• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Pengelolaan Tanaman Berbasis PHT dan Konvensional Pada Tanaman Jagung (Zea mays ) di Nganjuk , Jawa Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Pengelolaan Tanaman Berbasis PHT dan Konvensional Pada Tanaman Jagung (Zea mays ) di Nganjuk , Jawa Timur."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

DI NGANJUK, JAWA TIMUR

IIS RISA MAFTUHAH

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Iis Risa Maftuhah

(3)

and conventional method of Corn (Zea mays ) in Nganjuk, East Java. Under the supervision of : KIKIN HAMZAH MUTAQIN and HERMANU TRI WIDODO.

One of factors that results in suboptimum productivity of corn is lack of good management and cultivation, and the presence of plant pests and diseases. Several attempts to improve the productivity of corn has been developed continuously, including the use of natural agents such as Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) and fungal biocontrol agents as control component in IPM. The objective of this study was to compare IPM based corn crop management involving PGPR and bicontrol agents with conventional method on plant growth, yield, and pest/diseases occurence. Field observations of the crop pests and diseases, and their intensity and severity were conducted as well as measurements of plant height, girth, number of leaves, and number of cobs. Interview with the farmer was also done. The use of PGPR containing mixture of Pseudomonas fluorescens and Bacillus polymixa combined with application of Trichoderma sp.,

Verticillium sp., and organic fertilizer to meet IPM concepts resulted in maintaining optimum plant height, number of leaves, and number of cobs. The plant also showed to acquire resistance against pests and diseases. In general, the IPM based plant management gives better performance of growth and yield and lower occurence of corn pest and diseases than that of conventional method. The cost for growing corn based on IPM was higher than that conventional method, however, gave more yield benefit. IPM approach is concluded to be more profitable than conventional method.

(4)

IIS RISA MAFTUHAH. Perbandingan Pengelolaan Tanaman Berbasis PHT dan Konvensional pada Tanaman Jagung (Zea mays) di Nganjuk, Jawa Timur. Dibimbing oleh KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan HERMANU TRI WIDODO.

Salah satu faktor yang menyebabkan produktivitas suboptimum jagung adalah manajemen budidaya yang kurang baik, serta adanya serangan hama dan penyakit. Beberapa upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung telah dikembangkan terus menerus, termasuk penggunaan agens hayati seperti bakteri perakaran pemicu pertumbuhan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria/PGPR) dan cendawan antagonis sebagai salah satu komponen pengelolaan dalam konsep pengendalian hama/penyakit tanaman terpadu (PHT). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengelolaan tanaman jagung berbasis PHT menggunakan PGPR, agens biokontrol, dan pupuk organik dengan metode konvensional terhadap pertumbuhan tanaman, hasil, dan kejadian serangan hama/penyakit. Pengamatan lapangan meliputi pengukuran tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan jumlah tongkol, kejadian serangan hama dan penyakit, dan hasil produksi tanaman jagung. Selain itu dilakukan juga wawancara dengan petani pemilik lahan. Penggunaan PGPR yang mengandung campuran bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa, cendawan antagonis, Trichoderma sp., Verticillium sp., serta pupuk organik pada pengelolaan tanaman secara PHT mampu memicu pertumbuhan jagung, ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan menghasilkan produksi panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Berdasarkan hasil analisa usaha tani jagung, biaya produksi yang dikeluarkan pada pengelolaan dengan PHT memang lebih besar, tetapi selisih keuntungan dari pendapatan yang didapatkan juga lebih besar dibandingkan dengan pendekatan konvensional. Metode pengelolaan jagung berbasis PHT lebih menguntungkan dibandingkan dengan konvensional.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

DI NGANJUK, JAWA TIMUR

IIS RISA MAFTUHAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

Nama Mahasiswa : Iis Risa Maftuhah

NIM : A34080014

Disetujui oleh,

Dr.Ir. Kikin H. Mutaqin, MSi. Dr.Ir. Hermanu Tri Widodo, MSc.

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh,

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. Ketua Departemen

(8)

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian untuk skripsi yang berjudul “Perbandingan Pengelolaan Tanaman Berbasis PHT dan Konvensional pada Tanaman Jagung di Nganjuk, Jawa Timur” yang dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2012. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi sebagai dosen pembimbing skripsi atas bimbingan dan nasehatnya dalam menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi.

2. Dr. Ir. Hermanu Tri Widodo, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi serta dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan pengarahan selama kuliah sampai menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi.

3. Dr. Ir. Dhamayanti Adidharma sebagai dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi.

4. Ir. Djoko Prijono,MAgrSc yang telah memberikan pengarahan dalam proses penulisan skripsi.

5. Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, MSc yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan.

6. Keluarga Bapak Syaikhu, dan Bapak Murjito serta seluruh keluarga besar di Nganjuk yang telah banyak memfasilitasi tempat dan membantu penulis selama pelaksanaan penelitian.

7. Pos Pelayanan Agens Hayati (PPAH) Desa Betet, Kec Ngronggot, Kabupaten Nganjuk yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.

8. Kelompok tani “Harapan Baru” Desa Betet, Kec Ngronggot, Kabupaten Nganjuk yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian.

9. Teman- teman Proteksi Tanaman angkatan 45 yang telah banyak memberi dukungan dan semangat hingga penelitian ini selesai.

10.Kedua orang tua Ayahanda Umaryadi, Ibunda Aniasih, serta kakak dan keluarga besar yang telah memberikan doa, dan dukungan baik moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi.

Bogor, Juli 2013

(9)

DAFTAR TABEL x

Penentuan sample dan pengambilan sample 4

Budidaya tanaman jagung 4

Pengamatan lapang 5

Panen 6

Wawancara 6

Rancangan percobaan dan Analisis data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Kondisi lahan 7

Budidaya tanaman jagung 7

Kondisi cuaca 7

Pertumbuhan tanaman jagung hibrida P27 8

Kejadian dan tingkat kerusakan oleh serangan hama 11

Serangan Ulat grayak 11

Serangan Oxya sp. 11

Serangan Ostrinia furnacalis 12

Serangan Helicoverpa armigera 13

Perbandingan PHT dan konvensional terhadap

serangan hama 15

Kelimpahan Musuh Alami 15

Kejadian dan tingkat kerusakan oleh serangan Penyakit 21

Serangan karat daun 21

Serangan hawar daun 22

Perbandingan PHT dan konvensional terhadap

serangan penyakit  23

Hasil panen tanaman jagung hibrida P27 23

Analisa usaha tani jagung 27

SIMPULAN DAN SARAN 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 34

(10)

2 Kondisi suhu dan curah hujan Nganjuk Juli-Oktober 2012 8 3 Perbandingan jumlah tongkol hibrida P27 yang dihasilkan 10

4 Rataan jumlah musuh alami 15

5 Produksi panen jagung hibrida P27 24

6 Hasil analisa usaha tani jagung 28

DAFTAR GAMBAR

1 Kondisi lahan penanaman jagung 7

2 Pertumbuhan jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional

selama 10 minggu 9

3 Perkembangan serangan ulat grayak pada tanaman jagung P27 11 4 Perkembangan serangan Oxya sp. pada tanaman jagung P27 12 5 Perkembangan serangan O. furnacalis. pada tanaman jagung P27 13 6 Perkembangan serangan H.armigera pada tanaman jagung P27 14

7 Gejala serangan ulat grayak 17

8 Gejala serangan Oxya sp. 17

9 Gejala serangan Ostrinia furnacalis 18

10 Gejala serangan Helicoverpa armigera 19

11 Musuh alami / Predator : Euborellia sp. (Cocopet), Belalang sembah (Mantidae), semut merah, M. sexmaculatus., Paederus sp. (Tomcat),

Blattella asahinai 20

12 Perkembangan serangan karat daun pada tanaman jagung P27 21 13 Perkembangan serangan hawar daun pada tanaman jagung P27 22

14 Gejala serangan karat daun 25

15 Gejala serangan hawar daun 25

(11)

Lampiran 2 Hasil analisis ragam perbandingan diameter batang 36 Lampiran 3 Hasil analisis ragam perbandingan jumlah daun 37 Lampiran 4 Hasil analisis ragam perbandingan jumlah tongkol jagung 38 Lampiran 5 Hasil analisis ragam tingkat kerusakan serangan ulat

grayak 39

(12)

Latar Belakang

Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia, dengan produksi nasional pada tahun 2012 sebanyak 18.95 juta ton pipilan kering (BPS 2012). Produktivitas jagung nasional dalam 6 tahun terakhir mengalami peningkatan yaitu diperkirakan rata-rata 4.96% dari 3.66 ton/ha pada tahun 2007 menjadi 4.73 ton/ha pada tahun 2012, namun pencapaian tersebut masih dibawah potensi produktivitas dari varietas jagung yang ada. Untuk sejumlah varietas jagung komposit mampu mencapai produksi 5-6 ton/ha, sementara jagung hibrida mampu mencapai 8-10 ton/ha. Masih rendahnya produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain penggunaan benih yang tidak bersertifikat, perubahan cuaca yang sulit diprediksi, cara budidaya yang masih belum sesuai, serta gangguan hama dan penyakit (Ditjen tanaman pangan 2012).

