ACHMAD DJAELANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kondisi Terumbu Karang dan Kaitannya dengan Proses Eutrofikasi di Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah jelas disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Nopember 2009
ACHMAD DJAELANI. Study of the Condition of Coral Reefs and Its Correlation with Eutrophication Process in Kepulauan Seribu. Supervised by ARIO DAMAR and SANTOSO RAHARDJO.
Increasing of nutrient load can increase the trophic level and macro algae coverage percentage that can make degradation in coral reefs ecosystem. The purpose of this study is to assess the conditions of coral reefs and water quality so that an appropriate management strategy could be arranged. This study is conducted at Kepulauan Seribu on April - June 2009. Quadratic transect photo was used to observe the condition of coral reefs ecosystem. Physical and chemical parameters used to observe the water quality. Principle Component Analysis and Linear Regression were used to observe the relationship between hard coral, macro algae and water parameters. The results of this studies: the conditions of coral reefs in Belanda Island categorized as moderate category with percent hard coral was 27,90 %, then the conditions of coral reefs in Untung Jawa Island categorized as bad category with percent hard coral was 0,21%. There is different water quality between Belanda island and Untung Jawa island waters. Untung Jawa water categorized as eutrophic level based on phosphate level and macroalgae cover. In order to manage the coral reefs ecosystem we have make priority to manage nutrient load and water quality.
ACHMAD DJAELANI. Kondisi Terumbu Karang dan Kaitannya dengan Proses Eutrofikasi di Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan SANTOSO RAHARDJO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi kondisi ekosistem terumbu karang serta keterkaitannya dengan proses eutrofikasi akibat pengaruh pencemaran di Teluk Jakarta dan memberikan rekomendasi bagi pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk mengantisipasi tingginya tingkat eutrofikasi di Teluk Jakarta. Penelitian dilakukan di Pulau Belanda dan Pulau Untung Jawa pada bulan April sampai Juni 2009.
Metode yang digunakan untuk pengambilan data kondisi ekosistem terumbu karang adalah metode foto transek kuadrat sepanjang 50 m mengikuti garis pantai dengan pengulangan sebanyak 20 kali foto masing- masing pada kedalaman 0 – 5 m dan 5 – 10 m. Kemudian foto tersebut dianalisis dengan perangkat lunak Coral Point Count with Excell Extension (CPCe) yang dikembangkan oleh Koehler & Gill (2006) untuk mendapatkan data mengenai persentase tutupan substrat dasar. Pengambilan data parameter perairan (parameter fisika dan kimia) dilakukan dengan cara in-situ (suhu, kec. arus dan kecerahan) dan pengambilan sampel air (salinitas, pH, kekeruhan, ortophospat (PO4), nitrit (NO2), nitrat (NO3) dan ammonia (NH3) untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium.
Analisis dilakukan dengan Principal Component Analysis (PCA) untuk melihat faktor- faktor yang paling berpengaruh pada setiap stasiun pengamatan. Analisis Regresi Linear digunakan untuk melihat hubungan antara tutupan makroalga dengan parameter kualitas air serta hubungan antara tutupan makroalga dengan tutupan karang hidup.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ACHMAD DJAELANI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Achmad Djaelani
NIM : C252070374
Disetujui Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian: 20 Nopember 2009 Tanggal Lulus: Dr. Ir. Ario Damar, M.Si
Ketua
Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc Anggota
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
“
K
atakanlah : Adakah sama orang-orang yang berilmu
dengan orang-orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.
’’
(QS Az-Zumar : 9 )
“
A
llah meninggikan orang-orang yang beriman di antara
kamu dan orang-orang y ang diberi ilmu pengetahuan,
beberapa derajat.
”
(QS Al-Mujaadalah : 11)
“S
esungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan”
(QS Al-Insyiroh : 6 )
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis yang berjudul ”Kondisi Terumbu Karang dan Kaitannya dengan Proses Eutrofikasi di Kepulauan Seribu” ini berhasil diselesaikan.
Penulisan tesis ini tidak mungkin selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Secara tulus, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Program Coremap II Departemen Kelautan dan Perikanan – ADB selaku penyandang dana beasiswa pada Sandwich Program IPB-Xiamen University, China;
2. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing, dan Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan kepada penulis; serta Ir. Sigid Hariadi, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis.
3. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta stafnya dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) beserta stafnya serta Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku Ketua Departemen MSP beserta stafnya yang telah banyak membantu berbagai macam keperluan dan kegiatan mahasiswa selama masa kuliah;
4. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi SPL-Sandwich atas segala kerjasama dan kebersamaan selama kuliah di IPB maupun di Xiamen-China. Semoga kebersamaan ini dapat terus berlanjut.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang.
Bogor, Nopember 2009
Penulis dilahirkan di Cirebon, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 26 Mei 1972 sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara dari pasangan Bapak Achmad Noeri (alm) dan Ibu Amiati. Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SDN Kesunean 2 Cirebon yang diselesaikan pada tahun 1986, kemudian dilanjutkan ke SMPN 2 Cirebon yang diselesaikan pada tahun 1989 dan pada tahun yang sama melanjutkan ke SMAN 2 Cirebon yang diselesaikan pada tahun 1992. Penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi pada jurusan Teknik Planologi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1992 dan tamat pada tahun 1999.
Pada tahun 2007, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Program Sandwich Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (SPL) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Xiamen University-Cina melalui beasiswa Program Coremap II ADB. Untuk menyelesaikan pendidikannya, penulis melakukan penelitian untuk tesis dengan judul “Kondisi Terumbu Karang dan Kaitannya dengan Proses Eutrofikasi di Kepulauan Seribu” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Bapak Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc.
DAFTAR ISI
1.1 Latar Belakang ... 11.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Kerangka Pemikiran ... 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Ekosistem Terumbu Karang ... 7
2.2 Pencemaran Perairan dan Proses Eutrofikasi ... 13
2.3 Parameter Fisika Perairan ... 16
2.3.1 Suhu ... 16
2.3.2 Kecerahan dan Kekeruhan ... 17
2.3.3 Salinitas ... 17
2.3.4 Kecepatan Arus ... 18
2.4 Parameter Kimia Perairan ... 18
2.4.1 pH ... 18
2.4.2 Nitrogen ... 19
2.4.3 Fosfor ... 21
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 22
3.2 Peralatan dan Bahan ... 24
3.3 Penentuan Titik Pengamatan ... 24
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 25
3.5 Metode Analisis Data ... 29
3.5.1 Analisis Persentase Tutupan Karang ... 29
3.5.2 Analisis Kualitas Perairan ... 29
3.5.3 Analisis Hubungan Antara Kondisi Terumbu Karang dan Kualitas Perairan ... 30
3.5.4 Analisis Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang ……….. 32
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu ... 33
4.2 Kondisi Umum Pulau Belanda ... 36
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian ... 39
5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda ………... 39
5.1.2 Kondisi Terumbu Karang Pulau Untung Jawa ………….. 42
5.1.3 Kondisi Makro Alga ………... 46
5.2 Kondisi Fisika dan Kimia Perairan ... 47
5.2.1 Suhu ... 48
5.2.2 Salinitas ... 49
5.2.3 Kecerahan dan Kekeruhan ... 49
5.2.4 Kecepatan Arus ... 51
5.2.5 pH... 52
5.2.5 Nitrat (NO3) ... 52
5.2.6 Nitrit (NO2) ... 54
5.2.7 Ammonia (NH3) ... 54
5.2.8 Ortophospat (PO4-P)... 55
5.3 Pengelompokkan Parameter Kualitas Perairan ……….. 56
5.4 Hubungan Tutupan Karang Keras dengan Kondisi Macro Alga … 58 5.5 Hubungan Kondisi Macro Alga dengan Parameter Perairan …….. 60
5.6 Pembahasan Umum ... 61
5.7 Rekomendasi Pengelolaan ... 63
6 KESIMPULAN DAN SARAN 65 6.1 Kesimpulan ... 65
6.2 Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Lokasi dan Koordinat Stasiun Pengamatan ... 22 2 Komponen, jenis, sumber dan teknik pengambilan data ……...…... 15 3 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu
karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya ... 27 4 Parameter fisika dan kimia yang diukur ………...… 28 5 Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6
2 Tipe-tipe Pertumbuhan Karang Batu ... 10
3 Lokasi Penelitian ... 23
4 Metode Transek Kuadrat ... 25
5 Transek Kuadrat ... 26
6 Pola arus Angin Musim Barat di Indonesia ... 34
7 Pola arus Angin Musim Timur di Indonesia ... 35
8 Persentase Rata-rata Tutupan Terumbu Karang di Pulau Belanda 39 9 Persentase Rata-rata Tutupan Terumbu Karang di Masing-masing Stasiun Pengamatan Pulau Belanda ... 41
10 Distribusi Persentase Rata-rata Tutupan Lifeform Karang Keras di Pulau Belanda ... 41
11 Distribusi persentase rata-rata tutupan genus karang di Pulau Belanda ……… 42
12 Persentase rata-rata tutupan komponen terumbu karang di Pulau Untung Jawa ……… 43
13 Persentase tutupan komponen terumbu karang di masing- masing stasiun pengamatan Pulau Untung Jawa ……… 44
14 Distribusi persentase rata-rata tutupan lifeform karang keras di Pulau Untung Jawa ………... 45
15 Distribusi persentase rata-rata tutupan genus karang di Pulau Untung Jawa ……… 45
16 Distribusi persentase tutupan makro alga di masing- masing stasiun pengamatan ……….. 46
17 Grafik sebaran nilai rata-rata suhu pada setiap stasiun pengamatan ……….. 48
18 Grafik sebaran nilai rata-rata salinitas pada setiap stasiun pengamatan ……….. 49
19 Grafik sebaran nilai rata-rata kecerahan pada setiap stasiun pengamatan ……… 50
20 Grafik sebaran nilai rata-rata kekeruhan pada setiap stasiun pengamatan ………...………… 51
21 Grafik sebaran nilai rata-rata kecepatan arus pada setiap stasiun pengamatan ……….……….. 52
22 Grafik sebaran nilai rata-rata pH arus pada setiap stasiun pengamatan ………...……… 53
23 Grafik sebaran nilai rata-rata kandungan Nitrat pada setiap stasiun pengamatan ………...…… 53
24 Grafik sebaran nilai rata-rata kandungan Nitrit pada setiap stasiun pengamatan ……….….. 54
26 Grafik sebaran nilai rata-rata kandungan Ortofosfat pada setiap stasiun pengamatan ………...… 56 27 Kontribusi masing- masing sumbu Faktor Utama ……… 57 28 Kelompok masing- masing sumbu Faktor Utama dengan
parameter kualitas air ………... 58 29 Hubungan antara tutupan karang keras dengan tutupan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut ... 74
2 Hasil Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan Setiap Stasiun .. 75
3 Hasil Persentase Tutupan Karang Hidup dan Non Karang Setiap Stasiun 76 4 Persentase Genus Karang Setiap Stasiun ………...… 77
5 Hasil Perhitungan PCA ... 78
6 Hasil Perhitungan Regresi Linear Berganda …...………...……… 81
7 Gambaran Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda …………...…….. 82
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang
penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di
dalam ekosistem terumbu karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis
karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska,
crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri 2000).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat
memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber
plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku
substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu
karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai
pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.
Kepulauan Seribu merupakan kepulauan yang terdiri dari gugus pulau dan
letaknya terpisah antara satu pulau dengan pulau lainnya. Termasuk dalam gugus
pulau-pulau kecil (luas rata-rata kurang dari 2000 km2) dan berelevasi rendah
(kurang dari 5 m di atas permukaan laut). Terdiri atas 108 pulau dan 234 gosong
pesisir yang tersebar dengan jarak sekitar 4 s.d 60 km dari daratan Jakarta. Secara
umum, Kepulauan Seribu merupakan ekosistem terumbu karang (coral reefs)
yang kompleks yang dikelilingi oleh perairan Laut Jawa yang dangkal (kedalaman
rata-rata kurang dari 60 m). Namun di sekitar Pulau Pari dan Pulau Tidung ada
yang mencapai kedalaman sekitar 100 m (Dephut 2005).
Perairan Teluk Jakarta telah mengalami pencemaran lingkungan yang
semakin berat baik secara fisik maupun ekologis. Hal ini disebabkan karena
adanya 19 daerah aliran sungai (DAS) yang umumnya berhulu di Bogor dan
Tangerang yang memuntahkan aliran airnya ke Teluk Jakarta. Jenis pencemaran
utama di kawasan Teluk Jakarta adalah pencemaran bahan organik, organisme
pathogen, logam- logam dan minyak yang bersumber dari limbah rumah tangga,
industri, pertanian dan sedimen. Kondisi demikian telah menyebabkan telah
terlampauinya kemampuan daya dukung perairan Teluk Jakarta sebagai
tersebut adalah terjadinya banjir, pencemaran limbah padat dan cair, polusi udara,
kerusakan lingkungan fisik dan kerusakan sumberdaya hayati laut (Suharsono
2002).
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Estradivari et al.
(2007), kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu selama periode 2004 – 2005
terus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh banyak hal seperti
penangkapan ikan hias yang tidak ramah lingkungan, pencemaran, penimbunan
sampah, penebangan mangrove, penambangan pasir dan karang serta
penangkapan lebih.
Rusaknya terumbu karang dapat mengakibatkan terganggunya
fungsi-fungsi ekologis terumbu karang yang sangat penting, yaitu (1) hilangnya habitat
tempat memijah, tempat berkembangnya larva (nursery), dan tempat mencari
makan bagi banyak sekali biota laut yang sebagaian besar mempunyai nilai
ekonomis tinggi dan (2) hilangnya pelindung pulau dari dampak kenaikan
permukaan laut. Jika terumbu karang rusak, maka fungsi terumbu karang sebagai
pemecah ombak akan berkurang karena semakin dalamnya air sehingga abrasi
pantai akan secara perlahan semakin intensif.
