Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
Nur Septa Ahdiyamsyah
203043101805KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM PRODI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Syari’ah (S.Sy) Oleh
Nur Septa Ahdiyamsyah Nim:203043101805
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 19550505 198203 1 012
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Hidayatullah Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).
Jakarta, 22 Maret 2010 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma,SH,MA,MM
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, S.H., MA ( ) NIP. 19551015 197903 1 002
Sekretaris : Drs.H. Ahmad Yani, M.Ag ( ) NIP. 196404012 199403 1 004
Pembimbing I : Prof.Dr.H. Muhammad. Amin Suma, S.H, MA, MM. ( ) NIP. 19550505 198203 1 012
Penguji I : Drs. Djawahir Hejazziey, S.H., MA ( ) NIP. 19551015 197903 1 002
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik, hidayah, dan Inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Selanjutnya salawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW beserta Sahabat keluarganya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM yang juga bertindak sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini, terimakasih atas waktunya ditengah kesibukan Bapak dalam memberikan bimbingan dan saran bagi penulis.
2. Ketua Progran Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA,. Dan sekretaris Progran Studi Perbandingan Mazhab Hukum, Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.
3. Orang Tua tercinta, dan kakak-kakak, yang senantiasa mendoakan penulis dan memberikan motifasi, baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi serta menyelesaikan penulisan skripsi ini.
ii
4. Segenap jajaran staff dan karyawan akademik perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, perpustakaan Gandaria, LBH APIK, Komnas Perempuan Jakarta, KONTRAS, yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan skrispi. 5. Teman-teman PMF/PMH angkatan 2003, baik reguler maupun non reguler,
teman-teman di Majelis Rasulullah SAW, teman-teman di HMI, KOMPAK dan KMM RIAK yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang terus memberikan motifasi dan spirit kepada penulis dalam proses penulisan skripsi.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya pahala yang berlipat ganda. Amin.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada pembaca, meski skripsi ini tidak lepas dari kekurangannya.
Jakarta, 15 Maret 2010 M 30 Rabiul Awal 1431 H
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metode Penelitiaan ... 6
E. Sistimatika Penulisan ... 7
BAB II : HAK-HAK PRAMUWISMA DALAM PERDA NO 6 TAHUN 1993... 9
A. Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Pembinaan Kesejahtraan Pramuwisma ... 9
B. Hak dan Kewajiban Pramuwisma ... 15
C. HAM dalam Islam... 18
D. HAM Perspektip Barat ... 29
BAB III : HAK-HAK PRAMUWISMA YANG BELUM MENDAPATKAN PERLINDUNGAN HUKUM SECARA MAKSIMAL... 34
A. Upah Yang Tidak Mencukupi... 34
iv
E. Rentannya Terhadap Kekerasan ... 45
BAB IV : PENUTUP... 59
A Kesimpulan ... 59
B Saran – saran ... 61
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dilahirkan dan diciptakan Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial yang selalu hidup bermasyarakat, tidak seorangpun sanggup hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain. Hal ini merupakan kenyataan yang bersifat kekal dan berlaku Universal, tetap berlangsung selama manusia hidup dan berlaku diseluruh dunia.
Setiap orang memerlukan penghasilan agar ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan serta kebutuhan-kebutuhan yang lainnya yang tidak terbatas, untuk memperoleh hal tersebut ia harus bekerja.1
Makna bekerja ditinjau dari segi kemasyarakatan adalah melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa guna memuaskan kebutuhan masyarakat. 2
Seseorang yang tidak mempunyai modal atau penghasilan mengharapkan pekerjaan dari orang lain yang dapat memberikan penghasilan kepadanya, sehingga ia dapat memenuhi kehidupan dan keluarganya sehari-hari, dipihak lain
1
Ridwan Halim dan Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), Cet Ke I, hal.1.
2
Djumadi, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 1995), Edisi ke-2, cet. Ke-3, hal 1.
kesempatan melakukannya sendiri dalam hal ini ia memerlukan orang lain untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan adanya saling membutuhkan akan timbal balik suatu hubungan, yaitu hubungan hukum lahir karena adanya hubungan kerja antara buruh dan majikan.3 Majikan berhak atas hasil pekerjaan sedangkan buruh berhak mendapatkan upah hasil kerjanya. 4
Namun persoalannya, karena semua UU secara eksplisit menyebutkan istilah Pramuwisma sebagai pekerja, sehingga dalam implementasi, tetap saja Pramuwisma dianggap bukan sebagai pekerja yang masuk dalam wilayah perlindungan hukum perburuhan.
Akibatnya sering terjadi pelanggaran hukum perburuhan sebagai berikut : adanya penyalahgunaan perjanjian kerja (misal: secara lisan dipekerjakan sebagai Pramuwisma namun ternyata dijadikan pekerja seks), tidak adanya mekanisme dan sistem kerja yang jelas (upah, jam kerja dll), upah yang tidak dibayar, upah yang rendah, jam kerja yang panjang (dapat dikatakan sebagai kerja paksa dan merupakan bentuk eksploitasi) serta adanya kondisi kerja yang membahayakan tanpa perlindungan, tidak adanya jaminan kesehatan, kematian, kecelakaan jaminan hari tua dan lain-lain. 5
3
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Pradya Paramita, 1985), hal.1
4
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Djambatan , Jakarta: 1985), ttc. hal 52.
5
kurang mendapat penghargaan sehingga tidak mendapatkan perlindungan baik hukum maupun sosial secara layak. Padahal, sebagai pelaku kerja kerumah tanggaan mereka memiliki peran reproduktif sekaligus produktif yang penting dalam suatu keluarga/rumah tangga. Akibatnya mereka rentan menghadapi berbagai bentuk kekerasan (fisik, seksual, psikis dan ekonomis). Karena adanya ketimpangan kelas dan relasi kekuasaan, sangat jarang PRT yang mampu melawan kekerasan yang mereka hadapi.
Penindasan hak-hak PRT sebagai pekerja, tindakan semena-mena yang memperlakukan PRT bukan sebagai manusia merupakan manifestasi dari praktek perbudakan domestik (domestic slavery). Dalam praktek ini, terjadi eksploitasi dan pemaksaan kerja terhadap PRT. Bukan hanya di Indonesia, praktek perbudakan domestik ini telah dan terus menjadi fenomena global.
Hampir setiap hari media masa baik cetak maupun elektronik memberitahukan kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan majikan terhadap PRT-nya, dari yang luka ringan, babak belur hingga ada yang menyebabkan kematian, dan secara faktual sebagai PRT adalah perempuan termasuk anak perempuan dibawah umur 18 tahun.
Hingga kini belum ada data-data yang pasti mengenai kondisi PRT (baik dari segi kuantitas maupun aspek lainnya) di daerah DKI Jakarta. Estimasi penelitian Unika Atmajaya dan ILO-IPEC melalui rapid assessment
menggunakan asumsi 50 % rumah tangga di Jakarta menggunakan Pramuwisma. Satu-satunya peraturan yang mengeksplisitkan PRT sebagai pekerja terdapat dalam PERDA No. 06/1993 yang menyatakan Pramuwisma adalah tenaga kerja PRT yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan menerima upah, dan lebih jelas lagi dilihat dari lembaga yang mengatur masalah PRT yaitu Dinas Tenaga Kerja dibantu oleh Tim Penyelesaian Perselisihan PRT. Berdasarkan ketentuan ini, maka dapat ditegaskan bahwa hubungan kerja antara PRT dengan majikannya (Pengguna jasa) adalah hubungan kerja yang formal dan kontraktual.
Pada kenyataannya, tempat kerja PRT di ranah domestik merupakan wilayah kerja yang rentan terhadap pelanggaran HAM, terutama pada Perempuan dan anak dibawah umur, dari berbagai kasus yang diterima media, kasus-kasus kekerasan karena diskriminasi jenis kelamin sering sekali berkaitan dengan masalah upah yang rendah, ketidak jelasan waktu istirahat, beban kerja yang berlebihan dan sebagainya.6
Bahwa manusia dalam HAM dan Hukum Islam adalah mahluk yang mulia apapun jenis kelaminnya, agama, etnis dan warna kulitnya atau yang lainnya, memiliki hak-hak yang sama yang harus dilindungi, dihormati dan dijunjung tinggi. Agama Islam menganggap bahwa manusia itu sama dan merupakan anak
6
sekarang ini, hak-hak dan nasib PRT sangatlah berbeda jauh dengan apa yang diharapkan, penulis menjadi tertarik untuk membahas persoalan ini di dalam skripsi, yang berjudul, “APLIKASI PERDA NO 6 TAHUN 1993 TENTANG HAK-HAK PRAMUWISMA DI JAKARTA. Perspektif Hukum Islam dan HAM”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Agar pembahasan ini lebih terarah, penulis akan memperjelas persoalan dan permasalahan yang akan dibahas serta untuk membatasi bahasannya, maka penulis hanya membahas tentang Hak-hak pramuwisma dalam Perda No 6 tahun 1993 dan Hak-hak yang belum mendapatkan perhatian hukum secara maksimal.
