• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dynamic model of motor vehicle emissions control in Makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dynamic model of motor vehicle emissions control in Makassar"

Copied!
390
0
0

Teks penuh

(1)

i

MOH. AHSAN S. MANDRA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Dinamik Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor di Kota Makassar, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2013

(3)

iii

MOH. AHSAN S. MANDRA. Dynamic Model of Motor Vehicle Emissions Control in Makassar. Under the Supervision of SAM HERODIAN, SOBRI EFFENDI, and KUDANG BORO SEMINAR.

Makassar as a metropolitan has currently is facing the problem of rapid growth of the number of vehicle, which caused traffic jam and decrease of air quality as the result of vehicle emissions. The analysis of emission load, ambient concentration level, ambient air pollution index, estimates of social and economic impacts of pollution and scenario implementation are needed as the main goal of the research to determine the appropriate strategy of air pollution control in Makassar. The model developed in this research is consist of six steps of analysis: (1) needs analysis, (2) formulation of the problem, (3) identification of the system, (4) modeling system, (4) validation, and (6) scenario implementation. The data was collected by using a survey method such as field observations and measurements, in-depth interviews and documentation. The model simulations showed that in the early years of simulation (2011), ambient concentration value of CO, NO2, SO2 dan PM10 are still below the air quality standard. Whereas, at the end of the simulation (2026), pollutants which mostly has reached the air quality standard. The standard index of air pollutans of the entire parameters are good to medium category. The total number of cases of health problems based on dose-response analysis in 2011 to 2026 has reached 23 million cases with the economic value up to 1.5 trillion Rupiah. Application of the model scenarios such as busway, fuel gas, and combined scenarios can reduce ambient concentration level about 7.77 to 156.49 percent.

(4)

iv

Bermotor di Kota Makassar. Dibimbing oleh SAM HERODIAN, SOBRI EFFENDI dan KUDANG BORO SEMINAR.

Kota Makassar merupakan kota metropolitan yang terus berkembang. Seiring dengan perkembangan tersebut jumlah penduduk Kota Makassar pun akan terus bertambah dan akan mempengaruhi potensi dalam menghasilkan polusi udara melalui sumber antropogenik seperti emisi dari kendaraan bermotor. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menghendaki agar setiap usaha pembangunan yang dilakukan tetap memelihara kondisi lingkungan. Salah satu aspek lingkungan adalah udara, dimana di dalamnya terkandung sejumlah oksigen yang merupakan komponen esensial bagi kehidupan baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Udara juga merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya pada ekosistem global khususnya yang terkait dengan masalah pencemaran udara.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun model dinamik pengendalian pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar. Sedangkan tujuan khusus penelitian, yaitu (1) melakukan kuantifikasi emisi, (2) menganalisis konsentrasi ambien dan indeks standar pencemar udara (ISPU), (3) menentukan prioritas strategi reduksi beban emisi, (4) membangun model dinamis pengendalian pencemaran udara, dan (5) merumuskan skenario pengendalian pencemaran udara di Kota Makassar.

Penelitian dilaksanakan dengan cara survei lapangan, kuesioner dan wawancara mendalam dengan pakar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode sistem dinamis yang ditunjang dengan metode spasial untuk menggambarkan proses, perilaku dan kompleksitas sistem. Tahapan pengembangan model yaitu (1) analisis kebutuhan, (2) formulasi masalah, (3) identifikasi sistem, (4) simulasi model, dan (5) pengujian model. Estimasi dampak kesehatan menggunakan metode dose-response, penentuan nilai ekonomi dampak kesehatan menggunakan metode valuasi ekonomi, sedangkan prioritas kegiatan reduksi beban emisi menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP). Model pengendalian pencemaran emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar terdiri atas dua sub-model, yaitu (1) sub-model emisi (lingkungan), dan (2) sub-model dampak pencemaran (sosial-ekonomi), yang dibangun melalui pendekatan sistem menggunakan program powersim studio 2005.

(5)

v

Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan aplikasi program Expert Choice 2000, menunjukkan bahwa kriteria keberlanjutan (eigen value 0.521) menjadi kriteria paling penting untuk diimplementasikan dalam kegiatan reduksi beban emisi kendaraan bermotor Kota Makassar dan diikuti oleh kriteria Efisiensi (0.227), kemudahan manajemen (0.204), dan terakhir adalah biaya (0.047), dengan prioritas utama alternatif adalah substitusi bahan bakar ramah lingkungan (0.138), pemberlakuan pajak emisi (0.109), penggunaan transportasi massal (0.105), pembatasan jumlah kendaraan (0.089), penggunaan catalytic converter (0.087), pemantauan kualitas udara (0.084), penataan ruang (0.082), sistem penegakan hukum lingkungan (0.080), peningkatan ruang terbuka hijau (0.077), pengetatan standar emisi (0.055), rekayasa lalulintas (0.052), dan terakhir inspection and maintenance (0.043).

Hasil simulasi sub-model emisi (lingkungan) untuk konsentrasi udara ambien di Kota Makassar pada awal tahun estimasi (2011) baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau secara umum masih berada di bawah baku mutu udara ambien untuk seluruh parameter. Untuk musim hujan, konsentrasi CO berkisar antara 81.26 – 1978.25 µg/m3, NO2 (34.27 – 96.79) µg/m3, SO2 (24.96 – 153) µg/m3, dan PM10 (12.66 – 39.16) µg/m3. Sedangkan untuk musim kemarau, konsentrasi CO berkisar antara 249.39 – 2952.61 µg/m3, NO2 (42.31 – 119.49) µg/m3, SO2 (45.38 – 278.17) µg/m3, dan PM10 (44.55 – 78.33) µg/m3.

Hasil simulasi untuk tahun selanjutnya pada musim hujan diperoleh nilai konsentrasi yang melampaui baku mutu udara ambien (BMA) yang telah ditetapkan yaitu untuk konsentrasi CO pada tahun 2026 sebesar 10,096.76 µg/m3 (Kecamatan Tamalanrea), untuk konsentrasi NO2 sebagian besar telah melampaui BMA kecuali pada Kecamatan Manggala dan Tamalate, untuk konsentrasi SO2 beberapa kecamatan telah melampaui BMA antara lain Kecamatan Biringkanayya sebesar 278.60 µg/m3 (2018), Mamajang sebesar 281.86 µg/m3 (2025), Makassar sebesar 286.26 µg/m3 (2022), Panakkukang sebesar 273.66 µg/m3 (2020), Rappocini sebesar 282.90 µg/m3 (2024), Tamalanrea sebesar 282.82 µg/m3 (2018), dan Ujung Tanah sebesar 268.52 µg/m3 (2026). Sedangkan untuk konsentrasi PM10 wilayah kecamatan yang telah melampaui BMA yaitu Kecamatan Biringkanayya sebesar 152.63 µg/m3 (2025), Panakkukang sebesar 156.45 µg/m3 (2026), Tamalanrea sebesar 151.60 µg/m3 (2024), Ujung Tanah sebesar 156.05 µg/m3 (2026) dan Wajo sebesar 157.43 µg/m3 (2026).

Pada musim kemarau, nilai konsentrasi ambien yang diperoleh lebih tinggi jika dibandingkan pada musim hujan, dimana nilai CO yang melampaui BMA yaitu pada Kecamatan Biringkanayya sebesar 10,513.01 µg/m3 (2023) dan Tamalanrea sebesar 10,836.68 µg/m3 (2023). Untuk konsentrasi NO2, seluruh wilayah telah melampaui BMA, sedangkan untuk konsentrasi SO2 sebagian besar telah melampaui BMA kecuali Kecamatan Manggala, Mariso, Tamalate, dan Ujung Pandang. Selanjutnya untuk konsentrasi PM10 pada seluruh wilayah telah melampaui BMA yang telah ditetapkan.

(6)

vi

lingkungan sehingga tidak terjadi kasus gangguan kesehatan dan kerugian ekonomi pada tahun 2016. Selanjutnya peningkatan nilai konsentrasi ambien hingga tahun 2021 menyebabkan peningkatan jumlah kasus gangguan kesehatan sebesar 4.4 juta kasus dengan nilai ekonomi sebesar 208.9 milyar rupiah, hingga mencapai 1.5 trilyun rupiah pada tahun 2026. Dari sudut pandang pengendalian pencemaran udara, maka dapat dikatakan bahwa keuntungan yang diperoleh dari penurunan emisi hingga mencapai BMA yang telah ditentukan adalah sebesar 1.5 trilyun pada tahun 2026.

