• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin Dengan Ketamin Pada Kucing Lokal (Felis Domestica) Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin Dengan Ketamin Pada Kucing Lokal (Felis Domestica) Indonesia"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS ANESTETIKUM KOMBINASI MEDETOMIDIN

DENGAN KETAMIN PADA KUCING LOKAL

(

Felis domestica

) INDONESIA

DEDI NUR ARIPIN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin dengan Ketamin pada Kucing Lokal (Felis domestica) Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

DEDI NUR ARIPIN. Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin dengan Ketamin pada Kucing Lokal (Felis domestica) Indonesia. Dibimbing oleh WASMEN MANALU dan ANDRIYANTO

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas anestetikum kombinasi medetomidin dengan ketamin pada kucing lokal (Felis domestica). Sebanyak dua puluh ekor kucing yang telah dewasa kelamin dengan bobot badan 3-5 kg dibagi menjadi empat perlakuan dan masing-masing perlakuan menggunakan lima ekor kucing sebagai ulangan. Kelompok tersebut ialah kucing percobaan yang tidak mendapatkan anestesi (Kontrol), kucing percobaan yang disuntik ketamin dengan dosis 20 mg/kg BB (perlakuan 1), kucing percobaan yang disuntik medetomidin dengan dosis 0.15 mg/kg BB (perlakuan 2), dan kucing percobaan yang disuntik dengan medetomidin dosis 0.1 mg/kg BB dan sesaat setelahnya disuntik dengan ketamin dosis 10 mg/kg BB (perlakuan 3). Sediaan anestetikum diberikan pada kucing secara intramuskuler (IM). Parameter yang diamati terdiri atas onset, durasi, frekuensi napas, frekuensi jantung, dan suhu rektal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi anestesi medetomidin-ketamin memiliki efektivitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan anestesi ketamin maupun medetomidin. Anestesi kombinasi medetomidin-ketamin memiliki onset yang lebih cepat sekitar 3 menit dibandingkan medetomidin dan sekitar 8 menit dibandingkan ketamin. Kucing yang disuntik kombinasi medetomidin-ketamin memiliki durasi yang lebih lama sekitar 78 menit dibandingkan medetomidin dan sekitar 172 menit dibandingkan ketamin. Anestesi kombinasi medetomidin-ketamin menghasilkan tekanan yang minimal terhadap kondisi fisiologis tubuh yang meliputi fungsi pernapasan, fungsi jantung, dan suhu tubuh. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini ialah kombinasi medetomidin-ketamin efektif digunakan sebagai alternatif sediaan anestesi pada kucing lokal.

(6)

ABSTRACT

DEDI NUR ARIPIN. Effectivity of Anesthetic Combination of Medetomidine with Ketamine in Indonesian Local Cats (Felis domestica). Supervised by WASMEN MANALU and ANDRIYANTO.

This study aimed to determine the effectivity of anesthetics combination of medetomidine with ketamine in local cat (Felis domestica). Twenty adult cats with body weights ranged 3-5 kg were divided into five groups consisted of five cats each and each group was given different treatments. The first group was control group that did not receive anesthesia. The second group consisted of cats injected with ketamine at a dose of 20 mg/kg BW (treatment 1). The third group consisted of cats injected with medetomidine at a dose of 0.15 mg/kg BW (treatment 2). The fourth group consisted of cats injected with medetomidine at a dose of 0.1 mg/kg BW and shortly thereafter injected with ketamine at a dose of 10 mg/kg (treatment 3). The anestheticum was administered by intramuscular (IM) injection. The observed parameters were onset, duration, respiratory rate, heart rate, and rectal temperature. Results of this study showed that the anesthetic combination of medetomidine-ketamine had a better effectivity when compared to ketamine and medetomidine. Anesthetic combination of medetomidine-ketamine has a faster onset as compared to medetomidine (about 3 minutes) and ketamine (about 8 minutes). Cats injected with anesthetic combination of medetomidine-ketamine had a longer duration as compared to medetomidine (about 78 minutes) and ketamine (about 172 minutes). Anesthetic combination of medetomidine-ketamine produced a minimal depression of the physiological conditions such as the functions of breathing, heart function, and body temperature. Conclusion in this study is the combination of medetomidine-ketamin can be effectively used as an alternative anesthesia in local cats.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

EFEKTIVITAS ANESTETIKUM KOMBINASI MEDETOMIDIN

DENGAN KETAMIN PADA KUCING LOKAL

(

Felis domestica

) INDONESIA

DEDI NUR ARIPIN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Wasmen Manalu Drh Andriyanto, MSi

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet

Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi : Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin dengan Ketamin pada Kucing Lokal (Felis domestica) Indonesia

Nama : Dedi Nur Aripin

(10)
(11)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Efektivitas Anestetikum Kombinasi Medetomidin dengan Ketamin pada Kucing Lokal (Felis domestica) Indonesia”. Tulisan ini menjelaskan tentang pengaruh anestetikum kombinasi medetomidin dengan ketamin pada onset dan durasi anestesi, serta pengaruhnya pada frekuensi napas, frekuensi jantung, dan suhu tubuh pada kucing lokal.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis ayahanda Mustakim dan ibunda Gege Nurhayati yang telah membesarkan dan merawat penulis dengan penuh kasih sayang serta menjadi sumber motivasi paling besar untuk penyelesaian skripsi ini.

2. Kakak penulis Noor Janah dan adik penulis Septiadi Yusuf S, M. Rizky Ramadhan yang selalu memberikan dukungan dan semangat untuk penyelesaian skripsi ini.

3. Prof Dr Ir Wasmen Manalu dan Drh Andriyanto, MSi selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi masukan serta saran yang berarti selama proses penyelesaian penulisan skripsi ini.

4. Drh Aulia Andi Mustika, MSi dan Drh Ridi Arif yang telah memberikan saran yang berarti selama proses penyelesaian penulisan skripsi ini.

5. Drh Adi Winarto, PhD selaku dosen pembimbing akademik selama berkuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB

6. Beasiswa Bidikmisi yang diberikan oleh DIKTI yang sangat meringankan penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

7. Bapak Dikdik dan Bapak Angga yang selalu membantu dalam proses penelitian.

8. Teman-teman Ganglion (FKH 48). Terima kasih untuk kebersamaannya selama ini.

9. Gusti Habiby SN dan Pramesti Nugraheni, sahabat seperjuangan penulis selama melaksanakan kegiatan penelitian dan penulisan tugas akhir.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

(12)
(13)

viii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kucing Lokal 2

Anestesia 3

Medetomidin 3

Ketamin 4

Onset dan Durasi 5

METODE 6

Waktu dan Tempat Penelitian 6

Alat dan Bahan 6

Prosedur Penelitian 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

SIMPULAN 13

SARAN 14

DAFTAR PUSTAKA 14

(14)

ix

DAFTAR TABEL

1 Rataan onset (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan

onset sempurna) pada berbagai waktu pengamatan 8

2 Rataan durasi (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan

durasi total) pada berbagai waktu pengamatan 9

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia medetomidin (C13H16N2) 3

2 Struktur kimia ketamin HCl (C13H16ClNO.HCl) 5

3 Hubungan antara frekuensi napas dan waktu 11

4 Hubungan antara frekuensi jantung dan waktu 12

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kucing merupakan hewan peliharaan yang populer di Indonesia, selain hewan lainnya, seperti anjing, burung, dan hewan eksotik (Purwantoro 2010). Kucing banyak dijadikan sebagai hewan peliharaan untuk pemenuhan kesenangan ataupun hobi pemiliknya. Hal ini dikarenakan kucing memiliki sifat yang manja, bentuk tubuh yang menggemaskan, perilaku yang lucu ketika bercanda, dan memiliki rambut yang halus (Suwed dan Rodame 2011). Pada pemeliharaannya, banyak ditemukan kasus penyakit pada kucing. Penanganan yang dilakukan terhadap penyakit pada kucing dapat berupa tindakan nonbedah maupun tindakan bedah. Tindakan bedah, seperti kastrasi maupun ovariohisterektomi, umum dilakukan pada kucing dalam usaha untuk mengurangi populasi, selain itu juga sebagai terapi penyakit yang ada di dalam organ reproduksi (Noviana et al. 2006).

Tindakan bedah dalam upaya terapi tidak bisa dilepaskan dari pemberian anestetikum kepada pasien yang akan dibedah. Pemberian anestetikum merupakan tahapan penting sebelum melakukan tindakan bedah karena tindakan bedah belum dapat dilakukan bila anestetikum belum diberikan. Pemberian anestetikum dimaksudkan untuk menghilangkan kesadaran dan rasa sakit, relaksasi otot serta mengurangi timbulnya konvulsi otot (Sardjana 2003). Pemilihan anestetikum yang ideal mutlak diperlukan dan menunjang tindakan bedah sehinga tindakan bedah dapat dilakukan dengan aman tanpa menimbulkan gangguan sistem vital tubuh pasien.

Ada beberapa kriteria untuk menentukan suatu anestetikum ideal. Anestetikum ideal harus memenuhi kriteria anestesi, yaitu sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran, aman untuk sistem vital tubuh, ekonomis, dan mudah diaplikasikan baik di lapangan maupun di ruang operasi (Swarayana 2015). Menurut Thurman et al. (1996), anestetikum ideal tidak bergantung pada metabolisme untuk aksi dan eliminasinya, memiliki onset induksi cepat, pergantian kedalaman anestesi singkat, pemulihan cepat, tidak menekan fungsi kardiopulmoner, tidak mengiritasi jaringan, tidak mahal, stabil, serta tidak memerlukan peralatan khusus untuk administrasi obat tersebut. Suatu anestetikum tidak dapat memiliki semua kriteria tersebut sehingga pemilihan suatu anestetikum harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi.

(16)

2

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas anestetikum kombinasi medetomidin dan ketamin dengan menggunakan kucing lokal (Felis domestica) Indonesia sebagai hewan percobaan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh anestetikum kombinasi medetomidin dengan ketamin pada onset dan durasi anestesi, serta pengaruhnya pada frekuensi napas, frekuensi jantung, dan suhu tubuh pada kucing lokal. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi dokter hewan dan pendidikan kedokteran hewan tentang pilihan kombinasi anestesi medetomidin dengan ketamin sebagai anestesi yang ideal untuk menunjang tindakan bedah.

TINJAUAN PUSTAKA

Kucing Lokal

Kucing merupakan hewan predator yang berukuran kecil dan termasuk dalam Ordo Carnivora (pemakan daging), termasuk mamalia crepuscular yang telah berasosiasi dengan manusia. Kucing peliharaan hidup dalam simbiosis mutualisme dengan manusia. Dalam hubungannya dengan manusia, kucing menggunakan variasi vokalisasi dan tipe bahasa tubuh untuk komunikasi, meliputi meowing, purring, hissing, growling, squeaking, chirping, clicking, dan grunting (Rahman 2008).

Kucing lokal (Felis domestica) merupakan salah satu dari beberapa hewan kesayangan yang sering dijadikan peliharaan. Hal tersebut dikarenakan kucing memiliki daya adaptasi yang baik, perilaku yang lucu ketika bercanda, sifat manja, rambut yang halus, dan karakter yang unik bila dibandingkan dengan hewan kesayangan lain. Klasifikasi kucing lokal menurut Fowler (1993) adalah sebagai berikut:

(17)

3

Anestesia

Anestesi dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam (Adams 2001; Miller 2010). Pada hewan, anestesi umumnya digunakan untuk alasan menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang merugikan (rasa sakit), melakukan pengendalian hewan (restraint), membantu melakukan diagnosis atau proses pembedahan, keperluan penelitian biomedis, mencegah kekejangan otot, dan untuk melakukan euthanasia (Adams 2001).

Stadium anestesi dibagi menjadi empat, yaitu stadium induksi, stadium eksitasi, stadium pembedahan, dan stadium paralisis medular. Stadium induksi dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran, indra penciuman dan rasa nyeri hilang, ada kemungkinan mengalami mimpi serta halusinasi pendengaran dan penglihatan. Pada stadium eksitasi atau delirium terjadi kehilangan kesadaran akibat penekanan korteks serebri, eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernapasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium pembedahan merupakan stadium yang menandakan dimulainya prosedur operasi. Stadium paralisis medular merupakan tahap toksik dari anestesi yang ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat, dan pupil dilatasi (Boulton dan Colin 1994; Munaf 2008).

Medetomidin

Medetomidin merupakan agonis alpha 2-adrenoseptor dengan rumus (( 4-[2,3]dimethylphenylethyl)-1H-imidazole). Molekul medetomidin memiliki dua stereoisomer, yaitu D-stereoisomer dan L-stereoisomer. D-stereoisomer adalah komponen aktif yang dapat mempengaruhi sistem saraf dan kardiovaskuler, sedangkan L-stereoisomer tidak aktif (Schmeling et al. 1991). Medetomidin digunakan sebagai obat penenang dengan efek yang ditimbulkan berupa analgesik, relaksasi otot, dan efek anxiolytic (Rioja 2013). Pemberian medetomidin pada hewan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada sistem kardiovaskuler, sistem pulmonari, gastrointestinal, dan sistem endokrin. Pemberian medetomidin pada hewan dapat mengakibatkan terjadinya muntah dan hewan mengalami hipotermia (Cullen 1996).

(18)

4

Efek sedatif medetomidin ini dimediasi oleh adanya pusat alpha 2- adrenoseptor yang banyak terdapat di lokus coeruleus otak (Correa-Sales et al. 1992). Diketahui dari berbagai studi tentang autoradiografik menunjukkan bahwa pada lokus coeruleus ditemukan neurons noradrenergik dalam jumlah besar. Lokus coeruleus banyak dilewati oleh jalur saraf yang mentransmisikan impuls ke otak depan dan sistem limbik. Stimulasi terhadap alpha 2-adrenoseptor di lokus coeruleus menyebabkan hiperpolarisasi neuron sehingga terjadi hambatan transmisi impuls dan menghasilkan efek sedasi (Cullen 1996).

Agonis alpha 2-adrenoseptor (medetomidin) menghasilkan efek analgesia dengan cara menstimulasi reseptor di berbagai lokasi jalur rasa sakit pada spinal dan tingkat supraspinal (Pertovaara et al. 1991; Akbar et al. 2014). Berbagai studi tentang radioligand menunjukkan adanya pengikatan alpha 2 dengan konsentrasi tinggi pada tanduk dorsal dari spinal cord (terdapat sinapsis serabut nosiseptif) dan batang otak, di mana modulasi dari sinyal nosiseptif akan dimulai (Cullen 1996).

Agonis alpha 2-adrenoseptor dapat mempengaruhi fungsi kardiovaskuler dengan cara menstimulasi reseptor pusat dan perifer. Stimulasi terhadap reseptor ditemukan pada bagian yang berbeda di otak, termasuk nukleus dari traktus solitarius yang menjadi pusat utama dalam kontrol otonom (Hayashi dan Maze 1993), peningkatan aktivitas nervus vagus dan penurunan aktivitas saraf simpatik yang menghasilkan efek bradikardia dan hipotensi (Cullen 1996). Hipotermia dapat terjadi akibat tertekannya reseptor noradrenergik di hipotalamus oleh agonis alpha 2-adrenoseptor. Diketahui dari hasil penelitian, pembiusan anjing dengan medetomidin mengakibatkan terjadinya sedikit penurunan suhu rektal (Cullen dan Reynoldson 1993; Pettifer dan Dyson 1993).