Menurut Swastika et al. (2004) hama-hama utama yang umum menyerang tanaman jagung adalah lalat bibit (Atherigona sp.), penggerek batang (Ostrinia furnacalis), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), ulat grayak (Spodoptera litura), kutu daun (Aphis sp.). dan belalang (Oxya sp.). Sedangkan penyakit yang umum menyerang tanaman jagung menurut Wakman et al. (2001) adalah penyakit bulai (Peronosclerospora sp.), karat (Puccinia sp.), hawar daun (Helminthosporium sp.), hawar upih (Rhizoctonia sp.), busuk tongkol/batang (Fusarium sp.), busuk biji (Aspergillus sp.). Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2012) serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) utama jagung baik hama maupun patogen dapat mencapai 39.5%.

Pengendalian yang selama ini banyak direkomendasikan dalam pengendalian hama dan penyakit jagung adalah penggunaan varietas tahan, musuh alami, dan pestisida. Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif seperti munculnya hama yang resisten, kematian organisme bukan sasaran, pencemaran lingkungan, dan keracunan pada manusia (Oka 1995). Terjadinya serangan hama dan patogen dapat juga disebabkan oleh kerentanan tanaman sehingga tanaman tersebut tidak mampu melakukan fungsi fisiologisnya dengan optimum ketika terserang hama dan patogen. Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi serangan hama dan patogen jagung maka diperlukan perakitan komponen-komponen pengendalian yang saling kompatibel dalam suatu konsep yang dikenal sebagai pengendalian hama/penyakit terpadu (PHT).

(13)

Salah satu teknologi pengendalian dalam PHT yang banyak dikembangkan adalah penggunaan agens hayati bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman

(Plant Growth Promoting Rhizobacteria/PGPR), dan cendawan antagonis

terhadap patogen tanaman seperti Trichoderma sp., dan cendawan patogen serangga seperti Verticillium sp. Penggunaan agens pengendalian hayati secara tepat diharapkan dapat mencegah timbulnya ledakan atau menekan OPT, tidak berbahaya bagi manusia, musuh alami dan organisme bukan sasaran, tidak menimbulkan resistensi dan resurgensi, tidak merusak lingkungan. Agens antagonis yang diintroduksi mampu bertahan hidup lama sehingga dapat menekan pertumbuhan dan pemencaran inokulum secara berkesinambungan, walaupun tidak menekan secara mutlak, hasil panen terhindar dari bahaya residu pestisida, juga akan menurunkan biaya produksi (BPTH 2007).

PGPR adalah bakteri pengoloni akar yang memberikan keuntungan bagi tanaman karena dapat memacu pertumbuhannya. Akar tanaman dapat menyerap sekresi mikroba yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan meningkatkan ketahanannya terhadap patogen (Soesanto 2008).

Menurut Somers et al. (2004) dan Glick & Pasternak (2003) PGPR memiliki beberapa peranan secara langsung yaitu membantu meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman, menghasilkan fitohormon pemacu pertumbuhan tanaman, membantu mengurangi pencemaran pada bahan-bahan organik dalam tanah akibat adanya residu bahan-bahan kimia, meningkatkan ketersediaan besi dan fosfor dari tanah bagi tanaman, dan peranannya secara tidak langsung yaitu menjadi agens pengendalian hayati patogen tanaman dengan menghasilkan antibiotik dan zat metabolit anti cendawan. PGPR dapat berupa strain-strain mikroba bermanfaat untuk mencegah pertumbuhan patogen dalam tanah yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman yaitu dengan menghasilkan zat siderofor.

Bakteri PGPR yang telah sering diidentifikasi yaitu Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. Niranjan Raj et al. (2004) menyatakan bahwa

P.fluorescens mampu memberikan perlindungan 20-75% mencegah penyakit

(14)

 

dilaporkan juga bahwa Bacillus sp. sangat efektif digunakan untuk pengendalian biologis terhadap beberapa penyakit tanaman (Kokalis-Burelle et al 2002).

Kemampuan Trichoderma sp. sebagai agens biokontrol disebabkan oleh kemampuannya mengeluarkan enzim hidrolitik dan mendeteksi kehadiran cendawan lain dengan menangkap sinyal molekul yang dilepaskan dari inang (Woo & Lorito 2007). Peranan cendawan Trichoderma sp. sebagai biofungisida mempunyai kemampuan untuk dapat menghambat pertumbuhan beberapa cendawan penyebab penyakit pada tanaman, antara lain Phythopthora sp.,

Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsii

dan lain-lain. Trichoderma sp. mampu memacu pertumbuhan tanaman, bibit tanaman jagung yang diberi Trichoderma isolat T mampu meningkatkan panjang akar dan tunas bibit jagung serta meningkatkan konduktivitas stomata. Selain itu bertambahnya tinggi dan jumlah daun tanaman lada disebabkan oleh kemampuan Trichoderma sp. untuk menekan populasi patogen di sekitar pertanaman lada. Trichoderma sp. telah dibuktikan mampu menekan populasi patogen atau sebagai biokontrol (Hajieghrari 2010).

Vertcillium sp. mampu menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain:

Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera (Lepidoptera), Riptortus linearis

dan Nezara viridula (Hemiptera). Dilihat dari inangnya yang sangat luas dan mudah ditemukan di daerah tropis dan subtropis, maka cendawan tersebut mempunyai kelebihan sebagai agens biologis untuk mengendalikan hama (Prayogo dan Tengkano 2003).

Kegiatan budidaya PHT masih belum memasyarakat di kalangan petani. Sementara, tingkat kekhawatiran yang tinggi pada petani mengenai kemungkinan gagal panen menyebabkan pestisida kimia masih tetap digunakan dalam mengendalikan hama dan penyakit. Disamping itu, penerapan budidaya PHT di lapangan cukup berat dan tidak semudah budidaya konvensional. Budidaya PHT perlu ditunjang dengan berbagai pengetahuan mengenai siklus hidup tanaman, bioekologi hama dan penyakit, informasi dasar mengenai morfologi, fisiologi dan genetik dari masing-masing hama dan penyakit, interaksi antara hama dan penyakit dengan tanaman dan lingkungan, dan potensi munculnya kerugian secara ekonomi (Gray et al. 2009).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pengelolaan tanaman jagung secara PHT dan konvensional terhadap pertumbuhan tanaman, kejadian serangan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman.

Manfaat Penelitian

(15)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Betet, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada bulan Juli-Oktober 2012. Penelitian ini bekerja sama dengan Pos Pelayanan Agens Hayati (PPAH) “Buana Lestari” Nganjuk, Jawa Timur.

Perlakuan awal tanam

Perlakuan awal tanam dimulai dengan pengolahan tanah dua minggu sebelum tanam. Pada petak PHT tanah dibajak kemudian diberi pupuk kompos yang telah difermentasi dan dicampur dengan PGPR, sedangkan pada petak konvensional tanah hanya dibajak saja tanpa aplikasi pupuk. Selanjutnya dilakukan perlakuan benih untuk petak PHT, yaitu benih jagung hibrida varietas Pioneer P27, dengan cara dibersihkan dengan air, dicuci sampai fungisida yang terkandung di dalamnya hilang, dengan tujuan untuk menghilangkan efek fungisida. Benih kemudian direndam air bersih selama 12 jam. Selanjutnya benih direndam dalam suspensi PGPR (Merek dagang Rhizomax, mengandung Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa)dalam air 1 L selama 30 menit. Pada petak konvensional, benih varietas yang sama digunakan apa adanya.

Penentuan ukuran contoh dan pengambilan contoh

Percobaan dilakukan dalam rancangan acak lengkap yang terdiri dari satu faktor perlakuan dalam dua taraf (PHT dan konvensional) dan 3 ulangan. Lahan seluas 1400 m2 dibagi kedalam 6 petak percobaan. Tiga petak untuk PHT, dan tiga petak untuk konvensional. Masing-masing petak berukuran 7 m x 18.75 m. Satu petak terdiri dari 15 baris tanaman dan dalam setiap baris terdapat 35 tanaman, sehingga populasi tanaman per petak adalah sekitar 525 tanaman. Pengambilan tanaman contoh pada setiap petak dilakukan dengan penentuan 3 baris tanaman secara acak, kemudian dalam setiap baris tersebut dipilih 3 tanaman ontoh. Dengan demikian jadi jumlah tanaman contoh per petak adalah 9 tanaman..

Budidaya Tanaman Jagung

(16)

 

Tabel 1 Budidaya jagung hibrida P27 secara PHT dan konvensional di Desa Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012 dalam luasan 1Ha

Waktu aplikasi (MST)

Perlakuan (per ha) yang diberikan pada Petak PHT Petak konvensional

1 Penyemprotan cendawan

Phonska 178.5 kg+ Urea 625 kg+Zeolit 625 kg

6 Pupuk kujang 625 kg Pupuk kujang 625 kg 8 Pupuk organik (kotoran

ayam) 625 kg

pupuk kujang 625 kg

Keterangan: MST = Minggu setelah tanam

Pengamatan lapangan

Pengamatan lapang dilakukan mulai tanggal 7 Juli 2012, mulai tanaman berumur 1 MST, peubah pengamatan meliputi tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah tongkol, kejadian dan keparahan serangan hama dan penyakit, dan yang terakhir yaitu hasil bobot panen.

Pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah tongkol dilakukan per minggu pada umur tanaman 1-10 MST. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pengukuran dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi menggunakan meteran kain. Pengamatan daun dan tongkol dilakukan dengan menghitung jumlah seluruh daun dan tongkol yang terbentuk. Pengukuran diameter batang dilakukan pada posisi 30 cm dari permukaan tanah menggunakan jangka sorong.

(17)

Tingkat kerusakan hama & Keparahan penyakit (%) = .

. %

I = keparahan penyakit (%)

ni = jumlah contoh pada kategori ke-I vi= nilai numeric masing-masing kategori Z = nilai skala tertinggi

N= jumlah tanaman contoh yang diamati

Nilai kategori serangan terhadap hama dan penyakit ditentukan sebagai berikut :

Nilai skoring Kategori serangan

0 Tidak ada serangan

Kejadian serangan hama dan patogen dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kejadian serangan =

Nx %

n = jumlah tanaman contoh yang terserang N = jumlah tanaman contoh yang diamati

Panen

Panen dilakukan pada saat umur tanaman jagung 15 MST, dipanen ketika sudah matang fisiologis. Panen tongkol jagung dilakukan secara manual, yaitu pemetikan tongkol dilakukan dengan menggunakan tangan. Hasil panen antara petak PHT dan konvensional dipisahkan, kemudian dihitung berat pipilan basah dan berat pipilan kering. Perhitungan usaha tani masing-masing perlakuan juga dilakukan.

Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan informasi lain terkait aspek budidaya, pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan pada tanaman jagung serta aspek sosial ekonomi yang terlihat di lapangan.

Analisis Data

(18)

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lahan

Lokasi penelitian di Desa Betet, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur terletak pada koordinat 111°5’ - 111°13’ BT dan 7°20’ -7°50 LS. Sebagian besar wilayah kecamatan tersebut berada pada dataran rendah dengan ketinggian antara 46-95 mdpl. Tanaman yang paling dominan dibudidayakan di daerah tersebut adalah padi dan jagung. Selama tiga tahun berturut-turut lahan penelitian ini tidak dilakukan pengolahan tanah dan ditanami jagung terus menerus. Tetapi untuk penelitian ini dilakukan proses olah tanah terlebih dahulu sebelum ditanami supaya tanah menjadi gembur.

Gambar 1 Kondisi lahan penanaman jagung: (a) Petak PHT, (b) Petak konvensional

Budidaya Tanaman Jagung

Teknik budidaya yang dilakukan selama satu musim tanam jagung dibedakan kedalam dua cara sebagai taraf perlakuan yaitu PHT dan konvensional. Perbedaannya pada budidaya PHT diaplikasikan PGPR, Trichoderma sp., Verticillium sp. serta dengan adanya penggunaan pupuk kompos, dan pupuk kotoran ayam. Sedangkan pada petak konvensional diaplikasikan insektisida Furadan 3G, dan pemupukan dengan pupuk sintetis tanpa adanya penggunaan agens hayati dan pupuk organik, seperti yang diperinci dalam Tabel 1.

Kondisi Cuaca

Selama tahun 2012 jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 641 mm dan terendah terjadi pada bulan Juli sampai dengan Oktober (tidak terjadi hujan sama sekali), curah hujan tersebut dihitung per bulan (Nganjuk dalam angka 2012). Kondisi cuaca Nganjuk selama pengamatan disajikan pada Tabel 2.

(19)

Tabel 2 Rata-rata suhu dan curah hujan Nganjuk pada bulan Juli-Oktober 2012

Pertumbuhan Tanaman Jagung Hibrida P27

Pengeloaan tanaman berdasarkan PHT menunjukkan hasil yang lebih baik daripada metode konvensional dalam hal pertumbuhan tanaman. Secara umum pertumbuhan tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT terlihat lebih cepat, tanaman tumbuh lebih subur dan perkembangan tanaman optimal. Budidaya PHT membantu tanaman jagung mengoptimalkan unsur-unsur penting yang dibutuhkannya, sehingga tanaman mampu berkembang dengan baik.

Budidaya secara PHT menunjukan nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan konvensional pada peubah pengamatan tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun. Berdasarkan Gambar 2a dapat dilihat bahwa tinggi tanaman pada PHT memiliki nilai yang lebih tinggi daripada konvensional, dan menunjukan nilai yang berbeda nyata khususnya pada saat tanaman berumur 7 MST hingga 10 MST (Tabel Lampiran 1). Peubah pengamatan diameter batang tanaman pada budidaya secara PHT memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi daripada konvensional (Gambar 2b), walaupun setelah diuji lanjut tidak menunjukkan adanya nilai yang berbeda nyata diantara kedua perlakuan (Tabel Lampiran 2).

(20)

 

Gambar 2 Pertumbuhan jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional selama 10 minggu : (a) Perkembangan tinggi tanaman, (b) Perkembangan diameter batang, (c) Perkembangan jumlah daun

(■ = PHT, ▲ = Konvensional)

Peubah pengamatan lainnya yaitu jumlah tongkol jagung, waktu kemunculan tongkol terjadi pada umur 7 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa pengaruh kedua perlakuan terhadap jumlah tongkol jagung menunjukan tingkat tidak berbeda nyata, walaupun pada 7 MST dan 9 MST menunjukan tingkat yang berbeda nyata. Pada awalnya dalam satu tanaman dapat tumbuh dua tongkol, namun karena persaingan unsur hara maka pada akhirnya setiap tanaman baik pada PHT maupun konvensional hanya menghasilkan satu tongkol yang tumbuh baik dan berisi. Budidaya secara PHT mampu membantu tanaman jagung

(21)

untuk menghasilkan tongkol lebih cepat daripada konvensional, hal tersebut dapat dilihat dari nilai rataan jumlah tongkol antara PHT dan konvensional pada umur 7 MST (Tabel 3).

Tabel 3 Perbandingan jumlah tongkol jagung hibrida P27 yang dihasilkan setiap tanaman pada petak PHT dan konvensional

Umur (MST) PHT Konvensional

7 0.81 ± 0.17 a 0.56 ± 0.19 b

8 1.03 ± 0.17 a 0.89 ± 0.00 a

9 1.18 ± 0.11 a 0.96 ± 0.06 b

10 1.00 ± 0.00 a 1.00 ± 0.00 a

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Aplikasi mikroorganisme bermanfaat seperti Bacillus polymyxa dan Pseudomonas fluorescens yang termasuk PGPR, dan aplikasi Trichoderma sp. yang diaplikasikan pada petak PHT mampu memacu pertumbuhan tanaman jagung. Menurut Khalimi & Wirya (2009), salah satu mekanisme PGPR yaitu menjadi biostimulan, mampu menghasilkan hormon seperti IAA (auksin), sitokinin, dan giberelin. Salah satu fungsi dari hormon giberelin adalah merangsang proses pembungaan, dan adanya hormon auksin yang juga berperan dalam proses perkembangan buah (Timmusk et al. 1999). Keefektifan PGPR dipengaruhi oleh kelembaban, tekanan oksigen, suhu, pH tanah, kandungan lempung, daya larut ion, dan kandungan organik dalam tanah (Soesanto 2008). Aplikasi pupuk organik pada petak PHT selain berfungsi sebagai penambah unsur hara tetapi membantu juga mempertahankan mikroorganisme penting lain di dalam tanah. Bakteri dapat tumbuh dengan baik pada suhu 25-30 ºC dan akan mati pada suhu 53 ºC (Singh 1973), hal tersebut sesuai dengan cuaca Nganjuk saat itu yaitu mencapai 30 ºC (Tabel 2).

(22)

 

Kejadian dan Tingkat Kerusakan Serangan Hama pada Tanaman Jagung Hibrida P27

Ulat grayak (Spodoptera litura : Lepidoptera : Noctuidae)

Gejala serangan ulat grayak disajikan pada Gambar 7a dan 7b, daun seperti dikorok dan tertinggal lapisan epidermisnya saja dan menjadi berlubang-lubang. Hama ini menyerang tanaman jagung mulai umur 1 MST.

Aplikasi Verticillium sp. pada PHT dan Furadan 3G pada metode pengelolaan tanaman secara konvensional tidak menunjukan pengaruh yang nyata dalam menekan serangan hama ulat grayak. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini hampir merata pada kedua pengelolaan yang dilakukan, namun pengendalian secara PHT menunjukan hasil yang lebih baik.

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 3, persentase kejadian serangan pada petak PHT mencapai 96% dengan tingkat kerusakan mencapai 65%, sedangkan kejadian serangan pada petak konvensional mencapai 100% dengan tingkat kerusakan mencapai 85%. Secara umum terlihat bahwa persentase serangan ulat grayak cukup tinggi pada tanaman muda, kemudian semakin berkurang ketika tanaman memasuki masa generatif.

Gambar 3 Perkembangan serangan ulat grayak pada tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional : (a) Persentase kejadian serangan, (b) Persentase tingkat kerusakan (■ = PHT, ▲ = Konvensional).

Oxya sp. (Orthoptera : Acrididae)

Gejala serangan yang ditimbulkan hama ini berupa gerigitan tidak rata pada tepi daun, sehingga daun menjadi rusak (Gambar 8a dan 8b). Rusaknya daun menyebabkan luasan daun akan berkurang dan berpengaruh terhadap proses fotosintesis yang terjadi. Hama ini biasanya menyerang tanaman dari mulai umur 1-5 MST, hama yang menyerang biasanya pada fase nimfa dan imago.

(23)

Hama ini terlihat cukup melimpah pada lahan penelitian, meningkatnya serangan hama ini juga bisa disebabkan karena faktor suhu di Nganjuk mencapai 30 °C (Tabel 2) yang sangat cocok untuk siklus hidup Oxya sp., sehingga siklus hidupnya terus berjalan. Faktor lain yaitu keadaan lahan penelitian yang dikelilingi oleh pertanaman jagung sehingga Oxya sp. mampu melakukan mobilitas berpindah dari lahan satu ke lahan lainnya.

Pengaruh perlakuan terhadap kejadian dan tingkat serangan Oxya sp. disajikan pada Tabel Lampiran 7 dan 8. Persentase kejadian serangan pada petak PHT sebesar 55.50% dengan tingkat kerusakan mencapai 38.40%, dan pada petak konvensional sebesar 77.53% dengan tingkat kerusakan mencapai 57.40%. Pengelolaan tanaman secara PHT mampu menekan serangan hama Oxya sp. dibandingkan dengan konvensional (Gambar 4).

Gambar 4 Perkembangan serangan Oxya sp. pada tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional : (a) Persentase kejadian serangan, (b) Persentase tingkat kerusakan (■ = PHT, ▲= Konvensional)

Penggerek Batang, Ostrinia furnacalis (Lepidoptera : Crambidae)

Hama yang juga ditemukan menyerang tanaman jagung yaitu penggerek batang O. furnacalis. Gejala awal akibat serangan hama ini disajikan pada Gambar 9a, daun yang terserang menjadi rusak dan berlubang-lubang. Kemudian larva akan menggerek batang yang ditandai dengan adanya kotoran berupa serbuk pada liang gerekan, seperti terlihat pada Gambar 9b.

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel Lampiran 9, hama ini mulai menyerang tanaman konvensional pada saat umur 6 MST, dan menyerang tanaman PHT pada umur 9 MST. Hal tersebut sesuai dengan laporan Nonci dan Baco (1991) bahwa hama ini menyerang tanaman pada kisaran 6 MST. Jumlah tanaman jagung yang terserang pada lahan PHT lebih sedikit dibandingkan konvensional, persentase kejadian serangan pada lahan PHT mencapai 11% dan pada lahankonvensional mencapai 33% (Gambar 5).

Larva O. furnacalis merupakan hama penting pada tanaman jagung, karena hama ini menyerang semua bagian tanaman jagung. Gerekan larva pada batang

(24)

 

menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh sehingga menggangu proses transportasi air dan unsur hara dan mengakibatkan pertumbuhan terhambat. Serangan yang parah akan menyebabkan juga batang menjadi mudah patah. Hama ini juga merusak bunga jantan sehingga mengganggu proses penyerbukan dan pembentukan tongkol. Serangan hama ini akan menghambat pertumbuhan tanaman serta mempengaruhi kualitas dan kuantitas hasil tanaman.

Pengendalian hama ini bisa dilakukan dengan penyemprotan Verticillium sp. pada awal tanam untuk menghindari serangan hama ini, dan juga menggunakan musuh alami cocopet Euborellia sp. (Dermaptera). Pengendalian secara kultur teknis bisa dilakukan dengan cara pemotongan sebagian bunga jantan, dan penanaman secara tumpangsari dengan kedelai atau kacang tanah. Pengendalian secara kimiawi bisa dilakukan dengan penggunaan insektisida berbahan aktif karbofuran.

Gambar 5 Perkembangan kejadian serangan O. furnacalis pada tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional (■ = PHT, ▲ = Konvensional)

Helicoverpa armigera (Lepidoptera : Noctuidae)

Hama penting lain yang ditemukan menyerang tanaman jagung adalah ulat penggerek tongkol H. armigera. Beberapa inang lain yang diserang ulat penggerek tongkol jagung antara lain tomat, kedelai, kapas, tembakau, dan sorgum (Kalshoven 1981). Gejala serangan hama ini disajikan pada Gambar 10, larva yang baru menetas akan makan pada rambut tongkol (Gambar 10a) dan kemudian membuat lubang masuk ke tongkol. Selanjutnya larva akan menggerek dan memakan biji tongkol, ketika larva makan akan meninggalkan kotoran dan tercipta iklim mikro yang cocok untuk pertumbuhan cendawan yang menghasilkan mikotoksin sehingga tongkol rusak, seperti terlihat pada Gambar 10b dan 10d. Menurut Sarwono (2003) larva H. armigera masuk ke dalam buah muda, memakan biji-biji jagung karena larva hidup di dalam buah, biasanya serangan serangga ini sulit diketahui dan sulit dikendalikan dengan insektisida.

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 6, persentase kejadian serangan H. armigera pada petak PHT mencapai 14.67% dan persentase

(25)

serangan pada petak konvensional mencapai 73.73%. Faktor yang mungkin berpengaruh terhadap peningkatan serangan hama ini yaitu suhu dan curah hujan Nganjuk selama musim tanam Juli-Oktober 2012 (Tabel 2) yang sangat mendukung perkembangan hama H. armigera. Suhu tercatat mencapai 35 °C dan curah hujan mencapai 0.85 mm. Zalucki et al. (1986) menyatakan bahwa perkembangan H. armigera ini dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka perkembangan akan lebih cepat. H. armigera membutuhkan waktu 73 hari untuk berkembang dari telur sampai dewasa pada suhu 16-18 °C di Australia, sedangkan pada suhu 28 °C pada musim panas memerlukan waktu 34 hari. Semakin tinggi suhu maka perkembangan H. armigera akan semakin cepat. Daha (1997) menyatakan bahwa curah hujan mempengaruhi perkembangan H. armigera. Populasi telur dan larva pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan, demikian pula kerusakan buah yang ditimbulkannya.

Gambar 6 Perkembangan kejadian serangan H. armigera pada tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional (■ = PHT,▲ = Konvensional).

Hama H.armigera tergolong sangat penting, karena menyerang bagian utama yang dihasilkan oleh tanaman jagung yaitu tongkol jagung. Serangan hama ini akan menurunkan kuantitas dan kualitas dari tongkol jagung. Hal tersebut akan menurunkan juga hasil panen dan pendapatan petani.

Pengendalian H. armigera bisa dilakukan dengan cara-cara seperti yang telah diaplikasikan pada petak PHT. Pengolahan tanah secara sempurna sebelum penanaman akan merusak pupa yang terbentuk di tanah dan dapat mengurangi populasi hama. Selain itu pengendalian dengan menggunakan cendawan entomopatogen Verticillium sp., dan menggunakan musuh alami seperti belalang sembah (Mantodea:Mantidae), Paederus sp. (Coleoptera:Staphyllinidae).

(26)

 

Perbandingan PHT dan Konvensional Terhadap Serangan Hama

Budidaya secara PHT pada jagung hibrida P27 menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada konvensional dalam hal kejadian dan tingkat kerusakan serangan hama . Secara umum tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT lebih tahan terhadap serangan hama.

Budidaya PHT dengan menggunakan PGPR, Trichoderma sp., Verticillium sp. mampu menekan kejadian serangan hama Oxya sp., Ostrinia furnacalis dan H. armigera. Selain menghasilkan hormon tumbuh, PGPR dan Trichoderma sp. mampu menghasilkan senyawa-senyawa antibiotik sehingga memberikan ketahanan pada tanaman. Kloepper (1999) menyatakan bahwa pengaruh PGPR terhadap tanaman secara umum terdiri dari dua kategori yaitu pemacu pertumbuhan tanaman dan sebagai pengendalian biologis . Kandungan siderofor yang dihasilkan oleh kedua bakteri pada PGPR memberikan efek sebagai pengendalian biologis sehingga tanaman pada petak PHT lebih tahan terhadap serangan hama. PGPR berhasil mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh serangga hama dan nematoda (Ramamovorthy et al. 2001). Rekayasa genetika yang pernah dilakukan oleh Stock et al. (1990) pada P.fluorescens membuktikan bahwa bakteri ini efektif untuk mengendalikan hama dari ordo Lepidoptera.

Aplikasi cendawan entomopatogen pada PHT mungkin juga berpengaruh terhadap serangan hama, sehingga serangan lebih rendah dibandigkan petak konvensional. Prayogo dan Tengkano (2003) menyatakan bahwa Verticillium sp. mampu menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain: Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera (Lepidoptera), Riptortus linearis dan Nezara viridula (Hemiptera).

Kelimpahan Musuh Alami

Faktor lain yang mungkin bisa berpengaruh terhadap kejadian dan tingkat kerusakan hama adalah dengan adanya serangga predator yang memangsa hama di lahan jagung. Secara umum jumlah musuh alami lebih banyak ditemukan pada petak PHT dibandingkan petak konvensional (Tabel 4). Kelimpahan jumlah musuh alami yang lebih banyak dapat membantu menekan serangan hama pada tanaman jagung.

Tabel 4 Rataan jumlah musuh alami yang ditemukan setiap pengamatan (ekor/tanaman)

Jenis Predator PHT Konvensional

Paederus sp. (Tomcat) 4.5 1.33

Blatella assahinai (Kecoa asia) 1.25 0.08

Menochilus sexmaculatus 2 0.50

Euborellia sp. (Cocopet) 6.07 3.23

Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan juga semut merah (Formicidae) yang jumlahnya lebih banyak ditemukan pada petak PHT dan belalang sembah (Mantidea) yang jumlahnya lebih banyak ditemukan pada petak konvensional.

(27)

sedangkan di petak konvensional sebanyak 3 Euborellia sp. (Tabel 4). Menurut Wakman (2005) Euborellia sp. efektif digunakan sebagai predator hama penggerek batang Ostrinia furnacalis. Predator ini memangsa fase telur dan larva serangga. Perilaku menangkap mangsa yang dilakukan oleh cocopet dengan mengarahkan forcep ke mulut dengan melengkungkan abdomen di atas kepala.

Predator lain yang ditemukan di lahan penelitian yaitu belalang sembah (Mantodea:Mantidae), semut merah (Hymenoptera:Formicidae), M. sexmaculatus (Coleoptera:Coccinellidae), Paederus sp. (Coleoptera:Staphyllinidae), dan Blattella asahinai (Blattodea:Blatidae). Menurut Nyambo (1990) bahwa di Tanzania belalang sembah (Gambar 11b), semut merah (Gambar 11c), dan M. sexmaculatus (Gambar 11d), adalah predator bagi hama H. armigera. Winasa et al. (2005) melaporkan bahwa kelimpahan musuh alami Paederus sp. (Gambar 11e) mampu menekan kejadian serangan H.armigera pada kedelai. Rata-rata jumlah Paederus sp. yang ditemukan pada setiap tanaman di petak PHT sebanyak 4 Paederus sp., sedangkan di petak konvensional sebanyak 1 Paederus sp.

(28)

 

Gambar 7 (a,b) Gejala serangan ulat grayak (S. litura)

Gambar 8 (a ,b) Gejala gerigitan Oxya sp.

(a) (b)

(29)

Gambar 9 Gejala serangan O.furnacalis : (a) Gejala awal O. furnacalis pada daun, (b) Gejala gerekan O. furnacalis pada batang

(30)

 

Gambar 10 Larva dan gejala H.armigera: (a) Larva H.armigera yang menyerang pada rambut tongkol, (b) Larva H.armigera saat menggerek tongkol dan meninggalkan kotoran, (c) Larva H.armigera, (d) Bekas gerekan H.armigera pada tongkol jagung

(a) (b)

(31)

Gambar 11 Predator yang ditemukan pada lahan jagung: (a) Euborellia sp. (Cocopet), (b) Belalang sembah (Mantidae) yang ditemukan baru menetas, (c) semut (Formicidae), (d) M.sexmaculatus(e) Paederus sp. (Tomcat), (f) Blattella asahinai (kecoa Asia).

(a) (b) (c)

(e)

(32)

 

Kejadian dan Keparahan Serangan Penyakit pada Tanaman Jagung Hibrida P27 Karat Daun

Penyakit karat daun disebabkan oleh cendawan karat Puccinia sp. Gejala yang tampak pada tanaman disajikan pada Gambar 14a dan 14b, terdapat bercak-bercak kecil bulat berwarna coklat sampai merah orange pada permukaan daun. Cendawan ini termasuk patogen obligat karena tidak dapat bertahan hidup pada jaringan mati atau tidak dapat hidup sebagai saprofit, dan berkembang sangat baik pada suhu 27-28 oC dan kelembaban udara yang tinggi.

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel Lampiran 11 dan 12, kedua perlakuan menunjukan adanya tingkat perbedaan yang nyata pada umur 9 MST hingga 13 MST. Persentase kejadian serangan patogen pada petak PHT mencapai 44% dengan keparahan serangan patogen mencapai 36.86%, sedangkan kejadian serangan patogen pada petak konvensional mencapai 100% dengan keparahan serangan patogen mencapai 69.07% (Gambar 12).

Gambar 12 Perkembangan serangan karat daun pada tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional : (a) persentase kejadian serangan, (b) peresentase keparahan serangan. (■ = PHT, ▲= Konvensional).

Pemencaran patogen penyebab karat daun dapat melalui angin, patogen ini memiliki uredospora yang sangat ringan sehingga dengan mudah dapat disebarkan oleh angin yang kencang, patogen menyebar dan menempel pada daun. Selain itu faktor proses pemupukan yang dilakukan oleh petani yang tidak sesuai juga berpengaruh terhadap pemencaran patogen ini. Berdasarkan hasil pengamatan saat proses pemupukan pada petak PHT, pupuk kotoran ayam disebar tidak tepat pada batang bawah tanaman jagung sehingga pupuk tersebut banyak menempel dan menumpuk pada daun tanaman. Kondisi yang lembab akibat adanya embun atau percikan air akan memacu timbulnya cendawan pada daun.

(33)

Hawar Daun

Penyakit yang juga ditemukan menyerang tanaman jagung hibrida P27 adalah penyakit hawar daun. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Helminthosporium sp. Gejala penyakit hawar daun disajikan pada Gambar 15, terjadinya bercak-bercak kecil berwarna hijau tua atau hijau kelabu kebasahan. Gejala tersebut berkembang menjadi bercak yang membesar dan mempunyai bentuk yang khas yaitu berbentuk kumparan atau perahu. Di tengah-tengah bercak sering terdapat tepung berwarna hitam yang terdiri dari konidia dan konidiofor cendawan patogen.

Infeksi pada inang terjadi bila terdapat lapisan tipis air pada permukaan daun. Infeksi tersebut memerlukan waktu 6-18 jam pada suhu 18-27 °C. Gejala lesio berkembang 7-12 hari setelah inokulasi. Sporulasi dapat terjadi bila keadaan lembab (Lipps & Mills 2002).

Serangan penyakit hawar daun pada lahan penelitian terlihat cukup rendah. Beberapa daun jagung terlihat menunjukan gejala serangan penyakit ini, namun pemencaran penyakit ini sangat terbatas dan hanya menyerang sebagian kecil tanaman jagung. Penyakit hawar daun lebih banyak menyerang tanaman pada petak konvensional daripada PHT, namun gejala serangan yang ditimbulkan masih ringan dan tidak menimbulkan kematian pada tanaman.

Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Tabel Lampiran 13 dan 14, serangan hawar daun muncul pada umur 8 MST dan kedua perlakuan menunjukan tingkat perbedaan yang nyata pada umur 9 MST sampai 13 MST. Persentase kejadian serangan patogen hawar daun pada petak PHT sebesar 0% sedangkan pada petak konvensional kejadain serangan mencapai 36% dengan keparahan serangan mencapai 36.70% (Gambar 13).

(34)

 

Perbandingan PHT dan Konvensional Terhadap Serangan Patogen

Budidaya secara PHT menunjukan hasil yang lebih rendah daripada konvensional dalam hal kejadian dan keparahan serangan patogen. Secara umum tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT terlihat lebih tahan terhadap serangan patogen karat daun dan hawar daun, budidaya tanaman secara PHT mampu mengurangi kejadian dan keparahan serangan patogen karat daun dan hawar daun. Hal tersebut disebabkan karena adanya kandungan zat-zat yang dihasilkan oleh PGPR dan Trichoderma sp., kedua agens hayati ini mampu manghasilkan induksi ketahanan pada tanaman. Menurut Glick dan Pasternak (2003) PGPR merupakan agens pengendalian hayati yang berfungsi untuk menekan atau mencegah serangan patogen. Mekanisme yang ditimbulkan oleh PGPR yaitu pengendalian biologis, memberi efek antagonis terhadap patogen tanaman melaui siderofor, kitinase, selulase, antibiotika, dan sianida yang dihasilkan (Khalimi dan Wirya 2009).

Prematirosari (2006) melaporkan bahwa perlakuan bakteri pemacu pertumbuhan tanaman (BPPT) khususnya Pseudomonas fluorescens ES32+ penyiraman berpengaruh nyata dalam menekan keparahan penyakit hawar daun (Helminthoporium turcicum). Kloepper et al. (2004) menyatakan bahwa dengan mekanisme penginduksi ketahanan tanaman yang dihasilkan, Bacillus spp. dapat melawan cendawan dan bakteri penyebab bercak daun, virus sistemik, nematoda perusak akar, cendawan penyebab busuk mahkota, dan cendawan penyebab hawar pada batang seperti damping off, blue mold, dan penyakit late blight.

Hasil penelitian Monte (2001) membuktikan bahwa Trichoderma sp. dapat berfungsi sebagai agens pengendalian hayati yaitu dengan cara membentuk koloni di tanah atau pada tanaman, mencegah pertumbuhan fitopatogen, memproduksi antibiotik yang dapat membunuh fitopatogen, menunjang pertumbuhan tanaman, dan menstimulasi mekanisme pertahanan tanaman. Woo et al. (2007) juga menjelaskan bahwa kemampuan Trichoderma sp. sebagai agens pengendalian hayati disebabkan oleh kemampuannya mengeluarkan enzim hidrolitik dan mampu mendeteksi kehadiran cendawan lain.

Hasil Panen Tanaman Jagung Hibrida P27 di Nganjuk Pada Masa Tanam Juli-Oktober 2012

Tanaman jagung pada penelitian ini dipanen pada umur 15 MST. Kuswanto (2003) menyatakan bahwa panen jagung dilakukan setelah memasuki fase masak fisiologis yang ditandai dengan munculnya lapisan warna hitam (black layer) pada pangkal biji jagung. Pada kondisi ini kadar air berkisar 21-28 %. Apabila pemanenan dilakukan terlalu awal maka biji yang dihasilkan mempunyai kadar air tinggi sehingga menurunkan vigor benih karena komposisi kimia dalam benih belum seimbang.

(35)

Tabel 5 Produksi panen jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional di desa Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012

Perlakuan Berat pipilan basah (Kg/ha) Berat pipilan kering (Kg/ha)

PHT 9600.00 a 7725.70 a

Konvensional 8251.90 b 6325.60 b

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Hasil produksi jagung hibrida P27 pada petak PHT lebih baik daripada konvensional. Hal tersebut dipacu dengan adanya kandungan zat-zat yang dihasilkan oleh PGPR seperti IAA, giberelin, sitokinin, dan siderofor serta enzim hidrolitik yang dihasilkan Trichoderma sp. Zat-zat tersebut mampu menjadikan tanaman tumbuh lebih baik dan tahan terhadap hama penyakit dibandingkan dengan tanaman pada petak konvensional. Ashrafuzzaman et al. (2009) yang menyatakan bahwa PGPR mampu menginduksi produksi IAA, solubilisasi fosfor, dan ketahanan terhadap patogen dan hama, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Chrisnawati et al. (2009) juga melaporkan bahwa kombinasi P.fluorescens dengan Bacillus sp. mampu menekan perkembangan layu bakteri pada nilam, selain itu mampu meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah tunas, berat basah, dan berat kering. Berdasarkan hasil penelitian Wardanah (2007) P. fluorescens, B. polymixa, dan campuran keduanya mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabai. Sedangkan Chang dan Baker (1986) menyatakan bahwa tanah yang diberi perlakuan Trichoderma sp. mampu meningkatkan pertumbuhan, perkecambahan, pembungaan, dan berat tanaman.

Peningkatan hasil produksi tanaman juga dipacu dengan adanya penambahan pupuk kompos dan pupuk kotoran ayam yang mempengaruhi jumlah mikroorganisme serta unsur hara dalam tanah, sehingga nutrisi tanaman dapat tercukupi. Tanaman jagung yang nutrisinya tercukupi akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan produksi panen yang lebih banyak. Hal ini juga mengindikasikan bahwa meskipun tanaman pada lahan PHT terserang oleh hama dan penyakit tetapi tanaman tersebut tetap mampu menghasilkan produksi yang lebih baik.

(36)

 

Gambar 14 Gejala penyakit karat daun : (a) Gejala penyakit karat daun pada petak PHT, (b) Gejala penyakit karat daun pada petak konvensional.

Gambar 15 Gejala penyakit hawar daun pada tanaman jagung.

(37)

Gambar 16 Perbandingan akar dan ukuran tongkol : (a) Akar tanaman pada petak PHT, (b) Akar tanaman pada petak konvensional, (c) Perbedaan antara tongkol jagung hibrida P27 pada PHT dan konvensional.

PHT Konvensional (a)

(c)

(38)

 

ANALISA USAHA TANI JAGUNG PHT DAN KONVENSIONAL

Pengelolaan tanaman yang dilakukan pada tanaman jagung hibrida P27 yaitu secara PHT dan konvensional. Berdasarkan hasil analisa usaha tani yang disajikan pada Tabel 6, biaya total yang dikeluarkan dari awal tanam sampai pasca panen pada PHT lebih tinggi dibandingkan konvensional. Perbedaan biaya tersebut disebabkan adanya perbedaan jumlah kebutuhan pupuk, karbofuran, dan PGPR yang diaplikasikan, serta biaya pengelolaan pasca panen yang dikeluarkan pada PHT dan konvensional. Pupuk NPK kujang yang diaplikasikan pada PHT sebanyak 750 kg dengan biaya Rp1 800 000, sedangkan pada konvensional sebanyak 900 kg dengan biaya Rp2 160 000. Hal tersebut menunjukan bahwa biaya penggunaan pupuk NPK Kujang pada konvensional lebih tinggi daripada PHT. Pupuk organik hanya diaplikasikan pada PHT yaitu sebanyak 3200 kg dengan biaya Rp660 000, hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan biaya pengelolaan secara PHT lebih besar daripada konvensional.

Biaya pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) berkorelasi positif dengan kejadian serangan OPT pada masing-masing perlakuan. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) lebih banyak menyerang tanaman pada petak konvensional, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk mengendalikan OPT juga lebih besar. Pengendalian OPT yang diaplikasikan pada PHT yaitu PGPR sebanyak 2 L dengan biaya Rp 50 000, sedangkan pengendalian OPT yang diaplikasikan pada konvensional yaitu insektisida karbofuran sebanyak 4 kg dengan biaya Rp432 000.

Biaya pasca panen yang dikeluarkan akan berkorelasi positif dengan jumlah produksi jagung yang dihasilkan. Hasil produksi jagung pada PHT lebih besar daripada konvensional, sehingga dalam proses pemipilan jagung akan membutuhkan tenaga kerja atau jam kerja yang lebih banyak. Hal tersebut menyebabkan biaya pasca panen pada PHT lebih besar dibandingkan dengan konvensional. Biaya pasca panen pada PHT yaitu sebesar Rp3 675 000, sedangkan biaya pada konvensional sebesar Rp3 450 000.

(39)

Tabel 6 Hasil analisa usaha tani jagung hibrida P27 yang dibudidayakan secara PHT dan Konvensional di desa Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012 dengan luasan 1 Ha

No Uraian Kegiatan PHT Konvensional

Jumlah Biaya ( Rp ) Jumlah Biaya ( Rp )

1 Benih 18 kg 1160 000 18 kg 1 160 000

Hand Tractor 2 unit 700 000 2 unit 700 000

Drainase 14 HOK 350 000 14 HOK 350 000

Tanam 42 HOK 600 000 42 HOK 600 000

Pemupukan:

a. NPK KUJANG 750 kg 1 800 000 900 kg 2 160 000

b. Pupuk Organik 3200 kg 660 000 - -

Penyiangan 28 HOK 700 000 28 HOK 700 000

Pengairan 28 HOK 1 890 000 28 HOK 1 890 000

Pengendalian OPT :

a. Karbofuran - - 4 kg 432 000

b. PGPR 2 L 50 000 - -

Ongkos panen 28 HOK 700 000 28 HOK 700 000

Pasca panen 3 675 000 3 450 000

Sewa lahan 3 750 000 3 750000

Total biaya (Rp) 16 035 000 15 532 000

2 Hasil produksi 7725.70

(kg)

23 175 000 6325.60

(kg)

18 976 800

3 Pendapatan (Rp) 7 140 000 3 444 800

4 Selisih Keuntungan Rp7 140 000 - Rp3 444 800

= Rp3 695 200

(40)

 

SIMPULAN

Penggunaan PGPR berbahan dasar Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa, Trichoderma sp.,Verticillium sp., serta dikuti dengan penggunaan pupuk organik dan budidaya tanaman jagung yang baik dalam konsep PHT mampu meningkatkan perkembangan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah tongkol, dan ukuran tongkol yang lebih baik dibandingkan tanaman yang dibudidayakan secara konvensional. Konsep PHT ini juga mampu menekan dan memberi ketahanan tanaman terhadap serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura), Oxya sp, Ostrinia furnacalis, dan Helicoverpa armigera, serta menekan kejadian serangan penyakit karat daun dan hawar daun pada tanaman jagung. Selain itu konsep PHT juga mampu meningkatkan hasil panen tanaman jagung yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman jagung pada petak konvensional.

Berdasarkan hasil analisa usaha tani jagung, secara keseluruhan biaya yang dikeluarkan pada budidaya PHT lebih besar dibandingkan dengan budidaya konvensional, akan tetapi budidaya secara PHT lebih menguntungkan dibandingkan konvensional dengan selisih keuntungan mencapai Rp3 695 200.