Meskipun demikian, efek lain dari masuknya limbah organik dari daratan
ke Teluk Jakarta membuat perairan ini menjadi demikian subur, bahkan kelewat
subur. Menurut Damar (2006), perairan Teluk Jakarta dapat dikelompokkan ke
dalam 3 tingkat kesuburan perairan, yaitu: (1) Hyper-eutrophic, yaitu perairan
dengan tingkat kesuburan sangat tinggi; (2) Eutrophic, yaitu perairan dengan
tingkat kesuburan yang tinggi; dan (3) Mesotrophic, yaitu perairan dengan tingkat
kesuburan sedang. Perairan Teluk Jakarta didominasi oleh tingkat kesuburan
eutrophic (perairan dengan kesuburan tinggi). Secara spasial, kelas
hyper-eutrophic berada di sekitar muara sungai dan sepanjang pantai Teluk Jakarta, yang
secara intensif menerima masukan langsung air sungai dari daratan. Perairan ini
adalah perairan yang sangat subur, diindikasikan oleh tingginya nilai kandungan
unsur hara, utamanya nitrogen, fosfat, dan silikat. Sementara itu, sisi negatif dari
tingginya tingkat kesuburan perairan Teluk Jakarta, antara lain, adalah berupa
timbulnya kejadian bloom fitoplankton yang rutin terjadi di kawasan ini. Selain
terlarut, blooming fitoplankton ini juga dapat mengganggu kawasan wisata bahari
melalui penurunan nilai estetika perairan. Diperkirakan, ma ssa air kaya nutrien
dari Teluk Jakarta dapat memasuki perairan oligotrophic Kepulauan Seribu dan
dapat menimbulkan terjadinya ekspansi makro algae di kawasan terumbu karang
tersebut. Tumbuhnya makro algae secara berlebihan di kawasan terumbu karang
merupakan salah satu ancaman serius bagi pertumbuhan hewan karang. Alga dan
terumbu karang merupakan biota yang sama-sama menempel di substrat sehingga
terumbu karang dan algae berkompetisi untuk mendapatkan ruang (Ladrizabal
2007). Kondisi algae yang diteliti oleh Estradivari et al. (2007) di Kepulauan
Seribu pada tahun 2004 dan 2005 mengalami peningkatan sebesar 1.5%. Menurut
Lapointe (1989), salah satu penyebab utama terjadinya blooming makro alga pada
ekosistem terumbu karang adalah meningkatnya unsur hara yang menyebabkan
peningkatan laju pertumbuhan alga sampai pada kondisi dimana ketersediaan
populasi hewan herbivora tidak sanggup lagi mengontrol kelimpahan alga ini
yang pada gilirannya menyebabkan kematian karang akibat tertutup alga.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, akan dilakukan kajian mengenai kondisi ekosistem terumbu karang dan keterkaitannya dengan proses eutrofikasi akibat pengaruh pencemaran di Teluk Jakarta dan memberikan rekomendasi bagi pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk mengantisipasi tingginya tingkat
eutrofikasi di Teluk Jakarta.
1.2. Perumusan Masalah
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa tingginya
tingkat pencemaran di Teluk Jakarta akan memberikan pengaruh yang besar
terhadap proses eutrofikasi sehingga menyebabkan menurunnya kualitas
lingkungan yang dapat mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang.
Dengan masuknya massa air kaya nutrien dari Teluk Jakarta yang memasuki
perairan oligotrophic Kepulauan Seribu akan dapat menimbulkan terjadinya
ekspansi makro algae di kawasan terumbu karang tersebut. Tumbuhnya makro
algae secara berlebihan di kawasan terumbu karang merupakan salah satu
ancaman serius bagi pertumbuhan hewan karang karena alga dan terumbu karang
dan algae berkompetisi untuk mendapatkan ruang. Pertumbuhan makro alga yang
lebih cepat dibanding terumbu karang akan menyebabkan terjadinya pergeseran
keseimbangan (phase-shift), dimana suatu terumbu yang tadinya didominasi oleh
karang keras (Scleractinian) menjadi terumbu yang didominasi oleh
ganggang-ganggang makro (McCook 1999).
Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka permasalahan yang
melatarbelakangi penelitian ini adalah;
1. Adanya ancaman degradasi kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu
karena level eutrofikasi yang tinggi.
2. Belum adanya strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang terkait dengan
tingginya tingkat eutrofikasi.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan kaitannya dengan proses
eutrofikasi di Kepulauan Seribu.
2. Mengkaji parameter kualitas perairan dan komposisi makro alga pada
perairan.
3. Menganalisis hubungan antara persentase tutupan karang dan makro alga serta
hubungan antara persentase tutupan makro alga dan parameter kualitas
perairan.
4. Menyusun rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1. Tersedianya data dan informasi tentang kondisi ekosistem terumbu karang
dan kaitannya dengan proses eutrofikasi di Kepulauan Seribu.
2. Dapat menjadi acuan dalam pengembangan pengelolaan ekosistem terumbu
1.5. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini adalah bahwa secara ekologis ekosistem
terumbu karang akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di
sekitarnya, baik biotik maupun abiotik. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh
adalah kondisi kualitas perairan di sekitar ekosistem terumbu karang. Kondisi
perairan yang menerima banyak masukan nutrien akan merangsang tumbuhnya
makro algae secara berlebihan di kawasan terumbu karang dan dapat menjadi
salah satu ancaman serius bagi pertumbuhan hewan karang. Berkaitan dengan hal
tersebut, perlu dicari suatu upaya dalam rangka menyiapkan strategi untuk
melakukan pengelolaan ekosistem terumbu karang dikaitkan dengan kondisi
kualitas perairannya.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, akan dilakukan kajian
tentang keterkaitan kondisi terumbu karang dengan kondisi kualitas perairan,
makro alga dan factor- faktor terkait lainnya, antara lain;
1. Mengidentifikasi kondisi terumbu karang dengan melihat persentase
penutupan lifeform terumbu karang dan keanekaragamannya.
2. Mengidentifikasi kondisi kualitas perairan dengan melakukan pengukuran
parameter fisika dan kimianya.
3. Menganalisis hubungan keterkaitan antara kondisi kualitas perairan dengan
ekosistem terumbu karang.
Secara diagramatis kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reef) merupakan masyarakat organisme yang
hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup
kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang
dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka
kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan
dengan terumbu karang di atas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef
coral) sebagai individu organism atau komponen dari masyarakat dan terumbu
karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1995).
Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan
penghuni ut ama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan
dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya,
karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung
dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun
pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi
banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1995).
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang
ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan
karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan
di daerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumb u dan ini
merupakan kelompok yang tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama
karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme
antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular
(Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di
jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis (Sorokin
1995).
Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang
struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk
sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah
pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini
hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya
matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup
binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25o-32oC
(Nybakken 1988).
Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif
(deposit) padat kalsium (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme-organisme lain
yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3). Dalam proses pembentukan
terumbu karang maka karang batu (Scleractina) merupakan penyusun yang paling
penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef-building corals). Karang
batu termasuk ke dalam kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang
hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua
subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya
dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi. Hewan karang sebagai
pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu
tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik).
Veron (1995) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah
unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap
perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi
dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis
di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang
diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1996) mencatat
selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan
Indonesia adalah 2-3oC di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka
perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai
dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran
material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu
karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut.
terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga
yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Morfologi Terumbu Karang
Terumbu karang memiliki tipe pertumbuhan dan karakteristik yang
berbeda tergantung kepada kondisi lingkungan di sekitarnya. Menurut Dahl
(1981) tipe pertumbuhan karang dan karakteristik masing- masing genera dari
terumbu karang adalah (lihat Gambar 2):
1. Tipe bercabang (Branching)
Karang ini memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang
dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya.
2. Tipe Padat (Massive)
Karang ini berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari
sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Jika beberapa bagian dari
karang tersebut mati, karang ini akan berkembang menjadi tonjolan,
sedangkan bila berada di daerah dangkal bagian atasnya akan berbentuk
seperti cincin. Permukaan terumbu adalah halus dan padat.
3. Tipe Kerak (Encrusting)
Karang seperti ini tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu. Karang
ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta lubang- lubang kecil.
4. Tipe Meja (Tabulate)
Karang ini berbentuk menyerupai meja dengan permukaan yang lebar
dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau
bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
5. Tipe Daun (Foliose)
Karang ini tumbuh dalam bentuk lembaran- lembaran yang menonjol
pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan melingkar.
6. Tipe Jamur (Mushroom)
Karang ini berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak
Gambar 2. Tipe-tipe Pertumbuhan Karang Batu (Dahl 1981)
Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang
Pertumbuhan, penyebaran dan keanekaragaman karang tergantung kondisi
lingkungannya. Kondisi pada kenyataannya tidak selalu tetap, tetapi seringkali
berubah karena adanya gangguan baik berasal dari alam atau aktivitas manusia.
Gangguan biologis di ekosistem terumbu karang biasanya berupa pemangsaan.
Sedangkan faktor lainya dapat berupa faktor fisik-kimia yang diketahui dapat
mempengaruhi karang antara lain, cahaya matahari, suhu, salinitas dan sedimen.
Menurut Nybakken (1988), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh
beberapa faktor, antara lain adalah :
1. Kedalaman
Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0 – 25 m dari
permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada
perairan yang lebih dalam antara 50 – 70 m. Hal inilah yang menerangkan
mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau
pulau-pulau.
2. Suhu (Temperatur)
Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran
suhu antara 230C – 250C. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada
suhu di bawah 180C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara
360C – 400C. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang
menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu
karang.
3. Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya
sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis.
Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan
karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta membentuk terumbu
akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana
intensitas cahaya berkurang hingga 15 – 20% dari intensitas di permukaan.
4. Salinitas
Karang tidak dapat bertahan pada salinitas diluar 32 - 350/00. Namun pada
kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidup pada salinitas 420/00.
Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam
penerimaan cairan yang masuk sehingga apabila salinitas lebih rendah dari kisaran
di atas terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien
yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairan
yang didalam tubuhnya akan keluar.
5. Sedimentasi
Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang
adalah sedimentasi dimana sedimentasi yang terjadi di dalam air atau diatas
karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Sedimentasi mengurangi
cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan
karang. Akibatnya, perkembangan terumbu karang di daerah yang
pengendapannya lebih besar akan berkurang atau menghilang (Nybakken 1988).
Terumbu karang lebih subur pada daerah yang bergelombang besar.
Gelombang itu memberi sumber air yang segar, oksigen dalam air, menghalangi
pengendapan pada koloni karang (Nybakken 1988). Substrat yang keras dan
bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan planula (larva karang) yang akan
membentuk koloni baru (Nontji 1987).
Pertumbuhan terumbu karang ke arah atas dibatasi oleh udara, dimana
pertumbuhan mereka ke atas hanya terbatas sampai tingkat pasang surut terendah
(Nybakken 1988).
Makroalga
Makroalga adalah kumpulan terminologi yang digunakan untuk jenis
rumput laut dan beberapa alga yang menempel di dasar perairan. Makroalga pada
umumnya terlihat oleh mata telanjang. Menurut McCook (2001), makroalga
diklasifikasikan sebagai tanaman laut karena mereka berfotosintesis (merubah
cahaya menjadi makanan) dan memiliki persamaan ekologi dengan tanaman
lainnya.
Berdasarkan pada fungsi karakteristik ekologi (seperti bentuk tanaman,
ukuran, kekuatan, kemampuan berfotosintesis), kemampuan bertahan terhadap
grazing (perumputan) dan pertumbuhan, makroalga dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (Rogers et al. 1994) :
1. Turfs Alga : Kumpulan atau asosiasi beberapa spesies dari alga, sebagian
besar filamentous dengan pertumbuhan yang cepat, produktivitas dan
rata-rata berkoloni yang tinggi. Turf memiliki biomass yang rendah per unit
area, tetapi mendominasi dalam proporsi yang besar pada area terumbu
karang walaupun dalam terumbu karang yang sehat.
2. Fleshy macroalga or rumput laut : Bentuk alga yang besar lebih kaku dan
secara anatomi lebih komplek dibandingkan dengan turf alga, lebih sering
ditemukan di daerah terumbu karang yang datar dan herbivor yang rendah
karena kadang mereka memproduksi partikel kimia ya ng menghalangi
grazing oleh ikan.
3. Crustose Alga : Tanaman keras yang tumbuh sebagai kulit melekat pada
terumbu karang dengan penampakan seperti lapisan cat daripada tanaman
biasa, memiliki pertumbuhan yang lambat. Menghasilkan calcium
carbonate (batu kapur) dan mungkin memiliki peran penting dalam
sementasi kerangka terumbu karang secara bersama-sama.
Makroalga memiliki bentuk yang luas mulai dari jaringan kulit yang
sederhana, foliose (daun melambai) sampai filamentous (menyerupai benang)
memiliki spesialisasi untuk menangkap cahaya, reproduksi, pendukung,
pengapungan dan menempel pada dasar perairan. Ukuran ma kroalga dapat
mencapai 3 – 4 meter (seperti Sargassum). Makroalga juga dapat hidup pada
terumbu karang yang sudah mati atau bebatuan, hampir semua spesies tidak dapat
hidup pada perairan yang berlumpur dan berpasir karena tidak memiliki akar yang
dapat menambat pada sedimen seperti lamun. Makroalga merupakan pesaing
utama terumbu karang dalam memanfaatkan ruang sehingga kondisi macroalga
yang berlimpah membuat degradasi terumbu karang dimana terjadi pergantian
fase dari terumbu karang menjadi makroalga walaupun tergantung pada jenis
makroalganya (Jompa & McCook 2002).
2.2. Pencemaran Perairan dan Proses Eutrofikasi
Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi
yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan kerugian
pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri (Odum 1993).
Pencemaran perairan pesisir didefinisikan sebagai dampak negatif,
pengaruh yang membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan
kenyamanan ekosistem perairan serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya
dari ekosistem perairan yang disebabkan secara langsung oleh pembuangan
bahan-bahan atau limbah ke dalam perairan yang berasal dari kegiatan manusia
(GESAMP 1986).
Secara garis besar sumber pencemaran perairan pesisir dan lautan dapat
dikelompokkan menjadi tujuh kelas yaitu limbah industri, limbah cair pemukiman
(sewage) , limbah cair perkotaan (urban storm water), pertambangan, pelayaran
(shipping), pertanian dan perikanan budidaya. Sedangkan bahan pencemar utama
yang terkandung dalam buangan limbah dari ketujuh sumber tersebut berupa
sediment, unsur hara (nutrient), logam beracun (toxic metal), pestisida, organisme
eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting substance (bahan
yang menyebabkan oksigen terlarut dalam air berkurang) (Dahuri 2003).
Eutrofikasi didefinisikan sebagai pengayaan (enrichment) air dengan
nutrien/unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan
2003). Menurut Nixon (1995), eutrofikasi adalah proses peningkatan pengayaan
bahan organik pada suatu ekosistem, yang umumnya melalui peningkatan
pemasukan nutrien. Sedangkan menurut Livingston (2001), Eutrofikasi adalah
produksi materi organik yang membentuk dasar rantai makanan perairan. Nutrien
yang dimaksud adalah nitrogen dan fosfor. Beberapa elemen (misalnya silikon,
mangan dan vitamin) merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan algae. Akan
tetapi elemen-elemen tersebut tidak dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi
meskipun memasuki perairan dalam jumlah cukup banyak. Hanya elemen
tertentu, misalnya fosfor dan nitrogen, yang dapat menyebabkan perairan
mengalami eutrofikasi (Mason 1993).
Pada perairan tawar, fosfor (P) menjadi faktor pembatas karena
keberadaannya yang relatif sedikit. Peningkatan kadar fosfor akan mengakibatkan
peningkatan produktivitas perairan. Pada perairan laut, biasanya yang menjadi
faktor pembatas pertumbuhan adalah nitrogen. Pada kondisi alami, alga memiliki
perbandingan kandungan elemen N dan P (biasa disebut Redfield ratio) sebesar
16:1. Jika rasio N dan P lebih besar dari 16:1 maka fosfor menjadi faktor
pembatas. Sebaliknya jika rasio N dan P lebih kecil dari 16:1, nitrogen menjadi
faktor pembatas (Mason 1993).
Faktor nutrien, terutama kadar nitrogen dan fosfor dalam perairan
dijadikan pertimbangan dalam menentukan tingkat kesuburan perairan. Selain itu,
kondisi kecerahan perairan dan tutupan makroalga bisa menjadi pertimbangan
dalam menentukan tingkat kesuburan perairan.
Eutrofikasi dan Terumbu Karang
Eutrofikasi telah dikenal sebagai penyebab utama kerusakan terumbu
karang yang tumbuh di daerah pesisir yang dekat dengan pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi. Pengayaan fosfat dan nitrat menyebabkan terjadinya
ledakan populasi fitoplankton dan zooplankton yang pada gilirannya
menyebabkan terjadinya kekeruhan air laut sehingga mengurangi penetrasi cahaya
matahari, menyebabkan munculnya berbagai penyakit karang. Pengayaan fosfat
filamentus algae secara tak terkendali yang akhirnya akan menutupi koloni karang
(Lapointe 1989).
Menurut Damar (2006), sisi negatif dari tingginya tingkat kesuburan
perairan, antara lain, adalah berupa timbulnya kejadian bloom fitoplankton. Selain
dapat menimbulkan kematian massal ikan melalui berkurangnya nilai oksigen
terlarut, blooming fitoplankton ini juga dapat mengganggu kawasan wisata bahari
melalui penurunan nilai estetika perairan. Disamping itu, adanya potensi
timbulnya toxic algae bloom, seperti Dinophysis spp, Alexandrium spp, dan
Pseudonitszchia spp. Efek negatif lain dari tingginya kesuburan perairan adalah
potensi gangguan bagi ekosistem terumbu karang.
Proses degradasi terumbu karang biasanya melalui suatu peristiwa
terjadinya pergeseran keseimbangan (phase-shift), dimana suatu terumbu yang
tadinya didominasi oleh karang keras (Scleractinian) menjadi terumbu yang
didominasi oleh ganggang- ganggang makro (McCook 1999). Keberadaan makro
alga yang cukup tinggi mencerminkan kondisi terumbu karang yang mengalami
degradasi. Faktor pengayaan nutrien dapat menyebabkan kematian karang dan
peningkatan tutupan alga (Szmant 2002).
Mekanisme lain yang mungkin terjadi dengan peningkatan unsur hara atau
eutrofikasi pada ekosistem terumbu karang adalah semakin menurunnya populasi
hewan-hewan herbivora akibat pengaruh langsung dari perubahan kualitas
perairan. Dengan demikian, maka eutrofikasi ini berpeluang meningkatkan
kelimpahan makroalga dari dua arah; yang pertama secara langsung meningkatkan
pertumbuha n alga, dan yang kedua mengurangi konsumsi alga oleh hewan
herbivora. Pengaruh eutrofikasi tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan
kelimpahan makroalga sebagai pesaing utama hewan karang, akan tetapi juga
secara langsung berpengaruh negatif terhadap fisiologi dan perkembangan hewan
karang tersebut, misalnya terhadap perkembangan embrio dan planula karang
(Tomascik dan Sander 1987). Dampak lain yang juga bisa timbul adalah
meningkatnya bioerosi akibat perubahan komunitas ekosistem terumbu karang
(Hallock 1988).
Ada perbedaan karakteristik antara terumbu karang yang hidup pada
pada suatu kawasan. Perbedaan karakteristik terumbu karang ini dicirikan oleh
(Edinger et al. 2000) :
§ Pada perairan yang mengalami pengkayaan nutrien laju penyebaran individu karang lebih rendah dibandingkan pada perairan yang tidak mengalami
pengkayaan nutrien (perairan bersih) di lepas pantai pada kawasan yang
sama.
§ Pada perairan yang mengalami pengkayaan nutrien total penutupan karang
dan kepadatan jenis karang di dekat pantai terumbu lebih rendah
dibandingkan terumbu pada perairan bersih di lepas pantai, sedangkan
penutupan algae dan invertebrate lebih tinggi di perairan yang mengalami
pengkayaan nutrien dibandingkan pada terumbu perairan bersih di lepas
pantai.
§ Pada perairan yang mengalami pengkayaan nutrien intensitas bioerosi lebih tinggi di terumbu dekat pantai dibandingkan pada terumbu di perairan yang
tidak mengalami pengkayaan nutrien di lepas pantai.
2.3 Parameter Fisika Perairan
2.3.1 Suhu
Suhu merupakan faktor fisik yang sangat penting di air karena dapat
mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia
enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum
fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah
struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi
fitoplankton (Tomascik et al. 1997).
Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa
air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat
setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau
pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan.
Di Indone sia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat
berkisar antara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu berkisar antara
dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah
dibanding suhu udara disekitarnya.
2.3.2 Kecerahan dan Kekeruhan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan
secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam
satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran,
kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan
pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah
(Effendi 2003).
Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan
tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar
matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu
banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna
dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur,
bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil
tersuspensi lainnya. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat
kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin
menghambat sinar matahari masuk ke dalam air.
Kecerahan dan kekeruhan dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Hal
ini terkait dengan banyaknya cahaya yang masuk ke perairan. Karang
membutuhkan cahaya yang cukup untuk melakukan fotosintesis. Tanpa cahaya
yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk
menghasilkan kalsium karbonat dan pembentukkan terumbu akan menurun
(Kanswisher & Walwright 1967, in Supriharyono 2000). Karang dapat tumbuh
dengan baik pada kedalaman 25 m atau kurang dengan nilai kecerahan lebih dari 5
m dan kekeruhan kurang dari 5 NTU.
2.3.3 Salinitas
Salinitas merupakan salah satu factor yang berpengaruh terhadap organism
dalam mempertahankan tekanan osmotic antara protoplasma organism dengan air
natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4)
dan bikarbonat (HCO3), sementara itu salinitas dinyatakan dalam satuan gr/l atau
permil (0/00) (Effendi 2003).
Salinitas daerah pesisir berfluktuasi dan dipengaruhi oleh topografi,
pasang surut dan jumlah masukan air tawar. Salinitas perairan tawar biasanya
kurang dari 0,5 0/00, perairan payau 0,5-30 0/00 dan perairan laut 30-40 0/00 (Effendi
2003).
2.3.4 Kecepatan Arus
Arus mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap kehidupan
biota perairan (Romimohtarto & Juwana 2001). Arus juga dapat mengakibatkan
rusaknya jaringan-jaringan jasad hidup yang tumbuh di daerah itu dan partikel
partikel dalam suspensi dapat menghasilkan pengikisan. Di perairan dengan dasar
berlumpur, arus dapat mengaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan
kekeruhan air dan mematikan organisme air. Kekeruhan bisa mengurangi
penetrasi sinar matahari, dan karenanya mengurangi aktivitas fotosintesa. Manfaat
dari arus bagi banyak biota adalah menyangkut penambahan makanan bagi
biota-biota tersebut dan pembuangan kotoran-kotorannya. Untuk algae kekurangan
zat-zat kimia dan CO2 dapat dipenuhi. Sedangkan bagi binatang CO2 dan
produk-produk sisa dapat disingkirkan dan O2 tetap tersedia. Arus juga memainkan
peranan penting bagi penyebaran plankton, baik holoplankton maupun
meroplankton. Terutama bagi golongan meroplankton yang terdiri dari telur-telur
dan burayak-burayak avertebrata dasar dan ikan- ikan. Mereka mempunyai
kesempatan menghindari persaingan makanan dengan induk-induknya terutama
yang hidup menempel seperti teritip (Belanus spp) dan kerang hijau (Mytilus
viridis).
2.4 Parameter Kimia Perairan
2.4.1 pH
Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hydrogen dalam
perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Nilai pH
fotosintesis dan respirasi organism, suhu dan keberadaan ion-ion dalam perairan,
dan aktivitas manusia antara lain buangan limbah industry dan rumah tangga.
Besaran pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan
lingkungan yang masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang
basa, untuk pH =7 disebut sebagai netral (Effendi 2003). Perairan dengan pH < 4
merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk
hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat
menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan. Perairan laut
maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang
sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4. Nilai pH dipengaruhi oleh kapasitas
penyangga (buffer) yaitu adanya garam- garam karbonat dan bikarbonat yang
dikandungnya (Nybakken 1988).
2.4.2 Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organism
dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama
pembentukan protein. Di perairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk
ammonia, ammonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organic
lainnya. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat
(NO3 – N) dan amonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N
dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai di perairan baik
dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senya wa nitrogen ini sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen
rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen
tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-N).
Nitrat (NO3 – N) adalah nutrient utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan
algae. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang dihasilkan dari
proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Konsentrasi nitrat di
perairan dipengaruhi proses nitrifikasi, yaitu oksidasi ammonia yang berlangsung
dalam kondisi aerob menjadi nitrit dan nitrat. Oksidasi amonia (NH3 – N) menjadi
nitrit (NO2 – N) dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dan oksidasi nitrit (NO2 –
bakteri ini adalah bakteri kemotrofik yaitu bakteri yang mendapatkan energy dari
proses kimiawi (Effendi 2003).
Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan
perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat kurang dari 0,226 mg/l;
perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 0,227-1,129 mg/l; dan perairan
eutrofik memiliki kadar nitrat berkisar antara 1,130-11,250 mg/l (Vo llenweider
1968 in Wetzel 1975).
Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di
perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak
stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia
dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses
nitrifikasi dan denitrifikasi. Sumber nit rit dapat berupa limbah industri dan limbah
domestik. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l dan sebaiknya
tidak melebihi 0,006 mg/l. Kadar nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat
toksik bagi organisme perairan (Moore 1981 in Effendi 2003).
Tingkat pencemaran suatu perairan berdasarkan nilai nitrit dibagi ke dalam
tiga kriteria yaitu perairan tercemar ringan antara 0,001-0,023 mg/l, tercemar
sedang antara 0,024-0,083 mg/l dan tercemar berat lebih dari 0,083 mg/l (Schitz
1970 in Retnani 2001).
Ammonia (NH3) dan garam- garamnya bersifat mudah larut dalam air laut.
Ammonia bersifat toksik bagi organism akuatik sedangkan ammonium tidak
bersifat toksik. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil
metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika
kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih besar
dari 1,1 mg/l pada suhu 250C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran.
Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein
dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal
dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati)
yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal denga n istilah ammonifikasi
(Effendi 2003).
Menurut Moosa (1984) kadar nitrogen memiliki distribusi vertikal dan
semakin tinggi sejalan dengan pertambahan kedalaman laut dan semakin
rendahnya kadar oksigen. Distribusi secara horisontal kadar nitrat, nitrit dan
ammonia semakin menuju pantai dan muara sungai kadarnya akan semakin tinggi.
2.4.3 Fosfor
Unsur fosfor merupakan salah satu unsur esensial bagi pembentukan
protein dan metabolism sel organism. Fosfat merupakan salah satu zat hara yang
diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
organism di laut. Fosfat yang terdapat dalam air laut baik terlarut maupun
tersuspensi berada dalam bentuk anorganik dan organic (Nybakken 1988).
Ortofosfat (PO4) merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara
langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis
membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai
sumber fosfor. Menurut Boyd (1988) kandungan fosfat yang terdapat di perairan
umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah
dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat
pemupukan fosfat.
Menurut Hutagalung dan Rozak (1997) peningkatan kadar fosfat di laut
akan menyebabkan terjadinya peledakan populasi (blooming) fitoplankton.
Peledakan populasi fitoplankton ini dapat menyebabkan terjadinya blooming
algae atau biasa disebut red tide (pasang merah) yang dapat menyebabkan
invertebrate dan ikan mati secara massal.
Berdasarkan kadar ortofosfat atau yang secara sederhana disebut fosfat
(PO4), perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu perairan oligotrofik yang
memiliki kadar fosfat 0,003-0,010 mg/l; perairan mesotrofik memiliki kadar fosfat
0,011-0,03 mg/l; dan perairan eutrofik memiliki kadar fosfat antara 0,031-0,1 mg/l
(Vollenweider 1968 in Wetzel 1975). Sedangkan menurut Goldberg (in Fogg
1971), perairan laut yang mengalami eutrofikasi memiliki kadar nitrat 0.001-0.60
3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di perairan Pulau Untung Jawa (sebelah selatan) dan
Pulau Belanda (sebelah utara). Lama penelitian sekitar 3 bulan dan dilakukan
pada bulan April-Juni 2009.
Lokasi penelitian dibagi atas dua lokasi yang masing- masing mewakili
perairan Pulau Untung Jawa dan Pulau Belanda. Penentuan didasarkan atas
perbedaan kondisi variable (fisik dan kimia) perairan yang nyata di kedua pulau
tersebut. Pulau Untung Jawa yang letaknya di sebelah Selatan mewakili perairan
yang konsentrasi pencemaran yang lebih tinggi atau mewakili tingkat kesuburan
perairan tinggi (eutrofik). Sedangkan Pulau Belanda mewakili konsentrasi
pencemaran yang lebih rendah atau mewakili tingkat kesuburan perairan sedang
(mesotrofik) karena letaknya yang lebih jauh dari daratan Jakarta. Posisi kedua
stasiun dapat diketahui dengan menggunakan alat Global Positioning Sistem
(GPS).
Tabel 1 Lokasi dan Koordinat Stasiun Pengamatan
No.
3.2. Peralatan dan Bahan
A. Peralatan pengamatan terumbu karang :
• Perahu dengan motor tempel
• Buku identifikasi.
B. Peralatan pengukuran parameter perairan :
• Termometer, sebagai pengukur suhu permukaan air
• Refractometer, sebagai alat pengukur salinitas
• Secchi Disk (diameter 30 cm), sebagai pengukur kecerahan perairan
• Floating drough, pengukur kecepatan arus perairan
• Tali pengukur kedalaman
• Botol plastik polietilen
3.3. Penentuan Titik Pengamatan
Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk melihat bagaimana
variabel-variabel pada ekosistem terumbu karang berinteraksi sehingga dibutuhkan
ulangan yang cukup memadai dalam menentukan titik pengamatan.
Variabel-variabel ekosistem termbu karang yang dijadikan subjek penelitian adalah karang
keras, makroalga, dan kualitas perairan. Penentuan titik pengamatan didasarkan
atas perbedaan kondisi variable (fisik dan kimia) perairan yang nyata antara 2
lokasi yang akan dibandingkan. Pulau Untung Jawa mewakili perairan dengan
konsentrasi pencemaran yang lebih tinggi (eutrofik). Sedangkan Pulau Belanda
mewakili perairan dengan konsentrasi pencemaran yang lebih rendah
(mesotrofik). Pengamatan karang keras dan makroalga dilakukan pada 2 titik
dilakukan pada titik pengamatan 5 – 10 m. Selanjutnya pengamatan parameter
kualitas air dilakukan di kedua lokasi pada kedalaman lokasi terumbu karang.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan adalah metode observasi yaitu metode untuk
mengidentifikasi kondisi ekosistem terumbu karang dan kualitas perairan serta
metode perbandingan (comparative) membandingkan antara dua lokasi yang
mempunyai karakteristik yang berbeda.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari pengamatan atau melalui pengukuran langsung. Sedangkan data
sekunder berupa data-data pendukung yang tersedia, baik berupa hasil study,
jurnal ataupun laporan ilmiah lainnya.
(i) Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang
Perhitungan persentase penutupan karang dan lingkungan sekitarnya
dilakukan dengan menggunakan metode modifikasi transek garis (English et al.
1997) dan transek kuadrat (Rogers et al. 1994). Pada setiap stasiun pengamatan
diletakkan transek garis dengan panjang transek 50 meter sejajar garis pantai.
Kemudian di letakkan transek kuadrat ukuran 1 m x 1 m sepanjang garis transek
dengan pengulangan 20 kali transek kuadrat dalam jarak 50 m (gambar 4).
Penentuan kedalaman didasarkan pada pertumbuhan terumbu karang yang masih
dapat berlangsung dengan baik.
Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang
dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir,
lumpur), alga dan keberadaan biota lain.
Gambar 4 Metode pengamatan terumbu karang dengan transek kuadrat ukuran
Sementara transek kuadrat dibuat dari PVC dengan ukuran 1 m x 1 m
dengan jumlah titik potong 81 potong. Transek dalam transek kuadrat berukuran
10 cm sama dengan 1 % penutupan karang dan makroalga (Gambar 5). Transek
kuadrat tersebut dibentangkan di dalam air untuk diambil photonya.
Adapun pengamatan biota pengisi habitat dasar penyusun ekosistem terumbu
karang didasarkan pada bentuk pertumbuhan (lifeform) yang memiliki kode-kode
tertentu seperti Tabel 3 di bawah ini;
1 m
1 m
Tabel 3 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya (English et al. 1997)
Kategori Kode Keterangan
Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih kotor
Dead Coral with Alga DCA Karang ini masih berdiri, struktur skeletal masih
terlihat
Acropora
Branching
ACB Paling tidak 2
o
percabangan. Memiliki axial dan radial oralit.
Encrusting
ACE Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa
Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji
Digitate ACD Bercabang tidak lebih dari 2o
Tabulate ACT Bentuk seperti meja datar
Non-CE Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) Paling tidak 2o percabangan
Foliose
CF Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring.
Massive CM Seperti batu besar atau gundukan
Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji.
Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera
Heliopora CHL Karang biru
Millepora CML Karang api
Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil
Soft Coral SC Karang bertubuh lunak
Sponge
SP Bertubuh lunak, terlihat dalam berbagai bentuk seperti tabung, vas, pipih, membulat, dsb.
Zoanthids
ZO
Seperti anemone tetapi lebih kecil, biasa hidup sendiri atau koloni atau seperti hewan kecil menempel pada sub-stratum, seperti platythoa, protoplatythoa
Others OT Ascidians, anemon, gorgonian, dan lain-lain
Alga
Alga assemblage
AA Lebih dari satu species yang agak sulit dipisahkan (kumpulan)
Coralline alga CA Dinding tubuh mengandung kapur
Halimeda HA Alga dari genus Halimeda
Macroalga MA Berbagai jenis alga, alga coklat, hijau, merah
Turf alga
TA
Alga halus berspiral lebat, sering ditemukan di wilayah ikan damsel atau kerangka karang yang baru mati
Abiotik Sand S Pasir
Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil
Silt SI Pasir berlumpur
Water W Air
(ii) Pengumpulan Data Kualitas Perairan
Pengumpulan data kualitas perairan meliputi parameter fisika dan kimia
yang terdiri dari 10 parameter (Tabel 4), yang dianalisis baik in situ maupun ex
situ. Analisis secara ex situ dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan Perairan (Proling), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
(MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Tabel 4 Parameter Fisika dan Kimia Perairan yang Diukur
Parameter Satuan Alat/Metode Lokasi Analisis
A. Fisika
1. Suhu °C Termometer In situ
2. Salinitas ‰ Refraktometer Laboratorium
3. Kecerahan m Secchi disk In situ
4. Kekeruhan NTU Turbidity meter Laboratorium
5. Kecepatan Arus cm/det Floating droadge In situ
B. Kimia
1. pH - pH meter Laboratorium
2. Nitrat mg/l Spektrofotometer Laboratorium
3. Nitrit mg/l Spektrofotometer Laboratorium
4. Ammonia mg/l Spektrofotometer Laboratorium
5. Fosfat mg/l Spektrofotometer Laboratorium
Pengambilan contoh air dilakukan sebanyak tiga kali dengan selang waktu
per dua minggu, yaitu pada minggu ke-2 bulan Juni 2009, minggu ke-4 bulan Juni
2009 dan minggu ke-2 bulan Juli 2009 di lima stasiun pengamatan yang telah
ditentukan untuk mengumpulkan data kualitas perairan. Pengukuran parameter
kualitas air dilakukan pada pukul 08.00 s.d. 10.00 untuk mendapatkan kondisi
lingkungan yang memadai terutama berkaitan dengan suhu dan kecerahan.
Sampel air laut diambil di bagian dasar dimana dilakukan identifikasi
terumbu karang. Untuk pengukuran parameter kimia, sample disimpan dalam
disimpan dalam botol plastik polietilen (300 ml). Untuk sampel kimia, air laut
ditambahkan 0,2 ml (3-4 tetes) larutan asam sulfat (H2SO4). Masing- masing
sampel air laut selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin (ice-box) untuk
menjaga kondisinya agar tidak berubah. Selanjutnya sampel air dikirim ke
Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling), Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis sesuai dengan parameter yang akan
diukur.
3.5. Metode Analisis
(i) Analisis Persentase Penutupan Karang
Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase
penutupan karang hidup di ekosistem terumbu karang sebagaimana yang
dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988) dalam English et al. (1994). Semakin
kecil persentase penutupan karang hidup yang diperoleh maka semakin sedikit
pula asosiasi terumbu karang yang hidup di dalamnya. Persen penutupan terumbu
karang diolah dengan menggunakan program lunak Coral Point Count with Ex cell
extension (CPCE) yang dikembangkan oleh Kohler&Gill (2005). Program ini
adalah varian dari Visual Basic.
Perhitungan persentase tutupan karang keras dikategorikan berdasarkan
Gomez dan Yap (1988) yaitu :
a. 75 - 100 % : Sangat baik
b. 50 - 74,9 % : Baik
c. 25 - 49,9 % : Sedang
d. 0 - 24,9 % : Rusak
(ii) Analisis Kualitas Perairan
Analisis kualitas perairan dilakukan secara deskriptif dengan cara
membandingkan nilai dari masing- masing parameter fisika dan kimia air dengan
literature (baku mutu kualitas air) untuk melihat kondisi kualitas perairan.
Masing- masing parameter air dicari rata-rata dan standar deviasinya pada
dengan nilai standar (literature) untuk melihat kualitas perairan. Standar deviasi
yang rendah menunjukkan bahwa keragaman data rendah atau cenderung
seragam. Perhitungan nilai rata-rata dan standar deviasi dilakukan dengan rumus
(Walpole 1995):
(iii) Analisis Hubungan Antara Kondisi Terumbu Karang dan Kualitas
Perairan
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi terumbu karang yang ada
di lokasi penelitian berdasarkan perkiraan keterkaitan dengan faktor- faktor
pembatasnya yaitu kondisi perairan terhadap distribusi tutupan karang. Analisis
ini dilakukan dengan menggunakan analisis statistik komponen utama (Principal
Component Analysis/PCA) antara data kondisi perairan dengan komposisi tutupan
karang di lokasi penelitian yang telah diperoleh. Analisis ini merupakan gambaran
statistik untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi yang terdapat
dalam suatu matrik data (Bengen, 2001).
Principle Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama
adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menentukan faktor- faktor
(komponen-komponen utama) sebagai hasil dari reduksi variabel ke dalam suatu
kelompok variabel baru. Dengan demikian, analisis ini dapat menerangkan
sebanyak mungkin variansi total dalam data dengan jumlah faktor yang
seminimum mungkin. Untuk mentransformasikan variabel awal yang berkorelasi
menjadi sekelompok variabel baru yang tidak saling berkorelasi, maka sangat
diperlukan mencari hubungan yang terjadi dalam sekelompok variable yang
berkorelasi. Suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun dijelaskan oleh
komponen utama ini atau disebut sumbu utama 1 (F1). Selanjutnya dicari
komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil (tidak berkorelasi)
dengan komponen utama (F1). Komponen utama kedua memberikan informasi
terbesar kedua sebagai pelengkap komponen utama pertama.
Analisis Regresi digunakan untuk mengukur seberapa besar suatu variabel
(dependen) dipengaruhi variabel yang lain (independen). Kondisi terumbu karang
dianggap sebagai variable dependen (Y) sedangkan parameter kualitas air
dianggap sebagai variabel independen (X). Dengan menggunakan model regresi
linear berganda dapat dinyatakan model populasi sebagai berikut;
Y = ßo + ß1X1i + ß2X2i +….+ßkXki + ei
Sedangkan model perkiraan regresi linearnya dapat dinyatakan sebagai berikut;
Y = bo + b1X1 + b2X2 + …+ bkXk
Setelah diketahui persamaan regresi, selanjutnya dilakukan analisis
hubungan antara kualitas perairan dengan penutupan dan jumlah jenis karang
batu. Analisis dilakukan dengan penghitungan koefisien korelasi (r). Persamaan
untuk koefisien korelasi dapat dituliskan sebagai berikut (Walpole, 1995):
Dalam menginterpretasi model regresi digunakan koefisien determinasi
(R2). Koefisien determinasi menunjukkan berapa besar perubahan pada variabel
dependent yang dapat dijelaskan oleh variabel independent. Penghitungan
koefisien determinasi dilakukan melalui persamaan berikut:
n = jumlah data
JKG = jumlah kuadrat (n – 1) (sy2 – (b2sx2))
Penerapan analisis regresi akan dilakukan untuk melihat hubungan
keterkaitan antara:
(1) Pengelompokan Jenis Makroalga dan korelasinya terhadap lifeform
terumbu karang
Pengelompokan jenis makroalga berdasarkan (Rogers et al. 1994) dibagi
menurut : a). Kelompok fungsi Turf Alga, b) Kelompok fungsi Fleshy Alga dan c)
Kelompok fungsi Crustose Alga.
Setelah dikelompokan, masing- masing kelompok akan dilihat sejauh mana
tingkat korelasinya dengan lifeform terumbu karang dengan menggunakan analisis
regresi linear.
(2) Hubungan antara Variabel Kualitas Air dengan Makroalga
Analisis komponen utama akan menghasilkan nilai- nilai baru bagi
komponen yang terbentuk. Nilai ini berdasarkan dari koefisien masing- masing
variabel yang berkorelasi pada komponen utama terbentuk dikalikan dengan nilai
variabel di masing- masing baris (stasiun pengamatan). Nilai- nilai ini yang akan
dipakai untuk analisis lebih lanjut.
Dalam melihat hubungan antara tutupan makroalga dengan parameter
kualitas air digunakan analisis regresi berganda secara bertahap. Perhitungan
statistik dibantu oleh program lunak SPSS ver 13.0
(iv) Analisis Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang
Analisis pengelolaan ekosistem terumbu karang yang mengalami
degradasi akan dilakukan melalui pendekatan ekologis dengan memilih strategi
yang tepat untuk dikembangkan, baik faktor lingkungan, faktor manusia atau