Ketamin

Ketamin HCl merupakan golongan phencyclidine dengan rumus 2-(0-chlorophenil)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride (Adams 2001). Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar, dan mempunyai tingkat keamanan yang lebar. Ketamin termasuk ke dalam golongan nonbarbiturat dan merupakan disosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah sebagai preanestesi dan pada dosis lebih tinggi sebagai anestesi umum. Ketamin merupakan anestetikum yang mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat (Gunawan et al. 2009; Azizpour dan Hassani 2012).

Ketamin mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (Kul et al. 2001). Ketamin menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme aksi secara antagonis terhadap reseptor N methyl D aspartate (NMDA). Afinitas ketamin sangat tinggi pada reseptor NMDA sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat (Stawicki 2007; Kurdi et al. 2014). Sebagai antagonis NMDA, ketamin menghambat refleks nosiseptik spinal, yaitu menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah korteks.

(19)

5

pernapasan dengan cara mempengaruhi berbagai reseptor dan otot bronkhial. Pembiusan dengan menggunakan ketamin mengakibatkan terjadinya peningkatan salivasi dan tonus otot (Kurdi et al. 2014).

Gambar 2. Struktur kimia ketamin HCl (C13H16ClNO.HCl) (daily

med.nlm.nih.gov 2015)

Onset dan Durasi

Waktu induksi (onset) adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan sampai awal terjadinya anestesia. Dikenal dua waktu induksi, waktu induksi 1 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat berdiri. Waktu induksi 2 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak ada refleks pedal atau hewan sudah tidak merasakan sakit (stadium operasi) (Swarayana 2015). Waktu induksi dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk kelarutan anestetikum dalam lemak. Faktor lain yang mempengaruhi adalah seperti kemudahan untuk berdifusi melalui jaringan ikat. Pemberian anestetikum secara IM atau subkutan (SC) langsung masuk interstitium jaringan otot atau kulit ke pembuluh darah kapiler kemudian memasuki peredaran darah sistemik. Anestetikum larut lemak masuk ke dalam darah kapiler dengan melintasi membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya anestetikum yang larut air masuk darah melalui celah antarsel endotel bersama air, dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan besar molekulnya (Gunawan et al. 2009).

(20)

6

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 2015 di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan hewan coba kucing lokal Indonesia. Kucing yang digunakan berjenis kelamin jantan dengan kondisi normal secara fisiologis. Anestetikum yang digunakan ialah medetomidin (Medetin®, Dong Bang) dan ketamin (Ketamine 10% inj, Kepro, Holland). Pakan yang digunakan bentuk pakan kering (Whiskas®, Mars Inc., US), pemberian air minum (Aqua®, Danone,

FR) secara ad libitum, obat cacing (Combantrin®, Pfizer, CA) untuk eliminasi cacing, dan disinfektan kandang.

Alat yang digunakan ialah timbangan, syringe (1 mL), kapas beralkohol, termometer, stetoskop, senter kecil, pinset syrurgis, kandang kucing, tempat pakan kucing, litter box, kantong plastik, sarung tangan, dan masker.

Prosedur Penelitian

Persiapan Kucing

Kucing yang digunakan dalam penelitian ini adalah kucing yang telah dewasa kelamin dengan bobot badan 3-5 kg. Kucing yang telah disiapkan diperiksa kondisi kesehatannya, pemeriksaan yang utama adalah pemeriksaan fisiologis kucing. Kucing yang telah diperiksa kesehatannya diaklimatisasi terlebih dahulu selama dua minggu sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kandang penelitian. Selama aklimatisasi, kucing diberikan obat cacing supaya terjaga kesehatannya dan fit digunakan untuk penelitian.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan lima ulangan. Sebanyak dua puluh ekor kucing yang telah dewasa kelamin digunakan dalam penelitian ini, dibagi menjadi empat perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan tersebut ialah kucing yang tidak diberikan sediaan anestetikum, kucing yang diberikan sediaan anestetikum ketamin, kucing yang diberikan sediaan anestetikum medetomidin, dan kucing yang diberikan sediaan anestetikum kombinasi medetomidin-ketamin.

Pemberian Sediaan Anestetikum

(21)

7

dengan dosis 20 mg/kg BB. Kelompok perlakuan kedua ialah kucing percobaan yang disuntik medetomidin dengan dosis 0.15 mg/kg BB. Perlakuan ketiga ialah kucing percobaan yang disuntik dengan medetomidin dosis 0.1 mg/kg BB dan sesaat setelahnya disuntik dengan ketamin dosis 10 mg/kg BB. Sebelum diberikan perlakuan, kucing percobaan dipuasakan selama 12 jam.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini ialah onset (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan pupil) dan durasi (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan pupil) dari sediaan anestetikum. Penelitian ini juga mengamati pengaruh pemberian sediaan anestetikum pada kondisi fisiologis kucing, seperti frekuensi napas, frekuensi jantung, dan suhu rektal.

Pengamatan dan Pengambilan Data

Pengambilan data onset dan durasi sediaan anestetikum dilakukan dengan mengamati rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan pupil. Rasa nyeri diamati dengan mencubit telinga kucing dengan pinset syrurgis dan tonus otot diamati dengan melihat kemampuan kucing melakukan kontraksi otot untuk berdiri maupun bergerak. Kesadaran diamati dengan melihat perilaku kucing dan kemampuannya dalam menanggapi rangsangan. Refleks pedal diamati dengan mencubit ujung jari kucing dengan pinset syrurgis kemudian diamati reaksinya dan pupil diamati dengan melihat adanya reaksi terhadap rangsangan cahaya. Pengamatan terhadap rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan pupil dilakukan setiap tiga menit sekali yang dimulai pada saat sebelum pemberian perlakuan sampai dengan kucing sadar (recovery kembali).

