• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pengadilan Agama terhadap Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008: studi kasus Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Pengadilan Agama terhadap Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008: studi kasus Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi) Skripsi

diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Disusun oleh:

Shohibul Munir

105043201344

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAHZAB DAN HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Pengadilan Agama Jakarta Pusat Terhadap Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi) telah diujikan dalam Sidang Munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 September 2010 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Perbangdingan Madzhab Hukum.

Jakarta,22 September 2010

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002

(...)

Pembimbing I Drs. Abdul Basiq Djalil. SH., MA. NIP. 195003061976031001

(...)

Pembimbing II Sri Hidayati. M.Ag

(3)
(4)

PROSEDUR MEDIASI)

Skripsi diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu

Persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Shohibul Munir

NIM:105043201344

Di bawah Bimbingan,

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.Abdul Basiq Djalil,SH.,MA Sri Hidayati, Mag

NIP:195003061976031001 NIP:197102151997032002

K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAHZAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(5)
(6)

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah

menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan

berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan

penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia

yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri

tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata

beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Islam yang

menjadi umat yang terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa kepada

keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi

pengikut setia hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya

orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril

maupun spirituil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang di

harapkan karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan

yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah.Untuk

itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat

Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM selaku dekan

fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

(7)

kepada keluarga, Ayahanda Wisnu Supardjo dan ibunda Sri Anteng

yang telah mencurahkan seluruh tenaga dan pengorbanan serta do’a

yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat. Juga teruntuk

kakak saya yang saya idolakan Rina Muasaroh SE. yang telah

memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

3. Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA selaku ketua Program Studi

Perbandingan Mahzab dan Hukum, Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag

selaku sekretaris Program Studi Perbandingan Mahzab dan Hukum

yang telah meluangkan waktunya untuk mengarahkan segenap

aktivitas yang berkenaan dengan jurusan.

4. Dr. H. Abdul Basiq Djalil, MA dan ibu Sri Hidayati selaku

pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat

yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan sebaik-baiknya.

5. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bapak Drs. H. Masrum, MH,

Bapak Nuheri SH., Bapak Drs.Cece Mustofa yang telah membantu

penulis dalam penelitiannya di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

(8)

warna dalam corak khazanah keilmuan yang berbeda-beda.

7. Kepada teman-teman Fakultas syariah dan Hukum angkatan 2005

terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan

inspirasi untuk tetap berjuang dalam hidup dan Bunga Rahayu

Permatasari sumber inspirasiku

Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan

pertolongan Allah SWT sehingga penulis dapat memberikan

kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. semoga penulis mendapat

pencerahan sehingga ilmu yang di anugerahkan Allah SWT tidak

sia-sia dan dapat diamalkan seta mampu menyampaikan kebenaran

kepada umat manusia sehingga dapat menerangi kebodohan yang

selama ini terjadi. Amin.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Jakarta: 21 Mei 2009

( Penulis)

(9)
(10)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 8

C. Perumusan Masalah ... 9

D. Tujuan dan Manfaat penelitian ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Review Studi Terdahulu ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Kekuasaan Kehakiman ... 17

B. Perundang-undangan di Indonesia ... 23

C. Tinjauan Umum Tentang Mediasi ... 25

D. Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama ... 34

(11)

v

B. Kewenangan Khusus ... 55

C. Visi dan Misi ... 56

BAB IV RESPON PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT A. Keterkaitan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Terhadap Peraturan Mahkamah Agung no.1 tahun 2008... 57

B. Peranan Hakim sebagai Mediator dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 62

C. Peranan mediator Non Hakim dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan agama Jakarta Pusat ... 65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(12)

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasar pada UUD 1945 dan

sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip negara hukum adalah

adanya jaminan penyelenggaraan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang

merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya guna menegakkan hukum dan

keadilan. Karena adanya prinsip tersebut maka jaminan penyelenggaraan

kehakiman telah diatur dalam UU No.4 tahun 2004 tentang Pokok Kekuasaan

Kehakiman yang di dalamnya terdapat 5 pelaksana kekuasaan kehakiman di

bawah Mahkamah Agung, yakni Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan

Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Mahkamah Konstitusi.1

Indonesia adalah negara yang mayoritas adalah umat muslim maka

masalah-masalah yang timbul tidak jauh dari masalah-masalah hukum Islam yang telah di

khususkan oleh Undang-Undang dalam ruang lingkup Pengadilan Agama yang

mengatur urusan umat Islam di Indonesia maka sangat menarik untuk membahas

sepak terjang dunia Peradilan Agama di Indonesia. Pengadilan Agama adalah salah satu diantara peradilan khusus di Indonesia, dua peradilan khusus lainnya

adalah Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan

1

Abdul Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group Jakarta, 2006), h.13.

(13)

khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau

mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini Pengadilan Agama hanya

berwenang dibidang perdata tertentu saja, yaitu dalam perkara perdata Islam

tertentu dan hanya untuk orang yang beragama Islam di Indonesia, perkara

perdata yang menjadi wewenang Pengadilan Agama hanya menangani

masalah-masalah perkara perceraian, pembagian harta, wakaf, dan lain sebagainya. Pada

akhir-akhir ini semakin terdengar kritikan-kritikan terhadap kinerja badan

Pengadilan di Indonesia. Proses penyelesaian perkara di anggap sangat lambat,

membuang waktu, mahal, dan berbelit-belit. Semakin lama para pencari keadilan

tidak percaya pada kinerja Pengadilan. Salah satu masalah penting yang di hadapi

oleh badan Peradilan Indonesia adalah lambatnya proses penyelesaian perkara di

Pengadilan, antara lain dengan menumpuknya perkara di Mahkamah Agung RI.

Dengan penyelesaian perkara 8.500 setiap tahun sedangkan penerimaan dalam

jumlah yang hampir sama, dapat di perkirakan bahwa penumpukan perkara di

Mahkamah Agung tidak akan terselesaikan dengan banyaknya perkara Kasasi dan

Peninjauan Kembali.2

Didalam beracara di Pengadilan terdapat prosedur pelaksanaan yang telah

diatur baik dalam pasal 130 HIR yang di gunakan di pulau Jawa dan Bali maupun

dalam Pasal 154 RBG yang digunakan di luar pulau Jawa yang mendorong para

pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifikasikan dengan

2

(14)

cara mediasi karena pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di

Pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi penumpukan

perkara yang di ajukan ke pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan

kinerja atau fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian perkara.3

Sedangkan prosedur mediasi atau upaya perdamaian telah lebih dahulu

dilakukan oleh negara-negara yang lain seperti Amerika Serikat, Srilanka,

Philippina, China, Korea Selatan, Hongkong, Australia, Singapura, dan Jepang.

Di negara Amerika Serikat kedudukan dan keberadaan mediasi sebagai lembaga

penyelesaian sengketa telah didukung secara formal oleh Hukum positif, berupa

Dispute Resolution Act yang dikeluarkan pada saat Presiden Jimmy Carter pada

tanggal 12 Februari tahun 1980, berbagai macam sengketa dapat di mediasikan

baik jenis sengketa yang bersifat umum maupun jenis sengketa yang bersifat

khusus seperti sengketa bisnis dan sengketa perceraian.4

Sedangkan di negara Srilanka telah diundangkan Mediation Board Act

(Komisi Badan Mediasi) pada tahun 1988 yang meletakan pengawasan terhadap

para penyedia jasa dibawah komisi khusus yang ditunjuk oleh presiden dan

Komisi ini terdiri atas lima orang tiga diantaranya harus berpengalaman di dunia

Pengadilan setingkat Mahkamah Agung atau Peradilan Tinggi, diberlakukan pula

mediasi sebagai upaya wajib yang harus ditempuh para pencari keadilan sebelum

3

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT.raja Grafindo Persada,2002), h.34.

4

(15)

menempuh upaya Pengadilan (Compulsory Mediation atau Primary

Iurisdiction).5

Lain halnya di negara Philippina secara tradisional Mediasi telah dikenal

melalui tradisi penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kooperatif di

tingkat pedesaan (Barangay atau Barrio) pelembagaannya didorong oleh

keinginan untuk mengatasi penumpukan serta kemacetan administrasi perkara di

Pengadilan yang menimbulkan penurunan kualitas keadilan, dan pelembagaan

tersebut dilakukan oleh pemerintah Philippina melalui Presidential Decree

Philippina Nomor 1508 tanggal 11 juni 1978, yang dikenal dengan”Katarungang

Pambarangay Law atau Barangay Justice law”. Adapun kewenangan yang

dimilikinya adalah menyelesaiakan seluruh jenis sengketa perdata dan pidana

dengan ancaman hukuman ringan.6

Sedangkan Di negara China sejak tahun 1949 sistem mediasi China telah

diformalkan dalam berbagai bentuk pedoman dan instruksi. Pada tahun 1982

konstitusi China secara tegas menyebutkan pendirian Komisi Mediasi Rakyat

(People Mediation Committees) di wilayah perkotaan maupun di pedesaan,dan

salah satu fungsi mediasi rakyat disebutkan melaksanakan upaya-upaya

penengahan (to Mediate) sengketa Perdata (Civil Dispute). Lain halnya di Negara

Australia di negara ini pengembangan mediasi baru muncul belakangan bila

dibandingkan dengan negara Amerika Serikat atau Korea Selatan, akan tetapi

5

Ibid. h.3.

6

(16)

dalam waktu singkat dapat menandingi kemajuan yang dicapai negara lain bahkan

sekarang sudah hampir sampai tahap konsolidasi. Mediasi dikelola dalam satu

wadah yang dinamakan Centre for DisputeResolution yang didirikan pada tahun

1988 yang bernaung dibawah University of Technology, Sidney bekerja sama

dengan faculty ofLaw and Legal practice and Bussines. Pada prinsipnya lingkup

mediasi yang dikembangkan di negara Australia tidak jauh berbeda dengan

mediasi yang duikembangkan oleh negara Amerika Serikat, akan tetapi bila

perbandingannya termasuk dengan mediasi di Jepang dan Korea Selatan maka

Australia mengatur sisitem mediasi yang berkoneksitas dengan Pengadilan

(mediation Connected to the Court) yang pada umumnya bertindak sebagai

mediator adalah pejabat Pengadilan, Namun pada dasarnya selain fungsi

pelembagaan mediasi sebagai penengahan masalah secara kekeluargaan tapi juga

berfungsi sebagai instrumen penyelesaian masalah penumpukan perkara di

Pengadilan.7

Untuk itu di negara Indonesia melakukan studi banding ke negara-negara

tersebut untuk memaksimalkan proses mediasi di Indonesia agar tercapai sebuah

mediasi yang efektif, sebelum Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008

ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebelumnya telah ada aturan mengenai dasar

hukum mediasi yaitu HIR pasal 130 dan Rbg pasal 154 yang telah dijelaskan

diatas kemudian dikeluarkannya SEMA No.1 tahun 2002 Sedangkan pada tahun

2003 Mahkamah Agung mengeluarkan Suatu Peraturan yang mengatur tentang

7

(17)

mediasi yaitu Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003 yang mengatur

tentang prosedur mediasi yang harus dilakukan oleh lembaga Peradilan. Namun

dalam prakteknya di lapangan masih terdapat banyak kendala dalam pelaksanaan

PERMA tersebut, oleh karena itu setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur

mediasi di pengadilan yang berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung No.2

tahun 2003 ternyata ditemukan berbagai kendala atau masalah yang timbul dari

peraturan Mahkamah Agung tersebut.sehingga peraturan tersebut harus perlu di

revisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi terkait dengan proses

berperkara di Pengadilan, maka dari itu Mahkamah Agung mengeluarkan

Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang prosedur Peraturan

Mahkamah Agung mediasi sebagai jawaban pemecahan masalah yang timbul dari

No.2 tahun 2003. Dalam tersebut diatur tentang prosedur mediasi dan

menjelaskan prosedur sertifikasi bagi calon mediator untuk melakukan mediasi di

dalam lembaga peradilan.8

Mediasi adalah salah satu diantara sekian banyak penyelesaian sengketa

(Dispute Settlemen) yang dikenal di banyak tempat dalam berbagai kurun waktu

atu dapat dilihat sebagi salah satu bentuk penyelesaian sengketa diluar Pengadilan

(non Litigasi) yang merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian

(Alternative Dispute Resolution) akan tetapi juga berupa mediasi Peradilan (Court

8

(18)

Mediation). Mediasi juga dapat berupa mediasi modern tetapi juga dapat berupa

mediasi tradisional (Tradisional Mediation).9

Bentuk-bentuk Penyelesaian sengketa sebagaimana yang diungkapkan

diatas seperti yang diungkapkan oleh Veronica Taylor dan Michael Pryles

dalam”Dispute Resolution in Asia”mengandung apa yang dinamakan “The

Culture of Dispute Resolution in Asia”(Taylor & pryles,2002:1). Bentuk-bentuk

penyelesaian seperti ini didasarkan pada nilai-nilai budaya lokal yang berlaku

dalam masyarakat yang dapat disebut dengan prinsip etika yang mendasari

penyelesaian sengketa tersebut. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh

penulis Jepang Yoshiro Kusano dengan istilah ”Compromise Techniques”atau

jalan damai sebagai terjemahan istilah dari Jepang yaitu’WAKAI”.10

Oleh karena itu berdasarkan studi awal penulis mengenai masalah

tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih dalam bentuk

skripsi berjudul RESPON PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT

TERHADAP PERATURAN MAHKAMAH AGUNG No.1 TAHUN 2008

TENTANG PROSEDUR MEDIASI” karena PERMA ini merupakan peraturan

yang cukup baru di putuskan pada tanggal 1 Juli tahun 2008 maka penulis

membahas mengenai respon atau tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat

dalam melaksanakan aturan ini apakah telah sesuai dengan yang di cita-citakan

9

Abdurrahman, Etika Mediasi dalam Mediasi Syariah dan Mediasi Konvensional,Makalah disampaikan pada acara pelatihan Hakim Agama di Pusdiklat MA, Mega mendung,26 Maret 2009. h.1.

10

(19)

dan juga dikarenakan Pengadilan Agama Jakarta Pusat menjadi objek

perkara-perkara persidangan internasional yang melibatkan WNI diluar negeri bahkan

Pengadilan Agama Jakarta Pusat beberapa kali di jadikan kunjungan Hakim

Australia dan Malaysia oleh karena itu penulis mengangkat Pengadilan Agama

Jakarta Pusat sebagai objek kajian penelitian karena Pengadilan Agama Jakarta

Pusat merupakan tolok ukur dari Pengadilan Agama Di wilayah DKI Jakarta

sehingga lebih banyak hal yang bisa penulis kontribusikan dalam penulisan

skripsi ini kepada pembacanya.11

B. Pembatasan Masalah

Mengingat intepretasi hukum merupakan sesuatu yang sangat luas dan

kompleks maka untuk mendapatkan pembahasan yang lebih efektif dan objektif

penulis batasi permasalahan yang meliputi sebagai berikut:

1. Respon Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap pelaksanaan

PERMA No.1 tahun 2008

2. Peranan mediator non hakim sebagai mediator sesuai Peraturan Mahkamah

Agung No.1 Tahun 2008.

3. Fungsi Hakim sebagai mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

11

(20)

C. Perumusan Masalah

Sesuai keberadaan suatu peraturan mestinya dalam pelaksanaan peraturan

Mahkamah Agung no.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi harusnya dapat

lebih di efektifkan dan lebih memudahkan jalur mediasi kasus para pihak. Dalam

kenyataannya pelaksanaan mediasi di maksud dalam wilayah pengadilan agama

belumlah terlihat efektif.

Rumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut:

1. Bagaimana respon Pengadilan Agama Jakarta pusat terhadap pelaksanaan

Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008?

2. Bagaimana peranan Mediator non Hakim dalam proses mediasi di Pengadilan

Agama Jakarta pusat?

3. Bagaimana fungsi dan peranan Hakim sebagai Mediator dalam proses mediasi

di Pengadilan Agama Jakarta Pusat telah dilakukan sesuai PERMA No.1

Tahun 2008?

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah

1. Untuk Mengetahui respon Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap

pelaksanaan Peraturan mahkamah agung No.1 Tahun 2008.

2. Untuk Mengetahui bagaimana peranan Mediator non hakim di Pengadilan

(21)

3. Untuk Mengetahui Bagaimana fungsi dan peranan Hakim sebagai

mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Adapun manfaat dari penulisan masalah ini adalah:

1. Kalangan pribadi untuk menambah khazanah keilmuan dalam bidang

hukum dalam wilayah Pengadilan Agama.

2. Kalangan Akademis, untuk menambah perbendaharaan keilmuan dalam

masalah mediator dalam Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

3. Kalangan umum, untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat

dalam masalah hakim sebagai mediator dalam Pengadilan Agama

Jakarta Pusat.

E. Metodologi Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bahan-bahan

yang berhubungan dengan skripsi ini. Adapun metodologi penelitian yang

digunakan yaitu dengan melakukan:

1. Penelitian Kepustakaan (library research)

Dalam penelitian kepustakaan ini penulis melakukan pengumpulan

bahan-bahan dan data-data yang berkaitan dengan skripsi ini. Bahan-bahan

dan data tersebut penulis mendapatkannya dari bermacam-macam buku,

artikel, literatur dan data dari internet yang berhubungan dengan skripsi yang

di bahas, lalu penulis mempelajarinya dan menganalisis data tersebut maka

(22)

2. Penelitian Lapangan (field research)

Dalam melakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan

bahan-bahan atau data-data dengan menggunakan tekhnik wawancara mendalam

(deep interview) dengan Humas dan Mediator dalam Pengadilan Agama di

Jakarta Pusat sebagai objek penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan

data-data langsung atau primer.

3. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data Kualitatif, yakni dengan

sebuah pemaparan dan penjelasan terhadap masalah yang diangkat sehingga

pada akhirnya akan membangun kesimpulan-kesimpulan dari permasalahan

yang ada.

4. Sumber Data

Sumber data primer, yakni bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat seperti: UU 1945, PERMA No.1 Tahun 2008,

Sumber data sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer misalnya: data-data yang di peroleh dari ilmu hukum,

Undang-Undang, hasil penilitian, hasil karya-karya ilmiah dan data-data lain yang

masih relevan dan dapat menunjang akan penelitian ini.

Sumber hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus,

ensiklopedia, dan bahan pelengkap lainnya.

(23)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua tehnik untuk

mengumpulkan data, yakni dengan studi pustaka (library research) dan studi

dokumentasi (field research) tentang prosedur mediasi di Pengadilan Agama

Jakarta Pusat.

6. Analisis Data

Penulis mengolah data dengan metode deskriptif-kualitatif dan

komparatif, yakni menyajikan dan menggambarkan data secara ilmiah tanpa

melakukan suatu manipulasi.. Penulis akan menganalisis mengenai respon

Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang pelaksanaan mediasi.

7. Teknik Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis sepenuhnya menggunakan buku pedoman

penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, sehingga tidak keluar dari peraturan yang ada.

F. Review Studi Terdahulu

Adapun studi pendahuluan dari skripsi ini adalah:

1. Eksistensi Kompilasi Hukum Islam bagi Para Hakim di Pengadilan

Agama Jakarta Pusat dalam Memutus Perkara Perdata yang ditulis Nurma

leni/36/SJAS/2004

Skripsi ini membahas mengenai masalah Kompilasi Hukum Islam bagi

hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai kasus-kasus perdata,

(24)

oleh hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam menangani kasus

perdata. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang penulis bahas adalah pada

skripsi ini hanya memfokuskan pada Kompilasi Hukum Islam yang di

aplikasikan oleh Hakim dalam memutus kasus-kasus perdata di Pengadilan

Agama Jakarta Pusat namun tidak membahas bagaimana proses mediasi

setelah Peraturan Mahkamah Agung No.l tahun 2008 dan bagaimana

prosedur hakim yang dapat menjadi mediator dalam kasus-kasus perdata.

2. Kedudukan Hakim dan Hakamain dalam Perkara Syiqaq di Pengadilan

Jakarta Timur yang ditulis oleh Sofi Rahmawati/51/SJAS/2004

Skripsi ini membahas mengenai masalah hakim dan hakamain dalam

mediasi di pengadilan Agama Jakarta Timur dalam perkara syiqaq serta

unsur-unsur yang terdapat dalam masalah proses pengadilan dalam

mengadili perkara syiqaq saja ada sidang pra-peradilan.

Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang penulis angkat adalah bahwa

dalam skripsi ini sudah tidak relevan dan tidak up-date lagi dalam

menangani masalah hakim hakam-ain atau mediator dalam pengadilan

Agama setelah dikeluarkannya PERMA No.l tahun 2008 mengenai prisedur

mediasi dalam pengangkatan mediator dalam perkara di Pengadilan Agama.

3. Kewenangan Hakim Pengadilan Agama dalam pemberian nasehat dan

bantuan hukum kepada pencari keadilan yang ditulis oleh Dede

(25)

Di dalam skripsi ini hanya membahas fungsi dan unsur-unsur apa saja yang

dilakukan oleh hakim dalam memberikan bantuan dan nasehat kepada

masyarakat dan membahas sejauh mana kewenangan hakim dalam mengadili

persidangan.

Perbedaan skripsi yang penulis bahas dengan skripsi ini adalah dalam

kewenangan hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara di

pengadilan tanpa memberikan keterangan tentang fungsi hakim sebagai

mediator dalam prapengadilan setelah dikeluarkannya PERMA No.l tahun

2008 Tentang Prosedur Mediasi karena dalam PERMA tersebut Hakim

terdapat criteria hakim dan syarat-syarat hakim yang dapat menjadi

mediator karena mempunyai tambahan kewenangan dalam mediasi di

persidangan. Dalam penulisan skripsi yang berjudul "RESPON

PENGADILAN JAKARTA PUSAT TERHADAP PERATURAN

MAHKAMAH AGUNG No.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR

MEDIASI“ dalam hal ini penulis menjelaskan mengenai tinjauan respon

apa yang ditanggapi oleh pengadilan Agama di Jakarta pusat sebagai

jawaban atas berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No.l tahun 2008

tentang prosedur mediasi dalam wilayah pengadilan Agama di Jakarta

Pusat.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi masalah ke dalam beberapa

(26)

memperjelas dan mempertajam arah pembahasan materi yang sedang diteliti.

Adapun sistematika perumusan dari isi ringkasan bab demi bab dalam skripsi ini.

Bab Pertama : Membahas masalah latar belakang masalah di ambilnya judul ini dan penulis membatasi penulisan ini dengan pembatasan dan perumusan

masalah sehingga dapat membatasi dan merumuskan hal-hal yang akan penulis

bahas dalam skripsi ini sehingga tercapailah tujuan dan manfaat penelitian dari

tulisan skripsi ini adapun penulisan ini diperoleh data melalui tinjauan pustaka

dengan tekhnik penulisan menggunakan metode (jenis penulisan, pengumpulan

data, dan analisa data) dan di akhiri sistematika penulisan.

Bab Kedua: Membahas tentang kedudukan lembaga Pengadilan Agama dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia sehingga dapat diketahui unsur-unsur

peradilan agama, pengertian umum Mediasi dan mediator dan persyaratan untuk

menjadi mediator menurut Peraturan Mahkamh Agung No.1 tahun 2008 dan

prosedur mediasi di Pengadilan Agama Jakarta pusat, sehingga dapat mengetahui

sistematika peradilan dan prosedur mediasi di Indonesia.

Bab Ketiga: Dalam bab ini penulis membahas mengenai biografi di pengadilan Agama Jakarta pusat agar dapat spesifik karena Pengadilan Agama

Jakarta pusat adalah sebagai objek kajian dalam skripsi ini sehingga dapat di

ketahui apa saja kewenangan umum, kewenangan khusus, struktur organisasi

serta visi dan misi pengadilan Agama Jakarta pusat sehingga dapat diketahui

secara objektif tentang apa saja yang terdapat dalam pengadilan Agama Jakarta

(27)

Bab Keempat: Dalam bab ini penulis membahas tentang apa saja respon yang diutarakan oleh Pengadilan Agama Jakarta pusat dalam menanggapi

dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 tentang prosedur

mediasi baik dalam pelaksanaannya pasca dikeluarkannya Peraturan Mahkamah

Agung tersebut aturan pelaksanaanya apakah telah efektif di lakukan dalam

proses mediasi dalam Pengadilan Agama dan membahas mengenai peranan

Hakim sebagai mediator dan mediator non Hakim sehingga di ketahui

aplikasinya dalam pengadilan Agama Jakarta pusat dalam menangani

masalah-masalah perkara perdata.

(28)

A. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan, merupakan terjemahan dari kata power yaitu kekuatan atau

bisa berarti Authority :wibawa, hak untuk bertindak, ahlu dan wewenang;

strength: kekuatan, tenaga, dan daya; and control, sedangkan kehakiman, berasal

dari kata Hakim dan merupakan terjemahan dari kata judge atau justice yang

sering di artikan sebagai Hakim atau Peradilan. Undang-Undang Dasar 1945

menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka diperlukan adanya

jaminan penyelenggaraan kekuasaan dan dalam usaha memperkuat prinsip

kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai tuntutan reformasi di bidang hukum

telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No.14 tahun 1970 Tentang

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan Undang-Undang No.35 tahun

1999 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.1

Melalui perubahan Undang-Undang No.14 tahun 1970 Tentang Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut telah diletakan kebijakan bahwa segala

urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut tekhnik yustisial maupun

struktur organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di

1

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam bingkai reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008). h.137.

(29)

bawah kekuasaan Mahkamah Agung. kebijakan ini harus dilaksanakan paling

lambat lima tahun sejak di undangkannya Undang-Undang No.35 tahun 1999

Tentang Kekuasaan Pokok Kekuasaan Kehakiman.2

Sejak Tahun 1948 hingga sekarang ada 4 Undang-Undang yang mengatur

tentang kekuasaan kehakiman yaitu:

1. Undang-Undang No.19 tahun 1948 Tentang Susunan dan Kekuasaan

Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan.

2. Undang-Undang No.19 tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman.

3. Undang-Undang No.14 tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.35 tahun

1999 Tentang Ketentuan Pokok Kekluasaan Kehakiman..

4. Undang-Undang No.4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ( kecuali

daerah Nangggroe Aceh Darussalam ada kekhususan tersendiri dengan

Undang-Undang No.44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan

provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan Undang-Undang No.18 tahun 2001

Tentang otonomi khusus bagi provinsi daerah istimewa Aceh sebagai provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.3

2

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dalam tata Peradilan Negara (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003),h.157.

3

(30)

Dalam menegaskan tentang pemisahan kekuasaan atau pembagian

kekuasaan menurut Undang-Undang 1945 terdapat tiga macam pemisahan

kekuasaan atau sering disebut doktrin, trias politica tersebut adalah kekuasaan

pemerintah negara (pasal 4 dan 5), Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 19-22), dan

kekuasaan kehakiman (pasal 24-25.Namun demikian di dalam UUD 1945 itu

kekuasaan negara tidak hanya terdistribusi tiga macam melainkan enam macam,

yaitu:

a. Kekuasaan menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis besar haluan negara

yang diselenggarakan oleh MPR ( Majelis Pemusyawaratan Rakyat ).Menurut

penjelasan pasal 1 dan 3 MPR adalah penyelenggara negara yang tertinggi.

b. Kekuasaan pemerintah negara diselenggarakan oleh presiden. Presiden adalah

kepala kekuasaan tertinggi.

c. Kekuasaan pertimbangan oleh Dewan Pertimbangan Agung.

d. Kekuasaan membentuk Undang-Undang dilakukan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR).

e. Kekuasaan pemeriksaan keuangan negara dilakukan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK)

f. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan

kehakiman lainnya.4

4

(31)

Menurut Miriam Budiarjo (1992:228) dalam trias politika baik dalam

pengertian pemisahan kekuasaan maupun dalam pengertian pembagian

kekuasaan, prinsip yang dipegang adalah di dalam negara hukum kekuasaan

yudikatif bebas dari campur tangan badan Eksekutif. Untuk mewujudkan

kekuasaan kehakiman sebagaimana di maksud oleh UUD 1945,

perkembangannya mengalami pasang surut. Hal itu berhubungan dengan politik

hukum yang diterapkan.5

Seperti yang telah kita ketahui bahwa ketiga lingkungan peradilan

(Agama, Militer, Tata Usaha Negara) oleh penjelasan Undang-Undang No.14

tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang

kini oleh Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak

berlaku lagi, disebut peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara khusus

yang ditentukan oleh peraturan Perundang-undangan.Pengadilan Agama

misalnya: mengadili perkara-perkara khusus yang di tentukan oleh

Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya

Peratuaran Pemerintah (PP) No.45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan

Agama atau Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura serta Peraturan

Pemerintah (PP) No.28 Tahun 1989 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan

(32)

Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dan

Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.6

Penyebutan Peradilan Khusus oleh penjelasan Undang-Undang Pokok

Kekuasaan Kehakiman itu tidaklah dimaksudkan atau mencari keadilan melalui

Peradilan-peradilan itu, penamaan itu hanyalah sekedar menunjukan perbedaan

ketiga lingkungan peradilan itu dengan peradilan umum yang mempunyai

wewenang yang lebih luas dan umum baik mengenai perdata maupun pidana.

Karena luasnya wewenang itu peradilan umum dapat mengadakan kekhususan

pula dalam tubuhnya. Dengan berpuncak dan berada dibawah pengawasan

Mahkamah Agung, keempat lingkungan peradilan itu melakukan kekuasaan

Kehakiman dalam negara Republik Indonesia. Dengan demikian,

Pengadilan-pengadilan (Agama dan Tinggi Agama) dalam lingkungan Peradilan Agama

adalah bagian dari peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.7

Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik dan

normal, di perlukan adanya enam unsur yaitu:

1. Hakim atau qadhi yaitu orang yang di angkat oleh kepala negara untuk

menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat

2. Hukum yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaiakan suatu

perkara.

6 Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.25.

(33)

3. Mahkum bihi di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang di haruskan oleh

qadhi si tergugat.

4. Mahkum Alaih (si tergugat), yakni orang yang dijatuhkan atasnya.

5. Mahkum lahu, yaitu orang yang menggugat suatu hak.

6. Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada Hukum (putusan).8

Sedangkan menurut susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi

Agama yang diatur dalam UU no.7 tahun 1989 Tentang Susunan Pengadilan

Agama dan Pengadilan Tinggi menurut pasal 9 UU tersebut menyatakan:

a. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera,

sekretaris, dan juru sita.

b. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota,

panitera, dan sekretaris.

Ketentuan itu menunjukan bahwa unsur Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama hampir seluruhnya sama kecuali jurusita yang hanya ada di

dalam Pengadilan Agama. Berkenan dengan adanya jabatan fungsional dan

struktural, maka jabatan ketua dan wakil ketua Pengadilan Agama merupakan

saluran mobilitas vertikal para Hakim.9

(34)

B. Perundang-undangan di Indonesia

Apabila kita melihat pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar

1945, maka terlihat bahwa negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal

17 Agustus 1945 adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dalam arti

negara pengurus (verzorgingstaat). Hal ini tertulis dalam UUD 1945 alinea

ke-4.10

Istilah dan pengertian undangan secara etimologis

Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran

‘an’. Imbuhan Per-an menunjukkan arti segala hal yang berhubungan dengan

undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan

belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika

sampai pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses

pembuatan atau mengandung arti hasil ( produk ) dari pembuatan

perundang-undangan.11

Menurut Penulis istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses

dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara,

sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan

keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Undang-Undang Dasar

adalah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya itu undang-undang

10

Maria Farida Indriati soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar pembentukannya,(Jakarta:Penerbit Kanisius,1998) h.1.

11

(35)

berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang

timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak

tertulis. Memang untuk menyelidiki hukum dasar (Droit constitutonel) suatau

negara tidak cukup menyelidiki pasl-pasal Undang-Undang Dasarnya saja (loi

constitutionel), akan tetapi juga harus menyelidiki sebagaimana prakteknya dan

sebagaimana suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) dari Undang-Undang

Dasar itu.12

Undang-undang adalah peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan

Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.13. Didalam pasal 2

Undang-Undang No.10 tahun 2004 tentang Tata urutan Perundang-undangan yang

merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan

Perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan rakyat Republik Indonesia.

3. Undang-Undang.

4. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu).

5. Peraturan pemerintah.

6. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur.

12

Amir syarifudin, harun al Rasyid, Himpunan Perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang badan-badan peradian di Indonesia, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1989) h.24.

(36)

7. Peraturan Daerah.14

Dalam perundang-undangan terdapat suatu hierarki maksudnya adalah

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan

dengan perundang-undangan yang lebih tinggi15

Sedangkan tata Peraturan Perundang-undangan menurut Ketetapan

M.P.R.S No.XX/MPRS/1966 adalah:

1. UUD 1945.

2. TAP MPR.

3. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-Undang.

4. Peraturan Pemerintah.

5. Keputusan presiden.

6. Peraturan pelaksanaan.

7. Peraturan Menteri.

8. Instruksi Menteri.16

C. Tinjauan Umum Tentang Mediasi

Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak

ketiga yang dapat di terima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai

kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang

14

Undang-Undang No.10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,(Jakarta:Fokus Media,2006) h.137.

15www.wikipedia.com di akses pada tanggal 5 Maret 2009.

(37)

berselisih dalam upaya mencari kesepakatan secara sukarela dalam

menyelesaiakan permasalahan ( Mediation is process in wich the parties to a

dispute with the assistance of neutral third party ( mediator), indentify the

dispute issues, develop option, consider alternatives and endeavor to reach an

agreement. The mediator has no advisory or determinate role in regard to the

content of the dispute or the out come of is resolution, but may advise on or

determine the process of mediation where by resolution).

Dari rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mediasi

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas

kesukarelaan melalui suatu perundingan.

2. Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk

mencari penyelesaian.

3. Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan selama

perundingan berlangsung.

5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang

dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.17

Perdamaian menurut pasal 1851 KUH Perdata adalah suatu perjanjian

yang mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan menjanjikan atau

menahan suatu barang , mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung

17

(38)

ataupun mencegah timbulnya suatu perkara, perjanjian ini tidaklah sah

melainkan jika dibuat secara tertulis.18

Ada beberapa alasan mengapa alternatif penyelesaian sengketa mulai

mendapatkan perhatian yang lebih di Indonesia seperti:

a. Faktor ekonomis dimana alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi

sebagai saran untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari

sudut pandang biaya maupun waktu.

b. Faktor ruang lingkup yang dibahas, alternatif penyelesaian sengketa memiliki

kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas,

komprehensif dan fleksibel.

c. Faktor pembinaan hubungan baik, di mana alternatif penyelesaian sengketa

yang mengandalkan cara-cara penyelesaian kooperatif sangat cocok bagi

mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia

(relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.19

Alternatif penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian penting di

Indonesia, karena disamping merupakan budaya asli Indonesia yang berdasarkan

asas musyawarah untuk mufakat, juga mempunyai beberapa kelebihan atau

keuntungan antara lain:

1. Sifat kesukarelaan dalam proses, dimana para pihak percaya bahwa dengan

menyelesaiakan sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, akan

18

Mariana Sutadi, Penyelesaian Sengketa melalui Upaya Konsultasi, Negosiasi,Mediasi/Konsiliasi.h.1.

19

(39)

2. Prosedur yang lebih cepat dimana prosedur alternatif penyelesaian sengketa

cersifat informal pihak-pihak yang terlibat mampu menegosiasikan

syarat-syarat penggunaannya.

3. Keutusannya bersifat non-judisial karena kewenangan untuk membuat

keputusan ada pada pihak-pihak yang bersengketa, yang berarti para pihak

yang terlibat mampu meramalkan dan mengontrol hasil-hasil yang

disengketakan.

4. Fleksibilitas dalam menentukan syarat-syarat penyelesaian masalah dan

komprehensif dimana prosedur ini dapat menghindari kendala prosedur

yudicial yang terbatas ruang lingkupnya.

5. Prosedur rahasia (confidental) ini memberikan jaminan kerahasiaan bagi para

pihak dengan porsi yang sama dan dapat menjajaki pilihan-pilihan sengketa

yang potensial dan hak-hak mereka dalam mempresentasikan data untuk

menyerang balik tetap melindungi.

6. Hemat waktu, dimana dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui alternatif

penyelesaian sengketa menawarkan kesempatan yang lebih cepat dalm

(40)

7. Hemat biaya, karena dalam menyelesaikan sengketa semakin lama

penelesaiannya semakin mahal biaya yang dikeluarkannya.20

Sedangkan etika penyelesaian masalah dalam konsepsi Islam menurut

Umar Bin Khattab dalam Risalah al-Qadha ada berbagai masam prinsip yang

harus di ketahui dalam menyelesaiakan sengketa, antara lain:

a. Menyelesaikan perkara adalah suatu kewajiban dari Allah SWT dan Sunnah

yang harus diikuti.

b. Memahami pokok permasalahan.

c. Mendengar keterangan kedua belah pihak secara seimbang.

d. Mengupayakan perdamaian di antara kedua belah pihak.

e. Beritjtihad untuk meneukan penyelesaian sengketa.

f. Harus berlaku adil.

g. Hindari marah saat bersidang.21

Hal ini juga sesuai firman Allah dalam Q.S a Nisa ayat 128 yaitu:

(41)

Artinya: Dan Jika Seorang Wanita Khawatir akahn Nusyuz atau sikap

acuh dari suaminya, maka tidak mengapa keduanya mengadakan Perdamaian

yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun

manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan Jika kamu bergaul istrimu dengan baik

dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya

Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S an Nisa ayat 128)

Dalam praktik, Mediator sangat membutuhkan kemampuan personal

yang memungkinkan berhubungan secara menyenangkan dengan masing-masing

pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak menghakimi, yaitu

dalam kaitannya dengan cara berpikir masing-masing pihak, serta kesiapannya

untuk memahami dengan empati pandangan para pihak. Mediator perlu

memahami dan memberikan reaksi positif (meskipun berarti tidak setuju) atas

persepsi masing-masing pihak dengan tujuan membangun hubungan baik dan

kepercayaan, namun jika para pihak sudah percaya kepada mediator dan proses

mediasi, Mediator akan lebih mampu membawa mereka ke arah konsensus.22

Menurut Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 mengingat

mediator sangat menentukan efektifitas proses penyelesaian sengketa, ia harus

secara layak memenuhi kualifikasi tertentu serta berpengalaman dalam

22

(42)

komunikasi dan negosiasi agar mampu mengarahkan para pihak yang

bersengketa. Jika ia berpengalaman dan terbiasa berperkara di Pengadilan, hal itu

sangat membantu. Tetapi, pengalaman apapun, selain pengalaman sendiri

memang kurang relevan, pengetahuan secara subtantif atas masalah yang di

sengketakan tidak mutlak di butuhkan lebih penting adalah kemampuan

menganalisis dan keahlian menciptakan pendekatan pribadi. Dalam prosedur

mediasi di Pengadilan Agama mediator adalah salah satu unsur penting dalam

pelaksanaan mediasi karena tanpa adanya mediator pelaksanaan fungsi mediasi

tidak akan terlaksana dengan baik sesuai undang-Undang yang berlaku maka

mediator harus memilki keterampilan dalam proses upaya perdamaian agar dapat

memaksimalkan proses mediasi. 23

Menurut Firman Allah yang terdapat dalam Q.S al Hujurat ayat 9

(43)

Artinya:” dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antar keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah, kalau dia telah surut damaikan keduanya menurt keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil. (Q.S al Hujurat ayat 9).

Maka dalam PERMA No.1 tahun 2008 di tentukan kriteria mediator lembaga

penyedia penyelesaian sengketa yaitu harus memiliki persyaratan sebagai berikut:

a. Mengajukan permohonan kepada ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

b. Akademisi Hukum atau sarjana Hukum

c. Memliki sertifikat sebagai mediator dari lembaga yang telah di tunjuk oleh

Mahkamah Agung.

d. Mendaftar sebagai mediator di Pengadilan.24

Sedangkan bagi lembaga sertifikasi dan pelatihan mediator harus memiliki

persyaratan sebagai berikut:

1) Mengajukan permohonan kepada ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

2) Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti

pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai

instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi.

3) Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan

untuk mediator bersertifikat di Pengadilan.

(44)

4) Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang

di sahkan oleh Mahkamah Agung Republik indonesia.25

Adapun dalam PERMA No.1 tahun 2008 mengatur tugas-tugas yang di

amanatkan kepada mediator sesuai fungsinya mediator harus mengikuti aturan

yang telah ditetapkan yang dijelaskan dalam pasal 15 antara lain:

a. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para

pihak untuk dibahas dan disepakati.

b. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam

proses mediasi.

c. Apabila dianggap perlu mediator dapat melakukan kaukus, Kaukus adalah

pertemuan antara mediator dengan dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh

pihak lainnya.

d. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali

kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik

bagi para pihak.26

Sedangkan Menurut Indonesian Institute for Conflict Transformation tugas

mediator dalam proses mediasi adalah sebagai berikut:

1).Melakukan pertemuan dengan Pihak pertama dan kedua secara terpisah

2).Melakukan pertemuan dengan keduanya secara bersama.

3).Mengatur suasana dan mendengarkan issues.

(45)

4).Mengelaborasi dan bekerja pada issues.

5).Mengembangkan kesepakatan.

6).Penutup.27

D. Prosedur Mediasi Dalam Pengadilan Agama

Kenyataan praktik yang dihadapi, jarang sekali dijimpai putusan

perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang

diajukan kepadanya, hampir 100% berupa putusan konvensional yang bercorak

menang atau kalah (Winning or losing). Jarang ditemukan penyelesaian

berdasarkan konsep sama-sama menang (Win-win solution). Berdasarkan fakta

ini, kesungguhan, kemampuan, dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh

dikatakan sangat mandul. Akibatnya, Keberadaan pasal 130 HIR, pasal 154 RBG

dalam hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.28

Upaya perdamaian yang dimaksud disini adalah perdamaian yang dikenal

dengan istilah “Dading” dalam praktek hukum acara perdata, yakni persetujuan

atau perjanjian yang disetujui oleh keduabelah pihak yang bersengketa untuk

mengakhiri perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaiakan oleh

Pengadilan.29

27 Makalah Indonesian Institute For Conflict Transformation,2009, h.12.

28 M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika.2005), h.241.

(46)

Sesuai firman Allah dalam Q.S an Nisa ayat 35 yang berbunyi

Artinya:”dan Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang Hakam dari keluarga laki-laki dan seorang Hakam dirinya keluarga perempuan, jika kedua orang Hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.(Q.S. an Nisa ayat 35).

Dalam PERMA No.1 tahun 2008 prosedur mediasi agar sesuai dengan

Undang-Undang yang berlaku dan lebih efektif dalam upaya perdamaian dan

tidak membuang-buang waktu maka mediasi harus mengikuti prosedur dan

tahap-tahap yang berlaku terdapat dua tahap-tahap mediasi yaitu tahap-tahap pra-mediasi dan tahap-tahap

mediasi.Dalam tahap pra-mediasi terdapat 6 proses yang harus di lakukan

sebelum tahap mediasi di jalankan yaitu;

1. Kewajiban Hakim pemeriksa perkara dan kuasa Hukum

a. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang di hadiri dua belah pihak,

Hakim wajibkan para pihak untuk menempuh mediasi atau upaya

perdamaian.

b. Ketidakhadiran para pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan

(47)

oleh pihak yang ditunjuk atau memilki surat kuasa untuk mewakili proses

mediasi.

c. Hakim melalui kuasa Hukum atau langsung kepada para pihak mendorong

untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

d. Kuasa Hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri

berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

e. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan

kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.

f. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam PERMA ini kepada

para pihak yang bersengketa.30

2. Hak para pihak untuk memilih mediator.

a. Hakim berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut.

b. Hakim bukan pemeriksa perkara pada Pengadilan yang bersangkutan.

c. Advokat atau akademisi Hukum.

d. Profesi bukan Hukum yang dianggap para pihak menguasai atau

berpengalaman pokok sengketa.

e. Hakim majelis pemeriksa perkara.

f. Gabungan antara mediator yang disebut di atas dan hanya dua saja yang di

perbolehkan menjadi mediator contohnya: Hakim pemeriksa perkara

dengan Advokat boleh di gabung.

(48)

g. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu mediator,

pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator

sendiri.31

3. Daftar Mediator

a. Untuk memudahkan para pihak memilih mediator ketua Pengadilan

menyediakan daftar Mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima)

nama mediator dan disertai dengan latar belakang pendidikan atau

pengalaman para mediator.

b. Ketua Pengadilan menempatkan nama-nama Hakim yang telah memiliki

sertifikasi dalam daftar mediator.

c. Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator

yang bersertifikat, semua Hakim pada pengadilan yang bersangkutan

dapat ditempatkan dalam daftar mediator.

d. Mediator bukan Hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan

kepada ketua pengadilan agar namanya di tempatkan dalam daftar

mediator.

e. Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, ketua pengadilan

menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.

f. Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbaharui daftar

mediator.

(49)

g. Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar

mediator berdasarkan alasan objektif antara lain karena mutasi

kerja,berhalangan tetap, ketidak aktifan setelah penugasan dan

pelanggaran atas pedoman dan perilaku.32

4. Honorariaum Mediator.

a. Penggunaan jasa mediator Hakim tidak di pungut biaya.

b. Penggunaan mediator bukan Hakim ditanggung bersama oleh para pihak

atau berdasarkan kesepakatan para pihak.33

5. Batas waktu pemilihan Mediator.

a. Setelah para pihak hadir dalam sidang pertama Hakim mewajibkan para

pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya

untuk berunding guna memilih mediator termasuk penentuan biaya yang

mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan Hakim.

b. Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua

majelis Hakim.

c. Ketua Majelis Hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk

melaksanakan tugas.

d. Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana di maksud ayat (1)

terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang di

32Ibid.h.6.

(50)

kehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka

memilih mediator kepada ketua majelis Hakim.

e. Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan mediator,

ketua majelis Hakim segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa pokok

perkara yang bersertifikat pada Pengadilan yang sama untuk menjalankan

fungsi mediator.

f. Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa

perkara yang bersertifikat, maka Hakim pemeriksa pokok perkara dengan

atau tanpa sertifikat yang di tunjuk oleh ketua majelis Hakim wajib

menjalankan fungsi mediator.34

6. Menempuh Mediasi dengan iktikad baik.

a. Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.

b. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak

lawan menempuh mediasi dengan iktikad baik.35

Sedangkan tahap kedua dalam proses mediasi adalah tahap mediasi yang

dilakukan diluar persidangan terdiri dari proses;

1) Penyerahan resume perkara dan lama waktu proses mediasi

a) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak

menunjuk mediator yang disepakati masing-masing pihak dapat

34ibid.h.9.

(51)

menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada

mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para

pihak gagal menunjuk mediator masing-masing pihak dapat

menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang

ditunjuk.

b) Proses mediasi berjalan paling lama 40 (empat puluh) hari kerja

sejak mediator dipilih oleh para pihak atau di tunjuk oleh ketua

majelis Hakim sebagaiman maksud pasal 11 ayat (5) dan (6) yaitu

dalam pasal (5) menjelaskan setelah menerima pemberitahuan para

pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis Hakim

segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang

bersertifikat pada Pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi

mediator, sedangkan dalam ayat (6) di jelaskan jika pada

Pengadilan yang sama tidak terdapat hakim yang bukan pemeriksa

perkara yang bersertifikat sebagai mediator maka hakim pemeriksa

pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang di tunjuk oleh

ketua majelis Hakim wajib menjalankan fungsi mediator.

c) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat

perpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir

masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam pasal 13

ayat (3). Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka

(52)

d) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi

dapat di lakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat

komunikasi.36

2) Kewenangan mediator menyatakan mediasi gagal

a) Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah

satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali

berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi yang telah di

sepakati atau telah duia kali berturut-turut tidak menghadiri

pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.

b) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa

dalam sengketa yang sedang di mediasi melibatkan aset atau harta

kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan

pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga

pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu

pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan

kepada para pihak dan Hakim pemeriksa bahwa perkara yang

bersangkutan tidak layak untuk mediasi dengan alasan para pihak

tidak lengkap.37

3) Keterlibatan para Ahli.

36Ibid.h.10.

(53)

a) Atas persetujuan para pihak dan Kuasa Hukum, mediator dapat

mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk

memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu

menyelesaikan perbedaan pendapat para pihak.

b) Para pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang

kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau

penilaian seorang ahli.

c) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam

proses mediasi di tanggung oleh para pihak berdasarkan

kesepakatan.38

4) Mencapai Kesepakatan.

a) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak

dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis

kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani para pihak dan

mediator.

b) Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum,

para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas

kesepakatan yang dicapai.

c) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator

memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada

(54)

kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak

dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik.

d) Para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim pada hari

sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan akta

perdamaian.

e) Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian dikuatkan

dalam bentuk akta perdamaian.

f) Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian

dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian

harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang

menyatakan perkara telah selesai.39

5) Tidak mencapai kesepakatan.

a) Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja

sebagaimana di maksud dalam pasal 13 ayat(3),para pihak tidak

mampu menghasilkan kesepakatan atau sebab-sebab yang

terkandung dalam pasal 15, mediator wajib menyatakan secara

tertulis bahwa proses mediasi gagal dilaksanakan dan

memberitahukan kegagalan kepada Hakim.

(55)

b) Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, Hakim

melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara

yang berlaku.

c) Pada tahapan pemeriksaan perkara, Hakim pemeriksa perkara tetap

berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian

hingga sebelum pengucapan putusan.

d) Upaya perdamaian sebagaiman di maksud dalam ayat (3) diatas

berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para

pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada Hakim

pemeriksa perkara yang bersangkutan.40

6) Keterpisahan antara Mediasi dan Litigasi.

a) Jika para pihak gagal menempuh kesepakatan, pernyataan dan

pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat di

gunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang

bersangkutan atau perkara lain.

b) Catatan mediator tentang pelaksanaan mediasi wajib dimusnahkan

untuk menghindari terbukanya rahasia atau privasi seorang atau

badan hukum.

c) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses

persidangan perkara yang bersangkutan.

(56)

d) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun

perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.41

7) Tempat penyelenggaraan mediasi.

a) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan

tingkat pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para

pihak.

b) Mediator Hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar

Pengadilan.

c) penyelenggaraan mediasi di dalam salah satu ruang Pengadilan

tingkat pertama tidak di kenakan biaya.

d) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain,

pembiayaan di bebankan kepada para pihak berdasarkan

kesepakatan.42

8) Perdamaian di tingkat Banding,Kasasi,dan Peninjauan Kembali.

a) Para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya

perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses bandiung,

Kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang

sedang diperiksa pada tingkat banding, Kasasi, dan peninjauan

kembali sepanjang perkara itu belum di putus.

41Ibid.h.12.

(57)

b) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib

disampaikan secara tertulis kepada ketua Pengadilan setempat.

c) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang menghadili segera

memberitahukan kepada ketua Pengadilan Tingkat Banding yang

berwenang atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para

pihak untuk menempuh upaya perdamaian.

d) Jika perkara yang bersangkutan sedang di periksa pada Tingkat

Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali, Majelis Hakim

pemeriksa pada tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali

wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14

(empat belas) Hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang

kehendak para pihak menempuh upaya perdamaian.

e) Jika berkas memori Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali

belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat pertama yang

bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas memori Banding,

Kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para

pihak mengupayakan perdamaian.

f) Upaya perdamaian dalam tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak

penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima ketua

(58)

g) Upaya perdamaian dalam tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara

tersebut di tingkat pertama atau ditempat lain atas persetujuan para

pihak.

h) Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan tingkat

pertama yang bersangkutan menunjuk seorang Hakim atau lebih

untuk menjadi mediator dan yang menjadi mediator adalah tidak

boleh berasal dari majelis Hakim yang memeriksa perkara yang

bersangkutan pada pengadilan tingkat pertama, kecuali tidak ada

hakim lain pada Pengadilan tingkat pertama tersebut.

i) Para pihak melalui ketua Pengadilan Tingkat pertama dapat

mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis

Hakim pada tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali

untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian dan di tanda

tangani oleh majelis Hakim yang bersangkutan dalam waktu 30

(tiga puluh) hari sejak dicatat dalam register induk perkara dan

dikirmkan kepada Pengadilan tingkat Banding atau Mahkamah

Agung.43

9) Kesepakatan di luar Pengadilan

(59)

Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil

menyelesaiakan sengketa di luar Pengadilan dengan kesepakatan

perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut kepada

Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan

cara mengajukan gugatan.dan harus dissertai atau di lampiri dengan

kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada

hubungan hukum antara para pihak dan objek sengketa dengan

persyaratan sebagai berikut:

a) Sesuai dengan kehendak para pihak

b) Tidak bertentangan dengan hukum

c) Tidak merugikan pihak ketiga

d) Dapat dieksekusi

e) Dengan iktikad baik dari para pihak yang bersengketa.44

Sedangkan menurut Indonesian Institute For Conflict Transformation

yaitu suatu institusi yang mengkaji tentang masalah mediasi atau perdamaian

di negara Indonesia ada beberapa tahapan prosedur mediasi yaitu:

1) Memulai Proses Mediasi

a) Mediator memperkenalkan diri dan para pihak.

b) Menekankan adanya kemauan para pihak untuk menyelesaiakan

masalah melalui.

(60)

c) Menjelaskan pengertian mediasi dan peran mediator

d) Menjelaskan prosedur mediasi.

e) Menjelaskan pengertian Kaukus.

f) Menjelaskan Parameter kerahasiaan.

g) Menguraikan jadwal dan lama proses mediasi.

h) Menjelaskan aturan perilaku dalam proses perundingan.

i) Memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menjawab dan

bertanya.45

2) Merumuskan masalah dan menyusun agendakan

a) Mengidentifikasi topik-topik umum permasalahan, menyepakati

subtopik permasalahan yang akan dibahas dalam proses perundingan.

b) Menyusun agenda perundingan.46

3) Mengungkapkan kepentingan tersembunyi. Dapat dilakukan dengan dua cara :

a) Cara langsung yaitu mengemukakan pertanyaan langsung kepada para

pihak

b) Cara tidak langsung yaitu mendengarkan atau merumuskan kembali

pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh para pihak47

4) Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa

45 Makalah Indonesian Institute for conflict, h.1. 46Ibid.h.2.

Gambar

GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT

Referensi

Dokumen terkait

Usaha-usaha memperkirakan kebutuhan investasi untuk mencapai sasaran laju pertumbuhan ekonomi tertentu dalam suatu perencanaan pembangunan dilakukan melalui konsep ineremental

Model ini dapat menjelaskan perbedaan individual dalam belajar melalui multimedia. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki prior knowledge

Selanjutnya, Penulis menyarankan kepada pembaca untuk mengembangkan hasil modifikasi pada Tugas Akhir ini agar mendapatkan metode iterasi baru dengan orde konvergensi tinggi dan

Dalam sudut pandang pembinaan atau pengasuhan yang dilakukan oleh pengasuh sangat tidak wajar dalam memberikan pengasuhan seperti yang dirasakan oleh Dewi, Dewi kadang-kadang

Pengujian yang dilakukan adalah pengujian terhadap daftar fungsi aplikasi yang telah dijabarkan pada Bab III dan terhadap tujuan dibuatnya aplikasi ini, yakni melakukan

Pengamatan panen meliputi angka kerapatan panen, kriteria matang buah, produksi per pemanenan, proses kegiatan panen, dan kebutuhan tenaga kerja panen serta

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis serta mengetahui indeks keanekaragaman kupu-kupu yang terdapat di kawasan Hutan Dalit Desa Benao Hulu

Pada hasil pengukuran panjang luka sayat pada setiap kelompok mencit yang dilakukan setiap hari pada waktu yang sama, didapatkan bahwa kelompok yang dipajan dengan ozon