masa pendukung parpol cenderung cair dalam arti alfinitas politik antara massa pendukung dengan parpol yang bersangkutan menjadi begitu longgar. Dari sini massa pendukung parpol, khususnya pemilih dengan mudah berganti parpol yang menjadi pilihannya.

f. Model pemilu menurut pandangan publik

(13)

mengurangi tingkat kejenuhan dan bagi penyelenggara pemilu dapat melakukan persiapan secara lebih matang.

g. Penetapan suara terbanyak

(14)

LAMPIRAN

Judul Tesis Mahasiswa S2 / Magister Ilmu Hukum – Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang dilibatkan dalam penelitian Hibah Pasca

Tahun I (2008 – 2009).

1. Keadilan gender dalam politik. Studi Tentang Pemunculan Anggota Legislatif Wanita dalam pemilu legislatif 2004 dan 2009

Sri Hastutik Ekowati, SH NIM. R 100080033

2. Pemilu Legislatif sebagai Sarana Pendidikan Hukum dan Politik. Studi Tentang Tingkat Ketaatan Partai Politik Peserta Pemilu Terhadap Hukum dan Eetika Politik.

Zainnudin Fanarie, SH NIM: R 100080024

3. Format Pemilu Terpadu yang Demokratis – Partisipatif: Studi tentang Efektivitas Hukum.

Muhammad Sofyan, SH NIM: R 100080008

Tahun II (2008 – 2009).

4. Disorder Law dalam penyelenggaraan Pemilu kode tahun 2007 di kota Bengkulu. Studi Tentang Pemerintah Pemandulan Eksekutif Putusan Money Politik.

Emma Ellyani, SH NIM: R 100 090 006

5. Pemilu Kada dan Hukum Kesehatan: Studi Tentang Pemeriksaan Fisik dan Jiwa bagi Calon Pimpinan Daerah.

Kusuma Retnowati, SH NIM 100 090 010

6. Penyelesaian Wewenang Penyelesaian Sengketa Pemilu Kada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Hamid S. Attamimi. 1993. Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Diucapkan dalam Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap Fakultas UI. Depok.

Afrosin Arif, Respati. 2006. Mengawal Demokrasi. Dinamika Pilkada Kabupaten Grobogan. Surakarta. Indonesia: Iskra Publisher.

Alfian. 1977. Pemikiran dan Perubahan Politik. Jakarta: PT. Gramedia.

Anderson. Games E. 1979. Public Policy Making. Praeger Publishers. New York. Anonim. 2003. Lembaga Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

http://www.kpu.go.id.

Anonim. 2003. Himpunan Undang-undang Bidang Politik. Jakarta. Indonesia: KPU Press.

Anugrah, Astrid. 2008. UU Parpol 2008 (UU No. 2 Tahun 2008) dan Keterwakilan Perempuan dalam Parpol. Jakarta: Penerbit Pancuran Alam.

Arief Sidharta. 1994. Teori Murni Tentang Hukum. Dalam Lili Rasjidi dan Arief Sidharta. Filsafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Badoh, Ibrahim Fahmy dan Luky Djani. 2006. Korupsi Pemilu. Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW).

Bintan R. Saragih. 1997. Evaluasi Pemilu Orde Baru dalam Kumpulan Makalah dengan Judul Masyarakat dan Sistem Pemilu Indonesia. Bandung. Indonesia: Mizan.

Bintoro Tjokroamidjojo. 1991. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES. Jakarta.

Braithwaite. J. G. Grootaert dan B. Milanovic. 2000. Poverty and Social Assistance in Transition Countries. New York: St. Martin’a Press.

(16)

Latin American And The Caribbean Technical Department. World Bank. Washington D.C.

Dye. R. Thomas. 1978. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs. Prentice Hall Inc. New Jersey.

Governance for Sustainable Human Development. The United Nations Development Programmed. Governance: Sound Development Management. Asian Development Bank. 1995.

Jones. Charles O. 1997. An Introduction to Study of Public Policy. Duxbury Press. Massachusetts.

Kelsen. Hans. 1973. General Theory of Law and State. Terjemahan Andern Wedberg. New York. Russell & Russell.

Magnis-Suseno, Franz. 2003. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Milovanovic. Dragan. 1994. Sociology of Law. Harrow and Heston. New York. Narayan. D. Et.Al. 2000. Voices of The Poor: Can Anyone Hear Us? (Vol. 1) New

York. N. Y. Publisher for The World Bank. Oxford. University Press. Nonet, Philipe & Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition. Toward

Responsive Law. New York: Harper and Row.

Nurhadiantomo. 2008. Masyarakat Majemuk, Transformasi Sosial dan Peranan

Hukum. Surakarta: Program PKn-FKIP-Universitas Muhammadiyah

Surakarta (terbitan terbatas).

_____________, Januari 1978. ”Etika Komunikasi Politik: Perspektif Kampanye Pemilu dan Beberapa Implikasinya”, dalam Jurnal Akademik, No. 3, Tahun VI. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. (ed). 1996. Pemberdayaan Konsep Kebijakan dan Implementasi. CSIS. Jakarta.

(17)

Ravallion M. Dan B. Bidani. 1991. Measuring Changes in Poverty Profile. World Bank Economic Review. 5.

Sigler. Jay. A. dan Benjamin R. Beede. 1977. The Legal Sources of Public Policy. D.C Heath and Company. Belmount. California.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Press. Jakarta.

Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raya Grafindo Persada. Jakarta. 1995.

Supriyanto, Didik. 2007. Menjaga Inepenent Penyelenggaraan Pemilu. Jakarta: Perludem.

Trikartono, Dradjat. 2005. ”Membaca Ulang Pemilu Tahun 2004”. Dalam Dari Pilwan ke Pilpres: Laporan Pemilu 2004 di Surakarta. Surakarta: Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta.

Trubek. David. 1972. M. Toward a Social Theory o Law: An Essay on the Study of Law and Development. The Yale Law Journal. Vol. 83. Number I. World Bank Institute and Parliamentery Centre. 1998. Parliamentary

Accountability and Good Governance. A Parliamnetarian’s Handbook.

Zetter, Lionel. 2008. Strategi Memenangkan Pilkada, Pemilu & Pilpres. Jakarta: PT. Ina Publikatama.

Undang-undang

UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD. UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden – Wakil Presiden. UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(18)

i

MODEL PENYELENGGARAAN TERPADU DAN EFEKNYA BAGI PENDIDIKAN POLITIK MASYARAKAT:

PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

Oleh:

Dr. Nurhaidnatomo

Dr. KP Eddy S. Wirabhumi, S.H.

Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departement Pendidikan Nasional

Sesuai dengan Huruf Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor Kontrak: 316/SP2H/PP/DP2M/IV/2010,

Tertanggal 12 April 2010

(19)
(20)

iii

wakil rakyat dan pejabat pimpinan melalui jalan pemilihan (voting), yang diproses dalam pengambilan keputusan dengan skala yang sangat besar. Sistem politik pada era reformasi yang cenderung demokratis partisipasif, memungkinkan penyelenggaraan pemilu yang demikian.

Permasalahan yang timbul pada intinya adalah bagaimana penyelenggaraan pemilu dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan aspirasi rakyat, berjalan dalam kondisi hukum dan etika politik, dan artinya bagi pendidikan politik masyarakat. Dari sinilah, selanjutnya muncul sejumlah fokus penelitian yang juga dapat dijadikan sebagai tujuan penelitian juga dapat dijadikan sebagai tujuan penelitian. Dari hasil penelitian pendahuluan muncul sejumlah sub-fokus, dan yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah perubahan format dan pemilu seperti yang dikehendaki oleh pemilih, dan konsekuensinya pada perubahan regulasi berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Selanjutnya, adalah menurunnya derajat partisipasi dalam pemilu di era reformasi; penyelenggaraan kampanye pemilu sebagai proses dan efek komunikasi politik, keterwakilan perempuan, penanam partai politik sebagai infrastruktur politik, dan penetapan caleg DPR berpihak berdasarkan jumlah suara. Penelitian ini, menggunakan metode kualitatif, melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, dengan analisis reflektif mengalir hingga pemaknaan temuan-temuan.

Penelitian ini membawa sejumlah hasil yang utama, bahwa publik menghendaki adanya perubahan format pemilu, yang berarti perubahan sistem publik, adalah pemilihan pemilu nasional (pusat) dengan pemilu daerah. Pemilu Nasional merupakan gabungan dari pemilu legislative pusat (DPR dan DPD) dan Pemilu Presiden. Pemilu daerah merupakan gabungan dari pemilu legislatif Daerah (DPR Provinsi, Kabupaten, Kota) dan pemilu eksekutif daerah (Gubernur, Bupati, Walikota). Pemilu Nasional dilaksanakan terlebih dahulu, baru disusul pemilu daerah. Rentang waktu antara pemilu nasional dengan pemilu daerah, selama dua tahun. Waktu dua tahun, untuk persiapan pemilu berikutnya, mengevaluasi hasil pemilu yang sudah berlangsung, dan mengurangi tingkat kejenuhan masyarakat untuk itu diperlukan perubahan sejumlah regulasi, terutama UU politik, yang terdiri atas ini, tergantung dari keamanan politik pemeritah dan DPR Perubahan Format Pemilu, berarti perubahan sistem pemilu.

Selain itu, menurunnya derajat partisipasi dalam pemilu, karena faktor kejenuhan dengan tingginya frekuensi pemilihan secara langsung, dan faktor apatisme, karena publik mengganggap bahwa pemilu yang ada belum dapat memunculkan keputusan yang aspiratif. Dalam hal ini kampanye pemilu, publik mengakui adanya peningkatan kualitas, tetapi belum optimal sebagai sarana pendidikan politik masyarakat. Keterwakilan perempuan, masih dengan pendekatan kuantitas, dan belum optimal pada pendekatan kualitas, citra dan peranan partai politik sebagai infrastruktur politik, masih belum memadai sebagai saluran aspirasi rakyat. Tetapi penetapan caleg DPR terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak, memperoleh respon positif dari publik, karena memperkuat hak pilih masyarakat.

Kata kunci:

(21)

iv

Halaman Pengesahan ... ii

Abstrak ... iii

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel dan Diagram ... v

Prakata ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 14

III. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

IV. METODE PENELITIAN ... 31

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(22)

v

Tabel 1 : Hasil Pemilu Legislatif 2009 38 Tabel 2 : Hasil Pemilu Legislatif 2004 39 Tabel 3 : Profil Anggota DPR (2004-2009; 2009-2014) menurut kom- 45

posisi Pekerjaan

Tabel 4 : Profil Anggota DPR (2004-2009; 2009-2014) menurut kom- 47 posisi Pendidikan

Tabel 5 : Profil Anggota DPR (2004-2009; 2009-2014) menurut kom- 48 posisi Agama

Tabel 6 : Partisipasi dalam Pemilu Legislatif dari masa ke masa 50 Tabel 7 : Caleg Peraih Suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif 2009 57 Tabel 8 : Tingkat Partisipasi Pemilu Presiden 70 Tabel 9 : Rekapitulasi Nasional dan Perolehan Suara Pasangan calon 71 Tabel 10 : Sejumlah Janji dan Konflik Politik 72 Tabel 11 : Debat Capres soal isu : ” NKRI, Demokrasi, dan Otonomi 78

daerah ”

Diagram

(23)

vi

Pemilihan umum (pemilu) baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, begitu pula pemilu kada, melalui pemilihan (voting) secara langsung, yang dilakukan oleh rakyat untuk memilih wakilnya dan pemimpinya, merupakan proses-proses pengambilan keputusan dengan skala yang sangat besar. Hal demikian, tentunya berlainan dengan proses-proses pengambilan keputusan dengan skala yang terbatas, seperti proses-proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Besarnya kesempatan berpartisipasi tersebut, karena sistem politik Indonesia pada era reformasi itu, bersifat demokratif – partisipatif.

Berbagai permasalah timbul dalam penyelenggaraan pem pemilu pada era reformasi ini, seperti kecenderungan makin menurunnya derajat partisipasi dalam pemilu, penyelenggara hukum dan etika politik dalam proses-proses pemilu, keterwakilan perempuan, serta citra dan peranan partai politik. Lebih dari itu, masyarakat juga menginginkan adanya perubahan sistem politik, melalui perubahan format pemilu, dalam bentuk pemisahan antara pemilu nasional dengan pemilu daerah, sebagaimana dijelaskan dalam kajian ini.

Tiga peneliti mengucapkan terima hasil yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselenggaranya penelitian ini, terutama kepada direktora penelitian dan pengabdian kepada masyarakat – direktorat jenderal pendidikan tinggi. Departemen Pendidikan Nasional RI, serta lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Surakarta, 11 Oktober 2010 Ketua Tim Peneliti

(24)

pemilihan umum (pemilu) sebagai hak dan kewajiban dalam kehidupan bernegara bangsa. Pemilu legislatif sebagai jalan untuk memilih wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan (DPR, DPD, DPAD Provinsi ataupun Kabupaten/Kota). Sementara itu, pemilu eksekutif, yang meliputi pemilu presiden dan pemilu kada (Gubernur, Bupati, Walikota), merupakan jalan untuk memilih secara langsung pejabat pimpinan, untuk memadu jalannya pemerintahan. Masyarakat mengganggap bahwa pemilu yang telah berjalan pada era reformasi ini, dinilai relatif berhasil dalam proses pemunculan kepemimpinan. Tetapi penyelenggaraan pemilu tersebut masih terdapat berbagai kekurangan, terutama dalam hal perwujudan etika politik dan penegakan hukum. Oleh daripada itu, adalah bagaimana penyelenggaraan pemilu dapat mendukung kehidupan bernagara bangsa, secara demokratis partisipatif. Karena itu, publik menghendaki adanya perubahan sistem pemilu, agar proses dan efek penyelenggaraan pemilu tersebut lebih berdaya guna dan berhasil guna, dalam mewujudkan kehidupan bernegara bangsa yang demokratis partisipatif.

Pemilu umum (pemilu), yang terdiri atas pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilu kepala daerah sebagai proses pemunculan wakil rakyat dan pejabat pimpinan melalui jalan pemilihan (voting), yang dilakukan oleh rakyat secara langsung, merupakan proses-proses pengambilan keputusan dengan skala yang sangat besar. demokratis partisipatif, memungkinkan penyelenggaraan pemilu yang demikian.

(25)

suara. Penelitian ini, menggunakan metode kualitatif, melalui tahap-tahap yang salah ditentukan, dengan analisis reflektif mengalir hingga pemaknaan temuan-temuan.

Penelitian ini, membawa sejumlah hasil yang utama, bahwa publik menghendaki adanya perubahan format pemilu yang berarti perubahan sistem pemilu. Formatpemilu yang dikehendaki publik, adalah pemisahan pemilu nasional (pusat) dengan pemilu daerah. Pemilu nasional merupakan gabungan dari pemilu legislatif pusat (DPR dan DPD) dan pemilu presiden. Pemilu daerah merupakan gabungan dari pemilu legislatif daerah (DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota) dan pemilu eksekutif daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) pemilu nasional dilaksanakan terlebih dahulu, baru disusul pemilu daerah. Rentang waktu antara pemilu nasional dengan pemilu daerah, selama dua tahun. Waktu dua tahun, untuk persiapan pemilu berikutnya, mengevaluasi hasil pemilu yang sudah berlangsung, dan itu diperlukan perubahan sejumlah regulasi terutama UU Politik, yang terdiri atas sejumlah Undang-Undang. Sejumlah regulasi yang terangkum dalam UU Politik itu meliputi : sejumlah regulasi khususnya UU Dasar yang meliputi UU Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU Penyelenggaraan Pemilu. Selanjutnya juga UU Pemilu Daerah, yang terdiri atas pemilu DPRD dan pemilu kada. Untuk UU Pemilu Kada, tentunya harus dipisahkan dari UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan sistem pemilu tergantung dari bermacam politik pihak pemerintah dan DPR. Perubahan format pemilu, berarti perubahan sistem pemilu, yang bergantung dari bermacam politik pihak legislatif, yaitu pemerintah dan DPR.

(26)

Referensi

Dokumen terkait

Apabila memahami dan mencermati persiapan dan perencanaan yang telah dilakukan oleh Kepala Madrasah, para guru, dan tenaga Tata Usaha MTsN Malang III dalam

[r]

Ary Jatmoko, S331308002, 2016, OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KEPOLISIAN RESORT KARANGANYAR (Studi Kasus Tindak Pidana Korupsi di Perusahaan Daerah

1) Dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih menyenangkandengan menggunakan model pembelajaran examples non examples. 2) Dapat meningkatkan pengetahuan siswa

Kecepatan dan ketepatan informasi yang disuguhkan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengguna untuk selalu mengaksesnya (Arif, 2010 : 73-75). Keunggulan dari internet

Hanya mengisi Nip, nama peserta, tanggal lahir, jenis kelamin, agama, alamat, dan no.telepon kemudian klik tombol save Nip Pegawai:(terisi) Nama Peserta:(terisi)

Satu kasus pasien laki-laki berusia 48 tahun didiagnosis sebagai fistula oroantral akibat ekstraksi gigi molar kiri atas dengan sinusitis maksilaris kronis odontogenik dan

Untuk membuat program baru pilihlah Project kemudian klik OK, maka muncul pertanyaan yang menanyakan apakah kita ingin menggunakan CodeWizardAVR seperti pada gambar