Kondisi fisiologis kucing yang diamati adalah ferkuensi napas, frekuensi jantung, dan suhu rektal. Frekuensi napas dilakukan secara visual dengan memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi di bagian abdominal selama satu menit. Frekuensi jantung diukur dengan auskultasi mempergunakan stetoskop yang diletakkan pada apeks jantung di rongga dada sebelah kiri atau merasakan pulsus arteri pada arteri femoralis selama satu menit. Suhu rektal diamati dengan menempatkan termometer pada bagian rektal kucing. Pengamatan kondisi fisiologis kucing dilakukan setiap sepuluh menit yang dimulai pada saat sebelum pemberian perlakuan sampai dengan kucing sadar (recovery kembali).

Analisis Data

(22)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tindakan bedah dalam upaya terapi sangat bergantung pada pemberian anestetikum kepada pasien. Hal tersebut dikarenakan tindakan bedah belum dapat dilakukan bila anestetikum belum diberikan. Pemberian anestetikum bertujuan untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal untuk dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau pembedahan (Adams 2001; Miller 2010). Tindakan bedah dapat ditunjang dengan pemberian anestetikum yang ideal sehingga dapat berlangsung dengan aman tanpa mengganggu fungsi vital tubuh. Suatu anestetikum dikatakan ideal apabila memenuhi kriteria, yaitu memiliki waktu induksi (onset) cepat, pergantian kedalaman anestesi singkat, pemulihan cepat, tidak menekan fungsi kardiopulmoner, tidak mengiritasi jaringan, tidak mahal, stabil, serta tidak memerlukan peralatan khusus untuk administrasi obat tersebut (Thurman et al 1996; Swarayana 2015).

Data hasil pengamatan rataan onset (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan onset sempurna) disajikan pada Tabel 1. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian sediaan anestesi ketamin, medetomidin, dan kombinasi medetomidin-ketamin tidak berpengaruh pada refleks pupil dan memiliki pengaruh yang berbeda secara nyata pada waktu mulai hilangnya rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan onset sempurna. Hasil ini juga menunjukkan bahwa pemberian sediaan anestesi ketamin tidak berpengaruh pada refleks pedal kucing dan pemberian sediaan anestesi medetomidin tidak berpengaruh pada rasa nyeri kucing. Selain itu, kelompok kucing yang diberikan sediaan anestesi kombinasi medetomidin-ketamin memiliki onset sempurna yang lebih cepat sekitar 3 menit dibandingkan medetomidin dan sekitar 8 menit dibandingkan ketamin.

Tabel 1. Rataan onset (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan onset sempurna) pada berbagai waktu pengamatan (menit ke-)

Kontrol Ketamin Medetomidin

Medetomidin-Ketamin Keterangan: huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada P<0.05

(23)

9

maupun refleks pupil, korneal, laringal, atau faringal (Plumb 1999). Medetomidin memiliki efek sedasi, relaksasi pada otot, dan menghilangkan refleks tubuh, tetapi hewan masih berespons terhadap adanya stimulasi rasa nyeri (Burside et al. 2013). Onset sempurna yang lebih cepat pada pemberian sediaan anestesi kombinasi medetomidin-ketamin ini disebabkan oleh adanya interaksi obat yang saling mempengaruhi sehingga obat diabsorbsi dengan cepat (Pertiwi 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Akbar et al. (2015) menunjukkan bahwa pemberian sediaan anestesi medetomidin dan kombinasi medetomidin-ketamin pada kucing memiliki pengaruh yang berbeda secara nyata pada onset kerja obat. Pemberian sediaan anestesi kombinasi medetomidin-ketamin memiliki onset yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberian sediaan anestesi hanya medetomidin saja. Grint dan Pamela (2008) juga melaporkan bahwa onset sediaan kombinasi medetomidin-ketamin lebih cepat jika dibandingkan dengan midazolam-ketamin yang diberikan pada kelinci. Sementara dalam penelitian yang dilakukan Kilic (2004) tentang perbandingan kombinasi anestesi medetomidin-ketamin dengan xylazin-ketamin menunjukkan bahwa pengaruh anestesi tidak berbeda secara nyata pada onset kerja obat yang diuji pada kelinci.

Durasi anestesi adalah waktu yang diukur dari mulai kejadian anestesi sampai hewan mulai sadar (ada gerakan), ada respons rasa sakit, ada suara dari hewan, dan ada refleks (Swarayana 2015). Data hasil pengamatan rataan durasi (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan durasi total) disajikan pada Tabel 2. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian sediaan anestesi ketamin, medetomidin, dan kombinasi medetomidin-ketamin memiliki pengaruh yang berbeda secara nyata pada rataan durasi (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, dan durasi total). Durasi hilangnya rasa nyeri pada kucing yang diberikan sediaan anestesi kombinasi medetomidin-ketamin lebih lama sekitar 72 menit dibandingkan dengan kucing yang hanya diberikan sediaan anestesi ketamin saja. Hasil ini juga menunjukkan bahwa kelompok kucing yang diberikan sediaan anestesi kombinasi medetomidin-ketamin memiliki durasi yang lebih lama sekitar 78 menit dibandingkan medetomidin dan sekitar 172 menit dibandingkan ketamin.

Tabel 2. Rataan durasi (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan durasi total) pada berbagai waktu pengamatan (menit)

Kontrol Ketamin Medetomidin

Medetomidin-Ketamin

Durasi Total 0.00±0.00a 36.60±12.07b 130.80±17.57c 208.00±32.91d 0.000 Keterangan: huruf superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada P<0.05

(24)

10

Hassani 2012). Ketamin dapat menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah korteks dengan mekanisme aksi secara antagonis terhadap reseptor N methyl D aspartate (NMDA) (Kurdi et al. 2014). Waktu hilangnya rasa nyeri dan durasi total yang lebih lama disebabkan oleh adanya potensiasi efek depresan ketamin yang dikombinasi dengan medetomidin karena medetomidin berfungsi sebagai sedatif dan analgesia. Efek sedatif terjadi karena medetomidin menghambat transmisi impuls yang melewati lokus coeruleus dengan cara menstimulasi reseptor alpha 2-adrenoseptor (Cullen 1996). Medetomidin menghasilkan efek analgesi yang minimal, efek analgesi ini terjadi akibat stimulasi reseptor alpha 2-adrenoseptor di tanduk dorsal spinal kord dan batang otak (Cullen 1996; Akbar et al. 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Kilic (2004) menunjukkan bahwa waktu hilangnya rasa nyeri yang dihasilkan oleh sediaan anestesi kombinasi medetomidin-ketamin lebih panjang dibandingkan dengan anestesi kombinasi xylazin-ketamin yang diuji pada kelinci. Akbar et al. (2015) melaporkan bahwa pemberian anestesi medetomidin dan kombinasi medetomidin-ketamin pada kucing memiliki pengaruh yang berbeda secara nyata pada durasi kerja obat, di mana anestesi kombinasi medetomidin-ketamin menghasilkan durasi kerja yang lebih lama. Pemberian kombinasi anestesi medetomidin-ketamin diketahui menghasilkan relaksasi otot dan penghilangan refleks yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian anestesi ketamin (Lee et al. 2010).

Efektivitas dan keamanan suatu sediaan anestesi dapat diketahui dengan melakukan pengamatan terhadap kondisi fisiologis tubuh. Parameter fisiologis yang terpenting diamati selama periode anestesi ini ialah frekuensi napas, frekuensi denyut jantung, dan suhu tubuh (Adams 2001). Pengamatan terhadap parameter fisiologis kucing dalam penelitian ini dilakukan setiap interval 10 menit dan hasil pengamatan disajikan dalam bentuk grafik. Pernapasan bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi O2, CO2, dan ion hidrogen dalam cairan tubuh

sehingga fungsi jaringan tubuh dapat terus berlangsung. Pengaturan fungsi pernapasan dilakukan oleh medulla oblongata dan pons yang merupakan pusat pernapasan. Di dalam substansi retikularis medulla oblongata terdapat pengaturan inspirasi dan ekspirasi yang mengatur irama dasar pernapasan, sedangkan kecepatan dan irama pernapasan terdapat di dalam pons (Frandson 1992). Pengamatan pada frekuensi napas selama anestesi berlangsung dilakukan untuk mengetahui gambaran kualitas fungsi pernapasan.

(25)

11

saling menguatkan untuk menekan pusat pernapasan.

Gambar 3. Hubungan antara frekuensi napas per menit pada kucing perlakuan pada berbagai waktu pengamatan ( Kucing kontrol, Kucing

yang disuntik ketamin, Kucing yang disuntik medetomidin, Kucing yang disuntik kombinasi medetomidin-ketamin)

Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi kardiovaskuler yang bertugas mengangkut O2 dan nutrien ke seluruh

jaringan tubuh, membawa limbah metabolisme dan mempertahankan homeostasis seluler (Cunningham 2002). Penurunan denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat adanya pengaruh sebagian besar anestetikum yang dapat menekan denyut jantung dan fungsi miokardiak. Hanya beberapa anestetikum yang dapat meningkatkan denyut jantung, seperti atropin, ketamin, dan tiletamin (McKelvey dan Hollingshead 2003). Hasil pengamatan frekuensi denyut jantung pada Gambar 4, menunjukkan bahwa pemberian anestesi ketamin mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung, sementara pemberian anestesi medetomidin dan kombinasi medetomidin-ketamin mengakibatkan penurunan frekuensi denyut jantung. Pada pemberian anestesi kombinasi medetomidin-ketamin, efek depresi kardiovaskuler oleh medetomidin diimbangi dengan peningkatan fungsi kardiovaskuler oleh ketamin sehingga penurunan frekuensi denyut jantung tidak sesignifikan pada pemberian medetomidin saja.

(26)

12

terjadi stimulasi general dari pusat vasomotor dan perifer untuk melepaskan norepinephrin yang membuat frekuensi jantung lebih tinggi (Lumb dan Jones 1996). Medetomidin mempengaruhi fungsi kardiovaskuler dengan cara menstimulasi reseptor pusat dan perifer. Medetomidin memiliki sifat parasimpatomimetik yang bekerja menghambat saraf simpatis pada sistem saraf. Medetomidin menstimulasi tonus vagus yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah dan meningkatkan pelepasan asetilkolin dari saraf parasimpatis yang terdapat pada jantung sehingga terjadi bradikardia dan hipotensi (Cullen 1996; Gargiulo et al. 2012).