SARAN

(41)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2012. Cuaca Kabupaten Nganjuk Juli-Oktober 2012. [Internet]. [diunduh pada 2012 Nov 14]. Tersedia pada : http://www.accuweather.com/id/id/nganjuk/203364/month 

[BPS] Badan Pusat Staistik. Data Produksi Jagung Indonesia . [Internet]. [diunduh pada 2013 Feb 13]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/65tahun/data_strategis_2012.pdf

[BPTH] Badan Penelitian Tanaman Hias. 2007. Mikroba Antagonis sebagai Agen Hayati Pengendali Penyakit Tanaman. Cianjur (ID): Badan Penelitian Tanaman Hias.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Basis data Departemen Pertanian. Produktivitas dan ekspor jagung. [Internet]. [dinduh pada 2012 Juni 1]. Tersedia pada: http://www.tanamanpangan.deptan.go.id/.

[Deptan]. Ditjen Tanaman Pangan.2013. Data Angka Ramalan Serangan OPT Jagung Indonesia. [Internet]. [diunduh pada 2013 Mar 11]. Tersedia pada : http://tanamanpangan.deptan.go.id/index.php/folder/detail/3/3/131

[Deptan]. Ditjen Tanaman Pangan. 2013. Road Map Pencapaian Sasaran Produksi Jagung Tahun 2012 – 2014. [Internet]. [diunduh pada 2013 Mar 11]. Tersedia pada : http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/44_ISI.pdf [PEMDA]. 2010. Kabupaten Nganjuk dalam angka 2010. [Internet]. [diunduh

pada 2012 Nov 14]. Tersedia pada: http://www.nganjukkab.go.id.

Aksoy HM, Mennan S. 2004. Biological control of Heterodera cruciferae (Tylenchida: Heteroderidae) with Pseudomonas fluorescens. Journal of Phytopathology. 152 (8): 514-518.

Ashrafuzzaman M. 2009. Efficiency of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) for the enhancement of rice growth. African Journal of Biotechnology. 8(7) : 1247-1252.

Chang YC, Baker R. 1986. Increased growth of plants in the presence of the biological control agent Trichoderma harzianum. Plant Disease 70 (2) :145-148.

Chrisnawati, Nasrun, Arwiyanto T. 2009. Pengendalian penyakit bakteri nilam menggunakan Bacillus spp. dan Pseudomonad flouresen. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 15(3): 116-123.

Daha L, Rauf A, Sosromarsono S, Kartosuwondo U, Manuwoto S. 1998. Ekologi Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) di pertanaman tomat. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan. 10(2): 10-16.

Ehler LE. 2006. Perspective integrated pest management (IPM): definition, historical development and implementation, and the other IPM. Pest Management Science.[Internet].[diunduh 2013 Maret 5]. 62(9) :787–789.

Tersedia pada : http://nctc.fws.gov/ec/resources/pesticides/ipm/ipm_perspective.pdf

(42)

 

Gray EM, Ratcliffe ST, Rice ME. 2009. The IPM paradigm: concepts, strategies

and tactics. Radcliffe EB, Hutchinson WD, Cancelado RE, editor.

Terjemahan dari : Integrated Pest Management. New York (US): Cambridge University Press.

Hajieghrari B. 2010. Effects of some Iranian Trichoderma isolates on maize seed germination and seedling vigor. African journal of Biotechnology vol:

9(28):4342-4347. Tersedia pada: http://www.academicjournals.org/AJB/PDF/pdf2010/12Jul/Hajieghrari.pdf

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.Hal 343-344

Khalimi K, Wirya GNAS. 2009. Pemanfaatan plant growth promoting rhizobacteria untuk biostimulants dan bioprotectants. Ecotrophic. 4(2): 131‐135.

Kloepper JW, Ryu CM, and Zhang S. 2004. Induced Systemic Resistance ang Promotion of Plant Growth by Bacillus spp. Phytopatology. 94 (11): 1259-1266.

Kloepper et al. 1999. Plant root-bacterial interactions in biological control of soilborne disease and potential extention to systemic and foliar disease. Australia Plant Pathology. 28(1) : 21-26.

Kokalis BN, Navrina CS, Rosskopf EN, Shelby RA. 2002. Field evaluation of plant growth promoting rhizobacteria amended transplant mixes and soil solarization for tomato and pepper production in Florida. Plants and Soil 238(2): 257-266.

Kuswanto H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan, dan Penyimpanan Benih. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Lipps PE & Mills D. 2002. Northern corn leaf blight. [Internet]. [diunduh pada 2012 Nov 20]. Tersedia pada: www.ohioline.osu.edu/acfact/.

Monte E. 2001. Understanding Trichoderma sp: between biotechnology and microbial ecology. International Microbiology. 2001(4) : 1-4.

Niranjan-Raj S, Shetty NP, Shetty HS. 2004. Seed bio-priming with Pseudomonas fluorescens isolates enchances growth of pearl millet plant and induces resistance against downy mildew. International Journal of Pest Management. 50(1):41-48.

Nonci N, Baco D. 1991. Pertumbuhan penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis Guenee) pada berbagai tingkat umur tanaman jagung (Zea mays L.). Agrikam, Buletin Penelitian Pertanian Maros (ID). 6(3): 95-101.

Nyambo BT. 1990. Effects of Natural enemies on The Cotton Bollworm, Heliothis armigera Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) in Western Tanzania. Tropical Pest Management. 36(1):50-58.

Oka IN. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta(ID): Gadjah Mada University Press.

(43)

Prayogo Y, Tengkano W, Suharsono.2002. Cendawan entomopatogen pada Spodoptera litura dan Helicoverpa armigera. Seminar Hasil Penelitian

Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian; 2002 Jun 25-26; Malang.

Malang (ID): Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.

Prematirosari MB. 2006. Pengendalian Penyakit Hawar Daun (Helminthosporium

turcicum) pada Jagung Manis dengan Bakteri Pemacu Pertumbuhan

Tanaman. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ramamovorthy V, Viswanathan R, Raguchander T, Prakasam V, Samiyappan R. 2001. Induction of systemic resistance by plant growth promoting rhizobacteria in crop plants against pests and diseases. Crop Protection : 20 (2001): 1-11.

Sarwono B, Pikukuh R, E Korlina dan Jumadi. 2003. Serangan ulat penggerek tongkol Helicoverpa armigera pada beberapa galur jagung. Agrosains 5(2):28-33.

Siddiqui ZA, Singh LP. 2005. Effects of fly ash and soil microorganism on the plant growth, photosynthetic pigments and leaf blight of wheat. Journal of Plant Diseases and Protecion. 112(2): 146-155.

Singh RS. 1973. Plant Diseases Third Edition. New Delhi (IN): Oxford & IBH Publishing Co.

Soesanto L. 2008. Praktek Pengendalian Hayati Penyakit Tumbuhan. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada

Stock CA, Mcloughlin TJ, Klein JA, Adang M. 1990. Expression of a Bacillus thuringiensis crystal protein gene in Pseudomonas cepacia 526. Canadian Journal of Microbiology. 36(12):879-884.

Somers E, Vandeleyden J, Srinivasan M. 2004. Rhizospere bacterial signalling : a love parade beneath our feet. Critical Reviews in Microbiology. 30(4): 205-240.

Swastika, Dewa KS, Kasim F, Sudana W, Hendayani R, Suhariyanto K, Gerpacio V, and Pingali PL. 2004. Maize in Indonesia, Production Systems, Constraints, and Research Priorities . CIMMYT.

Taufik M. 2011. Aplikasi Rizobakteri dan Trichoderma spp. Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Kejadian Penyakit Busuk Pangkal Batang dan Kuning pada Tanaman Lada (Piper nigrum L.). Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); 2011 Jun 07;Makasar.Makasar (ID).

Timmusk S, Wagner E.G.H., 1999. The plant growth promoting rhizobacterium Paenibacillus polymyxa induces changes in Arabidopsis thaliana gene expression: a possible connection between biotic and abiotic stress responses. Molecular Plant-Microbe Interaction 12 (11): 951-959.

Tjondronegoro PD, Natasaputra M, Gunawan AW, Djaelani M, Suwanto A. 1989. Botani Umum. Bogor (ID): PAU Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Wakman W, Rahamma, M.S. Kontong, Firdausil AB. 2001. Varietas jagung

(44)

 

Wakman, Burhanudin. 2005. Pengelolaan Hama dan Penyakit Jagung. [Internet]. [diunduh pada 2012 Nov 15]. Tersedia pada : http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/p3231042.pdf

Wardanah T. 2007. Pemanfaatan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) Untuk Mengendalikan Penyakit Mosaik Tembakau (Tobacco Mosaic Virus) pada Tanaman Cabai. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Widodo. 1993. Penggunaan Pseudomonas sp. kelompok fluorescens untuk mengendalikan penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae WOR) pada caisin (Brasica campestris L. var chinensis (RUPR) OLSON). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Winasa IW, Hindayana D, Santoso S. 2005. Pelepasan dan Pemangsaan Kumbang Jelajah Paederus fuscipes (Coleoptera: Staphylinidae) Terhadap Telur dan Larva Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae) Pada Pertanaman Kedelai. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 12(3): 147-153.

