• Tidak ada hasil yang ditemukan

Constitutional Complaint Oleh Mahkamah K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Constitutional Complaint Oleh Mahkamah K"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

URGENSI MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI DAN MEMUTUS

CONSTITUTIONAL COMPLAINT DI INDONESIA

Ali Ridho

Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Jl. Lawu No. 01, Kotabaru, Yogyakarta ridho.alihasyim@yahoo.com

Pendahuluan

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 angka 3 menyebutkan : Negara )ndonesia

adalah negara hukum . Berdasarkan pasal tersebut, artinya Indonesia secara de

jure telah menyatakan atas dirinya termasuk kedalam jajaran negara hukum yang

ada di dunia. Salah satu ciri sebuah negarayang dapat disebut sebagai negara

hukum,1 haruslah menempatkan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi dalam

penyelenggaraan negara dan pemerintahan.2 Selain itu, mellaui pasal 1 angka 3

UUD 1945 Indonesia juga mengikrarkan diri bahwa Kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar . Dengan demikian

Indonesia merupakan Negara hukum yang konstitusional. Sebagai Negara yang

berkonstitusi, konstitusi haruslah memuat : Pertama, Konsepsi negara hukum yang

menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum haruslah mengatasi

kekuasaan pemerintah yang karenanya hukum harus mampu mengontrol dan

mengendalikan politik; kedua, konsepsi hak-hak sipil warga negara di bawah

jaminan konstitusi serta adanya pembatasan kekuasaan negara yang dasar

legitimasinya hanya diperoleh oleh konstitusi3. Terlebih juga dalam pasal-pasal

1 Diskurs tentang Negara hukum dapat dilihat lebih detailnya seperti uraian Julius Stahl dalam Negara hokum (Konsep rechstaat yang bertumpu pada system hukum continental yang biasa disebut civil law) dan A.V. Dicey (Konsep Rule of law yang bertumpu pada common law), yang esensi keduanya menganggap akan pentingnya sebuah konstitusi sebagai jaminan atas hak-hak warga negaranya serta sebagai aturan dalam penyelenggaraan pemerintah dan Negara. Lihat Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1992 hlm 57-58, lihat pula M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, Hlm. 76-82.

2 Ibid, Miriam Budiarjo, Hlm. 52

3 Dikutip dari Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 999, (lm . , Lihat pula Ni matul (uda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 999, (lm. . Ni matul (uda menguraikan ada tiga hal yang ada dikonstitusi. Pertama, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia

(2)

2

yang ada di dalam UUD 1945, terdapat juga pengaturan hak-hak dasar, sehingga

perlindungan hak-hak dasar warga negara tanpa terkecuali harus dijamin oleh

negara dan pemerintah karena konstitusi dalam suatu negara merupakan conditio

sine quanon.4

Konstitusi sudah empat kali mengalami amandemen. Salah satu hasil dari

amandemen ketiga, adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga

negara yang memiliki kewenangan di bidang kehakiman setingkat dengan

Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur di dalam Pasal 24 c ayat 1 dan 2 UUD

1945 yang berbunyi:5 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga

negara yang kewenanagannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan

pembubaran partai politik, dan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kemudian Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat

Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Wewenang yang diberikan kepada MK ada yang berpendapat bahwa MK

sebagai lembaga yang super body. Akan tetapi oleh Harjono6 hal itu dibantah

dengan berpendapat, kehadiran MK sebagai lembaga baru tidaklah cukup

dipahami secara parsial saja, tetapi harus dipahami sebagai suatu penguatan

terhadap dasar-dasar konstitutusinalisme pada UUD 1945. Inti dari faham

konstitusionalisme adalah bahwa setiap kekuasaan negara harus mempunyai

batas kewenangan. Selain itu, kehadiran MK berfungsi sebagai guardian of the

constitustion atau pengawal konstitusi. Akan tetapi penguatan dasar-dasar

konstitusionalisme tersebut terkesan setengah-setengah. Dalam tataran realita,

dan warga Negara; kedua, susunan ketatanegaraan suatu Negara yang bersifat fundamental; dan pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.