Gambar 4. Hubungan antara frekuensi jantung per menit pada kucing perlakuan pada berbagai waktu pengamatan ( Kucing kontrol, Kucing

yang disuntik ketamin, Kucing yang disuntik medetomidin, Kucing yang disuntik kombinasi medetomidin-ketamin)

(27)

13

Gambar 5. Hubungan antara suhu rektal pada kucing perlakuan pada berbagai waktu pengamatan ( Kucing kontrol, Kucing yang disuntik ketamin, Kucing yang disuntik medetomidin, Kucing yang disuntik kombinasi medetomidin-ketamin)

Penurunan suhu tubuh dapat disebabkan oleh abnormalitas termoregulasi selama hewan teranestesi. Muir et al. (2000) menyatakan bahwa abnormalitas termoregulasi terjadi akibat produksi panas tubuh yang menurun, penekanan pada susunan saraf pusat, terjadi vasodilatasi, penyuntikan cairan dengan suhu rendah, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan. Medetomidin menyebabkan penurunan suhu tubuh dengan cara menekan reseptor noradrenergik di hipotalamus. Dalam penelitian yang dilakukan Akbar et al. (2015) menyatakan bahwa medetomidin menyebabkan terjadinya penurunan suhu tubuh pada kucing secara signifikan.

SIMPULAN

(28)

14

SARAN

Perlu dilakukan penelitian serupa dengan menambah parameter yang diamati dan menggunakan alat monitoring fungsi vital tubuh untuk memudahkan proses pengamatan dan memperoleh hasil yang akurat terhadap fungsi jantung, pernapasan, dan suhu tubuh. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas anestetikum kombinasi medetomidin dengan ketamin pada berbagai tingkatan dosis anestesi.

DAFTAR PUSTAKA

Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ames (US): Iowa State Pr.

Akbar H, Muhammad AK, Shehla GB, Mansur UDA, Humaira MK, Aftab AA. 2014. Comparative efficacy of medetomidine HCl and lignocaine HCl as epidural anesthetic in buffalo calves. Pak Vet J. 34(3):377-380.

Akbar H, Muhammad AK, Shehla GB, Mansur UDA, Muhammad N, Aftab AA, Humaira MK. 2015. Efficacy of medetomidine hydrochloride alone and in combination with ketamine hydrochloride for surgical anesthesia in cats. Pak Vet J. 35(2):151-154.

Azizpour A and Y Hassani. 2012. Clinical evaluation of general anaesthesia in pigeons using a combination of ketamine and diazepam. J S Afr Vet Assoc. 83:12-15.

Boulton TB, Colin EB. 1994. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta (ID): EGC

Burnside WM, Paul AF, Angus IC, Aurelie AT. 2013. A comparison of medetomidine and its active enantiomer dexmedetomidine when administered with ketamine in mice. BMC Veterinary Research. 9:48-56. Correa-Sales C, Rabin BC, Maze M. 1992. A hypnotic response to

dexmedetomidine, an α2-agonist, is mediated in the locus coeruleus.

Anesthesiology. 76:948-952.

Cullen LK, Reynoldson JA. 1993. Xylazine or medetomidine premedication before propofol anaesthesia. Veterinary Record. 132:378-383.

Cullen LK. 1996. Medetomidine sedation in dogs and cats : a review of its pharmacology, antagonism and dose. Br Vet J. 152:519-535.

Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Edisi 3. Philadelphia (US): WB

(29)

15

Grint NJ, Pamela JM. 2008. A comparison of ketamine–midazolam and ketamine–medetomidine combinations for induction of anaesthesia in rabbits. Veterinary Anaesthesia and Analgesia. 35:113-121.

Gunawan GS, Rianto SN, Elysabeth, editor. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hayashi Y, Maze M. 1993. Alpha 2 adrenoceptor agonists and anaesthesia. British Journal of Anaesthesia. 71:108-118.

Hellyer PW. 1996. General anaesthesia for dog and cats. Ved Med. 91:314-325. Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta (ID): EGC Kilic N. 2004. A comparison between medetomidine-ketamine and

xylazine-ketamine anaesthesia in rabbits. Turk J Vet Anim Sci. 28:921-926.

Kolawole IK. 2001. Ketamine hydrochloride: a useful but frequently misused drug. Niger J Surg Res. 3:118-225.

Kul M, Koe Y, Alkan F, Ogurtan Z. 2001. The effects of xylazine-ketamine and diazepam-ketamine on arterial blood pressure and blood gases in dog. OJVR 4:124-132.

Kurdi MS, Kaushic AT, Radhika SD. 2014. Ketamine: current applications in anesthesia, pain, and critical care. Anesthesia: Essays and Researches. 8(3):283-290.

Lee VK, Flynt KS, Haag LM, Taylor DK. 2010. Comparison of the effects of ketamine, ketamine-medetomidine and ketaminemidazolam on physiologic parameters and anesthesiainducedstress in rhesus (macaca mulatta) and cynomolgus (macaca fascicularis) macaques. J Am Assoc Lab Anim Sci. 49:57-63.

