• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Causes Factors of Recurrence of Skizophrenia in Patiens Who Were Treated at Mental Hospital in Province of North Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "The Causes Factors of Recurrence of Skizophrenia in Patiens Who Were Treated at Mental Hospital in Province of North Sumatra"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

i

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEKAMBUHAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN

SKRIPSI

Oleh

RUSMINI SIMATUPANG 121121019

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014

(2)
(3)

i

HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Rusmini Simatupang

NIM : 121121019

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul Faktor-faktor Penyebab Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya, dan belum pernah diajukan kepada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan kaidah ilmiah yang harus dijungjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa adanya tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Medan, Februari 2014 Yang menyatakan,

Rusmini Simatupang

(4)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis ucapakan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya , sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Faktor-faktor Penyebab Kekambuhan Skizofrenia yang di Rawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsu Sumatera Utara Medan” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Ilmu Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang teristimewa ibunda, ayahanda, serta abang, kakak, adik dan keponakan tercinta yang telah memberikan do’a, semangat dan dukungan selama ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Erniyati SKp, MNS selaku pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Ibu Evi Karota Bukit, SKp, MNS selaku pembantu

Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Bapak Ikhsanuddin

Ahmad Harahap, SKp, MNS selaku pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

(5)

iii

5. Ibu Mahnum Lailan, Nst, S.Kep, Ns, M. kep Selaku dosen Penguji II 6. Orang tua yang selalu memberikan dukungan dan do’anya, yang terus

memberi semangat sehingga skripsi ini ini dapat terselesaikan dengan baik

7. Kepada Abang dan kakak saya yang terus memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada adek saya yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Rekan-rekan seperjuangan Program S-1 Ekstensi 2012, terima kasih atas dukungan teman-teman semua.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari penulisan proposal penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis berharap masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan di masa yang akan datang. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita terutama bagi pendidikan keperawatan, pelayanan kesehatan, dan penelitian keperawatan.

Medan, Februari 2014 Penulis

Rusmini Simatupang 121212019

(6)

DAFTAR ISI

1.4.2 Bagi Pendidik Keperawatan ... 8

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan ... 8

2.4 Klasifikasi Skizofrenia ... 16

2.4.1. Skizofrenia Tipe Hebefreniks ... 16

2.4.2. Skizofrenia Tipe Katatonik ... 17

2.4.3. Skizofrenia Tipe Paranoid ... 17

2.4.4. Skizofrenia Tipe Residual ... 18

(7)

v

2.5. Penanganan Skizofrenia (Treatment) ... 18

2.5.1. Perawatan Rumah Sakit ... 18

2.5.2. Pendekatan Biologis ... 19

2.5.3. Pendekatan Psikososial ... 19

2.6. Kekambuhan ... 21

2.6.1. Defenisi Kekambuhan ... 21

2.7. Faktor-faktor penyebab kekambuhan ... 22

2.7.1. Ketidak patuhan meminum obat ... 22

2.7.2. Faktor Sehubungan dengan pasien ... 24

2.7.3. Faktor Sehubungan dengan pengobatan ... 26

2.7.4. Faktor Lingkungan ... 27

2.7.5. Faktor Sehubungan dengan Profesional Kesehatan ... 28

2.8 Faktor Fsikososial ... 30

2.8.1. Masalah dengan kelompok pendukung ... 32

2.8.2. Masalah Pendidikan ... 32

2.8.3. Masalah Pekerjaan ... 32

2.8.4. Masalah Perumahan ... 33

2.8.5. Masalah Ekonomi ... 33

2.8.6. Masalah Dengan Pelayanan Kesehatan ... 33

(8)

5.1.1. Karakteristik Responden ... 42

5.1.2. Faktor-Faktor Penyebab Kekambuhan Skizofrenia ... 44

5.2. Pembahasan... . 46

5.2.1. Kekambuhan Skifrenia berdasarkan ketidak patuhan minum Obat ... 46

5.2.2. Kekambuhan Skifrenia berdasarkan Faktor Psikososial 48

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 51

6.1. Kesimpulan... 51

6.2. Saran... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN

1. Inform Consent 2. Kuesioner

3. Hasil uji reliabelitas 4. Surat pengambilan data 5. Surat Izin Penelitian 6. Surat selesai penelitian 7. Daftar riwayat hidup

(9)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Defenisi Operasional……….33 Tabel 5.1 Karakteristik demografi pasien skizofrenia yang di rawat di

Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan ……….………….43 Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentasi penyebab kekambuhan

skizofrenia karena ketidak patuhan minum obat………...44 Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentasi penyebab kekambuhan

skizofrenia karena faktor psikososial………...………. ..46

(10)

DAFTAR SKEMA

(11)

ix

Judul : Faktor-faktor Penyebab Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Yang di Rawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

Nama Mahasiswa : Rusmini Simatupang

NIM : 121121019

Program : Sarjana Keperawatan (S.kep)

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kekambuhan pada pasien skizofrenia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ketidakpatuhan minum obat dan faktor psikososial.. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor penyebab kekambuhan skizofrenia. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan 92 responden dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang paling banyak menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah karena faktor ketidakpatuhan minum obat diperoleh 68 responden (73,9%) pasien merasakan efek samping dari obat yaitu tremor (gemetaran) pada tangan, sedangkan dari Faktor psikososial diperoleh bahwa 65 responden (70,7%) mengatakan bahwa keluarga tidak paham dengan penyakit yang diderita. Diharapkan kepada petugas pelayanan kesehatan supaya meningkatkan komunikasi kepada pasien maupun keluarga dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh pasien dan keluarga.

Kata kunci : Kekambuhan, Skizofrenia,

(12)

Title : The Causes Factors of Recurrence of Skizophrenia in Patiens Who Were Treated at Mental Hospital in Province of North Sumatra

Student name : Rusmini Simatupang Student number : 121121069

Program : Bachelor of Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

A recurrence in patients winth skizophrenia caused by several factors that are disobedience medication and psychosocial factors. This research aims to describe the causes of recurrence factors of schizopherenia. A didign that used in this research is descriptive by use of 92 respondent with purposive sampling technique. Data collection using questionnaire. The study showed that the most common cause of recurrence in patiens with skizophrenia is due to disobedience medication obtained 69 respondents (73%) the patient perceives a side effect of a drug that is tremors (shivered) on a hand, while from psychological factor obtained that 65% of respondents (70.7%) said that the family don’t understand with a disease which suffered. Expected to officers of health services to increase communication to the patient or the family by the use of words easily understood by the patient and the family.

(13)

ix

Judul : Faktor-faktor Penyebab Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Yang di Rawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

Nama Mahasiswa : Rusmini Simatupang

NIM : 121121019

Program : Sarjana Keperawatan (S.kep)

Tahun : 2014

ABSTRAK

Kekambuhan pada pasien skizofrenia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ketidakpatuhan minum obat dan faktor psikososial.. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor penyebab kekambuhan skizofrenia. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan 92 responden dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang paling banyak menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah karena faktor ketidakpatuhan minum obat diperoleh 68 responden (73,9%) pasien merasakan efek samping dari obat yaitu tremor (gemetaran) pada tangan, sedangkan dari Faktor psikososial diperoleh bahwa 65 responden (70,7%) mengatakan bahwa keluarga tidak paham dengan penyakit yang diderita. Diharapkan kepada petugas pelayanan kesehatan supaya meningkatkan komunikasi kepada pasien maupun keluarga dengan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh pasien dan keluarga.

Kata kunci : Kekambuhan, Skizofrenia,

(14)

Title : The Causes Factors of Recurrence of Skizophrenia in Patiens Who Were Treated at Mental Hospital in Province of North Sumatra

Student name : Rusmini Simatupang Student number : 121121069

Program : Bachelor of Nursing

Year : 2014

ABSTRACT

A recurrence in patients winth skizophrenia caused by several factors that are disobedience medication and psychosocial factors. This research aims to describe the causes of recurrence factors of schizopherenia. A didign that used in this research is descriptive by use of 92 respondent with purposive sampling technique. Data collection using questionnaire. The study showed that the most common cause of recurrence in patiens with skizophrenia is due to disobedience medication obtained 69 respondents (73%) the patient perceives a side effect of a drug that is tremors (shivered) on a hand, while from psychological factor obtained that 65% of respondents (70.7%) said that the family don’t understand with a disease which suffered. Expected to officers of health services to increase communication to the patient or the family by the use of words easily understood by the patient and the family.

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart, 2006). Data WHO, prevalensi (angka kesakitan) penderita skizofrenia sekitar 0,2-2 %. Sedangkan insiden atau kasus yang baru yang muncul tiap tahun sekitar 0,01%. Dan lebih dari 80% penderita skizofrenia di Indonesia tidak diobati dan dibiarkan berkeliaran dijalanan. Sementara jumlah penderita gangguan jiwa ringan dan sedang juga terus meningkat. Diperkirakan 20-30% dari populasi penduduk diperkotaan mengalami gangguan jiwa ringan dan berat (Susanto, 2009).

Dari data jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia terus bertambah. Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta. Kenaikan jumlah penderita gangguan jiwa terjadi disejumlah kota besar. Di RS Jiwa Pusat Jakarta, misalnya tercacat 10.074 kunjungan pasien gangguan jiwa pada 2006, meningkatkan menjadi 17.124 pasien pada 2007. Sedangkan di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan, jumlah meningkat hingga 100% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada awal tahun 2008, RSJ Daerah Sumatera Utara Medan menerima sekitar 50 penderita per hari untuk menjalani rawat inap dan sekitar

(16)

80 penderita untuk rawat jalan. Sementara pada tahun 2006-2007. RSJ Sumut menerima hanya 25-30 penderita perhari. Untuk penanganan masalah kejiwaan di Indonesia, Depkes sudah menyiapkan tenaga psikiater 600 orang. Sebanyak 80% dari jumlah tenaga itu berada di jawa, tepatnya di kota Jakarta mencapai 50%. Distribusi ini belum merata, oleh karena itu dilakukan pelatihan pada dokter umum untuk meningkatkan kapasitas kemampuan di daerah-daerah (Aimanullah, 2008)

Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2004, pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah 1387 orang. Dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1183 orang (88,15%”). Pada tahun 2005 pasien gangguan jiwa yang dirawat 1694 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia 1543 orang (91,09%). Dari 1543 orang penderita skizofrenia yang dirawat pada tahun 2005 sebanyak 1493 orang penderita remisi sempurna (96,76%) dan dari jumlah tersebut penderita yang mengalami relaps sebanyak 876 orang penderita (56,67%). Data di atas menunjukkan adanya peningkatan penderita skizofrenia dari tahun ke tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sumatera Utara dan juga menunjukkan angka relaps pada penderita remisi sempurna (Sirait, 2008).

(17)

3

kekambuhan (relaps). Data diatas menunjukkan tingginya angka penderita pasien skizofrenia (Medical Record RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara).

Gambaran gangguan skizofrenia beraneka ragam dari mulai gangguan alam pikir, perasaan dan perilaku yang mencolok sampai pada yang tersamar. Gambaran yang mencolok misalnya penderita bicaranya kacau dengan isi pikiran yang tidak dapat diikuti dan tidak rasional, perasaany tidak menentu sebentar marah dan mengamuk, sebentar tertawa gembira atau sebaliknya sedih; perilakunya sering aneh misalnya lari-lari tanpa busana. Gejala yang mencolok tersebut diatas mudah dikenali dan mengganggu keluarga dan masyarakat. Sedangkan gejala yang tersamar dan tidak mengganggu keluarga ataupun masyarakat, misalanya menarik (mengurung) diri dalam kamar, tidak mau bicara dan tertawa sendiri.

Gejala-gejala positif yang pada penderita skizofrenia adalah delusi atau waham yaitu keyakinan yang tidak masuk akal; halusinasi yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan; kekacauan alam pikiran yang dilihat dari isi pembicaraanya yang kacau; gaduh, gelisah, tidak dapat berdiam diri, mondar mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan, merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sebagainya, serta pikiran yang penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya dan menyimpan rasa permusuhan.

Gejala-gejala negatif yang dapat dilihat pada skizofrenia adalah alam perasaan (afek) “tumpul” dan “datar”, menarik diri, sukar diajak bicara, pasif dan

(18)

apatis, sulit dalam berfikir abstrak dan pola pikir sterotip, tidak ada dorongan kehendak, tidak ada inisiatif, serba malas (kehilangan nafsu).

Pasien skizofrenia seringkali memerlukan rawat inap di rumah sakit dengan berbagai alasan. Perawatan kembali pasien dengan skizofrenia lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien gangguan mental berat lainnya. Medikasi dapat mengurangi gejala 70% sampai 85% pada seseorang yang pertama kali didiagnosis sebagai skizofrenian namun 60% pasien akan mengalami perawatan ulang (Linden, 2005).

Ingram, Timbury, dan Mowrbray (1993), skizofrenia memerlukan rehabilitasi intensif, social, industrial, tetap jumlah rangsangan harus cocok dengan kebutuhan individu. Rangsangan yang berlebihan telah terbukti menyebabkan kekambuhan, sedangkan rangsangan yang terlalu kecil terbukti meneruskan penarikan diri dan kronsitas, relaps seringkali timbul setelah adanya peningkatan “peristiwa hidup”. Riset atas peristiwa hidup memperlihatkan bahwa pasien skizofrenia mengalami peristiwa hidup itu dengan frekuensi tinggi dalam tiga minggu sebelum kambuh dan hal ini akan terjadi lebih sering bila pasien menjadi sasaran permusuhan dalam konflik keluarga.

(19)

5

untuk menjalani rawat jalan tidak berapa lama mengalami kekambuhan dengan menunjukkan gejala-gejala seperti saat belum mendapatkan perawatan dirumah sakit jiwa. Hal inilah yang biasa disebut dengan relaps atau kekambuhan kembali.

Kekambuhan diartikan sebagai suatu keadaan dimana apabila seseorang pasien skizofrenia yang telah menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa dan diperbolehkan pulang kemudian kembali menunjukkan gejala-gejala sebelum dirawat inap. Setiap kekambuhan yang terjadi perpotensi membahayakan bagi pasien dan keluarganya. Apabila kekambuhan yang terjadi maka pasien harus kembali melakukan perawatan inap di rumah sakit jiwa untuk ditangani oleh pihak yang berwenang.

Kekambuhan mengikuti perjalanan bagi kehidupan pasien skizofrenia. Dalam sebuah penelitian yang ditulis oleh Davies (1994) hampir 80% pasien skizofrenia mengalami kekambuhan berulang kali. Kekambuhan biasanya terjadi apabila keluarga hanya menyerahkan perawatan pada rumah sakit jiwa dan obat-obatan anti psikotik tanpa disukung perawatan secara langsung oleh keluarga. dalam sebuah penelitian yang ditulis dalam The Hongkong Medical Diary bahwa studi naturalistik telah menemukan tingkat kekambuhan pada pasien masuk rumah sakit pertama kali. Penelitian di Hongkong menemukan bahwa dari 93 pasien skizofrenia masing-masing memiliki potensi relaps 21%,33% dan 40% pada tahun pertama, kedua dan ketiga.

Kekambuhan pada pasien skizofrenia disebabkan oleh tidak teraturnya pasien dalam minum obat. Hasil menunjukkan bahwa 25% sampai 50% pasien yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak meminum obat secara teratur (Appleton 1982

(20)

dalam Keliat,1996). Menurut Agus (2001) penyebab kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah factor psikososial.Ketidak patuhan minum obat dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah faktor sehubungan dengan pasien, faktor sehubungan dengan pengobatan, faktor sehubungan dengan lingkungan, faktor sehubungan dengan interaksi dengan professional kesehatan. Sedangkan faktor psikososial dapat dipengaruhi oleh masalah dengan kelompok pendukung (lingkungan keluarga), masalah lingkungan soasial, masalah pendidikan, masalah pekerjaan, masalah ekonomi dan masalah dengan pelayanan kesehatan.

Interaksi di dalam keluarga sangat mempengaruhi tingkat kekambuhan pada skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophrenogenic mother digunakan untuk mendeskripsikan tentang sifat ibu yang yang dingin, menolak dan sikap dominan yang dapat menyebabkan skizofrenia pada anaknya. Di samping itu, istilah double bind communication digunakan unruk menggambarkan gaya komunikasi yang

menghasilkan pesan-pesan saling bertengtangan yang pada akhirnya mengakibatkan perkembangan skizofrenia. Dukungan keluarga sangatlah penting dalam hal memberikan kontribusi bukan pada onset skizofrenia tetapi pada kekambuhan yang terjadi setelah gejala-gejala awalnya terobsesi. Adanya expressed emotion dari keluarga seperti sikap bermusuhan, kritik, dan keterlibatan

(21)

7

1.2 PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang tersebut yang diuraikan diatas maka peneliti ingin mengetahui “ Faktor-faktor penyebab kekambuhan pada pasien skizofrenia yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan”.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kekambuhan pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan.

1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1Menggambarkan faktor-faktor penyebab kekambuhan skizofrenia karena ketidakpatuhan minum obat.

1.3.2.2Menggambarkan faktor-faktor penyebab kekambuhan skizofrenia dari sudut Psikososial.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1.4.1. Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan kontribusi bagi peningkatan praktek keperawatan khususnya pengembangan ilmu keperawatan jiwa terhadap penatalaksanaan pasien skizofrenia dan faktor-faktor yang menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia.

(22)

1.4.2. Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi bagi mahasiswa keperawatan tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia sehingga dapat memberikan pendidikan kesehatan bagi pasien terutama keluarga pasien

1.4.3. Bagi Penelitian Keperawatan

(23)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SKIZOFRENIA

2.1.1 Defenisi Skizofrenia

Gangguan skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan berperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara social. Gangguan ini berlangsung selama sedikitnya 6 bulan dan termasuk minimal satu bulan yang diakibatkan gangguan susunan sel-sel syaraf pada otak manusia, (Isaacs,2002).

Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu menggembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum muncunya gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada diantaranya, ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat (Harris dalam Craighed, Craighed, Kazdin & Mahoney,1994)

2.2 Etiologi

Menurut Kaplan, Sadock & Grebb, 1994 dalam Fausiah Fitri, 2005, factor penyebab skizofrenia adalah:

(24)

2.2.1. Model Diatesis Stres

Mengintegrasikan factor biologis, psikososial, dan lingkungan. Seseorang memiliki kerentanan spesifik (diathesis), yang jika mengalami stress akan dapat memicu munculnya simtom skizofrenia. Stressor atau diathesis ini bersifat biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (seperti kematian orang terdekat).

2.2.2. Sudut Pandang Biologis

Pada pasien Skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya skizofrenia. Penelitian pada beberapa dekade terakhir mengindikasikan peran patofisiologi dari area tertentu di otak; termasuk system limbik,korteks frontal, dan ganglia basalis. Hipotesa Dopamin: Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter Dopaminergic. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunya nilai ambang atau hipersensitivitas reseptor dopamine, atau kombinasi dari factor-faktor tersebut.

2.2.3. Sudut Pandang Genetik

(25)

11

skizofrenia. Jika pada populasi normal prevalensi penderita skizofrenia sekitar 1% maka pada keluarga skizofrenia prevalensi meningkat. Antara lain saudara kandung pasien skizofrenia (bukan kembar) prevalensinya 8%. Anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia memiliki prevalensi 12%. Jika kedua orang tuanya mengalami skizofrenia,prevalensi ini meningkat pesat hingga 40%. Sedangkan pada penelitian anak kembar, ditemukan bahwa pasien skizofrenia yang kembar dua telur memiliki prevalensi 12%, dan untuk kembar satu telur prevalensinya meningkat menjadi 47%.

2.2.4. Sudut Pandang Psikososial

1) Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik

Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Kerusakan ego memberikan konstribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Secara umum kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari dalam. Sedangkan pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama anak-anak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal. Simtom positif diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon terhadap factor pemicu/pencetus, dan erat kaitanya dengan adanya konflik. Simtom negative berkaitan erat dengan factor biologis, sedangkan gangguan dalam hubungan

(26)

interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.

Teori Belajar

Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenian mempelajari reaksi dan cara berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa anak-anak mereka belajar dari model yang buruk.

2) Teori Tentang Keluarga

Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga yang pagtologis yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia.

3) Teori Sosial

Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data pendukung, namun penekanan saat ini adalah dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit.

2.3. Gejala Skizofrenia

(27)

13

tidak berdasarkan kenyataan; delusi atau waham somatik, kebesaran, keagamaan, nihilistik atau waham lainya yang bukan waham kejar atau cemburu; delusi atau waham kejar atau cemburu dan waham tuduhan yang diseratai halusinasi dalam bentuk apapun (halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan); halusinasi pendengaran yang dapatberupa suara yang selalu memberikan komentar tentang tingkah laku ayai pikiranya, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap; halusinasi pendengaran yang terjadi beberapa kali yang berisi lebih dari satu atau dua kata dan tidak ada hubunganya dengan kesedihan atau kegembiraaan; inkoherensi yaitu kelongggaran asosiasi pikiran yang jelas, jalaan pikiran yang tidak masuk akal, isi pikiran atau pembicaraan yang kacau atau kemiskinan pembicaraan.

Sebelum seseorang secara nyata aktif menunjukkan gejala-gejala skizofrenia, yang bersangkutan terlebih dahulu menunjukksn gejala awal yang disebut gejala prodromal. Sebaliknya bila penderita skizofrenia tidak lagi aktif menunjukkan

gejala-gejala sisa yang disebut sebagai gejala-gejala residual. Gejala- gejala prodromal atau residual adalah:

4) Penarikan diri atau isolasi dari hubungan social. 5) Enggan bersosialisasi dan enggan bergaul.

6) Hendaya yang nyata dalam fungsi peran pencari nafkah (tidak mau bekerja), 7) siswa/mahasiwa (tidak mau sekolah/ kuliah)

8) pengatur rumah tangga (tidak dapat menjalankan urusan rumah tangga)

(28)

9) keseuanya itu terkesan malas.

10)Tingkah laku yang aneh dan nyata misalnya mengumpulkan sampah, menimbun makanan atau berbicara, senyum-senyum dan tertawa sendiri di tempat umum; berbicara sendiri tanpa mengeluarkan suara “komat kamit”

11)Hendaya yang nyata dalam hygiene (kebersihan/perawatan) diri dan berpakaian, misalnya tidak mau mandi dan berpakaiaan kumal (berpenampilan lusuh dan kumuh).

12) Afek (alam perasaan) yang tumpul atau miskin, mendatar dan tidak serasi, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi dan terkesan dingin.

13)Pembicaraan yang melantur, kabur, kacau, berbelit-belit, beputar-putar.

14)Ide atau gagasan yang aneh dan tidak lazim atau pikiran magis, seperti takhayul, kewaskitaan, telepati, indera keenam, orang lain dapat merasakan perasaanya, ide-ide yang berlebihan, gagasan mirip waham yang menyangkut diri sendiri. 15) Penghayatan persepsi yang tak lazim seperti ilusi yang berulang, merasa

hadirnya suatu kekuatan atau seseorang yang sebenarnya tidak ada.

(29)

15

Gejala yang timbul sangat bervariasi tergantung pada tahapan perjalanan penyakit. Ada gejala yang dapat ditemuan dalam kelainan lain, ada yang paling sering timbul pada skizofrenia yang merupakan tanda utama diagnosis (Ingram et al,1993) Gejala umum skizofrenia adalah:

a. Delusi (waham), suatu keyakinan yang salah yang tidak dapat dijelaskan oleh latar belakang budaya pasien ataupun pendidikannya. Pasien tidak dapat diyakinkan oleh orang lain bahwa keyakinanya salah, meskipun banyak bukti kuat yang dapat diajukan untuk membantah keyakinan pasien tersebut.

b. Halusinasi adalah persepsi yang salah, tidak terdapat stimulus sensorik yang berkaitan dengannya. Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima yang keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran dan hausinasi penglihatan.

c. Pembicaraan kacau, terdapat asosiasi yang terlalu longgar. Asosiasi mental tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturan-aturan tertentu yang hanya dimiliki oleh pasien.

d. Tingkah laku kacau, bertngkah laku yang tidak terarah pada tujuan tertentu,misalnya membuka baju di depan umum

e. Simtom-simtom negative, berkurangnya ekspresi emosi, berkurangnya kelancaran dan isi pembicaraan, kehilangan minat untuk melakukan berbagai hal.

(30)

2.4 Klasifikasi Skizofrenia

Dalam pengalaman praktek Skizofrenia dibagi dalam 5 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya didominasi dengan hal-hal sebagai berikut:

2.4.1. Skizofrenia tipe Hebefrenik

Seorang yang menderita Skizofrenia tipe Hebefrenik yang disebut juga disorganized type atau ”kacau balau” yang ditandai dengan gejala-gejala aantara lain:

a. Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada hubunganya satu dengan yang lain.

b. Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak selera.

c. Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri

d. Waham tidak jelas dan tidak sistematik (terpecah-pecah) tidak terorganisir sebagai suatu kesatuan

e. Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisir sebagai suatu kesatuan.

(31)

17

2.4.2. Skizofrenia tipe Katatonik

Seseorang yang menderita Skizofrenia tipe Katatonik menunjukkan gejal-gejala yaitu:

a. Stupor Katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari gerakan atau aktivitas spontan sehingga tampak seperti “patung” atau diam membisu.

b. Nativisme Katatonik, yaitu suatu perlawanan yang nampaknya tanpa motif tehadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan dirinya. c. Kekakuan Katatonik, yaitu mempertahankan suatu sikap kaku terhadap

semua upaya untuk menggerakkan dirinya.

d. Kegaduhan Katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik yang tampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan luar. e. Sikap Tubuh Katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar atau aneh.

2.4.3. Skizofrenia tipe Paranoid

Seseorang yang menderita Skizofrenia tipe Paranoid menunjukkan gejala-gejala yaitu:

a. Waham kejar atau waham kebesaran, misalnya kelahiran luar biasa, misi atau utusan sebagai penyelamat bangsa, dunia atau agama, misi kenabian atau mesias, atau perubahan tubuh. Waham cemburu seringkali ditemukan.

(32)

b. Hausinasi yangmengandung isi kejaran atau kebesaran.

c. Gangguan alam perasaan dan perilaku misalnya kecemasan yang tidak menentu, kemarahan, suak bertengkar dan berdebat dan tindak kekerasan

2.4.4. Skizofrenia tipe Residual

Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala Skizofrenia yang tidak begitu menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi (inapropiate), penarikan diri dari pergaulan social, tingkah laku eksentrik, pikiraan tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi pkiran. Meskipun gejala-gejala Skizofrenia tidak aktif atau tidak menampakkan gejala-gejala-gejala-gejala pasif skizofrenia hendaknya pihak keluarga tetap mewaspadainya dan membawanya berobat agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi kehidupanya sehari hari dengan baik dan produktif.

2.4.5. Skizofrenia tipe Tak Tergolongkan

Tipe ini memenuhi criteria umum untuk diagnosis skizofrenia tetapi ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah diuraikan di muka, hanya gambaran klinisnya terdapat waham, halusinasi, inkoherensi atau tikah laku kacau.

2.5 Penanganan (Treatment)

2.5.1 Perawatan Rumah Sakit

(33)

19

terancam karena perilaku penderita yang kacau dan tidak sesuai), juga dikarenakan pasien yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri. Pada saat perawatan di rumah sakit ini orang tua atau orang yang merawat turut dilibatkan dalam program rehabilitasi, dengan tetap memperhitungkn tingkat keparahan pasien.

2.5.2 Pendekatan Biologis

Secara umum obat-obatan antipsikotik dapat dikelompokkan dalam 2 golongan besar, yaitu:

1. Kelompok yang tradisional/klasik/tipikal yaitu Dopamine Receptor Antagonis (DRA). DRA dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu high

potency (misalnya CPZ) dan low potency ( misalnya Haloperidol)

2. Kelompok yang non-tradisional/atipikal yaitu Serotonin Dopamine Antogonis (SDA)

2.5.3 Pendekatan Psikososial

Dalam melakukan intervensi psikososial perlu untuk mementukan dan kerugian yang akan diperoleh dari suatu pendekatan. Termasuk dalam pendekatan psikososial ini adalah terapi individu, terapi kelompok, terapi keluarga, bentuk-bentuk rehabilitasi vokasional,dll.

1. Terapi Individu

Dapat dilakukan dengan menggunakan terapi psikodinamik, atau Cognitiven Behavior Therapy (CBT)

(34)

2. Terapi Keluarga

Pada terapi ini dapat dilakukan beberapa hal, antara lain (Davison & Neale, 2001)

• Memberikan pendidikan tentang skizofrenia, termasuk simtom dan

tanda-tanda kekambuhan.

• Memberikan informasi tentang dan memonitor efek pengobatan dengan

antipsikotik.

• Menghindari Saling menyalahkan dalam keluarga.

• Meningkatkan komunikasi dan keterampilan pemecahan masalah

keluarga.

• Mendorong pasien dan keluarga untuk mengembangkan kontak social

mereka, terutama berkaitan dengan jaringan pendukung.

• Meningkatkan harapan bahwa segala sesuatu akan membaik, dan pasien

mungkin tidak harus kembali ke rumah sakit. 3. Terapi Kelompok

(35)

21

2.6 KEKAMBUHAN

2.6.1. Defenisi Kekambuhan

Kekambuhan adalah istilah medis yang mendiskripsikan tanda-tanda dan gejala kembalinya suatu penyakit setelah suatu pemulihan yang jelas (Yakita 2003). Menurut Agus (2001) penyebab kekambuhan pasien Skizofrenia adalah faktor psikososial yaitu pengaruh lingkungan keluarga maupun sosial.

Kekambuhan pasien skizofrenia merupakan istilah yang secara relative merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau lingkunganya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt,2006)

Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien skizofenia adalah hal utama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien karena adanya kekambuhan yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu rawat inap rumah sakit diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostic san stabilitas pemberian medikasi (Durand, 2007)

Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang, apapun subtype penyakitnya. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup

(36)

bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan, seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan dengan skizofrenia.

Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit, kekambuhan dan memperpanjang waktu antara kekambuhan.

Meskipun angka kekambuhan secara otomatis dapat dijadikan sebagai criteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan keluarganya, yakni seringkali mengakibatkan perawatan kembali rehospitalisasi dan pembengkakan biaya.

2.7 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEKAMBUHAN

2.7.1 Ketidakpatuhan Meminum Obat

(37)

23

7% orang-orang yang diberi resep obat-obat antipsikotik menolak memakainya (Hoge,1990)

Menurut Tambayong (2002) factor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat, dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggungjawab atas pembelian atau pemberian abat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta kegunaanya.

Menurut Kinon et al. Kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini.

1. Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan > dua episode dari:

1) Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif

2) Adanya bukti atau kerugian menyimpang atau meludahkan obat yang diberikan

3) Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan.

2. Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.

(38)

3. Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh orang lain dalam waktu sebulan.

4. Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat-obatan walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal tersebut.

Faktor- faktor yang mempunyai hubungan dengan ketidakpatuhan minum obat antara lain:

1. Faktor-faktor sehubungan dengan pasien (keparahan penyakit, instight yang buruk, komorbid dengan penggunaan zat).

2. Faktor-faktor sehubungan dengan pengobatan (efek samping obat yang mengganggu, dosis yang tidak efektif).

3. Faktor lingkungan (kurangnya dukungan)

4. Faktor sehubungan dengan interaksi dengan petugas professional kesehatan.

2.7.2 Faktor Sehubungan Dengan Pasien

(39)

25

segala bentuk terapi atau mengatur perjanjian, mereka menganggap dirinya istimewa dan berbeda dengan yang lain.

Sedangkan pada orang tua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan. Selain itu,pada orang tua sering mendapat berbagai macam obat-obatan sehubungan dengan komorbiditas fisik. Wanita cenderung lebih patuh terhadap pengobatan dibandingkan dengan pria, begitu juga wanita muda menunjukkan kepatuhan yang lebih baik dibandingkan yang tua.

Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam penerimaan terhadap pengobatan. Pasien yang merasa tersiksa atau khawatir akan diracun, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan.

Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tergantung tentang kesehatanya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang kesehatanya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan dengan penyakit-penyakit lain seperti kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidak patuhan dapat terjadi.

Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam pengaruhnya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada pasien dengan skizofrenia sikap pasien terhadap

(40)

pengobatan dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negative sampai sangat positif. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simtom positif dan efek samping. Selain itu juga pasien skizofrenia sering mengalami kejenuhan minum obat.

Masalah keuangan dapat juga mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan transportasi dapat menjadi penghalang.

2.7.3. Faktor Sehubungan Dengan Pengobatan

Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Efek samping obat neuroleptik yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan sebab dapat berperan dalam menurunkan kepatuhan. Efek samping yang umum dan penting adalah efek ekstrapiramidal, gangguan seksual dan penambahan berat badan. Namun pada data ternyata tidak ada hubungan antara regimen terapi dan profil efek samping dengan kepatuhan terhadap pengobatan. Kenyataanya pasien yang tidak patuh tidak berbeda dari pasien yang patuh dalam melaporkan efek samping neurologic.

(41)

27

juga dengan pasien skizofrenia yang sudah dalam remisi biasanya kekambuhan tidak langsung segera terjadi bila pengobatan dihentikan. Kekambuhan dapat terjadi beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah obat antipsikotik dihentikan, jadi penghentian obat tidak terlalu berhubungan dengan buruknya keadaan pasien. Sebagai akibatnya pasien yang sudah dalam remisi sempurna mempunyai permasalahan apakah remisi tersebut berhubungan dengan pengobatan yang dilakukanya.

2.7.4. Faktor Lingkungan

Dukungan dan bantuan merupakan bagian penting dalam kepatuhan pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dibandingkan dengan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Kemungkinan lain, sikap negative dalam lingkungan sosial pasien terhadap pengobatan psikiatri atau terhadap pasien sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan yang biasanya bila pasien tinggal dengan orang lain.

Tidak kalah penting faktor yang mempengaruhi perilaku pasien terhadap kepatuhan adalah pengaruh obat terhadap penyakitnya. Sangat penting untuk memberikan dukungan untuk menambah sikap positif terhadap pengobatan pada pasien. Lingkungan terapetik juga harus diperhitungkan. Dalam pasien rawat inap dimana teman sekamar pernah mengalami pengalaman buruk terhadap satu jenis obat dan menceritakannya maka akan merubah sikap pasien terhadap obat yang sama.

(42)

2.7.5. Faktor Sehubungan Dengan Interaksi dengan Profesional Kesehatan

Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/apoteker, serta mutu dan keberhasilan (keefektifan) interaksi professional kesehatan dengan pasien adalah penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap kesakitannya dan regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah dukungan psikologis yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati bahwa pasien cenderung untuk lebih mematuhi instruksi sang dokter yang mereka kenal betul dan dihormati, serta dari siapa saja mereka menerima informasi dan kepastian tentang kesakitan dan obat-obat mereka. Berbagai faktor berikut adalah di antara faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada lingkup dan mutu interaksi dengan pasien.

 Menunggu Dokter atau Apoteker

Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan untuk bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya, kejengkelan dapat berkontribusi pada kepatuhan yang lebih buruk terhadap instruksi yang diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa 31% dari pasien yang biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dalam 30 menit, 67% dari pasien tersebut benar-benar patuh.

 Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatn

(43)

29

kasar, dan otoriter. Walaupun demikian tidak demikian bagi banyak praktisi yang mengabdi dan terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup terbukti menunjukkan suatu masalah yang signifikan.

Pelaku pelayanan kesehatan cenderung menggunakan terminology sehingga pasien tidak dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang penetahuan tentang teori dan praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang terbatas pada tingkat, masalah, dan penyebab pasien tidak taat pada pengobatan.

Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter, penulis resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat mempengaruhi bagaimana ini diterima, dimengerti, dan diingat. Pasien mengingat dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan, instruksi yang perlu penekanan adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit instruksi yang diberikan, semakin besar bagian yang diingat. Jadi suatu pesan tidak saja harus jelas dinyatakan, tetapi juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien untuk mengikuti dan memproses informasi secara sempurna.

 Gagal Mengerti Pentingnya Terapi

Alasan utama untuk tidak patuh adalah pentingnya terapi obat dan akibat yang mungkin, jika obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi yang tidak mengesankan pasien. Pasien biasanya mengetahui relative sedikit tentang

(44)

kesakitan mereka, apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat.

Oleh karena itu, mereka menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi pengharapan, mereka cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian yang lebih besar diperlukan untuk memberikan edukasi pada pasien tentang kondisinya, dan manfaat serta keterbatasan dari obat, akan berkontribusi pada pengertian yang lebih baik dari pihak pasien tentang pentingnya menggunakan obat yang dimaksud.

2.8 Faktor Psikososial

Berbagai macam stressor lingkungan kemungkinan berhubungan dengan kekambuhan skizofrenia. Stessor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang yang memaksa orang tersebut untuk beradaptasi.

Perhatian utama ditujukan bagi semua emosi yang diekspresikan (expressed emotion) dan resiko terjadinya relaps pada skizofrenia. Sebagai salah satu faktor,

(45)

31

expressed emotion yang kuat atau gaya afektif negative secara signifikan lebih sering

mengalami relaps dibandingkan dengan yang tinggal dalam keluarga dengan expressed emotion yang rendah, atau gaya yang normal. Studi keluarga menunjukkan

bahwa pasien skizofrenia yang kembali ke lingkungan rumah yang sering terjadi keadaan kritis, kekerasan atau emosi yang diekspresikan cenderung akan meningkatkan relaps.

Studi WHO menunjukkan outcome yang lebih baik pada pasien skizofrenia secara tradisional, di Negara-negara non-Barat, dimana keluarga lebih toleran. Intervensi keluarga terhadap terapi mungkin dapat menurunkan atau paling tidak akan memperlambat relaps pada pasien. Intervensi yang dapat dilakukan keluarga adalah lebih dapat menerima bentuk menejemen yang kebanyakan pasien tidak dapat menerimanya. Selain itu, percobaan intervensi social keluarga penderita skizofrenia dengan pengobatan ternyata menghasilkan angka relaps yang sangat rendah dibandingkan dengan hanya menggunakan pengobatan. Leff dan Vaughn melaporkan bahwa bentuk empati merupakan bagian dari sekumpulan sikap dengan pengekspresian emosi yang rendah. Sikap dari keluarga merupakan salah satu predikator yang sangat kuat terhadap relaps pada skizofrenia.

Berbagai macam stessor lingkungan kemungkinan berhubungan dengan relapsnya skizofrenia. Yang dimaksud dengan stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang yang memaksa orang tersebut untuk beradaptasi atau mengulangi. Biasanya stressor

(46)

terjadi dalam kurun waktu satu tahun sebelum gangguan jiwa saat ini. Yang termasuk stressor psikososial adalah:

2.8.1 Masalah dengan kelompok pendukung.

Kelompok pendukung dalam hal ini adalah keluarga. Salah satu kendala dalam upaya penyembuhan skizofrenia adalah adanya stigma dalam keluarga dan masyarakat. Banyak keluarga yang menganggap bahwa gangguan jiwa skizofrenia adalah penyakit yang memalukan dan bukan penyakit yang dapat disembuhkan dengan tindakan medis. Penerimaan keluarga dan lingkungan pada klien skizofrenia akan membantu proses penyembuhan skizofrenia.

2.8.2 Masalah pendidikan

Pendidikan berpengaruh pada proses kekambuhan pasien skizofrenia. Hal ini bersangkutan dengan pemahaman keluarga tentang skizofrenia dan proses penyembuhan skizofrenia. Keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah untuk memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang penganganan skizofrenia, dibandingkan dengan keluarga yang berpendidikan rendah.

2.8.3 Masalah pekerjaan

(47)

33

mengalami rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita skizofrenia. (Irmansyah,2001).

2.8.4 Masalah perumahan

Tempat tinggal yang terlalu ramai dan bising akan mempercepat orang mengalami stres. Rasa tidak aman dan tidak terlindungi membuat jiwa seseorang tercekam sehingga menganggu ketenangan dan ketentraman hidup.

2.8.5 Masalah ekonomi

Biaya pengobatan yang mahal ditambah dengan kemampuan ekonomi yang lemah menngakibatkan beberapa keluarga pasien tidak menebus resep yang telah diberikan, sehingga pasien tidak meminum obat sesuai dengan yang telah dianjurkan oleh dokter. Hal tersebut akan mempengaruhi kekambuhan pada pasien.

2.8.6 Masalah dengan pelayanan kesehatan

Pasien dengan skizofrenia memerlukan pelayanan kesehatan yang terus-menerus untuk tetap menjaga agar tidak terjadi kekambuhan. Tersedianya pelayanan kesehatan akan mempermudah untuk mengontrol penderita skizofrenia sehingga kekambuhan dapat diatasi.

(48)

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor yang menyebabkan kekambuhan pada gangguan jiwa yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

Gambar 3.1 Kerangka konseptual tentang Faktor Penyebab Kekambuhan Skizofrenia yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan

Keterangan

Variable yang diteliti Variable yang tidak diteliti

Ketidakpatuhan Minum Obat Faktor pasien

Faktor pengobatan

Faktor lingkungan sosial Faktor interaksi professional kesehatan

Faktor Psikososial Kelompok pendukung Pendidikan

Pekerjaan Ekonomi

Pelayanan kesehatan

(49)

35

3.2Defisini Operasional

(50)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan faktor-faktor yang menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah klien gangguan jiwa skizofrenia yang sedang berobat jalan di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan. Dari data yang diperoleh dari Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan pada tahun 2012 jumlah pasien tercacat dari bulan Oktober-Desember 3523 orang.

4.2.2 Sampel dan Tehnik Sampling

Teknik sampling diambil oleh peneliti adalah purposive sampling. Pengambilan secara purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan sifat atau ciri tertentu (Notoatmodjo,2010).

Adapun kriteria sampel pada penelitian ini, antara lain :

(51)

37

c. Pasien skizofrenia yang mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar

d. Pasien skizofrenia yang bersedia menjadi responden

Jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan rumus dari Sugiono, 2006 dengan rumus

n = � 1+��2

n= ukuran sampel N= ukuran populasi

e= taraf kesalahan sebesar 0.10 (10%) n = �

4.3Lokasi dan Waktu penelitian

Lokasi penelitian adlah Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan. Pertimbangan memilih lokasi ini adalah karena rumah sakit tersebut adalah rumah sakit pemerintah dan juga sebagai rumah sakit rujukan di propinsi sehingga akan memudahkan pengambilan sampel penelitian sesuai dengan criteria penelitian. Waktu penelitian adalah selama 2 minggu..

(52)

4.4 Pertimbangan Etik

Dalam melakukan penelitian. Peneliti akan mengajukan permohonan izin pada institusi Fakultas Keperawatan Sumatera Utara, selanjutnya akan mengirim surat permohonan izin melakukan penelitian kepada Rumah Sakit Jiwa Propsu Medan. Setelah mendapatkan persetujuan peneliti akan memulai penelitian.

Dalam melakukan pengumpulan data ini ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan etik yaitu dengan memberiakan penjelasan kepada calon responden penelitian tentang tujuan dan prosedur penelitian. Calon responden yang bersedia menjadi menjadi objek penelitian akan diminta untuk menanda tangani inform consent (surat perjanjian). Selama proses pengumpulan data responden berhak untuk mengundurkan diri. Penelitian ini tidak menimbulkan resiko bagi individu secar fisik maupun psikis. Kerahasiaan data responden tidak akan dipublikasikan dan tidak akan mencantumkan nama responden dalam instrument penelitian.

4.5 Instrument penelitian

4.5.1 Kuisioner Penelitian

(53)

39

Bagian kedua adalah data mengenai faktor penyebab kekambuhan skizofrenia yaitu pertanyaan yang terstruktur yang dibuat oleh peneliti sendiri, yang terdiri dari 21 pertanyaan dengan menggunakan skala Guttman yang mencakup pilihan “Ya” (skor 1), dan “Tidak” (skor 0). Pertanyaan dari no 1-12 adalah pertanyaan mengenai kekambuhan skizofrenia berdasarkan faktor ketidakpatuhan minum obat, yang terdiri dari pertanyaan nomor 1-2 merupakan pertanyaan untuk faktor yang berhubungan dengan pasien, pertanyaan nomor 3-4 faktor pengobatan, pertanyaan nomor 5-6 faktor lingkungan, pertanyaan nomor 7-12 interaksi dengan professional kesehatan. Pertanyaan 13-21 adalah pertanyaan mengenai kekambuhan skizofrenia berdasarkan faktor pskikososial yang terdiri dari pertanyaan nomor 13-14 masalah dengan kelompok pendukung, pertanyaan nomor 15 masalah pendidikan, pertanyaan nomor 16-17 masalah pekerjaan, pertanyaan nomor 18 masalah perumahan, pertanyaan nomor 19-20 masalah ekonomi dan pertanyaan nomor 21 masalah pelayanan kesehatan. skor terendah adalah 0 dan tertinggi adalah 1.

4.5.2 Uji Validitas instrumen

Suyanto (2011) mengemukakan dua tehnik validitas yang dapat dilakukan pada kuisioner dalam hal ini yang dilakukan pada peneliti adalah uji validitas konten. Peneliti telah melakukan uji validitas instrument kepada ahli, dan telah dilakukan perbaikan dengan mengurangi pertanyaan dari 22 menjadi 21, memperbaiki kalimat pada no 4,7,12,14,17,20, Mengganti kalimat pertanyaan no 1, 6, 13,14,21.

(54)

4.5.3 Uji Reabilitas

Uji reabilitas atau keandalan bertujuan melihat andal atau tidaknya instrument yang telah disusun. Untuk mengetahui reliabilitas adalah dengan membandingkan nilai r hasil dengan r tabel, dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai “Cronbach’s Alpha”, bila r Alpha > r tabel, maka pertanyaan tersebut reliabel. Dalam hal penelitian ini peneliti telah melakukan uji coba dengan responden 20 orang dan setelah diolah maka didapatkan nilai Cronbach's Alpha = 0.586 lebih besar dari nilai r tabel =0,378.

4.6 Pengumpulan data

(55)

41

4.7 Analisis Data

Peneliti melakukan analisis data melalui beberapa tahap. Pertama, memeriksa nama dan kelengkapan identitas, data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi. Dilanjutkan mengklarifikasi data dengan mentabulasi data dengan menggunakan teknik komputerisasi.

(56)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian yang dilakukan dari tanggal 9 Januari sampai 20 Januari 2014 dengan jumlah responden 92 orang. Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini akan menguraikan gambaran data demografi responden dan faktor penyebab kekambuhan pada skizofrenia yang di rawat di Rumah Sakit Jiwa Sumatera Utara Medan.

5.1.1 Karakteristik Responden

(57)

43

Tabel 5.1

Karakteristik demografi pasien skizofrenia yang di rawat di Rumah

Sakit Jiwa Propsu Medan (n=92)

(58)

Penghasilan keluarga

5.1.2. Faktor –faktor penyebab kekambuhan skizofrenia

5.1.2.1. Kekambuhan skizofenia karena ketidak patuhan minum obat

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebanyak 68 responden mengatakan bahwa mereka mengalami tremor (gemetaran) setelah meminum obat (73,9%), sebanyak 53 responden mengatakan bahwa tidak paham dengan penjelasan yang dari pelayanan kesehatan karena sering menggunakan kata-kata yang tidak dapat dimengerti (57,6%) dan sebanyak 69 responden mengatakan bahwa tidak mampu mengingat instruksi yang diberikan karena terlalu banyak (69,6%).

Tabel 5.2

Distribusi frekuensi dan persentasi faktor kekambuhan skizofrenia

karena ketidakpatuhan minum obat (n=92)

Pertanyaan

Ya Tidak Frekuensi (persentasi ) 1. Saya beranggapan bahwa penyakit saya

sudah sembuh sehingga saya tidak perlu minum obat

2. Saya merasa jenuh atau bosan minum obat

3. Saya tidak merasakan perubahan apa-apa

(59)

45

4. Tangan saya sering gemetaran setelah minum obat

5. Saya selalu mendapat dukungan dari keluarga saya

6. Keluarga selalu menekankan kepada saya untuk selalu patuh menjalani pengobatan 7. Saya merasa jengkel apabila harus

menunggu lama untuk bertemu dengan dokter

8. Saya tidak menuruti instruksi yang diberikan karena sikap dari pelayanan kesehatan yang dingin

9. Saya tidak paham dengan penjelasan dari pelayanan kesehatan karena sering menggunakan kata yang tidak saya mengerti

10.Saya merasa instruksi yang diberikan terlalu banyak sehingga saya tidak mampu mengingatnya dengan baik

11.Saya mengerti tujuan terapi yang diberikan kepada saya

12.Saya paham apa manfaat dari pemberian obat

5.1.2.2 Faktor kekambuhan skizofrenia karena faktor psikososial

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebanyak 52 responden mengatakan bahwa keluarga menganggap bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit yang memalukan (56,5%), dan sebanyak 65 responden mengatakan bahwa keluarga tidak paham dengan penyakit yang diderita (70,7%), sebanyak 48 responden mengatakan bahwa terkadang tidak minum obat karena ketidakadaan biaya(52,2%) dan sebanyak 54 responden mengatakan bahwa malas control ulang ke rumah sakit karena jauh dari tempat tinggal (58,7%).

(60)

Tabel 5.3

Distribusi frekuensi dan persentasi faktor kekambuhan skizofrenia karena psikososial

Pertanyaan Ya Tidak Frekuensi (persentasi ) 1. Keluarga saya menganggap bahwa

penyakit saya adalah penyakit yang memalukan

2. Keluarga dan lingkungan saya menerima saya kembali

3. Keluarga saya tidak paham mengenai penyakit yang saya derita karena pendidikan yang rendah

4. Saya mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan setelah pulang dari rumah sakit 5. Saya sering mengalami perlakuan yang

tidak menyenangkan dalam pekerjaan

6. Tempat tinggal saya dekat dengan keramaian sehingga saya merasa terganggu 7. Saya terkadang tidak minum obat karena

ketidakadaan biaya untuk menebus resep yang diberikan dokter

8. Saya malas control ulang ke Rumah Sakit Jiwa karena jauh dari tempat tinggal saya 9. Saya malas control ulang ke rumah sakit

karena saya jenuh menunggu antrian berobat di Rumah Sakit Jiwa

52(56,5)

5.2.1 Kekambuhan skizofrenia berdasarkan ketidakpatuhan minum obat

(61)

47

kesehatan. Dari faktor pengobatan ditemukan bahwa sebanyak (73,9%) responden mengatakan merasa gemetaran (tremor) setelah minum obat. Berdasarkan hasil penelitian (Asima Sirait, Winda Mustika, 2009) menunjukkan bahwa faktor obat merupakan penyebab ketidakpatuhan dengan persentase sebanyak 62,2%. Dimana responden lebih banyak mengatakan bahwa pasien merasakan efek samping dari obat tersebut sehingga pasien tidak melanjutkan meminum obat. Menurut Jorgensen, pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Efek samping yang umum dan penting adalah efek pada ekstrapiramidal, gangguan seksual dan penambahan berat badan (Loebis, 2008).

Obat yang biasa diberikan kepada pasien di rumah sakit adalah Haloperidol, kloropromazin (CPZ) dan Trihesilfenidil (THP). Efek samping dari obat Haloperidol dapat menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens yang tinggi. Kloropromazin (CPZ) dapat menimbulkan ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai oleh adanya eosinophilia dalam darah perifer, dapat juga berupa hipotermia, kadang-kadang takikardia atau mulut dan tenggorokan kering,mengantuk, konstipasi dan retensi urin. Trihesifenidil (THP) dapat menimbulkan mulut kering, penglihatan kabur, pusing, cemas, konstipasi, retensi urin, takikardi, dilatasi pupil, meningkat, sakit kepala.

Faktor interaksi dengan professional kesehatan didapatkan sebanyak (57,6%) responden mengatakan bahwa tidak paham dengan penjelasan yang dari pelayanan kesehatan karena sering menggunakan kata-kata yang tidak dapat dimengerti, dan sebanyak (75,5%) responden mengatakan bahwa tidak mampu mengingat instruksi

(62)

yang diberikan karena terlalu banyak. Hubungan terapetik yang dibangun tenaga kesehatan dengan pasien merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Pasien dan keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang dilakukan tenaga kesehatan dapat melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan pasien baik itu dengan gaya atau bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga sehingga dapat meningkatkan kepatuhan (Loebis, 2007)

5.2.2 Kekambuhan skizofrenia berdasarkan faktor Psikososial

(63)

49

berkeyakinan bahwa dengan menjalani perawatan di rumah sajit jiwa maka pasien akan mendapat perawatan dan pengobatan yang tepat sehingga untuk pulih sangat besar. Kesediaan keluarga untuk tetap mengakuinya sebagai bagian dari orang yang disayang sangatlah diperlukan agar mereka tetap merasa dihargai sebagai manusia selayaknya. Dukungan keluarga merupakan salah satu obat penyembuh yang sangat berarti bagi penderita. Sayangnya masyarakat sendiri justru mengasingkan gangguan jiwa sehingga hal itu turut mempengaruhi sikap keluarga terhadap pasien bahkan gangguan jiwa dianggap sebagai penyakit yang membawa aib bagi keluarga sehingga diputuskan untuk membuang keluarga sendiri, akhirnya faktor lingkungan dalam keluarga justru tidak mendukung kesembuhan pasien (Sumarjo, 2004).

Dari faktor pendidikan sebanyak (70,7%) responden mengatakan bahwa keluarga tidak paham dengan penyakit yang diderita. Menurut Notoadmojo, (2003) pengetahuan dipengaruhi oleh faktor Pendidikan. Pendidikan adalah proses belajar yang berarti terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa pada umumnya pendidikan itu mempertinggi taraf intelegensi keluarga dalam merawat pasien skizofrenia agar pasien skizofrenia mampu kembali ke keluarga dan beradaptasi dengan lingkungan.

Dari faktor ekonomi, Sebanyak (52,2%) responden mengatakan bahwa terkadang tidak minum obat karena ketidakadaan biaya, dan (58,7%) responden mengatakan bahwa malas control ulang ke rumah sakit karena jauh dari tempat

(64)
(65)

51

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan data distribusi frekuensi diperoleh bahwa penderita skizofrenia terbanyak adalah 41-54 tahun sebesar (46,9%), jumlah terbesar adalah laki-laki sebesar (54,3%). Mayoritas adalah beragama Islam (50%), dan suku yang paling banyak adalah batak (35,9%). Sebagian besar pendidikan adalah SMP (38.0%). Sedangkan (35,9%) pekerjaan adalah petani dan penghasilan keluarga adalah Rp. 500.000-Rp. 1.000.000 (50%) dan tinggal bersama dengan keluarga.

Berdasarkan hasil peneltian bahwa yang paling banyak menyebabkan kekambuhan pada pasien skizofrenia berdasarkan faktor ketidakpatuhan minum obat adalah faktor pengobatan, pasien merasakan efek samping dari obat yaitu tremor (gemetaran) pada tangan. Sedangkan dari faktor psikososial diperoleh bahwa yang paling banyak menyebabkan kekambuhan adalah faktor tempat tinggal yang jauh dari pelayanan kesehatan.

6.2 Saran

6.2.1 Bagi pelayanan Keperawatan

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pasien tidak mengerti dengan instruksi yang diberikan kepadanya karena petugas kesehatan menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti. Untuk itu bagi pelayanan kesehatan agar dapat berkomunikasi

(66)

dengan pasien dengan menggunakan kata-kata yang lebih mudah dipahami ketika sedang memberikan penjelasan kepada pasien maupun keluarganya. Penjelasan yang diberikan harus dengan menggunakan kata-kata yang sederhana, jelas dan tepat akan memudahkan pasien memahami instruksi yang diberikan.

6.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Dalam pendidikan keperawatan perlu menekankan pemahaman pada peserta didik bahwa dalam proses pengobatan pada pasien skizofrenia banyak faktor yang harus diperhatikan diantanya adalah sikap dari pelayanan kesehatan itu sendiri dimana perawat juga adalah salah satu dari bagian tersebut.

6.2.3 Bagi Penelitian Keperawatan

(67)

53

DAFTAR PUSTAKA

Agus, D. (2001), Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien skizofrenia di RSJP

Jakarta dan Sanatorium Dharmawangsa dalam Pemeliharaan jalur

pelayanan

kesehatan

Amelia, dan Zainul Anwar. (2013), Relaps Pada Pasien Skizofrenia. 28 Mei 2013

Christy. (2011), Relapse in schizophrenia. The Hongkong Medical Diary. 16, 5, 8

http:// www.fmshk.org/database/articles/03mb2_19.pdf. 5 Juni 2013 Fausiah, dkk. (2008), Psikologi Abnormal Klinis Dewasa.Jakarta: UI-Press.

Hawari, (2001), Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Ingram, dkk. (1995), Catatan Kuliah Psikiatri edisi 6. Alih bahasa: Pertus Adianto, Jakarta:EGC

Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan kesehatan jiwa & psikiatri.Edisi 3 Jakarta: EGC Kapla dan Sadock. (1998), Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Alih bahasa: Wicaksana

M. Roan, Jakarta: Widya Medika

Keliat, B.(1996). Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta:EGC

Maramis, W. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9 Surabaya : Airlangga University Press

(68)

Maslim, R.(2002), Buku saku diagnosis gangguan jiwa,rujukan ringkas dari PPDGJ–III. Jakarta:kedokteran jiwa FK Unika Atmajaya

Nevid, R. (2003), Psikologi Abnormal. Edisi 5 Jakarta: Erlangga

Notoatmodjo. (2010), Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta Putra. (2009), Panduan Riset Keperawatan dan Penulisan Ilmiah, Jogjakarta:

D-Media

Samsinar, (2006), Gambaran Karakteristik Keluarga Klien Gangguan Jiwa Skizofrenia Rawat Jalan di Rumah Sakit Jiwa Pusat Medan

Saryono. (2008), Metodologi Penelitian Kesehatan, Jogjakarta: Mitra Cendikia

Simanjuntak, Y. (2008). Faktor Risiko Terjadinya Relaps pada Pasien

SkizofreniaParanoid. Tesis Magister Kedokteran Klinik. Universitas

Sumatera Utara

Sirait, A. (2008) Pengaruh Koping Keluarga Terhadap Kejadian Relaps pada Skizofrenia Remisi Sempurna Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi

Sumatera Utara Tahun 2006. Tesis Magister Kesehatan Masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Stuart, Gail W. (2006), Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 5. J a k a r t a : EGC

Sugiyono.( 2000), Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka konseptual tentang Faktor Penyebab Kekambuhan Skizofrenia
Tabel 5.1
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebanyak 68 responden mengatakan bahwa
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebanyak 52 responden mengatakan bahwa
+2

Referensi

Dokumen terkait

Randugunting Kota Tegal Tahun Anggaran 2015 dalam waktu 3 (tiga) hari kerja.. setelah pengumuman pemenang, terhitung mulai hari Sabtu tanggal 15 Agustus

Ditetapkan  di   Marabahan Pada tanggal 13 Pebruari 2017 BUPATI  BARITO KUALA, H.HASANUDDIN MURAD

 Pengumpulan draft laporan

Usaha ini dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab penuh terhadap semua resiko dan aktivitas perusahaan. Dalam hal ini izin usaha secara relatif

PEM ERINTAH KABUPATEN KLATEN PEJABAT PENGADAAN BARANG/ JASA.. BIDANG CIPTA KARYA DPU

Sedangkan dengan metode secara tidak terpisah, perolehan laba antara penjualan konsinyasi dengan penjualan regular tidak dapat diketahui dengan rinci, akan perolehan laba yang

benih dengan ukuran lebih besar dari pada benih yang dijual tahun 2009

[r]