HUBUNGAN ORIE.NTASI RELIGIUS DENGAN
PSYCHOLOGICAL WELL BEING
(KESEJAHTERAA.N PSU<OL.OGIS)
SKRIP SI
Diajukan Untuk Mernenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Olell:
IMA MAULANI ARBA'AH
NIM:102070025909
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
islaセjャ@
NEGERI SYARIF
(KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
IMA MAULANI ARBA'AH
NIM: 102070025909
Di
Bawah BimbinganPembimbing I Pembimbing II
. bdul Mujib
NIP. 150283344
F AKUL T AS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS !SLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATUllAH
JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Hubungan Antara Orientasi Religius dengan
Psychological Well Being (Keseja/1teraan Psikologis) telah diujikan. dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 Februari 2007. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Jakarta, 26 Februari 2007
Sidang Munaqasyah
Anggota
NIP. 150267280
Pembimbing I
M.Si.
gkap Anggota
Pembimbing II
D. ul Mujib
NIP. 150283344
Xem6all{afi lieyaaa 'Tufianmu cfengan
fiati yang yuas Cagi cfiriafiai-Nya.
Malia masuli{afi lie aaCam
jamaafi fiam6a-fiam6a-Xu.
'IJan masuli{afi lie aaCam surga-Xu"
(QS . .Jl{-:fajr:
27-30)
iv
セセuエエ@
セ@
セ@
セセセ@
Tbセセ@
ABSTRAKSI
(C) Ima Maulani Arba'ah
(A) F akultas Psikologi (B) F ebruari 2007
(D) Hubungan A ntara 0 rientasi R eligius d engan Psychological Well Being
(Kesejahteraan Psikologis) (E) x + 80 halaman
(F) Selama menjalani hidup, setiap individu memiliki
pengalaman-pengalaman, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, yang selanjutnya akan menyebabk.om kebahagiaan atau
ketidakbahagiaan. Walaupun sumbarnya berbeda-beda, namun setiap individu berusaha mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Salah satu indikasi kunci dari perasaan bahagia adalah kesejahteraan psikis atau psychological well-being. Jiwa yang sejahtera menggambarkan
seberapa positif seseorang menghayati dan menjalani fungsi-fungsi psikologisnya. Peneliti psychological well-being, Ryff (1995)
menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera apabila ia tidak sekadar bebas dari tekanan atau masalah mental yang lain. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah nanyut oleh pengaruh lingkungan. Tentu saja orang tersebut memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, menyadari bahwa hidupnya bermakna dan bertujuan. la merasakan dirinya tetap berkembang dnn bertumbuh, serta mampu menguasai ingkungannya. Salah satu aspek yang diasumsikan memberi nilai pada kesejahteraan psikis seseorang adalah agama atau religi. Cara
pandang terhadap agama atau dalam tataran ilmu psikologi dikenal dengan istilah orientasi religius tidaklah sama pada setiap individu. Sebagian menganggap agama sebagai penggerak utama dalam segala aspek kehidupannya, sebagian lagi menggunakan agama hanya
sebagai alat untuk memenuhi dorongan sosialnya, bahkan sebagian lainnya memilih untuk tidak melibatkan diri dengan agama. Masing-masing orientasi religius ini memberi nilai tersendiri terhadap kondisi psikologis individu, Karena itu, dapat diasumsikan bahwa orientasi religius seseorang memiliki dampak terhadap psychological well being.
Penelitian ini beriujuan untuk menemul<an hubungan yang signifikan antara orientasi religius dengan psyd1ological well being.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasional. Penelitian dilaksanakan di Universitas Islam N egeri ( UIN) S yarif H idayatullah Jakarta d engan j umlah s ampel
meliputi korelasi Pearson untuk menguji validitas item, Alpha Cronbach untuk menguji reliabilitas instrumen pengumpul data, dan regresi linear sederhana untuk pengujian hipotesis penelitian.
Jumlah item valid untuk skala orientasi religius sebanyak 38 item. Reliabilitas skala orientasi religius adalah 0.9130. Sedangkan jumlah item valid untuk skala psychological well being sebanyak 54 item. Reliabilitas skala psychological well being adalah 0.9483. Berdasarkan analisis regresi linear sederhana, diperoleh hasil r hitung (0,690 ) > r tabel
(0,361 ). Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara orientasi religius dengan psychological well being
(G) Bahan Bacaan: 31 (1967 -2006)
KATA
PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr.Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Hubungan Antara Orientasi Religius Dengan Psychological Well Being". Salawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnyc: hidup di bawah naungan Islam
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah dan Pembimbing
Akademik, lbu Ora. Hj Netty Hartati, M. Si, yang telah banyak memberikan pengarahan dan perhatian kepada penulis selama menjalani proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
2. lbu Ora. Zahrotun Nihayah, M. Si, alas segala bimbingan, saran dan
motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Abdul Mujib, yang senantiasa memberikan bimbingan, saran,
dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
4. Pembimbing seminar skripsi, Bapak Ors. Abdul Rahman Saleh, M.Si,
yang tidak pernah bosan untuk menyumbangkan pendapatnya,
memberikan saran yang membangun, motivasi, sehingga penulis dapat mengatasi kendala dalam penyusunan skripsi ini.
5. Para Dasen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan ilmu kepada penulis.
6. Seluruh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang bersedia menjadi
sampel dalam penelitian ini
7. Yang paling penulis hormati dan kasihi setelah Allah dan Rasul-Nya,
Mamah, Bapak, dan suami tercinta yang tak pernah putus memberikan dorongan, doa, cinta dan kasih tak bersyaratnya kepada penulis.
8. Seluruh keluarga, a Imam & t Nunun, a Ahrul & t Mira, a Tsalis & t Neviy, d Nisa, Haifa, Hunafa, Elhamd, dan Najla, cinta dan dukungan kalian semua selalu mengobarkan semangat penulis.
9. Seluruh sahabat di Fakultas Psikolog angkatan 2002, alas
persahabatan dan dukungan yang telah kalian berikan.
10. Sahabat terdekat (Nita, Liza, Dwi, Yanti, Ria, Yuyun, Kiki, Lika, Mamay, Babay), atas segala motivasi yang tiada henti dan waktu yang
disediakan untuk berbagi di setiap kesempatan.
Semoga Allah memberikan paha1a yang tak henti-hentinya, sebagai balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang diberikan.
Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait. Untuk kesempurnaan karya ini, penulis harapkan saran dan kritiknya.
Jakarta,
19
Februari2007
Penulis
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISi
MOTTO... iv
ABSTRAKSI .. . . . .. .. . . .. . . .. . . . .. .. . . . .. .. . . .. . . .. . . .. . . v
KATA PENGANTAR... vi
DAFT AR ISi . .. . .. .. .. .. .... .. .... .... .. .. .. .. .. . .. .. .... .... .. .. .. .. .. .... .. ... .. .. ... .. .. .. .. .. .. .. vii
DAFT AR T ABEL... viii
DAFT AR GAMBAR .. ... .. ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 ldentifikasi Masalah... .... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . 10
1.3 Batasan Masalah Penelitian... 11
1.4 Perumusan Masalah Penelitian... 12
1.5 Tujuan Penelitian ... 12
1.6 Manfaat Penelitian... 12
1. 7 Sistematil<a Penulisan... .... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .... .. . 13
BAB 2 KAJIAN PUST AKA 2.1 Orientasi Religius ... 15
2.1.1. Pengertian Orientasi Religius ... 15
2.1.2. Dimensi Orientasi Religius... 17
2.1.3. Aspek-aspel< Orientasi Religius... 21
2.2.2. Dimensi Psychological Well Being... 26
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being... 29
2.3 Hubungan Antara Orientasi Religius dengan Psychological Well Being... ... 30
2.4 Hipotesis ... 33
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jen is Penelitian ... .. .... .. .. .... ... .. .. ... .. .. ... .. .. 34
3.1.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 34
3.1.2. Definisi Variabel dan Operasional Variabel ... 35
3.2 Pengambilan Sampel ... 38
3.2. 1. Populasi ... 38
3.2.2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 38
3.3 Teknik Pengumpulan Data... 39
3.3. 1. Metode dan lnstrumen Penelitian ... 39
3.3.2. Hasil Uji Caba lnstrumen Penelitian ... 42
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisa Data... 45
3.5 Prosedur Penelitian ... 47
3.5.1. Tahap Persiapan ... 47
3.5.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 48
BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Um um Respond en ... ... 49
4.1.1. Gambaran Umum Berdasarkan Jenis Kelamin... 49
4.1.2. Gambaran Umum Berdasarkan Usia... 50
4.1.3. Gambaran Umum Berdasarkan Fakultas ... 50
4.1.4. Gambaran Umum Berdasarkan Semester... 51
4.2 Uji Persyaratan... 52
4.2.1. Uji Normalitas ... 52
4.2.2. Uji Homogenitas ... .. .... .. .. .. .. .. ... ... 55
4.2.3. Uji Linearitas... 57
4.3 Hasil Uji Hipotesis ... ... ... 58
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN 5.1 Kesimpulan ... ... 63
5.2 Diskusi... ... 63
5.3 Saran... 67
DAFT AR PUST AKA LAMPI RAN
[image:11.518.26.448.72.512.2]Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Blue Print Skala Psycho/ogic3/ Well Being ... ..
Kategori Jawaban Skala Like
rt ... .
Blue Print Revisi Skala Orientasi Religius ... .
Blue Print Revisi Skala Psychological Well Being ... .
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... .
Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... .
Distribusi Responden Berdasarkan Fakultas ... .
Distribusi Responden Berdasarkan Semester ... . 41
42
43
44
49
50
51
52
Tabel 4.5 Uji Normalitas Kolmogorof-Smirnov ... 53
Tabel 4.6 Uji Homogenitas ... 56
Tabel 4.7 Nilai Uji Linearitas ... 57
Tabel 4.8 Statistik Deskriptif ... 58
Tabel 4.9 Nilai koefisien korelasi. ... 59
Tabel 4.10 Nilai R Square (koefisien determinasi)... 59
Tabel 4.11 Nilai uji F ... 60
Tabel 4.12 Persamaan regresi sederhana... 61
Tabel 4.13 Nilai Uji
t...
61 [image:12.518.30.448.74.485.2]DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 2 Hasil Uji Normalitas
Lampiran 3 Hasil Uji Linearitas
Lampiran 4 Hasil Uji Homogenitas
Lampiran 5 Hasil Uji Analisis Regresi Sederhana
Lampiran 6 lnstrumen Penelitian
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
lntegrasi antara agama dan psikologi dirnulai ketika munculnya bidang kajian
baru dalam ilmu psikologi yaitu psikologi agama. William James adalah
seorang tokoh yang dapat dianggap sebagai bapak psikologi agama.
Bukunya yang berjudul The Varieties of Religious Eksperience, merupakan
buku pertama yang membahas mengenai pengalaman beragama individu
secara mendalam dan komprehensif. James berpendapat bahwa agama
mempunyai peranan sentral dalam menentukan perilaku manusia. Menurut
James, dorongan beragama pada manusia sama menariknya dengan
dorongan-dorongan lainnya. (James, 1958, dalam Jalaluddin, 2005).
Lahirnya karya William James berhasil memicu semangat dari banyak ahli
psikologi untuk terus meneliti agama melalui pendekatan psikologi, sehingga
setelah itu lahirlah berbagai buku dan jurnal yang memuat berbagai hasil
penelitian mengenai psikologi agama. Penelitian yang banyak dilakukan
adalah mengenai efek agama pada kesehatan mental. Seperti hasil penelitian
Koenig pada tahun 1997 (dalam Jalaluddin, 2002) menemukan bahwa
sejumlah besar penduduk Amerika, yaitu sekitar 20-40% mengatakan bahwa
agama merupakan salah satu faktor penling yang membantu mereka
mengatasi situasi hidup yang penuh stress.
2
Salah satu aspek yang dikaji oleh psikologi agama sebagai hasil dari
perkembangannya adalah masalah orientasi beragama atau religious
orientation. Allport adalah tokoh yang pertama-tama mengenalkan konsep ini,
melalui sebuah penelitian yang dilakukan bersama rekannya Ross mengenai
pengaruh orientasi religius terhadap prejudice. Hasil penelitian Allport
menarik kalangan ilmiah lain untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana
pengaruh orientasi religius pada perilaku manusia.
Menurut Allport & Ross (1967), orientasi religius merupakan sistem cara pandang individu mengenai kedudukan agama dalam hidupnya. Yakni
bagaimana agama berperan dalam kehidupan seseorang. Lebih lanjut, Allport
membagi orientasi religius ke dalam dua jenis, yaitu orientasi religius intrinsik
dan orientasi religius ekstrinsik. Seseorang dikatakan memiliki orientasi
religius intrinsik apabila ia menjadikan agama sebagi motif utama dan
penggerak kehidupannya, sehingga segala aspek yang ia lakukan didasarkan
pada agama yang ia anut. Sedangkan seseorang dikatakan memiliki
orientasi religius ekstrinsik apabila ia memperlakukan agama bukan sebagai
motif utama, melainkan sebagai sarana L'ntuk memenuhi kebutuhan lain,
Untuk mengukur orientasi religius seseorang, Allport memelopori pembuatan
skala orientasi religius. Skc.la ini dirancang untuk melakukan assesmen
dengan mengukur orientasi religius. Skala ini menghasilkan suatu ukuran
kontinum dari orang yang berorientasi re1igius ekstrinsik hingga yang intrinsik
(Allport, 1956; Allport & Ross, 1967, dalam Wulf, 1997). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ukuran yang dikembangkan oleh Allport tersebut
menghasilkan dua tipe orientasi religius lain yaitu tipe non religius dan tipe
indiscriminately pro-religius. Seseorang dikatakan memiliki tipe orientasi non
religius, apabila skor yang ia peroleh dari skala orientasi religius Allport
rendah pada kedua dimensi baik dimensi intrinsik maupun dimensi elstrinsik.
Sedangkan tipe indiscriminately pro-religws ditunjukkan bagi orang yang
memiliki skor tinggi pada kedua dimensi, yaitu dimensi intrinsik dan ekstrinsik
(Herek, 1987).
Berdasarkan temuan di alas, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak hanya
dapat memiliki orientasi religius yang tinggi pada dimensi intrinsik dan
ekstrinsik saja. Seseorang dapat memiliki orientasi religius yang rendah pada
dimensi intrinsik dan ekstrinsik, dan dapat pula tinggi pada kedua dimensi itu.
Seseorang dapat berusaha mengamalkan agamanya dengan
sungguh-sungguh, namun tanpa disadarinya pada saat yang sama ia dapat
seseorang memiliki orientasi religius yang tinggi pada dimensi intrinsik dan
ekstrinsik.
Selain itu, seseorang dapat pula menganggap nilai-nilai luhur agamanya
bukanlah suatu yang sangat penting, hanya ritual dan ia pun tidak berusaha
menggunakan agama untuk keuntungannya. Bisa saja ia merasa bahwa
agama tidak menawarkan keuntungan pribadi bagi dirinya. Hal ini dapat
menyebabkan seseorang berorientasi rendah pada dimensi intrinsik dan
ekstrinsik.
Berkaitan dengan beberapa tipe orientasi religius yang muncul, Nurcholis
Madjid (1997) mengemukakan bahwa tidak jarang tingkah laku yang
tampaknya bersifat religius, setelah dianalisa lebih mendalam ternyata
mempunyai motif hal-hal yang mungkin justru bertentangan dengan nilai-nilai
keagamaan, misalnya bermotifkan kedudukan, kekayaan, kekuasaan,
kesukuan. kedaerahan, dan berbagai 'vested interest' yang lain.
Fenomena yang dapat dijadikan contoh mengenai pernyataan diatas, mudah
ditemui di masyarakat kita. Bukan lagi sebuah rahasia, bila seorang calon
pejabat yang membagi-bagikan sembako pada orang miskin bukan murni
pergi ke sebuah pengajian dan tempat ibadah agar dipandang sebagi orang
yang religius.
Perbedaan antara kedua jenis orientasi religius yang dikemukakan oleh
Allport akan menimbulkan dampak yang berbeda bagi individu yang
menganutnya, baik dari segi sikap ataupun perilaku. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Allport & Ross (1967), individu yang memiliki orientasi religius intrinsik mempunyai sikap yang lebih toleran, menghargai kelompok
minoritas, dan kurang prejudice dibandingkan dengan individu yang memiliki
orientasi religius ekstrinsik.
Selanjutnya, hasil penelitian Batson & Rebecca (1981) menunjukkan, pada
individu yang berorientasi religius intrinsik tampak perilaku menolong yang
dilandasi oleh kebutuhan internal untuk r.ienolong, bukan oleh ekspresi yang
dinyatakan oleh orang yang membutuhkan pertolongan. Selain itu, kedua
jenis orientasi religius dimungkinkan pula berdampak pada kondisi psikologis
individu yang bersangkutan.
Efek psikologis yang dirasakan oleh seorang calon pejabat yang
membagi-bagikan sembako untuk mendapat simpati dan dukungan, tentu akan
berbeda dengan efek psikologis yang dirasakan oleh orang yang dengan
akan merasakan kepuasan bila tujuan dari perilakunya yaitu mendapat
dukungan dan simpati tercapai, dan jika tidak tercapai ia merasa tidak puas,
atau bahkan menyesali perbuatannya yang dianggap sia-sia dan hanya
mengahambur-hamburkan materi saja. Sedangkan orang yang menolong
dengan tulus akan merasa bahagia tepat pada saat ia memberikan
pertolongan, terlepas ia mendapat keuntungan atau tidak atas perbuatannya.
Lebih lanjut mengenai kaitan antara kondisi psikologis individu dengan
orientasi religius ini memerlukan pembahasan yang lebih mendalam, karena
seperti diketahui, unsur psikologis pada individu merupakan sesuatu bersifat
kompleks dan melibatkan banyak aspek. Seseorang dikatakan baik (well)
secara psikologis, tidak hanya karena ia 111erasa puas atau bahagia, dan
terbebas dari gangguan-gangguan kejiwaan, tetapi berbagai aspek psikologis
lainnya harus terpenuhi. Dan untuk mengukurnya, diperlukan sebuah konsep
yang komprehensif. Salah satunya adalah menggunakan konsep
psychological well being.
Mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk istilah
psychological well being tidaklah mudah, karena istilah psychological well
being sendiri mencakup beberapa aspek psikologis yang beragam. Namun
beberapa peneliti di Indonesia memadankan istilah psychological well being
dengan kesejahteraan psikologis, di antaranya Magdalena S. Halim dan
Wahyu Dwi Atmoko (2005) dala.m penelitiannya yang menghubungkan
kecemasan HIV/AIDS pada waria yang menjadi PSK dengan psychological
well being.
Dalam bahasa aslinya pun, istilah psychological well being didefinisikan
dengan beragam. Bila kita dapat dengan mudah mengartikan sejahtera fisik,
yaitu terbebasnya seseorang dari penyakit fisik, tidak demikian halnya
dengan kesejahteraan psikologis. Hal ini sulit didefinisikan karena banyaknya
faktor yang terlibat di dalamnya. Para penellili selama ini mengartikan
psychological well being sebagai suatu konsep yang terdiri dari kebahagiaan
sebagai komponen afektif, dan kepuasan hidup sebagai komponen kognitif.
Di antaranya definisi yang dikemukakan oleh Bradburn (1969 dalam Ryff,
1989) dan Neugarten, Havighurst, dan Tobin (1961, dalam Ryff, 1989).
Dengan demikian, pengukururan mengenai psychological well being
dilakukan dengan dengan mengukur indil<ator-indikator dari kebahagiaan dan
kepuasan hidup. Namun pada akhirnya, rengertian tersebut kembali
dipertanyakan karena tidak didasari oleh landasan teori yang kuat dan belum
menampilkan ciri-ciri penting dari psychological well being (Ryff, 1995).
Menurut Ryff (1989), seseorang dikatakan memiliki psychological well being
yang tinggi tidal< sekedar bebas dari indikator kesehatan mental negatif,
8
terdapat pada diri seseorang secara optimal. Selanjutnya, Ryff (1989)
mengajukan konsep psychological well being yang mengacu pada teori
positive psychological functioning, teori kesehatan mental, dan teori psikologi
perkembangan. la berpendapat bahwa individu dapat dikatakan memiliki
psychological well being apabila ia mampu menerima dirinya, mampu
menjalin hubungan dengan individu lain, memiliki kemandirian, mampu
menguasai lingkungan kehidupannya, memiliki tujuan hidup, dan berupaya
menjadi individu yang terus berkembang. Maka, untuk dikatakan mempunyai
kondisi psikologis yang well, kesemua dimensi yang ada dalam psychological
well being harus terintegrasi dalam diri individu.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mencapai kebahagiaan dan kepuasan
merupakan dambaan setiap orang. Terlepas dengan cara apa ia
memperolehnya. Namun, bagi individu yang mengenal agama, kebahagiaan
dan kepuasan yang ingin dicapai bukan kebahagiaan semu, melainkan
kebahgiaan hakiki. Agama mengajarkan, untuk mencapai kebahagiaan dan
kepuasan yang hakiki, seseorang dituntut untuk taat dan patuh pada
keseluruhan ajarannya tanpa terkecuali, atau dalam Islam dikenal dengan
istilah kaffah. Walaupun konsep ini telah jelas, bahkan pada semua agama,
namun pada prakteknya tidak semua individu mampu melaksanakannya.
Salah satunya dimungkinkan berkaitan dengan orientasi religius yang ia
agama sebagai master motive dalam kehidupannya akan berusaha mencapai
kebahagiaan hakiki sebagaimana diajarkan oleh ajaran agamanya.
Sedangkan pada individu yang berorientasi religius ekstrinsik, dimana agama
hanya dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka
kebahagiaan yang ia peroleh mungkin bersifat semu belaka.
Penelitian mengenai psycl10logical well being sendiri, selama ini lebih banyak
dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika. Terna penelitian umumnya
mengaitkan psychological well being dengan gender, usia, masalah
demografi, dan kondisi fisik individu, misalnya penderita kanker atau penyakit
tertentu lainnya. Di Indonesia sendiri, belum banyak akademisi psikologi yang
melal<ukan penelitian mengenai psychological well being. Diantara yang
pernah dilakukan, yakni oleh mahasisiwa psikologi UI yang mengaitkan
psychological well being dengan kepuasan pernikahan pada istri bekerja,
psychological well being dengan status lajang pada pria dan wanita usia
30-40 tahun, dan gambaran psychological well being pada usia lanjut berkenaan
dengan tempat tinggal mereka, di panti jompo atau di rumah.
Sedangkan penelitian mengenai well being kaitannya dengan masalah
keberagamaan, sebelumnya banyak dilakukan di Amerika dan Erofa yang
memiliki latar budaya individualistis, dengan menggunakan orang-orang
10
satunya dilakukan oleh Rachel J, Richter pada tahun 2000, yaitu mengaitkan
psychological well being dengan Christian Spiritual Well Being. Di Indonesia,
penelitian serupa pernah dilakukan, tetapi dengan subjek yang berbeda yakni
masyarakat beragama Hindu di Bali. Namun, dari keseluruhan penelitian
mengenai psychological well being yang pernah ada di Indonesia, belum ada
yang secara spesifik menghubungkannya dengan orientasi religius, terutama
dengan subjek penelitian beragama Islam. Penelitian ini penting dilakukan
untuk mengetahui aspek well being mana yang paling berperan pada
masyarakat timur khususnya yang beragama Islam, berkaitan dengan
orientasi religius yang mereka miliki.
1.2.
ldentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yar.g telah dikemukakan di alas, maka
beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan antara orientasi religius dengan psychological
well being?
2. Bagaimana arah hubungan orientasi religius dengan psychological well
1.3. Batasan Masalah Penelitian
Untuk mendapatkan hasil penelitian yanb spesifik, maka peneliti perlu
membatasi permasalahan dalam penelitian, yaitu:
1. Orientasi religius adalah sistem cara pandang individu mengenai
kedudukan agama dalam hidupnya, yang menentukan juga bentuk relasi
individu dengan agamanya. Orientasi religius memiliki dua dimensi, yaitu
dimensi ekstrinsik dan dimensi intrinsik. Dalam perkembangannya dua
dimensi orientasi religius ini berkembang sehingga menghasilkan empat
tipe orientasi religius yaitu orientasi religius ekstrinsik, orientasi religius
intrinsik, non religius dan indiscriminately pro religius. Penelitian ini
membatasi pada dua tipe orientasi religius yaitu orientasi religius
ekstrinsik dan orientasi religius intrinsik. Adapun orientasi religius intrinsik
adalah cara beragama yang memperhatikan komitmen terhadap agama
dan memperlakukan komitmen tersebut dengan sungguh-sungguh
sebagai tujuan akhir, dan ketaatan beragama sebagai motif utama dalam
hidup. Sedangkan orientasi religius ekstrinsik adalah cara beragama
dimana seseorang mempunyai kecendeungan besar menggunakan (use)
keberagamaannya untuk mencapai tujuan pribadi mereka, sifatnya selalu
memperalat (instrumental) dan mengambil manfaat (utilitarian). Mereka
13
1. Manfaat teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wacana
keilmuan psikologi, khususnya mengenai orientasi religius dalam
kaitannya dengan psychological well being.
2. Manfaat praktis, berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan:
a. lndividu dapat menentukan orientasi religius yang tepat dalam
kehidupannya.
b. lndividu mengetahui konsekuensi yang didapatkan berdasarkan
orientasi religius yang mereka miliki.
c. lndividu tertarik untuk memperkuat aspek-aspek psychological well
being pada dirinya.
1.
7. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB 1: Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, permasalahan
penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, sistematika penulisan.
BAB 2 : Kajian Pustaka, meliputi orientasi religius, psychological well being,
BAB 3 : Metodologi Penelitian, meliputi pendekatan dan metode penelitian,
populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel, teknik
pengumpulan data, metode pengolahan data.
BAB 4 : Hasil Penelitian, meliputi gambaran umum responden, hubungan
antara orientasi religius dengan psychological well being.
BAB2
KAJIAN
PUSTAKA
2.1
Orientasi Religius
Perkembangan konsep orientasi religius berawal dari ketertarikan ilmu
psikologi dalam mengamati dampak agama terhadap tingkah laku manusia.
Allport dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan konsep
orientasi religius, yaitu melalui penelitiannya mengenai pengaruh orientasi
religius terhadap prejudice. Hasil penelitian inilah yang menarik kalangan
ilmiah lain untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh agama terhadap
tingkah laku manusia. Sampai saat ini, konsep orientasi religius Allport
menjadi referensi utama dalam studi penelitian mengenai orientasi religius.
2.1.1. Pengertian Orientasi Religius
Yang dimaksud orientasi religius adalah '1he way in which a person practice
or lives out his religious beliefs and values (Batson & Ventis, 1982, dalam Earnshaw, 2000). Maksudnya, cara seseorang untuk mewujudnyatakan
kepercayaan keagamaan dan nilai-nilai yang dianutnya. Seseorang dapat
memilih untuk sungguh-sungguh mengamalkan ajaran agamanya, atau
melaksanakan ajaran agamanya hanya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi.
Orientasi religius dalam pandangan Allport&Ross (1967) didefinisikan
sebagai "the extent to which a person lives out his/her religious beliefs".
Maksudnya, tingkat seseorang mewujudnyatakan kepercayaan
keagamaannya. Konsep ini menjelaskan sebagai apa agama berperan
dalam kehidupan seseorang. Dan menurut Wulf (1997), cara pandang
individu terhadap agama akan mempengaruhi tingkah laku individu dalam hal
menafsirkan ajaran agama dan menjalankan apa yang dianggapnya sebagai
perintah agama.
Batson (1991) mengemukakan bahwa terclapat clua macam tujuan seseorang
beragama. Sebagian menganggap agama sebagai tujuan akhir (an end in
self), sehingga komitmen terhaclap agama clipikirkan secara seksama clan
dan cliperlakukan clengan sungguh-sungguh, clan sebagian lainnya
menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan yang berpusat
pacla diri sendiri.
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, clapat disimpulkan bahwa yang
climaksucl clengan orientasi religius adalah cara seseorang memanclang
peran agama clalam kehiclupannya, apaKah ia menjaclikan agama sebagai
motif utama yang menjacli dasar motif lainnya, ataukah ia memanclang agama
17
2.1.2. Dimensi Orientasi Religius
Lebih lanjut mengenai orientasi religius, Allport (1967) membaginya menjadi
dua, yaitu orientasi religius intrinsik dan orientasi religius ekstrinsik.
Pembagian ini didasarkan pada aspek motivasional atau kebutuhan yang
mendasari perilaku keagamaan seseorang.
"Some people have a religious orientation that is primarily extrinsic, a
se/f-serving, instrumental approach confirming to social convention others, in
contrast, have intrinsic religious orientation, religion provides them with a
meaning endowing framework in terms of which al/ life is understood (Allport,
dalam Herek, 1987, h. 35).
Maksudnya, sebagian orang memiliki orientasi religius yang ekstrinsik,
bersifat melayani diri sendiri, menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan sosial
lainnya, dan sebaliknya, orientasi religius intrinsik, dimana agama dijadikan
sebagai dasar bagi kebermaknaan hidupnya.
2.1.2.1. Orientasi Religius lntrinsik
Allport & Ross (1967) mengemukakan pendapat mengenai individu yang
memiliki orientasi religius ekstrinsik:
"Who find their master motive in religion. Others needs, strong as they may
possible brought into harmony with the religious beliefs and prescription,
having embrace a creed the individual endeavors to internalize it and follow it
fully. It is in this sense that he lives his religion".
Maksudnya, seseorang yang menemukan kebutuhan utamanya dalam
agama. Kebutuhan lain, sekuat apapun itu, akan dikesampingkan dalam
pemenuhannya. Dan mereka sejauh mungkin akan terbawa ke dalam
keselarasan antara kepercayaan dan petunjuk agama, memeluk
kepercayaannya dan berusaha menginternalisasikannya dan mengikutinya
secara keseluruhan. Dengan kata lain mereka menghidupkan agamanya.
Orientasi religius intrinsik merupakan cara beragama yang memperhatikan
komitmen terhadap agama dan memperlakukan komitmen tersebut dengan
sungguh-sungguh sebagai tujuan akhir, dan ketaatan beragama sebagai
motif utama dalam hidup. Cara beragama ini juga memberikan makna pada
ritual-ritual keagamaan yang dilakukan, berusaha sungguh-sungguh
menghayati ajaran agama dan mengikutinya secara penuh, dan berupaya
sejauh mungkin agar hidup sejalan dengan agamanya, dan meletakkan
20
Maksudnya, menggunakan agama untuk berbagai kepentingan, untuk
memperoleh keamanan, mengatasi kebingungan, memperoleh perlindungan,
status dan pembenaran diri. Mempermudah keyakinan yang dipeluknya atau
memilih-milih bagian yang lebih sesuai dengan kebutuhan utamanya. Dalam
istilah teologi, mereka yang berorientasi reJigius ekstrinsik adalah mereka
menghadap Tuhan, tanpa menjauh dari kepentingan dirinya sendiri.
Wulf (1991) berpendapat, individu yang berorientasi religius ekstrinsik
menganut ajaran agama secara lemah. Jika pelaksanaan ajaran agama
menghambat kebutuhan lainnya yang lebih penting, maka mereka cenderung
meninggalkan agamanya. Mereka tidak benar-benar menaati seluruh
keyakinan agamanya, tetapi hanya beberapa aspek yang mendatangkan
keuntungan.
2.1.3. Aspek-aspek Orientasi Religius
Definisi yang dikemukakan Allport tentang orientasi religius dalam berbagai
karyanya, bukanlah merupakan sebuah ide tunggal. Allport telah
memperkenalkan sejumlah variabel yang secara konseptual terpisah, namun
berhubungan satu sama lain. Berdasarkan penafsiran Hunt
&
King (1969)ditemukan beberapa aspek yang berkaitan dengan masing-masing orientasi
1. Personal
vs
lnstitusionalPada individu dengan orientasi religius intrinsik, cenderung membatinkan
nilai-nilai ajaran agama secara personal, sebagai hal yang vital dan berupaya
mengusahakan tingkat penghayatan yang lebih mendalam. Sedangkan pada
individu dengan orientasi religius ekstrinsik, penghayatan agama hanya
bersifat institusional atau dalam konteks kelembagaan saja.
2. Unselfish vs Selfish
lndividu dengan orientasi religius intrinsik berusaha mentransendensikan
kebutuhan-kebutuhan diri sendiri. Sedangkan pada individu dengan orientasi
religius ekstrinsik, pemenuhan kebutuhannya erorientasi pada pemuasan diri
dan kepentingan pribadi.
3. lntegrasi vs Disintegrasi
Pada individu dengan orientasi religius intrinsik, makna-mal,na religius
terintegrasi dalam seluruh pandangan hidupnya. Sedangkan pada individu
dengan orientasi religius ekstrinsik, makna-makna religius tidak
terintegrasikan dalam keseluruhan pandangan hidupnya.
4. Kualitas keimanan
lndividu dengan orientasi religius intrinsik beriman dengan sungguh-sungguh
dan menerima keyakinan agama secara penuh tanpa syarat. Sedangkan
pada individu dengan orientasi religius ekstrinsik, keimanan dan keyakinan
5. Pokok vs Instrumental
Pada individu dengan orientasi religius intrinsik, agama dijadikan tujuan
pokok dan akhir. Sedangkan pada individu dengan orientasi religius
ekstrinsik, agama hanya dijadikan ala! (instrumen) pemenuhan
kebutuhannya.
6. Asosiasional vs Komunal
Keterlibatan religius pada individu yang berorientasi religius intrinsik
dilakukan demi pencarian nilai-nilai religi yang mendalam. Sedangkan pada
individu yang berorientasi religius ekstrinsik, keterlibatan religius dilakukan
demi sosiabilitas dan status.
7. Keteratutan penjagaan perkembangan iman
22
Pada individu dengan orientasi religius intrinsik, penjagaan keimanan
dilakukan secara konsisten dan teratur. Sedangkan pada individu dengan
orientasi religius ekstrinsik, perhatian terhadap penjagaan keimanan bersifat
periferal.
2.2
Psychological Well Being
Secara umum, ilmu psikologi terlalu menekankan pada hal negatif individu,
seperti ketidakbahagiaan atau penderitaan daripada sebab dan konsekuensi
fungsi positif (positive functioning) yang ada pada diri individu (Diener, 1984
usaha untuk melihat manusia sebagai makhluk humanis yang mampu
mengontrol dirinya sendiri dan memiliki potensi-potensi positif dalam dirinya.
2.2.1. Definisi Psychological Well Being
Definisi psychological well being yang dikemukakan para ahli belum
mencapai satu kata sepakat. Definisi yang muncul bersifat tumpang tindih
antar satu dengan lain, tanpa ada kesamaan di antaranya. Adapun definisi
yang beredar selama ini ada dua. Definisi pertama berdasarkan pendapat
dari Bradburn (1969, dalam Ryff, 1989). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Bradburn untuk meneliti perubahan sosial pada level makro
(perubahan yang terjadi akibat tekanan politik, urbanisasi, pekerjaan dan
pendidikan), serta rujukan Bradburn pada buku terkenal karangan Aristotle,
Nicomachean Ethics, ia menerjemahkan psychological well being menjadi
happiness (kebahagiaan). Dalam Nicomachean Ethics dijelaskan bahwa
tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahgiaan
berdasarkan pendapat Bradburn berarti adanya keseimbangan antara afek
positif dan afek negatif.
Pendapat Bradburn ini ditentang oleh Waterman (1984, dalam Ryff, 1989).
Waterman merujuk pada kata yang sama dengan yang digunakan Bradburn
dari buku Nicomachean Ethics, "Eudaimonia", menerjemahkannya menjadi
pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman akan
dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang
membuat psychological well being-nya menjadi rendah, atau berusaha
memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well
being-nya menjadi meningkat. Sehingga, lndividu dengan psychological well
being berarti tidak hanya individu yang terbebas dari hal-hal yang menjadi
indikator mental negatif, akan tetapi mengetahui potensi-potensi positif yang
ada pada dirinya.
Ryff (1989) mengajukan konsep psychological well being yang mengacu
pada teori positive psychological functioning, teori kesehatan mental, dan
teori psikologi perkembangan. la berpendapat bahwa individu dapat
dikatakan memiliki psychological well being apabila ia mampu menerima
dirinya, mampu menjalin hubungan dengan individu Jain, memiliki
kemandirian, mampu menguasai lingkungan kehidupannya, memiliki tujuan
hidup, dan berupaya menjadi individu yang terus berkembang.
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa psychological
well being adalah adalah kondisi psikologis ideal yang dapat dicapai
seseorang berdasarkan hasil evaluasi terhadap pengalaman-pengalaman
hidupnya, yang terwujud dalam keenam dimensi yaitu kemandirian,
hubungan positif dengan orang lain, rnerniliki tujuan hidup, dan penerirnaan
diri yang baik.
2.2.2. Dimensi Psychological Well Being
Dirnensi-dirnensi psychological well being yang dikemukakan oleh Ryff (1989)
rnengacu pada teori positive psychological functioning (Maslow, Rogers,
Jung, dan Allport), teori perkernbangan (Erikson, Buhler, dan Neugarten), dan
teori kesehatan mental (Jahoda). Adapun keenam dirnensi psychological well
being yang dikernukakan Ryff (1989) adalah:
1. Autonomy (kernandirian)
lndividu rnarnpu mengarahkan dirinya (Self determination), mampu
rneregulasi perilakunya berdasarkan tuntunan dari dalarn dirinya, marnpu
melakukan evaluasi berdasarkan standar pribadi, dan merasa bebas
untuk melakukan keinginannya tanpa takut rnenentang norrna-norrna yang
berkernbang.
2. Environmental Mastery (penguasaan lingkungan)
lndividu rnarnpu rnernilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan kondisi dirinya, berpartisipasi secara aktif dalam aktivitas
lingkungan, marnpu rnernanipulasi dan rnengontrol lingkungan, mengubah
lingkungan secara kreatif rnelalui akti•;itas fisik dan mental, dan mampu
rnengambil peluang dan kesernpatan-kesempatan yang disediakan oleh
3. Personal growth (pengembangan pribadi)
lndividu senantiasa mengembangkan potensi dirinya, terbuka terhadap
pengalaman baru, terus tumbuh dan menentang tantangan-tantangan
yang dihadapi atau tugas-tugas perkembangan dalam berbagai tahapan
kehidupannya.
27
lndividu yang memiliki pribadi yang berkembang berarti menyadari
potensinya, memiliki kemampuan untuk berkembang secara
berkelanjutan, melihat kemajuan diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu,
berubah dengan cara yang efektif untuk menjadi lebih baik, dan terbuka
pada pengalaman-pengalaman baru.
4. Positive relation with others (menjalin hubungan baik dengan orang lain)
lndividu mampu merasakan kehangatan dan rasa percaya kepada
individu lain. Dalam perspektif perkembangan, selain mampu menjalin
hubungan hangat dengan orang lain (intimacy), juga mampu membimbing
dan mengarahkan individu yang lain (generativity).
lndividu dengan kemampuan menjalin hubungan dengan individu lain
berarti memiliki kemampuan untuk mencintai dan membina hubungan
interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya, memiliki perasaan
yang kuat akan empati terhadap sesama, memiliki persahabatan yang
5. Purpose in life (tujuan hidup)
lndividu yakin dan memahami akan adanya makna dan tujuan yang jelas
dari kehidupan yang dijalaninya, baik pada masa kini maupun masa
lampau. Tujuan hidup dapat diperoleh melalui pengikatan diri pada
nilai-nilai tertentu, perenungan dan kontemplasi diri, atau pada penghayatan
kehidupan beragama.
6. Self Acceptance (penerimaan diri)
Merupakan gambaran sentral dari kesehatan mental, dan sebagai
karakteristik dari aktualisasi diri, dan kematangan. lndividu dengan
penerimaan diri berarti memiliki sikap positif terhadap diri sendiri,
memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan
buruk, dan menilai positif kehidupan yang sedang dan telah dijalaninya.
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being
Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai psyc/Jologica/ well being
diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi psychological
well being, yaitu:
1. Faktor kepribadian
Para ahli berpendapat bahwa variabel kepribadian merupakan komponen
dari psychological well being. Hal ini ditunjukkan salah satunya dari
penelitian yang dilakukan oleh Costa dan McCrae pada tahun 1980 yang
30
Walaupun yang menjadi sumber kebahagiaan pada individu berbeda-beda,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua individu berusaha untuk
mencapainya. Kebahagiaan merupakan hal yang bersifat abstrak, dan
terletak di dalam jiwa, yang pada sebagian orang seperti halnya emosi
lainnya, dapat muncul ke permukaan dan terindikasi dalam beberapa perilaku
nyata. Salah satu indikasi kunci dari perasaan bahagia adalah kesejahteraan
psikologis atau psychological we/I-being.
Jiwa yang sejahtera menggambarkan seberapa positif seseorang menghayati
dan menjalani fungsi-fungsi psikologisnya. Peneliti psychological
well-being, Ryff (1995) menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera
apabila ia tidak sekadar bebas dari tekanan atau masalah mental yang lain.
Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif terhadap dirinya dan
mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah hanyut oleh pengaruh
lingkungan. Tentu saja orang tersebut memiliki hubungan yang positif
dengan orang lain, menyadari bahwa hidupnya bermakna dan bertujuan. la
merasakan dirinya tetap berkembang dan bertumbuh, serta mampu
menguasai lingkungannya.
Salah satu aspek yang diasumsikan memberi nilai pada kesejahteraan
psikologis seseorang adalah agama atau religi. Agama tidak dapat lepas dari
diakui oleh penganutnya dapat menimbulkan kebahagiaan jiwa tersendiri,
yang berbeda dengan kebahagiaan yang timbul karena aspek materi
misalnya kekayaan. Kebahagiaan yang berkaitan dengan masalah spiritual
diakui sebagai kebahagiaan yang bersifat hakiki.
Terlepas dari itu, cara pandang terhadap agama atau dalam tataran ilmu
psikologi dikenal dengan istilah orientasi religius tidaklah sama pada setiap
individu. Sebagian menganggap agama sebagai penggerak utama dalam
segala aspek kehidupannya, sebagian lagi menggunakan agama sebagai alat
untuk memenuhi dorongan sosialnya, bahkan sebagian lainnya memilih untuk
tidak melibatkan diri dengan agama. Masing-masing orientasi religius ini
memberi nilai tersendiri terhadap kondisi psikologis individu, Karena itu, dapat
diasumsikan bahwa orientasi religius seseorang memiliki dampak terhadap
psychological well being.
Hubungan antara orientasi religius dengan psychological! well being
32
Hubungan Antara Orientasi Religius dengan Psychological Well Being
lntrinsik
Orientasi Religius
Ekstrinsik
Psychological
Well Being:
Self Acceptance
Positive relation with others
Autonomy
Environmental Mastery
Purpose in life
2.4
Hipotesis
Berdasarkan uraian di alas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah:
H1 : Ada hubungan yang signifikan antara orientasi religius dengan
psychological well being.
H0 Tidak ada hubungan yang signifikan antara orientasi religius dengan
BAB 3
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan l(uantitatif. Pendekatan penelitian
kuantitatif adalah penelitian yang informasinya atau data-datanya dikelola
dengan statistik. Hipotesis pada penelitian diuji dengan menggunakan
teknik-teknik statistik (Kountur. 2004 ). Menu rut Azwar (2005) penelitian dengan
pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal
atau angka yang diolah dengan metode statistika. Pada dasarnya.
pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial (dalam rangka
pengujian hipotesis) dan menyadarl<an kesimpulan hasilnya pada suatu
probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan pendekatan
kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompol< atau signifikansi
hubungan antar variabel yang diteliti.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif dengan
jenis penelitian Korelasional. Menurut Gay (dalam Sevilla, et al .. QYYセセI@
metode Deskriptif adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam
rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut
keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.
Sedangkan penelitian Korelasional adala<i penelitian yang dirancang untuk
menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu
populasi (Sevilla, et al., 1993). Menurut Azwar (2005), penelitian korelasional
adalah penelitian yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada satu
variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain
berdasarkan koefisien korelasi. Dengan penelitian korelasional, pengukuran
terhadap beberapa variabel serta saling hubungan diantara variabel-variabel
tersebut dapat dilakukan serentak dalam kondisi yang realistik. Studi
korelasional memu:igkinkan peneliti untuk memperoleh informasi mengenai
taraf hubungan yang terjadi, bukan hanyc; mengenai ada tidaknya efek
variabel satu terhadap variabel yang lain.
3.1.2. Definisi Variabel dan Operasional Variabel
Menu rut Kerlinger (2004 ), variabel adalah konstruk atau sifat yang diteliti.
Variabel terbagi ke dalam dua macam, yaitu variabel bebas (independent
variable) dan variabel terikat (dependent variable). Dalam penelitian ini, yang
merupakan variabel bebas adalah orientasi religius, sedangkan yang
36
1. Definisi operasional variable .orientasi religius adalah skor yang diperoleh
dari skala orientasi religius. Variabel orientasi religius terdiri dari dua
sub-variabel, yaitu:
a. Orientasi religius intrinsik adalah seseorang yang menginternalisasikan
seluruh keyakinan agamanya dalam perilaku sehari-hari, mengarahkan
seluruh sendi-sendi kehidupannya oleh nilai agama, memiliki
komitmen yang tinggi terhadap keimanan, menyesuaikan perilaku dan
motive personalnya dengan ajaran agamanya, bersikap matang dan
toleran dalam berhubungan dengan orang lain, dan menjungjung tinggi
nilai-nilai keagamaannya dan menempatkannya sebagai master
motive dalam menjalani kehidupannya.
b. Orientasi religius ekstrinsik adalah seseorang yang keyakinan
agamanya tidak terinternalisasi secara penuh dan hanya dipandang
sebagai alat pemuas kebutuhan lain yang dianggap lebih penting dan
media untuk mendapatkan kepentingan pribadi, tidak memiliki
komitmen yang jelas terhadap keimanan, menyesuaikan keyakinan
dan praktek agama dengan kepuasan dan motive personal, kurang
matang dan intoleran dalam berhubungan dengan orang lain.
2. Definisi operasional varibel psychological well being adalah skor yang
diperoleh dari skala Psychological Well Being. Variabel Psychological Well
a. Psychological Well Being aspek autonomy (otonomi) terkait dengan
kemandirian individu dalam ュ・ョェ。セ。ョゥ@ kehidupannya.
b. Psychological Well Being aspek environmental mastery (penguasaan
lingkungan) yang meliputi kemampuan individu untuk memilih dan
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan
dirinya.
c. Psychological Well Being aspek personal growth (pengembangan
pribadi), meliputi kemampuan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi dirinya secara berkesinambungan.
d. Psychological Well Being aspek positive relations with others
(hubungan positif dengan orang lain) yang terkait dengan kemampuan
seseorang untuk menjalani hubungan antar pribadi yang hangat,
memuaskan, salaing mempercayai, serta terdapat hubungan saling
memberi dan menerima.
e. Psychological Well Being aspek p1.;1pose in life (tujuan hidup) meliputi
keyakinan-keyakinan yang memberikan kepuasan bahwa terdapat
tujuan dan makna dalam hidupnya, baik pada masa lalu maupun yang
sedang dijalaninya kini
f. Psychological Well Being aspek self acceptance (penerimaan diri) adalah sikap positif seseorang terhadap dirinya, terkait dengan masa
3.2.
Pengambilan
s。ューセi@3.2.1. Populasi
38
Populasi adalah kelompok yang dijadikan sasaran generalisasi oleh peneliti
(Gay, 1976 dalam Sevilla, et.al., 1993). Sebagai suatu populasi, kelompok
subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karnkteristik-karakteristik bersama yang
membedakannya dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2005). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa S1 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Pemilihan mahasiswa sebagai objek penelitian dikarenakan mahasiswa
dinilai sebagai salah satu kalangan yang telah memiliki pandangan mengenai
orientasi religius yang cukup stabil. Usia minimal untuk menjadi mahasiswa
berada pada rentang usia remaja akhir. Pada rentang usia ini, umumnya
seseorang telah berada pada satu titik awal menuju kedewasaan, termasuk
kedewasaannya untuk menentukan orientasi religius yang sesuai dengan
dirinya. Pemilihan mahasiswa UIN Syarif hidayatullah Jakarta dinilai tepat
untuk mewakili komunitas muslim sesuai dengan sasaran penelitian ini.
3.2.2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Menurut Ferguson sampel adalah beberapa bagian kecil atau cuplikan yang
Fruchter (1978) data penelitian dapat dianalisa secara statistik jika suatu
distribusi frekuensi mendekati kurva normal dan jumlah subjek minimal 30
orang. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka peneliti mengambil sampel
minimal 30 orang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah tehnik incident sampling
(sampel kebetulan), dimana peneliti tidak secara khusus mempertimbangkan
siapa yang akan dijadikan responden dalam penelitiannya serta bagaimana
cara mengambilnya. Peneliti hanya mengambil sebagian dari populasi
sekenanya saja (Arikunto, 2003), yaitu 30 orang mahasiswa UIN syarif
Hidayatullah yang paling mudah dijumpai.
3.3.
Teknik Pengumpulan Data
3.3.1. Metode dan lnstrumen Penelitian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah self report dalam
bentuk kuisioner. Menu rut Feldman (1992) metode self report merupakan
metode menanyakan seseorang mengenai contoh tingkah lakunya. Metode
self report dengan kuisioner ini digunakan karena dinilai mampu menampikan
contoh tingkah laku yang akan diteliti. Selain itu, subjek terbantu untuk sejujur
mungkin menampilkan contoh tingkah lakunya, karena identitasnya tidak
40
jawaban yang diberikan oleh subjek kurang mendalam, dan tidak dapat
dilakukan probe lebih lanjut oleh peneliti.
lnstrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Skala Orientasi Religius
Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek oreintasi religius yang
dikemukakan oleh Hunt & King (1969) yang merujuk pada konsep orientasi
religius Allport. Adapun rincian butir item セ・イ、。ー。エ@ dalam blue print berikut ini:
Tabel 3.1
Blue Print skala Orientasi Religius
Item
No. lndikator · · · - - - · · Jumlah
Fav. Unfav
f--·
1. I nstitusional Personal vs 9*, 29*, 35* 1 O*, 30*, 36* 6
I
-· · · · - - - · - ---.---·---·--- -....
---1
2. Unselfish vs 13*, 49* 14*, 50* 4
Selfish
--··-· · -- - ·
3. lntegrasi vs 7*. 27*, 31 *, 8, 28, 32, 12
Disintegrasi 39*, 43*, 47* 40, 44*, 48*
4. Kualitas 1*,3,15*, 2*, 4*, 16* 6
keimanan '
5. Pokok vs 5*,11*,23 6*,12*,24* 6
Instrumental
6. Asosiasional vs 17*, 19*, 21*, 18, 20, 22*, 10
Komunal 41, 45* 42,46
Keteratu ran
7. penjagaan perkembangan 25*, 33*, 37* 26*, 34, 38* 6
iman
Total 25 25 50
[image:49.518.21.447.190.642.2]
2. The Scales of Psychological Well Being dari Ryff (1989)
lnstrumen ini terdiri dari 84 item untuk mengukur 6 dimensi dari psychological
well being, dimana masing-masing dimensi memiliki 14 item pernyataan.
Keenam dimensi ini dapat dioperasionalkan ke dalam tinggi rendahnya skor
yang diperoleh individu pada dimensi yang diukur. Skar tinggi bermakna
positif dan sl<or rendah bermakna negatif. Disamping sl<or total untuk tiap-tiap
dimensi, alat ini juga memungkinkan diperolehnya satu total sl<or akhir yang
merupal<an penjumlahan dari sl<or masing-masing dimensi yang al<an
menggambarl<an psychological well being subjel< secara umum. Adapun
rincian butir pernyataan terdapat dalam blue print beril<ut:
Tabel 3.2
Blue Print Skala Psychological Well Being
No. lndikator Item Jumlah
Fav. Unfav.
1. Autonomy 1*,3*,5,7,9,11 *.13 2*,4,6,8, 10, 12, 14 14
2. Environmental 15*,17,19,21*, 16*, 18* ,20*,22*, 14
Mastery 23*,25,27* 24*, 26,28
3. Personal Growth 29,31*,33*,35* 30* ,32* ,34,36*, 14
37* ,39* ,41 * 38* ,40* ,42*
4. Positive Relations 43,45*,47*,49* 44*,46*,48*,50*,
1:_/
with Others 51* 53* 55* 52, 54*,56*
... ' '
-5. Purpose in Life 57* ,59* ,6·1 *' 58,60*,62*,64*, 14
63* ,65,67' ,69 66*,68,70*
6. Self Acceptance 71,73*,75*,77* 79*,81,83 72,74*,76,78, 14
80*,82*,84
JUMLAH
42
42
84
42
lnstrumen yang disusun oleh Ryff ini memiliki 6 kategori jawaban yang
bersifat kontinum, mulai dari sangat tidak setuju, tidak setuju, agak tidak
setuju, agak setuju, setuju dan sangat setuju. Namun untuk kepentingan
penelitian ini, peneliti hanya menggunakgn empat kategori jawaban dengan
bobot masing-masing jawaban sebagai herikut:
[image:51.518.27.434.162.462.2]Tabel 3.3
Kategori Jawaban Skala Model Likert
JAWABAN FAVOURABLE(+) UNFAVOURABLE(-)
SS '
4
1
s
3
2.'ll
TS 2
3
STS
1
4·.
3.3.2. Hasil Uji Coba lnstrumer. Penelitian
Sebelum dilakukan penelitian sebenarnya, peneliti melakukan pengujian
validitas dan reliabilitas alat (try out) terhadap instrumen penelitian, dengan
menggunakan sampel yang tidak sesungguhnya, tetapi memiliki karakteristik
\
yang sama dengan sampel penelitian.
1. lnstrumen Orientasi Religius
Uji coba terhadap 50 item dari 'instrumen orientasi religius menghasilkan 38
Sedangkan 12 item lainnya tidak valid. Seluruh item valid digunakan sebagai
alat ukur penelitian. Adapun nomor-nomor item valid yang digunakan dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.4
Blue Print Revisi Skala Orientasi Religius
Item
Jumlah
I
No. lndikatorUnfav Fav.
---1
·-··-MMMMセ@ - · · · -·-·--MセᄋMᄋᄋMᄋ@
"""
________
1. Personal vs 9, 29, 35 10,30, 36
I nstitusional 6 I I
2. Unselfish vs 13,49 14, 50 4 I
Selfish
I
...
I
3. lntegrasi vs 7,27,31,39, 44,48 8
Disintegrasi 43,47 i
!
4. Kualitas 1, 15, 2,4, 16 5
I
keimanan
5. Pokok vs 5, 11 6, 12,24 5
1
Instrumental I
.
6. Asosiasional vs 17, 19, 21, 45 22 5
Komunal Keteraturan
7. penjagaan 25,33, 37 26, 38 5
perkembangan iman
Total 22 16 38
---· . ···---- セMMᄋMMMMM ··---
--·-Uji reliabilitas skala orientasi religius dilakukan dengan menggunakan Alpha
Cronbach. Dari uji reliabilitas tersebut, diperoleh koefisien sebesar 0,9130.
[image:52.518.22.450.143.556.2]45
I
.
!
E
1"[\
:i("'Mil lJff.l
M
[セ@
1rnN SYilfilF ll>iJilWW..JLUm
J/ilU\RTJ\
Uji reliabilitas skala orientasi religius dilakukan dengan menggunakan Alpha
Cronbach. Dari uji reliabilitas tersebut, diperoleh koefisien sebesar 0,9483.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa instrumen penelitian ini reliabel
untuk digunakan, karena menurut Singarimbun dan Effendi (2006), suatu
kuesioner dikatakan reliabel jika nilai Alpha Cronbach lebih besar dari 0,60.
3.4
Teknik Pengolahan Dan Analisa Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan analisa statistik, yaitu:
1. Statistik Deskriptif
Digunakan untuk mengolah gambaran umum responden. Analisis
deskriptif memberikan informasi mengenai sekumpulan data dan
mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis selanjutnya dengan
mencari Mean, Modus dan Mediannya.
2. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana yang digunakan
mampu mengukur apa yang ingin diukur (Kerlinger, 1998). Validitas suatu
butir pertanyaan dapat dilihat pada hasil output SPSS 11,0. Validitas butir
pernyataan dapat dilihat dari nilai Corrected Item-Total Correlation pada
3. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan
untuk
mengetahui keajegan, stabilitas, dankonsistensi suatu alat ukur dalam mengukur apa yang diukur (Kerlinger,
1998). Reliabilitas suatu konstruk veriabel dikatakan baik jika memiliki nilai
Cronbach's alpha> dari 0.60.
Menghitung reliabilitas digunakan analisa Cronbach's Alpha (Azwar,
2003), dengan rumus:
a
=
[-k
][1 -
L.Sj'_J
k-1 Sx'
a : Reliabilitas alpha
k : Jumlah belahan tes
Sj : Varian belahan j; j 1,2 ... k
Sx : Varian sko1ies
4. Analisis Regresi
Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini, digunakan analisa statistik
parametrik yaitu analisis regresi. Analisis regresi linier sering digunakan
untuk memprediksi variabel-variabel dependen. Selain itu juga analisis
regresi bertujuan untuk :
a. Mengukur kekuatan hubungan di;mtara variabel-variabel yang
3.5
Prosedur Penelitian
3.5.1. Tahap Persiapan
48
Pada tahap ini dilakukan penentuan varibel penelitian, perumusan masalah,
dan pelaksanaan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan
teori yang tepat mengenai variabel penelitian. Selanjutnya dilakukan
penyusunan instrumen penelitian dan dilalukan uji coba instrumen (try out)
untuk menghasilkan instrumen yang valid dan reliabel.
3.5.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap ini peneliti mulai melakukan penelitian dengan meyebarkan
instrumen kepada sampel yang telah ditentukan. Data yang diperoleh
kemudian dianalisa dan diolah sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran
Umum
Responden
Berikut ini akan diuraikan gambaran umum responden penelitian berdasarkan
jenis kelamin, usia, fakultas, dan semester.
4.1.1 Gambaran Umum Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, responden penelitian yang berjumlah 30 orang
[image:56.518.29.434.168.488.2]dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 4.1
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
--
-Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-Jaki 14 Orang 46.67% I
I
Perempuan 16 Orang 53.33%
Total 30 100%
Tabel di alas diketahui bahwa responden dalam penelitian ini 16 orang
(53.3%) berjenis kelamin perempuan, dan sisanya yaitu 14 orang (46.67%),
berjenis kelamin lak-laki.
51
Tabel 4.3
Distribusi Responden Berdasarkan Falcultas
Fakultas Frekuensi Persentase (%)
Tarbiyah 11 Orang 36.67%
Dakwah 10 Orang 33.33%
Syariah 5 Orang 16.67%
Psikologi 2 Orang 6.67%
FEIS 1 Ornng 3.33%
Ad ab 1 Orang 3.33%
Total 30 100%
Berdasarkan label di alas, responden berasal dari beberapa fakultas yang
berbeda, yaitu fakultas Tarbiyah sebanyak 11 orang (36.67%), fakultas
Dakwah sebanyakl 10 orang (33.3%), fakultas Syariah sebanyak 5 orang
(16.67%), fakultas Psikologi sebanyak 2 orang (6.67%), FEIS sebanyak 1
orang (3.33%), dan fakultas Adab sebanyak 1 orang (3.33%).
4.1.4 Gambaran Umum Berdasarkan Semester
Berdasarkan semester, responden penelitian yang berjumlah 30 orang dapat
Gambar 1
Scatterplot Orientasi Religius
Normal Q-Q Plot of Orientasi Religius
hPセMMMMMMMMMMMMMMMLLMMMZZP@
160
'"
• MO
セ@
>
1il
fj '"
z
n '"
•
u
ii
"'
w
'"
"'
"'
Observed Value
"
-., u"
''° "'
150
'"
Gambar di atas memperlihatkan bahwa sebaran data variabel orientasi
religius berada di sekitar garis uji yang mengarah ke kanan alas. Dengan
demikian, data tersebut dapat dikatakan normal.
Sedangkan hasil uji normalitas pada skala psychological well being diperoleh
angka probabilitas sebesar 0.804 dengan taraf signifikansi alpha 5%.
Dengan demikian diketahui bahwa nilai probabilitas 0,964 > 0,05, dengan
mean sebesar 140.30 dan standar deviasi (SD) sebesar 13.84, maka dapat
disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Hal ini juga terlihat dari gambar
[image:58.518.34.442.111.488.2]55
Gambar 2
Scatterplot Psychological Well Being
Normal Q-Q Plot of Psy Well Being
200
セ@ 180
セ@
;;; E
セ@ 160
200 220
Observed Value
Gambar di atas memperlihatkan bahwa ;:ebaran data variabel psychological
well being berada di sekitar garis uji yang mengarah ke kanan atas. Dengan
demikian, data tersebut dapat dikatakan normal.
4.2.2 Uji Homogenitas
Uji homogenitas dig:.makan untuk mengetahui variabilitas mean dari data
dalam suatu kelompok. Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan
clengan menggunakan rumus One-Way /\nova. Adapun hipotesis yang dapat
diajukan adalah :
Ho
= Varians data bersifat homogen [image:59.518.37.437.122.497.2]Pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan menggunakan probabilitas,
yaitu apabila probabilitas > 0,05, maka Ho diterima. Sedangkan, apabila
probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak.
Hasil uji homogenitas dengan menggunakan rumus One-Way Anova dapat
dilihat dari tabel berikut:
Tabel 4.6
Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
Levene
Statistic rlf1 df2 Sia.
Psy Well Being 1.351 1 28 .255
Orientasi Religius .574 1 28 .455
Tabel di atas mernperlihatkan hasil uji homogenitas data pada skala orientasi
religius diperoleh angka