4 Ridwan HR, Hukum Admisnistrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 5.

5Wewenang Mahkamah Konstitusi juga diatur didalam pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Rumusan pasal didalamnya adalah salinan dari pasal 24 C ayat 1 dan 2, Pasal 7 B ayat 1 dan 5. Perlu dipaparkan disini ada pendapat yang menyatakan bahwa pasal 24 C ayat 1 adalah wewenang MK dan Pasal 24 C ayat 2 adalah kewajiban MK.

(3)

3

MK sebagai kiblat supreme konstitusi yang dimana setiap masalah konstitusional

masyarakat, MK-lah tempat peraduannya.

Namun demikian, persolaan pelanggaran konstituisonal warga negara

seringkali terbengkalai alias tidak terurus. Hal bini ukan berarti MK enggan

menerima dan menyelesaiakn persoalan tersebut, melainkan karena belum

tegasnya aturan yang menyebut terkait problem pelanggaran konstitusional yang

lahir dari kebijakan pemerintah yang kurang responsif. Sehingga mengakibatkan

terenggutnya hak dasar warga Negara. Bukan hanya produk pemrintah yang

berpotensi atau telah melanggar hak asasi manusia (HAM), melainkan juga

putusan pengadilan dan produk administratif seringkali bertolak belakang dengan

konsepsi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 ataupun filosofis Pancasila.

Di beberapa Negara yang memiliki constitutional court seperti MK,

permasalahan demikian dinamakan constitutional compaalint (CC) dan hal ini

menjadi wewenang MK di negara masing-masing.7 Sebagai contoh kasus bola liar

pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tentang Pembekuan

Jama ah Ahmadiyah )ndonesia (JAI). Seperti dikutip Kompas, 10 Juni 2008, Jaksa

Agung Hendarman Supandji mengatakan apabila JAI atau kelompok masyarakat

lain tidak setuju dengan SKB ini, silahkan mengajukan gugatan ke MK. Padahal MK

melalui Mahfud MD menyatakan MK tidak mempunyai kompetensi untuk menilai

akan hal tersebut karena belum masuk pada domain seperti CC.

(4)

4

Dari paparan singkat di atas muncul sebuah problem, kemana para pencari

keadilan bagi warga Negara Indonesia ketika dihadapkan pada permasalahan

seperti hal diatas?. Berkaca atas problem tersebut, maka sangat urgen kiranya

menambah atau memperluas kewenangan MK berupa memutus constitusional

complaint sebagai bentuk penguatan hak dasar konstitusionalisme dan

mewujudkan supreme konstitusi.

Pertanyaan Hukum

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka ditarik

permasalahan yang dapat diteliti dan dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa urgensi Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang menguji dan

memutus constitutional complaint di Indonesia ?

2. Bagaimana konsep constitutional complaint yang ideal bagi Mahkamah

Konstitusi di Indonesia ?

Urgensi Menguji dan Memutus Constitusional Complaint Oleh Mahkamah Konstitusi Dalam Bingkai Negara Hukum Dan Demokrasi Konstitusional

Perubahan UUD 1945, negara Indonesia menegaskan dirinya sebagai negara

hukum8 dan negara demokrasi konstitusional9. Artinya seluruh kebijakan dan

perilaku negara harus berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi. Upaya

mewujudkan hal tersebut, perubahan UUD 1945 nampaknya secara detail memuat

ketentuan-ketentuan jaminan hak asasi manusia yang merupakan hak-hak

konstitusional warga Negara. Disamping juga mencantumkan lebih rinci fungsi dan

kewenangan masing-masing lembaga Negara dalam struktur ketatanegaraan,

termasuk perubahan pada lembaga kekuasaan kehakiman.

Bentuk jaminan penegakan dua prinsip di atas (negara hukum dan demokrasi

konstitusional) adalah dilakukannya penguatan lembaga, khusunya penguatan

terhadap kekuasaan kehakiman sebagai salah satu pintu untuk memperoleh

keadilan. Hal tersebut memang selaras dengan tuntutan reformasi yang juga

menghendaki adanya cabang kekuasaan yudikatif yang secara khusus menjaga dan

(5)

5

menafsirkan konstitusi sebagai dasar dan jaminan hak asasi manusia (HAM). Maka

melalui amandemen UUD 1945, akhirnya membawa perubahan yang signifikan di

dalam ranah kekuasaan kehakiman dengan lahirnya MK.10

Lahirnya MK di Indonesia salah satu amanah yang diemban adalah menjadi

pengawal konstitusi dalam rangka mewujudkan supreme konstitusi. Hal yang

demikian tentu merupakan konsekwensi logis bagi Negara Indonesia yang

menyatakan dirinya sebagai Negara hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang

ada dalam konstitusi. Selain itu kehadirannya adalah sebagai upaya mencari

benang merah dalam rangka mewujudkan negara hukum yang demokratis dan

konstitusional dengan diberi empat wewenang dan satu kewajiban.11 Setumpuk

kewenangan tersebut akan dilihat wajar, jika diteropong dari sejarah

pembentukannya. Karena tercatat ada tiga hal yang melatar belakangi kehadiran

MK yaitu, adanya kekosongan hukum atau tepatnya kekosongan peraturan

perundang-undangan yang berkenaan dengan pengujian undang-undang terhadap

UUD, adanya kekosongan peraturan perundang-undangan yang menyangkut

kemungkinan timbulnya konflik antar lembaga Negara, dan adanya alasan yang

menjadi dasar pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

Melihat kedudukan MK yang sangat berpengaruh cukup signifikan bagi negara

Indonesia, maka akan tepat jika dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya,

MK perlu dibenahi, dijaga dan perlu penambahan taupun perluasan kewenangan,

sehingga MK dalam kiprahnya mampu mengawal dan melindungi konstitusi dapat

berjalan maksimal.12 Salah satu penambahan ataupun perluasan kewenangan13

10Di dalam pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945 menetapkan bahwa kekeuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. Ketentuan ini menunjukkan bahwa MK adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana termaktub dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

11 Lihat Pasal 24 C Ayat 1 dan 2 dan didalam pasal 10 UU No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

12 Dalam penjelasan UU MK disebutkan salah satu substasi keberadaan MK adalah berfungsi menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

(6)

6

tersebut adalah berupa kewenangan untuk menguji dan memutus constitutional

complaint (pengaduan konstitutisonal).

Constitutional complaint (CC) adalah pengaduan atas pelanggaran-pelanggaran

hak-hak costitusional warga negara.14 Peristiwa konkrit bekenaan dengan CC,

adalah dengan melihat peristiwa di penghujung tahun 2008. Melalui 3 Menteri

Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jakasa Agung yang mengeluarkan SKB 3

Menteri Tentang Pembekuan Jama ah Ahmadiyah. Tindakan pemerintah tersebut

kemudian banyak yang menilai sebagai bentuk pelanggaran HAM, sehingga perlu

dibatalkan ataupun diuji keabsahannya. Namun mengingat mekanisme dan

lembaga yang mengujinya belum ada, akhirnya SKB tersebut tetap berlaku tanpa

aral.