Lumb WV, Jones EW. 1996. Veterinary Anesthesia. Edisi 3. Philadelphia (US): Lea and Febriger.

McKelvey D, Hollingshead KW. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia. Missouri (US): Mosby.

Miller RD. 2010. Miller’s Anesthesia. Edisi 7. Philadelphia (US): Churchill Living Elsevier.

Muir WW, Hubbell JAE, Skarda RT, Bednarski RM. 2000. Veterinary Anesthesia. Edisi 3. Missouri (US): Mosby

Munaf S. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang (ID): EGC.

Noviana D, Gunanti, Ni RFHJ. 2006. Pengaruh anestesi terhadap saturasi oksigen (spo2) selama operasi ovariohisterektomi kucing. J Sain Vet. 24(2):177-184. Pertiwi RE. 2004. Perbandingan gambaran klinis antara kombinasi atropin sulfas-xylazine-ketamine dan atropin sulfas-midazolam-ketamine pada kucing [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Pertovaara A, Kaupila T, Jyajarvi E, Kalso E. 1991. Involvement of supraspinal and spinal segmental alpha-2-drenergic mechanisms in the medetomidine induced antinoception. Neuroscience. 44:705-714.

Pettifier GR, Dyson DH. 1993. Comparison of medetomidine and fentanyl-droperidol in dogs: sedation, analgesia, arterial blood gases and lactate levels. Canadian Journal of Veterinary Research. 57:99-105.

Plumb DC. 1999. Veterinary Drugs Handbook. Edisi 3. Ames (US): Iowa State University Pr.

(30)

16

Rahman A. 2008. Morfogenetika kucing rumah (felis domesticus) di desa jagobayo kecamatan lais bengkulu utara bengkulu. Jurnal Exacta. 6(2):1-12. Rioja E, Giacomo G, Alexander V. 2013. Clinical use of a low-dose medetomidine infusion in healthy dogs undergoing ovariohysterectomy. CVJ. 54:864-868.

Sardjana IKW. 2003. Penggunaan zoletil dan ketamine untuk anestesia pada felidae. Berk Penel Hayati. 9:37-40.

Schmeling WI, Kampine JP, Roerig DL, Warlter DC. 1991. The effects of the

stereoisomers of α2-adrenergic agonist medetomidine on systemic and

coronary hemodynamics in consious dogs. Anesthesiology. 75:499-511. Sinclair MD. 2003. A review of the physiological effects of alpha-2- agonists

related to the clinical use of medetomidine in small animal practice. Canadian Veterinary Journal. 44:885–897.

Stawicki SP. 2007. Common sedative agents. OPUS 12 Scientist. 1:8-9.

Sudisma IGN, Setyo W, Dondin S, Harry S. 2012. Anestesi infus gravimetrik ketamin dan propofol pada anjing. J Vet. 13(2): 189-198.

Suwed MA, Rodame MN. 2011. Panduan Lengkap Kucing. Jakarta (ID): Penebar Swadaya

Swarayana IMI. 2015. Pemeliharaan status teranestesi dengan kombinasi xilasin-ketamin secara subkutan pada anjing [Tesis]. Bali (ID): Universitas Udayana

Thurman JC, Tranquille WJ, Benson CJ. 1996. Lumb and Jones’ Veterinary Anaesthesia. Baltimore (US): Williams and Wilkins.

(31)

17

RIWAYAT HIDUP

Dedi Nur Aripin lahir pada 17 Juli 1994 di Kotabaru, Kalimantan Selatan dari pasangan Bapak Mustakim dan Ibu Gege Nurhayati. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kotabaru, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur SNMPTN Undangan.

Gambar

Gambar 1. Struktur kimia medetomidin (C13H16N2) (www.lookchem.com 2015)
Gambar 2. Struktur kimia ketamin HCl (C13H16ClNO.HCl) (daily
Tabel 1. Rataan onset (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan onset sempurna) pada berbagai waktu pengamatan (menit ke-)
Tabel 2. Rataan durasi (rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, pupil, dan durasi total) pada berbagai waktu pengamatan (menit)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Setiap mahasiswa memiliki faktor determinan yang berbedadi tiap individunya.Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk perilaku belajar

Berdasarkan latar belakang dan tema mengenai sistem pengambilan keputusan maka dilakukan penelitian skripsi dengan judul “Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Prioritas Untuk

18 Penelitian oleh Yaputri tahun 2005 juga menyimpulkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara waktu tempuh tes TUG dengan derajat OA lutut,

Dalam penelitian ini, yang menjadi peubah bebas adalah iringan musik dalam penyelesaian soal matematika (X), sedangkan yang menjadi peubah ter- ikatnya

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Saputro (2012) dijelaskan bahwa densitas briket sangat dipengaruhi oleh tekanan kompaksi tetapi tidak berpengaruh

berkompetisi yang sifatnya klasikal ini lebih menarik perhatian siswa. Kegiatan diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran dan dilanjutkan kegiatan inti yang meliputi

Gambar A menunjukkan bronkus normal, dengan silia yang masih utuh, tampak seperti bulu sikat pada puncak sel epitel torak (panah biru). Sedangkan gambar B, pada puncak sel-sel

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengrajin berpendidikan rendah, pengrajin memiliki jumlah anak sedikit, pengrajin memiliki jumlah tanggungan tergolong kecil, seluruh