Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi) Skripsi
diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Disusun oleh:
Shohibul Munir
105043201344
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAHZAB DAN HUKUM
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Terhadap Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi) telah diujikan dalam Sidang Munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 September 2010 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Perbangdingan Madzhab Hukum.
Jakarta,22 September 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002
(...)
Pembimbing I Drs. Abdul Basiq Djalil. SH., MA. NIP. 195003061976031001
(...)
Pembimbing II Sri Hidayati. M.Ag
PROSEDUR MEDIASI)
Skripsi diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
Persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Shohibul Munir
NIM:105043201344
Di bawah Bimbingan,
Pembimbing I Pembimbing II
Drs.Abdul Basiq Djalil,SH.,MA Sri Hidayati, Mag
NIP:195003061976031001 NIP:197102151997032002
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAHZAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan
berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan
penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia
yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri
tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata
beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang
menjadi umat yang terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa kepada
keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi
pengikut setia hingga akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya
orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril
maupun spirituil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang di
harapkan karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan
yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah.Untuk
itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat
Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku dekan
fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
kepada keluarga, Ayahanda Wisnu Supardjo dan ibunda Sri Anteng
yang telah mencurahkan seluruh tenaga dan pengorbanan serta do’a
yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat. Juga teruntuk
kakak saya yang saya idolakan Rina Muasaroh SE. yang telah
memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
3. Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA selaku ketua Program Studi
Perbandingan Mahzab dan Hukum, Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag
selaku sekretaris Program Studi Perbandingan Mahzab dan Hukum
yang telah meluangkan waktunya untuk mengarahkan segenap
aktivitas yang berkenaan dengan jurusan.
4. Dr. H. Abdul Basiq Djalil, MA dan ibu Sri Hidayati selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat
yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan sebaik-baiknya.
5. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bapak Drs. H. Masrum, MH,
Bapak Nuheri SH., Bapak Drs.Cece Mustofa yang telah membantu
penulis dalam penelitiannya di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
warna dalam corak khazanah keilmuan yang berbeda-beda.
7. Kepada teman-teman Fakultas syariah dan Hukum angkatan 2005
terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan
inspirasi untuk tetap berjuang dalam hidup dan Bunga Rahayu
Permatasari sumber inspirasiku
Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan
pertolongan Allah SWT sehingga penulis dapat memberikan
kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. semoga penulis mendapat
pencerahan sehingga ilmu yang di anugerahkan Allah SWT tidak
sia-sia dan dapat diamalkan seta mampu menyampaikan kebenaran
kepada umat manusia sehingga dapat menerangi kebodohan yang
selama ini terjadi. Amin.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Jakarta: 21 Mei 2009
( Penulis)
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah ... 8
C. Perumusan Masalah ... 9
D. Tujuan dan Manfaat penelitian ... 9
E. Metode Penelitian ... 10
F. Review Studi Terdahulu ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Kekuasaan Kehakiman ... 17
B. Perundang-undangan di Indonesia ... 23
C. Tinjauan Umum Tentang Mediasi ... 25
D. Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama ... 34
v
B. Kewenangan Khusus ... 55
C. Visi dan Misi ... 56
BAB IV RESPON PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT A. Keterkaitan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Terhadap Peraturan Mahkamah Agung no.1 tahun 2008... 57
B. Peranan Hakim sebagai Mediator dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 62
C. Peranan mediator Non Hakim dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan agama Jakarta Pusat ... 65
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 67
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasar pada UUD 1945 dan
sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip negara hukum adalah
adanya jaminan penyelenggaraan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya guna menegakkan hukum dan
keadilan. Karena adanya prinsip tersebut maka jaminan penyelenggaraan
kehakiman telah diatur dalam UU No.4 tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang di dalamnya terdapat 5 pelaksana kekuasaan kehakiman di
bawah Mahkamah Agung, yakni Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan
Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Mahkamah Konstitusi.1
Indonesia adalah negara yang mayoritas adalah umat muslim maka
masalah-masalah yang timbul tidak jauh dari masalah-masalah hukum Islam yang telah di
khususkan oleh Undang-Undang dalam ruang lingkup Pengadilan Agama yang
mengatur urusan umat Islam di Indonesia maka sangat menarik untuk membahas
sepak terjang dunia Peradilan Agama di Indonesia. Pengadilan Agama adalah salah satu diantara peradilan khusus di Indonesia, dua peradilan khusus lainnya
adalah Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan
1
Abdul Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group Jakarta, 2006), h.13.
khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini Pengadilan Agama hanya
berwenang dibidang perdata tertentu saja, yaitu dalam perkara perdata Islam
tertentu dan hanya untuk orang yang beragama Islam di Indonesia, perkara
perdata yang menjadi wewenang Pengadilan Agama hanya menangani
masalah-masalah perkara perceraian, pembagian harta, wakaf, dan lain sebagainya. Pada
akhir-akhir ini semakin terdengar kritikan-kritikan terhadap kinerja badan
Pengadilan di Indonesia. Proses penyelesaian perkara di anggap sangat lambat,
membuang waktu, mahal, dan berbelit-belit. Semakin lama para pencari keadilan
tidak percaya pada kinerja Pengadilan. Salah satu masalah penting yang di hadapi
oleh badan Peradilan Indonesia adalah lambatnya proses penyelesaian perkara di
Pengadilan, antara lain dengan menumpuknya perkara di Mahkamah Agung RI.
Dengan penyelesaian perkara 8.500 setiap tahun sedangkan penerimaan dalam
jumlah yang hampir sama, dapat di perkirakan bahwa penumpukan perkara di
Mahkamah Agung tidak akan terselesaikan dengan banyaknya perkara Kasasi dan
Peninjauan Kembali.2
Didalam beracara di Pengadilan terdapat prosedur pelaksanaan yang telah
diatur baik dalam pasal 130 HIR yang di gunakan di pulau Jawa dan Bali maupun
dalam Pasal 154 RBG yang digunakan di luar pulau Jawa yang mendorong para
pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifikasikan dengan
2
cara mediasi karena pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di
Pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi penumpukan
perkara yang di ajukan ke pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan
kinerja atau fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian perkara.3
Sedangkan prosedur mediasi atau upaya perdamaian telah lebih dahulu
dilakukan oleh negara-negara yang lain seperti Amerika Serikat, Srilanka,
Philippina, China, Korea Selatan, Hongkong, Australia, Singapura, dan Jepang.
Di negara Amerika Serikat kedudukan dan keberadaan mediasi sebagai lembaga
penyelesaian sengketa telah didukung secara formal oleh Hukum positif, berupa
Dispute Resolution Act yang dikeluarkan pada saat Presiden Jimmy Carter pada
tanggal 12 Februari tahun 1980, berbagai macam sengketa dapat di mediasikan
baik jenis sengketa yang bersifat umum maupun jenis sengketa yang bersifat
khusus seperti sengketa bisnis dan sengketa perceraian.4
Sedangkan di negara Srilanka telah diundangkan Mediation Board Act
(Komisi Badan Mediasi) pada tahun 1988 yang meletakan pengawasan terhadap
para penyedia jasa dibawah komisi khusus yang ditunjuk oleh presiden dan
Komisi ini terdiri atas lima orang tiga diantaranya harus berpengalaman di dunia
Pengadilan setingkat Mahkamah Agung atau Peradilan Tinggi, diberlakukan pula
mediasi sebagai upaya wajib yang harus ditempuh para pencari keadilan sebelum
3
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT.raja Grafindo Persada,2002), h.34.
4
menempuh upaya Pengadilan (Compulsory Mediation atau Primary
Iurisdiction).5
Lain halnya di negara Philippina secara tradisional Mediasi telah dikenal
melalui tradisi penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kooperatif di
tingkat pedesaan (Barangay atau Barrio) pelembagaannya didorong oleh
keinginan untuk mengatasi penumpukan serta kemacetan administrasi perkara di
Pengadilan yang menimbulkan penurunan kualitas keadilan, dan pelembagaan
tersebut dilakukan oleh pemerintah Philippina melalui Presidential Decree
Philippina Nomor 1508 tanggal 11 juni 1978, yang dikenal dengan”Katarungang
Pambarangay Law atau Barangay Justice law”. Adapun kewenangan yang
dimilikinya adalah menyelesaiakan seluruh jenis sengketa perdata dan pidana
dengan ancaman hukuman ringan.6
Sedangkan Di negara China sejak tahun 1949 sistem mediasi China telah
diformalkan dalam berbagai bentuk pedoman dan instruksi. Pada tahun 1982
konstitusi China secara tegas menyebutkan pendirian Komisi Mediasi Rakyat
(People Mediation Committees) di wilayah perkotaan maupun di pedesaan,dan
salah satu fungsi mediasi rakyat disebutkan melaksanakan upaya-upaya
penengahan (to Mediate) sengketa Perdata (Civil Dispute). Lain halnya di Negara
Australia di negara ini pengembangan mediasi baru muncul belakangan bila
dibandingkan dengan negara Amerika Serikat atau Korea Selatan, akan tetapi
5
Ibid. h.3.
6
dalam waktu singkat dapat menandingi kemajuan yang dicapai negara lain bahkan
sekarang sudah hampir sampai tahap konsolidasi. Mediasi dikelola dalam satu
wadah yang dinamakan Centre for DisputeResolution yang didirikan pada tahun
1988 yang bernaung dibawah University of Technology, Sidney bekerja sama
dengan faculty ofLaw and Legal practice and Bussines. Pada prinsipnya lingkup
mediasi yang dikembangkan di negara Australia tidak jauh berbeda dengan
mediasi yang duikembangkan oleh negara Amerika Serikat, akan tetapi bila
perbandingannya termasuk dengan mediasi di Jepang dan Korea Selatan maka
Australia mengatur sisitem mediasi yang berkoneksitas dengan Pengadilan
(mediation Connected to the Court) yang pada umumnya bertindak sebagai
mediator adalah pejabat Pengadilan, Namun pada dasarnya selain fungsi
pelembagaan mediasi sebagai penengahan masalah secara kekeluargaan tapi juga
berfungsi sebagai instrumen penyelesaian masalah penumpukan perkara di
Pengadilan.7
Untuk itu di negara Indonesia melakukan studi banding ke negara-negara
tersebut untuk memaksimalkan proses mediasi di Indonesia agar tercapai sebuah
mediasi yang efektif, sebelum Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008
ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebelumnya telah ada aturan mengenai dasar
hukum mediasi yaitu HIR pasal 130 dan Rbg pasal 154 yang telah dijelaskan
diatas kemudian dikeluarkannya SEMA No.1 tahun 2002 Sedangkan pada tahun
2003 Mahkamah Agung mengeluarkan Suatu Peraturan yang mengatur tentang
7
mediasi yaitu Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003 yang mengatur
tentang prosedur mediasi yang harus dilakukan oleh lembaga Peradilan. Namun
dalam prakteknya di lapangan masih terdapat banyak kendala dalam pelaksanaan
PERMA tersebut, oleh karena itu setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur
mediasi di pengadilan yang berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung No.2
tahun 2003 ternyata ditemukan berbagai kendala atau masalah yang timbul dari
peraturan Mahkamah Agung tersebut.sehingga peraturan tersebut harus perlu di
revisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi terkait dengan proses
berperkara di Pengadilan, maka dari itu Mahkamah Agung mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang prosedur Peraturan
Mahkamah Agung mediasi sebagai jawaban pemecahan masalah yang timbul dari
No.2 tahun 2003. Dalam tersebut diatur tentang prosedur mediasi dan
menjelaskan prosedur sertifikasi bagi calon mediator untuk melakukan mediasi di
dalam lembaga peradilan.8
Mediasi adalah salah satu diantara sekian banyak penyelesaian sengketa
(Dispute Settlemen) yang dikenal di banyak tempat dalam berbagai kurun waktu
atu dapat dilihat sebagi salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar Pengadilan
(non Litigasi) yang merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian
(Alternative Dispute Resolution) akan tetapi juga berupa mediasi Peradilan (Court
8
Mediation). Mediasi juga dapat berupa mediasi modern tetapi juga dapat berupa
mediasi tradisional (Tradisional Mediation).9
Bentuk-bentuk Penyelesaian sengketa sebagaimana yang diungkapkan
diatas seperti yang diungkapkan oleh Veronica Taylor dan Michael Pryles
dalam”Dispute Resolution in Asia”mengandung apa yang dinamakan “The
Culture of Dispute Resolution in Asia”(Taylor & pryles,2002:1). Bentuk-bentuk
penyelesaian seperti ini didasarkan pada nilai-nilai budaya lokal yang berlaku
dalam masyarakat yang dapat disebut dengan prinsip etika yang mendasari
penyelesaian sengketa tersebut. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
penulis Jepang Yoshiro Kusano dengan istilah ”Compromise Techniques”atau
jalan damai sebagai terjemahan istilah dari Jepang yaitu’WAKAI”.10
Oleh karena itu berdasarkan studi awal penulis mengenai masalah
tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih dalam bentuk
skripsi berjudul ”RESPON PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
TERHADAP PERATURAN MAHKAMAH AGUNG No.1 TAHUN 2008
TENTANG PROSEDUR MEDIASI” karena PERMA ini merupakan peraturan
yang cukup baru di putuskan pada tanggal 1 Juli tahun 2008 maka penulis
membahas mengenai respon atau tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
dalam melaksanakan aturan ini apakah telah sesuai dengan yang di cita-citakan
9
Abdurrahman, Etika Mediasi dalam Mediasi Syariah dan Mediasi Konvensional,Makalah disampaikan pada acara pelatihan Hakim Agama di Pusdiklat MA, Mega mendung,26 Maret 2009. h.1.
10
dan juga dikarenakan Pengadilan Agama Jakarta Pusat menjadi objek
perkara-perkara persidangan internasional yang melibatkan WNI diluar negeri bahkan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat beberapa kali di jadikan kunjungan Hakim
Australia dan Malaysia oleh karena itu penulis mengangkat Pengadilan Agama
Jakarta Pusat sebagai objek kajian penelitian karena Pengadilan Agama Jakarta
Pusat merupakan tolok ukur dari Pengadilan Agama Di wilayah DKI Jakarta
sehingga lebih banyak hal yang bisa penulis kontribusikan dalam penulisan
skripsi ini kepada pembacanya.11
B. Pembatasan Masalah
Mengingat intepretasi hukum merupakan sesuatu yang sangat luas dan
kompleks maka untuk mendapatkan pembahasan yang lebih efektif dan objektif
penulis batasi permasalahan yang meliputi sebagai berikut:
1. Respon Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap pelaksanaan
PERMA No.1 tahun 2008
2. Peranan mediator non hakim sebagai mediator sesuai Peraturan Mahkamah
Agung No.1 Tahun 2008.
3. Fungsi Hakim sebagai mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
11
C. Perumusan Masalah
Sesuai keberadaan suatu peraturan mestinya dalam pelaksanaan peraturan
Mahkamah Agung no.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi harusnya dapat
lebih di efektifkan dan lebih memudahkan jalur mediasi kasus para pihak. Dalam
kenyataannya pelaksanaan mediasi di maksud dalam wilayah pengadilan agama
belumlah terlihat efektif.
Rumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1. Bagaimana respon Pengadilan Agama Jakarta pusat terhadap pelaksanaan
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008?
2. Bagaimana peranan Mediator non Hakim dalam proses mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta pusat?
3. Bagaimana fungsi dan peranan Hakim sebagai Mediator dalam proses mediasi
di Pengadilan Agama Jakarta Pusat telah dilakukan sesuai PERMA No.1
Tahun 2008?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah
1. Untuk Mengetahui respon Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap
pelaksanaan Peraturan mahkamah agung No.1 Tahun 2008.
2. Untuk Mengetahui bagaimana peranan Mediator non hakim di Pengadilan
3. Untuk Mengetahui Bagaimana fungsi dan peranan Hakim sebagai
mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Adapun manfaat dari penulisan masalah ini adalah:
1. Kalangan pribadi untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang
hukum dalam wilayah Pengadilan Agama.
2. Kalangan Akademis, untuk menambah perbendaharaan keilmuan dalam
masalah mediator dalam Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
3. Kalangan umum, untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat
dalam masalah hakim sebagai mediator dalam Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
E. Metodologi Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bahan-bahan
yang berhubungan dengan skripsi ini. Adapun metodologi penelitian yang
digunakan yaitu dengan melakukan:
1. Penelitian Kepustakaan (library research)
Dalam penelitian kepustakaan ini penulis melakukan pengumpulan
bahan-bahan dan data-data yang berkaitan dengan skripsi ini. Bahan-bahan
dan data tersebut penulis mendapatkannya dari bermacam-macam buku,
artikel, literatur dan data dari internet yang berhubungan dengan skripsi yang
di bahas, lalu penulis mempelajarinya dan menganalisis data tersebut maka
2. Penelitian Lapangan (field research)
Dalam melakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan
bahan-bahan atau data-data dengan menggunakan tekhnik wawancara mendalam
(deep interview) dengan Humas dan Mediator dalam Pengadilan Agama di
Jakarta Pusat sebagai objek penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan
data-data langsung atau primer.
3. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data Kualitatif, yakni dengan
sebuah pemaparan dan penjelasan terhadap masalah yang diangkat sehingga
pada akhirnya akan membangun kesimpulan-kesimpulan dari permasalahan
yang ada.
4. Sumber Data
Sumber data primer, yakni bahan-bahan hukum yang bersifat
mengikat seperti: UU 1945, PERMA No.1 Tahun 2008,
Sumber data sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer misalnya: data-data yang di peroleh dari ilmu hukum,
Undang-Undang, hasil penilitian, hasil karya-karya ilmiah dan data-data lain yang
masih relevan dan dapat menunjang akan penelitian ini.
Sumber hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus,
ensiklopedia, dan bahan pelengkap lainnya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua tehnik untuk
mengumpulkan data, yakni dengan studi pustaka (library research) dan studi
dokumentasi (field research) tentang prosedur mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
6. Analisis Data
Penulis mengolah data dengan metode deskriptif-kualitatif dan
komparatif, yakni menyajikan dan menggambarkan data secara ilmiah tanpa
melakukan suatu manipulasi.. Penulis akan menganalisis mengenai respon
Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang pelaksanaan mediasi.
7. Teknik Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis sepenuhnya menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga tidak keluar dari peraturan yang ada.
F. Review Studi Terdahulu
Adapun studi pendahuluan dari skripsi ini adalah:
1. Eksistensi Kompilasi Hukum Islam bagi Para Hakim di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat dalam Memutus Perkara Perdata yang ditulis Nurma
leni/36/SJAS/2004
Skripsi ini membahas mengenai masalah Kompilasi Hukum Islam bagi
hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai kasus-kasus perdata,
oleh hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam menangani kasus
perdata. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang penulis bahas adalah pada
skripsi ini hanya memfokuskan pada Kompilasi Hukum Islam yang di
aplikasikan oleh Hakim dalam memutus kasus-kasus perdata di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat namun tidak membahas bagaimana proses mediasi
setelah Peraturan Mahkamah Agung No.l tahun 2008 dan bagaimana
prosedur hakim yang dapat menjadi mediator dalam kasus-kasus perdata.
2. Kedudukan Hakim dan Hakamain dalam Perkara Syiqaq di Pengadilan
Jakarta Timur yang ditulis oleh Sofi Rahmawati/51/SJAS/2004
Skripsi ini membahas mengenai masalah hakim dan hakamain dalam
mediasi di pengadilan Agama Jakarta Timur dalam perkara syiqaq serta
unsur-unsur yang terdapat dalam masalah proses pengadilan dalam
mengadili perkara syiqaq saja ada sidang pra-peradilan.
Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang penulis angkat adalah bahwa
dalam skripsi ini sudah tidak relevan dan tidak up-date lagi dalam
menangani masalah hakim hakam-ain atau mediator dalam pengadilan
Agama setelah dikeluarkannya PERMA No.l tahun 2008 mengenai prisedur
mediasi dalam pengangkatan mediator dalam perkara di Pengadilan Agama.
3. Kewenangan Hakim Pengadilan Agama dalam pemberian nasehat dan
bantuan hukum kepada pencari keadilan yang ditulis oleh Dede
Di dalam skripsi ini hanya membahas fungsi dan unsur-unsur apa saja yang
dilakukan oleh hakim dalam memberikan bantuan dan nasehat kepada
masyarakat dan membahas sejauh mana kewenangan hakim dalam mengadili
persidangan.
Perbedaan skripsi yang penulis bahas dengan skripsi ini adalah dalam
kewenangan hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara di
pengadilan tanpa memberikan keterangan tentang fungsi hakim sebagai
mediator dalam prapengadilan setelah dikeluarkannya PERMA No.l tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi karena dalam PERMA tersebut Hakim
terdapat criteria hakim dan syarat-syarat hakim yang dapat menjadi
mediator karena mempunyai tambahan kewenangan dalam mediasi di
persidangan. Dalam penulisan skripsi yang berjudul "RESPON
PENGADILAN JAKARTA PUSAT TERHADAP PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG No.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR
MEDIASI“ dalam hal ini penulis menjelaskan mengenai tinjauan respon
apa yang ditanggapi oleh pengadilan Agama di Jakarta pusat sebagai
jawaban atas berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No.l tahun 2008
tentang prosedur mediasi dalam wilayah pengadilan Agama di Jakarta
Pusat.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi masalah ke dalam beberapa
memperjelas dan mempertajam arah pembahasan materi yang sedang diteliti.
Adapun sistematika perumusan dari isi ringkasan bab demi bab dalam skripsi ini.
Bab Pertama : Membahas masalah latar belakang masalah di ambilnya judul ini dan penulis membatasi penulisan ini dengan pembatasan dan perumusan
masalah sehingga dapat membatasi dan merumuskan hal-hal yang akan penulis
bahas dalam skripsi ini sehingga tercapailah tujuan dan manfaat penelitian dari
tulisan skripsi ini adapun penulisan ini diperoleh data melalui tinjauan pustaka
dengan tekhnik penulisan menggunakan metode (jenis penulisan, pengumpulan
data, dan analisa data) dan di akhiri sistematika penulisan.
Bab Kedua: Membahas tentang kedudukan lembaga Pengadilan Agama dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia sehingga dapat diketahui unsur-unsur
peradilan agama, pengertian umum Mediasi dan mediator dan persyaratan untuk
menjadi mediator menurut Peraturan Mahkamh Agung No.1 tahun 2008 dan
prosedur mediasi di Pengadilan Agama Jakarta pusat, sehingga dapat mengetahui
sistematika peradilan dan prosedur mediasi di Indonesia.
Bab Ketiga: Dalam bab ini penulis membahas mengenai biografi di pengadilan Agama Jakarta pusat agar dapat spesifik karena Pengadilan Agama
Jakarta pusat adalah sebagai objek kajian dalam skripsi ini sehingga dapat di
ketahui apa saja kewenangan umum, kewenangan khusus, struktur organisasi
serta visi dan misi pengadilan Agama Jakarta pusat sehingga dapat diketahui
secara objektif tentang apa saja yang terdapat dalam pengadilan Agama Jakarta
Bab Keempat: Dalam bab ini penulis membahas tentang apa saja respon yang diutarakan oleh Pengadilan Agama Jakarta pusat dalam menanggapi
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang prosedur
mediasi baik dalam pelaksanaannya pasca dikeluarkannya Peraturan Mahkamah
Agung tersebut aturan pelaksanaanya apakah telah efektif di lakukan dalam
proses mediasi dalam Pengadilan Agama dan membahas mengenai peranan
Hakim sebagai mediator dan mediator non Hakim sehingga di ketahui
aplikasinya dalam pengadilan Agama Jakarta pusat dalam menangani
masalah-masalah perkara perdata.
A. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan, merupakan terjemahan dari kata power yaitu kekuatan atau
bisa berarti Authority :wibawa, hak untuk bertindak, ahlu dan wewenang;
strength: kekuatan, tenaga, dan daya; and control, sedangkan kehakiman, berasal
dari kata Hakim dan merupakan terjemahan dari kata judge atau justice yang
sering di artikan sebagai Hakim atau Peradilan. Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka diperlukan adanya
jaminan penyelenggaraan kekuasaan dan dalam usaha memperkuat prinsip
kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai tuntutan reformasi di bidang hukum
telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No.14 tahun 1970 Tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan Undang-Undang No.35 tahun
1999 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.1
Melalui perubahan Undang-Undang No.14 tahun 1970 Tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut telah diletakan kebijakan bahwa segala
urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut tekhnik yustisial maupun
struktur organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di
1
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam bingkai reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008). h.137.
bawah kekuasaan Mahkamah Agung. kebijakan ini harus dilaksanakan paling
lambat lima tahun sejak di undangkannya Undang-Undang No.35 tahun 1999
Tentang Kekuasaan Pokok Kekuasaan Kehakiman.2
Sejak Tahun 1948 hingga sekarang ada 4 Undang-Undang yang mengatur
tentang kekuasaan kehakiman yaitu:
1. Undang-Undang No.19 tahun 1948 Tentang Susunan dan Kekuasaan
Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan.
2. Undang-Undang No.19 tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
3. Undang-Undang No.14 tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.35 tahun
1999 Tentang Ketentuan Pokok Kekluasaan Kehakiman..
4. Undang-Undang No.4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ( kecuali
daerah Nangggroe Aceh Darussalam ada kekhususan tersendiri dengan
Undang-Undang No.44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan
provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan Undang-Undang No.18 tahun 2001
Tentang otonomi khusus bagi provinsi daerah istimewa Aceh sebagai provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.3
2
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dalam tata Peradilan Negara (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003),h.157.
3
Dalam menegaskan tentang pemisahan kekuasaan atau pembagian
kekuasaan menurut Undang-Undang 1945 terdapat tiga macam pemisahan
kekuasaan atau sering disebut doktrin, trias politica tersebut adalah kekuasaan
pemerintah negara (pasal 4 dan 5), Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 19-22), dan
kekuasaan kehakiman (pasal 24-25.Namun demikian di dalam UUD 1945 itu
kekuasaan negara tidak hanya terdistribusi tiga macam melainkan enam macam,
yaitu:
a. Kekuasaan menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis besar haluan negara
yang diselenggarakan oleh MPR ( Majelis Pemusyawaratan Rakyat ).Menurut
penjelasan pasal 1 dan 3 MPR adalah penyelenggara negara yang tertinggi.
b. Kekuasaan pemerintah negara diselenggarakan oleh presiden. Presiden adalah
kepala kekuasaan tertinggi.
c. Kekuasaan pertimbangan oleh Dewan Pertimbangan Agung.
d. Kekuasaan membentuk Undang-Undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
e. Kekuasaan pemeriksaan keuangan negara dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK)
f. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan
kehakiman lainnya.4
4
Menurut Miriam Budiarjo (1992:228) dalam trias politika baik dalam
pengertian pemisahan kekuasaan maupun dalam pengertian pembagian
kekuasaan, prinsip yang dipegang adalah di dalam negara hukum kekuasaan
yudikatif bebas dari campur tangan badan Eksekutif. Untuk mewujudkan
kekuasaan kehakiman sebagaimana di maksud oleh UUD 1945,
perkembangannya mengalami pasang surut. Hal itu berhubungan dengan politik
hukum yang diterapkan.5
Seperti yang telah kita ketahui bahwa ketiga lingkungan peradilan
(Agama, Militer, Tata Usaha Negara) oleh penjelasan Undang-Undang No.14
tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
kini oleh Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak
berlaku lagi, disebut peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara khusus
yang ditentukan oleh peraturan Perundang-undangan.Pengadilan Agama
misalnya: mengadili perkara-perkara khusus yang di tentukan oleh
Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
Peratuaran Pemerintah (PP) No.45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura serta Peraturan
Pemerintah (PP) No.28 Tahun 1989 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.6
Penyebutan Peradilan Khusus oleh penjelasan Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman itu tidaklah dimaksudkan atau mencari keadilan melalui
Peradilan-peradilan itu, penamaan itu hanyalah sekedar menunjukan perbedaan
ketiga lingkungan peradilan itu dengan peradilan umum yang mempunyai
wewenang yang lebih luas dan umum baik mengenai perdata maupun pidana.
Karena luasnya wewenang itu peradilan umum dapat mengadakan kekhususan
pula dalam tubuhnya. Dengan berpuncak dan berada dibawah pengawasan
Mahkamah Agung, keempat lingkungan peradilan itu melakukan kekuasaan
Kehakiman dalam negara Republik Indonesia. Dengan demikian,
Pengadilan-pengadilan (Agama dan Tinggi Agama) dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah bagian dari peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.7
Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik dan
normal, di perlukan adanya enam unsur yaitu:
1. Hakim atau qadhi yaitu orang yang di angkat oleh kepala negara untuk
menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat
2. Hukum yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaiakan suatu
perkara.
6 Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.25.
3. Mahkum bihi di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang di haruskan oleh
qadhi si tergugat.
4. Mahkum Alaih (si tergugat), yakni orang yang dijatuhkan atasnya.
5. Mahkum lahu, yaitu orang yang menggugat suatu hak.
6. Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada Hukum (putusan).8
Sedangkan menurut susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama yang diatur dalam UU no.7 tahun 1989 Tentang Susunan Pengadilan
Agama dan Pengadilan Tinggi menurut pasal 9 UU tersebut menyatakan:
a. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera,
sekretaris, dan juru sita.
b. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota,
panitera, dan sekretaris.
Ketentuan itu menunjukan bahwa unsur Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama hampir seluruhnya sama kecuali jurusita yang hanya ada di
dalam Pengadilan Agama. Berkenan dengan adanya jabatan fungsional dan
struktural, maka jabatan ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama merupakan
saluran mobilitas vertikal para Hakim.9
B. Perundang-undangan di Indonesia
Apabila kita melihat pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar
1945, maka terlihat bahwa negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal
17 Agustus 1945 adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dalam arti
negara pengurus (verzorgingstaat). Hal ini tertulis dalam UUD 1945 alinea
ke-4.10
Istilah dan pengertian undangan secara etimologis
Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran
‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan
undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan
belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika
sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses
pembuatan atau mengandung arti hasil ( produk ) dari pembuatan
perundang-undangan.11
Menurut Penulis istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses
dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara,
sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan
keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Undang-Undang Dasar
adalah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya itu undang-undang
10
Maria Farida Indriati soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar pembentukannya,(Jakarta:Penerbit Kanisius,1998) h.1.
11
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak
tertulis. Memang untuk menyelidiki hukum dasar (Droit constitutonel) suatau
negara tidak cukup menyelidiki pasl-pasal Undang-Undang Dasarnya saja (loi
constitutionel), akan tetapi juga harus menyelidiki sebagaimana prakteknya dan
sebagaimana suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) dari Undang-Undang
Dasar itu.12
Undang-undang adalah peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.13. Didalam pasal 2
Undang-Undang No.10 tahun 2004 tentang Tata urutan Perundang-undangan yang
merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan
Perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan rakyat Republik Indonesia.
3. Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu).
5. Peraturan pemerintah.
6. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur.
12
Amir syarifudin, harun al Rasyid, Himpunan Perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang badan-badan peradian di Indonesia, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1989) h.24.
7. Peraturan Daerah.14
Dalam perundang-undangan terdapat suatu hierarki maksudnya adalah
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan perundang-undangan yang lebih tinggi15
Sedangkan tata Peraturan Perundang-undangan menurut Ketetapan
M.P.R.S No.XX/MPRS/1966 adalah:
1. UUD 1945.
2. TAP MPR.
3. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah.
5. Keputusan presiden.
6. Peraturan pelaksanaan.
7. Peraturan Menteri.
8. Instruksi Menteri.16
C. Tinjauan Umum Tentang Mediasi
Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak
ketiga yang dapat di terima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang
14
Undang-Undang No.10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,(Jakarta:Fokus Media,2006) h.137.
15www.wikipedia.com di akses pada tanggal 5 Maret 2009.
berselisih dalam upaya mencari kesepakatan secara sukarela dalam
menyelesaiakan permasalahan ( Mediation is process in wich the parties to a
dispute with the assistance of neutral third party ( mediator), indentify the
dispute issues, develop option, consider alternatives and endeavor to reach an
agreement. The mediator has no advisory or determinate role in regard to the
content of the dispute or the out come of is resolution, but may advise on or
determine the process of mediation where by resolution).
Dari rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mediasi
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas
kesukarelaan melalui suatu perundingan.
2. Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk
mencari penyelesaian.
3. Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan selama
perundingan berlangsung.
5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang
dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.17
Perdamaian menurut pasal 1851 KUH Perdata adalah suatu perjanjian
yang mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan menjanjikan atau
menahan suatu barang , mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung
17
ataupun mencegah timbulnya suatu perkara, perjanjian ini tidaklah sah
melainkan jika dibuat secara tertulis.18
Ada beberapa alasan mengapa alternatif penyelesaian sengketa mulai
mendapatkan perhatian yang lebih di Indonesia seperti:
a. Faktor ekonomis dimana alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi
sebagai saran untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari
sudut pandang biaya maupun waktu.
b. Faktor ruang lingkup yang dibahas, alternatif penyelesaian sengketa memiliki
kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas,
komprehensif dan fleksibel.
c. Faktor pembinaan hubungan baik, di mana alternatif penyelesaian sengketa
yang mengandalkan cara-cara penyelesaian kooperatif sangat cocok bagi
mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia
(relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.19
Alternatif penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian penting di
Indonesia, karena disamping merupakan budaya asli Indonesia yang berdasarkan
asas musyawarah untuk mufakat, juga mempunyai beberapa kelebihan atau
keuntungan antara lain:
1. Sifat kesukarelaan dalam proses, dimana para pihak percaya bahwa dengan
menyelesaiakan sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, akan
18
Mariana Sutadi, Penyelesaian Sengketa melalui Upaya Konsultasi, Negosiasi,Mediasi/Konsiliasi.h.1.
19
2. Prosedur yang lebih cepat dimana prosedur alternatif penyelesaian sengketa
cersifat informal pihak-pihak yang terlibat mampu menegosiasikan
syarat-syarat penggunaannya.
3. Keutusannya bersifat non-judisial karena kewenangan untuk membuat
keputusan ada pada pihak-pihak yang bersengketa, yang berarti para pihak
yang terlibat mampu meramalkan dan mengontrol hasil-hasil yang
disengketakan.
4. Fleksibilitas dalam menentukan syarat-syarat penyelesaian masalah dan
komprehensif dimana prosedur ini dapat menghindari kendala prosedur
yudicial yang terbatas ruang lingkupnya.
5. Prosedur rahasia (confidental) ini memberikan jaminan kerahasiaan bagi para
pihak dengan porsi yang sama dan dapat menjajaki pilihan-pilihan sengketa
yang potensial dan hak-hak mereka dalam mempresentasikan data untuk
menyerang balik tetap melindungi.
6. Hemat waktu, dimana dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui alternatif
penyelesaian sengketa menawarkan kesempatan yang lebih cepat dalm
7. Hemat biaya, karena dalam menyelesaikan sengketa semakin lama
penelesaiannya semakin mahal biaya yang dikeluarkannya.20
Sedangkan etika penyelesaian masalah dalam konsepsi Islam menurut
Umar Bin Khattab dalam Risalah al-Qadha ada berbagai masam prinsip yang
harus di ketahui dalam menyelesaiakan sengketa, antara lain:
a. Menyelesaikan perkara adalah suatu kewajiban dari Allah SWT dan Sunnah
yang harus diikuti.
b. Memahami pokok permasalahan.
c. Mendengar keterangan kedua belah pihak secara seimbang.
d. Mengupayakan perdamaian di antara kedua belah pihak.
e. Beritjtihad untuk meneukan penyelesaian sengketa.
f. Harus berlaku adil.
g. Hindari marah saat bersidang.21
Hal ini juga sesuai firman Allah dalam Q.S a Nisa ayat 128 yaitu:
⌧
Artinya: Dan Jika Seorang Wanita Khawatir akahn Nusyuz atau sikap
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa keduanya mengadakan Perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan Jika kamu bergaul istrimu dengan baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya
Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S an Nisa ayat 128)
Dalam praktik, Mediator sangat membutuhkan kemampuan personal
yang memungkinkan berhubungan secara menyenangkan dengan masing-masing
pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak menghakimi, yaitu
dalam kaitannya dengan cara berpikir masing-masing pihak, serta kesiapannya
untuk memahami dengan empati pandangan para pihak. Mediator perlu
memahami dan memberikan reaksi positif (meskipun berarti tidak setuju) atas
persepsi masing-masing pihak dengan tujuan membangun hubungan baik dan
kepercayaan, namun jika para pihak sudah percaya kepada mediator dan proses
mediasi, Mediator akan lebih mampu membawa mereka ke arah konsensus.22
Menurut Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 mengingat
mediator sangat menentukan efektifitas proses penyelesaian sengketa, ia harus
secara layak memenuhi kualifikasi tertentu serta berpengalaman dalam
22
komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang
bersengketa. Jika ia berpengalaman dan terbiasa berperkara di Pengadilan, hal itu
sangat membantu. Tetapi, pengalaman apapun, selain pengalaman sendiri
memang kurang relevan, pengetahuan secara subtantif atas masalah yang di
sengketakan tidak mutlak di butuhkan lebih penting adalah kemampuan
menganalisis dan keahlian menciptakan pendekatan pribadi. Dalam prosedur
mediasi di Pengadilan Agama mediator adalah salah satu unsur penting dalam
pelaksanaan mediasi karena tanpa adanya mediator pelaksanaan fungsi mediasi
tidak akan terlaksana dengan baik sesuai undang-Undang yang berlaku maka
mediator harus memilki keterampilan dalam proses upaya perdamaian agar dapat
memaksimalkan proses mediasi. 23
Menurut Firman Allah yang terdapat dalam Q.S al Hujurat ayat 9
⌧
Artinya:” dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antar keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah, kalau dia telah surut damaikan keduanya menurt keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil. (Q.S al Hujurat ayat 9).
Maka dalam PERMA No.1 tahun 2008 di tentukan kriteria mediator lembaga
penyedia penyelesaian sengketa yaitu harus memiliki persyaratan sebagai berikut:
a. Mengajukan permohonan kepada ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
b. Akademisi Hukum atau sarjana Hukum
c. Memliki sertifikat sebagai mediator dari lembaga yang telah di tunjuk oleh
Mahkamah Agung.
d. Mendaftar sebagai mediator di Pengadilan.24
Sedangkan bagi lembaga sertifikasi dan pelatihan mediator harus memiliki
persyaratan sebagai berikut:
1) Mengajukan permohonan kepada ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
2) Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti
pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai
instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi.
3) Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan
untuk mediator bersertifikat di Pengadilan.
4) Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang
di sahkan oleh Mahkamah Agung Republik indonesia.25
Adapun dalam PERMA No.1 tahun 2008 mengatur tugas-tugas yang di
amanatkan kepada mediator sesuai fungsinya mediator harus mengikuti aturan
yang telah ditetapkan yang dijelaskan dalam pasal 15 antara lain:
a. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para
pihak untuk dibahas dan disepakati.
b. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam
proses mediasi.
c. Apabila dianggap perlu mediator dapat melakukan kaukus, Kaukus adalah
pertemuan antara mediator dengan dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak lainnya.
d. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali
kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik
bagi para pihak.26
Sedangkan Menurut Indonesian Institute for Conflict Transformation tugas
mediator dalam proses mediasi adalah sebagai berikut:
1).Melakukan pertemuan dengan Pihak pertama dan kedua secara terpisah
2).Melakukan pertemuan dengan keduanya secara bersama.
3).Mengatur suasana dan mendengarkan issues.
4).Mengelaborasi dan bekerja pada issues.
5).Mengembangkan kesepakatan.
6).Penutup.27
D. Prosedur Mediasi Dalam Pengadilan Agama
Kenyataan praktik yang dihadapi, jarang sekali dijimpai putusan
perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang
diajukan kepadanya, hampir 100% berupa putusan konvensional yang bercorak
menang atau kalah (Winning or losing). Jarang ditemukan penyelesaian
berdasarkan konsep sama-sama menang (Win-win solution). Berdasarkan fakta
ini, kesungguhan, kemampuan, dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh
dikatakan sangat mandul. Akibatnya, Keberadaan pasal 130 HIR, pasal 154 RBG
dalam hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.28
Upaya perdamaian yang dimaksud disini adalah perdamaian yang dikenal
dengan istilah “Dading” dalam praktek hukum acara perdata, yakni persetujuan
atau perjanjian yang disetujui oleh keduabelah pihak yang bersengketa untuk
mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaiakan oleh
Pengadilan.29
27 Makalah Indonesian Institute For Conflict Transformation,2009, h.12.
28 M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika.2005), h.241.
Sesuai firman Allah dalam Q.S an Nisa ayat 35 yang berbunyi
Artinya:”dan Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dirinya keluarga perempuan, jika kedua orang Hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.(Q.S. an Nisa ayat 35).
Dalam PERMA No.1 tahun 2008 prosedur mediasi agar sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku dan lebih efektif dalam upaya perdamaian dan
tidak membuang-buang waktu maka mediasi harus mengikuti prosedur dan
tahap-tahap yang berlaku terdapat dua tahap-tahap mediasi yaitu tahap-tahap pra-mediasi dan tahap-tahap
mediasi.Dalam tahap pra-mediasi terdapat 6 proses yang harus di lakukan
sebelum tahap mediasi di jalankan yaitu;
1. Kewajiban Hakim pemeriksa perkara dan kuasa Hukum
a. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang di hadiri dua belah pihak,
Hakim wajibkan para pihak untuk menempuh mediasi atau upaya
perdamaian.
b. Ketidakhadiran para pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan
oleh pihak yang ditunjuk atau memilki surat kuasa untuk mewakili proses
mediasi.
c. Hakim melalui kuasa Hukum atau langsung kepada para pihak mendorong
untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
d. Kuasa Hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
e. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
f. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam PERMA ini kepada
para pihak yang bersengketa.30
2. Hak para pihak untuk memilih mediator.
a. Hakim berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut.
b. Hakim bukan pemeriksa perkara pada Pengadilan yang bersangkutan.
c. Advokat atau akademisi Hukum.
d. Profesi bukan Hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman pokok sengketa.
e. Hakim majelis pemeriksa perkara.
f. Gabungan antara mediator yang disebut di atas dan hanya dua saja yang di
perbolehkan menjadi mediator contohnya: Hakim pemeriksa perkara
dengan Advokat boleh di gabung.
g. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu mediator,
pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator
sendiri.31
3. Daftar Mediator
a. Untuk memudahkan para pihak memilih mediator ketua Pengadilan
menyediakan daftar Mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima)
nama mediator dan disertai dengan latar belakang pendidikan atau
pengalaman para mediator.
b. Ketua Pengadilan menempatkan nama-nama Hakim yang telah memiliki
sertifikasi dalam daftar mediator.
c. Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator
yang bersertifikat, semua Hakim pada pengadilan yang bersangkutan
dapat ditempatkan dalam daftar mediator.
d. Mediator bukan Hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan agar namanya di tempatkan dalam daftar
mediator.
e. Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, ketua pengadilan
menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.
f. Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbaharui daftar
mediator.
g. Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar
mediator berdasarkan alasan objektif antara lain karena mutasi
kerja,berhalangan tetap, ketidak aktifan setelah penugasan dan
pelanggaran atas pedoman dan perilaku.32
4. Honorariaum Mediator.
a. Penggunaan jasa mediator Hakim tidak di pungut biaya.
b. Penggunaan mediator bukan Hakim ditanggung bersama oleh para pihak
atau berdasarkan kesepakatan para pihak.33
5. Batas waktu pemilihan Mediator.
a. Setelah para pihak hadir dalam sidang pertama Hakim mewajibkan para
pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya
untuk berunding guna memilih mediator termasuk penentuan biaya yang
mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan Hakim.
b. Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua
majelis Hakim.
c. Ketua Majelis Hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk
melaksanakan tugas.
d. Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana di maksud ayat (1)
terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang di
32Ibid.h.6.
kehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka
memilih mediator kepada ketua majelis Hakim.
e. Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan mediator,
ketua majelis Hakim segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa pokok
perkara yang bersertifikat pada Pengadilan yang sama untuk menjalankan
fungsi mediator.
f. Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa
perkara yang bersertifikat, maka Hakim pemeriksa pokok perkara dengan
atau tanpa sertifikat yang di tunjuk oleh ketua majelis Hakim wajib
menjalankan fungsi mediator.34
6. Menempuh Mediasi dengan iktikad baik.
a. Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.
b. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak
lawan menempuh mediasi dengan iktikad baik.35
Sedangkan tahap kedua dalam proses mediasi adalah tahap mediasi yang
dilakukan diluar persidangan terdiri dari proses;
1) Penyerahan resume perkara dan lama waktu proses mediasi
a) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati masing-masing pihak dapat
34ibid.h.9.
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada
mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para
pihak gagal menunjuk mediator masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang
ditunjuk.
b) Proses mediasi berjalan paling lama 40 (empat puluh) hari kerja
sejak mediator dipilih oleh para pihak atau di tunjuk oleh ketua
majelis Hakim sebagaiman maksud pasal 11 ayat (5) dan (6) yaitu
dalam pasal (5) menjelaskan setelah menerima pemberitahuan para
pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis Hakim
segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang
bersertifikat pada Pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi
mediator, sedangkan dalam ayat (6) di jelaskan jika pada
Pengadilan yang sama tidak terdapat hakim yang bukan pemeriksa
perkara yang bersertifikat sebagai mediator maka hakim pemeriksa
pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang di tunjuk oleh
ketua majelis Hakim wajib menjalankan fungsi mediator.
c) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
perpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir
masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
ayat (3). Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka
d) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi
dapat di lakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat
komunikasi.36
2) Kewenangan mediator menyatakan mediasi gagal
a) Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah
satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali
berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi yang telah di
sepakati atau telah duia kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
b) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa
dalam sengketa yang sedang di mediasi melibatkan aset atau harta
kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan
pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga
pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu
pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan
kepada para pihak dan Hakim pemeriksa bahwa perkara yang
bersangkutan tidak layak untuk mediasi dengan alasan para pihak
tidak lengkap.37
3) Keterlibatan para Ahli.
36Ibid.h.10.
a) Atas persetujuan para pihak dan Kuasa Hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat para pihak.
b) Para pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang
kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau
penilaian seorang ahli.
c) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam
proses mediasi di tanggung oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan.38
4) Mencapai Kesepakatan.
a) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak
dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani para pihak dan
mediator.
b) Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum,
para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas
kesepakatan yang dicapai.
c) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator
memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada
kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak
dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik.
d) Para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim pada hari
sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan akta
perdamaian.
e) Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian dikuatkan
dalam bentuk akta perdamaian.
f) Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian
dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian
harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang
menyatakan perkara telah selesai.39
5) Tidak mencapai kesepakatan.
a) Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja
sebagaimana di maksud dalam pasal 13 ayat(3),para pihak tidak
mampu menghasilkan kesepakatan atau sebab-sebab yang
terkandung dalam pasal 15, mediator wajib menyatakan secara
tertulis bahwa proses mediasi gagal dilaksanakan dan
memberitahukan kegagalan kepada Hakim.
b) Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, Hakim
melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara
yang berlaku.
c) Pada tahapan pemeriksaan perkara, Hakim pemeriksa perkara tetap
berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian
hingga sebelum pengucapan putusan.
d) Upaya perdamaian sebagaiman di maksud dalam ayat (3) diatas
berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para
pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada Hakim
pemeriksa perkara yang bersangkutan.40
6) Keterpisahan antara Mediasi dan Litigasi.
a) Jika para pihak gagal menempuh kesepakatan, pernyataan dan
pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat di
gunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang
bersangkutan atau perkara lain.
b) Catatan mediator tentang pelaksanaan mediasi wajib dimusnahkan
untuk menghindari terbukanya rahasia atau privasi seorang atau
badan hukum.
c) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses
persidangan perkara yang bersangkutan.
d) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun
perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.41
7) Tempat penyelenggaraan mediasi.
a) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan
tingkat pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para
pihak.
b) Mediator Hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar
Pengadilan.
c) penyelenggaraan mediasi di dalam salah satu ruang Pengadilan
tingkat pertama tidak di kenakan biaya.
d) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain,
pembiayaan di bebankan kepada para pihak berdasarkan
kesepakatan.42
8) Perdamaian di tingkat Banding,Kasasi,dan Peninjauan Kembali.
a) Para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya
perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses bandiung,
Kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang
sedang diperiksa pada tingkat banding, Kasasi, dan peninjauan
kembali sepanjang perkara itu belum di putus.
41Ibid.h.12.
b) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib
disampaikan secara tertulis kepada ketua Pengadilan setempat.
c) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang menghadili segera
memberitahukan kepada ketua Pengadilan Tingkat Banding yang
berwenang atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para
pihak untuk menempuh upaya perdamaian.
d) Jika perkara yang bersangkutan sedang di periksa pada Tingkat
Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali, Majelis Hakim
pemeriksa pada tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14
(empat belas) Hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang
kehendak para pihak menempuh upaya perdamaian.
e) Jika berkas memori Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali
belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat pertama yang
bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas memori Banding,
Kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para
pihak mengupayakan perdamaian.
f) Upaya perdamaian dalam tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima ketua
g) Upaya perdamaian dalam tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara
tersebut di tingkat pertama atau ditempat lain atas persetujuan para
pihak.
h) Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan tingkat
pertama yang bersangkutan menunjuk seorang Hakim atau lebih
untuk menjadi mediator dan yang menjadi mediator adalah tidak
boleh berasal dari majelis Hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan pada pengadilan tingkat pertama, kecuali tidak ada
hakim lain pada Pengadilan tingkat pertama tersebut.
i) Para pihak melalui ketua Pengadilan Tingkat pertama dapat
mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis
Hakim pada tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian dan di tanda
tangani oleh majelis Hakim yang bersangkutan dalam waktu 30
(tiga puluh) hari sejak dicatat dalam register induk perkara dan
dikirmkan kepada Pengadilan tingkat Banding atau Mahkamah
Agung.43
9) Kesepakatan di luar Pengadilan
Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil
menyelesaiakan sengketa di luar Pengadilan dengan kesepakatan
perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut kepada
Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan
cara mengajukan gugatan.dan harus dissertai atau di lampiri dengan
kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada
hubungan hukum antara para pihak dan objek sengketa dengan
persyaratan sebagai berikut:
a) Sesuai dengan kehendak para pihak
b) Tidak bertentangan dengan hukum
c) Tidak merugikan pihak ketiga
d) Dapat dieksekusi
e) Dengan iktikad baik dari para pihak yang bersengketa.44
Sedangkan menurut Indonesian Institute For Conflict Transformation
yaitu suatu institusi yang mengkaji tentang masalah mediasi atau perdamaian
di negara Indonesia ada beberapa tahapan prosedur mediasi yaitu:
1) Memulai Proses Mediasi
a) Mediator memperkenalkan diri dan para pihak.
b) Menekankan adanya kemauan para pihak untuk menyelesaiakan
masalah melalui.
c) Menjelaskan pengertian mediasi dan peran mediator
d) Menjelaskan prosedur mediasi.
e) Menjelaskan pengertian Kaukus.
f) Menjelaskan Parameter kerahasiaan.
g) Menguraikan jadwal dan lama proses mediasi.
h) Menjelaskan aturan perilaku dalam proses perundingan.
i) Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menjawab dan
bertanya.45
2) Merumuskan masalah dan menyusun agendakan
a) Mengidentifikasi topik-topik umum permasalahan, menyepakati
subtopik permasalahan yang akan dibahas dalam proses perundingan.
b) Menyusun agenda perundingan.46
3) Mengungkapkan kepentingan tersembunyi. Dapat dilakukan dengan dua cara :
a) Cara langsung yaitu mengemukakan pertanyaan langsung kepada para
pihak
b) Cara tidak langsung yaitu mendengarkan atau merumuskan kembali
pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh para pihak47
4) Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa
45 Makalah Indonesian Institute for conflict, h.1. 46Ibid.h.2.