Bona Pasogit
(Study Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)
Disusun Oleh :
Tripresar Jhon Tuan Panjaitan
090905041
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah dipertahankan oleh :
Nama : Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan
NIM : 090905041
Departemen : Antropologi Sosial
Judul : Bona Pasogit (Studi Etnografi tentang pewarisan budaya dalam masyarakat Batak Toba marga Panjaitan di Pematangsiantar)
Medan, Januari 2014
Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen
Prof.Dr.Chalida Fachruddin Dr. Fikarwin Zuska
Nip.13014221800 Nip.19621220 198903 1 005
Dekan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN ORIGINALITAS
Bona Pasogit
(Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Januari 2014
Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan
ABSTRAK
Tripresar jhon tuan panjaitan, 2013. Judul skripsi: Bona Pasogit (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar).Skripsi terdiri dari 5 Bab, 90 halaman dan 4 tabel 2 bagan.
Tulisan ini mengkaji mengenai bagaimana proses pewarisan budaya berlangsung di dalam keluarga marga Panjaitan, khususnya keluarga Turunan Raja Hasoge Panjaitan. Adanya kebutuhan masyarkat Batak Toba untuk dapat memahami seluk-beluk silsilah keluarganya dengan baik dan benar, dengan mencari identitas kebatakan mereka. Seperti kita lihat banyak saat ini masyarakat Batak Toba kembali peduli terhadap bona pasogitnya bukan semata hanya mencari tanah makam, melainkan mencari tahu tentang tarombo mereka dan akhir membentuk network sejalan dengan tarombo tersebut.
Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang bernama Kelurahan Sitalasari. Kelurahan ini berada di kota Pematangsiantar, Sumatera Utara merupakan tanah rantau. Dan yang kedua Desa Sitorang, Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa merupakan kampung halaman. Mayoritas penduduk di kedua tempat ini adalah beretnis Batak Toba dan memiliki agama Kristen Protestan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi partisipasi kepada masyarakat terkait masalah penelitian.
Permasalahan yang dibahasa adalah bagaimana proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung, serta apa yang menyebabkan masyarakat kembali peduli terhadap kampung halamannya.
Kesimpulann yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat kembali terhadap kampung halamannya, diawali dengan terjadinya sengketa tanah adat. Melalui sengketa tanah tersebut keluarga ini berusaha mencari tahu bagaimana tanah adat tersebut bisa menjadi kepemilikannya. Pencarian tarombo silsilah dilakukan dan mendapat dukungan masyarakat sekitar bahwa itu memang tanah leluhur turunan Raja Hasoge Panjaitan, dan melalui hal ini keluarga ini bergabung dengan network marga yang dibentuk sesuai dengan turunan leluhur yang namanya adalah Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan kesatuan ini akan berusaha mengusulkan salah satu raja yang bernama Pun Tua Radja Panjaitan menjadi Pahlawan Nasional,
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya menyadari, penulisan skripsi dengan judul “Bona Pasogit” (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar) ini sangat jauh dari harapan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Disamping itu begitu banyaknya kendala-kendala
yang sering menghadang yang mewarnai konsentrasi saya dalam memaksimalkan
usahanya. Saya juga menyadari bahwa untuk saat ini, inilah hasil maksimal yang
dapat disumbangkan walau senantiasa tersisipkan kekurangan dan kelemahan.
Lembar ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya ini
sayadidedikasikan kepada orang-orang terkasih yang selalu membantu dan
mendukung saya dalam menyelesaikan kuliah di Jurusan Antropologi Sosial
Universitas Sumatera Utara. Rasa senang, sedih, kecewa, putus harapan, puas,
bahagia, takut, cemas semua saya rasakan selama penyelesaian skripsi ini. Saya
bersyukur telah melalui tahap yang paling berkesan selama berkuliah. Terima
kasih tak terhingga ini saya tujukan pertama kepada Tuhan Yesus Kristus. Saya menyadari bahwa teguran Tuhan dalam Amsal 19:15 mendukung saya
menyelesaikan skripsi ini. “Kemalasan mendatangkan tidur nyenyak, dan orang
yang lamban akan menderita lapar” (Amsal 19:15). Tanpa-Nya semua sia-sia.
Amin.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga untuk orang
tuaku terkasih, bapak saya, St. Raja Hasoge Timbul Panjaitan dan mama saya,
dan pengorbanan terbesar dalam hidup saya agar terus berjuang dan menjadi yang
terbaik. Skripsi ini spesial saya persembahkan buat keluarga besar saya Keturunan
Raja Hasoge Panjaitan, dan tak lupa kepada kakak saya seorang bidan yang jauh
diperantauan Padang Sidempuan Sara Jubelta Oktobrina Panjaitan dan lae saya
Wesly Nainggolan. Terima kasih atas semangat, unek-unek dan segala dukungan materi yang telah diberikan. Saya merasa bangga memiliki saudara perempuan
saya terbaik dan terhebat Nova Christalia Panjaitan .
Terima kasih juga saya ucapkan kepada dosen pembimbing skripsi saya,
Prof.Chalida Fachruddin. Beliau tidak hanya sekedar dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, dan perhatian serta bimbingannya kepada
saya mulai dari awal penyusunan proposal sampai akhir penyelesaian skripsi ini,
tetapi juga seorang motivator inspiratif bagi saya dan juga sebagai teman curhat
saya. Terima kasih atas semangat dan kesabarannya dalam membimbing skripsi
saya. Jasa besar beliau akan selalu saya ingat. Saya pun ingin mengucapkan
banyak terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak
Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, dan Ketua Departemen Antropologi, Bapak Dr. Fikarwin Zuska serta Bapak Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang selalu memberikan dukungan dan motivasi selama perkuliahan
saya di kampus ini serta dengan bijaksana memberikan arahan bagi saya.
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen Penasehat
juga saya ucapkan kepada seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Sosial FISIP USU yang telah memberikan begitu banyak ilmu, wawasan serta pengetahuan baru bagi saya selama masa perkuliahan. Demikian juga kepada staf
administrasi Departemen Antropologi Kak Nurhayati dan staf bagian Pendidikan
Kak Sofi yang dengan baik hati selalu memberikan informasi dan membantu saya mengurus surat-surat yang saya butuhkan terkait skripsi saya.
Tak lupa, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Lurah Sitorang I
Gosen Panjaitan dan Lurah Hutanomora Binahar Panjaitan SE, dan informan saya bapak Malatang Panjaitan, Ir.Pandapotan Panjaitan, Abdul Panjaitan dan Anton Panjaitan yang telah memberikan memberikan informasi terkait skripsi saya serta seluruh informan, bou Bintang Panjaitan dan Opung Pangaribuan saya yang tercinta yang telah bersedia menyediakan kebutuhan saya
sehari-harinya saat tinggal di bona pasogit Sitorang. Dan seluruh marga Panjaiatn yang di Sitorang yang meluangkan waktunya untuk saya wawancarai dan berbagi
informasi. Terima kasih buat dukungan yang diberikan kepada saya, tanpa kalian
semua skripsi saya tidak akan selesai. Dan terkhusus buat lae saya Alm. Prof. D.P Tampubolon, terimakasih lae atas doa mu tiap minggunya dan memberikan waktunya buat sharing tentang skripsi saya ini.
Pada kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
lae marudut, lae imanda yang selalu heboh dengan omelan-omelan kecilnya terkait masalah proposal dan skripsiku dan tak henti-hentinya memberi semangat.
Para kerabat se-Indonesia melalui Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia ”JKAI” dan teman-teman yang tak dapat kusebutkan satu per satu namanya. Begitu juga kepada senior saya terima kasih banyak buat motivasi dan bantuannya
serta junior-junior saya semuanya. Kalian semua adalah saudara dan keluarga buat
saya.
Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada si Jugul pramugariku, Nancy Crisyanti Sitanggang buat waktu, tenaga, pikiran, maupun materi yang diberikan buat saya mulai dari pengajuan judul sampai selesainya skripsi ini. Terima kasih
telah mau berbagi tawa dan air mata selama penyelesaian skripsi ini. Semangat
yang kamu berikan telah membuat saya bangkit dari keterpurukan. Emosi,
cemburu dan nasehat yang tanpamu mungkin saya tidak bisa menyelesaikan
skripsi ini “hati-hati disaat landing pesawatnya yah”. Terima kasih buat dukungan dan semangat yang kalian berikan selama penyelesaian skripsi saya.
Terima kasih juga buat suka-duka kebersamaan yang kita jalani selama ini.