Dalam pembatasan skripsi ini, penulis merumuskan permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Hak-Hak apa saja yang belum mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap hak-hak PRT?
7
Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Hak-Hak Pramuwisma yang diatur di dalam Perda No 6 Tahun 1993.
2. Untuk mengetahui Hak apa saja yang belum mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal.
3. Untuk memperoleh pemahaman dan wawasan yang luas tentang perlindungan hak-hak PRT menurut hukum Islam dan hukum positif.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan agar penulisan yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik dan sesuai prosedur keilmuan, maka penulis menggunakan metode kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data adalah studi dokumentasi.
Sementara dalam rangka mengumpulkan data untuk keperluan penulisan skripsi ini, penulis akan mengeksplorasi data primer dan data sekunder. Data primer digali dengan melakukan kajian terhadap Undang-undang yang berkaitan langsung mengenai pembahasan Pramuwisma.
doktrin-penulisan dan memberi arah pembahasan yang relevan dalam doktrin-penulisan ini. Dari data-data inilah, kemudian melakukan komparasi dan korelasi antara satu data dengan data yang lain yang berkaitan dengan penulisan ini dan akhirnya memberikan analisis terhadap data-data itu dalam hubungannya dengan penulisan, ini merupakan penelitian komparatif, yakni studi yang dilakukan dengan membandingkan antara Undang-undang dan hukum Islam.
Adapun pedoman penulisan skripsi ini adalah buku “Pedoman Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”.
E. Sistematika Penulisan
Bab I : Yang terdiri dari Pendahuluan, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Menyajikan Tinjaun Umum Hak-Hak Pramuwisma dalam Perda No 6 Tahun 1993; yang meliputi: Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Kesejahtraan Pramuwisma, Hak dan kewajiban Pramuwisma, HAM dalm Islam dan HAM dan HAM Perspektif Barat.
BAB II
HAK-HAK PRAMUWISMA DALAM PERDA NO 6 TAHUN 1993
A. Perda No 6 Tahun 1993 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Pramuwisma
1. Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan otonomi daerah khususnya bidang
ketenagakerjaan. Pemerintah DKI Jakarta berupaya untuk mengadopsi
masalah ketenagakerjaan yang dituangkan dalam suatu Peraturan Daerah. Hal
tersebut mengingatkan kita bahwa penanganan masalah ketenagakerjaan tidak
semudah seperti apa yang dibayangkan. Hal ini juga terkait dengan semangat
kejujuran dan perilaku baik bagi pelaku ekonomi maupun oleh aparat
pemerintah yang menangani. Di samping itu sangat erat kaitannya dengan
masalah politik, keamanan, ekonomi dan lain sebagainya.
Disadari bahwa Rancangan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan DKI
Jakarta dimaksud tidak menutup kemungkinan telah beredar kepada
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam upaya untuk memberi sumbang
saran. Akan tetapi perlu disadari bahwa semangat penyusunan Rancangan
Peraturan daerah dimaksud belum dilandasi oleh semangat Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Oleh karena hal itu juga tersebut tentunya akan menjadikan
pertimbangan Pemerintah Propinsi untuk disesuaikan dengan semangat
Undang-Undang 13 Tahun 2003 dimaksud.
Khusus menyangkut masalah tenaga kerja pramuwisma menurut
Rancangan Peraturan Daerah dimaksud hanya mengatur garis-garis besarnya
yaitu menyangkut masalah lembaga penyedia dan penyalur pramuwisma serta
pengguna jasa.1
2. Sistematika Perda No 6 Tahun 1993
Jenis pekerjaan rumah tangga adalah salah satu alternatif pekerjaan
untuk menyerap tenaga kerja sebagai upaya mengurangi jumlah
pengangguran, pekerja yang bekerja pada jenis pekerjaan rumah tangga,
memiliki “karakteristik tersendiri (khususnya)” maka memerlukan
perlindungan hukum, sama dengan pekerja yang lainnya. Sistematika Perda
Pramuwisma ini terdiri dari Tiga belas bab dintaranya adalah:
BAB I, ketentuan Umum yang terdiri dari satu pasal. Pasal 1
menjelaskan beberapa hal tentang definsi dari : Pekerja Rumah Tangga (PRT),
Pengguna Jasa PRT, penempatan PRT, Lembaga penempatan PRT,
Perjanjian Kerja, Upah PRT dan sebagainya. Perlindungan PRT berlandaskan
kepada asas penghormatan terhadap hak asasi manusia atas dasar kesetaraan
dan keadilan gender tanpa diskriminasi.2
1
Wakil Kepala Tenaga Kerja Dan Transaksi Propinsi DKI Jakarta, Makalah Perlindungan Pembantu Rumah Tangga Dalam Rancangan Peraturan Daerah Ketenagakerjaan Propinsi DKI Jakarta
2
BAB II Pembinaan Kesejahtraan Pramuwisma, Pasal 2: Pembinaan
kesejahtraan Pramuwisma dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah.3
BAB III Pengadaan dan Penyaluran, bab ini terbagi dari tiga bagian
yaitu: Bagian pertama Badan Usaha, yang menjelaskan tentang kewajiban
badan usaha dan pengguna jasa pramuwisma. Dintaranya: Pasal 3, pengadaan
tenaga kerja pramuwisma. Pasal 4: yaitu kewajiban menyelenggarakan
kesejahtraan pramuwisma. Pasal 5 meliputi waktu jam kerja pramuwisma dan
kewajiban badan usaha untuk membuat laporan tertulis. Pasal 6 menjelaskan
tentang kontrak kerja. Pasal 7 Badan usaha berhak mendapatkan biaya atas
pembinaan pramuwisma dari pengguna jasa pramuwisma dan Pasal 8 tentang
larangan badan usaha untuk memungut biaya kepada pramuwisma,
menyalurkan melalui calo/perantara dan menyalurkan pramuwisma ke luar
wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Bagian kedua Pengguna Jasa: pasal 9, 10 dan 11 yang berisi
kewajiban pengguna jasa, pasal 12 dan 13 yaitu kewajiban-kewajiban
pramuwisma. 4
BAB IV tentang Perizinan, pasal 14 dan 15 menjelaskan tentang
penyelenggaraan, tata cara dan persyaratan perizinan operasional yang telah
ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah. Pasal 16 menjelaskan tentang
3
Ibid, h. 4
4
jangka waktu perizinan dan tata cara perpanjangan peizinan, pasal ini
ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.5
BAB V tentang Penyelesaian Perselisihan, pasal 17 yaitu mengenai
penyelesai perselisihan antara pramuwisma dan pengguna jasa, badan usaha
dan pengguna jasa, pramuwisma dan badan usaha yang dapat diselesaikan
melalui Tim Penyelesaian Perselisihan Pramuwisma yang dibentuk oleh
Gubernur Kepala Daerah.6
BAB VI tentang Retribusi, pasal 18 menjelaskan tentang: yang
dikenakan retribusi yaitu sebagaimana dimaksud dalam pasal 14, besarnya
retribusi dan tempat penyetoran retribusi yaitu di kantor Kas Daerah DKI
Jakarta.7
BAB VII tentang Pembayaran dan Penetapan, pasal 19 dan 20
menjelaskan tentang ketetapan pembayaran retrebusi yang terhutang.8
BAB VIII tentang Penagihan, Pasal 21 ketetapan retribusi dan
tambahannya merupakan dasar penagihan retribusi. Pasal 22 dan 23
menjelaskan tentang jumlah denda retribusi yang telah jatuh tempo yaitu 2 %
BAB IX tentang Keberatan, pasal 24 menjelaskan tentang wajib
retribusi yang dapat mengajukan keberatan terhadap ketetapan retribusi,
jangka waktu penetapan, dan kewajiban untuk membayar retribusi tidak
tertunda dengan diajukan surat keberatan.10
BAB X tentang Pembebasan, pasal 25 menjelaskan mengenai
pembebasan atau pengurangan besarnya retrebusi yang diberikan oleh
Gubernur Kepala Daerah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah
ini.11
BAB XI tentang Pengawasan, pasal 26 menjelaskan mengenai
pengawasan atas ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Daerah ini ditugaskan kepada pegawai yang diserahi tugas
pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
yang berlaku.12
BAB XII tentang Ketentuan Pidana, Pasal 27 menjelaskan mengenai
pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 15
dan 16 dapat diancam pidana, dan terhadap perbuatan yang dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang diatur dalam suatu ketentuan
10
Ibid, h. 12.
11
Ibid, h. 13. 12
peraturan perundang-undangan, diancam pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.13
BAB XIII tentang Penyidikan, pasal 28 menjelaskan mengenai
pejabat penyidik yang bertugas menyidik tindak pidana, kewenangan
penyidik, pembuatan berita acara penyidikan yang diserahkan kepada
penyidik POLRI.14
BAB XIV tentang Ketentuan Peralihan, palsal 29 menjelaskan
mengenai kewajiban ketentuan berlakunya Perda ini, Izin berlakunya,
kewenangan Gubernur Kepala Daerah atau pejabat untuk menutup badan
usaha yang tidak menjalankan ketentuan yang ada dalam Peratudan Daerah
ini.15
BAB XV tentang Ketentuan Penutup, pasal 30 dan 31 menjelaskan
mengenai penetapan pelaksanaan Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh
Gubernur Kepala Daerah, Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkannya. Perda ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1993.16
13
Ibid, h. 13-14
14
Ibid, h. 14-15 15
Ibid, h. 16. 16
B. Hak dan Kewajiban Pramuwisma.
Seperti pekerja-pekerja yang lain, PRT juga memiliki hak-hak yang
seharusnya mereka dapatkan dalam ranah pekerjaannya dalam rumah tangga.
Baik itu hak yang didapatkan dari Badan Usaha Penyalur maupun dari
majikannya. Hak-hak PRT ini telah diatur secara eksplisit dalam Perda No 6
Tahun 1993 Tentang Hak-Hak Pramuwisma, meskipun demikian aplikasi dari
Perda ini masih belum sepenuhnya dirasakan oleh PRT itu sendiri.
Dalam hal mempekerjakan pramuwisma dapat dilaksanakan melalui 2 (dua)
cara, yaitu:
1. Melalui Badan Usaha
Apabila pengguna jasa mendapatkan pramuwisma dari Badan Usaha maka
penyaluran pramuwisma dilakukan atas dasar permintaan pengguna jasa
kepada badan usaha.
Selanjutnya dilakukan ikatan kerja antara pengguna jasa dan pramuwisma
dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja tertulis yang memuat hak,
kewajiban dan tanggung jawab masing-masing pihak.
2. Secara Langsung
Pengguna jasa yang mendapatkan pramuwisma secara langsung diwajibkan
dimaksudkan pramuwisma yang didapat secara langsung oleh pengguna jasa
agar dapat dijamin perlindungan bagi pramuwisma.17
Setiap badan usaha yang menyelenggarakan pengadaan dan penyaluran
tenaga kerja pramuwisma memperoleh izin operasional dari Gubernur untuk
menjamin perlindungan terhadap pramuwisma di badan usaha. Adapun hak yang
dapat diperoleh pramuwisma dari Badan Usaha Penyalur Tenaga Kerja
Pramuwisma adalah semua hal yang menyangkut kewajiban dari Penyalur pasal
4, 5, 6,14 Perda No 6 Tahun 1993, diantaranya:
1. Menyediakan tempat penampungan
2. Melatih calon pramuwisma
3. Memelihara kesehatan calon pramuwisma selama penampungan
4. Mempunyai izin operasional
5. Menjamin Pramuwisma bekerja minimal 6 bulan
6. Membuat laporan secara tertulis setiap 6 bulan
7. Menyalurkan berdasarkan permintaan
8. Membuat ikatan kerja antara pengguna jasa dengan pramuwisma dituangkan
dalam bentuk perjanjian kerja tertulis yang memuat hak, kewajiban dan
tanggung jawab masing-masing pihak
17
Peraturan ini diatur secara tersendiri dalam Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.1563 Thn 1989 tentang ketentuan
penyelenggaraan usaha pengadaan tenaga kerja pembantu rumah tangga
(pramuwisma) di wilayah DKI Jakarta.
Dalam rangka memberikan perlindungan kepada pramuwisma
sebagaimana telah diamanatkan dalam PERDA No 6 Tahun 1993 pasal 13 BAB
III yang menyatakan bahwa “Pengguna jasa wajib menyelenggarakan
kesejahtraan pramuwisma” dintaranya PRT berhak mendapatkan:
1. Upah;
2. Makan dan minum;
3. Pakaian minimal dalam 1 tahun 1 stel
4. Bimbingan dalam mengerjakan pekerjaan;
5. Tempat tinggal yang layak dan manusiawi
6. Cuti tahunan yang wajib;
7. Perlakuan yang baik dan manusiawi dari PJPRT dan tidak mendapat
perlakuan yang diskriminasi serta tidak mendapat kekerasan dalam rumah
tangga;
8. Uang pesangon bila terjadi pemutusan hubungan kerja;
9. Waktu istirahat yang wajib;
10.Kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya;
11.Perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja;
1. Melaksanakan pekerjaan dengan baik dan benar sesuai dengan kesepakatan
dan atau perjanjian kerja;
2. Menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja;
3. Menjaga nama baik dan kerahasiaan keluarga yang bersifat pribadi pengguna
jasa dan keluarganya;
4. Memberitahukan kepada pengguna jasa PRT apabila PRT akan berhenti
bekerja sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hari kalender;
5. Menyelesaikan setiap pekerjaan dengan baik;
6. Ikut menjaga ketenangan, ketentraman dan keamanan rumah PJPRT.18
C. HAM DALAM ISLAM
Jika berbicara tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam maka yang
dimaksudkan adalah hak-hak yang diberikan oleh Tuhan.19 Istilah hak asasi
sebenarnya terbentuk dari dua buah kata yang berasal dari bahasa Arab, yakni
kata hak (ﻖﺣ
)
dan kata asas ( سﺎﺳا ). Kata asas berarti dasar atau pondasi
sesuatu. Kata hak secara etimologi mempunyai beberapa arti. Kamus lisan
al-‘Arab mengartikan kata hak dengan ketetapan, kewajiban, yaqin, yang patut dan
18
Sunarno, RUU Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), (Makalah pada diskusi Publik dengan tema “Menuju Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Pekerja Rumah Tangga Yang Berkeadilan Bagi Korban”, Universitas Jayabaya, Oktober 2008), h. 8
19
Abul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam. Penerjemah Bambang Iriana, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. Ke-1, h. 10.
Dengan memahami makna kata-kata pembentukannya, maka hak asasi
manusia dapat diartikan dengan kekuasaan dan tanggung jawab yang dimiliki
setiap manusia yang bersifat mendasar dan fundamental.
Abul A’la al-Maududi mengemukakan definisi hak asasi manusia yang
lebih menekankan segi asal dan sifat hak tersebut. Dia menyatakan bahwa hak
asasi manusia adalah hak-hak pokok yang diberikan Tuhan kepaa setiap manusia
tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang ada diantara sesama manusia, di mana
hak tersebut tidak dapat dicabut oleh siapapun atau lembaga apapun.22 Dengan
demikian, ada beberapa kriteria hak asasi manusia yang diberikan al-Maududi.
Pertama, hak itu berasal dari Tuhan. Kedua, hak itu bersifat mendasar. Ketiga,
hak itu bersifat umum, dalam arti diberikan kepada setiap manusia. Keempat, hak
itu bersifat tetap dan melekat pada diri manusia dan tidak bisa dicabut.23
20
Harun Nasution, “Pengantar” dalam Harun Nasution dan Bakhtiar Effendy (ed), Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke-2, h. vi.
21
Paul S. Baut dan Benny Harman K, Kompilasi Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1998), Cet. Ke-1, h. 3-4.
22
Hermawan Malik dan Bambang Parianom, Ham dan Pluralisme Agama: Tinjauan Historis dan Kultural, dalam Anshari Thayib dkk, Ham dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan, 1997), Cet. Ke-1, h. 40-41.
23
Hak-hak asasi manusia terkandung dalam syari’at Islam. Hak-hak asasi
manusia tersebut didasarkan kepada dan dirumuskan dari al-Qur’an dan al-Sunah
sebagai sumber utama syari’at Islam. Dalam hal ini, teori maqashid al-syari’ah
yang sangat terkenal dalam ilmu ushul fiqh dapat dipakai untuk merumuskan dan
menguraikan hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam syaria’at Islam.
Maqasid al-syari’ah bermakna tujuan syari’at dalam merumuskan hukum-hukum
Islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah sebagai alasan logis bagi perumusan suatu hukum. Tujuan
hukum-hukum tersebut adalah kemaslahatan umat manusia. 24.
Isu tentang pelaksanaan HAM tidak lepas dari perhatian umat Islam,
apalagi mayoritas negara Islam adalah tergolong ke dalam barisan
negara dunia ketiga yang banyak merasakan perlakuan ketidak adilan
negara-negara Barat dengan atas nama HAM. Dalam pandangan negara-negara-negara-negara Islam
HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam yang telah ditetapkan
Allah SWT. Berkaitan dengan itu, negara-negara Islam yang tergabung dalam
Organization of the Islamic Conference (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990
mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syari’at Islam Kairo.
Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan negara-negara OKI ini
selanjutnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Kairo. Deklarasi ini berisi 24 pasal
tentang hak asasi manusia berdasarkan al-Qur’an dan sunnah yang dalam
24
penerapan dan realitasnya memiliki beberapa persamaan dengan pernyataan
semesta hak-hak asasi manusia (The Universal Decration of Human Right
/UDHR) yang dideklarisan oleh PBB tahun 1948.
Pasal-pasal yang terdapat dalam Deklarasi Kairo mencakup beberapa
persoalan pokok, antara lain:
1. Hak Persamaan dan Kebebasan (pasal 19 ayat a, b, c, d, dan e).
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Israa’ ayat 70
b. Surah an-Nisa’ ayat 58,105,107, 135.
c. Surah al-Mumtahanah ayat 8.
2. Hak Hidup (pasal 2 ayat a, b, c, dan d).
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Maidah ayat 45.
b. Surah al-Isra’ ayat 33.
3. Hak Memperoleh Perlindungan (pasal 3)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Insaan ayat
b. Surah al-Balad ayat 12-17
c. Surah at-Taubah ayat 6.
4. Hak Kehormatan pribadi (pasal 4).
Pasal ini berdasarkan pada:
5. Hak menikah dan berkeluarga (pasal 5 ayat a dan b)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Baqarah ayat 221
b. Surah ar-Ruum ayat 21
c. Surah an-Nisa’ ayat 1
d. Surah at-Tahrim ayat 6
6. Hak Wanita sederajat dengan pria (pasal 6)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Baqarah ayat 228
7. Hak-hak anak dari orang tua (pasal 7 aya a, b, c)
Ayat ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Baqarah ayat 223
b. Surah al-Israa’ ayat 23-24
8. Hak memperoleh pendidikan dan berperan serta dalam perkembangan ilmu
pengetahuan (pasal 9 ayat a dan b)
Ayat ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Taubah ayat 122
b. Surah al-Alaq ayat 1-5
9. Hak kebebasan memilih agama (pasal 10)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Baqarah ayat 256.
c. Surah al-Kafirun ayat 1-6
10. Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka (pasal 12)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah an-Nisaa’ ayat 97
b. Surah al-Mumtahanah ayat 9
11. Hak-hak untuk bekerja (pasal 13)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah at-Taubah ayat 105
b. Surah al-Baqarah ayat 286
c. Surah al-Muluk ayat 15.
12. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (pasal 14)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Baqarah ayat 275-278
b. Surah an-Nisa ayat 161
c. Surah al-Imran ayat 130
13. Hak milik Pribadu (pasal 15 ayat a dan b)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Baqarah ayat 29
b. Surah an-Nisaa’ ayat 29
14. Hak menikmati hasil atau produk ilmu (pasal 16)
Pasal ini berdasarkan pada:
b. Surah al-Baqarah ayat 164
15. Hak tahanan dan narapidana (pasal 20-21)
Pasal ini berdasarkan pada:
a. Surah al-Mumtahanah ayat 825
Tidak diragukan lagi “al-Qur’an berisi petunjuk bagi manusia,
memberikan penjelasan-penjelasan tentang petunjuk, dan pembeda antara yang
hak dan yang bathil, (furqan)”. Diantara petunjuk yang diberikan Al-Qur’an itu
adalah mengenai eksistensi manusia itu sendiri dan bagaimana ia berperan
ditengah jagad raya.
Sebagai mahluk yang terpilih untuk mengemban amanah (khalifah) Allah
di Bumi, kepadanya Allah pikulkan berbagai tugas dan tanggung jawab untuk
melakukan reformasi (ishlah) dan mencegah berbagai macam tindakan
pengrusakan (fasad) yang tidak disukai oleh-Nya. Untuk terlaksananya tugas dan
tanggung jawab dalam misinya sebagai khalifah, kepadanya Allah memberikan
sejumlah hak yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya serta dihormati.
Hak-hak tersebut bersifat sangat mendasar (asasi), dan diberikan langusng oleh Allah
sejak kehadirannya di muka bumi ini, karena itu, tak seorangpun dapat
mengingkarinya dan mencabut dari dirinya.
Menurut ajaran Islam, perbedaan antara satu individu dengan individu lain
terjadi bukan karena haknya sebagai manusia, melainkan didasarkan keimannan
25
dan ketakwaannya. Adanya perbedaan itu tidak menyebabkan perbedaan dalam
kedudukan sosial. Hal ini merupakan dasar yang sangat kuat dan tidak dapat
dipungkiri telah memberikan kontribusi pada perkembangan prinsip-prinsip Hak
Asasi Manusia didalam masyarakat internasional.26
Islam, seperti agama-agama lain, selalu hadir dalam gagasan besar
kemanusiaan. Agama memang dihadirkan oleh Tuhan bagi manusia untuk sebuah
pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani kebiadaban dan
perbudakan manusia. Setiap penindasan, tirani dan perbudakan adalah
pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia.
Manusia, menurut Islam dilahirkan dalam keadaan suci dan bebas. Umar bin
Khattab mengungkapkan kemerdekaan manusia itu dalam ucapanya yang sangat
terkenal kepada Amru bin Ash :” Sejak kapan kamu memperbudak manusia,
padahal para ibu mereka melahirkannya dalam keadaan merdeka”.
Islam adalah agama yang selalu menginginkan tegaknya kontruksi dan
sistem kehidupan sosial yang adil, sejahtra, aman dan menghormati martabat
manusia di satu sisi dan tidak mentoleransi segala bentuk perendahan martabat
manusia apapun dengan alasan apapun disisi lain.27
Dan dengan menyatakan sebagai agama tauhid (monoteisme), maka sudah
sangat dimengerti bahwa Islam adalah agama yang sama sekali tidak menyetujui
26
Tim PUSKIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Demokrasi, Ham dan Mayarakat Madani,
(Jakarta, IAIN Jakarta Pres, 2000), Cet. Ke-1, h. 214-215. 27
segala realitas kehidupan yang mengistimewakan atau mengunggulkan satu atas
yang lain. Seperti suku, ras, kebangsaan, kebudayaan, jenis kelamin, dan hal-hal
lain yang dipandang oleh masyarakat sebagai sumber normatif nilai sosial. Ini
berarti bahwa setiap cara pandang manusia yang membedakan kriteria-kriteria
normatif sosiologis tadi dalam wacana Islam dianggap sebagai bentuk
pengingkaran terhadap kemaha-Esaan tuhan sendiri.
Dalam pandangan Islam ini, keistimewaan atau superioritas manusia yang
satu atas yang lainnya hanya dapat dibenarkan sejauh menyangkut tingkat
pengakuan atas ke-Esa-an Tuhan semata-mata. Hal tersebut dengan jelas terdapat
dalam firman Allah QS. Al-Hujurat (49) ayat 13:
⌧
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.al-Hujarat (49):13).
Ayat ini membongkar segala macam bentuk diskriminatif atas dasar suku
bangsa, warna kulit, dan termasuk perbedaan jenis kelamin. Yang membedakan
atas dasar ketakwaannya kepada Allah SWT. Ayat itu juga memberikan makna
kesederajatan tentang universalitas Islam dengan memberikan makna
kesederajatan manusia dan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaannya.
Keunggulan-keunggulan berdasarkan fisikal tidak berharga didepan
Tuhan. Sebagaimana hadits Nabi menegaskan “ Sesungguhnya Allah tidak
melihat fisik dan rupamu, tetapi melihat kepada hati dan amal perbuatannya”.
(HR. Muslim). Dan dalam pandangan Islam manusia adalah mahluk yang pada
dasarnya dimuliakan Allah (QS. Al-Isra (17): 70):
⌧
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. al-Isra (17) : 70).
Atas dasar itu Islam melarang setiap cara pandang merendahkan,
melecehkan, melukai apalagi menindas manusia dan berbagai kekerasan lainnya.
Adalah merupakan pelanggaran hak-hak Tuhan. Maka wajar jika Tuhan
mengecam keras cara pandang seperti ini. Dan begitu juga mengenai kekerasan
majikan terhadap PRT.
Seperti halnya kisah Muawiyah yang memukul budaknya, kemudian
jelas agama Islam adalah agama keadilan, dan pada hakikatnya PRT itu adalah
seorang anggota dalam keluarga, Rasulullah mewajibkan memberi makan kepada
para budak sama dengan makanan yang dimakan anggota keluarga sendiri,
bahkan memberi pakaian yang sama dengan pakaian kita.
Mengenai perilaku kekerasan majikan terhadap PRT yang berakibat
luka-luka ataupun kematian, dalam hukum Islam perbuatan tersebut dikatakan sebagai
kejahatan (jinayah/jarimah), yaitu perbuatan-perbuatan yang mengancam
keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya yang
pelanggaran itu membawa kepada hukuman yang telah ditentukan. Dan hukuman
pokok pada pembunuhan adalah qisas, dan apabila itu dimaafkan oleh keluarga
korban maka pengganti hukumannya adalah diyat dan jika diyat dimaafkan maka
penggantinya adalah ta’jir dan hukuman tambahannya adalah tehalangnya hak
atas warisan dan wasiat, dan pelukaan hukumannya adalah qishas berdasarkan
firman Allah QS. Al-Maidah (5): 45.
⌧
☺
☺
☺
)
ةﺪﺋﺎﻤﻟا
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah (5): 45).
Islam adalah agama yang selalu menginginkan tegaknya kontruksi dan
sistem kehidupan sosial yang adil, sejahtra, aman dan menghormati martabat
manusia di satu sisi dan tidak mentoleransi segala bentuk perendahan martabat
manusia apapun dengan alasan apapun di sisi lain.28
D. HAM PERSPEKTIF BARAT
Hak Asasi Manusia (HAM) pada awalnya merupakan terjemahan dari kata
droits de I’homme (Perancis), yang terjemahan harfiahnya ialah hak-hak manusia.
Yaitu suatu hak-hak manusia dan warga negara yang dikeluarkan di Prancis
dalam tahun 1789 sewaktu berlangsung revolusi negeri itu. Pernyataan ini lalu
digunakan pula oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didalam bahasa Inggrisnya
disebut pada mulanya dengan istilah fundamental human right, kemudian
disingkat dengan Humamn Right saja. Didalam kamus Besar Bahasa Indonesia,
“Hak asasi diartikan sebagai hak dasar atau hak pokok seperti hak hidup dan hak
mendapatkan perlindungan” (KBBI, 1988:292). Hak-hak tersebut, menurut
28
Maududi, bukanlah pemberiaan siapa-siapa tapi adalah pemberian Tuhan kepada
seseorang sejak ia terlahir ke alam dunia.29
Menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB, Hak Asasi Manusia adalah
hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia
mustahil dapat hidup sebagi manusia. Pengertian tersebut terdapat dalam taching
human right yang merumuskan HAM dengan pengertian, “Human Right Could
be generally defined as those right which are inharent in our nature and without
which cannot live as human being”.
Selanjutnya Jhon Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta, sebagai hak-hak yang
kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun didunia yang tidak
mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (pundamental) bagi hidup dan
kehidupan manusia dan merupakan hal kodrati yang tidak bisa terlepas dari dalam
kehidupan manusia.30
Berdasarkan beberapa pengertian HAM diatas, diperoleh suatu
kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah dari Allah yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.
29
Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), Cet. Ke-1, Kata Pengantar, h. XVii
30
Dan HAM ini berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras,
agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial dan bangsa.
Konsepsi HAM di kalangan sejarawan Eropa tumbuh dari konsep hak
(right) pada Yurisprudensi Romawi, kemudian meluas pada etika via teori hukum
alam (natural law). Tentang hal ini, Robert Audi mengatakan: “Secara ringkas
menggambarkan kronologis konseptualisasi penegakan HAM yang diakui secara
yuridis-formal. Perkembangan berikut juga menggambarkan pertumbuhan
kesadaran pada masyarakat Barat.31 Tonggak-tonggak sosialisasinya adalah
sebagai berikut: Pertama, dimulai, yang paling dini, oleh munculnya “Perjanjian
Agung” (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari
pemberontakan para buron terhadap Raja Jhon (saudara raja Richard berhati
singa, seorang pemimpin tenrtara salib). Isi pokok dokumen itu ialah hendaknya
raja tak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi
seorang pun dari rakyat (sebenarnya cukup ironis bahwa pendorong
31
Konsep HAM dan demokratisasi sebenarnya pertama-tama muncul bukan sebagai reaksi atas absolutisme negara melainkan sebagai akibat logis dari lahirnya negara-negara kebangsaan. Sperti diketahuai pada abad-abad pertengahan kekuasaan raja itu selalu dikaitkan dengan teori ke-Tuhan-an sehingga raja yang berkuasa itu mempunyai kekuasaan absolut untuk memerintah berdasar kekuasaan Tuhan, bahkan ada juga yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Tetapi, ketika kemudian muncul pertanyaan Paus Gregosius VII di dalam Dicattus Papae (1075 M) bahwa kekuasaan Tuhan itu yang tertinggi ada pada gereja dengan Paus dan para Pendetanya, sedangkan kekuasaan raja terbatas pada soal-soal duniawi yang itu pun berada di bawah gereja maka raja kehilangan dasar legitimasi.. Yang terjadi di sini adalah pertarungan antara kekuasaan raja dan kebebasan rakyat. Kemudian muncul teori kedaulatan rakyat yang menjadi alternatif atas terjadinya sekularisasi. Di dalam teori ini dikatakan bahwa raja atau pemerintah itu berkuasa bukan karena Tuhan melainkan karena social contrec di mana rakyat meresidukan sebagai HAM-nya untuk diurus oleh raja demi kepentingan bersama. Akhirnya, raja hanya menerima residu berdasarkan UUD. Bukan sebaliknya malah UUD yang meresidukan kekuasaan raja untuk rakyat. Lihat lebih lanjut Moh. Mahfud MD, “Undang-Undang Politik, Keormasan, dan instrumentasi Hak Asasi Manusia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Instum
pemberontakan para baron itu sendiri antara lain ialah dikenakannya pajak yang
sangat besar, dan dipaksakannya para baron untuk membolehkan anak-anak
perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa).32
Setiap kali menyebut hak-hak asasi manusia, dengan sendirinya rujukan
yang paling buku ialah UDHR/DUHAM. Ini wajar dan merupakan keharusan,
karena UDHR merupakan puncak konseptualisasi manusia sejagat yang
menyatakan dukungan dan pengakuan yang tegas tentang hak asasi manusia.
UDHR/DUHAM 1948 bersifat tidak mengikat ppara anggota PBB, tergantung
pada kemauan negara-negara itu sendiri apakah akan memuatnya dalam
perundang-undangan atau tidak. Begitupun UDHR/DUHAM dipandang sebagai
puncak konseptualisasi HAM sejagat, apa yang tertuang di dalamnya dilihat dari
perspektif perkembangan generasi HAM adalah termasuk ke dalam generasi
pertama dari empat generasi HAM yang ada.33 Cirinya yang terpenting adalah
bahwa pengertian HAM hanya terbatas pada bidang hukum dan politik. Sangat
wajar dikarenakan beberapa hal, yakni realitas politik global pasca-Perang Dunia
ke-II, dan adanya keinginan kuat negara-negara baru untuk menciptakan tertib
hukum dan politik yang baru.
32
Pasal 21 Magna Charta mengatakan, “Earls and barons shall be fined their equal and only in proportion to the measure of the offence” (para Pangeran dan Baron akan dihukum [didenda] berdasarkan atas kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya). Pasal 40 juga mengatakan ..(tidak seorangpun menghendaki kita mengingkari atau menunda tegaknya hak atau keadilan). Lihat Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: Prenada Media, 2003),Cet Ke-2, h;m. 202-203. 33
Generasi HAM kedua menyesal pada keinginan yang kuat masyarakat
global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan HAM yang melebar
pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam Sidang Umum PBB 16
Desember 1966 kemudian dirumuskan dua buah covenant (persetujuan), yakni
International Covenant on Economic, Social and Cultural Right,34 dan
International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan ini terdiri 5 buah
dan 53 pasal).
Perkembangan pemikiran HAM juga mengalami peningkatan ke arah
kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam
“satu keranjang” yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (the
Rightof Fevelopment). Inilah generasi HAM ketiga.
Sebagai sebuah proses dialektika, pemikiran HAM akhirnya memasuki
tahap penyemurnaan sampai munculnya generasi HAM ke empat yang mengkritik
peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus
pada pembangunan ekonomi, sehingga menimbulkan dampak negatif seperti
diabaikannya berbagai aspek kesejahtraan rakyat. Munculnya generasi keempat
HAM ini dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983
34
melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan declaration of the Basic Duties
of Asia People and Government.35
35
BAB III
HAK-HAK PRAMUWISMA YANG BELUM MENDAPATKAN PERLINDUNGAN HUKUM SECARA MAKSIMAL
A. Upah Yang Tidak Mencukupi
PRT menjadi sasaran dalam hal upah di bawah standar secara
besar-besaran, dibandingkan dengan pekerja lain, dan sering hidup dalam kondisi yang
buruk dan tidak layak Di Indonesia, secara tradisional PRT tidak dimasukkan
dalam perlindungan upah minimum. Biasanya dikatakan bahwa sebagai PRT
mereka diberi akomodasi, makan, dan tunjangan lain, sulit untuk menghitung
berapa yang harus dikurangkan dari gaji mereka untuk pembayaran hal-hal itu.
Pejabat pemerintah menyatakan lebih lanjut bahwa penetapan upah minimum
akan menghambat banyak majikan untuk mempekerjakan PRT, oleh karenanya
mengganggu karena para majikan tidak akan lagi mendapatkan keuntungan dari
jasa ini, dan PRT tidak akan menemukan pekerjaan lagi.
Sementara mengatur hak-hak PRT merupakan tantangan khusus, hal ini
tidak bisa dijadikan alasan untuk mencabut para PRT dari hak-hak mereka, yang
telah dijanjikan Indonesia untuk dihormati ketika meratifikasi konvensi
internasional yang relevan.1 Keprihatinan utama seharusnya menjamin bahwa
1
Amnesty International, “Eksploitasi dan Pelanggara: Situasi Sulit Pekerja Rumah Tangga Perempuan”, (Jakarta: Amnesty International, Februari 2007), h. 23
semua PRT dijamin menerima upah yang cukup untuk menjamin hak mereka
untuk mendapatkan standar hidup yang layak.
Undang-undang tentang upah minimum melindungi PRT di negara-negara
lain. Sejumlah negara, termasuk Filipina, telah memiliki legislasi tentang upah
minimum bagi PRT. Negara lainnya seperti Kolombia dan Spanyol telah
menerapkan upah minimum nasional bagi PRT. Sebagian undang-undang
nasional juga membuat PRT berhak terhadap tunjangan dalam bentuk lainnya.
Misalnya di Filipina, undang-undang tentang PRT menyatakan bahwa
penginapan, pangan dan perawatan medis harus ditambahkan pada tingkat upah
minimum yang ditentukan oleh peraturan mengenai dipekerjakannya PRT.
Sejumlah undang-undang nasional tentang pekerjaan rumah tangga menjamin
bahwa PRT dibayar secara reguler, apakah itu mingguan atau bulanan.
Di Afrika Selatan, undang-undang merujuk pada pemotongan tertentu
yang tidak diizinkan oleh undang-undang. Misalnya seorang majikan tidak bisa
menerima atau menahan pembayaran dari PRT untuk: pekerjaan atau pelatihan
mereka, memasok mereka dengan perlengkapan kerja, termasuk peralatan kerja
atau pakaian, atau makanan ketika mereka bekerja atau di tempat kerja.
Selama proses rekrutmen, beberapa orang ditipu tentang gaji mereka.
Walaupun mereka diberitahu bahwa mereka akan dibayar sejumlah tertentu, ada
Imah di dalam lampiran). PRT juga melaporkan tentang tidak dibayarnya mereka,
bayaran yang terlambat, dan uang lembur mereka yang tidak dibayar.2
B. Jam Kerja Yang Panjang
PRT di Indonesia sering bekerja berlebihan dengan jam kerja yang tidak
masuk akal panjangnya. PRT perempuan yang diwawancarai oleh Amnesty
International bekerja rata-rata 70 jam per minggu, kadang-kadang jauh lebih
panjang dari itu – sampai 22 jam per hari.
Kebanyakan PRT bekerja tujuh hari per minggu tanpa hari libur. Seperti
kondisi kerja yang lain, periode jam dan istirahat tergantung pada kemauan baik
majikan. Majikan yang paling simpatik memberikan sehari libur per minggu.
Dalam beberapa hal, mereka diberi jam istirahat dalam hari kerja. Namun
sebagian mengatakan bahwa mereka hanya punya waktu sangat sedikit atau
bahkan tidak ada waktu untuk beristirahat sepanjang hari. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak PRT untuk mendapatkan kondisi kerja yang aman
dan sehat, maupun hak untuk mendapatkan upah yang adil, dalam kasus bilamana
mereka tidak mendapat kompensasi untuk kerja lembur.
Kurangnya regulasi hukum dan sifat ‘pintu tertutup’ pekerjaan rumah
tangga membuat sulit untuk memonitor jumlah persis jam kerja PRT. Bagi
mereka yang ‘tidur di dalam’ di rumah majikan mereka, batas antara kerja dan
istirahat sering amat sangat kabur. Ini secara khusus benar, ketika PRT yang
2
menjaga anak tidur di kamar yang sama dengan anak-anak tersebut atau kalau
tidak diberi tugas mengurusi kebutuhan anak-anak sepanjang malam. Ketika anak
sakit, mereka tidak bisa tidur, karena mereka harus mengurusi anak-anak tersebut.
Mereka harus selalu siap selama 24 jam sehari, sering selama tujuh hari
seminggu:
“Saya bekerja dari pukul 5 pagi sampai anak tidur, kadang-kadang sampai pukul 3 pagi –biasanya sampai pukul 10 malam. Kadang-kadang saya bisa beristirahat, maksimum satu jam di siang hari. Ketika anak sakit (sekitar sekali sebulan), saya harus tinggal dan tidur sekamar dengan dia. Saya
merasa bertanggung jawab karena itu adalah pekerjaan saya”.3
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, para pekerja dituntut untuk
bekerja maksimum 40 jam per minggu. Bila mereka bekerja lebih, maka mereka
harus berhak untuk mendapatkan uang lembur mereka.4 Namun sebagian besar
PRT yang diwawancarai menerima gaji yang sama, tidak peduli berapa jam
mereka bekerja. Mereka menyatakan bahwa tidak ada pilihan tentang jumlah jam
kerja mereka. Mereka merasa berkewajiban bekerja lembur untuk bisa tetap
bekerja dalam pekerjaan mereka.
Undang-Undang Ketenagakerjaan, sesuai dengan standar-standar
internasional, menawarkan ketetapan untuk bekerja di malam hari, dan
3
Wawancara Amnesty International dengan Dewi. Jakarta, 26 Februari 2006.
4
menentukan periode istirahat khusus, termasuk satu hari libur per minggu untuk
para pekerja yang bekerja tujuh jam sehari, atau dua hari libur per minggu untuk
pekerja yang bekerja delapan jam per hari.5 Semua pekerja harus dijamin
mendapat ketetapan dasar yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
ini.
Koordinator ILO-IPEC (Program Internasional bagi Penghapusan Pekerja
Anak) Pandji Puranto menyatakan:
“Selama ini tidak ada peraturan yang secara spesifik mengatur PRT, kecuali bersifat umum”.6
Karena itu, pihaknya menganggap hak libur sehari bagi PRT itu baik. Bila
mereka libur, akan memiliki kesempatan untuk beristirahat atau mungkin
mengenyam pendidikan maupun keterampilan.
Direktur Eksekutif Jarak Anwar Solikhin berpendapat:
“Tanpa ada regulasi maka majikan akan memperlakukan PRT sesuka hati, libur mingguan merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap PRT yang cederung terabaikan, meskipun masih banyak perlindungan lain yang menjadi haknya dan tidak pernah diperoleh. Tambahnya: Gerakan Libur Mingguan untuk PRT sekedar gerakan moral yang diterima di masyarakat, sebelum diperoleh bentuk-bentuk perlindungan
lainnya. Apalagi jika didukung dengan berbagai peraturan.”7
5
Konvensi ILO tentang Kerja Malam, 1990 (No. 171) dan Rekomendasi (No. 178) yang bisa diterapkan kepada pekerja rumah tangga (PRT), meminta adanya tindakan khusus yang dilakukan bagi pekerja malam untuk melindungi kesehatan mereka, serta membantu mereka untuk memenuhi kewajiban keluarga dan sosial mereka, memberikan kesempatan bagi peningkatan keterampilan kerja, dan memberikan kompensasi yang layak kepada mereka.
6
“Berikan Hak Libur Pekerja Rumah Tangga: Menakertrans dan Menneg PP Sepakat”, Media Indonesia, 24 Januari 2003, h. 9.
Menakertrans Jacob Nuwa Wea saat mencanangkan ‘Gerakan Libur
Mingguan untuk PRT’ menyadari perlindungan berupa istirahat sehari dalam
seminggu bagi PRT menghadapi hambatan teknis. Kendala itu katanya:
“Kendala teknis itu terletak pada UU Ketenagakerjaan yang belum menjangkau perkerja dengan lokasi kerja di luar perusahaan.”
Jacob menyarankan perlunya peraturan tersendiri apabila seluruh
komponen masyarakat ingin memberikan perlindungan berupa istirahat mingguan
kepada profesi PRT sebagai pekerja sektor informal. Namun, Menakertrans
mengharapkan, perlindungan ini Cuma diizinkan kepada PRT yang berusia lebih
dari 18 tahun.8
C. Kesehatan
Ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, pasal 35 (3), yang mengkaitkan
tugas 'pemberi kerja' terhadap para pekerja mereka, hanya membahas konsep
yang longgar bahwa pemberi kerja “wajib memberikan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik
tenaga kerja.” Sebagaimana dibahas dalam bagian 4.1, tidak adanya hak-hak yang
terperinci apa pun atau patokan apa pun untuk menilai pemenuhan
kewajibankewajiban ini berarti bahwa para majikan PRT terus mendasarkan
perlakuan mereka terhadap para PRT hampir secara ekslusif pada kemauan baik.
Lebih dari itu, hal ini menandakan perbedaan besar dari banyak ketentuan khusus
8
yang menyinggung mengenai kesehatan serta kesejahteraan, yang berlaku bagi
para pekerja yang bekerja untuk pengusaha menurut UU Ketenagakerjaan.
Akibatnya, Amnesty International menemukan dengan jelas adanya perbedaan
perlakuan di antara para PRT yang diwawancara. Sementara beberapa PRT diberi
waktu cukup untuk beristirahat ketika mereka sakit, yang lain harus tetap bekerja
ketika mereka tidak enak badan. Sebagian merasa bahwa mereka dimonitor
dengan kecurigaan ketika mereka sakit, dan walaupun mereka ingin beristirahat,
mereka berkewajiban untuk tetap bekerja. Di samping itu, hanya sedikit PRT
yang dilatih untuk menggunakan barang yang berpotensi berbahaya, meskipun
adanya laporan-laporan mengindikasikan bahwa PRT berada dalam risiko serius
terluka dalam rumah tangga.9
Sejumlah majikan tidak mengizinkan PRT untuk mencari bantuan medis
ketika mereka sakit. Bahkan bila majikan mengizinkan mereka untuk mencari
pertolongan medis, PRT sering tidak mampu membayar biaya medis atau biaya
rumah sakit, karena upah mereka yang rendah.10 Ini merefleksikan pola umum di
Indonesia di mana perawatan kesehatan secara ekonomis tidak bisa diakses oleh
sebagian besar penduduk. Indonesia adalah negara anggota ICESCR yang
9
Human Rights Watch, Always on Call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers in Indonesia (Selalu Tersedia: Pelanggaran dan Eksploitasi Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia), Juni 2005, dan ILO, Bunga-bunga di Atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak Di Indonesia, 2004, hal. 109-110.
10
World Health Organization, “Macroeconomics and Health initiatives in Indonesia (Makroekonomi dan Inisiatif Kesehatan di Indonesia) ” diakses pada 23 April 2009 dari
http://www.who.int/macrohealth/action/Indonesia_finalreport.pdf.
menjamin hak mendapat standar kesehatan tertinggi. Ini berarti bahwa pemerintah
berkewajiban untuk menjamin bahwa perawatan kesehatan secara progresif
tersedia, bisa diakses, dalam kualitas yang bisa diterima dan memadai.
Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah konkret untuk menjamin
bahwa tidak ada orang pun yang tidak dapat mengakses perawatan kesehatan
karena tidak mampu membayar.
Berbagai macam ketetapan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
menjelaskan tentang tanggung jawab para pengusaha terhadap kesehatan dan
keselamatan pekerja mereka. Ini termasuk: menjamin bahwa pekerja mendapat
waktu istirahat yang cukup (pasal 79), menjamin lingkungan kerja yang sehat dan
aman (pasal 86 dan 87) serta menjamin bahwa tenaga kerja perempuan bisa
mengakses pertemuan perawatan untuk kebutuhan khusus mereka, khususnya
yang berhubungan dengan kehamilan (pasal 76)11. Undang-Undang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja harus dibayar jika mereka sakit,
dalam kesempatan pesta dan kematian dalam keluarga (pasal 93).
Ketetapan-ketetapan khusus diberikan pula untuk para pekerja perempuan
mengenai kerja semasa periode menstruasi, saat hamil dan kerja malam. Namun
demikian, tidak ada dari ketetapan-ketetapan khusus bagi pekerja perempuan
yang dipekerjakan para pengusaha yang bisa diterapkan kepada PRT perempuan.
11
Lihat Sub-Bagian 5, Keamanan dan Kesehatan yang berhubungan dengan Pekerjaan, Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Oleh karena PRT tidak dimasukkan dalam penjaminan menurut
ketetapan-ketetapan khusus untuk perempuan dalam UUKetenagakerjaan ini, mereka tidak
menikmati perlindungan yang berkaitan dengan kebutuhan khusus gender mereka,
bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi Indonesia
menurut CEDAW: Standar Internasional tentang jaminan kesetaraan hak antara
laki-laki dan perempuan: Sebagai negara peratifikasi Konvensi tentang Eliminasi
terhadap Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Indonesia
telah menyetujui untuk menegakkan HAM bagi setiap orang tanpa memandang
jenis kelamin.12 CEDAW mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan
sebagai “pembedaan, pengesampingan atau pembatasan apa pun yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai akibat atau tujuan untuk
menghalangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh
perempuan, dengan mengabaikan status perkawinan mereka, berdasarkan pada
kesetaraan laki-laki dan perempuan, akan HAM dan kebebasan fundamental di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lain apapun”.
Menurut CEDAW, pemerintah Indonesia bertugas untuk “melakukan
semua tindakan yang tepatuntuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di
12
Piagam PBB (Pasal 1, 13 dan 55(b) dan 55(c)); Deklarasi Universal tentang HAM (pasal 2); ICCPR (Pasal 2(1) dan 3); ICESCR (Pasal 2(3) dan 3). Piagam PBB merupakan traktat yang mengikat semua negara anggota PBB, termasuk Indonesia.
bidang pekerjaan, untuk menjamin adanya kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan, dengan hak-hak yang sama” (pasal 11).13
Secara khusus, hak-hak berikut harus ditegakkan (pasal 2.1): Hak untuk
mendapatkan upah yang setara, termasuk tunjangan-tunjangan, dan perlakuan
setarasehubungan dengan pekerjaan yang bernilai setara, demikian juga
kesetaraan perlakuan dalam evaluasitentang kualitas pekerjaan (d);Hak untuk
mendapatkan jaminan sosial, khususnya dalam hal pensiun, pengangguran, sakit,
cacat, usialanjut dan ketidakmampuan lain untuk bekerja, demikian juga hak
untuk cuti dengan bayaran (e); Hak untuk perlindungan kesehatan dan keamanan
dalam kondisi kerja, termasuk penjagaan fungsi reproduksi (f). Lebih jauh lagi,
sebagaimana diutarakan dalam ICCPR, semua orang adalah sama di muka
hukum.
Menurut ICESCR dan standar-standar lain, ibu-ibu harus diberi
perlindungan khusus sebelum dan setelah melahirkan. Selama waktu ini, mereka
harus diberi cuti dengan tetap dibayar atau cuti dengan tunjangan keamanan sosial
yang layak (pasal 10).14 Kemudian, pasal 12 dari CEDAW menuntut pihak negara
untuk menjamin bahwa perempuan menerima “pelayanan yang pantas
13
Lihat juga ICESCR: “Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama periode yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Selama periode tersebut, para ibu yang bekerja harus diberikan cuti dengan bayaran atau cuti dengan tunjangan jaminan sosial yang layak” (pasal 10.2).
14
sehubungan dengan kehamilan, periode persalinan dan sesudah melahirkan,
memberikan pelayanan gratis bila perlu, demikian juga gizi yang cukup selama
masa kehamilan dan menyusui”.15
D. Tidak Adanya Hari Libur
Walaupun kebanyakan PRT yang diwawancarai oleh Amnesty
International diperbolehkan pulang ke keluarga mereka untuk satu atau dua
minggu pada saat Lebaran, ada yang tidak diperbolehkan libur sama sekali.
Sebagian lagi tidak diberi libur pada hari-hari libur nasional, misalnya hanya
sedikit yang diizinkan untuk menghadiri upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
Ketika dikombinasikan dengan jam kerja yang lama, tidak adanya istirahat regular
dan bekerja pada hari-hari libur umum, kondisi para PRT yang tidak diberikan
hari liburtersebut sangatlah menekan.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, para pekerja di Indonesia
yang telah bekerja pada seorang majikan untuk selama lebih dari setahun
mendapatkan alokasi 12 hari cuti dalam setahun, di samping libur di hari-hari
libur resmi.16 Di situ jelas dinyatakan bahwa bila mereka bekerja selama hari
libur umum, mereka harus diberi bayaran sebagai kompensasi. Di kebanyakan
15
Amnesty International, “Eksploitasi dan Pelanggara: Situasi Sulit Pekerja Rumah Tangga Perempuan”, (Jakarta: Amnesty International, Februari 2007), h 28-30
16
legislasi nasional tentang PRT, ada ketetapan-ketetapan tentang cuti tahunan dan
hari libur umum17. Di Kolombia, Cile, Kosta Rika, Honduras, Paraguay dan
Vietnam PRT diberi hak umum yang sama seperti pekerja-pekerja lain,
sehubungan dengan dibayar ketika libur. Pada umumnya, PRT juga berhak untuk
hari istirahat/tak kerja dengan bayaran penuh pada hari libur umum dan liburan
menurut undang-undang.18
E. Rentannya Terhadap Kekerasan
Konteks isolasi dalam kehidupan PRT, ditambah dengan status sosial
mereka yang rendah dan kurangnya pilihan pekerjaan, membuat mereka berada
dalam kerentanan yang tinggi terhadap berbagai pelanggaran, termasuk kekerasan
fisik, seksual dan psikologis.
1. Faktor-Fktor Penyebab Kekerasan Terhadap Pembantu Rumah Tangga.
adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan majikan terhadap PRT adalah aspek sosial yang meliputi relasi kekuasaan yang tidak seimbang, status sosial PRT yang rendah dan kurang dihargai, kultur masyarakat, kemudian aspek yuridis, yang menganggap PRT bukan bekerja dan tempat kerja PRT tanpa perlindungan hukum berpotensi menimbulkan kekerasan. Selain dari itu, karena hasil kerja PRT dianggap tidak sesuai dengan keinginan
17
Ramirez-Machado, penelitian ILO, 2003, hal. 42-45.
18
majikan dan karena adanya stess/permasalahan pribadi majikan juga menyebabkan faktor penyebabnya.
Lebih jelasnya faktor yang menjadi sebab terjadinya kekerasan terhadap PRT sebagai pekerja (dan sebagai perempuan), yaitu:
a. Aspek Sosial
1) Relasi kekuasaan yang tidak seimbang.
Yakni relasi kerja antara majikan dan PRT yang tidak seimbang menempatkan PRT sebagai pihak yang tersubordinasikan. Posisi yang tidak seimbang atas simetris tersebut dikuatkan karena adanya ketergantungan PRT terhadap majikannya secara ekonomis. Terlebih lagi mereka juga membutuhkan pekerjaan sehingga mereka rela diupah rendah dan akibatnya posisi tawar-menawar pemilik modal demikian mutlak untuk berada diatas. Sedemikian sempitnya ruang bagi PRT untuk menyuarakan kepentingan mereka, menyebabkan mereka tidak memiliki keberanian untuk melawan ketika mereka menghadapi perilaku kekerasan baik yang berasal dari majikan maupun penyalur yang mengambil keuntungan disituasi ini.
2) Status Sosial PRT yang rendah dan kurang dihargai.
propesional memberikan kontribusi terhadap tidak dihargainya posisi PRT dan minimnya upah yang mereka terima
3) Kultur Masyarakat
Permasalahan sosial yang dihadapi oleh PRT terlepas dari pola berpikir masyarakat patriarti yang bias gender dan juga sikap feodalistis baik tradisional atau moderen dan selama konteks budaya masih masih bernuansa feodalistik, kapitalistik sama-sama memiliki kecenderungan mengarah pada kondisi perbudakan (domestic slavery) yang menempatkan PRT sebagai budak yang diharuskan mengabdi secara mutlak dengan segenap totalitas mereka. Dan dalam kondisi tersebut, seolah-olah ada hak kepemilikan oleh seseorang atas yang lainnya dan sangat potensial menimbulkan kekerasan terhadap pihak yang tersubordinasi dalam hal ini PRT.
4) Pekerjaan yang dilakukan oleh PRT tidak dianggap pekerjaan produktif.
Kontribusi ekonomi yang diberikan oleh PRT sangat besar dan nyata karena keberadaan PRT sangat berperan bagi kelancaran aktivitas kehidupan keluarga, terutama bagi pasangan yang keduanya bekerja disektor publik. Dalam hal ini tugas-tugas domestik digantikan oleh PRT.
ini seringkalli dikaburkan oleh pandangan tentang kerja kerumahtanggaan yang dianggap sebagai kerja “alamiah” perempuan.19
b. Aspek Yuridis
1) PRT Masih Dianggap Bukan Pekerja
Hal ini tertuang dalam putusan PA Pusat No.70/59/III/02/c tanggal 19 Desember 1959, pekerjaan PRT dikategorisasikan sebagai pekerjaan disekitar informasi, maka perlindungan merekapun berada diluar wilayah hukum perburuhan. Sejumlah peraturan yang pernah ada seperti UU.No 22/1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No 12/1948 tentang Undang-Undang Kerja Tahun 1984, Undang-Undang No 14 Tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok tenaga kerja. Secara kontekstual termasuk dalam kecakapan hukum perburuhan, namun tidak secara eksplisit menyebutkan PRT sebagai pekerja. Dan dipengaruhi sosial kultur dalam masyarakat kita, kedudukan PRT masih dianggap pekerja sektor informal dan tidak masuk dalam perlindungan hukum perburuhan. 2) Tempat kerja tanpa perlindungan hukum berpotensi menimbulkan
kekerasan.
Wilayah pekerja PRT yang berada diranah privat, dalam lingkungan rumah tangga selama ini dianggap tertutup bagi orang
19
diluar rumahtangga itu membuat PRT rentan terhadap kekerasan. Persoalan didalam rumah masing-masing dipandang sebagai permasalahan non public yang tidak perlu diintervensi oleh pihak luar.
Seorang PRT yang lemah, baik dari aspek sosial tidak jarang mengalami pemaksaan, kekerasan seksual, dari majikannya. Belum lagi tekanan psikologis yang memanfaatkan kondisi subordinat secara ekonomis sebagai buruh upahan oleh majikan yang memprihatinkan, dalam kondisi semacam ini PRT seringkali tidak mempunyai banyak pilihan serta dihadapkan pada konsekuensi fisik, ekonomis, psikis yang berat jika benar ia melawan. 20
Selain Faktor-faktor tersebut diatas, ada beberap faktor lagi yang menyebabkan kekerasan terhadap PRT yaitu :
a. Karena hasil kerja PRT yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan majikan. 21
2. Kekerasan Terhadap Pembantu Rumah Tangga Perempuan
Pada bulan Februari 2006, seorang PRT berumur 13 tahun lari dari rumah
majikannya diBogor, Jawa Barat. Di kamar mandi, majikan perempuannya memukul
kepalanya berkali-kali, dan menyiram air ke tubuhnya. Kemudian mukanya
dimasukkan ke lubang toilet. Selama tujuh bulan masa tinggal di rumah
20
Neni Indriati, PRT dan KDRT Quovadis Perlindungan Perempuan Pekerja Rumah Tangga,
(Jakarta : LBH APIK, 2003), Edisi Ke-23,h.4
21