Hasil simulasi model pada penerapan skenario menunjukkan bahwa penerapan skenario busway (SBW) dapat mereduksi konsentrasi ambien rata-rata sebesar 16.88% CO, 16.16 NO2, 7.7 SO2 dan 14.68 PM10, skenario bahan bakar gas (SBBG) dapat mereduksi beban emisi rata-rata 25.48% CO, 28.48% NO2, 46.14% SO2 dan 29.77% PM10, skenario Inspection & Maintenance (SIM) dapat mereduksi beban emisi rata-rata 99.89% CO, 99.24% NO2, 95.82% SO2 dan 98.85% PM10, sedangkan skenario gabungan (SGAB) dapat menurunkan beban emisi rata-rata 134.81% CO, 139.83% NO2, 156.45% SO2 dan 139.63 PM10. Secara keseluruhan penerapan skenario model dapat meningkatkan kualitas udara di Kota Makassar

(7)

vii

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)
(9)

ix

MOH. AHSAN S. MANDRA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

x Penguji Luar Komisi

Pada Ujian Tertutup ( 6 Desember 2012) : 1. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc

(Dosen Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan SPs-IPB) 2. Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA

(Dosen Program Studi Teknologi Industri Pertanian SPs-IPB) Pada Ujian Terbuka ( 8 Januari 2013) :

1. Prof. Dr. Gufran Darma Dirawan, ST, M.EMD

(Ketua Program Studi PKLH Program Pascasarjana UNM) 2. Dr. Mohamad Yani

(11)

xi

NRP : P062090031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sam Herodian, MS Ketua

Dr. Ir. Sobri Effendi,MS Prof. Dr. Ir. Kudang B. Seminar, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan

(12)

xii

maka penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan pada waktunya. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Model Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor di Kota Makassar Menggunakan Sistem Dinamis.

Pada kesempatan ini ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Sam Herodian, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sobri Effendi, MS serta Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat berharga pada penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc dan Dr. Ir. Hartrisari sebagai penguji luar komisi dalam ujian tertutup atas bimbingan dan saran yang diberikan guna penyempurnaan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Gufran Darma Dirawan, ST, M.EMD dan Dr. Mohamad Yani yang berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah pascasarjana IPB beserta staf atas kesempatan studi yang diberikan, sehingga penulis dapat menempuh pendidikan jenjang S3 pada Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf yang telah memberikan pelayanan dan bimbingan akademik selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar (UNM) yang telah memberikan izin mengikuti program S3 pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih yang sangat mendalam kepada Ayahanda (Alm) Prof. Dr. M. Saeruddin Mandra, M.Ed dan Ibunda Hj. Ummi Hani, S.Pdi yang tanpa lelah selalu berdoa untuk keberhasilan penulis. Juga kepada istri tersayang Shinta J. Prathivi yang dengan penuh kesabaran, selalu memberikan semangat kepada penulis selama proses pendidikan. Teruntuk anakku tercinta Moh. Afif Qalby Ahsan yang selalu menjadi inspirasi dan motivasi.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada berbagai pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung, yang telah membantu terlaksananya penelitian hingga tersusunnya disertasi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan masukan yang konstruktif sangat diharapkan. Akhirnya semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin

(13)

xiii

M. Saeruddin Mandra dan ibu Ummi Hani, merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Shinta Juniarlin Prathivi dan telah dikaruniai seorang putra yang bernama Moh. Afif Qalby Ahsan.

Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Jurusan Teknik Mesin Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan meraih gelar (ST) pada tahun 1996. Pada tahun 2001 penulis mulai bekerja sebagai laboran pada Laboratorium Teknik Mesin Universitas Negeri Makassar dan pada tahun 2003 hingga saat ini menjadi Dosen Jurusan Otomotif Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana jenjang Program Master (S2) pada Program Studi Teknik Mesin Bidang Konversi Energi di Universitas Hasanuddin dan meraih gelar Magister Teknik (M.T) pada tahun 2003. Pada tahun 2009 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana jenjang Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

(14)

xiv

2.2. Komponen dan Dampak Pencemar Udara ... 13

2.3. Emisi Kendaraan Bermotor ... Faktor Penyebab Pencemaran Udara ... Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor ... Fungsi Dose-Response ... Analytical Hierarchy Process (AHP) ... Model dan Pemodelan Sistem ... Metode Sistem Dinamik ... 16 III. METODE PENELITIAN 31 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 32

3.3. Rancangan Penelitian ... 3.3.1. Estimasi Beban Emisi ... 3.3.2. Analisis Konsentrasi Udara Ambien ... 3.3.3. Proyeksi Dampak Pencemaran terhadap Kesehatan ... 3.3.4. Perhitungan Nilai Ekonomi Dampak Pencemaran ... 3.3.5. Pemilihan Strategi Reduksi Beban Emisi ... 3.3.6. Desain Model Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor 3.3.7. Asumsi Model ... IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 43 4.1. Kondisi Geografis ... 43

4.2. Iklim ... 44

4.3. Jumlah Penduduk ... 45

4.4. Pertumbuhan Kendaraan dan Jaringan Jalan ... 46

4.5. Kondisi Perekonomian Kota Makassar ... 50

(15)

xv 5.3.

Makassar ... Total Beban Emisi pada Masing-masing Ruas Jalan ...

55 59

5.4. Prioritas Strategi Reduksi Beban Emisi ... 60

5.5. Pemodelan Sistem Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor di Kota Makassar ... 67

5.5.1. 5.5.2. 5.5.3. 5.5.4. Analisis Kebutuhan ... Formulasi Masalah ... Identifikasi Sistem ... Sub-Model Emisi (Lingkungan) ... 67 69 69 72 5.5.5. Sub-Model Dampak Pencemaran (Sosial-Ekonomi) ... 76

5.5.6. Simulasi Sub-Model Emisi (Lingkungan) ... 5.5.6.1. Estimasi Pertumbuhan Kendaraan ... 5.5.6.2. Estimasi Konsentrasi Ambien ... 80 80 81 5.5.7. Simulasi Sub-Model Dampak Pencemaran (Sosial-Ekonomi ... 130

5.5.8. Validasi Kinerja Model ... 134

(16)

xvi

1. Penelitian sebelumnya terkait novelty... 10

2. Skala komparasi pada Penilaian AHP ... 25

3. Kecamatan, ruas jalan, titik koordinat dan panjang jalan ... 32

4. Tujuan penelitian, data, dan sumber data penelitian... 33

5. Nilai baku mutu udara ambien... 35

6. Slope fungsi Dose Response ... 36

7. Luas masing-masing kecamatan di Kota Makassar... 43

8. Jumlah penduduk Kota Makassar tahun 2009 ... 45

9. Rekapitulasi jumlah kendaraan bermotor di Kota Makassar tahun 2008 hingga tahun 2010 berdasarkan jenis kendaraan ... 47

10. Kinerja beberapa ruas jalan utama di Kota Makassar tahun 2010 48 11. Kinerja ruas jalan berdasarkan kecepatan rata-rata kendaraan di Kota Makassar ... 49

12. Panjang jalan menurut fungsi jalan di Kota Makassar tahun 2009 49 13. PDRB Kota Makassar atas dasar harga berlaku ... 50

14. Prioritas lokal dan global strategi reduksi beban emisi di Kota Makassar.... 64

15. Analisis kebutuhan pada sistem pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar ... 68

16. Konsentrasi ambien CO (musim kemarau) tahun 2011 dan prediksi hingga tahun 2026 di Kota Makassar... 82

17. Konsentrasi ambien NO2 (musim kemarau) tahun 2011 dan prediksi hingga tahun 2026 di Kota Makassar... 88

18. Konsentrasi ambien SO2 (musim kemarau) tahun 2011 dan prediksi hingga tahun 2026 di Kota Makassar... 94

19. Konsentrasi ambien PM10 (musim kemarau) tahun 2011 dan prediksi hingga tahun 2026 di Kota Makassar... 100

20. Konsentrasi ambien CO (musim hujan) tahun 2011 dan prediksi hingga tahun 2026 di Kota Makassar.... 106

21. Konsentrasi ambien NO2 (musim hujan) tahun 2011 dan prediksi hingga tahun 2026 di Kota Makassar... 112

22. Konsentrasi ambien SO2 (musim hujan) tahun 2011 dan prediksi hingga tahun 2026 di Kota Makassar... 118

23. Konsentrasi ambien PM10 (musim hujan) tahun 2011 dan prediksi hingga tahun 2026 di Kota Makassar... 124

24. Total jumlah kasus masalah kesehatan berdasarkan analisis dose-response di Kota Makassar Tahun 2011 hingga 2026... 132

25. Total estimasi nilai ekonomi dari masalah kesehatan di Kota Makassar Tahun 2011 hingga 2026 ... 133

(17)

xvii

(18)

xviii

1. Kerangka pikir model pengendalian emisi kendaraan bermotor di

Kota Makassar... 7 2. Konsep Pengendalian Pencemaran emisi Kendaraan

Bermotor... 22 3. Diagram alir model sistem dinamik menggunakan program

powersim ... 30 4. Peta lokasi penelitian ... 31 5. Tahapan pendekatan sistem ... 39 6. Desain model pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota

Makassar ... 40 7. Curah hujan per bulan di Kota Makassar Tahun 2009 ... 44 8. Distribusi jumlah kendaraan setiap ruas jalan di Kota Makassar

Tahun 2011 ... 53 9. Distribusi jumlah kendaraan berdasarkan jenis kendaraan di Kota

Makassar Tahun 2011 ... 56 10. Persentase kendaraan berdasarkan jenis bahan bakar di Kota

Makassar Tahun 2011 ... 55 11. Jumlah dan persentase emisi untuk masing-masing parameter

polutan di Kota Makassar Tahun 2011... 56 12. Nilai dan persentase emisi berdasarkan jenis kendaraan di Kota

Makassar Tahun 2011 ... 56 13. Beban emisi berdasarkan jenis bahan bakar kendaraan

di Kota Makassar Tahun 2011 ... 58 14. Total beban emisi masing-masing ruas jalan di Kota Makassar

Tahun 2011... 59 15. Perbandingan prioritas kriteria strategi reduksi beban emisi

di Kota Makassar... 62 16. Perbandingan prioritas alternatif strategi reduksi beban emisi

di Kota Makassar... 63 17. Struktur AHP pemilihan strategi reduksi beban emisi kendaraan

bermotor Kota Makassar ... 66 18. Diagram lingkar sebab akibat model pengendalian emisi

kendaraan bermotor ... 70 19. Diagram Input-Output model pengendalian emisi kendaraan

bermotor...

71 20. Diagram sub-model emisi (lingkungan) pengendalian emisi

kendaraan di Kota Makassar... 73 21. Diagram stock-flow sub-model emisi (lingkungan)... 74 22. Diagram sub-model dampak emisi kendaraan bermotor di Kota

(19)

xix

25. Simulasi jumlah kendaraan di Kota Makassar Tahun 2011 hingga 2026 berdasarkan jenis kendaraan dan total jumlah

kendaraan... 81 26. Distribusi konsentrasi CO dan nilai BMA CO berdasarkan ruas

jalan di Kota Makassar tahun 2011 hingga tahun 2026 ... 83 27. Distribusi konsentrasi CO (musim kemarau) berdasarkan wilayah

kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011 ... 84 28. Distribusi konsentrasi CO (musim kemarau) berdasarkan wilayah

kecamatan di Kota Makassar Tahun 2016 ... 85 29. Distribusi konsentrasi CO (musim kemarau) berdasarkan wilayah

kecamatan di Kota Makassar Tahun 2021 ... 86 30. Distribusi konsentrasi CO (musim kemarau) berdasarkan wilayah

kecamatan di Kota Makassar Tahun 2026 ... 87 31. Distribusi konsentrasi NO2 dan nilai BMA NO2 berdasarkan ruas

jalan di Kota Makassar tahun 2011 hingga tahun 2026... 89 32. Distribusi konsentrasi NO2 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011 ... 90 33. Distribusi konsentrasi NO2 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2016 ... 91 34. Distribusi konsentrasi NO2 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2021 ... 92 35. Distribusi konsentrasi NO2 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2026 ... 93 36. Distribusi konsentrasi SO2 dan nilai BMA SO2 berdasarkan ruas

jalan di Kota Makassar tahun 2011 hingga tahun 2026 ... 95 37. Distribusi konsentrasi SO2 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011 ... 96 38. Distribusi konsentrasi SO2 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2016 ... 97 39. Distribusi konsentrasi SO2 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2021 ... 98 40. Distribusi konsentrasi SO2 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2026 ... 99 41. Distribusi konsentrasi PM10 dan nilai BMA PM10 berdasarkan

ruas jalan di Kota Makassar tahun 2011 hingga tahun 2026 ... 101 42. Distribusi konsentrasi PM10 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011 ... 102 43. Distribusi konsentrasi PM10 (musim kemarau) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2016 ... 103 44. Distribusi konsentrasi PM10 (musim kemarau) berdasarkan

(20)

xx

berdasarkan ruas jalan di Kota Makassar tahun 2011 hingga

tahun 2026 ... 107 47. Distribusi konsentrasi ambien CO (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011... 108 48. Distribusi konsentrasi ambien CO (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2016 ... 109 49. Distribusi konsentrasi ambien CO (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2021... 100 50. Distribusi konsentrasi ambien CO (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2026 ... 111 51. Distribusi konsentrasi NO2 dan nilai BMA NO2 (musim hujan)

berdasarkan ruas jalan di Kota Makassar tahun 2011 hingga

tahun 2026 ... 113 52. Distribusi konsentrasi ambien NO2 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011 ... 114 53. Distribusi konsentrasi ambien NO2 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2016 ... 115 54. Distribusi konsentrasi ambien NO2 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2021 ... 116 55. Distribusi konsentrasi ambien NO2 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2026 ... 117 56. Distribusi konsentrasi SO2 dan nilai BMA SO2 (musim hujan)

berdasarkan ruas jalan di Kota Makassar tahun 2011 hingga

tahun 2026 ... 119 57. Distribusi konsentrasi ambien SO2 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011 ... 120 58. Distribusi konsentrasi ambien SO2 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2016 ... 121 59. Distribusi konsentrasi ambien SO2 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2021 ... 122 60. Distribusi konsentrasi ambien SO2 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2026 ... 123 61. Distribusi konsentrasi PM10 dan nilai BMA PM10 (musim hujan)

berdasarkan ruas jalan di Kota Makassar tahun 2011 hingga

tahun 2026 ... 125 62. Distribusi konsentrasi ambien PM10 (musim kemarau)

berdasarkan wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2011 ... 126 63. Distribusi konsentrasi ambien PM10 (musim hujan) berdasarkan

wilayah kecamatan di Kota Makassar Tahun 2016... 127 64. Distribusi konsentrasi ambien PM10 (musim hujan) berdasarkan

(21)

xxi

2011 hingga 2026 di Kota Makassar ... 139 67. Prediksi konsentrasi ambien NO2 hasil simulasi skenario Tahun

2011 hingga 2026 di Kota Makassar ... 141 68. Prediksi konsentrasi ambien SO2 hasil simulasi skenario Tahun

2011 hingga 2026 di Kota Makassar ... 142 69. Prediksi konsentrasi ambien SO2 hasil simulasi skenario Tahun

(22)

xxii

1. Faktor emisi (gram/km) berdasarkan BTMP (2008) ... 157 2. Data jumlah kendaraan per hari pada 14 ruas jalan (kecamatan)

di Kota Makassar tahun 2011...

158 3. Jumlah kendaraan dan Beban emisi berdasarkan ruas jalan

(wilayah kecamatan) tahun 2011 di Kota Makassar...

159 4. Hasil simulas jumlah kendaraan... 160 5. Hasil simulasi konsentrasi udara ambien model pada musim

kemarau dan musim hujan di Kota makassar... 167 6. Nilai ekonomi per unit cost dari masalah kesehatan akibat

polusi udara... 181 7. Tabel konsentrasi ambien polutan (µg/m3) penerapan skenario

model pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota

(23)

1.1 Latar Belakang

Pencemaran udara sudah menjadi masalah yang serius di kota-kota besar di dunia. Polusi udara perkotaan yang berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan telah dikenal secara luas selama kurang lebih 50 tahun terakhir (Azmi et al., 2010; Gurjar et al., 2008; Ozden et al., 2008). Selain dampak terhadap kesehatan manusia, polusi udara juga dapat berdampak negatif terhadap ekosistem, material dan bangunan-bangunan, vegetasi dan visibilitas (Ilyas et al., 2009).

Kota Makassar sebagai sebagai pusat pengembangan kawasan strategis di kawasan timur Indonesia, cenderung mengalami pertumbuhan yang pesat di berbagai bidang termasuk sektor transportasi sebagai penunjang aktivitas masyarakat yang sangat penting dirasakan saat ini. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk memberi dampak pertumbuhan sektor tranportasi yang meningkat sangat cepat. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah kendaraan di Kota Makassar, baik kendaraan umum maupun pribadi yang mencapai sekitar 856 ribu unit pada tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 12% pertahun (Dinas Perhubungan Kota Makassar, 2010).