Wipat A, Hardwood CR. 1999. The Bacillus subtilis genome sequence: the molecular blueprint of a soil bacterium. FEMS. Microbial Ecoogyl 28(1): 1-9.

Woo SL, Scala F, Ruocco M, and Lorito M, 2006. The molecular biology of the interactions between Trichoderma sp., phytopathogenic fungi and plants. Phytopathology. 96(2): 181–184.

(45)

LAMPIRAN

(46)

 

Lampiran 1 Hasil analisis ragam tinggi tanaman jagung minggu 1- 10

Lampiran 1.1 Perkembangan tinggi tanaman pada tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional di desa Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012

Umur (MST) Rata-rata tinggi tanamna (cm)

PHT Konvensional

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Sumber Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat total F-hitung Nilai P

Minggu 1

Perlakuan 1 1.9266667 1.9266667 0.17 0.6809

Galat 52 585.8014815 11.2654131

Total 53 587.7281481

Galat 52 6286.814815 120.900285

Total 53 6287.481481

Galat 52 15598.59259 299.97293

Total 53 15878.75926

Minggu 6

Perlakuan 1 266.66667 266.66667 0.73 0.3968

Galat 52 18995.70370 365.30199

Total 53 19262.37037

Minggu 7

Perlakuan 1 920.90741 920.90741 2.50 0.1198

Galat 52 19143.92593 368.15242

Total 53 20064.83333

Minggu 8

Perlakuan 1 620.16667 620.16667 1.68 0.2006

Galat 52 19195.25926 369.13960

Total 53 19815.42593

Minggu 9

Perlakuan 1 748.16667 748.16667 1.53 0.2216

Galat 52 25415.25926 488.75499

Total 53 26163.42593

Minggu 10

Perlakuan 1 748.16667 748.16667 1.53 0.2216

Galat 52 25415.25926 488.75499

(47)

     

Lampiran 2.1 Perkembangan diameter batang tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional di desa Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012

Umur (MST)

Rata-rata ukuran diameter batang (cm)

PHT Konvensional

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Sumber Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat total F -hitung Nilai P

Minggu 4

Perlakuan 1 0.19081667 0.19081667 2.35 0.1313

Galat 52 4.22173333 0.08118718

Total 53 4.41255000

Minggu 5

Perlakuan 1 0.22945185 0.22945185 2.92 0.0935

Galat 52 4.08769630 0.07860954

Total 53 4.31714815

Minggu 6

Perlakuan 1 0.21031296 0.21031296 1.85 0.1801

Galat 52 5.92383704 0.11391994

Total 53 6.13415000

Minggu 7

Perlakuan 1 0.03177963 0.03177963 0.24 0.6249

Galat 52 6.83271852 0.13139843

Total 53 6.86449815

Minggu 8

Perlakuan 1 0.25626667 0.25626667 2.12 0.1511

Galat 52 6.27626667 0.12069744

Total 53 6.53253333

Minggu 9

Perlakuan 1 0.44281667 0.44281667 3.56 0.0647

Galat 52 6.46388148 0.12430541

Total 53 6.90669815

Minggu 10

Perlakuan 1 0.47977963 0.47977963 3.80 0.0568 Galat 52 6.57157037 0.12637635

Total 53 7.05135000

(48)

 

Lampiran 3.1 Perkembangan jumlah daun tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional di desa Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Sumber Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat total F- hitung Nilai P

Minggu 1

Perlakuan 1 0.29629630 0.29629630 1.59 0.2133

Galat 52 9.70370370 0.18660969

Total 53 10.00000000

Minggu 2

Perlakuan 1 2.66666667 2.66666667 5.05 0.0290

Galat 52 27.48148148 0.52849003

Total 53 30.14814815

Minggu 3

Perlakuan 1 8.16666667 8.16666667 11.58 0.0013

Galat 52 36.66666667 0.70512821

Total 53 44.83333333

Minggu 4

Perlakuan 1 1.18518519 1.18518519 0.92 0.3418

Galat 52 66.96296296 1.28774929

Total 53 68.14814815

Minggu 5

Perlakuan 1 9.79629630 9.79629630 6.49 0.0139

Galat 52 78.51851852 1.50997151

Total 53 88.31481481

Minggu 6

Perlakuan 1 1.18518519 1.18518519 1.06 0.3077

Galat 52 58.07407407 1.11680912

Total 53 59.25925926

Minggu 7

Perlakuan 1 2.6666667 2.6666667 1.31 0.2573

Galat 52 105.7037037 2.0327635

Total 53 108.3703704

Minggu 8

Perlakuan 1 5.35185185 5.35185185 4.25 0.0442

Galat 52 65.40740741 1.25783476

Total 53 70.75925926

Minggu 9

Perlakuan 1 14.51851852 14.51851852 10.97 0.0017

Galat 52 68.81481481 1.32336182

Total 53 83.33333333

Minggu 10

Perlakuan 1 20.16666667 20.16666667 14.95 0.0003

Galat 52 70.14814815 1.34900285

Total 53 90.31481481

(49)

Lampiran 4 Hasil analisis ragam jumlah tongkol jagung minggu 7 sampai 10

 

Sumber Derajat bebas Jumlah

kuadrat

Kuadrat total F-hitung Nilai P

Minggu 7

Perlakuan 1 0.66666667 0.66666667 3.06 0.0862

Error 52 11.33333333 0.21794872

Total 53 12.00000000

Minggu 8

Perlakuan 1 0.16666667 0.16666667 1.30 0.2594

Error 52 6.66666667 0.12820513

Total 53 6.83333333

Minggu 9

Perlakuan 1 0.46296296 0.46296296 3.78 0.0573

Error 52 6.37037037 0.12250712

Total 53 6.83333333

Minggu 10

Perlakuan 1 0.01851852 0.01851852 1.00 0.3219

Error 52 0.96296296 0.01851852

(50)

 

Lampiran 5.1 Perkembangan tingkat kerusakan serangan ulat grayak pada tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional di desa Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012

Umur (MST) Rata-rata tingkat kerusakan (%)

PHT Konvensional

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Sumber Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat total F-hitung Nilai P

Minggu 1

Perlakuan 1 32826.40667 32826.40667 2.63 0.1802

Galat 4 49938.32667 12484.58167

Total 5 82764.73333

Minggu 2

Perlakuan 1 28.1666667 28.1666667 0.26 0.6360

Galat 4 430.6666667 107.6666667

Total 5 458.8333333

Minggu 3

Perlakuan 1 2.6666667 2.6666667 0.05 0.8323

Galat 4 208.8333333 52.2083333

Total 5 211.5000000

Minggu 4

Perlakuan 1 316.8266667 316.8266667 4.29 0.1070

Galat 4 295.1266667 73.7816667

Total 5 611.9533333

Minggu 5

Perlakuan 1 7.4816667 7.4816667 0.04 0.8511

Galat 4 746.9266667 186.7316667

Total 5 754.4083333

Minggu 6

Perlakuan 1 0.6666667 0.6666667 0.00 0.9553

Galat 4 749.3333333 187.3333333

Total 5 750.0000000

Minggu 7

Perlakuan 1 13.8016667 13.8016667 0.12 0.7449

Galat 4 454.2066667 113.5516667

Total 5 468.0083333

Minggu 8

Perlakuan 1 13.8016667 13.8016667 0.12 0.7449

Galat 4 454.2066667 113.5516667

Total 5 468.0083333

Minggu 9

Perlakuan 1 48.7350000 48.7350000 0.47 0.5301

Galat 4 413.5400000 103.3850000

Total 5 462.2750000

Minggu 10

Perlakuan 1 48.7350000 48.7350000 0.47 0.5301

Galat 4 413.5400000 103.3850000

Total 5 462.2750000

(51)

Lampiran 6 Hasil Analisis ragam kejadian serangan ulat grayak minggu 1 sampai 10

Lampiran 6.1 Perkembangan kejadian serangan ulat grayak pada tanaman jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional di desa Betet, Ngronggot, Nganjuk 2012

Umur (MST) Rata-rata kejadian serangan (%)

PHT Konvensional

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Sumber Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat total F-hitung Nilai P

Minggu 1

Galat 4 808.8816667 202.2204167

Gambar

Gambar 1   Kondisi  lahan penanaman jagung: (a) Petak PHT, (b) Petak  konvensional
Tabel  2   Rata-rata  suhu dan curah hujan  Nganjuk pada bulan Juli-Oktober 2012  Minggu  pengamatan  Bulan  Suhu  Maksimum ( ° C)  Suhu  Minimum ( ° C)  Curah hujan (mm)  1 Juli  31  23  0  2 31  23  0  3 31  23  0  4 31  23  0  5 Agustus  30.7  22.5 0  6
Gambar 2   Pertumbuhan jagung hibrida P27 pada petak PHT dan konvensional  selama 10 minggu : (a) Perkembangan tinggi tanaman, (b)  Perkembangan diameter batang, (c) Perkembangan jumlah daun
Gambar 8  (a ,b) Gejala gerigitan Oxya sp.
+7

Referensi

Dokumen terkait