Terima kasih kepada teman-teman ”KAGAWAKA” Deni, Candra, Hardi, Serep, Dermawan Purba, Adon dan junior lainnya. Kalian teman aku saat berdemo di medan ini terima kasih buat semangat “Revolusi”. Dan juga grup Facebook “Panjaitan world, PRPB, Sitorang Nauli”, Tanpa kalian skripsiku hampa adanya serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya tuliskan satu per
satu, yang telah membantu saya dalam pembelajaran selama studi hingga
Kuasa membalas seluruh kebaikan yang telah saya terima selama ini.Saya yakin
bahwa masih banyak hal-hal yang kurang dalam penulisan skripsi ini. Kiranya
saya berharap akan adanya saran, masukan, kritik bagi skripsi ini, sehingga
tercapainya suatu tulisan yang baik dan berguna bagi pihak-pihak yang
memerlukannya.
Medan, Januari 2014
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Tri Presar Jhon Tuan Panjaitan, lahir
pada tanggal 24 Mei 1991 di
Pematangsiantar, Sumatera Utara. Anak
ketiga dari 3 (tiga) bersaudara dari
pasangan St. Raja Hasoge Panjaitan XV
dan Erita Saragih. Mengikuti Taman
Kanak-kanak di TK Swasta Kalam
Kudus Pematangsiantar pada tahun
1997. Menyelesaikan pendidikan dasar
di SD NEGERI 122393
Pematangsiantar pada tahun 2003,
Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Bintang Timur Pematansiantar pada
tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Kristen Kalam Kudus
Pematangsiantar tahun 2009. Kemudian pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan
ke jenjang Sarjana di Perguruan Tinggi di Universitas Sumatera Utara dengan
spesifikasi Ilmu Antropologi Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik . Alamat
email: tripresarjhontuanpanjaitan@yahoo.com.
Berbagai kegiatan yang dilakukan selama masa studi, antara lain :
Pemenang Drama Komedi dalam Acara Pentas Kreasi SMA Kalam Kudus di Pematangsiantar pada tahun 2007
Anggota Kepemudaan marga Panjaitan Pematangsiantar pada pahun 2009
Mengikuti Seminar Model Of Teacher Education and Class Teaching Model oleh Prof.Dr. Paitoon Chayanara dari Universitas Nanyang Singapur
bekerja sama dengan Pascasarjana Linguistics USU, dan PGSI Kota Medan
pada tahun 2010
Anggota Koordinator Litbang Laboratorium Antropologi USU di tingkat mahasiswa, yaitu sebuah organisasi minat dan bakat mahasiswa pada tahun
2011.
Anggota Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Antropologi USU pada tahun 2011.
Mengikuti Seminar “Roadshow Film Dokumenter dan Diskusi Publik
Crossing Boundaries” pada tahun 2010.
Mengikuti Seminar “Tindakan nyata generasi muda lewat potensi diri untuk membangun bangsa” oleh Generasi Muda Nias di Medan tahun 2010
Mengikuti Pelatihan “Training of Facilitator” angkatan I oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2012.
Ditugaskan sebagai enumerator untuk surve akses Pekerja Formal Perempuan di Kota Medan. Oleh International Labour Organization kerja
sama dengan Pusat Study Gender dan Perlindungan Anak Universitas Negeri
KATA PENGANTAR
Judul skripsi ini adalah “Bona Pasogit” (Studi Etnogarfi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar). Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berisi kajian yang berdasarkan hasil wawancara dan observasi
dengan masyarakat marga Panjaitan yang tinggal di Pematangsiantar. Skripsi ini
membahas mengenai bagaimana proses pewarisan budaya dalam masyarakat
Batak Toba marga Panjaitan di Pematangsiantar . Adanya kebutuhan orang Batak
Toba untuk mengetahui seluk-beluk kebudayaan mereka sebagai marga Panjaitan.
Tindakan keluarga marga Panjaitan ini untuk mengetahui seluk-beluk kebudayaan
keluarga mereka akan tertuang dalam kajian skripsi ini.
Kita mengetahui bahwa banyak generasi muda dalam kelurga tidak lagi
mengerti tentang sistem kekerabatannya. Hal ini yang membangkitkan keinginan
para orang tua marga Panjaitan melakukan pengenalan terhadap kebudayaan
mereka. Agar nantinya generasi muda tetep mengetahuinya, dan tetap di wariskan
Pada tulisan ini, saya juga membuat daftar pustaka dan lampiran-lampiran
seperti pedoman wawancara, peta lokasi penelitian, surat penelitian, serta
gambar-gambar di lokasi penelitian. Saya yakin akan adanya kekurangan dari skripsi ini,
sehingga saya akan dengan senang hati menerima saran, masukan, dan kritikan
agar terciptanya suatu skripsi yang baik dan berguna bagi masyarakat. Demikian
pengantar dari saya, semoga skripsi ini bermanfaat memberikan kontribusi demi
kemajuan ilmu pengetahuan.
Medan, Januari 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman persetujuan ... Halaman pengesahan ...
Pernyataan originalitas ... i
Abstrak ... ii 1.1. Latar Belakang Penelitian...……….. 1
1.2. Tinjauan Pustaka... ... 6
1.3. Rumusan Masalah...……… 14
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 14
1.5. Metode Penelitian...………... 15
1.5.1. Teknik Observasi Partisipasi………... 15
1.5.2. Teknik Wawancara Lapangan...………..…….... 17
1.6. Pengalaman Penulis di Lapangan……… 18
1.7. Lokasi Penelitian...………. 23
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Deskripsi Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Sitalasari Kota Pematansiantar ... 24
2.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar... 24
2.1.2. Keadaan Alam ... 29
2.2.3.4 Sarana Jalan dan Sarana Transportasi ... 41
2.2.4Gambaran Penduduk ... 41
BAB III
Bona Pasogit Panjaitan
3.1 Pengertian Bona Pasogit ... 423.2 Sejarah Marga Panjaitan ... 43
3.2.1. Raja Panjaitan sebagai Pewaris Marga Panjaitan ... 43
3.2.2. Raja Situngo Naiborngin Panjaitan sebagai marga Panjaitan generasi kedua ... 44
3.3. Sejarah riwayat hidup Raja Hasoge Panjaitan (Pu Botul) Pada masa hidupnya (1845 – 1932) ... 52
3.4.Renovasi Sopo Parsaktian Raja Hasoge Panjaitan ... 59
BAB IV
Perkumpulan Marga Panjaitan sebagai Aplikasi
Pewarisan Budaya
4.1 Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan dan Boru ... 624.2 Network Raja Panjaitan dan Boru Kota Pematangsiantar ... 69
4.2.1 Struktur Organisasi ... 69
4.2.2 Sistem Adat Organisasi ... 71
4.2.2 Sistem Kekerabatan Organisasi ... 72
DAFTAR TABEL
TABEL 1: Penduduk Pematangsiantar 1930 ... 28
TABEL 2: Tata Guna Tanah Kelurahan Bah Kapul ... 30
TABEL 3: Produksi Pertanian Tahun 2012-2013... 31
TABEL 4: Nama-nama anggota Organisasi PRPB Pematangsiantar... 31
Bagan 1: Tarombo(Silsilah) Raja Hasoge Panjaitan...58
Bagan 2: Sistem Kekerabatan... 73
LAMPIRAN
Denah Sumatera Utara
Denah Kabupaten Tobasa
Daftar interview guide
Daftar Nama Informan
Surat Izin Penelitian dari Universitas
Surat Balasan dari Kelurahan
ABSTRAK
Tripresar jhon tuan panjaitan, 2013. Judul skripsi: Bona Pasogit (Study etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar).Skripsi terdiri dari 5 Bab, 90 halaman dan 4 tabel 2 bagan.
Tulisan ini mengkaji mengenai bagaimana proses pewarisan budaya berlangsung di dalam keluarga marga Panjaitan, khususnya keluarga Turunan Raja Hasoge Panjaitan. Adanya kebutuhan masyarkat Batak Toba untuk dapat memahami seluk-beluk silsilah keluarganya dengan baik dan benar, dengan mencari identitas kebatakan mereka. Seperti kita lihat banyak saat ini masyarakat Batak Toba kembali peduli terhadap bona pasogitnya bukan semata hanya mencari tanah makam, melainkan mencari tahu tentang tarombo mereka dan akhir membentuk network sejalan dengan tarombo tersebut.
Penelitian ini dilakukan di dua tempat yang bernama Kelurahan Sitalasari. Kelurahan ini berada di kota Pematangsiantar, Sumatera Utara merupakan tanah rantau. Dan yang kedua Desa Sitorang, Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa merupakan kampung halaman. Mayoritas penduduk di kedua tempat ini adalah beretnis Batak Toba dan memiliki agama Kristen Protestan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dengan tahapan penelitian pra-lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan diakhiri dengan tahap penulisan laporan penelitian. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah melalui wawancara dan observasi partisipasi kepada masyarakat terkait masalah penelitian.
Permasalahan yang dibahasa adalah bagaimana proses-prose pewarisan budaya yang berlangsung, serta apa yang menyebabkan masyarakat kembali peduli terhadap kampung halamannya.
Kesimpulann yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat kembali terhadap kampung halamannya, diawali dengan terjadinya sengketa tanah adat. Melalui sengketa tanah tersebut keluarga ini berusaha mencari tahu bagaimana tanah adat tersebut bisa menjadi kepemilikannya. Pencarian tarombo silsilah dilakukan dan mendapat dukungan masyarakat sekitar bahwa itu memang tanah leluhur turunan Raja Hasoge Panjaitan, dan melalui hal ini keluarga ini bergabung dengan network marga yang dibentuk sesuai dengan turunan leluhur yang namanya adalah Kesatuan Turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan kesatuan ini akan berusaha mengusulkan salah satu raja yang bernama Pun Tua Radja Panjaitan menjadi Pahlawan Nasional,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku bangsa, dan
mempunyai ciri-ciri tersendiri masing-masing daerahnya. Perkembangan
teknologi sangat mendukung penyebaran suku-suku bangsa ke daerah-daerah lain
dengan meninggalkan daerah asalnya. Difusi kebudayaan pun terjadi karena
interaksi antar suku bangsa berlangsung. Didukung juga nasionalisme yang tinggi
dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Generasi muda
sekarang telah mengenal beragam corak kebudayaan yang dapat mengkaburkan
budaya sukunya sendiri.
Kekaburan budaya yang dimaksud seperti, terjadinya pemakaian bahasa
Indonesia di rumah, dan tidak lagi mengerti tentang bahasa daerahnya, tidak
mengenal lagi asal usul sukunya, tidak lagi mengenal kekerabatan seperti hal
pemanggilan terhadap keluarga telah menggunakan bahasa Indonesia, dalam suku
bangsa Batak Toba memanggil “Bapa Uda1” dengan panggilan “Om”. Perubahan
kebudayaan ini membuat kalangan orang tua berusaha agar generasi muda tetap
memahami kebudayaan sukunya. Di dalam kalangan generasi muda suku bangsa
Batak Toba dalam hal partuturan2 banyak yang tidak paham. Bila ditanya dari
mana marganya itu berasal kebanyakan tidak mengetahuinya. Walaupun orang tua
1
Bapa Uda merupakan sebutan terhadap adik dari bapak
2
berusaha agar anaknya mengetahui hal tersebut. Berbagai cara dilakukan orang
tua agar generasi muda tidak menghilangkan identitas ke Batakannya.
Para orang tua menganggap penting budaya Batak Toba itu diwariskan dan
berupaya mempertahakan kebudayaan Batak Toba. Satu diantara keluarga Batak
Toba marga3 Panjaitan yang tinggal di kota Pematangsiantar melakukan proses
pewarisan budaya. Keluarga Panjaitan ini kembali peduli terhadap Bona Pasogit4.
Kepedulian kembali keluarga marga Panjaitan terhadap Bona Pasogit-nya
teraplikasi melalui ritual adat seperti pesta Mangokal Holi5, pendirian tambak,6
melakukan renovasi ruma-ruma, sopo7, melakukan rapat-rapat organisasi marga
dalam usaha pengajuan nenek moyang sebagai pahlawan nasional, acara
mangojakhon harajaon (mewariskan kerajaan) dan juga berlibur. Dan juga
pengenalan terhadap budaya Batak Toba seperti peningalan-peninggalan nenek
moyang keluarga marga Panjaitan, tarombo (silsilah keluarga), menceritakan
perjalanan hidup nenek moyang kepada generasi muda. Keluarga marga Panjaitan
melakukan hal itu untuk mengetahui tentang Bona Pasogit, yang telah lama
ditinggalkan sejak melakukan migrasi ke Pematangsiantar.
3
Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilineal (Ihromi 2006:159).
4
Bona Pasogit merupakan kampung halaman suatu marga suku bangsa Batak Toba, yang mana dari daerah inilah bermula kehidupan suatu keluarga Batak Toba.
5
Mangongkal Holi artinya menggali kembali tulang-belulang nenek moyang(Sihombing 1986: 90).
6
Tugu/Tambak biasanya dibangun untuk memperingati seseorang, yaitu nenek moyang satu marga atau satu cabang marga(Simanjuntak 2011:248)
7
hasil-Bona Pasogit marga Panjaitan ini terletak di Sitorang I Banjar Ganjang
Kecamatan Silaen Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Kawasan ini merupakan
tanah marga Panjaitan yang khususnya keturunan Raja Sijorat Paraliman
Panjaitan8. Menurut Vergouwen (1986) tanah marga ini disebut juga bona ni
pinasa (tempat asal leluhur) atau bona ni pasogit (daerah leluhur). Bona Pasogit
yang merupakan suatu daerah tempat tinggal nenek moyang orang Batak Toba,
yang disebut dengan huta. Para warga desa Banjar Ganjang ini diikat oleh
hubungan darah dan merupakan turunan dari satu leluhur yaitu Raja Sijorat
Paraliman Panjaitan. Dalam satu desa tersebut umumnya bermukim marga
Panjaitan, hanya sebagian kecil marga lain berada dalam desa Banjar Ganjang.
Dalam desa itu terdapat ruma-ruma adat Batak, Tugu marga, tambak (Kubur
batu), Sopo maupun ruma-ruma (rumah), organisasi-organisasi salah satu
keturunan nenek moyang, yang mendapatkan kembali perawatan dan juga
pembuatan baru yang dilakukan para perantau saat ini telah bermigrasi ke
berbagai daerah. Satu diantara Sopo dan Tugu keturunan marga tersebut
merupakan milik dari keluarga marga Panjaitan keturunan Raja Hasoge
Panjaitan9, keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini memiliki beberapa generasi dan
satu Sopo, tambak yang telah didirikan baru-baru ini dan peninggalan-peninggalan
nenek moyang seperti alat-alat tenun, juga tongkat. Perhatian terhadap bona
pasogit semakin meningkat, walaupun keturunan Raja Hasoge Panjaitan ini tidak
satu pun yang tinggal di Sopo itu, karena menetap di tanah rantau dengan alasan
8
Sijorat Paraliman adalah satu diantar nama nenek moyang marga Panjaitan dari Raja Siponot
9
pekerjaan dan juga beberapa Sopo juga mulai diperbaikin oleh penduduk
setempat.
Keluarga Raja Hasoge Panjaitan ini merupakan satu diantara suku bangsa
Batak Toba yang bermigrasi ataupun merantau dari Tapanuli Utara10 ke kota
Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Sitalasari. Kota Pematangsiantar
merupakan kota yang heterogen yang memiliki suku yang berbagai, yaitu
Simalungun, Toba, Mandailing, Jawa, Melayu, Tionghoa11. Interaksi antar suku
pun terjadi yang memungkinkan difusi kebudayaan12 juga terjadi. Namun dengan
kesadaran Keluarga Panjaitan ini terhadap pentingnya budaya Batak Toba
tersebut, sehingga mereka berusaha mempertahankan kebudayaannya, mengenal
kembali bona pasogit.
Seperti wakil Bupati Toba Samosir Liberty Pasaribu, mengatakan bahwa
pembangunan di bona pasogit melalui pendirian makam keluarga (tambak)
merupakan kepedulian dalam pelestarian budaya serta mengetahui asal-usul
silsilah dan upaya memahami budaya leluhur sambut beliau saat menghadiri acara
peresmian makam keluarga Tri Medya Panjaitan (DPR-RI) pada 25 Juni 2011.
Kabag Humas Toba Samosir Arwanto H. Ginting juga mengatakan budaya ziarah
menjadi wisata makam sebagai pelestarian budaya di bona pasogit
10
Tapanuli utara berada di Sumatera Utara, dan secara umum Panjaitan berasal dari Balige Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara. Sehingga berdirilah tugu Marga Panjaitan disana, terletak dekat dengan Rumah Sakit Umum Balige.
11
Kota Pematangsiantar salah satu kota di Provinsi Sumatera
Utarahttp://id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Pematangsiantar (diakses tanggal 18 Maret 2013, pukul 08.29 WIB)
12
(http://humastobasa.wordpress.com) penulis juga turut hadir dalam acara tersebut.
Simanjuntak (2010:173) mengatakan nilai budaya tradisional itu masih punya
tempat dikalangan orang Batak masa kini, bahkan sebagian masih sangat kuat
kedudukannya dan mengharapkan hasil analisa yang lebih dalam tentang budaya
Batak Toba. Mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, berusaha
menghimbau para perantau Sumatera Utara, terutama yang berasal dari Tapanuli
untuk memperhatikan kembali kampung halaman, dengan gerakan “ Marsipature
Hutana Be” (MHB) yang artinya mari membangun desa masing-masing (Pelly
292: 1994). MHB ini berfalsafah dasar melestarikan nilai-nilai luhur di pedesaan
(Ritonga 107:2000). Nilai-nilai leluhur bisa berupa siapa sebenarnya nenek
moyang mereka, dimana makamnya, seperti apa perjalanan hidup nenek moyang
mereka. Suku bangsa Batak Toba berusaha menggali silsilah kekeluargaan mereka
yang dalam bahasa Batak Toba “Tarombo”.
Hal diatas yang mendasari peneliti untuk meneliti proses pewarisan
budaya yang dilakukan dalam keluarga Panjaitan di Pematangsiantar. Karena
keluarga ini berusaha mempertahankan serta mencari tahu identitas ke Batakan
mereka. Selain itu juga peneliti akan melihat seperti apa proses pewarisan budaya
1.2. Tinjauan Pustaka
Suku bangsa Batak adalah Proto Malayan sama seperti bangsa Toraja,
bukan Neo Malayan seperti bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda,
Madura. Suku Bangsa Batak semula adalah satu dari Proto Malayan Tribes,
dipegunungan perbatasan Burma (Thailand). Disitu suku Bangsa Batak ribuan
tahun lamanya bertempat tinggal dengan suku-suku Bangsa Proto Malayan Tribes
lainya (Parlindungan 1964 : 19). Dan Parlindungan (1964 : 19-22) berpendapat
suku bangsa Proto Malayan Tribes ada 8 suku yaitu : suku bangsa Karen, suku
bangsa Ranau, suku bangsa Igorot, suku bangsa Meo, suku bangsa Toraja, suku
bangsa Tayal, suku bangsa Botoc, suku bangsa Wadjo.
Suku bangsa Igorotlah mendarat di Pantai Barat Pulau Andalas berangkat
bermigrasi dari Burma karena serangan Bangsa Mongol. Disitu suku bangsa Batak
terpisah ada yang mendarat dipulau Simalur, Nias, Batu, Mentawai. Dan juga ada
yang mendarat di Sungai Simpang, yang sekarang adalah Singkil, Aceh. Dan
terakhir mendarat di muara sungai Sorkam, antara Barus dan Sibolga. Memasuki
pedalaman sampai di kaki Gunung Pusuk Buhit, ditepi Danau Toba sebelah Barat,
di seberang Pangururan, Kab.Toba Samosir.
Menurut Bruner (dalam Nainggolan 2006 : 44) Orang Batak sendiri yang
menyebut diri mereka sebagai halak hita (orang kita). ‘orang kita’ berasal dari
nenek moyang yang sama: Si Raja Batak. Mereka mengindifikasi diri mereka atas
dasar hubungan keluarga. Menurut Sangti (1977:26) suku bangsa Batak sebagai
‘Bataha’ sebagai nama satu antara kampung di Burma, yang merupakan asal
orang Batak sebelum menyebar kepulauan Nusantara.
Menurut Parlindungan (1964 : 614-615) saat menyebar di Nusantara, suku
Batak melakukan tiga gelombang pendaratan. Gelombang pertama suku Batak
mendarat di Nias, Mentawai, Siberut, dan lain-lainnya. Gelombang kedua
mendarat di Muara Simpang Sungai dan gelombang ketiga mendarat di muara
sungai Sorkam. Dan menyebar memasuki pegunungan hingga mencapai Danau
Toba dan menetap di kaki gunung Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong
Mulana, diseberang kota Panguruan yang saat ini. Suku Bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak
Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing13. Menurut Malau (dalam
Gultom 2010 : 33) ke enam subsuku ini sama-sama mengakui bahwa mereka
adalah keturunan Si Raja Batak atau nenek moyang orang Batak.
Menurut Nainggolan (2012:61) orang Batak memiliki
kelompok-kelompok marga yang semuanya itu berasal dari Si Rajabatak. Setiap marga
mempunyai daerah sendiri sebagai tanah asal mereka masing-masing. Semua itu
dapat dimengerti sebab masyarakat Batak Toba adalah masyarakat agraris.
Mereka membutuhkan tanah untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Keterbatasan tanah yang diolah untuk lahan pertanian memaksa mereka
bermigrasi ke tempat yang baru. Kadang-kadang juga bermigrasi karena
ketidakpuasan terhadap marga atau karena ambisi dari anggota marga untuk
mendirikan marga baru dan mencari tanah.
13
Vergouwen (1986 :43) menyebutkan golat adalah tanah wilayah suatu
marga, yang saat digunakan sebagai tempat upacara persembahan disebut bius.
Menurut Vergouwen warisan dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari tanah
milik orang yang sudah meninggal, serta kekayaannya yang lain yaitu rumah,
lumbung padi (sopo), ternak, pepohonan, barang bergerak, hutang-piutang, dan
uangnya (Masinambow 2000:288). Setelah menyebar diberbagai daerah dan
berusaha beradaptasi didaerah masing-masing orang Batak membutuhkan bantuan
sesama orang Batak sehingga terbentuklah network. Network merupakan
hubungan pribadi yang mempunyai ikatan satu sama lain. Ikatan ini dapat terjadi
diantara individu, rumah tangga, keluarga, tetangga, kolega, teman sekelompok
sosial lainnya. Keuntungan masuk network dapat meminta bantuan dari orang
lain, tetapi juga harus memenuhi kewajiban moral untuk saling bertukar dan
berbagi bersama (Schweizer dalam Nainggolan 2006 : 141).
Menurut Bruner (dalam Nainggolan 2006:144) network orang Batak Toba
berdasarkan daerah asal. Hal ini terutama dibuktikan dengan perkumpulan marga
dikota. Ide perkumpulan ini menggambarkan ide yang sama sistem kekeluargaan
di kampung mereka, yaitu berdasarkan keturunan, kampung asal dan aliansi
dalihan na tolu. Dengan demikian orang Batak memegang kuat kebudayaannya
sebab disana mereka menemukan dasar hidup yang teratur dalam kaitan dengan
kebiasaan, kepercayaan dan kewajiban sesuai dengan Dalihan Na Tolu.
Sehubungan dengan network orang Batak yang membentuk
perkumpulan-perkumpulan marga di kota, melalui terjadinya migrasi dari tanah marga ke kota.
Minangkabau. Anak – anak muda didorong untuk mencapai pengalaman dan
masa depan ke luar kampung halaman. Didalam kebudayaan matrilineal
Minangkabau, tanah diwariskan ke pihak ibu, sementara anak-anak muda harus
memberanikan diri keluar dari kampung. Dengan mengacu pada kehidupan
Minangkabau di Medan, Pelly mengatakan bahwa, meskipun bisa tinggal dengan
waktu yang lama, mereka masih mempersiapkan diri untuk pulang ketanah
kelahiran. Misalya mereka membangun sebuah tempat tinggal dikampung
halaman, dan mereka berencana menetap setelah pensiun. Pelly merujuk pada
pola ini sebagai pola migrasi secara kultural terkondisi (Hasselgren 2008:140).
Sebaliknya orang Tapanuli memperluas kampung halaman untuk
mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajaon). Sebab itu pola migrasi
mereka disebut dengan migrasi ekspansionis. Dimana orang Batak memiliki misi
budaya14 harus mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi, tidak hanya didirikan
ditanah kelahiran, tetapi dapat dibangun didaerah rantau ( Pelly 1994 : 295)
Namun menurut Graeme Hugu (dalam Kuntjoro-Jakti 1986) Migrasi
Sirkuler itu adalah migrasi pulang balik, perpindahan penduduk untuk mencari
kerja atau berdagang, tidak membawa keluarga. Dalam hal ini penduduk akan
kembali ketempat asalnya setelah selesai melaksanakan tujuannya untuk bertemu
keluarganya ataupun memberikan bantuan terhadapa keluarganya di desa.
14
Menurut Nainggolan (2006: 113-115) ada beberapa faktor membuat
terjadinya arus migrasi menjadi besar :
Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan modrenisasi
Perubahan geografis
Alasan sosial, selain alasan demografi dan ekonomi ada juga alas an sosial, sepertimengumpulkan tenaga kerja, hubungan historis dan budaya,
hubungan politik dan militer, arus inventasi dan pengungsi.
Latar belakang budaya. Terjadinya migrasi musiman atau migrasi selama beberapa waktu dari anggota keluarga, tujuannya adalah mengumpulkan
uang sebagai jaminan atau tambahan pendapatan Negara.
Alasan politik, tentang eksport import tenaga kerja
O.H.S Purba (dalam Hasselgren 2008) mengatakan migrasi sekuler yang
merupakan sebuah sarana memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada untuk
menyiapkan masa depan yang lebih baik dikampung halaman. Migrasi bisa terjadi
karena masalah demografi, masalah ekonomi dan lainnya. Marga Panjaitan
menyebar diseluruh dunia dengan tujuan hidup masing-masing dan berinterasi
dengan orang disekitarnya yang mengakibatkan perubahan identitas diri sehingga
identitas lama mereka terlupakan.
Immanuel (dalam Simanjuntak 2002 : 172) mengatakan perubahan sosial
budaya yang ada di masyarakat Batak dipengaruhi oleh beberapa variabel,
diantaranya variabel agama dan pendidikan. Kedua variabel tersebut mendorong
munculnya variable lain seperti mobilitas, status formal, komunikasi, ekonomi,
mengindentikasikan diri Bruner (dalam Nainggolan 2006) membedakan dua
situasi. Situasi pertama ialah apabila migran masuk dalam salah satu daerah atau
kota di mana penduduk asli merupakan kelompok etnis homogen, secara politis
memiliki kuasa dan secara demografis merupakan mayoritas, maka migran akan
melepaskan sebagian besar dari warisan kultural mereka dan sejauh mungkin
menyesuaikan diri dengan kultur dominan.
Situasi kedua apabila migran masuk dalam suatu kota yang mempunyai suku
heterogen, kultural yang plural dan tidak satupun dari kelompok sukunya secara
politis dominan, maka imigran akan mengorganisir diri menurut identitas etnis
dan agak kuat mempertahankan tradisi kulturalnya. (Nainggolan 2006:8).
Dalam pewarisan budayanya, masyarakat Batak Toba mengenal nilai
budaya. Nilai budaya yang menjadi tujuan dan pandangan hidup ideal asli orang
Batak Toba dirumuskan di dalam rangkaian tiga kata yang secara eksistensial
saling mendukung, yaitu hamoroan, hagabeon, hasangapon, ‘Kekayaan,
Keturunan, dan Kehormatan. Metode pencapaian pandangan hidup ini diatur oleh
struktur sosial dalihan na tolu15 yang keberadaannya berdasarkan kepada sistem
garis keturunan Patrineal16 berwujud marga (Masinambow 2000:368).
Hamoraon berarti semua masyarakat Batak Toba bercita-cita untuk memiliki
harta. Ini terbukti dengan gigihnya berusaha mencari uang, baik laki-laki ataupun
perempuan, sama saja. Hagabeon berarti masyarakat Batak Toba sangat
mendabakan punya keturunan laki-laki dan perempuan. Hasangapon berarti
15
Tungku masak berkaki tiga
16
masyarakat Batak Toba berusaha menjadi orang terpandang dan dihormati dalam
masyarakat, dan sangat peduli terhadap pendidikan anaknya (Tinambunan
2010:173).
Dalihan na tolu secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan
lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunyai tiga
penopang, yaitu Dongan sabutuha, boru, dan hula-hula. Arti tiga kata ini secara
berturut ialah: Pihak yang semarga, Pihak yang menerima istri, Pihak yang
member istri. Perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi di antara tiga
pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku dapur yang penting
dalam hidup sehari-hari (Siahaan 1982:20). Falsafah Dalihan Natolu terbukti
mampu memberi perubahan baru sehingga bahtera dapat dipandu kepada negara
demokratis tanpa kehilangan kohesivitas kewibawaan trias-politika modern,
sambil memekarkan demokrasi, kedaulatan tertinggi rakyat.(Sinaga 2012:3).
Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak luput dari sebuah
kebudayaan. Koenjaranigrat (2002) menyatakan kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sebuah tindakan
marga Panjaitan yang melakukan pewarisan budaya merupakan sebuah
Kebudayaan menurut Koenjaraningrat memiliki tiga wujud :
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari diri manusia dalam masyarakat;
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; Dalam melakukan proses pewarisan budaya merupakan wujud kebudayaan
sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari diri manusia dalam
masyarakat.
Melakukan proses pewarisan budaya memiliki hubungan dengan proses
internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Proses internalisasi ini adalah proses
panjang sejak seorang individu dilahirkan, sampai ia meninggal, yang mana ia
belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta
emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Proses sosialisasi itu seorang
individu dari masa anak-anak hingga tuanya belajar pola-pola tindakan dalam
interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka
macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Proses
enkulturasi itu seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikapnya dengan adat-adat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup
dalam kebudayaannya. Sejak kecil proses enkulturasi itu sudah dimulai dalam
alam pikiran warga suatu masyarakat, mula-mula dari orang di dalam
Cavalli-Sforza dan Felman (dalam Jhon W. Berry 1999) mengistilahkan
pewarisan budaya satu generasi ke generasi ini sebagai “pewarisan tegak”, karena
melibatkan penurunan ciri-ciri budaya orang tua ke anak cucu. Pewarisan tegak,
orang tua mewariskan nilai budaya, keterampilan, keyakinan, motif budaya, dan
sebaginya kepada anak-cucunya. Pewarisan budaya memiliki dua bentuk ,
mendatar dan miring. Dalam bentuk miring pewarisan budaya bersumber dari
orang dewasa lainnya, bisa dari kelompoknya sendiri, serta kelompok lainya.
Dalam bentuk mendatar pewarisan budaya tersebut bersumber dari teman sebaya.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana marga Panjaitan melakukan proses
pewarisan budaya. Dan bagaimana marga Panjaitan menemukan kembali identitas
lamanya yang telah mengalami kekaburan. Rumusan tersebut diuraikan dalam
pertanyaan penelitian berikut :
1. Apa arti Bona Pasogit bagi orang Batak Toba?
2. Bagaimana proses pewarisan budaya Batak Toba di Bona
Pasogit tersebut berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan?
1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pewarisan budaya yang
berlangsung dalam keluarga marga Panjaitan. Dan mengetahui tujuan proses
Manfaat penelitian secara akademis adalah untuk memperkaya literatur
mengenai kehidupan marga panjaitan tersebut dalam persepektif Antropologi.
Sedangkan manfaat secara praktis yaitu berguna bagi masyarakat umum dan
akademis secara khusus, sebagai salah satu sumber informasi tentang Bona
Pasogit marga Panjaitan. Selain itu menghimbau masyarakat Batak Toba berusaha
mencari Bona Pasogit keluarga mereka.
1.5.Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Peneliti akan menggunakan native’s point of view17 mengenai
proses-proses pewarisan budaya tersebut. Dengan memakai metode penelitian kualitatif
diharapkan akan dapat membantu dalam menggali informasi sebanyak mungkin di
lapangan mengenai proses pewarisan budaya yang ada dalam kehidupan
keturunan Raja Hasoge Panjaitan, sehingga di dapat data yang diinginkan
tentunya berdasarkan observasi dan wawancara di lapangan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian guna
mendapatkan data-data dilapangan antara lain :
1.5.1.Teknik Observasi Partisipasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati berbagai hal seperti
tempat, siapa pelaku yang terlibat, benda-benda atau alat-alat yang digunakan
dalam proses pewarisan budaya yang dilakukan keluarga keturunan Raja Hasoge
17
Panjaitan. Dalam hal ini peneliti mengikuti proses yang berjalan dalam proses
pewarisan tersebut karena penulis sendiri juga keturunan Raja Hasoge Panjaitan.
Proses pewarisan ini di ikuti penulis sendiri dengan cara mengikuti acara-acara
organisasi marga yang dibentuk oleh marga Panjaitan itu sendiri. Rapat-rapat
organisasi marga tersebut selalu di ikuti oleh penulis setiap hari minggunya yang
dilaksanakan di tempat penelitian penulis di sitorang. Dan juga rapat-rapat
organisasi marga yang dilakukan secara formal maupun tidak formal yang
diadakan di Pematangsiantar. Penulis juga memberikan ide-ide di dalam rapat
tersebut sebagai partisipasi penulis mengikuti rapat-rapat tersebut. Dan juga
penulis mengamati cara-cara sang ayah sendiri dalam mewariskan budaya Batak
Toba itu terhadap generasi-generasi muda Panjaitan baik di Pematangsiantar dan
juga Sitorang, Kab Tobasa. Dan juga dalam renovasi sopo penulis juga turut aktif
dalam kegiatan ini. Penulis ikut membantu dan juga sambil mengobservasi
bagian-bagian sopo dan apa-apa saja yang masih tertinggal di dalam sopo
tersebut. Dengan cara tersebut peneliti dapat memperoleh informasi awal untuk
lebih mendalami tentang cara-cara pewarisan budaya yang dilakukan. Dari hasil
pengamatan atau observasi, peneliti menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan
sekaligus menyimpan dan mengarsipkan data yang dilakukan dengan dalam
bentuk foto dan video. Sumber dan jenis data itu berupa kata-kata dan tindakan,
sumber tertulis berupa dokumen-dokumen pribadi, foto-foto dan data statistic
(Moleong 2006: 157-162)
Wawancara adalah komunikasi dua atau lebih orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan mana
dalam topik tertentu. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam, dimana peneliti dan informan saling berkomunikasi,
berdiskusi didalam kehidupan sosial keluarga keturunan Raja Hasoge Panjaitan
setiap harinya. Peneliti juga dibantu dengan pedoman wawancara (interview
guide). Semua orang yang terlibat dalam proses pewarisan budaya tersebut dapat
dijadikan informan agar mendapatkan data yang lebih akurat. Dan dalam
rapat-rapat organisasi marga penulis juga melakukan wawancara sebelum rapat-rapat dimulai,
yang mana akan menjadi informasi awal dalam pembahasan tentang informasi
bona pasogit itu sendiri. Dalam renovasi sopo peneliti juga mempertanyakan
latarbelakang sopo itu dibangun dan untuk apa sopo itu direnovasi. Dengan
demikian peneliti dapat lebih akurat mendapatkan data-data yang dibutuhkan
dalam penulisan laporan penelitian ini.
Selain itu peneliti juga akan menggunakan data kepustakaan guna
melengkapi informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data
kepustakaan dapat diperoleh melalui sumber-sumber tertulis seperti
berkas-berkas, buku-buku, majalah koran, dan sumber elektronik seperti televisi, radio,
internet. Data tersebut digunakan sebagai pelengkap dan penyempurna hasil dari
observasi dan wawancara. Peralatan visual juga akan sangat membantu dalam
pengumpulan data-data dalam penelitian ini. Seperti alat rekam dan kamera yang
penggunaannya terlebih dahulu harus disetujui oleh informan.
Penelitian ini sebenarnya pengalaman penulis saat mengikuti penyelesai
sengketa tanah di kampung halamannya di Desa Sitorang pada tahun 2002.
Sengketa tanah ini terjadi karena seorang warga desa mengaku bahwa tanah yang
merupakan hak milik dari keluarga penulis adalah kepemilikan oleh warga desa
tersebut. Dan dalam penyelesaiannya yang sampai pada kantor Kecamatan Silaen.
Penulis yang merupakan anak laki-laki tunggal dalam keluarga tersebut mengikuti
setiap tindakan dalam hal penyelesaian masalahnya. Pada tahun 2010 akhir
sengketa tanah tersebut berakhir dan keluarga penulis mensepakati merenovasi
tambak yang ada di sekitar tanah sengketa tersebut dan melakukan acara
mangokal holi. Pada saat itu penulis masih duduk di semester II Antropologi
Sosial di Universitas Sumatera Utara. Dalam mengikuti kuliah-kuliahnya sebagai
mahasiswa Antropologi, penulis berusaha ingin menulis hal-hal yang terjadi di
kampung halamannya ini, penulis mulai mengumpulkan data melalui obeservasi
partisipasi. Dan pada tahun 2013 penulis diberi ijin melakukan penelitian ke
kampung halamannya tentang proses-prose pewarisan budaya yang ada di Bona
Pasogit.
Pada awalnya penulis memberikan surat ijin penelitian terhadap ketua
organisasi marga Panjaitan sektor jalan Bali kota Pematangsiantar, yaitu bapak
Raja Hasoge II Timbul Panjaitan IXV. Beliau merupakan ayah penulis sendiri,
dengan mengetahui hal tersebut beliau bertanya : “mau seperti apa nantinya isi
skripsi mu itu?. Penulis menerangkan dengan singkat tujuan penelitian ini
nantinya. Dan beliau membantu memberi jalan dalam penelitian ini. Beliau
Turunan Raja Sijorat Panjaitan dan Boru) yang saat itu diadakan di Hutanamora
Kab.Tobasa rumah bapak Kol.Purn. Busisa Panjaitan. KTRSPPB ini merupakan
network orang Batak marga Panjaitan yang dihubungankan melalui sebuah
kerajaan yang ada pada masa nenek moyang dan turun-temurun bergenerasi.
Penulis merasa senang karena desa tersebut dekat dengan lokasi penelitian
penulis. Sampai di desa tersebut beliau memperkenalkan penulis dengan Kepala
desa Hutanamora dan kepala Desa Sitorang 1, yang bernama Binahar Panjaitan
dan Gosen Panjaitan. Beliau menerangkan bahwa desa Hutanamora itu dulunya
termasuk desa Sitorang. Desa Sitorang pada saat ini terbagi menjadi empat desa,
dan desa Sitorang masih dalam pengusulan menjadi sebuah kecamatan. Penulis
pun menjadi bingung karena surat ijin penelitian penulis ditujukan kepada Kepala
Desa Sitorang, dan desa Sitorang terbagi menjadi empat desa. Kepala desa
Hutanamora memberi solusi, dan mengijinkan saya melakukan penelitian di
tempat bona pasogit penulis. Dan dalam rapat tersebut juga hadir ke empat kepala
desa yang dulunya desa Sitorang, mereka mengijinkan saya melakukan penelitian,
karena dulunya semua desa ini memang kekuasaan Raja Panjaitan, demikian
mereka menjelaskan.
Rapat pun dimulai ternyata rapat tersebut menjawab pertanyaan penelitian
penulis secara umum, KTRSPPB akan dibentuk sebagai wadah penyaluran
informasi-informasi tentang nenek moyang khususnya Raja Sijorat Paraliman
Panjaitan.KTRSPPB ini digagasi oleh Ir.Pandapotan Panjaitan, Abdul Panjaitan
dan St.Raja. Hasoge Panjaitan. KTRSPPB ingin mempertahankan identitas ke
yang sebenarnya dari turunan Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan tujuan utama
KTRSPPB memperjuangkan Raja Sijorat ke VIII Tua Raja Panjaitan menjadi
pahlawan nasional. Dalam benak penulis menyatakan ini lah proses pewarisan
budaya tersebut, karena sang ayah membawa penulis mengikuti rapat-rapat
organisasi marga agar mengetahui ide-ide dan tujuan organisasi tersebut.
Kemudian para penggagasn KTRSPPB melakukan pembentukan kepanitian untuk
melaksanakan Pesta Deklarasi KTRSPP se-Sumatera Utara. Binahar Panjaitan
terpilih menjadi ketua pesta deklarasi ini. Setelah itu penentuan program kerja
pengumpulan dana untuk pesta ini nantinya. Gagasan pun muncul rencana
melakukan penerbitan buku. Buku itu merupakan isi dari sejarah kegiatan hidup
Raja Sijorat Paraliman Panjaitan semasa menduduki kerajaan Sijorat. Penulis
memberi pendapat dirapat tersebut : “ Amang apakah buku ini nantinya berbahasa
Indonesia, saya pikir jika berbahasa Indonesia sebaiknya kita urus ISBNnya agar
lebih terjaga buku ini tidak di copy sebarang oleh orang lain ujar penulis. Ketua
KTSPPB yaitu Ir.Pandapotan Panjaitan pun menyatakan: “Ho ma anon pahopu
na mambaen i gabe bahasa Indonesia, ai marbahasa Batak dope bukku tai anon.
molo ho kan nungga malo anon mambahasa Indonesiakan i” , artinya “ kamu lah
nanti cucuku yang mengubahnya itu menjadi bahasa Indonesia, nantinya buku ini
akan terbit berbahasa Indonesia. Kamukan nantinya lebih pintar menyusun buku
ini menjadi bahasa Indonesia”
Penulis pun semangat mendengar hal tersebut, dan berencana akan
melakukan hal tersebut. Keesokan harinya penulis diajak para panitia pesta
mobil menuju ke tugu tersebut, selama diperjalanan penulis melihat hamparan
padi yang hijau yang dilindungi oleh perbukit-bukitan. Penulis pun bertanya “
Luas juga Sitorang ini amang”, seseorang berbicara, penulis melihat ke kaca spion
dalam ternyata Penasehat KTRSPPB selaku orang yang tinggal di Desa Sitorang
St.Malatang Panjaitan. “Sitorang on nunggu pas gabe Kecamatan molo i ida sian
luas na, ida ho ma bukit i disi ma Desa sibide, i desa i ma Raja Sijorat mambaen
benteng pertahan tingki bolandan nungga sahat tu sitorang on, sian sibide i boi ta
ida tao toba, PT.PULP Lestari, Sungai Asahan, molo mardalan torus 2 borngin
sahat mai tu tanjung balai, ai sian ni do raja i manohor sira tu tanjung balai
tinggi muara i kuasai bolanda”. “ Sitorang ini sudah cocok dijadikan sebuah
kecamatan bila dilihat dari luasnya, kamu lihatlah perbukitan disana, itulah yang
bernama desa Sibide letak dari benteng pertahanan Raja Sijorat Paraliman
Panjaitan ketika Belanda telah masuk ke Sitorang. Dari desa Sibide itu bisa kita
memandang Danau Toba, PT.PULP LESTARI, Sungai Asahan, dan jika berjalan
2 hari 2 malam bisa sampai ke Tanjung balai, itu adalah jalur Raja Sijorat
Paraliman Panjaitan menuju Tanjung Balai melakukan perdagangan membeli
garam. Tidak beberapa lama kemudian sampailah di tugu Raja Sijorat Paraliman
Panjaitan Lumban Tor Sitorang. Acara ritual ziarah pun dilaksanakan 9 lembar
daun sirih dan 9 jeruk purut diletakkan di masing-masing cawan yang terbuat dari
tanah liat, dan penulis bertanya” Amang kenapa harus sembilan?, Abdul Panjaitan
pun menyebutkan karena di tugu ini ada delapan Raja Sijorat dan 1 lagi masih di
Bandung belum dipindahkan yang bernama “Raja Sijorat Raja Saidi Tudo Tua
1. Raja Sijorat Paraliman Panjaitan
2. Raja Sijorat Rahi Sumodung (1625-1685)
3. Raja Sijorat Puraja Pane (1685-1745)
4. Raja Sijorat Somba Debata (1745-1805)
5. Raja Sijorat Pahutar (1805-1845)
6. Raja Sijorat Si Mumbol-Umbol (1845-1865)
7. Raja Sijorat Pun Sohalompoan (1865-1880)
8. Raja Sijorat Pun Tua Radja (1880-1988)
9. Raja Sijorat Radja Saidi Todo Tua (1988- sekarang)
Setelah beberapa hari dekat dengan kepanitian pesta deklarasi tugu
KTRSPPB. Sosialisasi pesta pun diadakan keberbagai kabupaten/kota yang ada di
Sumatera Utara. Penulis hanya mengikuti ke beberapa kabupaten/kota, yakni
Tarutung, Sipahutar, Sibaha-ulu, Simalungun, dan Pematangsiantar. Dalam
sosialisasi yang diikuti, penulis melihat beberapa orang tua yang sudah berumur
sekitar 40an masih banyak yang tidak mengetahui silsilah, dan kisah-kisah nenek
moyangnya.
1.7. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di dua tempat, yang pertama adalah
Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar, yang
merupakan tempat tinggal tetap marga Panjaitan. Yang kedua adalah desa
Sitorang Kecamatan Silaen Kab.Tobasa, merupakan letak tanah marga, bona
pasogit khususnya keturunan Raja Hasoge Panjaitan. Alasan obejektif penulis
memilih tempat tersebut karena Desa Sitorang merupakan kampung halaman para
marga Panjaitan pada umumnya, alasan subjektif penulis karena penulis
Sitorang tersebut dan Pematangsiantar tempat tinggal penulis. Hal tersebut
mendukung penulis mendapatkan informasi sebagai tujuan penelitian penulis
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Deskripsi Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Sitalasari Kota Pematangsiantar
2.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar
Pematangsiantar yang merupakan wilayah kota yang mempunyai
penduduk yang bervariasi suku bangsa, meliputi Batak Toba, Simalungun, Karo,
Mandailing, Jawa, Minangkabau, Melayu, Cina, Tamil, dan asing lainnya. Kota
Pematangsiantar terletak pada titik singgung 99ᵒBT dan 2,5ᵒLU dalam wilayah
Kabupaten Simalungun yang luasnya 1.278ha, dengan ketinggian sekitar 400m
dpl dan berpenduduk sebanyak 240.787 jiwa.
Sifat dasar penduduk dari masing-masing suku bangsa itu mempengaruhi
pergaulan yang lebih erat. Misalnya, orang Minangkabau lebih erat hubungannya
dengan orang Melayu dan Jawa, karena ikatan kesamaan agama. Orang
Simalungun sendiri lebih dekat dengan orang Mandailing, karena persamaan ras
kehalusan budi bahasa, maupun gaya tariannya. Dengan orang Batak Toba
maupun Karo, agak renggang. Ada dugaan penduduk, hal ini disebabkan lebih
mengertinya orang Mandailing akan perasaan orang Simalungun, karena sifat
halus yang sama, yang berbeda dengan orang Batak Toba yang keras, demikian
juga dengan Karo. Di samping itu, agama Islam telah lebih mendekatkan mereka
Sifat orang Batak Toba dan Karo adalah keras, cepat dalam bertindak,
serta giat dalam usaha. Tidak heran kalau perniagaan dipegang orang Batak Toba,
bersaing dengan orang Cina dan Simalungun, demikian juga industri dan
pendidikan. Bahkan sering terdengar bahwa kota Pematangsiantar sebenarnya
adalah kota yang dikuasai orang Toba. Hal ini disebabkan lebih dominatifnya
orang Batak Toba dalam berbagai hal, terutama dalam pergaulan.
Asal mula kota Pematangsiantar adalah Kerajaan Siantar yang
diperkirakan berdiri tahun 1500, terletak di sebuah delta Sungai Bah Bolon,
bernama Pulau Holing, yang sekarang bernama kampung Pematang. Saat itu,
terdapat lokasi persawahan di sekeliling Pulau Holing, yang kemudian
berkembang menjadi perkampungan Suhi Huluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean,
Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Perkampungan inilah yang sekarang
menjadi Kotamadya Pematangsiantar, dengan nama baru Kampung Pematang
(Pulau Holing), Pusat Kota (Siantar Bayu), Kampung Parluasan (Suhi Kahean),
Sipinggol-pinggol-Timbang Galung-Kampung Bantan-Kampung Parluasan Kota
(Suhi Huluan), Kampung Kristen-Kampung Karo-Tomuan-Pantoan (Bah Bosar).
Kerajaan Siantar ini muncul saat kejadian wabah dan invasi kerajaan lain
benar-benar mencerai-beraikan Kerajaan Nagur. Beberapa wilayah ada yang
memilih berdiri sendiri, karena pusat kerajaan tidak mampu lagi untuk
mengendalikan pemerintahan.
Saat itu terbentuk 4 wilayah yang berdiri sendiri. Masing-masing wilayah
membentuk kerajaan-kerajaan baru. Satu diantaranya adalah Kerajaan Siantar
Perdagangan ke tepi sungai Bah Bolon di Pematangsiantar. Hingga daerah ini
disebut Kampung Pamatang (Saragih 2008 : 31).
Penduduk asli ialah Batak Simalungun. Pada tahun 1900 mulai
berdatangan penduduk pendatang, yaitu orang Cina dan Tamil. Pada tahun 1903,
orang Batak dari Selatan juga mulai datang, terutama orang Batak Mandailing,
yang kemudian menetap di bagian utara Pulau Holing, yang sekarang bernama
Kampung Timbang Galung dan Kampung Melayu. Kemudian, orang Batak Toba
masuk sekitar tahun 1907 (sebagai akibat garis kebijaksanaan pemerintahan
kolonial Belanda yang membutuhkan tenaga petani Batak Toba yang dianggap
sangat terampil dalam bertani di persawahan), dengan maksud untuk mencari
tanah persawahan baru. Karena maksudnya bersawah, maka mereka menetap
dipinggiran Kerajaan Siantar, yaitu dikawasan arah ke Pematang Tanah Jawa dan
arah ke Tapanuli Utara, yang sekarang bernama Kampung Kristen (bagian Bah
Bosar).
Perkembangan kota Pematangsiantar, berkaitan erat dengan perkembangan
perkebunan Belanda yang dimulai di Kabupaten Simalungun sejak tahun 1800.
Kemudian dengan dibukanya jalan raya Pematangsiantar-Perdagangan tahun
1885, dan Pematangsiantarr-Tebing Tinggi, tahun1907, maka perkembangan kota
semakin pesat, demikian juga pertambahan penduduknya (Simanjuntak 2010 :
159- 161).
Sekitar tahun 1904 Pematang Siantar (asal kata : Pamatang dan Siattar)
masih berupa kampung kecil dan penduduknya sedikit. Selain rumah raja Siantar
1904, dalam Purba 1998 : 27). Pada tahun itu agama Kristen sudah mulai tersebar
seiring dengan kehadiran missioner Jerman dan kemudian semakin besar
jumlahnya dengan masuknya orang Batak dari Tapanuli. Tahun 1905 atas perintah
Gubernemen, raja-raja di Simalungun membuka jalan-jalan di daerah mereka
(Damanik 1974 dalam Purba 1998 : 27). Inilah permulaan yang dilakukan oleh
pemerintahan kolonial untuk membangun Pematang Siantar khususnya dan
Simalungun umumnya. Sementara itu, Raja Siantar, Sang Naualuh, yang tidak
bersedia bekerjasama dengan Belanda akhirnya ditawan pemerintahan kolonial
tahun 1906 dan kemudian orang-orang Kristen Batak menggunakan Rumah Bolon
yang ada di Pematang sebagai tempat kebaktian selama beberapa waktu (Damanik
1981, dalam Purba 1998 : 27).
Pembukaan jalan raya dari Balige ke Pematangsiantar tahun 1915 memberi
arti tersendiri bagi orang-orang yang memasuki Simalungun atau daerah lainya di
Sumatera Timur, sekaligus memberi kemudahan bagi mereka yang akan
bermigrasi. Pembukaan hubungan lalu lintas sampai ke Medan tahun-tahun
berikutnya telah menyebabkan daerah Pematang Siantar sebagai kota transit bagi
orang-orang dari Tapanuli yang menuju Tebing tinggi, Medan, Belawan, Binjai,
Pangkalan Brandan dan kota-kota kecil lainnya untuk mencari pekerjaan.
Pematang Siantar menjadi tempat berbagai suku bangsa diantaranya kelompok
suku Batak: Toba, Karo, Mandailing dan lain-lainnya, kelompok Jawa, Cina dan
sebagainya. Keanekaragaman itu telah melahirkan beberapa nama kampung
tempat tinggal mereka dan nama-nama jalan dikota ini. Satu diantara daerah
dengan Kampung Jawa dan bagi orang Melayu (diartikan sebagai
orang-orang yang beragama Islam) disebut Kampung Melayu. Tahun 1920 sudah
terdapat 9.460 orang penduduk Pematang Siantar, terdiri dari 6.096 pribumi, 203
Eropah dan 3.161 Cina, India dan Asia lainya (Tideman 1992 dalam Purba 1998:
29).
Tabel I
Penduduk Pematang Siantar 1930
Jumlah %
Sumber : Volkstelling 1930 dalam Purba 1997
Kota Pematangsiantar terdiri dari 8 Kecamatan yaitu : Siantar Barat, Siantar
Marihat, Siantar Martoba, Siantar Selatan, Siantar Timur, Siantar Utara, Siantar
Marimbum, Siantar Sitalasari.Kecamatan Siantar Sitalasari ini yang merupakan
pemekaran dari wilayah Kecamatan Siantar Martoba. Siantar Sitalasari memiliki
Kapul ini merupakan suatu daerah lintasan bagi truk-truk besar yang menuju
Kabupaten Simalungun yang bertujuan mengambil hasil panen yang mana terletak
di jalan Sibatu-batu.
Kelurahan ini berbatasan dengan beberapa Kelurahan antara lain :
disebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Bah Sorma,
disebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Setia Negara,
disebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bukit Sofa da
disebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Gurilla.
Penetapan Batas dan Peta wilayah diatur dalam Peraturan Daerah kota
Pematangsiantar No. 03 tahun 2007.
2.1.2. Keadaan Alam
Penggunaan lahan di Kelurahan ini berbagai kegunaan, seperti sebagai
pemukiman, persawahan, perkebunan, kuburan, pekarangan, taman, perkantoran,
dll. Luas Kelurahan ini sekitar 356,5 ha. Kelurahan ini memiliki suhu rata-rata
harian sekitar 24-30ᵒ C. Kelurahan Bah Kapul ini terletak diketinggian 400Mdl.
Untuk dapat menunjukkan gambaran yang lebih jelas tentang penggunaan tanah
Tabel II
TATA GUNA TANAH KELURAHAN BAH KAPUL
No. Jenis Penggunaan Luas Lahan (ha)
1. Pemukiman 229 ha
2. Persawahan 10 ha
3. Perkebunan 75 ha
4. Kuburan 1 ha
5. Pekarangan 85 ha
6. Taman 1 ha
7. Perkantoran 4 ha
8. Prasarana umum lainnya 21,5 ha
JUMLAH 356,5 ha
Sumber: Kantor Kelurahan Bah Kapul 2013
Curah hujan di Kelurahan Bah Kapul setiap tahunnya sekitar 3156 mililiter
per tahunnya. Jenis tanah yang ada di Kelurahan Bah Kapul sebagian besar adalah
tanah kering, sedangkan sebagian lagi adalah tanah sawah dan tanah perkebunan.
Keadaan tanah yang demikian dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat
permukiman, sebagai tempat membangun usaha berjualan, tempat bertani.
Jenis-jenis tanaman yang ditanam adalah jagung, ubi kayu, kangkung, dan
tumpang sari, kelapa sawit, dll. Tabel dibawah ini akan menampilkan produksi
Tabel III
PRODUKSI PERTANIAN TAHUN 2012-2013
No. Jenis Tanaman Luas/ ha Jumlah/ton
1. Jagung 4 ha 8 Ton/ha
2. Ubi Kayu 50 ha 50 Ton/ha
3. Kangkung 1 ha ½ Ton/ha
4. Tumpang sari 3 ha 11/2 Ton/ha
5. Jahe ½ ha ½ Ton/ha
6. Kunyit ½ ha ½ Ton/ha
7. Lengkuas ¼ ha ¼ Ton/ha
8. Kelapa sawit 18 ha 36 Kw/ ha
Sumber : Kantor Kelurahan Bah Kapul 2013
Selain tumbuh-tumbuhan, ternak juga dipelihara oleh penduduk. Ternak
yang dipelihara oleh penduduk bermacam-macam seperti : ayam kampung, babi,
ayam bloiler.
2.1.3. Sarana Fisik
2.1.3.1. Sarana Ibadah
Di kelurahan Bah Kapul sarana ibadah yang ada adalah langgar sebanyak
2 buah, mesjid 9 buah, 8 buah gereja seperti gereja Katholik, HKBP, GKPS dan
lainnya, 1 buah pura. Kelengkapan sarana ibadah ini membuat penduduk
melakukan ibadahnya cukup hanya berjalan kaki, karena yang jaraknya dari
2.1.3.2. Sarana Media Massa
Meskipun kelurahan Bah Kapul ini termasuk jauh dari pusat kota
Pematangsiantar tetapi sarana media tidak ketinggalan zaman dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat akan informasi tentang pembangunan dan
perkembanganya. Radio, Televisi dan juga surat kabar adalah media yang tidak
asing lagi bagi penduduk kelurahan Bah Kapul, bahkan dapat dikatakan bahwa
hampir semua penduduk Kelurahan Bah Kapul telah memiliki radia dan televise.
Di beberapa rumah, antena parabola sudah ada dan alat komunikasi telepon,
handphone dan juga jaringan internet juga melengkapi kebutuhan informasi para
penduduk.
Koran ataupun majalah dan tabloid juga melengkapi sarana media massa
di tempat ini. Koran seperti Pos Metro Siantar, Siantar 24 jam, Sinar Indonesia
Baru, Waspada, Kompas, BOLA, Batak POS dan lainya. Umumnya mereka
berlangganan, maka setiap dengan cara membayar perbulan, yang diperoleh dari
agen-agen surat kabar yang setiap paginya bersepeda motor, melempar koran
kedepan pintu maupun gerbang setiap rumah penduduk dengan berteriak
“KORAN, KORAN-KORAN”. Tetapi apa bila penduduk tidak berlangganan,
maka mereka cukup nongkrong di warung kopi, kios-kios. Seperti Warung Kopi,
CAFÉ DAYAK KOPI, TOKO SANGAP, SAMOSIR KOPI, SARAGIH KOPI,
AISEDOISE POMBENSI. Tempat-tempat ini menyediakan Koran untuk dibaca
dan juga televisi dengan siaran-siaran langsung yang berbayar perbulannya,
WIFI juga tersedia dibeberapa warung kopi tersebut dan juga dibukanya
warung-warung internet.Sehingga mereka tetap mampu mengakses kebutuhan
mereka akan informasi-informasi yang berkembang.
2.1.3.3. Sarana Kesehatan
Dengan melihat keadaan penduduk di kelurahan Bah Kapul yang telah
cukup modern, juga didukung dengan sarana kesehatan yang baik. Kelurahan ini
memiliki 1 Puskesmas dan 4 Posyandu juga membantu para bidan yang ada
didaerah tersebut membuka praktek-praktek bidannya maupun praktek, dengan
jumlah bidan yang ada 20 orang dan dokter umum 5 orang.
Melihat kebutuhan air penduduk kelurahan Bah Kapul tidaklah ada
kesulitan. Dimana PDAM Tirtauli memenuhi kebutuhan air masyarakat. Juga
adanya mata air dibeberapa rumah penduduk dan juga di sawah penduduk.
Bendungan-bendungan mata air kecil yang digunakan untuk mandi dan juga di
gunakan sebagai objek wisata yang bernama Pulo Batu.
Mengenai pembungan tinja, kebanyakan para penduduk membuang tinja
langsung kesungai, sangat jarang menggunakan septic tank. Karena kelurahan ini
dilintasi oleh sebuah aliran sungai yang masih deras. Dalam sarana kesehatan ini,
penduduk umumnya sudah lebih menyadari arti kesehatan itu sendiri. Hal ini
tercermin dari adanya kesadaran mereka untuk membuang limbah-limbah air dari
kamar mandi ke parit-parit dan juga langsung kesungai.
Tetapi mengenai pembuangan sampah, para penduduk sering juga