Hasil penelusuran lain terhadap surat-surat maupun permohonan yang

diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi selama tahun 2005, sedikitnya

terdapat 48 surat ataupun permohonan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk

constitutional complaint atau sejumlah 3 (tiga) kali lipat permohonan judicial

review pada tahun yang sama.15 Bahkan, karena begitu pentingnya fungsi

pengaduan konstitusional terkait dengan penegakan konstitusi dengan aras yang

menyatakan bahwa dalam hubungan dengan usul untuk mengadopsi mekanisme constitutional complaint secara terbatas, ada dua hal yang harus dicermati. Pertama, meskipun substansi permohonan itu sesungguhnya adalah constitutional complaint, permohonan itu sendiri dikonstruksikan sebagai permohonan pengujian undang-undang. Artinya, sama sekali tidak menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan secara limitatif oleh UUD 1945. Kedua, permohonan itu hanya dapat dilakukan oleh pihak yang secara faktual telah menderita kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh kekeliruan penafsiran dan penerapan undang-undang. Lihat I Dewa Gede Palguna, Constitusional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain serta Kemungkinan Penerapannya di Indoinesia. Makalah Pada Seminar Nasional Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang, 21 November 2009. hlm. 16-19. Kedua, dalam putusan MK 001/PUU-IV/2006 disebutkan bahwa Mahkamah seharusnya dapat menampung pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara karena sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang cukup berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945.

14 Lihat Tanja Karakamisheva, CC : Prosedure and legal instrument for development of the constitutional justice (Case Study-Federal Republik Of Germany, Republik Of Croatia, Republik of Slovenia and Republik of Macedonia) dikutip dalam Ifdhal Kasim, Signifikasi Constitusioanal Complaint dan Urgensi Penerapannya Di Indonesia, Makalah dalam seminar Constitusional Complaint Sebagai Jaminan Konstitusional Warga Negara Dalam Rangka Supremasi Konstitusi yang diselenggarakan PSHK FH UII dan Mahkamah Konstitusi di Hotel Jogjakarta Plaza, 20 Maret 2010.

(7)

7

lebih konkret dan langsung mengenai kepada setiap warga negara, adalah apa

yang dilakukan oleh 2 (dua) orang Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion-nya

pada Putusan Nomor 001/PUU-IV/2006 mengenai perkara Badrul Kamal, terlepas

dari putusan akhir dari keduanya, kali ini secara tegas dapat dikatakan telah mulai

menanamkan benih-benih constitutional complaint dengan cara melakukan

penafsiran bahwa Mahkamah seharusnya dapat menampung pengaduan

konstitusional (constitutional complaint) atas pelanggaran hak-hak konstitutional

warga negara karena sesungguhnya telah memiliki dasar hukum yang cukup

berdasarkan prinsip-prinsip konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945.

Beberapa deskripsi di atas menunjukan bahwa ada mekanisme yang belum

terpenuhi dalam bernengara, khususnya dalam upaya menjamin dan melindungi

HAM warga negara. Apabila hal ini tidak direspon, maka menjadi sebuah

kecelakaan besar bahwa negara tidak serius dalam menjalankan isi konstitusi

sebagai sebuah konsensu. Oleh karena itu, makna penting bagi Indonesia untuk

memberikan saluran kepada masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya.

Maka dari itu, adanya mekanisme CC di Indonesia bertujuan untuk serlindungan

hak asasi manusia, prinsip equality befor the law, supremasi hukum dan keadilan.

Desain Ideal Konsep Kewenangan Constitutional Complaint Bagi Mahkamah Konstitusi

Desain ideal tentang konsep penambahan maupun perluasan kewenangan

constitutional complaint (CC) bagi MK, tidak lain agar tidak menjadikan MK sebagai

kanal sampah permasalahan konstitusi. Mengingat misalnya saja sejak berdiri

hingga tahun 2009, perkara yang masuk dan ter-register di kepaniteraan MK

sudah sebanyak 404 perkara.16 Dengan jumlah hakim yang hanya 9 (sembilan)

orang, maka akan menjadi kerepotan yang luar biasa bagi MK jika nantinya

pengaduan yang berdimensi konstitusional juga harus diperiksa dan diputus oleh

MK tanpa ada parameter konkret. Karena apabila dengan melihat kondisi geografis

dan jumlah penduduk Indonesia, maka wajar jika kompleksitas permasalahanpun

(8)

8

juga akan variatif. Oleh karena itu perlu adanya ukuran dan patokan yang harus

ditentukan terkait constitutional complaint.

Apabila melihat praktek CC di Jerman, dalam Konstitusi Jerman

(Bundesverfassungsgerichtsge- setz) di dalam Pasal 93 ayat (1) menyebutkan:

A constitutional complaint may relate to any act by a public authority violating

a basic right: a law, a directive of an administrative agency, or a court decision. However, the requirement for lodging such a complaint with the Federal Constitutional Court is that there is no other means of eliminating the violation of a basic right. In principle all remedies within the relevant branch of jurisdiction (e.g. civil, criminal or administrative) must therefore first be exhausted before having recourse to the Federal Constitutional Court. (Keluhan konstitusional mungkin berhubungan dengan tindakan yang dilakukan oleh otoritas publik yang melanggar hak dasar: seperti produk hukum, arahan dari sebuah lembaga administratif, atau keputusan pengadilan. Namun, persyaratan untuk mengajukan keluhan tersebut ke Mahkamah Konstitusi Federal adalah disebabkan karena tidak ada mekanisme lain yang harus ditempuh terhadap pelanggaran hak dasar tersebut. Adapun pengaduan yang diadukan yang relevan yurisdiksi putusan, misalnya dari putusan perdata, pidana atau administratif).

Atas deskripsi tersebut, maka aspek penting yang perlu diperhatikan dan

dimasukan ke dalam desain CC setidaknya menyangkut tujuh hal sebagai berikut ;

pertama, ukuran atau parameter dalam proses penyeleksian dan dikabulkannya

pengaduan pemohon; Kedua, apakah semua hak-hak konstitusional dapat menjadi

objek CC atau sebagian; Ketiga, adanya kerugian konstitusional yang nyata yang

ditimbulkan dari tindakan individu oleh legislatif, eksekutif dan bahkan putusan

pengadilan; Keempat, jelas subyek pemohonnya; Kelima, upaya CC merupakan

upaya terakhir setelah upaya hukum yang tersedia sudah dijalankan atau bisa juga

pemohon dalam exhausted of justice (upaya-upaya hukum yang tersedia telah

habis); Keenam, aspek kekuatan mengikatnya putusan. Ketujuh, CC tidak ditujukan

kepada Undang-undang atau peraturan lainnya yang sudah nyata diatur oleh UU

Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan,

misalnya SKB tidak diatur oleh Undang-undang tersebut, namun isi maupun

(9)

9

Memperhatikan poin-poin di atas, maka kemudian menjadi penting untuk

dicarikan syarat ataupun ciri konkrit sebuah aduan yang bisa dikategorikan

sebagai CC. Namun demikian, perlu di tegaskan bahwa CC hanya dilakukan untuk

memulihkan hak konstitusional bagi pihak yang dirugikan, tanpa perlu

membatalkan suatu ketentuan perundang-undangan dalam hal judicial review.17

Dengan demikian, suatu peraturan perundang-undangan dapat tetap diberlakukan

sesuai asas erga omnes (berlaku untuk seluruhnya) kecuali bagi mereka yang

dianggap menderita kerugian atas berlakunya peraturan perundang-undangan

tersebut. Menurut Jan Klucka maka secara umum ada 4 (empat) karakter dari

constitutional complaint yaitu:18

1. They provide a judicial remedy against violations of constitutional rights (sarana peradilan untuk memperbaiaki/memulihkan hak konstitusional terhadap adanya pelanggaran);

2. They lead to separate proceedings which are concerned only with the constitutionality of the act in question and not with other legal issues connected with the same case (Kasus yang diproses hanya yang bersangkutan dengan hak konstitusionalitas yang lahir dari aturan dasar (UUD) dan masalah hukum yang diproses /diajukan tidak boleh kasus yang sama/sejenis);

17 Sebagai contoh adalah complaint terhadap keberlakuan suatu aturan yang berkenaan dengan hak kosntitusional seseorang atau sekelom-pok orang. Di Jerman pernah terjadi adanya pengajuan complaint terhadap larangan penyembelihan hewan (animal slaughter). Aturan tersebut diprotes serta digugat ke pengadilan oleh warga muslim Jerman yang secara syariah Islam diwajibkan untuk mengeluarkan darah hewan melalui tenggorokan dengan cara menyembelih hewan tersebut, apalagi adanya alasan kewajiban penyembelihan hewan pada setiap hari Raya Qurban (Iedul Adha). Pengujian aturan setingkat Peraturan Pemerintah tersebut dilakukan di Mahkamah Agung. Namun hasilnya menolak permohonan pemohon dengan dalih kewenangan negara untuk menentukan aturan, dan menyatakan bahwa aturan tersebut tetap mengikat secara umum termasuk kepada pemohon. Akhirnya para pemohon mengajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji putusan Mahkamah Agung tersebut melalui penilaian terhadap ketentuan konstitusional, khususnya terhadap pasal tentang kebebasan beragama (freedom of religion). Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah terjadi terobosan hukum melalui interpretasi terhadap paradigma atas kedaulatan Tuhan yang di-implementasikan ke dalam kaedah-kaedah agama, termasuk pe-nyembelihan hewan korban. Dalam posisi ini, secara yuridis kedaulatan Tuhan dapat menegasikan kedaulatan negara yang membuat aturan larangan penyembelihan hewan, dengan demikian aturan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang bagi para warga muslim Jerman, namun tetap di-berlakukan bagi warga lainnya (Decision of the Federal Constitutional Court, 1 BvR 2790/04 of December 28, 2004).

(10)

10

3. They can be lodged by the person adversely affected by an act in question (Diajukan oleh orang yang mengalami kerugian akibat tindakan pemerintah secara langsung);

4. The court which decides the constitutional complaint has the authority to annul the act that it deems unconstitional. Such annulment is indispensable to constitutional justice and it must be read as a corollary of the power of constitutional court to interpret constitution as a basic legal text of each state and to ascertain its violation (Pengadilan yang diberikan CC jelas memiliki kewenangan untuk membatalkan aturan yang dianggap inkonstitusional. Substansi pembatalannya oleh hakim harus dilihat sebagai konsekwensi kewenangan hakim untuk menafsirkan konstitusi sebagai teks hukum dasar masing-maisng negara dan untuk memastikan bahwa pelanggaran akibat dari sebuah tindakan betul-betul sesuai dengan teks dasar tersebut).

Secara umum uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengaduan CC

merupakan akibat dari pelanggaran konstitusional yang dapat berupa kebijakan

atau tindakan pejabat publik termasuk vonis/putusan hakim. Namun pengajuan CC

dapat diajukan ke MK dengan syarat telah menempuh seluruh upaya hukum

pengadilan lainnya. Artinya mekanisme CC dapat diperkenankan apabila memang

bentul sudah tidak ada lagi meknaisme lain untuk memulihkan hak konstitusional

seroang warga Negara yang merasa dilanggar.

Aspek lain yang kiranya penting untuk diulas, adalah berkenaan dengan legal

standing atau pihak pemohon CC dan syarat-syarat permohonannya. Untuk

menentukan elemen tersebut, terlebih dulu penting untuk melihat praktek CC yang

telah ada di negara lain, seperti Jerman. Ketentuan dasar hukum di Jerman

(Grundgesetz), dalam Pasal Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 91 menyebutkan: …..on

complaint of constitutionally, being field by any person claiming that’s one of his

basic rights or one of his basic rights or one of his rights or local government…

(pihak yang boleh memohon dalam mekanisme constitutional complaint di Jerman

yaitu warga negara dan pemerintah daerah atau gabungan pemerintah daerah).

Hal berbeda, dapat dijumpai dalam konstitusi Spanyol, Pasal 161 ayat (1)

huruf b menyebutkan bahwa individu warga negara dapat mengajukan pengaduan

(11)

11

melanggar hak-hak dasar atau kebebasan mereka.19 Artinya di Spanyol yang

memiliki legal standing untuk melakukan permohonan constitutional complaint

hanyalah warga negara saja. Melihat perbedaan dua negara tersebut, maka dengan

memperhatikan Pasal 51 ayat (1) UUD 1945 yang terdiri dari 4 (empat) jenis

pemohon yang diperkenankan, yaitu; (i) perseorangan warga negara atau

kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama, (ii) kesatuan

masyarakat hukum adat, (iii) badan hukum publik atau privat, dan (iv) lembaga

negara. Maka konsep legal standing bagi Indonesia bisa dengan memadukan

ketiganya yaitu; pertama, perseorangan warga negara atau kelompok orang yang

mempunyai kepentingan yang sama; kedua kesatuan masyarakat hukum adat.20

Adapun terkait persyaratan permohonan, referensi di negara Jerman

setidaknya bisa menjadi gambaran. Di Jerman objek permohonan dalam

mekanisme constitutional complaint disebutkan dalam ketentuan Pasal 93 ayat (1)

8a dan 8b Konstitusi Jerman sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 33,

38, 101, 103 atau Pasal 104 Konstitusi Jerman.21 Objek permohonan yang

dimaksud adalah dapat berupa undang-undang, peraturan perundang-undangan

dibawah undang-undang, atau produk hukum yang dikeluarkan oleh otoritas

publik baik di tingkat pemerintah federal maupun di tingakat pemerintah negara

19 Rusdianto, Kewenangan Constitutional Complaint Dalam Rangka Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara, Materi ajar pada Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya, Hlm. 1.

20 Alasan mengapa hanya pada 2 (dua) elemen legal standing karena hakekat dari mekanisme constitutional complaint adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara bukan untuk melindungi kewenangan suatu lembaga negara. Karena pelanggaran hak konstitusional warga negara justeru dilakukan oleh aparatur atau pejabat dari lembaga negara atau pejabat publik tersebut. Menurut Philipus M.(adjon di dalam istilah hak mengandung inti bahwa adanya suatu tuntutan (claim) yang dalam kaitannya dengan tuntutan terhadap perlindungan hukum bagi rakyat. Sementara itu, konsep kewenangan merupakan konsep dalam hukum administrasi, yaitu terkait dengan adanya jabatan tertentu. Menurut Prajudi Admosudirja, kewenangan (authority, gezag) adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan oleh undang-undang) atau kekuasaan eksekutif/administratif, yang terdiri atas kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau terhadap suatu bidang pemerintahan. Dengan demikian, maka warga negara biasa tidak mungkin memiliki suatu kewenangan sebagaimana dimaksud pada Pasal UU No. Tahun dan hanyalah pejabat pemerintahanlah yang memiliki kewenangan yang dalam hal ini adalah lembaga negara. Ibid. Lihat juga Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Peradan Press, Surabaya, 2007, Hlm. 33-36.

(12)

12

bagian. Bahkan selain itu, putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan

hukum tetap dapat diperiksa melalui mekanisme constitutional complaint.22

Kemudian persyaratan untuk mengajukan permohonan bagi pemohon

perseorangan warga negara juga harus menunjukkan dan menyebutkan hak mana

yang diduga dilanggar oleh pejabat publik bersangkutan dan harus dibuktikan

dalam waktu satu bulan.23 Pemaparan tentang objek permohonan dalam

mekanisme CC di Jerman, maka hal tersebut lebih menjamin terlindunginya ha-hak

konstitusional warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karenanya, konsep

tersebut mungkin bisa disesuaikan dengan mekanisme CC untuk Indonesia

nantinya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian di atas, maka dapat dikemukakan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Sebagai negara hukum yang mendambakan demokrasi konstitusional dan

ingin mewujudkan supreme konstitusi, maka perluasan kewenangan

berupa constitutional complain pada MK merupakan hal yang tak

terbantahkan urgensinya, karena penerapannya di Indonesia merupakan

wujud konkrit dan upaya penghormatan serta perlindungan maksimum

terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang sudah diatur secara

eksplisit oleh konstitusi UUD 1945.