Pertumbuhan kendaraan yang pesat di kota-kota besar mencerminkan kurang memadainya sistem transportasi kota. Masyarakat terdorong untuk menggunakan mobil pribadi dan sepeda motor karena ketiadaan transportasi umum yang nyaman, aman, murah dan tepat waktu. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan peningkatan volume jalan yang cenderung statis mengakibatkan terjadinya perlambatan hingga kemacetan di berbagai ruas jalan. Hal ini berakibat pada pemborosan konsumsi bahan bakar kendaraan dan juga terjadinya akumulasi jumlah emisi dan degradasi kualitas udara (WRI, 2008).

(24)

Menurut JICA (2004), kendaraan bermotor merupakan sumber utama polusi udara di daerah perkotaan dan menyumbang 70% emisi NO2, 52% emisi VOC dan 23% partikulat.

Beberapa studi tentang pencemaran udara di Kota Makassar telah dilaporkan. Hasil riset yang dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) pada tahun 2006 hingga 2008 di 30 kota besar di Indonesia termasuk Kota Makassar menunjukkan peningkatkan nilai konsentrasi emisi sulfur dioksida (SO2) sebesar 23.10 hingga 45.29 µg/m3, dan nitrogen dioksida (NO2) sebesar 14.80 hingga 62.11 µg/m3. Hasil pengukuran partikulat yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2009 di kawasan terminal regional Daya sebesar 256.97 µg/m3 atau telah melampaui baku mutu yang telah ditetapkan berdasarkan SK. Gubernur No.14 Tahun 2003 sebesar 230 µg/m3. Sedangkan untuk konsentrasi NO2 dan SO2 masih berada di bawah baku mutu udara ambien yaitu sebesar 92.5 dan 20.9

µg/m3. Menurut Mehta et al., (2011), setiap peningkatan 10 µg/m3 konsentrasi PM10 pada jangka panjang berhubungan dengan peningkatan 12% resiko kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Hasil studi Hariyati et al. (2009) yang mengkaji pencemaran udara akibat emisi Carbon Monoksida (CO) dan Nitrogen Oksida (NOx) akibat kendaraan bermotor pada 4 ruas jalan padat lalu lintas di Kota Makassar menunjukkan peningkatan emisi CO dan NOx pada hari kerja (Senin) dibandingkan pada hari libur (Sabtu dan Minggu) pada 4 ruas jalan yang dikaji. Kondisi ini jika tidak segera diambil tindakan pengendalian akan menimbukan dampak ekologis seperti pencemaran udara, resiko kesehatan penduduk, menurunnya nilai estetika dan nilai ekonomi akibat resiko kesehatan.

(25)

sektor energi mencapai 275 juta ton carbon dioksida ekuivalen atau sekitar 9% dari total emisi Indonesia. Diperkirakan, dengan kebijakan pemerintah saat ini yang cenderung mendukung pengembangan bahan bakar fosil ditambah dengan besarnya hambatan pengembangan energi terbarukan, emisi dari sektor energi akan cenderung meningkat dengan tajam menjadi tiga kali lipat di tahun 2030. Dalam basis perkapita, emisi gas rumah kaca Indonesia telah tumbuh 173% sejak tahun 1980, atau 75% sejak tahun 1990 (WRI, 2008).

Hasil studi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), dengan sampel Kota Makassar menemukan bahwa yang menyumbang andil kemacetan adalah kendaraan roda dua. Penyebabnya adalah pertumbuhan kepemilikan warga kota terhadap kendaraan roda dua sangat tinggi, mencapai 709 ribu unit hingga tahun 2010. Pertumbuhan kendaran roda dua yang paling dominan dibanding dengan angkutan umum dan kendaraan pribadi roda empat yaitu sebesar 13.59% per tahun. Sementara jumlah angkutan umum dalam kota hanya sekitar 8.4 persen dari jumlah total kendaraan yang ada di Kota Makassar. Hasil rinci dan detil uji emisi mengidentifikasi bahwa 90.9% angkutan kota dalam kondisi kritis karena seluruh parameter uji emisi tidak ideal, baik karena usia kendaraan, jenis mesin, maupun karena kurangnya perawatan kendaraan dan mesin (Mansyur, 2008).

Pendekatan pengendalian pencemaran udara yang dilaksanakan saat ini oleh Pemerintah Daerah adalah pendekatan peraturan perundang-undangan berupa baku mutu, baik baku mutu emisi maupun baku mutu udara ambien melalui SK Gubernur Sulawesi Selatan No. 14 Tahun 2002. Dalam baku mutu udara ambien ditetapkan tingkat pencemaran tertinggi untuk waktu pemaparan tertentu. Berbagai upaya untuk menanggulangi pencemaran udara telah dilakukan baik dalam konteks pencegahan dan penanggulangan, dalam bentuk perbaikan kualitas bahan bakar, mengefektifkan manajemen lalu lintas, pengetatan standar emisi serta penegakan hukum, namun belum semuanya terlaksana secara optimal sehingga tingkat kemacetan dan polusi udara masih tetap meningkat.

(26)

meteorologis yang mempengaruhi pencemaran, dan konsentrasi pencemar yang terjadi di wilayah Kota Makassar. Oleh karena itu penelitian ini dibutuhkan untuk mengkaji karakteristik tersebut dan membangun model pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membangun model pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar yang diharapkan dapat digunakan sebagai arahan bagi pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran udara.

Secara spesifik penelitian ini bertujuan:

1. Mengestimasi total beban emisi (CO, SO2, NO2 dan PM10) kendaraan bermotor di Kota Makassar.

2. Mengestimasi tingkat konsentrasi udara ambien (CO, SO2, NO2 dan PM10) di Kota Makassar

3. Mengestimasi dampak pencemaran udara terhadap kesehatan dan nilai ekonomi akibat pencemaran.

4. Menentukan prioritas strategi reduksi beban emisi kendaraan bermotor.

5. Membangun model pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar.

1.3 Kerangka Pemikiran

(27)

Emisi gas buang kendaraan dan kualitas udara ambien secara langsung saling mempengaruhi, termasuk pada saat terjadi kemacetan akan mempengaruhi kualitas udara secara keseluruhan.

Sementara itu, menurut data Bank Dunia (2003), komposisi dari kerusakan lingkungan akibat dari pembakaran bahan bakar fosil pada enam kota di negara berkembang yang dipantau adalah 68% berdampak pada kesehatan, 21% berdampak pada perubahan iklim dan 11% berdampak pada aspek lain. Pencemaran udara selain merusak lingkungan dan kesehatan, juga merugikan secara ekonomi. Hasil kajian Purwanto (2001) menemukan dampak ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta sebesar Rp 1.8 triliun dan jumlah tersebut akan membengkak menjadi Rp 4.3 triliun pada tahun 2015. Apabila jumlah polutan melebihi ambang batas yang telah ditentukan maka dapat mempengaruhi kesehatan manusia, kesuburan daerah pertanian dan perkebunan, bahkan dapat mempengaruhi kerusakan infrastruktur untuk jangka waktu yang lebih lama (Powe, 2004)

Pola penyebaran pencemar udara perkotaan memiliki suatu karakteristik tersendiri. Perubahan dalam parameter meteorologis akan membawa pengaruh yang besar dalam penyebaran dan difusi pencemar udara yang diemisikan, baik terhadap kota itu sendiri dalam skala lokal, maupun terhadap daerah pedesaan sekitarnya dalam skala regional (Kimmel, 2003). Dengan pengetahuan dasar mendalam mengenai emisi, topografi, meteorologi dan kimia, suatu model dapat dikembangkan untuk meramalkan konsentrasi pencemar, baik bagi pencemar primer maupun yang sekunder sebagai fungsi dari berbagai tempat dan lokasi yang berbeda dalam daerah aliran udaranya (Geddes et al., 2009).

(28)

Desain sistem berdasarkan pendekatan model dinamik diperlukan untuk memahami perilaku dan melakukan simulasi terhadap sistem secara sederhana, sehingga kemungkinan alternatif pengendalian dan strategi pengelolaan menjadi lebih efektif dan terpadu. Model pengendalian pencemaran yang dibangun didasarkan pada beban emisi dan karakteristik meteorologis yang berpengaruh terhadap penyebaran polutan, serta faktor-faktor yang berpengaruh dalam rangka pencapaian tujuan. Model dinamik juga menawarkan berbagai cara untuk menggambarkan sistem yang dikembangkan, menganalisis perilaku sistem, dan menghubungkan perilaku yang diamati dengan struktur sistem dengan suatu bentuk desain sistem dan pemodelan (Pramudya, 2006; Muhammadi et al., 2001).

Model-model yang telah divalidasikan dengan hasil pengamatan lapangan, akan merupakan suatu instrumen yang sangat berguna dalam merumuskan kebijakan yang efektif (Hartrisari, 2007). Pemodelan sistem dinamik digunakan untuk menentukan interaksi antara variabel yang berpengaruh di dalam sistem dan menganalisis interaksi variabel-variabel tersebut terhadap waktu, selain itu model dapat berfungsi sebagai alat bantu dalam menunjang pengambilan keputusan (Avianto, 2010; Handoko, 2005).

1.4 Rumusan Masalah

Jumlah kendaraan bermotor di Kota Makassar tiap tahun terus meningkat, hal ini terbukti dengan makin banyaknya jumlah titik kemacetan dan penurunan kecepatan kendaraan di berbagai ruas jalan. Kawasan atau jalur rawan kemacetan di Makassar terus bertambah seiring menurunnya tingkat pelayanan jalan dengan perbandingan volume kendaraan dan kapasitas jalan (V/C ratio) dari 0.36 sampai 0.78 atau kondisi lalulintas yang berpotensi terjadi tundaan sampai kemacetan (Dinas Perhubungan Kota Makassar, 2010). Sebagian besar kawasan kota, daya tampung ruas jalan terhadap volume lalulintas tidak memadai lagi yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan (Dinas PU Kota Makassar, 2010).

(29)

udara akibat pembakaran bahan bakar yang cukup tinggi (Mansyur, 2007). Skema kerangka pemikiran penelitian diilustrasikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pikir model pengendalian emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar.

Kota Metro Makassar

Pusat Pengembangan Kawasan Strategis Nasional di KTI

Sosial:

• Peningkatan Penyakit ISPA

Ekonomi:

• Biaya Kesehatan

• Produktivitas Menurun

Konsep Umum PPU:

Baku Mutu Udara Ambien, Baku Mutu Emisi Gas Buang

Kendaraan, ISPU

Model Pengendalian Pencemaran Emisi Kendaraan

Bermotor

Sub-model Emisi (Lingkungan):

• Emisi Kendaraan Bermotor

•Konsentrasi Ambien Polutan

Sub-model Dampak Pencemaran (Sosial-Ekonomi) : • Estimasi Dampak Pencemaran pd

Kesehatan

• Nilai Ekonomi Dampak Pencemaran

Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara

di Kota Makassar Kondisi Eksisting •Peningkatan Jumlah Penduduk

• Peningkatan Jumlah Kend. Bermotor.

• Volume Jalan Relatif Tetap

• Belum ada Moda Transportasi Massal

• Kemacetan Meningkat

• Peningkatan Emisi Gas Buang Kendaraan

• Pencemaran Udara Ambien

Ekologi:

• Degradasi Lingkungan

• Peningkatan Emisi

(30)

Dampak terparah dari menurunnya kualitas udara adalah pada kesehatan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi. Peningkatan konsentrasi gas buang kendaraan tersebut di udara akan menyebar ke daerah sekitarnya dan sebagai akibatnya dapat mengganggu kesehatan masyarakat (Cahaya, 2003). Kebijakan pembangunan transportasi dan manajemen yang kurang tepat serta aspek peruntukan lahan dan tata ruang yang tidak terencana akan memperburuk dampak negatif tersebut. Diperlukan strategi dan upaya pengendalian yang efektif agar dampak dari emisi kendaraan terhadap degradasi lingkungan dapat diminimalkan.

Untuk menjaga kualitas udara sesuai baku mutu yang diinginkan, diperlukan upaya pengendalian. Tanpa upaya pengendalian, pencemaran akan terus berlangsung dan dampaknya akan semakin luas, baik dampak terhadap lingkungan maupun dampak terhadap kesehatan masyarakat. Pentingnya pengendalian kualitas udara merupakan implikasi dari tekanan polutan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat meningkatnya jumlah sumber polutan.

Beberapa pertanyaan penelitian terkait model pengendalian emisi kendaraan bermotor yang akan dibangun adalah:

1. Bagaimana karakteristik beban emisi (CO, SO2, NO2 dan PM10) di Kota Makassar.

2. Bagaimana tingkat konsentrasi udara ambien (CO, SO2, NO2 dan PM10) di Kota Makassar.

3. Bagaimana dampak pencemaran udara terhadap kesehatan dan nilai ekonomi akibat pencemaran.

4. Bagaimana prioritas strategi reduksi beban emisi

5. Bagaimana model pengendalian emisi kendaraan bermotor yang dapat diterapkan di Kota Makassar.

1.5 Manfaat Penelitian

(31)

1. Sebagai pedoman dalam penentuan titik pemantauan kualitas udara di Kota Makassar.

2. Sebagai pedoman perencanaan tata ruang kota berdasarkan distribusi spasial polutan.

3. Sebagai alternatif penyusunan kebijakan untuk mengatasi pencemaran emisi kendaraan bermotor di Kota Makassar.

4. Sebagai referensi bagi penelitian dalam bidang pencemaran udara khususnya dari emisi kendaraan bermotor.

1.6 Kebaruan Gagasan (Novelty)

Berkaitan dengan kebaruan dalam model pengendalian pencemaran udara khususnya yang bersumber dari emisi kendaraan bermotor, dilakukan melalui penelusuran kepustakaan berupa tesis, disertasi, jurnal penelitian dalam dan luar negeri serta publikasi lainnya. Fokus penelusuran kepustakaan dilakukan pada hasil kajian pemodelan menggunakan sistem dinamis atau model lainnya yang terkait dengan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor di beberapa kota besar di Indonesia maupun di luar negeri.

Penggunaan sistem dinamis saat ini banyak digunakan pada berbagai objek penelitian di berbagai bidang termasuk di bidang pengelolaan lingkungan. Penggunaan metode sistem dinamis dapat menggambarkan proses, perilaku dan kompleksitas dari sistem. Kajian model pengendalian pencemaran udara selama ini banyak dilakukan secara parsial tanpa memperhatikan keseluruhan komponen yang berpengaruh pada proses pengendalian. Kajian penggunaan model dinamis pada penelitian sebelumnya juga belum didukung dengan metode spasial untuk melihat distribusi beban emisi dan konsentrasi ambien polutan pada suatu wilayah.

Kebaruan dalam penelitian ini adalah:

1. Dari segi metode, penelitian ini mengaplikasikan pendekatan sistem dinamik yang didukung dengan metode spasial sehingga analisis yang dihasilkan lebih komprehensif baik dalam skala waktu maupun ruang.

(32)

Kajian penelitian sebelumnya terkait kebaruan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Penelitian sebelumnya terkait novelty

No Peneliti Hasil Penelitian Perbedaan Metode

1. Sofyan, (2001) estimasi beban emisi kendaraan bermotor dan konsentrasi ambien CO di Kota Bandung

Tidak melakukan prediksi kualitas udara dalam jangka panjang dan tidak mengkaji aspek sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran 2. Syahril et al.,

(2002)

Prediksi beban emisi dan konsentrasi ambien polutan (PM10, NO2, CO, SO2, THC),

dampak kesehatan dan kerugian ekonomi di Jakarta hingga Tahun 2015

Hasil prediksi emisi dan konsentrasi udara ambien tidak didukung metode spasial (GIS)

3. Santosa, (2005) Tingkat konsentrasi ambien dan penyebaran polutan (SO2, NO2,

CO) di Kota Bogor

Tidak melakukan estimasi beban emisi dan kajian aspek sosial ekonomi

4. Hariyati et al., (2007)

Estimasi beban emisi dan konsentrasi ambien polutan CO dan NO2 akibat kendaraan

bermotor pada ruas jalan padat lalu lintas di Kota Makassar

Tidak melakukan prediksi kualitas udara jangka panjang dan tidak menggunakan metode spasial (GIS)

5. Soleiman, (2008) Peningkatan beban emisi dan konsentrasi ambien polutan PM10, dampak kesehatan dan

kerugian ekonomi di Jakarta hingga Tahun 2025

Menggunakan model dinamik tetapi tidak didukung analisis spasial (GIS)

6. Listyarini, (2008) Prediksi biaya kesehatan dan akibat pencemaran SO2 dan NO2

hingga tahun 2025 di Jakarta

Menggunakan model dinamik tetapi tidak didukung analasis spasial (GIS)

7. Rahmawati, (2009)

Estimasi dan prediksi beban emisi dan konsentrasi udara ambien polutan CO, NOx dan

PM10 hingga tahun 2020 serta

pengaruh penerapan skenario terhadap reduksi beban emisi dan konsentrasi udara ambien di Jakarta

Tidak didukung analasis spasial (GIS) serta tidak mengkaji aspek sosial ekonomi

8. Jhosua et al. (2010)

Hasil model konsisten dengan hasil pengukuran dengan konsentrasi O3 dan PM yang

lebih tinggi pada musin dingin dibanding pada musim panas.

