ANALISIS PERBANDINGAN MANAJEMEN SUMBERDAYA
DAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
PADA KELUARGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN
LINA NAJWATUR RUSYDI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis
Perbandingan Manajemen Sumberdaya dan Kesejahteraan Keluarga pada
Keluarga Miskin dan Tidak Miskin” adalah benar-benar hasil karya sendiri
dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya
ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2011
ABSTRACT
LINA NAJWATUR RUSYDI. Comparation Analysis of Family Resource Management and Family Well-Being on Poor and Prosperous Family. Under direction of EUIS SUNARTI and MEGAWATI SIMANJUNTAK.
Poverty is one of the problems in Indonesia. To overcome poverty, Indonesian government creates many programs, such as Program Keluarga Harapan (PKH), Program Pemberdayaan Peran Keluarga, Kelompok Usaha Bersama (KUBE), etc. But any support from the government wouldn’t give good impact to family’s living if it isn’t well-managed. The research was conducted to analyze the comparation rate of family resource management and family well-being in poor family and prosperous family in Laladon Village, Bogor. The society in this village has various social demography characteristic. Family resource management is important to increase the well-being of the poor family or to increase value and productivity for the prosperous family. The results show that there was a difference between poor family characteristics and prosperous family. Based on types of problem that had been around, poor family claimed that housing aspect was the major problem whereas prosperous family claimed that self developing aspect was major problem. Prosperous family’s life goal was fulfilled by the spiritual necessity whereas poor family’s life goal was fulfilled by housing necessity. Human resource management of prosperous family was better than poor family, whereas time management and financial management in two groups were distinct. Physical well-being of prosperous family was better than poor family, whereas social well-being and psychological well-being in two groups were’nt distinct. Family resource management was related to physical well-being. So that, the government was expected to include family resource management as substance in family effort and resistance program.
RINGKASAN
LINA NAJWATUR RUSYDI. Analisis Perbandingan Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Miskin dan Tidak Miskin. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan MEGAWATI SIMANJUNTAK.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis perbandingan manajemen sumberdaya keluarga dan kesejahteraan keluarga pada keluarga miskin dan tidak miskin. Adapun tujuan khususnya adalah 1) menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, masalah yang dirasakan, dan tujuan keluarga yang hendak dicapai antara keluarga miskin dan tidak miskin; 2) menganalisis manajemen sumberdaya manusia, manajemen waktu, dan manajemen keuangan antara keluarga miskin dan tidak miskin; 3) menganalisis kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis pada keluarga miskin dan tidak miskin; 4) menganalisis hubungan antara manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan dengan karakteristik keluarga serta tingkat masalah keluarga; dan 5) menganalisis hubungan antara kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis dengan karakteristik keluarga, masalah keluarga, manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan.
Disain penelitian ini adalah cross sectional study. Desa Laladon dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang cukup heterogen. Jumlah contoh ditentukan berdasarkan hasil perhitungan rumus Slovin yaitu 31 orang keluarga miskin dan 39 orang keluarga tidak miskin. Pada proses pengumpulan data terdapat 2 orang contoh dari keluarga tidak miskin drop out sehingga total jumlah contoh adalah 68 orang. Data yang sudah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, uji beda Independent Sample T-Test, dan uji korelasi Pearson.
yang dimilikinya. Hasil perhitungan rasio utang terhadap pendapatan per bulan menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh keluarga miskin memiliki tingkat rasio kurang dari atau sama dengan 50%, sedangkan lebih dari separuh contoh keluarga tidak miskin memiliki tingkat rasio lebih dari 50%. Hal ini berarti keluarga miskin mampu melunasi utang dengan pendapatan yang diterima per bulan, sedangkan keluarga tidak miskin sebaliknya. Berdasarkan pemaparan tersebut, terdapat perbedaan nyata antara usia suami, usia isteri, lama pendidikan suami, lama pendidikan isteri, besar keluarga, pendapatan, pengeluaran, dan rasio utang terhadap aset pada keluarga miskin dan tidak miskin.
Seluruh contoh keluarga tidak miskin memiliki tingkat masalah yang rendah. Adapun pada keluarga miskin lebih dari separuh (54.8%) contoh memiliki tingkat masalah yang sedang. Masalah yang paling banyak dirasakan contoh keluarga miskin adalah masalah perumahan sedangkan pada keluarga tidak miskin adalah masalah pengembangan diri. Seluruh contoh keluarga miskin menjadikan aspek perumahan sebagai tujuan, sedangkan pada keluarga tidak miskin lebih dari separuh (56.7%) menjadikan aspek spiritual sebagai tujuan.
Hampir seluruh contoh (90.3%) keluarga miskin kurang melakukan manajemen sumberdaya manusia, sedangkan tiga perempat (75.7%) keluarga tidak miskin cukup baik manajemen sumberdaya manusianya. Seluruh contoh keluarga miskin dan tiga perempat keluarga tidak miskin kurang melakukan manajemen waktu. Meskipun demikian rataan keluarga tidak miskin lebih besar dibandingkan rataan keluarga miskin, artinya manajemen waktu keluarga miskin lebih baik dibandingkan keluarga tidak miskin. Secara keseluruhan contoh kurang melakukan manajemen keuangan, namun manajemen keluarga tidak miskin lebih baik dibandingkan keluarga miskin.
Seluruh contoh keluarga tidak miskin memiliki kesejahteraan fisik yang baik, sedangkan proporsi terbesar kesejahteraan fisik keluarga miskin berada pada kategori cukup. Sebagian besar contoh memiliki kesejahteraan sosial yang baik. Adapun kesejahteraan psikologis keluarga miskin lebih baik dibandingkan keluarga tidak miskin.
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson diperoleh variabel yang berhubungan nyata dengan manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan yaitu usia istri, usia suami, lama pendidikan istri, lama pendidikan suami, serta besar keluarga. Tingkat masalah berhubungan nyata dengan manajemen sumberdaya manusia dan waktu. Adapun variabel yang berhubungan nyata dengan kesejahteraan fisik yaitu usia istri, usia suami, lama pendidikan istri, lama pendidikan suami, besar keluarga, tingkat masalah, manajemen sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.
ANALISIS PERBANDINGAN MANAJEMEN SUMBERDAYA DAN
KESEJAHTERAAN KELUARGA
PADA KELUARGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN
LINA NAJWATUR RUSYDI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul : Analisis Perbandingan Manajemen Sumberdaya dan Kesejahteraan
Keluarga pada Keluarga Miskin dan Tidak Miskin
Nama : Lina Najwatur Rusydi
NIM : I24061886
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Diketahui,
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
Tanggal ujian: Tanggal lulus: Dr. Ir. Euis Sunarti, MS
Pembimbing 1
PRAKATA
Segala puji serta syukur senantiasa dihaturkan pada Allah SWT, Sang
Pencipta Kehidupan. Dialah yang Maha Berkehendak sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan salah satu karya terbaiknya, yaitu skripsi yang berjudul
“Analisis Perbandingan Sumberdaya dan Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga
Miskin dan Tidak Miskin”. Shalawat serta salam semoga senantiasa dilantunkan
bagi suri teladan kita, Rasulullah SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen.
Skripsi ini tidak akan pernah dapat penulis selesaikan tanpa bantuan orang
lain. Oleh karena itu, sebagai bentuk penghargaan, penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada:
1. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS selaku dosen yang telah memberikan arahan, waktu,
ilmu, rasa pengertian dan kesabaran serta kritikan yang membangun selama
penulis berada di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, baik ketika
beliau menjadi dosen pembimbing skripsi maupun dosen pembimbing
akademik.
2. Megawati Simanjuntak, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, waktu, ilmu, rasa pengertian dan kesabaran kepada
penulis.
3. Tin Herawati, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar, Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc
selaku dosen penguji atas masukan yang bermanfaat bagi perbaikan skripsi
ini, dan dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) yang telah
memberikan ilmu kepada penulis.
4. Kepala Desa Laladon, kader Posyandu RW 03 dan RW 10 atas segala
kemudahan dan bantuan selama penulis mengambil data penelitian.
5. Motivator terbesar penulis, yaitu ayahanda Ir. Rusdiono dan ibunda Susi
Wilayatu NZ. Terimakasih atas doa, motivasi, dan pengertian yang selalu
diberikan kepada penulis. Kepada adik-adik (Faris, Muna, Nufus, Syahna,
Aufa, dan Daffah) yang telah rela mengurangi waktu kebersamaannya
dengan penulis selama penyusunan skripsi ini. Kepada kedua saudaraku,
Fajar Santiabudi dan Juandi atas segala doa, motivasi, dan perhatian yang
6. Irma dan Avi yang telah berkenan mengajarkan pengolahan data &
mengoreksi format penulisan skripsi, Yuku, dan Uniella yang menjadi teman
berbagi saat penyusunan proposal, serta rekan-rekan IKK 43 yang lainnya.
Terimakasih atas segala rasa dan peristiwa yang menemani kehidupan
penulis selama di IKK. Sahabat-sahabat seperjuangan Deputi BKIM IPB yang
telah memahami kesibukan penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi
ini. Kepada Jamiler’z crew (Fitria, Uni Siska, Teh Pera, Mbak Mul, Neneng, Nana, Indah), Kak Isni, Uni Izik, dan Mbak Cin terimakasih atas segala
nasehat, kritik, dan canda yang telah diberikan. Kebersamaan kita bukan
tanpa konflik, namun itulah yang kian menjadikan hati kita kaya makna dan
mengeratkan ukhuwah kita. Semoga Allah kian mengokohkan iman dalam
dada kita dan mengumpulkan kita kelak di syurga-Nya. Amiin. Terakhir,
ucapan terimakasih kepada Parsell Crew (Juandi, Fajar, Ihsan, Ahyar, Ahya, Kanta, Yusuf, Rizky, Zaenal, Huda, dan Desi), MAGIC 43 (Hapshoh, Nida,
Sasa, Citra, Nengchan, Nong, Azzah, Sist, Upik, Desi, Asma, dan Ling-ling)
serta kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu
disini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini
yang berasal dari keterbatasan penulis sebagai seorang manusia. Meskipun
demikian, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan masyarakat.
“Ya Rabb-ku, berilah kepadaku ilmu dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang yang shaleh. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang-orang-orang yang mewarisi syurga yang penuh kenikmatan. Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan” (TQS Asy-Syu’araa: 83-85 dan 87)
Bogor, 4 Mei 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis berasal dari keluarga sederhana pasangan Rusdiono-Susi Wilayatu
NZ, dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 November 1988. Penulis merupakan
anak pertama dari delapan bersaudara. Masa kecil penulis dihabiskan di
berbagai kota di Indonesia, di antaranya Bandung, Jakarta dan Kupang, NTT.
Saat berumur delapan tahun orangtua penulis memilih untuk menetap di Bogor
sehingga sampai saat ini penulis tinggal di Bogor.
Penulis menamatkan SD pada tahun 2000 di SDN Cibening 1 Bogor.
Kemudian melanjutkan studi ke jenjang berikutnya hingga tahun 2003 di SMPN 1
Cibungbulang Bogor. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi ke SMAN 1
Leuwiliang Bogor hingga tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis mendapat
kesempatan masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI).
Ketertarikan penulis terhadap sosiologi dan psikologi mendasari pilihan jurusan di
IPB. Akhirnya, pada tahun kedua di IPB, penulis berhasil mendapatkan
kesempatan untuk menimba ilmu di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen.
Saat menjadi mahasiswa, penulis cukup aktif mengikuti berbagai organisasi
dan kepanitiaan. Tahun 2007/2008 penulis menjadi staf Kebijakan Publik dan
Ekologi BEM FEMA, anggota IPB Student Politic Centre (ISPC), dan koordinator
PPSDM Dapartemen Keputrian (Deputi) BKIM IPB. Tahun 2008, penulis
dipercaya untuk memegang amanah sebagai ketua Masa Perkenalan
Departemen (MPD) 44 IKK dan ketua penyambutan mahasiswa baru Deputi
BKIM. Tahun 2009/2010, penulis diamanahkan sebagai Ketua Departemen
Keputrian BKIM IPB.
Pada tahun 2008 dan 2010, bersama-sama dengan beberapa teman di IKK,
penulis mendapatkan dana Dikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa
Pemberdayaan Masyarakat (PKMM). Pada tahun 2009, penulis terpilih menjadi
nominator pendamping POSDAYA terbaik se-Indonesia dalam acara ulang tahun
Yayasan Damandiri. Sejak tahun 2009, penulis mendapatkan beasiswa regular
DAFTAR ISI
Kesejahteraan Keluarga ... 10
Masalah Keluarga ... 12
Tujuan Keluarga ... 13
Manajemen Sumberdaya Keluarga ... 13
Manajemen Sumberdaya Manusia ... 15
Manajemen Waktu ... 16
Manajemen Keuangan ... 17
Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 17
KERANGKA PEMIKIRAN ... 21
METODE PENELITIAN ... 23
Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ... 23
Populasi dan Teknik Penarikan Contoh ... 23
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 25
Pengolahan dan Analisis Data ... 25
Definisi Operasional ... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 31
Karakteristik Keluarga ... 32
Usia ... 32
Manajemen Sumberdaya Keluarga ... 46
Manajemen Sumberdaya Manusia ... 46
Manajemen Waktu ... 56
Manajemen Keuangan ... 61
Manajemen Sumberdaya Keluarga ... 63
Kesejahteraan Fisik ... 64
Kesejahteraan Sosial ... 66
Kesejahteraan Psikologis ... 68
Kesejahteraan Keluarga ... 71
Hubungan Antara Variabel-variabel Penelitian ... 71
Manajemen Sumberdaya Keluarga ... 71
Kesejahteraan Keluarga ... 74
Keterbatasan Penelitian ... 76
SIMPULAN DAN SARAN ... 77
Simpulan ... 77
Saran ... 78
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Variabel penelitian, skala, dan kategori yang digunakan ... 26
2 Sebaran usia contoh dan statistiknya ... 32
3 Sebaran usia suami contoh dan statistiknya... 33
4 Sebaran jenjang pendidikan contoh dan koefisien uji bedanya... 33
5 Sebaran jenjang pendidikan suami contoh dan koefisien uji bedanya ... 34
6 Sebaran lama pendidikan contoh dan statistiknya ... 34
7 Sebaran lama pendidikan suami contoh dan statistiknya ... 35
8 Sebaran jenis pekerjaan contoh ... 36
9 Sebaran jenis pekerjaan suami contoh... 36
10 Sebaran contoh dan statistik besar keluarga ... 37
11 Sebaran contoh dan statistik pendapatan ... 38
12 Persentase pengeluaran pangan dan non pangan ... 39
13 Sebaran contoh dan statistik pengeluaran per kapita ... 40
14 Sebaran contoh dan statistik kepemilikan utang, rasio utang-aset, dan rasio utang-pendapatan ... 40
15 Sebaran contoh berdasarkan jenis masalah keluarga ... 41
16 Sebaran contoh dan statistik tingkat masalah keluarga ... 43
17 Sebaran contoh berdasarkan tujuan keluarga ... 44
18 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek pangan ... 47
19 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek perumahan ... 49
20 Sebaran contoh dan koefien uji beda indikator MSDM dalam aspek pengasuhan ... 50
21 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek pendidikan ... 53
22 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator MSDM dalam aspek kesehatan ... 55
23 Sebaran contoh dan statistik kategori manajemen sumberdaya manusia .. 56
24 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator manajemen waktu ... 58
25 Sebaran contoh dan statistik kategori manajemen waktu ... 60
26 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator manajemen keuangan .... 61
28 Sebaran contoh dan statistik kategori manajemen sumberdaya keluarga .. 63
29 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator kesejahteraan fisik ... 65
30 Sebaran contoh dan statistik kategori kesejahteraan fisik ... 66
31 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator kesejahteraan sosial ... 67
32 Sebaran contoh dan statistik kategori kesejahteraan sosial ... 68
33 Sebaran contoh dan koefisien uji beda indikator kesejahteraan psikologis . 69 34 Sebaran contoh dan statistik kategori kesejahteraan psikologis ... 70
35 Sebaran contoh dan statistik kategori kesejahteraan keluarga ... 71
36 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik keluarga, masalah, dan manajemen sumberdaya keluarga ... 72
37 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik keluarga, masalah, dan manajemen sumberdaya keluarga pada keluarga miskin dan tidak miskin . 73 38 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik keluarga, masalah manajemen sumberdaya keluarga, dan kesejahteraan keluarga ... 75
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka berpikir manajemen sumberdaya keluarga pada keluarga
miskin dan tidak miskin ... 22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebanyak 189 negara mendeklarasikan Millenium Development Goals (MDGs) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada September 2000. MDGs
merupakan komitmen bersama negara-negara maju dan negara-negara
berkembang dalam menangani permasalahan utama pembangunan termasuk di
dalamnya kemiskinan dan hak asasi manusia (HAM). Dalam KTT tersebut
seluruh perwakilan negara yang hadir sepakat untuk menurunkan proporsi
penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 1 per hari menjadi setengahnya
antara periode 1990-2015. Dengan kata lain, salah satu nota kesepakatan MDGs
adalah menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan data pada tahun 2008, jumlah penduduk miskin di Indonesia
mencapai 15.4 persen dari jumlah penduduk nasional Indonesia. Sebagian besar
penduduk miskin (63.5%) berada di daerah pedesaan. Provinsi Jawa Barat
berada pada urutan ketiga dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di
Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebanyak 15.2 persen
penduduk miskin Indonesia berada di Jawa Barat dengan proporsi terbesar
(50.8%) di wilayah pedesaan (Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
2009).
Dalam pengertian umum dan sederhana, miskin diartikan sebagai kondisi
yang tidak berkecukupan secara ekonomi, khususnya berkenaan dengan
kebutuhan konsumsi dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Dalam
cakupan yang lebih luas, pengertian kemiskinan juga meliputi ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar lainnya seperti gizi, kesehatan, pendidikan, air
bersih, dan transportasi (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan
Ekonomi Sosial 2006). Secara umum, ada dua kategori kemiskinan, yaitu
kemiskinan relatif dan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin
karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau
seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan disteribusi
pendapatan. Adapun kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan
ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan,
sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa
miskin adalah penduduk yang memiliki rataan pengeluaran per kapita per bulan
dibawah Garis Kemiskinan (BPS 2008).
Sebagai salah satu negara yang menandatangani nota kesepakatan
MDGs, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi angka kemiskinan. Upaya
pengentasan kemiskinan diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan
pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan peluncuran program-program
pengentasan kemiskinan. Pada hakikatnya program-program pengentasan
kemiskinan merupakan program peningkatan kesejahteraan keluarga seperti
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Tabungan Keluarga
Sejahtera (Takesra), Kredit Usaha Keluarga Pra Sejahtera (Kukesra), Kelompok
Usaha Bersama (KUBE), dan lain-lain (Sunarti 2010).
Menurut Suharto (2005) orang miskin bukanlah orang yang pasif melainkan
manajer seperangkat aset yang ada di seputar diri dan lingkungannya. Sebesar
apa pun bantuan pemerintah atau sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga, jika
tidak diatur secara baik dalam manajemen sumberdaya keluarga, maka tidak
akan efektif. Hasil penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan nyata antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan
keluarga. Semakin baik manajemen keuangan, maka semakin baik pula
kesejahteraan keluarga. Dengan demikian, manajemen sumberdaya keluarga
menjadi hal penting dalam kehidupan keluarga, baik pada keluarga miskin
maupun tidak miskin. Bagi keluarga miskin, manajemen sumberdaya perlu
dilakukan agar keluarga tersebut dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang
lebih baik. Adapun bagi keluarga tidak miskin, manajemen perlu dilakukan agar
sumberdaya yang sudah ada ditingkatkan nilai atau produktivitasnya. Manajemen
sumberdaya keluarga dikatakan berhasil jika keluarga dapat mencapai tujuan
dengan menggunakan sumberdaya yang ada. Secara umum, tujuan dari
keluarga adalah terciptanya kesejahteraan keluarga. Sebagai suatu output, Sunarti (2001) mengelompokkan kesejahteraan keluarga ke dalam tiga jenis,
yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis.
Saat ini penelitian mengenai manajemen sumberdaya keluarga pada
keluarga tidak miskin masih sangat sedikit. Selain itu, belum ada penelitian yang
menganalisis hubungan manajemen sumberdaya keluarga dengan
kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial, dan kesejahteraan psikologis. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti manajemen sumberdaya keluarga pada
sumberdaya keluarga pada keluarga miskin. Selanjutnya, menganalisis
hubungan manajemen sumberdaya keluarga dengan kesejahteraan fisik, sosial,
dan psikologis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
umum manajemen sumberdaya keluarga yang dilakukan oleh keluarga miskin
dan tidak miskin dan hubungannya dengan kesejahteraan untuk kemudian
dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan program pemberdayaan dan
ketahanan keluarga yang tepat, baik bagi keluarga miskin ataupun tidak miskin.
Rumusan Masalah
Keluarga merupakan institusi terkecil dari sebuah masyarakat (basic unit of society) yang memiliki delapan fungsi, yaitu: 1) fungsi agama; 2) fungsi sosial budaya; 3) fungsi cinta kasih; 4) fungsi perlindungan; 5) fungsi reproduksi; 6)
fungsi sosialisasi dan pendidikan; 7) ekonomi; dan 8) fungsi pemeliharaan
lingkungan. Kondisi suatu keluarga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lingkungan di luar keluarga yaitu mesosistem, eksosistem, dan makrosistem.
Dengan demikian, keberfungsian keluarga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
ketiga sistem tersebut. Keluarga berkualitas akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan yang berkualitas, begitu pula sebaliknya. Agar
fungsi keluarga dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pengelolaan
keluarga yang baik, termasuk pengelolaan sumberdaya keluarga.
Manajemen sumberdaya keluarga adalah penggunaan sumberdaya
keluarga dalam usaha atau proses mencapai sesuatu yang dianggap penting
oleh keluarga. Ada tiga komponen dalam proses manajemen, yaitu input, proses, dan output. Input merupakan segala sesuatu yang dimiliki atau dapat diakses oleh keluarga dan ditransformasi dalam sebuah proses untuk mencapai tujuan.
Proses terdiri atas perencanaan dan implementasi. Adapun output adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari sistem manajemen (Deacon dan Firebaugh 1988).
Bagi keluarga miskin, keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh sebuah
keluarga menyebabkan perlunya suatu pengelolaan yang baik agar tujuan hidup
yang diinginkan dapat tercapai (Iskandar 2003). Bagi keluarga tidak miskin
pengelolaan sumberdaya diperlukan agar sumberdaya yang ada dioptimalkan
fungsi produksinya agar kesejahteraan keluarga kian meningkat.
Sebagai proses yang dinamis, salah satu dari karakteristik manajemen
adalah tidak kaku, artinya, proses manajemen yang dilakukan dapat disesuaikan
karena itu, setiap keluarga memiliki pola manajemen yang berbeda-beda. Begitu
pula yang terjadi pada keluarga miskin dan tidak miskin.
Keluarga tidak miskin diduga memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
pendapatan dan jumlah aset yang lebih besar, tingkat masalah yang lebih rendah
serta tujuan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga miskin. Oleh
karena itu, keluarga tidak miskin diduga menerapkan manajemen sumberdaya
keluarga yang lebih baik dibandingkan keluarga miskin. Penerapan manajemen
yang lebih baik diduga menciptakan kesejahteraan keluarga yang lebih baik pula.
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan karakteristik keluarga, masalah yang
dirasakan, dan tujuan keluarga yang hendak dicapai antara keluarga
miskin dan tidak miskin?
2. Apakah terdapat perbedaan manajemen sumberdaya manusia,
manajemen waktu, dan manajemen keuangan antara keluarga miskin dan
tidak miskin?
3. Apakah terdapat perbedaan kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis
pada keluarga miskin dan tidak miskin?
4. Apakah terdapat hubungan antara manajemen sumberdaya manusia,
waktu, dan keuangan dengan karakteristik contoh serta masalah
keluarga?
5. Apakah terdapat hubungan antara kesejahteraan fisik, sosial, dan
psikologis dengan karakteristik contoh, masalah keluarga, manajemen
sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan?
Tujuan
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan
manajemen sumberdaya keluarga dan kesejahteraan keluarga pada keluarga
miskin dan tidak miskin. Adapun tujuan khususnya, adalah:
1. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, masalah yang dirasakan,
dan tujuan keluarga yang hendak dicapai antara keluarga miskin dan
tidak miskin
2. Menganalisis manajemen sumberdaya manusia, manajemen waktu, dan
manajemen keuangan antara keluarga miskin dan tidak miskin
3. Menganalisis kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis pada keluarga
4. Menganalisis hubungan antara manajemen sumberdaya manusia, waktu,
dan keuangan dengan karakteristik keluarga serta masalah keluarga
5. Menganalisis hubungan antara kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis
dengan karakteristik keluarga, masalah keluarga, manajemen
sumberdaya manusia, waktu, dan keuangan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi bagi institusi
pendidikan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menerapkan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu mengabdi pada
masyarakat. Selanjutnya, bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan
wawasan baru bagaimana sebaiknya mengelola sumberdaya keluarga untuk
mencapai tujuan keluarga. Akhirnya, bagi pemerintah, penelitian ini memberikan
gambaran bagaimana pengelolaan sumberdaya keluarga pada masyarakat
miskin dan tidak miskin dan bagaimana hubungan antara manajemen dengan
kesejahteraan sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Keluarga
Menurut Soekanto (1990), keluarga kecil (nuclear family) merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, isteri beserta anak-anaknya yang
belum menikah. Sedangkan menurut Saleha (2003) keluarga merupakan satuan
dasar dari sumberdaya manusia yang berperan dalam masyarakat pada
berbagai bentuk kegiatan. Sebagai satuan dasar, maka keluarga merupakan
instansi pertama yang memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri dan
pembentukan pribadi manusia (Soedarsono 1997). Hal ini senada dengan yang
dikemukakan oleh Sunarto (2006) bahwa keluarga sebagai wahana utama dan
pertama untuk 1) mengembangkan potensi keluarga; 2) mengembangkan aspek
sosial dan ekonomi keluarga; dan 3) penyemaian cinta kasih sayang. Rice dan
Tucker mengelompokkan fungsi keluarga dalam dua bagian, yaitu fungsi
ekspresif dan fungsi instrumental. Fungsi ekspresif berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi
anak, sedangkan fungsi instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya
untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui a) prokreasi dan sosialisasi
anak serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Adapun fungsi
keluarga menurut Roberta Berns yaitu fungsi reproduksi, sosialisasi/pendidikan,
penetapan peran sosial, dukungan ekonomi, dan dukungan emosi (Sunarti
2001). Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk membahas
keluarga,diantaranya adalah teori struktural fungsional dan sosial konflik.
Teori Struktural Fungsional
Teori ini mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial yang
menjadi sumber adanya struktur masyarakat. Struktur masyarakat tersebut
menciptakan fungsi dan peran yang berbeda-beda dalam masyarakat. Dengan
kata lain, teori ini memandang bahwa keseimbangan dalam masyarakat akan
terwujud jika masyarakat mampu menjalankan kehidupan sesuai dengan peran
dan fungsinya masing-masing. Teori ini muncul sebagai kritikan terhadap sosial
konflik yang menginginkan kehidupan egaliter (tanpa struktur).
Perspektif fungsionalisme dicetuskan oleh August Comte (Megawangi
2001) yang menginginkan terciptanya kesepakatan/konsensus dalam
melahirkan teori pembagian kerja (division of labor). Menurutnya, masyarakat bersatu jika memiliki kesadaran akan kebersamaan. Kesadaran kebersamaan
didefinisikan sebagai sebuah kepercayaan yang diterima oleh rata-rata individu
(common beliefs) yang dapat menyatukan seluruh sistem kemasyarakatan. Asas rasionalitas dan self-interest justru dapat menciptakan persaingan, penipuan dan
kekacauan sosial. Maka, Emile Durkheim menganggap penting diciptakan suatu
mekanisme untuk menginstitusionalisasi peraturan moral dan nilai sehingga
menjadi common values atau nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang atau disakralkan oleh masyarakat.
Tokoh lain yang berperan dalam mengembangkan teori struktural
fungsional yaitu Talcott Parsons. Parsons mencetuskan “teori aksi sukarela”
(voluntaristic theory of action). Menurutnya, tidak ada seseorang yang ‘dipaksa’ untuk melakukan sesuatu karena seseorang bertindak sesuatu berdasarkan
keputusannya sendiri. Keputusan ini dipengaruhi oleh kondisi situasional di
sekitarnya dan kondisi normatif yang berlaku di masyarakat. Setiap tindakan
disebut “unit aksi” (unit act) yang dilakukan oleh satu aktor atau lebih. Dalam konteks sosial, beberapa unit aksi dapat bergabung menjadi satu “sistem aksi”
dimana setiap aktor mempunyai peran sesuai dengan kondisi situasional dan
norma-norma yang diyakininya.
Konsep kesatuan aksi tersebut dapat terlaksana jika memenuhi dua syarat
berikut: 1) sebuah sistem sosial harus mempunyai komponen aktor dalam jumlah
yang memadai, dimana tingkah lakunya dimotivasi oleh tuntutan-tuntutan peran
yang diatur oleh sistem sosialnya; dan 2) sistem sosial harus dapat menolak
pengaruh budaya yang dapat mempengaruhi ketertiban sistem sosialnya, atau
yang dapat menimbulkan deviasi dan konflik. Untuk memenuhi syarat tersebut,
maka diperlukan proses institusionalisasi agar pola relasi yang stabil antar aktor
yang mempunyai status dan peran berbeda, dapat terwujud. Melalui proses
institusionalisasi ini, maka proses internalisasi norma, kebiasaan, dan peran
dapat dilakukan sehingga dapat menghasilkan kepribadian aktor yang dapat
menghasilkan pola relasi sosial yang stabil yang akan menciptakan ketertiban
sosial. Proses internalisasi norma inilah yang membuat seseorang merasa
“sukarela” dalam melakukan sesuatu.
Perspektif struktural fungsional menyebutkan bahwa keseimbangan dalam
keluarga dapat tercapai bila terdapat struktur keluarga. Ada tiga elemen utama
sosial dimana ketiganya saling berkaitan. Kehidupan seseorang dalam sebuah
sistem sosial (dalam hal ini keluarga) tidak terlepas dari perannya yang
diharapkan karena satus sosialnya. Peran ini berfungsi sebagai menjamin
kelangsungan hidup sebuah sistem. Inilah yang dimaksud dengan keterkaitan
antara aspek struktural dan fungsional dalam keluarga.
Keluarga dapat dipandang sebagai sebuah sistem dimana memiliki pola
interaksi yang hampir sama dengan sistem sosial. Teori struktural fungsional
memandang bahwa keberfungsian keluarga dapat terlaksana jika memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut: 1) Adanya diferensiasi peran; 2) Adanya alokasi
solidaritas; 3) Adanya alokasi ekonomi; 4) Adanya alokasi politik; dan 5) Adanya
alokasi integrasi dan ekspresi. Pembagian peran dalam keluarga bisa dilakukan
dengan mempertimbangkan umur, gender, status ekonomi dan politik dari setiap
anggota keluarga. Alokasi solidaritas merupakan disteribusi relasi antar anggota
menurut cinta, kekuatan, dan intensitas. Alokasi ekonomi menunjukkan adanya
disteribusi barang dan jasa untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berkaitan
dengan pembagian peran anggota keluarga dalam fungsi produksi, distribusi,
dan konsumsi dalam keluarga. Alokasi politik menunjukkan distribusi kekuasaan
dalam keluarga dan penanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga.
Adapun alokasi integrasi dan ekspresi merupakan distribusi teknik atau cara
untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang
memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.
Teori Sosial Konflik
Landasan teori sosial konflik adalah prinsip materialisme yang
menyebutkan bahwa asal segala sesuatu adalah substansi materi, termasuk
manusia. Kesadaran dan ruh manusia berasal dari adanya gerakan-gerakan
partikel dalam otak. Prinsip materialisme menyatakan bahwa pada dasarnya
manusia bersifat egois. Apapun yang dilakukan manusia semata-mata demi
memenuhi kepentingan pribadinya saja. Oleh karena itu kehidupan masyarakat
diwarnai dengan pola relasi dominasi dan penindasan.
Salah satu tokoh yang berperan dalam pengembangan teori ini adalah Karl
Marx. Menurut Marx pola relasi antar manusia didorong oleh motivasi material
dan ekonomi. Teori Marx meluas dengan semakin gencarnya kritikan terhadap
berkuasa dipandang akan selalu menindas kelompok yang dikuasai agar
kepentingannya dapat terpenuhi.
Menurut teori sosial konflik, keluarga terdiri atas suami sebagai kaum
borjuis yang selalu menindas kaum proletar yaitu isteri. Pembagian ini
didasarkan pada adanya fakta bahwa suami seringkali berkuasa dan menindas
isteri dalam aspek ekonomi, seksual, dan pembagian properti dalam keluarga.
Keluarga yang ideal dalam perspektif sosial konflik adalah keluarga yang
berlandaskan companionship atau persahabatan yang hubungannya horizontal (Megawangi 2001). Keluarga yang berstruktur justru menimbulkan konflik
keluarga yang berkepanjangan.
Kemunculan kaum feminis yang mengharapkan adanya “kebebasan bagi
wanita” didasarkan pada teori ini. Mereka menuntut adanya penghapusan sistem
patriarkat dalam keluarga. Bahkan mereka berupaya menghilangkan institusi
keluarga atau paling tidak defungsionalisasi keluarga. Salah satu contoh
defungsionalisasi keluarga adalah mengurangi peran keluarga dalam
pengasuhan anak.
Kesejahteraan Keluarga
Menurut UU No. 52 tahun 2009 ketahanan dan kesejahteraan keluarga
adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta
mengandung kemampuan fisik-materil guna hidup mandiri dan mengembangkan
diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan
kebahagiaan lahir dan batin (www.hsph.harvard.edu). Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, yaitu
berdasarkan pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan objektif diturunkan
dari data kuantitatif yang diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari
aspek yang telah ditelaah. Pendekatan subjektif diperoleh dari persepsi
masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan
perkembangan dari aspek kesejahteraan (Iskandar 2007).
Menurut Syarief dan Hartoyo dalam Fahmi (2008), faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain faktor ekonomi, budaya,
teknologi, keamanan, kehidupan beragama, dan kepastian hukum. Hasil
penelitian Fahmi (2008) menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi
keluarga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, usia isteri, tingkat
pendidikan suami, pengeluaran total keluarga, frekuensi perencanaan kegiatan
BKKBN membagi keluarga dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra
Sejahtera (Pra KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II),
Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus).
Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I) termasuk dalam
kategori miskin. Ada lima indikator yang harus dipenuhi agar suatu keluarga
dikategorikan sebagai Keluarga Sejahtera I, yaitu: 1) Anggota keluarga
melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing; 2) Seluruh
anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih; 3) Seluruh
anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah, bekerja
dan bepergian; 4) Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah; dan 5) Bila
anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke
sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern. Adapun suatu keluarga
termasuk Keluarga Pra-Sejahtera jika tidak memenuhi salah satu dari lima
indikator tersebut (BPS 2008).
BPS mengukur kesejahteraan keluarga dengan menghitung pola konsumsi
keluarga. Keluarga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk
konsumsi makanan mengindikasikan keluarga yang berpenghasilan rendah.
Makin tinggi tingkat penghasilan keluarga, makin kecil proporsi pengeluaran
untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran keluarga, maka semakin tinggi
tingkat kesejahteraannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa keluarga
akan semakin sejahtera jika persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih
kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan.
Sunarti (2001) melakukan penelitian ketahanan keluarga dengan
menggunakan pendekatan sistem (input-proses-output). Hasilnya ditemukan
faktor laten ketahanan keluarga, yaitu ketahanan fisik, sosial, dan psikologis.
Ketahanan fisik mencakup kesejahteraan fisik, ketahanan sosial mencakup
kesejahteraan sosial, dan ketahanan psikologis mencakup kesejahteraan
psikologis. Kesejahteraan fisik menggambarkan kondisi tingkat pemenuhan
kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan.
Adapun kesejahteraan sosial dicerminkan dari persepsi dan harapan terhadap
lingkungan yang merupakan hasil dari suatu rangkaian proses interaksi sosial.
Sedangkan, kesejahteraan psikologi terukur dari frekuensi emosi tertentu,
harapan terhadap masa datang, tingkat kepuasan, konsep diri, dan kepedulian
Masalah Keluarga
Suami isteri akan membuat harapan-harapan saat memulai kehidupan
berumah tangga. Jika dalam perjalanan kehidupan keluarga mereka mengalami
kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, maka pada saat itulah muncul
masalah. Menurut Burgess dan Locke (1980) perbedaan latar belakang keluarga,
gaya pengasuhan yang didapatkan, dan perbedaan pandangan tentang peran
masing-masing anggota keluarga dapat menimbulkan konflik.
Blood (1972) menyebutkan bahwa krisis dalam keluarga bisa disebabkan
oleh gangguan eksternal atau pergesekan internal keluarga. Gangguan eksternal
dapat muncul dari adanya orang asing di rumah, misalnya seorang anak akan
menganggap ayah atau ibu tiri mereka sebagai orang asing. Pertemanan yang
terlalu dekat dengan lawan jenis dari luar keluarga juga dapat memicu konflik.
Oleh karena itu, gangguan eksternal dapat muncul jika keluarga terlalu terbuka
terhadap orang-orang di luar keluarga.
Konflik internal muncul ketika terjadi pergesekan antara salah satu anggota
keluarga dengan anggota keluarga yang lainnya. Menurut Taylor (2002), konflik
keluarga yang paling banyak terjadi adalah konflik internal. Meskipun seseorang
menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah (berada di tempat kerja atau
berkumpul dengan komunitasnya), namun pada hakikatnya mereka tinggal
dengan keluarga dan akan kembali ke rumah. Lewicki, Saunders, dan Minton
membagi konflik keluarga dalam 4 level, yaitu: 1) konflik intrapersonal (konflik
karena adanya dua ‘kubu’ pemikiran dalam diri seseorang); 2) konflik
interpersonal (konflik antar anggota keluarga); 3) konflik intragroup (terbentuknya kubu-kubu dalam internal keluarga); dan 4) konflik intergroup (perselisihan keluarga dengan komunitas di luar keluarga). Menurut Burgess dan Locke
(1960), konflik interpersonal diantaranya adalah konflik orangtua-anak dan konflik
suami-isteri. Konflik anak biasanya berkaitan dengan perilaku anak, gangguan
emosional, dan keremajaan. Konflik yang terjadi antara orangtua-anak
menunjukkan ketidakmampuan orangtua dalam membangun hubungan
demokratis dengan anak. Adapun konflik suami isteri bersumber dari hubungan
kasih sayang, seks, perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan ekonomi,
dan adanya persahabatan yang saling menguntungkan. Goldsmith
mengelompokkan tiga area interaksi suami isteri yang merupakan sumber konflik
konflik keluarga bisa berupa frustasi, penolakan, pengkhianatan, dan rendahnya
self esteem (Sunarti 2001).
Sunarti (2001) melakukan studi ketahanan keluarga dengan menggunakan
pendekatan input-proses-output. Masalah yang dirasakan oleh seseorang merupakan komponen proses yang akan mempengaruhi kesejahteraan keluarga.
untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga (output), keluarga harus mampu menanggulangi masalah (proses) dengan menggunakan sumberdaya yang
dimiliki (input). Masalah ada yang bersifat fisik dan non fisik. Masalah fisik
mencakup kondisi ekonomi, kesehatan, dan peristiwa kehilangan materi. Adapun
masalah non-fisik berupa konflik dengan suami, keluarga, kesulitan pengasuhan
anak, dan peristiwa kehilangan.
Tujuan Keluarga
Tujuan didefinisikan sebagai hasil akhir yang dituju dari suatu tindakan,
biasanya berkaitan dengan tenggat waktu, pencapaian prestasi, penyelesaian,
dan kesuksesan. Orientasi tujuan masuk ke dalam proses manajemen melalui
sistem personal yang berasal dari nilai yang dianut. Semakin absolut nilai yang
dianut seseorang, makin spesifik tujuan hidupnya. Misalnya, jika ketertarikan
musik seseorang hanya pada musik country dan barat, maka keinginan untuk menyaksikan pertunjukan langsung menjadi fokus tujuannya. Seseorang yang
menikmati semua jenis musik, memiliki lebih banyak alternatif pilihan untuk
memenuhi keinginannya (Deacon dan Firebaugh 1988).
Nilai berkembang menjadi tujuan melalui berbagai cara, seperti
pengalaman, pengetahuan baru, informasi timbal balik, dan perubahan
lingkungan. Misalnya, nilai akan kesehatan diwujudkan ke dalam tujuan untuk
meningkatkan vitalitas fisik (Deacon dan Firebaugh 1988). Ada tiga tipe tujuan,
yaitu: 1) berdasarkan waktu (tujuan jangka pendek, menengah, dan panjang); 2)
berdasarkan peran (pribadi, profesional, keluarga, dan masyarakat); dan 3) jenis
(tujuan primer dan sekunder).
Manajemen Sumberdaya Keluarga
Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan sumberdaya sebagai segala
sesuatu yang berada dalam kontrol keluarga yang dapat memenuhi tuntutan
keluarga atau menghantarkan keluarga untuk mencapai tujuan. Sumberdaya
dapat berasal dari dalam keluarga atau merupakan hasil interaksi keluarga
bisa memenuhi keinginan (Gross et al 1973). Dengan demikian segala sesuatu yang ada di sekitar kita dapat digolongkan menjadi sumberdaya jika dapat
diakses dan sudah diketahui potensi atau kegunaannya.
Berdasarkan jenisnya, sumberdaya dibagi menjadi dua, yaitu sumberdaya
manusia dan sumberdaya materi (Deacon dan Firebaugh 1988). Sumberdaya
manusia mencakup keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan anggota
keluarga. Terdapat tiga aspek sumberdaya manusia, yaitu aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Keberfungsian ketiga aspek sumberdaya manusia tersebut
dipengaruhi oleh energi yang dimiliki manusia dan kemampuannya untuk
mengelola waktu. Sumberdaya energi dan waktu digolongkan sebagai
sumberdaya non-manusia/materi. Dengan demikian, terdapat kaitan yang erat
antara sumberdaya manusia dan sumberdaya materi.
Sumberdaya materi mencakup barang/benda, jasa, waktu, dan energi
(Deacon dan Firebaugh 1988). Waktu sifatnya tetap, tidak bisa ditambah,
dikurangi atau diakumulasi. Penggunaan waktu yang efektif berkaitan dengan
pencapaian kesejahteraan psikologis. Energi merupakan sesuatu yang
fundamental bagi kelangsungan hidup manusia karena manusia selalu
membutuhkan energi dalam setiap aktivitas. Sumberdaya energi dapat dihasilkan
oleh manusia sendiri melalui proses konsumsi pangan atau berasal dari
lingkungan seperti energi matahari, energi angin, dan lain-lain.
Manajemen merupakan alat dasar (basic tool) utnuk mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Suatu proses manajemen
dikatakan berhasil jika mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan
melakukan manajemen kehidupan seseorang bisa teratur dan efektif (Deacon
dan Firebaugh 1988). Menurut Gross dan Crandall (1973) sumberdaya keluarga
terdiri atas serangkaian pengambilan keputusan dalam penggunaan sumberdaya
keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Dengan kata lain, manajemen
sumberdaya keluarga mencakup semua bentuk perilaku untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Sistem manajemen menunjukkan saling ketergantungan
dan saling keterhubungan di antara sistem keluarga dengan sistem di
sekelilingnya karena manajemen dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan.
Input mencakup zat, energi, sumberdaya, keinginan, dan informasi yang
dapat ditransformasi untuk mencapai tujuan tertentu (Deacon dan Firebaugh
1988). Proses manajemen mencakup perencanaan dan pelaksanaan.
masa depan. Pelaksanaan merupakan aktivitas menjalankan perencanaan.
Pelaksanaan juga mencakup pengawasan terhadap aktivitas. Salah satu ciri
manajemen adalah tidak kaku atau dinamis. Oleh karena itu, merupakan
kelaziman jika selama proses manajemen mengalami berbagai penyesuaian dan
adaptasi. Di akhir proses pelaksanaan, ada evaluasi yang menilai pencapaian
tujuan (output). Tujuan dalam manajemen sumberdaya keluarga bisa berasal dari tujuan masing-masing anggota keluarga atau keluarga secara keseluruhan.
Tujuan memberikan arahan bagi proses manajemen. Adapun standar yaitu
ukuran atau kriteria untuk mengukur kapasitas dan cara yang akan ditempuh
untuk mencapai tujuan (Nickell dan Dorsey 1960). Secara umum hasil dari
proses manajemen yaitu tercapainya tujuan dengan menggunakan sumberdaya
yang ada.
Manajemen Sumberdaya Manusia
Manajemen sumberdaya manusia dalam penelitian ini merupakan
pembagian tugas dalam keluarga demi keberfungsian keluarga dalam memenuhi
aspek pangan, perumahan, pengasuhan, pendidikan, dan pengasuhan.
Pembagian kerja dalam rumah tangga dapat dilihat dengan menggunakan empat
hipotesis, yaitu: 1) resource and power hypothesis; 2) time availability hypothesis; 3) sex-role hypothesis; dan 4) preference-for-housework hypothesis. Resource and power hypothesis menyatakan bahwa semakin besar kontribusi pendapatan suami bagi keluarga, maka semakin besar tanggung jawab isteri dalam urusan
rumah tangga. Sebaliknya, semakin besar kontribusi pendapatan isteri bagi
keluarga, maka semakin kecil tanggung jawab isteri dalam urusan rumah tangga.
Time availability hypothesis menyatakan bahwa seorang isteri yang bekerja memiliki alokasi waktu dan tanggung jawab yang lebih sedikit untuk mengerjakan
pekerjaan rumahtangga dibandingkan dengan isteri yang tidak bekerja. Sex-role hypothesis menyebutkan bahwa persepsi gender mempengaruhi pembagian kerja. Adapun preference-for-housework hypothesis menyatakan bahwa preferensi (ketertarikan) suami dan isteri pada jenis pekerjaan tertentu
mempengaruhi pembagian kerja dalam keluarga. Secara umum, seorang isteri
menyukai aktivitas domestik seperti mengasuh anak dan merapikan rumah,
sedangkan ketertarikan suami pada aktivitas domestik lebih rendah dibandingkan
Manajemen Waktu
Manajemen waktu adalah suatu cara dalam menggunakan dan mengelola
waktu agar aktivitas dapat berjalan efektif dan efisien. Output dari manajemen
waktu adalah jika waktu yang digunakan dapat mencapai tujuan individu dan
keluarga. Dalam mengelola waktu diperlukan kemampuan untuk menempatkan
posisi diri kita dalam lingkungan. Dengan kata lain, aktivitas individu akan
disesuaikan dengan orang lain, baik dalam aspek pemenuhan pangan,
pekerjaan, istirahat, atau rekreasi (Nickell dan Dorsey 1960).
Sebagai aktivitas manajemen, manajemen waktu terdiri atas aktivitas
perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Menurut Gross dan Crandall (1973),
terdapat tiga tipe perencanaan waktu, yaitu: 1) List a job; 2) Series of project; dan 3) Schedule. List a job adalah perencanaan waktu dengan cara membuat daftar aktivitas kegiatan yang akan dilakukan, disertai dengan kata-kata motivasi
sehingga bersemangat untuk mencapai target yang sudah ditentukan. Pada
perencanaan series of project, daftar aktivitas kegiatan disertai dengan urutan waktu, namun tidak ada batas waktu yang jelas. Adapun, dalam tipe
perencanaan yang ketiga, daftar aktivitas disertai dengan urutan waktu dan
perkiraan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan aktivitas tersebut.
Langkah-langkah dalam menyusun schedule adalah; 1) membuat daftar semua aktivitas, kemudian dikelompokkan menjadi aktivitas fleksibel dan tidak fleksibel; 2)
memperkirakan waktu yang diperlukan untuk menjalankan setiap aktivitas; 3)
menyesuiakan total perkiraan waktu yang diperlukan dengan waktu yang
tersedia; 4) menyusun urutan waktu; 5) tuliskan perencanaan; dan 6) jika
terdapat aktivitas yang berkaitan dengan orang lain, maka komunikasikan hal
tersebut kepada orang yang dimaksud.
Perencanaan waktu disusun sedemikian rupa dengan mengalokasikan
waktu tidak terduga (emergencies time). Kemampuan seseorang dalam melakukan penyesuaian dalam pengelolaan waktu merupakan aspek penting
dalam melakukan manajemen waktu (Nickell dan Dorsey 1960). Salah satu cara
untuk meningkatkan kepekaan terhadap waktu adalah dengan membuat daftar
aktivitas yang harus dilakukan dalam waktu yang cukup singkat. Misalnya
merencanakan untuk mengerjakan laporan praktikum dalam waktu setengah jam.
Jika ternyata waktu yang diperlukan lebih dari setengah jam, maka yang harus
dilakukan adalah mengubah konsepsi bahwa mengerjakan laporan praktikum
digunakan sebagai pengontrol waktu adalah bulletin board, yaitu papan yang berisi daftar aktivitas beserta perkiraan waktu yang diperlukan. Alat bantu lainnya
adalah time record, yaitu mencatat setiap penggunaan waktu. Dengan cara ini, seseorang dapat memeriksa proporsi dalam menggunakan waktu. Adapun
evaluasi dilakukan dengan memeriksa ketepatan metode yang digunakan,
kesesuaian pengambilan keputusan yang diambil dengan nilai yang dianut serta
ketepatan pencapaian target (Gross dan Crandall 1973).
Manajemen Keuangan Keluarga
Manajemen pendapatan atau manajemen keuangan adalah kegiatan
merencanakan, mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penggunaan
pendapatan (Nickell dan Dorsey 1960). Menurut Firdaus dan Sunarti (2009),
manajemen keuangan keluarga mencakup komunikasi bagaimana menggunakan
pendapatan. Ketersediaan sumberdaya lain, seperti waktu dan sumberdaya
manusia, penting dalam melakukan manajemen keuangan karena sumberdaya
tersebut mempengaruhi bagaimana penggunaan keuangan untuk mencapai
tujuan (Deacon dan Firebaugh 1988). Sebagai suatu sistem, manajemen
keuangan mencakup tiga aspek, yaitu input, proses, dan output. Aspek input mencakup tujuan, keinginan, kebutuhan, dan resiko ekonomi. Penentuan tujuan
dan penetapan budget merupakan tahap perencanaan dalam proses manajemen keuangan. Bagi keluarga yang baru menikah, tujuan utama dalam penetapan
budget adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai harga barang dan jasa. Bagi keluarga yang menggunakan kartu kredit, maka yang menjadi
tujuan utama adalah menjaga batas kartu kredit sesuai dengan kemampuan
finansial mereka (Gross dan Crandall 1973). Ada empat langkah yang dilakukan
dalam menetapkan budget, yaitu: 1) memperkirakan jumlah uang yang tersedia; 2) memperkirakan pengeluaran; 3) membandingkan keperluan dengan
sumberdaya yang tersedia; dan 4) mengevaluasi perencanaan dan implementasi
secara menyeluruh.
Penelitian-Penelitian Terdahulu
Samon (2005) meneliti pelaksanaan manajemen keuangan pada dua
populasi, yaitu keluarga nelayan dan keluarga petani tambak. Dari hasil
penelitian ditemukan bahwa pengeluaran terbesar keluarga nelayan adalah
pangan, sebaliknya pengeluaran terbesar keluarga petani tambak adalah non
pangan. Jika suatu keluarga memiliki pengeluaran terbesar untuk pangan, maka
keluarga nelayan tergolong keluarga miskin dan keluarga petani tambak
termasuk keluarga sejahtera. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan
manajemen keuangan, baik keluarga nelayan maupun petani tambak masih
tergolong rendah.
Hasil penelitian Firdaus dan Sunarti (2009) menunjukkan bahwa semakin
besar jumlah anggota keluarga, maka semakin tinggi tekanan ekonomi dan
semakin rendah kesejahteraannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, makin baik
pula manajemen keuangan keluarga sehingga kesejahteraannya semakin
meningkat. Meskipun demikian hanya sedikit (12.6%) keluarga yang memiliki
manajemen dalam kategori baik. Hal ini membuktikan bahwa jenjang pendidikan
yang tinggi belum pasti memiliki manajemen keluarga yang baik. Terbatasnya
keuangan keluarga dan terbatasnya tindakan pilihan untuk menggunakan uang,
menyebabkan pengelolaan keuangan menjadi sederhana.
Hasil penelitian Sunarti (2001) menunjukkan bahwa masalah yang paling
banyak dihadapi oleh keluarga adalah masalah ekonomi keluarga (50-60%) yang
mencakup kekurangan uang untuk membeli pangan, biaya anak sekolah, dan
untuk pelayanan kesehatan. Masalah perkawinan yang terjadi adalah konflik
suami isteri (40%), bahkan terdapat 10 persen contoh yang mengetahui
suaminya selingkuh. Pada umumnya contoh merasa tertekan dengan kejadian
tersebut, namun ada contoh yang mencoba menekan perasaan tersebut dengan
berusaha memahami kejadian dan kondisi sulit yang dialami suaminya.
Saleha melakukan penelitian sumberdaya keluarga pada keluarga nelayan
di Bontang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas domestik seperti
mengurus anak dan pemeliharaan rumahtangga banyak dilakukan oleh isteri.
Meskipun demikian, aktivitas mendampingi anak belajar lebih banyak dilakukan
oleh suami. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa pendidikan suami lebih
memadai dalam melakukan pendampingan belajar. Selain itu, keterlibatan suami
dalam merawat anak yang sakit, cukup tinggi yaitu sebesar 78.3 persen. Hal ini
karena mereka menyadari pentingnya kesehatan sehingga harus ditangani
dengan lebih serius bersama-sama. Adapun untuk aktivitas publik dalam sektor
ekonomi dan sosial kemasyarakatan, terdapat pembagian peran antara suami
dan isteri. Dalam sektor ekonomi, aktivitas persiapan melaut dan pemasaran
hasil laut banyak dilakukan oleh suami, sedangkan isteri banyak terlibat dalam
aktivitas pengolahan hasil ikan. Dalam sektor sosial kemasyarakatan, isteri lebih
sedangkan suami lebih banyak menghadiri kegiatan gotong royong. Suami dan
isteri secara bersama-sama banyak menghadiri kegiatan sosial kemasyarakatan
seperti acara selamatan (Saleha 2003).
Hasil penelitian Kusumo dan Simanjuntak (2009) menyebutkan bahwa
keluarga berpenghasilan rendah belum merasa puas dengan sumberdaya fisik
yang dimiliki karena hanya dapat memenuhi separuh dari harapan contoh atau
dengan kata lain sumberdaya tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan
keluarga. Meskipun demikian secara umum keluarga berpenghasilan rendah
merasa puas dengan sumberdaya non fisik yang tersedia. Kepuasan sangat
berhubungan dengan bagaimana keluarga tersebut mengatur pendapatannya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut Iskandar (2003) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
manajemen sumberdaya keluarga terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor internal meliputi jumlah anggota keluarga, usia kepala keluarga,
usia isteri, pendidikan kepala keluarga dan isteri, pendidikan, dan kepemilikan
aset, sedangkan faktor eksternal berupa lokasi tempat tinggal. Keluarga miskin
membiarkan tujuan hidup mengalir seperti apa adanya, sedangkan keluarga
yang tidak miskin memiliki perencanaan agar tujuan hidup dapat dicapai. Pada
keluarga miskin dan tidak miskin, sebagian besar tugas seorang ibu adalah
mengurus anak dan keluarga. Meskipun demikian, suami juga berperan dalam
kegiatan domestik (pengasuhan anak) walaupun dengan rataan alokasi waktu
yang jauh lebih sedikit.
Suandi (2007) meneliti mengenai modal sosial dan kesejahteraan ekonomi
keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial, seperti tingkat
partisipasi keluarga dalam asosiasi lokal, manfaat asosiasi lokal, dan
keterpercayaan masyarakat berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan
ekonomi objektif keluarga. Selain itu, manajemen keuangan dan manajemen
anggota keluarga pun berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi
objektif. Adapun karakteristik sosio-demografi, seperti pendidikan suami dan
pendidikan non-formal suami tidak berpengaruh signifikan. Meskipun demikian,
karakteristik sosio-demografi tidak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan
ekonomi subjektif keluarga. Begitu pula dengan manajemen sumberdaya
keluarga dan faktor modal sosial, tidak berpengaruh terhadap tingkat
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa manajemen keuangan
pada keluarga miskin maupun keluarga tidak miskin tergolong rendah. Meskipun
terdapat kecenderungan semakin tinggi jenjang pendidikan maka sumberdaya
keluarga semakin baik, namun jenjang pendidikan yang tinggi belum pasti
memiliki manajemen keluarga yang baik. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap manajemen sumberdaya keluarga, yaitu besar keluarga, usia suami,
usia isteri, pendidikan suami, pendidikan isteri, kepemilikan aset, dan lokasi
tempat tinggal. Karakteristik sosio-demografi, modal sosial, dan manajemen
sumberdaya keluarga berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesejahteraan
objektif keluarga. Masalah yang paling banyak dirasakan oleh keluarga yaitu
KERANGKA PEMIKIRAN
Sumberdaya keluarga adalah segala sesuatu yang dimiliki keluarga yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan keluarga. Sumberdaya yang dimiliki
keluarga merupakan input dalam proses manajemen sumberdaya keluarga. Oleh
karena itu, karakteristik keluarga yang mencakup karakteristik demografi (usia
suami-isteri dan besar keluarga), sosial (jenjang pendidikan dan lama
pendidikan), ekonomi (pendapatan, pengeluaran, pekerjaan, kepemilikan utang
dan rasio utang terhadap aset) merupakan input bagi proses manajemen. Selain
itu, masalah keluarga yang ingin diselesaikan menjadi tujuan bagi keluarga yang
akan menjadi input juga bagi proses manajemen.
Proses manajemen berlangsung jika ada perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian atas penggunaan input serta evaluasi terhadap tindakan
manajemen secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, manajemen sumberdaya
keluarga yang diteliti adalah manajemen sumberdaya manusia, manajemen
waktu, dan manajemen keuangan. Manajemen sumberdaya manusia mengacu
pada pembagian tugas dan tanggung jawab suami-isteri demi keberfungsian
keluarga dalam aspek pangan, perumahan, pengasuhan, pendidikan, dan
kesehatan. Manajemen waktu mencerminkan kemampuan keluarga
menggunakan waktu dengan efektif dan efisien. .Adapun manajemen keuangan
mencerminkan kemampuan keluarga mengelola sumberdaya materi yang
dimiliki.
Manajemen sumberdaya keluarga dikatakan berhasil jika keluarga dapat
mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya yang ada. Secara umum,
tujuan dari keluarga adalah terciptanya kesejahteraan keluarga. Pada penelitian
ini indikator kesejahteraan yang digunakan adalah indikator kesejahteraan yang
dikembangkan oleh Sunarti, meliputi kesejahteraan fisik, sosial, dan psikologis
(Sunarti 2001). Kesejahteraan fisik mencerminkan ketahanan ekonomi keluarga
karena keluarga mampu memenuhi kebutuhan fisik seperti pangan, perumahan,
pendidikan, dan kesehatan. Kesejahteraan sosial berkaitan dengan persepsi dan
harapan seseorang terhadap lingkungan sosialnya. Adapun kesejahteraan
psikologis diukur berdasarkan intensitas emosi tertentu, konsep diri, dan
kepedulian suami. Secara ringkas, kerangka pemikiran dapat dilihat pada
Gambar 1 Kerangka berpikir manajemen sumberdaya keluarga pada keluarga miskin dan tidak miskin
OUTPUT
Kesejahteraan Keluarga:
Kesejahteraan Fisik
Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan
Sosial
PROSES
Manajemen Waktu
Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen Keuangan
Karakteristik Keluarga:
1. Demografi
- Usia suami & isteri -Besar keluarga 2. Sosial
- Jenjang Pendidikan - Lama Pendidikan 3. Ekonomi
- Pendapatan - Pengeluaran - Pekerjaan
- Rasio utang terhadap aset
Masalah Keluarga Tujuan Keluarga