2. Guna efektifitas implementasi CC, maka sejumlah kriteria telah coba

ditawarkan dan termasuk mkenisme idealnya apabila nanti benar

dilakukan oleh MK RI .

Saran

1. Agar lebih tegas dan jelas bahwa MK memiliki kewenangan CC, maka harus

segera melakukan amandemen kelima UUD 1945 supaya memasukan CC

menjadi kewenangan MK. Apabila langkah tersebut terlalu berat, maka UU

tentang MK menjadi sebuah keharusa dan kegentingan yang memaksa

22 Ibid.

(13)

13

untuk dirubah. Sehingga supreme konstitusi dapat terwujud secara

konkret;

2. Setelah proses amandemen (perubahan) aturan telah menegaskan CC telah

menjadi kewenangan MK, MK harus pro aktif dengan membuat peraturan

MK tentang mekanisme CC. sehingga dapat segera tercipta constitusional

(14)

14

DAFTAR PUSTAKA

Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Buku-buku

Abdul Latif Dkk, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: Total Media, 2009.

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1992.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta: UII Press, 1999.

Ni matul (uda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap

Konstitusi Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Ridwan HR, Hukum Admisnistrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002.

Makalah

I Dewa Gede Palguna, Constitusional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain serta Kemungkinan Penerapannya di Indoinesia. Makalah Pada Seminar Nasional Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi Konstitusi, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang, 21 November 2009.

Ifdhal Kasim, Signifikasi Constitusioanal Complaint dan Urgensi Penerapannya Di Indonesia, Makalah dalam seminar Constitusional Complaint Sebagai Jaminan Konstitusional Warga Negara Dalam Rangka Supremasi Konstitusi yang diselenggarakan PSHK FH UII dan Mahkamah Konstitusi di Hotel Jogjakarta Plaza, 20 Maret 2010.

Jan Klucka, Suitable Rights for Constitutional Complaint, Makalah disampaikan

pada Workshop The Functioning of the Constitutional Court of The Republic of

Latvia , Riga, Latvia, -4 Juli 1997.

Media

(15)

15

Wasis Susetio, Membangun Demokrasi Melalui Constitutional Complaint, dalam

http://www.esaunggul.ac.id/article/membangun-demokrasi-melalui-constitutional-complaint/, diakses 01 Januari 2014.

Putusan dan Aturan Hukum lain

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-IV/2006.

Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland (undang-undang dasar) Negara Jerman.

The Constitutional Court of the Republic of Croatia.

The Constitution of The State of Bavaria.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu kegiatan yang dilakukan pada model pengembangan pertanian perdesaan melalui inovasi (m-P3MI) di Desa Sungai Ungar Kecamatan Kundur, Kabupaten Karimun, Prov.Kepri

Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Mengapa permohonan isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 pada permohonan Nomor

Konflik yang terjadi di tengah-tengah para tokoh agama, yang mayoritas memimpin ummat baik lewat organisasi lembaga pendidikan atau institusi lainnya, ternyata banyak disebabkan

Abstrak --Komandan Satuan dalam memimpin satuan dan prajuritnya harus bisa memerankan peran sebagai seorang pemimpin dan juga bisa memerankan sebagai seorang

Hal yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut, faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor adalah faktor gaya hidup

Di dalam bahasa mandailing ada namanya paboru-boruan , paboru- boruan ini dapat diartikan ialah seseorang laki-laki dan perempuan yang disandingkan sebelum akad

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce ada tiga macam tanda yang terdapat dalam teks pasambahan manjapuik marapulai yakni simbol, indeks dan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan faktor kualitas penggunaan mempunyai pengaruh sebesar 52,1% terhadap kepuasan pengguna, faktor