Tidak melakukan prediksi kualitas udara jangka panjang dan tidak ada kajian aspek sosial ekonomi

9. Azmi et al., 2010 Konsentrasi ambien dari seluruh polutan atmosferik pada 3 wilayah monitoring yang berbeda di Klang Valley Malaysia masih berada di bawah baku mutu yang diisinkan.

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Pencemaran Udara

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menghendaki agar setiap usaha pembangunan yang dilakukan tetap memelihara kondisi lingkungan. Salah satu aspek lingkungan adalah udara, dimana di dalamnya terkandung sejumlah oksigen yang merupakan komponen esensial bagi kehidupan baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Lebih jauh lagi udara juga sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya pada ekosistem global khususnya menyangkut pemanasan global yang terkait dengan masalah pencemaran udara.

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap tergantung pada keadaan suhu, tekanan dan lingkungan sekitarnya. Udara yang masih bersih dan bebas dari bahan pencemar merupakan campuran berbagai gas dengan berbagai konsentrasi. Nitrogen dalam bentuk N2 terdapat sebanyak 78%, oksigen dalam bentuk O2 terdapat sebanyak 21% sementara argon (Ar) hanya 1% dari total gas. Gas-gas karbondioksida (CO2), helium (He), neon (Ne), xenon (Xe) dan kripton (Kr) masing-masing hanya terdapat sebanyak 0.01% dari total gas. Beberapa jenis gas terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dalam udara bersih. Gas-gas tersebut seperti Metana (CH4), karbon monoksida (CO), amoniak (NH3), dinitrogen monoksida (N2O), dan hidrogen sulfida (H2S). Gas-gas ini berpotensi sebagai pencemar, karena meningkatnya jumlah gas-gas ini di udara akan menyebabkan terjadinya pencemaran udara (El-Fadel, 2004).

Pencemaran udara saat ini telah menjadi salah satu masalah lingkungan utama baik di negara berkembang maupun negara maju. Pencemaran udara di daerah perkotaan merupakan fenomena baru dalam masalah perencanaan kota yang mendapat perhatian yang terus meningkat. Hal ini terutama disebabkan karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di seluruh dunia yang mendorong para pembuat kebijakan untuk melakukan pengelolaan terhadap pencemaran udara yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan.

(34)

keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian manusia, tumbuhan, binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan dalam melakukan aktivitas hidup (Fardiaz, 1992). Materi yang diemisikan ke atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara, pemanasan global, dan rusaknya infrastruktur bangunan (Cheng, 2006).

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitar. Kecepatan penyebaran akan tergantung pada keadaan geografis dan meteorologis setempat. Udara yang tercemar dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Terjadinya kerusakan lingkungan berarti berkurangnya daya dukung alam yang selanjutnya akan mengurangi kualitas hidup manusia.

Menurut Soedomo (2001), sumber Pencemar udara umumnya dikelompokkan dalam beberapa golongan antara lain: (1) sumber titik, dimana yang termasuk dalam kelompok ini adalah titik cerobong asap industri, (2) sumber garis, yang merupakan integrasi dari sumber-sumbe titik yang tak terhingga banyaknya sehingga dapat dianggap menjadi sumber garis yang seluruhnya memancarkan pencemar udara misalnya jalan raya, dan (3) sumber area, yang merupakan integrasi dari banyak sumber titik dan sumber garis misalnya pada kawasan industri yang sejenis.

Di samping itu menurut Fardiaz (1992) sumber pencemar udara berdasarkan sifat kegiatannya ada 4 (empat), yaitu: (1) sumber tetap, yang berasal dari kegiatan proses industri pengolahan, konsumsi bahan bakar dari industri dan rumah tangga, (2) sumber tetap spesifik, yang berasal dari kegiatan pembakaran hutan dan pembakaran sampah, (3) sumber bergerak, yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, dan (4) sumber bergerak spesifik yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar kereta api, kapal laut, pesawat dan alat berat.

(35)

15% per tahun. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan pemakaian bahan bakar, dan hal itu akan membawa resiko pada penambahan gas beracun di udara sementara 30% sumber pencemar udara berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pembakaran sampah.

4.2 Komponen dan Dampak Pencemar Udara

Berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa partikel (debu, aerosol, timbal), dan gas (CO, NO2, SO2, H2S, HC). Sedangkan berdasarkan dari kejadian terbentuknya pencemar terdiri dari pencemar primer (diemisikan langsung oleh sumber) dan pencemar sekunder (terbentuk karena reaksi di udara antar berbagai zat). Dari beberapa macam komponen pencemar udara, maka yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah komponen-komponen berikut:

1) Particulate Matter (PM10)

Partikulat adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Di samping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru. Partikulat juga merupakan sumber utama kabut asap yang menurunkan visibilitas.

Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernapasan akan disisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas, sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10 µm (PM10). PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penderita bronchitis (U.S. EPA, 2006).

(36)

fisik-kimia di atmosfer, misalnya partikel sulfat dan nitrat yang terbentuk dari gas SO2 dan NOx. Umumnya partikel sekunder berukuran 2.5 mikron atau kurang. Proporsi cukup besar dari PM2.5 adalah amonium nitrat, ammonium sulfat, natrium nitrat dan karbon organik sekunder. Partikel-partikel ini terbentuk di atmosfer dengan reaksi yang lambat sehingga sering ditemukan sebagai pencemar udara lintas batas yang ditransportasikan oleh pergerakan angin ke tempat yang jauh dari sumbernya (Molina & Molina, 2004). Partikel sekunder PM2.5 dapat menyebabkan dampak yang lebih berbahaya terhadap kesehatan bukan saja karena ukurannya yang memungkinkan untuk terhisap dan masuk lebih dalam ke dalam sistem pernafasan tetapi juga karena sifat kimiawinya.

Partikel sulfat dan nitrat yang inhalable serta bersifat asam akan bereaksi langsung di dalam sistem pernafasan, menimbulkan dampak yang lebih berbahaya daripada partikel kecil yang tidak bersifat asam. Partikel logam berat dan yang mengandung senyawa karbon dapat mempunyai efek karsinogenik, atau menjadi carrier pencemar toksik lain yang berupa gas atau semi-gas karena menempel pada permukaannya. Partikel inhalable adalah partikel Pb yang diemisikan dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar mengandung Pb. Timbal adalah pencemar yang diemisikan dari kendaraan bermotor dalam bentuk partikel halus berukuran lebih kecil dari 10 dan 2.5 µm.

Partikulat diemisikan dari berbagai sumber, termasuk pembakaran bahan bakar minyak, (gasoline, diesel fuel), pencampuran dan penggunaan pupuk dan pestisida, konstruksi, proses-proses industri seperti pembuatan besi dan baja, pertambangan, pembakaran sisa pertanian (jerami), dan kebakaran hutan. Hasil data pemantauan udara ambien di 10 kota besar di Indonesia menunjukan bahwa PM10 adalah parameter yang paling sering muncul sebagai parameter kritis (KNLH, 2006).

2) Carbon Monoxide (CO)

(37)

carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan berikatan dengan haemoglobin sebesar 240 kali lipat kemampuannya berikatan dengan O2. Secara langsung kompetisi ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam, sehingga melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat menyebabkan kematian (U.S. EPA, 2006).

CO diproduksi dari pembakaran bakan bakar fosil yang tidak sempurna, seperti bensin, minyak dan kayu bakar. Selain itu juga diproduksi dari pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk rokok. Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemaran lokal. CO kadangkala muncul sebagai parameter kritis di lokasi pemantauan di kota-kota besar dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, tetapi pada umumnya konsentrasi CO berada di bawah ambang batas Baku Mutu PP.41 tahun 1999 (10 000 µg/m3/24 jam). Walaupun demikian CO dapat menyebabkan masalah pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) pada ruang-ruang tertutup seperti garasi, tempat parkir bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan mobil yang berada di tengah lalulintas.

3) Nitrogen Oxide (NOx)

(38)

bahkan memusnahkan kehidupan air. NOx diproduksi terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batubara dan gas alam.

4) Sulfur Dioxide (SO2)

SO2 adalah gas yang tidak berbau bila berada pada konsentrasi rendah tetapi akan memberikan bau yang tajam pada konsentrasi pekat. Sulfur dioksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batubara. Pembakaran batubara pada pembangkit listrik adalah sumber utama pencemaran SO2. Selain itu berbagai proses industri seperti pembuatan kertas dan peleburan logam-logam dapat mengemisikan SO2 dalam konsentrasi yang relatif tinggi.

SO2 adalah kontributor utama hujan asam. Di dalam awan dan air hujan SO2 mengalami konversi menjadi asam sulfur dan aerosol sulfat di atmosfer. Bila aerosol asam tersebut memasuki sistem pernafasan dapat terjadi berbagai penyakit pernafasan seperti gangguan pernafasan hingga kerusakan permanen pada paru-paru. Pencemaran SO2 pada saat ini baru teramati secara lokal di sekitar sumber-sumber titik yang besar, seperti pembangkit listrik dan industri, meskipun sulfur adalah salah satu senyawa kimia yang terkandung di dalam bensin dan solar. Data dari pemantauan kontinu pada jaringan pemantau nasional pada saat ini jarang mendapatkan SO2 sebagai parameter kritis, kecuali pada lokasi-lokasi industri tertentu.

4.3 Emisi Kendaraan Bermotor

Kualitas udara wilayah perkotaan sangat penting karena berdampak langsung terhadap penduduk yang bermukim di kawasan tersebut. Polusi udara di wilayah perkotaan telah menjadi sumber berbagai permasalahan. Permasalahan utama menyangkut dampak kesehatan umumnya terkait dengan masalah pernafasan, kerusakan material gedung-gedung, kerusakan monumen bersejarah, dan terhadap vegetasi dalam kota.

(39)

polutan dengan kemungkinan pengecualian bahan bakar sel (hidrogen) dan hidrokarbon ringan seperti metana (CH4). Polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor yang menggunakan BBM antara lain CO, HC, SO2, NO2, dan partikulat.

Hal ini dibuktikan oleh beberapa kajian bahwa sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10 untuk tahun 1995 (JICA, 2004). Sementara kajian lain menyebutkan 73% dari total NOx dan 15% dari total PM10 (World Bank, 2003) dan studi terakhir pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari total PM10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Darmantoro, 2005).

Pengalaman dari negara-negara maju menunjukkan bahwa emisi zat-zat pencemar udara dari sumber transportasi dapat dikurangi secara substansial dengan perbaikan sistem pembakaran dan penggunaan katalis (catalytic converter) dan juga pengendalian manajemen lalu lintas. Walaupun diasumsikan bahwa di masa mendatang reduksi emisi per kendaraan per kilometer akan dapat tercapai sebagai hasil dari penerapan teknologi dan sistem kontrol emisi, namun emisi agregat akan tetap tinggi karena jumlah sumber individu yang terus meningkat secara signifikan. Hal ini berarti kontrol kualitas emisi harus diimbangi dengan kontrol jumlah sumber emisi (volume kendaraan).

(40)

kendaraan-kendaraan yang termasuk dalam kategori penghasil emisi terbesar belum diperkenalkan.

Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, tetapi juga menyebabkan kemacetan, pencemaran udara, kebisingan, tingginya konsumsi bahan bakar, berkurangnya infrastruktur kota dan lahan terbuka hijau untuk kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik. Kepadatan lalu lintas menyebabkan rata-rata kecepatan kendaraan menurun, dimana kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas buang minimum (Gorham, 2002).

4.4 Faktor Penyebab Pencemaran Udara

Masalah pencemaran udara pada umumnya hanya dikaitkan dengan sumber pencemar, namun menurut Shah and Nagpal (1997) banyak faktor-faktor lain yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya pencemaran udara antara lain:

(1)Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi

Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi yang tinggi merupakan salah satu faktor penyebab pencemaran udara yang penting di perkotaan. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi mendorong pengembangan wilayah perkotaan yang semakin melebar ke daerah pinggiran kota/daerah penyangga. Sebagai akibatnya, mobilitas penduduk dan permintaan transportasi semakin meningkat. Jarak dan waktu tempuh perjalanan sehari-hari semakin bertambah karena jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja atau aktivitas lainnya semakin jauh dan kepadatan lalu lintas menyebabkan waktu tempuh semakin lama. Indikasi kebutuhan transportasi dapat dilihat pada pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang pesat, di mana meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan kebutuhan akan transportasi mengakibatkan bertambahnya titik-titik kemacetan yang akan berdampak pada peningkatan pencemaran udara.

(2) Penataan ruang

(41)

laju urbanisasi yang tinggi, kebutuhan akan perumahan yang layak di tengah-tengah kota dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat banyak tidak dapat dipenuhi. Pembangunan perumahan akhirnya bergeser ke daerah pinggiran kota atau kota-kota penyangga karena harga tanahnya masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan di pusat kota. Kota penyangga pada akhirnya menjadi pilihan tempat tinggal masyarakat yang sehari-hari bekerja di pusat kota. Permasalahan utama dalam hal ini adalah karena pembangunan kawasan perumahan tidak disertai dengan pembangunan sistem transportasinya. Akibatnya, banyak masyarakat yang tinggal di kawasan perumahan terpaksa menggunakan kendaraan pribadi karena ketiadaan sistem angkutan umum yang memadai.

(3) Pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi juga mendorong perubahan gaya hidup penduduk kota sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan. Walaupun bukan menjadi satu-satunya alasan, namun meningkatnya pendapatan ditambah dengan adanya kemudahan-kemudahan pembiayaan yang diberikan lembaga keuangan telah membuat masyarakat kota berupaya untuk tidak hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan pokok tetapi juga berupaya meningkatkan taraf hidup atau status sosial, misalnya dengan memiliki mobil, sepeda motor, dan barang-barang lainnya serta menggunakannya dengan frekuensi yang lebih sering sehingga pada akhirnya akan menambah konsumsi energi.

(4) Ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM)

Saat ini masyarakat perkotaan sangat tergantung pada sumber energi yang berasal dari minyak bumi dengan konsumsi yang terus-menerus menunjukkan peningkatan. Sektor transportasi merupakan konsumen BBM terbesar yang diakibatkan terjadinya lonjakan penjualan kendaraan bermotor. Sebagai konsekuensinya emisi gas buang kendaraan bermotor menyumbang secara signifikan terhadap polusi udara yang terjadi di perkotaan.

(42)

buang dari kendaraan bermotor maupun industri, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG), serta Liquified Petroleum Gas (LPG) sebagai pengganti BBM.

Pembakaran minyak bumi yang memiliki gugus rantai hidrokarbon yang panjang akan lebih sulit dibandingkan dengan pembakaran gas alam yang memiliki gugus rantai hidrokarbon yang lebih pendek, sehingga pembakaran yang dilakukan dalam ruang mesin tidak akan dapat dilakukan dengan sempurna, dan pada akhirnya tentu akan menghasilkan emisi gas buang yang lebih tinggi. Dengan demikian, menurunnya proporsi minyak bumi dalam bauran energi membawa keuntungan tersendiri terhadap upaya penurunan pencemaran udara.

Disamping itu, Indonesia merupakan salah satu penghasil bahan bakar gas, maka selayaknya pemerintah memprioritaskan dan mengupayakan pemanfaatan bahan bakar gas tersebut di dalam negeri, karena selain akan dapat menurunkan pencemaran udara hal ini juga akan dapat mengurangi beban masyarakat, termasuk industri, karena harga bahan bakar gas lebih murah dibanding bahan bakar minyak.

(5) Partisipasi masyarakat

Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian pencemaran udara, melalui kegiatan kampanye peningkatan kesadaran masyarakat mengenai polusi udara serta berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam menetapkan suatu kebijakan. Kendala utama pelaksanaan kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat oleh pemerintah adalah terbatasnya anggaran yang tersedia. Permasalahan lainnya adalah ketidaktersediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi institusi-institusi yang bertanggung jawab dalam bidang informasi dan komunikasi.

(43)

4.5 Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor

Pencemaran udara dari sektor transportasi merupakan sumber yang dominan di daerah perkotaan. Pengendalian harus mencakup upaya-upaya pengendalian langsung maupun tak langsung yang dapat menurunkan tingkat emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Ada dua pendekatan strategi yang mungkin diterapkan, yaitu (1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap kendaraan untuk satu kilometer jalan yang ditempuh, atau (2) penurunan jumlah dan kerapatan total kendaraan di dalam suatu daerah tertentu (Soedomo, 2001). Pemilihan strategi yang terbaik diperlukan sehingga dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan sekecil mungkin.

Pengendalian pencemaran udara perkotaan mempunyai implikasi yang luas, mencakup aspek perencanaan kota, sistem lalu lintas, prasarana dan sarana transportasi, serta bahan bakar yang digunakan. Beberapa faktor penting yang menyebabkan berpengaruhnya sistem lalu lintas terhadap pencemaran udara perkotaan adalah (Eggleston, 2000): (1) tidak seimbangnya prasarana lalu lintas dengan jumlah kendaraan yang ada, (2) pola berkendara (driving pattern), dan (3) jenis, umur, karakteristik dan faktor perawatan kendaraan bermotor.

Usaha pengendalian yang mungkin dilakukan dan yang paling efisien diarahkan kepada pengendalian pada sumber polutannya atau penyebab terjadinya pencemaran (ditunjukkan dengan garis terputus pada diagram dalam Gambar 2). Beberapa langkah disinsentif untuk mengurangi kepadatan lalu lintas secara parsial dilakukan dengan pembatasan jenis kendaraan bermotor pada ruas jalan atau wilayah tertentu, misalnya kawasan satu arah dan pembatasan waktu melintas bagi truk dengan tonase tertentu, atau pemberlakuan jumlah penumpang minimum untuk suatu kawasan tertentu atau yang dikenal dengan kawasan three in one di Jakarta.

(44)

udara yang dilepaskan oleh kendaraan bermotor ke atmosfer. Pola berkendara dan kecepatan rata-rata akan sangat mempengaruhi jumlah pelepasan senyawa-senyawa pencemar tersebut. Indonesia hingga kini belum memiliki pola berkendara baku yang digunakan untuk pengujian kendaraan bermotor.

Konsep umum pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari kendaraan bermotor dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Konsep pengendalian pencemaran emisi kendaraan bermotor (Sumber: Soedomo, 2001)

Variabel Ekonomi

Perencanaan Kota

Sistem Transportasi

Pola Lalu Lintas

Jumlah Trip (Kend/km)

BBM Jumlah

Kendaraan

Faktor Emisi

Emisi Pencemar

Dispersi-difusi

Konsentrasi Ambien Meteorologi

Reseptor

Baku Mutu

Pengendalian Emisi Kendaraan

(45)

4.6 Fungsi Dose-response

Dampak pencemaran udara di wilayah perkotaan dapat berupa gangguan kesehatan pada manusia dan kerusakan pada lingkungan hidup lainnya. Karena itu, baku mutu udara ambien terbagi atas baku mutu untuk melindungi kesehatan manusia (primary) dan kesejahteraan umum (publik welfare) termasuk untuk melindungi menurunnya daya pandang, dampak pada hewan dan tumbuhan, dan gedung atau bangunan atau secondary (Wang et al. 2005)

Pengaruh pencemaran terhadap kesehatan manusia dapat diestimasi menggunakan fungsi dose-response atau fungsi dosis tanggapan. Fungsi dosis tanggapan secara definisi merupakan hubungan antara setiap rangsangan yang dapat diukur baik secara fisik, kimiawi atau biologi, dan tanggapan mahluk hidup dalam arti reaksi yang dihasilkan terhadap ranah kuantitatif yang sama (Ostro et al., 1999). Tanggapan terhadap pencemaran akan berbeda sesuai hubungan antara pengaruh pencemaran tersebut dengan dosis yang diberikan sehingga kunci utama dalam fungsi dose-response adalah keberadaan dari ambang batas, kemiringan fungsi dose-response dan kurva dose-response (Aunan et al., 2004).

Adanya ambang batas bagi toksikan merupakan bagian dari kemampuan lingkungan atau ekosistem dalam mempertahankan keseimbangan tarhadap gangguan yang masuk ke dalam ekosistem tersebut. Keadaan di mana pengaruh dari toksikan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan disebut keadaan homeostatis. Homeostasis merupakan istilah yang diterapkan kepada kecenderungan sistem-sistem biologi untuk bertahan terhadap perubahan-perubahan dan tetap berada dalam keadaan keseimbangan. Keseimbangan tersebut terjadi karena adanya daya tampung lingkungan yang ditentukan oleh daya adaptasi unsur-unsur dalam ekosistem tersebut. Gangguan terhadap ekosistem yang melampaui daya adaptasi lingkungan akan merusak lingkungan tersebut (Soemarwoto, 2000).

(46)

menyebabkan meningkatnya penduduk yang terkena dampak dan pengaruhnya juga akan meningkat misalnya dari yang sublethal ke lethal. (Xing et al., 2011; Zhang, 2010) Fungsi dose-response yang digunakan untuk mengestimasi dampak pencemaran pada kesehatan akan dipengaruhi oleh kondisi iklim, sosial budaya dari suatu wilayah.

4.7 Analytical Hierarchy Process (AHP)

AHP merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk membuat keputusan yang efektif melalui strukturisasi kriteria majemuk ke dalam struktur hirarki, menilai kepentingan relatif setiap kriteria, membandingkan alternatif untuk tiap kriteria dan menentukan seluruh rangking dari alternatif-alternatif. AHP yang dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan suatu metode dalam memecahkan situasi kompleks dan tidak berstruktur kedalam bagian komponen yang tersusun secara hirarki baik struktural maupun fungsional. Proses sistemik dalam AHP memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi secara simultan dari komponen dalam hirarki yang telah disusun.

Metode AHP dimulai dengan menstrukturkan suatu situasi yang kompleks tak struktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata komponen atau variabel ke dalam suatu hirarki, memberi nilai relatif tingkat kepentingan ada setiap variabel dengan pertimbangan subyektif dan mensintesis berbagai pertimbangan tersebut untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dalam mempengaruhi hasil. Menurut Marimin (2005), prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategis, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hirarki.

Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP, ada beberapa prinsip yang harus dipahami diantaranya: decompotition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen pertanyaan yang biasa diajukan dalam penyusunan skala kepentingan. Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika membandingkan dua elemen, responden yang akan memberikan jawaban perlu pengertian menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria/tujuan yang ingin dicapai.

(47)

dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Jika responden merupakan kelompok, maka seluruh anggota diusahakan memberikan pendapat (judgement). Nilai dan definisi pendapat kualitatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Skala komparasi pada Penilaian AHP

Nilai Skala Definisi

1 Sama pentingnya

3 Sedikit lebih penting

5 Jelas lebih penting

7 Sangat lebih penting

9 Mutlak lebih penting

2, 4, 6, 8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Sumber: Saaty (1993)

Keuntungan proses hirarki analitis menurut Marimin (2005) adalah: a. Konsistensi, mampu melacak konsistensi logis dari pertimbangan yang

digunakan dalam menetapkan berbagaiprioritas.

b. Sintesis, menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

c. Pengukuran, mampu memberi suatu skala untuk mengukur hal tak wujud dan suatu metode untuk menetapkan prioritas.

d. Kompleksitas, mampu memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks.

e. Kesatuan, memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.

f. Saling ketergantungan, mampu menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4.8 Model dan Pemodelan Sistem

(48)

dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Model merupakan penyederhanaan sistem (Hartrisari, 2007). Karena sistem sangat kompleks, tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Model dapat dikatakan lengkap jika dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Selain itu model merupakan representasi yang ideal bagi suatu sistem untuk menjelaskan perilaku sistem (DSF, 2011).

Hartrisari (2007), mengelompokkan model dalam 2 (dua) kategori yaitu model fisik dan model abstrak atau model mental. Model fisik merupakan miniatur replika dari keadaan sebenarnya sehingga dapat menggambarkan perilaku sistem dengan variabel yang sama seperti yang digunakan pada sistem nyata. Model abstrak merupakan model yang bukan fisik tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem. Baik model fisik maupun model abstrak dapat dibagi lagi menjadi model statis dan model dinamis. Model dinamis memberikan gambaran nilai variabel terhadap perubahan waktu, sedangkan model statis tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah.

Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang dimulai dengan mengidentifikasi serangkaian kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Menurut Eriyatno (2003) pada pendekatan sistem dalam penyelesaian suatu permasalahan selalu ditandai dengan: (1) pengkajian terhadap semua faktor penting yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan solusi untuk pencapaian tujuan, dan (2) adanya model-model untuk membantu pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif.

Dalam merumuskan model, tahapan yang perlu dilakukan meliputi: a. Analisis kebutuhan

Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Eriyatno, 2003). Dalam melakukan analisis kebutuhan, dinyatakan kebutuhan-kebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan yang dideskripsikan.

b. Formulasi Masalah

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pikir  model pengendalian emisi kendaraan bermotor di  Kota Makassar
Tabel 10. Kinerja beberapa ruas jalan utama di Kota Makassar tahun 2010
Gambar 8.  Distribusi jumlah kendaraan pada setiap ruas jalan  di Kota Makassar  tahun 2011
Gambar 11.  Jumlah dan persentase emisi untuk masing-masing parameter                              polutan di Kota Makassar  tahun 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait