• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bona Pasogit (Study Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Bona Pasogit (Study Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Bona Pasogit

(Study Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)

Disusun Oleh :

Tripresar Jhon Tuan Panjaitan

090905041

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipertahankan oleh :

Nama : Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan

NIM : 090905041

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Bona Pasogit (Studi Etnografi tentang pewarisan budaya dalam masyarakat Batak Toba marga Panjaitan di Pematangsiantar)

Medan, Januari 2014

Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen

Prof.Dr.Chalida Fachruddin Dr. Fikarwin Zuska

Nip.13014221800 Nip.19621220 198903 1 005

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Bona Pasogit

(Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Januari 2014

Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan

(4)

ABSTRAK

Tripresar jhon tuan panjaitan, 2013. Judul skripsi: Bona Pasogit (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar).Skripsi terdiri dari 5 Bab, 90 halaman dan 4 tabel 2 bagan.

Tulisan ini mengkaji mengenai bagaimana proses pewarisan budaya berlangsung di dalam keluarga marga Panjaitan, khususnya keluarga Turunan Raja Hasoge Panjaitan. Adanya kebutuhan masyarkat Batak Toba untuk dapat memahami seluk-beluk silsilah keluarganya dengan baik dan benar, dengan mencari identitas kebatakan mereka. Seperti kita lihat banyak saat ini masyarakat Batak Toba kembali peduli terhadap bona pasogitnya bukan semata hanya mencari tanah makam, melainkan mencari tahu tentang tarombo mereka dan akhir membentuk network sejalan dengan tarombo tersebut.

Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang bernama Kelurahan Sitalasari. Kelurahan ini berada di kota Pematangsiantar, Sumatera Utara merupakan tanah rantau. Dan yang kedua Desa Sitorang, Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa merupakan kampung halaman. Mayoritas penduduk di kedua tempat ini adalah beretnis Batak Toba dan memiliki agama Kristen Protestan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi partisipasi kepada masyarakat terkait masalah penelitian.

Permasalahan yang dibahasa adalah bagaimana proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung, serta apa yang menyebabkan masyarakat kembali peduli terhadap kampung halamannya.

Kesimpulann yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat kembali terhadap kampung halamannya, diawali dengan terjadinya sengketa tanah adat. Melalui sengketa tanah tersebut keluarga ini berusaha mencari tahu bagaimana tanah adat tersebut bisa menjadi kepemilikannya. Pencarian tarombo silsilah dilakukan dan mendapat dukungan masyarakat sekitar bahwa itu memang tanah leluhur turunan Raja Hasoge Panjaitan, dan melalui hal ini keluarga ini bergabung dengan network marga yang dibentuk sesuai dengan turunan leluhur yang namanya adalah Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan kesatuan ini akan berusaha mengusulkan salah satu raja yang bernama Pun Tua Radja Panjaitan menjadi Pahlawan Nasional,

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Saya menyadari, penulisan skripsi dengan judul “Bona Pasogit” (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar) ini sangat jauh dari harapan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Disamping itu begitu banyaknya kendala-kendala

yang sering menghadang yang mewarnai konsentrasi saya dalam memaksimalkan

usahanya. Saya juga menyadari bahwa untuk saat ini, inilah hasil maksimal yang

dapat disumbangkan walau senantiasa tersisipkan kekurangan dan kelemahan.

Lembar ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya ini

sayadidedikasikan kepada orang-orang terkasih yang selalu membantu dan

mendukung saya dalam menyelesaikan kuliah di Jurusan Antropologi Sosial

Universitas Sumatera Utara. Rasa senang, sedih, kecewa, putus harapan, puas,

bahagia, takut, cemas semua saya rasakan selama penyelesaian skripsi ini. Saya

bersyukur telah melalui tahap yang paling berkesan selama berkuliah. Terima

kasih tak terhingga ini saya tujukan pertama kepada Tuhan Yesus Kristus. Saya menyadari bahwa teguran Tuhan dalam Amsal 19:15 mendukung saya

menyelesaikan skripsi ini. “Kemalasan mendatangkan tidur nyenyak, dan orang

yang lamban akan menderita lapar” (Amsal 19:15). Tanpa-Nya semua sia-sia.

Amin.

Saya juga ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga untuk orang

tuaku terkasih, bapak saya, St. Raja Hasoge Timbul Panjaitan dan mama saya,

(6)

dan pengorbanan terbesar dalam hidup saya agar terus berjuang dan menjadi yang

terbaik. Skripsi ini spesial saya persembahkan buat keluarga besar saya Keturunan

Raja Hasoge Panjaitan, dan tak lupa kepada kakak saya seorang bidan yang jauh

diperantauan Padang Sidempuan Sara Jubelta Oktobrina Panjaitan dan lae saya

Wesly Nainggolan. Terima kasih atas semangat, unek-unek dan segala dukungan materi yang telah diberikan. Saya merasa bangga memiliki saudara perempuan

saya terbaik dan terhebat Nova Christalia Panjaitan .

Terima kasih juga saya ucapkan kepada dosen pembimbing skripsi saya,

Prof.Chalida Fachruddin. Beliau tidak hanya sekedar dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, dan perhatian serta bimbingannya kepada

saya mulai dari awal penyusunan proposal sampai akhir penyelesaian skripsi ini,

tetapi juga seorang motivator inspiratif bagi saya dan juga sebagai teman curhat

saya. Terima kasih atas semangat dan kesabarannya dalam membimbing skripsi

saya. Jasa besar beliau akan selalu saya ingat. Saya pun ingin mengucapkan

banyak terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, dan Ketua Departemen Antropologi, Bapak Dr. Fikarwin Zuska serta Bapak Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang selalu memberikan dukungan dan motivasi selama perkuliahan

saya di kampus ini serta dengan bijaksana memberikan arahan bagi saya.

Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen Penasehat

(7)

juga saya ucapkan kepada seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Sosial FISIP USU yang telah memberikan begitu banyak ilmu, wawasan serta pengetahuan baru bagi saya selama masa perkuliahan. Demikian juga kepada staf

administrasi Departemen Antropologi Kak Nurhayati dan staf bagian Pendidikan

Kak Sofi yang dengan baik hati selalu memberikan informasi dan membantu saya mengurus surat-surat yang saya butuhkan terkait skripsi saya.

Tak lupa, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Lurah Sitorang I

Gosen Panjaitan dan Lurah Hutanomora Binahar Panjaitan SE, dan informan saya bapak Malatang Panjaitan, Ir.Pandapotan Panjaitan, Abdul Panjaitan dan Anton Panjaitan yang telah memberikan memberikan informasi terkait skripsi saya serta seluruh informan, bou Bintang Panjaitan dan Opung Pangaribuan saya yang tercinta yang telah bersedia menyediakan kebutuhan saya

sehari-harinya saat tinggal di bona pasogit Sitorang. Dan seluruh marga Panjaiatn yang di Sitorang yang meluangkan waktunya untuk saya wawancarai dan berbagi

informasi. Terima kasih buat dukungan yang diberikan kepada saya, tanpa kalian

semua skripsi saya tidak akan selesai. Dan terkhusus buat lae saya Alm. Prof. D.P Tampubolon, terimakasih lae atas doa mu tiap minggunya dan memberikan waktunya buat sharing tentang skripsi saya ini.

Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada

(8)

lae marudut, lae imanda yang selalu heboh dengan omelan-omelan kecilnya terkait masalah proposal dan skripsiku dan tak henti-hentinya memberi semangat.

Para kerabat se-Indonesia melalui Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia ”JKAI” dan teman-teman yang tak dapat kusebutkan satu per satu namanya. Begitu juga kepada senior saya terima kasih banyak buat motivasi dan bantuannya

serta junior-junior saya semuanya. Kalian semua adalah saudara dan keluarga buat

saya.

Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada si Jugul pramugariku, Nancy Crisyanti Sitanggang buat waktu, tenaga, pikiran, maupun materi yang diberikan buat saya mulai dari pengajuan judul sampai selesainya skripsi ini. Terima kasih

telah mau berbagi tawa dan air mata selama penyelesaian skripsi ini. Semangat

yang kamu berikan telah membuat saya bangkit dari keterpurukan. Emosi,

cemburu dan nasehat yang tanpamu mungkin saya tidak bisa menyelesaikan

skripsi ini “hati-hati disaat landing pesawatnya yah”. Terima kasih buat dukungan dan semangat yang kalian berikan selama penyelesaian skripsi saya.

Terima kasih juga buat suka-duka kebersamaan yang kita jalani selama ini.

Terima kasih kepada teman-teman ”KAGAWAKA” Deni, Candra, Hardi, Serep, Dermawan Purba, Adon dan junior lainnya. Kalian teman aku saat berdemo di medan ini terima kasih buat semangat “Revolusi”. Dan juga grup Facebook “Panjaitan world, PRPB, Sitorang Nauli”, Tanpa kalian skripsiku hampa adanya serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya tuliskan satu per

satu, yang telah membantu saya dalam pembelajaran selama studi hingga

(9)

Kuasa membalas seluruh kebaikan yang telah saya terima selama ini.Saya yakin

bahwa masih banyak hal-hal yang kurang dalam penulisan skripsi ini. Kiranya

saya berharap akan adanya saran, masukan, kritik bagi skripsi ini, sehingga

tercapainya suatu tulisan yang baik dan berguna bagi pihak-pihak yang

memerlukannya.

Medan, Januari 2014

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan, lahir

pada tanggal 24 Mei 1991 di

Pematangsiantar, Sumatera Utara. Anak

ketiga dari 3 (tiga) bersaudara dari

pasangan St. Raja Hasoge Panjaitan XV

dan Erita Saragih. Mengikuti Taman

Kanak-kanak di TK Swasta Kalam

Kudus Pematangsiantar pada tahun

1997. Menyelesaikan pendidikan dasar

di SD NEGERI 122393

Pematangsiantar pada tahun 2003,

Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Bintang Timur Pematansiantar pada

tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Kristen Kalam Kudus

Pematangsiantar tahun 2009. Kemudian pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan

ke jenjang Sarjana di Perguruan Tinggi di Universitas Sumatera Utara dengan

spesifikasi Ilmu Antropologi Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik . Alamat

email: tripresarjhontuanpanjaitan@yahoo.com.

Berbagai kegiatan yang dilakukan selama masa studi, antara lain :

(11)

 Pemenang Drama Komedi dalam Acara Pentas Kreasi SMA Kalam Kudus di Pematangsiantar pada tahun 2007

 Anggota Kepemudaan marga Panjaitan Pematangsiantar pada pahun 2009

 Mengikuti Seminar Model Of Teacher Education and Class Teaching Model oleh Prof.Dr. Paitoon Chayanara dari Universitas Nanyang Singapur

bekerja sama dengan Pascasarjana Linguistics USU, dan PGSI Kota Medan

pada tahun 2010

 Anggota Koordinator Litbang Laboratorium Antropologi USU di tingkat mahasiswa, yaitu sebuah organisasi minat dan bakat mahasiswa pada tahun

2011.

 Anggota Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Antropologi USU pada tahun 2011.

 Mengikuti Seminar “Roadshow Film Dokumenter dan Diskusi Publik

Crossing Boundaries” pada tahun 2010.

 Mengikuti Seminar “Tindakan nyata generasi muda lewat potensi diri untuk membangun bangsa” oleh Generasi Muda Nias di Medan tahun 2010

 Mengikuti Pelatihan “Training of Facilitator” angkatan I oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2012.

 Ditugaskan sebagai enumerator untuk surve akses Pekerja Formal Perempuan di Kota Medan. Oleh International Labour Organization kerja

sama dengan Pusat Study Gender dan Perlindungan Anak Universitas Negeri

(12)

KATA PENGANTAR

Judul skripsi ini adalah “Bona Pasogit” (Studi Etnogarfi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar). Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berisi kajian yang berdasarkan hasil wawancara dan observasi

dengan masyarakat marga Panjaitan yang tinggal di Pematangsiantar. Skripsi ini

membahas mengenai bagaimana proses pewarisan budaya dalam masyarakat

Batak Toba marga Panjaitan di Pematangsiantar . Adanya kebutuhan orang Batak

Toba untuk mengetahui seluk-beluk kebudayaan mereka sebagai marga Panjaitan.

Tindakan keluarga marga Panjaitan ini untuk mengetahui seluk-beluk kebudayaan

keluarga mereka akan tertuang dalam kajian skripsi ini.

Kita mengetahui bahwa banyak generasi muda dalam kelurga tidak lagi

mengerti tentang sistem kekerabatannya. Hal ini yang membangkitkan keinginan

para orang tua marga Panjaitan melakukan pengenalan terhadap kebudayaan

mereka. Agar nantinya generasi muda tetep mengetahuinya, dan tetap di wariskan

(13)

Pada tulisan ini, saya juga membuat daftar pustaka dan lampiran-lampiran

seperti pedoman wawancara, peta lokasi penelitian, surat penelitian, serta

gambar-gambar di lokasi penelitian. Saya yakin akan adanya kekurangan dari skripsi ini,

sehingga saya akan dengan senang hati menerima saran, masukan, dan kritikan

agar terciptanya suatu skripsi yang baik dan berguna bagi masyarakat. Demikian

pengantar dari saya, semoga skripsi ini bermanfaat memberikan kontribusi demi

kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Januari 2014

Penulis,

(14)

DAFTAR ISI

Halaman persetujuan ... Halaman pengesahan ...

Pernyataan originalitas ... i

Abstrak ... ii 1.1. Latar Belakang Penelitian...……….. 1

1.2. Tinjauan Pustaka... ... 6

1.3. Rumusan Masalah...……… 14

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 14

1.5. Metode Penelitian...………... 15

1.5.1. Teknik Observasi Partisipasi………... 15

1.5.2. Teknik Wawancara Lapangan...………..…….... 17

1.6. Pengalaman Penulis di Lapangan……… 18

1.7. Lokasi Penelitian...………. 23

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Deskripsi Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Sitalasari Kota Pematansiantar ... 24

2.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar... 24

2.1.2. Keadaan Alam ... 29

(15)

2.2.3.4 Sarana Jalan dan Sarana Transportasi ... 41

2.2.4Gambaran Penduduk ... 41

  BAB III

Bona Pasogit Panjaitan

3.1 Pengertian Bona Pasogit ... 42

3.2 Sejarah Marga Panjaitan ... 43

3.2.1. Raja Panjaitan sebagai Pewaris Marga Panjaitan ... 43

3.2.2. Raja Situngo Naiborngin Panjaitan sebagai marga Panjaitan generasi kedua ... 44

3.3. Sejarah riwayat hidup Raja Hasoge Panjaitan (Pu Botul) Pada masa hidupnya (1845 – 1932) ... 52

3.4.Renovasi Sopo Parsaktian Raja Hasoge Panjaitan ... 59

BAB IV

Perkumpulan Marga Panjaitan sebagai Aplikasi

Pewarisan Budaya

4.1 Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan dan Boru ... 62

4.2 Network Raja Panjaitan dan Boru Kota Pematangsiantar ... 69

4.2.1 Struktur Organisasi ... 69

4.2.2 Sistem Adat Organisasi ... 71

4.2.2 Sistem Kekerabatan Organisasi ... 72

(16)

DAFTAR TABEL

TABEL 1: Penduduk Pematangsiantar 1930 ... 28

TABEL 2: Tata Guna Tanah Kelurahan Bah Kapul ... 30

TABEL 3: Produksi Pertanian Tahun 2012-2013... 31

TABEL 4: Nama-nama anggota Organisasi PRPB Pematangsiantar... 31

Bagan 1: Tarombo(Silsilah) Raja Hasoge Panjaitan...58

Bagan 2: Sistem Kekerabatan... 73

(17)

LAMPIRAN

Denah Sumatera Utara

Denah Kabupaten Tobasa

Daftar interview guide

Daftar Nama Informan

Surat Izin Penelitian dari Universitas

Surat Balasan dari Kelurahan

(18)

ABSTRAK

Tripresar jhon tuan panjaitan, 2013. Judul skripsi: Bona Pasogit (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar).Skripsi terdiri dari 5 Bab, 90 halaman dan 4 tabel 2 bagan.

Tulisan ini mengkaji mengenai bagaimana proses pewarisan budaya berlangsung di dalam keluarga marga Panjaitan, khususnya keluarga Turunan Raja Hasoge Panjaitan. Adanya kebutuhan masyarkat Batak Toba untuk dapat memahami seluk-beluk silsilah keluarganya dengan baik dan benar, dengan mencari identitas kebatakan mereka. Seperti kita lihat banyak saat ini masyarakat Batak Toba kembali peduli terhadap bona pasogitnya bukan semata hanya mencari tanah makam, melainkan mencari tahu tentang tarombo mereka dan akhir membentuk network sejalan dengan tarombo tersebut.

Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang bernama Kelurahan Sitalasari. Kelurahan ini berada di kota Pematangsiantar, Sumatera Utara merupakan tanah rantau. Dan yang kedua Desa Sitorang, Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa merupakan kampung halaman. Mayoritas penduduk di kedua tempat ini adalah beretnis Batak Toba dan memiliki agama Kristen Protestan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi partisipasi kepada masyarakat terkait masalah penelitian.

Permasalahan yang dibahasa adalah bagaimana proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung, serta apa yang menyebabkan masyarakat kembali peduli terhadap kampung halamannya.

Kesimpulann yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat kembali terhadap kampung halamannya, diawali dengan terjadinya sengketa tanah adat. Melalui sengketa tanah tersebut keluarga ini berusaha mencari tahu bagaimana tanah adat tersebut bisa menjadi kepemilikannya. Pencarian tarombo silsilah dilakukan dan mendapat dukungan masyarakat sekitar bahwa itu memang tanah leluhur turunan Raja Hasoge Panjaitan, dan melalui hal ini keluarga ini bergabung dengan network marga yang dibentuk sesuai dengan turunan leluhur yang namanya adalah Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan kesatuan ini akan berusaha mengusulkan salah satu raja yang bernama Pun Tua Radja Panjaitan menjadi Pahlawan Nasional,

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku bangsa, dan

mempunyai ciri-ciri tersendiri masing-masing daerahnya. Perkembangan

teknologi sangat mendukung penyebaran suku-suku bangsa ke daerah-daerah lain

dengan meninggalkan daerah asalnya. Difusi kebudayaan pun terjadi karena

interaksi antar suku bangsa berlangsung. Didukung juga nasionalisme yang tinggi

dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Generasi muda

sekarang telah mengenal beragam corak kebudayaan yang dapat mengkaburkan

budaya sukunya sendiri.

Kekaburan budaya yang dimaksud seperti, terjadinya pemakaian bahasa

Indonesia di rumah, dan tidak lagi mengerti tentang bahasa daerahnya, tidak

mengenal lagi asal usul sukunya, tidak lagi mengenal kekerabatan seperti hal

pemanggilan terhadap keluarga telah menggunakan bahasa Indonesia, dalam suku

bangsa Batak Toba memanggil “Bapa Uda1” dengan panggilan “Om”. Perubahan

kebudayaan ini membuat kalangan orang tua berusaha agar generasi muda tetap

memahami kebudayaan sukunya. Di dalam kalangan generasi muda suku bangsa

Batak Toba dalam hal partuturan2 banyak yang tidak paham. Bila ditanya dari

mana marganya itu berasal kebanyakan tidak mengetahuinya. Walaupun orang tua

      

1

 Bapa Uda merupakan sebutan terhadap adik dari bapak 

2

(20)

berusaha agar anaknya mengetahui hal tersebut. Berbagai cara dilakukan orang

tua agar generasi muda tidak menghilangkan identitas ke Batakannya.

Para orang tua menganggap penting budaya Batak Toba itu diwariskan dan

berupaya mempertahakan kebudayaan Batak Toba. Satu diantara keluarga Batak

Toba marga3 Panjaitan yang tinggal di kota Pematangsiantar melakukan proses

pewarisan budaya. Keluarga Panjaitan ini kembali peduli terhadap Bona Pasogit4.

Kepedulian kembali keluarga marga Panjaitan terhadap Bona Pasogit-nya

teraplikasi melalui ritual adat seperti pesta Mangokal Holi5, pendirian tambak,6

melakukan renovasi ruma-ruma, sopo7, melakukan rapat-rapat organisasi marga

dalam usaha pengajuan nenek moyang sebagai pahlawan nasional, acara

mangojakhon harajaon (mewariskan kerajaan) dan juga berlibur. Dan juga

pengenalan terhadap budaya Batak Toba seperti peningalan-peninggalan nenek

moyang keluarga marga Panjaitan, tarombo (silsilah keluarga), menceritakan

perjalanan hidup nenek moyang kepada generasi muda. Keluarga marga Panjaitan

melakukan hal itu untuk mengetahui tentang Bona Pasogit, yang telah lama

ditinggalkan sejak melakukan migrasi ke Pematangsiantar.

      

3

Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilineal (Ihromi 2006:159).

4

Bona Pasogit merupakan kampung halaman suatu marga suku bangsa Batak Toba, yang mana dari daerah inilah bermula kehidupan suatu keluarga Batak Toba.

5

Mangongkal Holi artinya menggali kembali tulang-belulang nenek moyang(Sihombing 1986: 90).

6

Tugu/Tambak biasanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu nenek moyang satu marga atau satu cabang marga(Simanjuntak 2011:248)  

7

(21)

hasil-Bona Pasogit marga Panjaitan ini terletak di Sitorang I Banjar Ganjang

Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Kawasan ini merupakan

tanah marga Panjaitan yang khususnya keturunan Raja Sijorat Paraliman

Panjaitan8. Menurut Vergouwen (1986) tanah marga ini disebut juga bona ni

pinasa (tempat asal leluhur) atau bona ni pasogit (daerah leluhur). Bona Pasogit

yang merupakan suatu daerah tempat tinggal nenek moyang orang Batak Toba,

yang disebut dengan huta. Para warga desa Banjar Ganjang ini diikat oleh

hubungan darah dan merupakan turunan dari satu leluhur yaitu Raja Sijorat

Paraliman Panjaitan. Dalam satu desa tersebut umumnya bermukim marga

Panjaitan, hanya sebagian kecil marga lain berada dalam desa Banjar Ganjang.

Dalam desa itu terdapat ruma-ruma adat Batak, Tugu marga, tambak (Kubur

batu), Sopo maupun ruma-ruma (rumah), organisasi-organisasi salah satu

keturunan nenek moyang, yang mendapatkan kembali perawatan dan juga

pembuatan baru yang dilakukan para perantau saat ini telah bermigrasi ke

berbagai daerah. Satu diantara Sopo dan Tugu keturunan marga tersebut

merupakan milik dari keluarga marga Panjaitan keturunan Raja Hasoge

Panjaitan9, keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini memiliki beberapa generasi dan

satu Sopo, tambak yang telah didirikan baru-baru ini dan peninggalan-peninggalan

nenek moyang seperti alat-alat tenun, juga tongkat. Perhatian terhadap bona

pasogit semakin meningkat, walaupun keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini tidak

satu pun yang tinggal di Sopo itu, karena menetap di tanah rantau dengan alasan

      

8

Sijorat Paraliman adalah satu diantar nama nenek moyang marga Panjaitan dari Raja Siponot

9

(22)

pekerjaan dan juga beberapa Sopo juga mulai diperbaikin oleh penduduk

setempat.

Keluarga Raja Hasoge Panjaitan ini merupakan satu diantara suku bangsa

Batak Toba yang bermigrasi ataupun merantau dari Tapanuli Utara10 ke kota

Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Sitalasari. Kota Pematangsiantar

merupakan kota yang heterogen yang memiliki suku yang berbagai, yaitu

Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, Melayu, Tionghoa11. Interaksi antar suku

pun terjadi yang memungkinkan difusi kebudayaan12 juga terjadi. Namun dengan

kesadaran Keluarga Panjaitan ini terhadap pentingnya budaya Batak Toba

tersebut, sehingga mereka berusaha mempertahankan kebudayaannya, mengenal

kembali bona pasogit.

Seperti wakil Bupati Toba Samosir Liberty Pasaribu, mengatakan bahwa

pembangunan di bona pasogit melalui pendirian makam keluarga (tambak)

merupakan kepedulian dalam pelestarian budaya serta mengetahui asal-usul

silsilah dan upaya memahami budaya leluhur sambut beliau saat menghadiri acara

peresmian makam keluarga Tri Medya Panjaitan (DPR-RI) pada 25 Juni 2011.

Kabag Humas Toba Samosir Arwanto H. Ginting juga mengatakan budaya ziarah

menjadi wisata makam sebagai pelestarian budaya di bona pasogit

      

10

Tapanuli utara berada di Sumatera Utara, dan secara umum Panjaitan berasal dari Balige Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara. Sehingga berdirilah tugu Marga Panjaitan disana, terletak dekat dengan Rumah Sakit Umum Balige.

11

Kota Pematangsiantar salah satu kota di Provinsi Sumatera

Utarahttp://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Pematangsiantar (diakses tanggal 18 Maret 2013, pukul 08.29 WIB)

12

(23)

(http://humastobasa.wordpress.com) penulis juga turut hadir dalam acara tersebut.

Simanjuntak (2010:173) mengatakan nilai budaya tradisional itu masih punya

tempat dikalangan orang Batak masa kini, bahkan sebagian masih sangat kuat

kedudukannya dan mengharapkan hasil analisa yang lebih dalam tentang budaya

Batak Toba. Mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, berusaha

menghimbau para perantau Sumatera Utara, terutama yang berasal dari Tapanuli

untuk memperhatikan kembali kampung halaman, dengan gerakan “ Marsipature

Hutana Be” (MHB) yang artinya mari membangun desa masing-masing (Pelly

292: 1994). MHB ini berfalsafah dasar melestarikan nilai-nilai luhur di pedesaan

(Ritonga 107:2000). Nilai-nilai leluhur bisa berupa siapa sebenarnya nenek

moyang mereka, dimana makamnya, seperti apa perjalanan hidup nenek moyang

mereka. Suku bangsa Batak Toba berusaha menggali silsilah kekeluargaan mereka

yang dalam bahasa Batak Toba “Tarombo”.

Hal diatas yang mendasari peneliti untuk meneliti proses pewarisan

budaya yang dilakukan dalam keluarga Panjaitan di Pematangsiantar. Karena

keluarga ini berusaha mempertahankan serta mencari tahu identitas ke Batakan

mereka. Selain itu juga peneliti akan melihat seperti apa proses pewarisan budaya

(24)

1.2. Tinjauan Pustaka

Suku bangsa Batak adalah Proto Malayan sama seperti bangsa Toraja,

bukan Neo Malayan seperti bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda,

Madura. Suku Bangsa Batak semula adalah satu dari Proto Malayan Tribes,

dipegunungan perbatasan Burma (Thailand). Disitu suku Bangsa Batak ribuan

tahun lamanya bertempat tinggal dengan suku-suku Bangsa Proto Malayan Tribes

lainya (Parlindungan 1964 : 19). Dan Parlindungan (1964 : 19-22) berpendapat

suku bangsa Proto Malayan Tribes ada 8 suku yaitu : suku bangsa Karen, suku

bangsa Ranau, suku bangsa Igorot, suku bangsa Meo, suku bangsa Toraja, suku

bangsa Tayal, suku bangsa Botoc, suku bangsa Wadjo.

Suku bangsa Igorotlah mendarat di Pantai Barat Pulau Andalas berangkat

bermigrasi dari Burma karena serangan Bangsa Mongol. Disitu suku bangsa Batak

terpisah ada yang mendarat dipulau Simalur, Nias, Batu, Mentawai. Dan juga ada

yang mendarat di Sungai Simpang, yang sekarang adalah Singkil, Aceh. Dan

terakhir mendarat di muara sungai Sorkam, antara Barus dan Sibolga. Memasuki

pedalaman sampai di kaki Gunung Pusuk Buhit, ditepi Danau Toba sebelah Barat,

di seberang Pangururan, Kab.Toba Samosir.

Menurut Bruner (dalam Nainggolan 2006 : 44) Orang Batak sendiri yang

menyebut diri mereka sebagai halak hita (orang kita). ‘orang kita’ berasal dari

nenek moyang yang sama: Si Raja Batak. Mereka mengindifikasi diri mereka atas

dasar hubungan keluarga. Menurut Sangti (1977:26) suku bangsa Batak sebagai

(25)

‘Bataha’ sebagai nama satu antara kampung di Burma, yang merupakan asal

orang Batak sebelum menyebar kepulauan Nusantara.

Menurut Parlindungan (1964 : 614-615) saat menyebar di Nusantara, suku

Batak melakukan tiga gelombang pendaratan. Gelombang pertama suku Batak

mendarat di Nias, Mentawai, Siberut, dan lain-lainnya. Gelombang kedua

mendarat di Muara Simpang Sungai dan gelombang ketiga mendarat di muara

sungai Sorkam. Dan menyebar memasuki pegunungan hingga mencapai Danau

Toba dan menetap di kaki gunung Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong

Mulana, diseberang kota Panguruan yang saat ini. Suku Bangsa yang

dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak

Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing13. Menurut Malau (dalam

Gultom 2010 : 33) ke enam subsuku ini sama-sama mengakui bahwa mereka

adalah keturunan Si Raja Batak atau nenek moyang orang Batak.

Menurut Nainggolan (2012:61) orang Batak memiliki

kelompok-kelompok marga yang semuanya itu berasal dari Si Rajabatak. Setiap marga

mempunyai daerah sendiri sebagai tanah asal mereka masing-masing. Semua itu

dapat dimengerti sebab masyarakat Batak Toba adalah masyarakat agraris.

Mereka membutuhkan tanah untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Keterbatasan tanah yang diolah untuk lahan pertanian memaksa mereka

bermigrasi ke tempat yang baru. Kadang-kadang juga bermigrasi karena

ketidakpuasan terhadap marga atau karena ambisi dari anggota marga untuk

mendirikan marga baru dan mencari tanah.

      

13

(26)

Vergouwen (1986 :43) menyebutkan golat adalah tanah wilayah suatu

marga, yang saat digunakan sebagai tempat upacara persembahan disebut bius.

Menurut Vergouwen warisan dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari tanah

milik orang yang sudah meninggal, serta kekayaannya yang lain yaitu rumah,

lumbung padi (sopo), ternak, pepohonan, barang bergerak, hutang-piutang, dan

uangnya (Masinambow 2000:288). Setelah menyebar diberbagai daerah dan

berusaha beradaptasi didaerah masing-masing orang Batak membutuhkan bantuan

sesama orang Batak sehingga terbentuklah network. Network merupakan

hubungan pribadi yang mempunyai ikatan satu sama lain. Ikatan ini dapat terjadi

diantara individu, rumah tangga, keluarga, tetangga, kolega, teman sekelompok

sosial lainnya. Keuntungan masuk network dapat meminta bantuan dari orang

lain, tetapi juga harus memenuhi kewajiban moral untuk saling bertukar dan

berbagi bersama (Schweizer dalam Nainggolan 2006 : 141).

Menurut Bruner (dalam Nainggolan 2006:144) network orang Batak Toba

berdasarkan daerah asal. Hal ini terutama dibuktikan dengan perkumpulan marga

dikota. Ide perkumpulan ini menggambarkan ide yang sama sistem kekeluargaan

di kampung mereka, yaitu berdasarkan keturunan, kampung asal dan aliansi

dalihan na tolu. Dengan demikian orang Batak memegang kuat kebudayaannya

sebab disana mereka menemukan dasar hidup yang teratur dalam kaitan dengan

kebiasaan, kepercayaan dan kewajiban sesuai dengan Dalihan Na Tolu.

Sehubungan dengan network orang Batak yang membentuk

perkumpulan-perkumpulan marga di kota, melalui terjadinya migrasi dari tanah marga ke kota.

(27)

Minangkabau. Anak – anak muda didorong untuk mencapai pengalaman dan

masa depan ke luar kampung halaman. Didalam kebudayaan matrilineal

Minangkabau, tanah diwariskan ke pihak ibu, sementara anak-anak muda harus

memberanikan diri keluar dari kampung. Dengan mengacu pada kehidupan

Minangkabau di Medan, Pelly mengatakan bahwa, meskipun bisa tinggal dengan

waktu yang lama, mereka masih mempersiapkan diri untuk pulang ketanah

kelahiran. Misalya mereka membangun sebuah tempat tinggal dikampung

halaman, dan mereka berencana menetap setelah pensiun. Pelly merujuk pada

pola ini sebagai pola migrasi secara kultural terkondisi (Hasselgren 2008:140).

Sebaliknya orang Tapanuli memperluas kampung halaman untuk

mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajaon). Sebab itu pola migrasi

mereka disebut dengan migrasi ekspansionis. Dimana orang Batak memiliki misi

budaya14 harus mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi, tidak hanya didirikan

ditanah kelahiran, tetapi dapat dibangun didaerah rantau ( Pelly 1994 : 295)

Namun menurut Graeme Hugu (dalam Kuntjoro-Jakti 1986) Migrasi

Sirkuler itu adalah migrasi pulang balik, perpindahan penduduk untuk mencari

kerja atau berdagang, tidak membawa keluarga. Dalam hal ini penduduk akan

kembali ketempat asalnya setelah selesai melaksanakan tujuannya untuk bertemu

keluarganya ataupun memberikan bantuan terhadapa keluarganya di desa.

      

14

(28)

Menurut Nainggolan (2006: 113-115) ada beberapa faktor membuat

terjadinya arus migrasi menjadi besar :

Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan modrenisasi

Perubahan geografis

Alasan sosial, selain alasan demografi dan ekonomi ada juga alas an sosial, sepertimengumpulkan tenaga kerja, hubungan historis dan budaya,

hubungan politik dan militer, arus inventasi dan pengungsi.

Latar belakang budaya. Terjadinya migrasi musiman atau migrasi selama beberapa waktu dari anggota keluarga, tujuannya adalah mengumpulkan

uang sebagai jaminan atau tambahan pendapatan Negara.

Alasan politik, tentang eksport import tenaga kerja

O.H.S Purba (dalam Hasselgren 2008) mengatakan migrasi sekuler yang

merupakan sebuah sarana memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada untuk

menyiapkan masa depan yang lebih baik dikampung halaman. Migrasi bisa terjadi

karena masalah demografi, masalah ekonomi dan lainnya. Marga Panjaitan

menyebar diseluruh dunia dengan tujuan hidup masing-masing dan berinterasi

dengan orang disekitarnya yang mengakibatkan perubahan identitas diri sehingga

identitas lama mereka terlupakan.

Immanuel (dalam Simanjuntak 2002 : 172) mengatakan perubahan sosial

budaya yang ada di masyarakat Batak dipengaruhi oleh beberapa variabel,

diantaranya variabel agama dan pendidikan. Kedua variabel tersebut mendorong

munculnya variable lain seperti mobilitas, status formal, komunikasi, ekonomi,

(29)

mengindentikasikan diri Bruner (dalam Nainggolan 2006) membedakan dua

situasi. Situasi pertama ialah apabila migran masuk dalam salah satu daerah atau

kota di mana penduduk asli merupakan kelompok etnis homogen, secara politis

memiliki kuasa dan secara demografis merupakan mayoritas, maka migran akan

melepaskan sebagian besar dari warisan kultural mereka dan sejauh mungkin

menyesuaikan diri dengan kultur dominan.

Situasi kedua apabila migran masuk dalam suatu kota yang mempunyai suku

heterogen, kultural yang plural dan tidak satupun dari kelompok sukunya secara

politis dominan, maka imigran akan mengorganisir diri menurut identitas etnis

dan agak kuat mempertahankan tradisi kulturalnya. (Nainggolan 2006:8).

Dalam pewarisan budayanya, masyarakat Batak Toba mengenal nilai

budaya. Nilai budaya yang menjadi tujuan dan pandangan hidup ideal asli orang

Batak Toba dirumuskan di dalam rangkaian tiga kata yang secara eksistensial

saling mendukung, yaitu hamoroan, hagabeon, hasangapon, ‘Kekayaan,

Keturunan, dan Kehormatan. Metode pencapaian pandangan hidup ini diatur oleh

struktur sosial dalihan na tolu15 yang keberadaannya berdasarkan kepada sistem

garis keturunan Patrineal16 berwujud marga (Masinambow 2000:368).

Hamoraon berarti semua masyarakat Batak Toba bercita-cita untuk memiliki

harta. Ini terbukti dengan gigihnya berusaha mencari uang, baik laki-laki ataupun

perempuan, sama saja. Hagabeon berarti masyarakat Batak Toba sangat

mendabakan punya keturunan laki-laki dan perempuan. Hasangapon berarti

      

15

Tungku masak berkaki tiga

16

(30)

masyarakat Batak Toba berusaha menjadi orang terpandang dan dihormati dalam

masyarakat, dan sangat peduli terhadap pendidikan anaknya (Tinambunan

2010:173).

Dalihan na tolu secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan

lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunyai tiga

penopang, yaitu Dongan sabutuha, boru, dan hula-hula. Arti tiga kata ini secara

berturut ialah: Pihak yang semarga, Pihak yang menerima istri, Pihak yang

member istri. Perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi di antara tiga

pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku dapur yang penting

dalam hidup sehari-hari (Siahaan 1982:20). Falsafah Dalihan Natolu terbukti

mampu memberi perubahan baru sehingga bahtera dapat dipandu kepada negara

demokratis tanpa kehilangan kohesivitas kewibawaan trias-politika modern,

sambil memekarkan demokrasi, kedaulatan tertinggi rakyat.(Sinaga 2012:3).

Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak luput dari sebuah

kebudayaan. Koenjaranigrat (2002) menyatakan kebudayaan adalah keseluruhan

sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sebuah tindakan

marga Panjaitan yang melakukan pewarisan budaya merupakan sebuah

(31)

Kebudayaan menurut Koenjaraningrat memiliki tiga wujud :

Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;

Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari diri manusia dalam masyarakat;

Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; Dalam melakukan proses pewarisan budaya merupakan wujud kebudayaan

sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari diri manusia dalam

masyarakat.

Melakukan proses pewarisan budaya memiliki hubungan dengan proses

internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Proses internalisasi ini adalah proses

panjang sejak seorang individu dilahirkan, sampai ia meninggal, yang mana ia

belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta

emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Proses sosialisasi itu seorang

individu dari masa anak-anak hingga tuanya belajar pola-pola tindakan dalam

interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka

macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Proses

enkulturasi itu seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta

sikapnya dengan adat-adat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup

dalam kebudayaannya. Sejak kecil proses enkulturasi itu sudah dimulai dalam

alam pikiran warga suatu masyarakat, mula-mula dari orang di dalam

(32)

Cavalli-Sforza dan Felman (dalam Jhon W. Berry 1999) mengistilahkan

pewarisan budaya satu generasi ke generasi ini sebagai “pewarisan tegak”, karena

melibatkan penurunan ciri-ciri budaya orang tua ke anak cucu. Pewarisan tegak,

orang tua mewariskan nilai budaya, keterampilan, keyakinan, motif budaya, dan

sebaginya kepada anak-cucunya. Pewarisan budaya memiliki dua bentuk ,

mendatar dan miring. Dalam bentuk miring pewarisan budaya bersumber dari

orang dewasa lainnya, bisa dari kelompoknya sendiri, serta kelompok lainya.

Dalam bentuk mendatar pewarisan budaya tersebut bersumber dari teman sebaya.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah bagaimana marga Panjaitan melakukan proses

pewarisan budaya. Dan bagaimana marga Panjaitan menemukan kembali identitas

lamanya yang telah mengalami kekaburan. Rumusan tersebut diuraikan dalam

pertanyaan penelitian berikut :

1. Apa arti Bona Pasogit bagi orang Batak Toba?

2. Bagaimana proses pewarisan budaya Batak Toba di Bona

Pasogit tersebut berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan?

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pewarisan budaya yang

berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Dan mengetahui tujuan proses

(33)

Manfaat penelitian secara akademis adalah untuk memperkaya literatur

mengenai kehidupan marga panjaitan tersebut dalam persepektif Antropologi.

Sedangkan manfaat secara praktis yaitu berguna bagi masyarakat umum dan

akademis secara khusus, sebagai salah satu sumber informasi tentang Bona

Pasogit marga Panjaitan. Selain itu menghimbau masyarakat Batak Toba berusaha

mencari Bona Pasogit keluarga mereka.

1.5.Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif. Peneliti akan menggunakan native’s point of view17 mengenai

proses-proses pewarisan budaya tersebut. Dengan memakai metode penelitian kualitatif

diharapkan akan dapat membantu dalam menggali informasi sebanyak mungkin di

lapangan mengenai proses pewarisan budaya yang ada dalam kehidupan

keturunan Raja Hasoge Panjaitan, sehingga di dapat data yang diinginkan

tentunya berdasarkan observasi dan wawancara di lapangan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian guna

mendapatkan data-data dilapangan antara lain :

1.5.1.Teknik Observasi Partisipasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui

pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati berbagai hal seperti

tempat, siapa pelaku yang terlibat, benda-benda atau alat-alat yang digunakan

dalam proses pewarisan budaya yang dilakukan keluarga keturunan Raja Hasoge

      

17

(34)

Panjaitan. Dalam hal ini peneliti mengikuti proses yang berjalan dalam proses

pewarisan tersebut karena penulis sendiri juga keturunan Raja Hasoge Panjaitan.

Proses pewarisan ini di ikuti penulis sendiri dengan cara mengikuti acara-acara

organisasi marga yang dibentuk oleh marga Panjaitan itu sendiri. Rapat-rapat

organisasi marga tersebut selalu di ikuti oleh penulis setiap hari minggunya yang

dilaksanakan di tempat penelitian penulis di sitorang. Dan juga rapat-rapat

organisasi marga yang dilakukan secara formal maupun tidak formal yang

diadakan di Pematangsiantar. Penulis juga memberikan ide-ide di dalam rapat

tersebut sebagai partisipasi penulis mengikuti rapat-rapat tersebut. Dan juga

penulis mengamati cara-cara sang ayah sendiri dalam mewariskan budaya Batak

Toba itu terhadap generasi-generasi muda Panjaitan baik di Pematangsiantar dan

juga Sitorang, Kab Tobasa. Dan juga dalam renovasi sopo penulis juga turut aktif

dalam kegiatan ini. Penulis ikut membantu dan juga sambil mengobservasi

bagian-bagian sopo dan apa-apa saja yang masih tertinggal di dalam sopo

tersebut. Dengan cara tersebut peneliti dapat memperoleh informasi awal untuk

lebih mendalami tentang cara-cara pewarisan budaya yang dilakukan. Dari hasil

pengamatan atau observasi, peneliti menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan

sekaligus menyimpan dan mengarsipkan data yang dilakukan dengan dalam

bentuk foto dan video. Sumber dan jenis data itu berupa kata-kata dan tindakan,

sumber tertulis berupa dokumen-dokumen pribadi, foto-foto dan data statistic

(Moleong 2006: 157-162)

(35)

Wawancara adalah komunikasi dua atau lebih orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan mana

dalam topik tertentu. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam, dimana peneliti dan informan saling berkomunikasi,

berdiskusi didalam kehidupan sosial keluarga keturunan Raja Hasoge Panjaitan

setiap harinya. Peneliti juga dibantu dengan pedoman wawancara (interview

guide). Semua orang yang terlibat dalam proses pewarisan budaya tersebut dapat

dijadikan informan agar mendapatkan data yang lebih akurat. Dan dalam

rapat-rapat organisasi marga penulis juga melakukan wawancara sebelum rapat-rapat dimulai,

yang mana akan menjadi informasi awal dalam pembahasan tentang informasi

bona pasogit itu sendiri. Dalam renovasi sopo peneliti juga mempertanyakan

latarbelakang sopo itu dibangun dan untuk apa sopo itu direnovasi. Dengan

demikian peneliti dapat lebih akurat mendapatkan data-data yang dibutuhkan

dalam penulisan laporan penelitian ini.

Selain itu peneliti juga akan menggunakan data kepustakaan guna

melengkapi informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data

kepustakaan dapat diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti

berkas-berkas, buku-buku, majalah koran, dan sumber elektronik seperti televisi, radio,

internet. Data tersebut digunakan sebagai pelengkap dan penyempurna hasil dari

observasi dan wawancara. Peralatan visual juga akan sangat membantu dalam

pengumpulan data-data dalam penelitian ini. Seperti alat rekam dan kamera yang

penggunaannya terlebih dahulu harus disetujui oleh informan.

(36)

Penelitian ini sebenarnya pengalaman penulis saat mengikuti penyelesai

sengketa tanah di kampung halamannya di Desa Sitorang pada tahun 2002.

Sengketa tanah ini terjadi karena seorang warga desa mengaku bahwa tanah yang

merupakan hak milik dari keluarga penulis adalah kepemilikan oleh warga desa

tersebut. Dan dalam penyelesaiannya yang sampai pada kantor Kecamatan Silaen.

Penulis yang merupakan anak laki-laki tunggal dalam keluarga tersebut mengikuti

setiap tindakan dalam hal penyelesaian masalahnya. Pada tahun 2010 akhir

sengketa tanah tersebut berakhir dan keluarga penulis mensepakati merenovasi

tambak yang ada di sekitar tanah sengketa tersebut dan melakukan acara

mangokal holi. Pada saat itu penulis masih duduk di semester II Antropologi

Sosial di Universitas Sumatera Utara. Dalam mengikuti kuliah-kuliahnya sebagai

mahasiswa Antropologi, penulis berusaha ingin menulis hal-hal yang terjadi di

kampung halamannya ini, penulis mulai mengumpulkan data melalui obeservasi

partisipasi. Dan pada tahun 2013 penulis diberi ijin melakukan penelitian ke

kampung halamannya tentang proses-prose pewarisan budaya yang ada di Bona

Pasogit.

Pada awalnya penulis memberikan surat ijin penelitian terhadap ketua

organisasi marga Panjaitan sektor jalan Bali kota Pematangsiantar, yaitu bapak

Raja Hasoge II Timbul Panjaitan IXV. Beliau merupakan ayah penulis sendiri,

dengan mengetahui hal tersebut beliau bertanya : “mau seperti apa nantinya isi

skripsi mu itu?. Penulis menerangkan dengan singkat tujuan penelitian ini

nantinya. Dan beliau membantu memberi jalan dalam penelitian ini. Beliau

(37)

Turunan Raja Sijorat Panjaitan dan Boru) yang saat itu diadakan di Hutanamora

Kab.Tobasa rumah bapak Kol.Purn. Busisa Panjaitan. KTRSPPB ini merupakan

network orang Batak marga Panjaitan yang dihubungankan melalui sebuah

kerajaan yang ada pada masa nenek moyang dan turun-temurun bergenerasi.

Penulis merasa senang karena desa tersebut dekat dengan lokasi penelitian

penulis. Sampai di desa tersebut beliau memperkenalkan penulis dengan Kepala

desa Hutanamora dan kepala Desa Sitorang 1, yang bernama Binahar Panjaitan

dan Gosen Panjaitan. Beliau menerangkan bahwa desa Hutanamora itu dulunya

termasuk desa Sitorang. Desa Sitorang pada saat ini terbagi menjadi empat desa,

dan desa Sitorang masih dalam pengusulan menjadi sebuah kecamatan. Penulis

pun menjadi bingung karena surat ijin penelitian penulis ditujukan kepada Kepala

Desa Sitorang, dan desa Sitorang terbagi menjadi empat desa. Kepala desa

Hutanamora memberi solusi, dan mengijinkan saya melakukan penelitian di

tempat bona pasogit penulis. Dan dalam rapat tersebut juga hadir ke empat kepala

desa yang dulunya desa Sitorang, mereka mengijinkan saya melakukan penelitian,

karena dulunya semua desa ini memang kekuasaan Raja Panjaitan, demikian

mereka menjelaskan.

Rapat pun dimulai ternyata rapat tersebut menjawab pertanyaan penelitian

penulis secara umum, KTRSPPB akan dibentuk sebagai wadah penyaluran

informasi-informasi tentang nenek moyang khususnya Raja Sijorat Paraliman

Panjaitan.KTRSPPB ini digagasi oleh Ir.Pandapotan Panjaitan, Abdul Panjaitan

dan St.Raja. Hasoge Panjaitan. KTRSPPB ingin mempertahankan identitas ke

(38)

yang sebenarnya dari turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan tujuan utama

KTRSPPB memperjuangkan Raja Sijorat ke VIII Tua Raja Panjaitan menjadi

pahlawan nasional. Dalam benak penulis menyatakan ini lah proses pewarisan

budaya tersebut, karena sang ayah membawa penulis mengikuti rapat-rapat

organisasi marga agar mengetahui ide-ide dan tujuan organisasi tersebut.

Kemudian para penggagasn KTRSPPB melakukan pembentukan kepanitian untuk

melaksanakan Pesta Deklarasi KTRSPP se-Sumatera Utara. Binahar Panjaitan

terpilih menjadi ketua pesta deklarasi ini. Setelah itu penentuan program kerja

pengumpulan dana untuk pesta ini nantinya. Gagasan pun muncul rencana

melakukan penerbitan buku. Buku itu merupakan isi dari sejarah kegiatan hidup

Raja Sijorat Paraliman Panjaitan semasa menduduki kerajaan Sijorat. Penulis

memberi pendapat dirapat tersebut : “ Amang apakah buku ini nantinya berbahasa

Indonesia, saya pikir jika berbahasa Indonesia sebaiknya kita urus ISBNnya agar

lebih terjaga buku ini tidak di copy sebarang oleh orang lain ujar penulis. Ketua

KTSPPB yaitu Ir.Pandapotan Panjaitan pun menyatakan: “Ho ma anon pahopu

na mambaen i gabe bahasa Indonesia, ai marbahasa Batak dope bukku tai anon.

molo ho kan nungga malo anon mambahasa Indonesiakan i” , artinya “ kamu lah

nanti cucuku yang mengubahnya itu menjadi bahasa Indonesia, nantinya buku ini

akan terbit berbahasa Indonesia. Kamukan nantinya lebih pintar menyusun buku

ini menjadi bahasa Indonesia”

Penulis pun semangat mendengar hal tersebut, dan berencana akan

melakukan hal tersebut. Keesokan harinya penulis diajak para panitia pesta

(39)

mobil menuju ke tugu tersebut, selama diperjalanan penulis melihat hamparan

padi yang hijau yang dilindungi oleh perbukit-bukitan. Penulis pun bertanya “

Luas juga Sitorang ini amang”, seseorang berbicara, penulis melihat ke kaca spion

dalam ternyata Penasehat KTRSPPB selaku orang yang tinggal di Desa Sitorang

St.Malatang Panjaitan. “Sitorang on nunggu pas gabe Kecamatan molo i ida sian

luas na, ida ho ma bukit i disi ma Desa sibide, i desa i ma Raja Sijorat mambaen

benteng pertahan tingki bolandan nungga sahat tu sitorang on, sian sibide i boi ta

ida tao toba, PT.PULP Lestari, Sungai Asahan, molo mardalan torus 2 borngin

sahat mai tu tanjung balai, ai sian ni do raja i manohor sira tu tanjung balai

tinggi muara i kuasai bolanda”. “ Sitorang ini sudah cocok dijadikan sebuah

kecamatan bila dilihat dari luasnya, kamu lihatlah perbukitan disana, itulah yang

bernama desa Sibide letak dari benteng pertahanan Raja Sijorat Paraliman

Panjaitan ketika Belanda telah masuk ke Sitorang. Dari desa Sibide itu bisa kita

memandang Danau Toba, PT.PULP LESTARI, Sungai Asahan, dan jika berjalan

2 hari 2 malam bisa sampai ke Tanjung balai, itu adalah jalur Raja Sijorat

Paraliman Panjaitan menuju Tanjung Balai melakukan perdagangan membeli

garam. Tidak beberapa lama kemudian sampailah di tugu Raja Sijorat Paraliman

Panjaitan Lumban Tor Sitorang. Acara ritual ziarah pun dilaksanakan 9 lembar

daun sirih dan 9 jeruk purut diletakkan di masing-masing cawan yang terbuat dari

tanah liat, dan penulis bertanya” Amang kenapa harus sembilan?, Abdul Panjaitan

pun menyebutkan karena di tugu ini ada delapan Raja Sijorat dan 1 lagi masih di

Bandung belum dipindahkan yang bernama “Raja Sijorat Raja Saidi Tudo Tua

(40)

1. Raja Sijorat Paraliman Panjaitan

2. Raja Sijorat Rahi Sumodung (1625-1685)

3. Raja Sijorat Puraja Pane (1685-1745)

4. Raja Sijorat Somba Debata (1745-1805)

5. Raja Sijorat Pahutar (1805-1845)

6. Raja Sijorat Si Mumbol-Umbol (1845-1865)

7. Raja Sijorat Pun Sohalompoan (1865-1880)

8. Raja Sijorat Pun Tua Radja (1880-1988)

9. Raja Sijorat Radja Saidi Todo Tua (1988- sekarang)

Setelah beberapa hari dekat dengan kepanitian pesta deklarasi tugu

KTRSPPB. Sosialisasi pesta pun diadakan keberbagai kabupaten/kota yang ada di

Sumatera Utara. Penulis hanya mengikuti ke beberapa kabupaten/kota, yakni

Tarutung, Sipahutar, Sibaha-ulu, Simalungun, dan Pematangsiantar. Dalam

sosialisasi yang diikuti, penulis melihat beberapa orang tua yang sudah berumur

sekitar 40an masih banyak yang tidak mengetahui silsilah, dan kisah-kisah nenek

moyangnya.

1.7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di dua tempat, yang pertama adalah

Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar, yang

merupakan tempat tinggal tetap marga Panjaitan. Yang kedua adalah desa

Sitorang Kecamatan Silaen Kab.Tobasa, merupakan letak tanah marga, bona

pasogit khususnya keturunan Raja Hasoge Panjaitan. Alasan obejektif penulis

memilih tempat tersebut karena Desa Sitorang merupakan kampung halaman para

marga Panjaitan pada umumnya, alasan subjektif penulis karena penulis

(41)

Sitorang tersebut dan Pematangsiantar tempat tinggal penulis. Hal tersebut

mendukung penulis mendapatkan informasi sebagai tujuan penelitian penulis

(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Deskripsi Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Sitalasari Kota Pematangsiantar

2.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar

Pematangsiantar yang merupakan wilayah kota yang mempunyai

penduduk yang bervariasi suku bangsa, meliputi Batak Toba, Simalungun, Karo,

Mandailing, Jawa, Minangkabau, Melayu, Cina, Tamil, dan asing lainnya. Kota

Pematangsiantar terletak pada titik singgung 99ᵒBT dan 2,5ᵒLU dalam wilayah

Kabupaten Simalungun yang luasnya 1.278ha, dengan ketinggian sekitar 400m

dpl dan berpenduduk sebanyak 240.787 jiwa.

Sifat dasar penduduk dari masing-masing suku bangsa itu mempengaruhi

pergaulan yang lebih erat. Misalnya, orang Minangkabau lebih erat hubungannya

dengan orang Melayu dan Jawa, karena ikatan kesamaan agama. Orang

Simalungun sendiri lebih dekat dengan orang Mandailing, karena persamaan ras

kehalusan budi bahasa, maupun gaya tariannya. Dengan orang Batak Toba

maupun Karo, agak renggang. Ada dugaan penduduk, hal ini disebabkan lebih

mengertinya orang Mandailing akan perasaan orang Simalungun, karena sifat

halus yang sama, yang berbeda dengan orang Batak Toba yang keras, demikian

juga dengan Karo. Di samping itu, agama Islam telah lebih mendekatkan mereka

(43)

Sifat orang Batak Toba dan Karo adalah keras, cepat dalam bertindak,

serta giat dalam usaha. Tidak heran kalau perniagaan dipegang orang Batak Toba,

bersaing dengan orang Cina dan Simalungun, demikian juga industri dan

pendidikan. Bahkan sering terdengar bahwa kota Pematangsiantar sebenarnya

adalah kota yang dikuasai orang Toba. Hal ini disebabkan lebih dominatifnya

orang Batak Toba dalam berbagai hal, terutama dalam pergaulan.

Asal mula kota Pematangsiantar adalah Kerajaan Siantar yang

diperkirakan berdiri tahun 1500, terletak di sebuah delta Sungai Bah Bolon,

bernama Pulau Holing, yang sekarang bernama kampung Pematang. Saat itu,

terdapat lokasi persawahan di sekeliling Pulau Holing, yang kemudian

berkembang menjadi perkampungan Suhi Huluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean,

Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Perkampungan inilah yang sekarang

menjadi Kotamadya Pematangsiantar, dengan nama baru Kampung Pematang

(Pulau Holing), Pusat Kota (Siantar Bayu), Kampung Parluasan (Suhi Kahean),

Sipinggol-pinggol-Timbang Galung-Kampung Bantan-Kampung Parluasan Kota

(Suhi Huluan), Kampung Kristen-Kampung Karo-Tomuan-Pantoan (Bah Bosar).

Kerajaan Siantar ini muncul saat kejadian wabah dan invasi kerajaan lain

benar-benar mencerai-beraikan Kerajaan Nagur. Beberapa wilayah ada yang

memilih berdiri sendiri, karena pusat kerajaan tidak mampu lagi untuk

mengendalikan pemerintahan.

Saat itu terbentuk 4 wilayah yang berdiri sendiri. Masing-masing wilayah

membentuk kerajaan-kerajaan baru. Satu diantaranya adalah Kerajaan Siantar

(44)

Perdagangan ke tepi sungai Bah Bolon di Pematangsiantar. Hingga daerah ini

disebut Kampung Pamatang (Saragih 2008 : 31).

Penduduk asli ialah Batak Simalungun. Pada tahun 1900 mulai

berdatangan penduduk pendatang, yaitu orang Cina dan Tamil. Pada tahun 1903,

orang Batak dari Selatan juga mulai datang, terutama orang Batak Mandailing,

yang kemudian menetap di bagian utara Pulau Holing, yang sekarang bernama

Kampung Timbang Galung dan Kampung Melayu. Kemudian, orang Batak Toba

masuk sekitar tahun 1907 (sebagai akibat garis kebijaksanaan pemerintahan

kolonial Belanda yang membutuhkan tenaga petani Batak Toba yang dianggap

sangat terampil dalam bertani di persawahan), dengan maksud untuk mencari

tanah persawahan baru. Karena maksudnya bersawah, maka mereka menetap

dipinggiran Kerajaan Siantar, yaitu dikawasan arah ke Pematang Tanah Jawa dan

arah ke Tapanuli Utara, yang sekarang bernama Kampung Kristen (bagian Bah

Bosar).

Perkembangan kota Pematangsiantar, berkaitan erat dengan perkembangan

perkebunan Belanda yang dimulai di Kabupaten Simalungun sejak tahun 1800.

Kemudian dengan dibukanya jalan raya Pematangsiantar-Perdagangan tahun

1885, dan Pematangsiantarr-Tebing Tinggi, tahun1907, maka perkembangan kota

semakin pesat, demikian juga pertambahan penduduknya (Simanjuntak 2010 :

159- 161).

Sekitar tahun 1904 Pematang Siantar (asal kata : Pamatang dan Siattar)

masih berupa kampung kecil dan penduduknya sedikit. Selain rumah raja Siantar

(45)

1904, dalam Purba 1998 : 27). Pada tahun itu agama Kristen sudah mulai tersebar

seiring dengan kehadiran missioner Jerman dan kemudian semakin besar

jumlahnya dengan masuknya orang Batak dari Tapanuli. Tahun 1905 atas perintah

Gubernemen, raja-raja di Simalungun membuka jalan-jalan di daerah mereka

(Damanik 1974 dalam Purba 1998 : 27). Inilah permulaan yang dilakukan oleh

pemerintahan kolonial untuk membangun Pematang Siantar khususnya dan

Simalungun umumnya. Sementara itu, Raja Siantar, Sang Naualuh, yang tidak

bersedia bekerjasama dengan Belanda akhirnya ditawan pemerintahan kolonial

tahun 1906 dan kemudian orang-orang Kristen Batak menggunakan Rumah Bolon

yang ada di Pematang sebagai tempat kebaktian selama beberapa waktu (Damanik

1981, dalam Purba 1998 : 27).

Pembukaan jalan raya dari Balige ke Pematangsiantar tahun 1915 memberi

arti tersendiri bagi orang-orang yang memasuki Simalungun atau daerah lainya di

Sumatera Timur, sekaligus memberi kemudahan bagi mereka yang akan

bermigrasi. Pembukaan hubungan lalu lintas sampai ke Medan tahun-tahun

berikutnya telah menyebabkan daerah Pematang Siantar sebagai kota transit bagi

orang-orang dari Tapanuli yang menuju Tebing tinggi, Medan, Belawan, Binjai,

Pangkalan Brandan dan kota-kota kecil lainnya untuk mencari pekerjaan.

Pematang Siantar menjadi tempat berbagai suku bangsa diantaranya kelompok

suku Batak: Toba, Karo, Mandailing dan lain-lainnya, kelompok Jawa, Cina dan

sebagainya. Keanekaragaman itu telah melahirkan beberapa nama kampung

tempat tinggal mereka dan nama-nama jalan dikota ini. Satu diantara daerah

(46)

dengan Kampung Jawa dan bagi orang Melayu (diartikan sebagai

orang-orang yang beragama Islam) disebut Kampung Melayu. Tahun 1920 sudah

terdapat 9.460 orang penduduk Pematang Siantar, terdiri dari 6.096 pribumi, 203

Eropah dan 3.161 Cina, India dan Asia lainya (Tideman 1992 dalam Purba 1998:

29).

Tabel I

Penduduk Pematang Siantar 1930

Jumlah %

Sumber : Volkstelling 1930 dalam Purba 1997

Kota Pematangsiantar terdiri dari 8 Kecamatan yaitu : Siantar Barat, Siantar

Marihat, Siantar Martoba, Siantar Selatan, Siantar Timur, Siantar Utara, Siantar

Marimbum, Siantar Sitalasari.Kecamatan Siantar Sitalasari ini yang merupakan

pemekaran dari wilayah Kecamatan Siantar Martoba. Siantar Sitalasari memiliki

(47)

Kapul ini merupakan suatu daerah lintasan bagi truk-truk besar yang menuju

Kabupaten Simalungun yang bertujuan mengambil hasil panen yang mana terletak

di jalan Sibatu-batu.

Kelurahan ini berbatasan dengan beberapa Kelurahan antara lain :

 disebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Bah Sorma,

 disebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Setia Negara,

 disebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bukit Sofa da

 disebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Gurilla.

Penetapan Batas dan Peta wilayah diatur dalam Peraturan Daerah kota

Pematangsiantar No. 03 tahun 2007.

2.1.2. Keadaan Alam

Penggunaan lahan di Kelurahan ini berbagai kegunaan, seperti sebagai

pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, pekarangan, taman, perkantoran,

dll. Luas Kelurahan ini sekitar 356,5 ha. Kelurahan ini memiliki suhu rata-rata

harian sekitar 24-30ᵒ C. Kelurahan Bah Kapul ini terletak diketinggian 400Mdl.

Untuk dapat menunjukkan gambaran yang lebih jelas tentang penggunaan tanah

(48)

Tabel II

TATA GUNA TANAH KELURAHAN BAH KAPUL

No. Jenis Penggunaan Luas Lahan (ha)

1. Pemukiman 229 ha

2. Persawahan 10 ha

3.  Perkebunan 75 ha

4. Kuburan 1 ha

5. Pekarangan 85 ha

6. Taman 1 ha

7. Perkantoran 4 ha

8. Prasarana umum lainnya 21,5 ha

JUMLAH 356,5 ha

Sumber: Kantor Kelurahan Bah Kapul 2013

Curah hujan di Kelurahan Bah Kapul setiap tahunnya sekitar 3156 mililiter

per tahunnya. Jenis tanah yang ada di Kelurahan Bah Kapul sebagian besar adalah

tanah kering, sedangkan sebagian lagi adalah tanah sawah dan tanah perkebunan.

Keadaan tanah yang demikian dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat

permukiman, sebagai tempat membangun usaha berjualan, tempat bertani.

Jenis-jenis tanaman yang ditanam adalah jagung, ubi kayu, kangkung, dan

tumpang sari, kelapa sawit, dll. Tabel dibawah ini akan menampilkan produksi

(49)

Tabel III

PRODUKSI PERTANIAN TAHUN 2012-2013

No. Jenis Tanaman Luas/ ha Jumlah/ton

1. Jagung 4 ha 8 Ton/ha

2. Ubi Kayu 50 ha 50 Ton/ha

3. Kangkung 1 ha ½ Ton/ha

4. Tumpang sari 3 ha 11/2 Ton/ha

5. Jahe ½ ha ½ Ton/ha

6. Kunyit ½ ha ½ Ton/ha

7. Lengkuas ¼ ha ¼ Ton/ha

8. Kelapa sawit 18 ha 36 Kw/ ha

Sumber : Kantor Kelurahan Bah Kapul 2013

Selain tumbuh-tumbuhan, ternak juga dipelihara oleh penduduk. Ternak

yang dipelihara oleh penduduk bermacam-macam seperti : ayam kampung, babi,

ayam bloiler.

2.1.3. Sarana Fisik

2.1.3.1. Sarana Ibadah

Di kelurahan Bah Kapul sarana ibadah yang ada adalah langgar sebanyak

2 buah, mesjid 9 buah, 8 buah gereja seperti gereja Katholik, HKBP, GKPS dan

lainnya, 1 buah pura. Kelengkapan sarana ibadah ini membuat penduduk

melakukan ibadahnya cukup hanya berjalan kaki, karena yang jaraknya dari

(50)

2.1.3.2. Sarana Media Massa

Meskipun kelurahan Bah Kapul ini termasuk jauh dari pusat kota

Pematangsiantar tetapi sarana media tidak ketinggalan zaman dalam memenuhi

kebutuhan masyarakat akan informasi tentang pembangunan dan

perkembanganya. Radio, Televisi dan juga surat kabar adalah media yang tidak

asing lagi bagi penduduk kelurahan Bah Kapul, bahkan dapat dikatakan bahwa

hampir semua penduduk Kelurahan Bah Kapul telah memiliki radia dan televise.

Di beberapa rumah, antena parabola sudah ada dan alat komunikasi telepon,

handphone dan juga jaringan internet juga melengkapi kebutuhan informasi para

penduduk.

Koran ataupun majalah dan tabloid juga melengkapi sarana media massa

di tempat ini. Koran seperti Pos Metro Siantar, Siantar 24 jam, Sinar Indonesia

Baru, Waspada, Kompas, BOLA, Batak POS dan lainya. Umumnya mereka

berlangganan, maka setiap dengan cara membayar perbulan, yang diperoleh dari

agen-agen surat kabar yang setiap paginya bersepeda motor, melempar koran

kedepan pintu maupun gerbang setiap rumah penduduk dengan berteriak

“KORAN, KORAN-KORAN”. Tetapi apa bila penduduk tidak berlangganan,

maka mereka cukup nongkrong di warung kopi, kios-kios. Seperti Warung Kopi,

CAFÉ DAYAK KOPI, TOKO SANGAP, SAMOSIR KOPI, SARAGIH KOPI,

AISEDOISE POMBENSI. Tempat-tempat ini menyediakan Koran untuk dibaca

dan juga televisi dengan siaran-siaran langsung yang berbayar perbulannya,

(51)

WIFI juga tersedia dibeberapa warung kopi tersebut dan juga dibukanya

warung-warung internet.Sehingga mereka tetap mampu mengakses kebutuhan

mereka akan informasi-informasi yang berkembang.

2.1.3.3. Sarana Kesehatan

Dengan melihat keadaan penduduk di kelurahan Bah Kapul yang telah

cukup modern, juga didukung dengan sarana kesehatan yang baik. Kelurahan ini

memiliki 1 Puskesmas dan 4 Posyandu juga membantu para bidan yang ada

didaerah tersebut membuka praktek-praktek bidannya maupun praktek, dengan

jumlah bidan yang ada 20 orang dan dokter umum 5 orang.

Melihat kebutuhan air penduduk kelurahan Bah Kapul tidaklah ada

kesulitan. Dimana PDAM Tirtauli memenuhi kebutuhan air masyarakat. Juga

adanya mata air dibeberapa rumah penduduk dan juga di sawah penduduk.

Bendungan-bendungan mata air kecil yang digunakan untuk mandi dan juga di

gunakan sebagai objek wisata yang bernama Pulo Batu.

Mengenai pembungan tinja, kebanyakan para penduduk membuang tinja

langsung kesungai, sangat jarang menggunakan septic tank. Karena kelurahan ini

dilintasi oleh sebuah aliran sungai yang masih deras. Dalam sarana kesehatan ini,

penduduk umumnya sudah lebih menyadari arti kesehatan itu sendiri. Hal ini

tercermin dari adanya kesadaran mereka untuk membuang limbah-limbah air dari

kamar mandi ke parit-parit dan juga langsung kesungai.

Tetapi mengenai pembuangan sampah, para penduduk sering juga

Gambar

 Tabel I Penduduk Pematang Siantar 1930
Tabel II
Tabel III
Tabel Nama-nama anggota Organisasi PRPB Pematangsiantar tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait