• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa)"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

BERITA DEMONSTRASI MAHASISWA DI HARIAN WASPADA DAN HARIAN ANALISA

(Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun oleh: NOVA HUTABARAT

040904081

PROGRAM STUDI JURNALISTIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana konstruksi harian Waspada dan

Analisa terhadap berita demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM.

Penelitian ini menggunakan 2 metodologi yang berbeda yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Fokus penelitian ini adalah pada analisis kualitatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruktivis. Sebagai awal/ pengantar penelitian digunakan analisis kuantitatif (analisis isi kuantitatif/ content analysis) yang bertujuan untuk mengukur data sebaran berita di harian Waspada dan

Analisa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis

framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Dalam model ini perangkat penanda framing dibagi ke dalam 4 struktur besar.

Pertama, Struktur Sintaksis (headline, lead, latar informasi, kutipan sumber,

pernyataan, penutup). Kedua, Struktur Skrip (5W + 1H). Ketiga, Struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat). Keempat, Struktur Retoris (kata, idiom, gambar/ foto, grafik).

Dalam penelitian ini yang menjadi unit penelitian adalah berita-berita seputar demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM yang dimuat oleh harian Waspada dan harian Analisa selama bulan Mei sampai Juni 2008. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2008. Dalam penelitian ini, peneliti mencari isu-isu yang dimuat pada berita di kedua harian tersebut dan isu yang tidak dimuat di satu harian namun dimuat di harian lainnya. Lalu berita-berita tersebut dianalisis dengan perangkat frame yang telah ditentukan. Berdasarkan 2 jenis isu tersebut, berita yang diteliti di harian Waspada berjumlah 21 berita, sedangkan di harian Analisa diteliti sebanyak 14 berita. Adapun isu yang dipilih peneliti adalah: Demo BBM rusuh, Insiden Unas, dan Respon Pemerintah, Polisi terhadap Demo.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan wartawan harian Waspada dan Analisa. Wawancara bertujuan untuk mengetahui pembingkaian wartawan dan redaksi kedua harian tersebut terhadap berita demonstrasi mahasiswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harian Waspada dan Analisa melakukan pemaknaan, pemahaman, dan pengkonstruksian tersendiri atas berita demonstrasi mahasiswa yang ada. Konstruksi harian Waspada menunjukkan penonjolan pada isu kerusuhan dan anarkisme demo sedangkan harian Analisa menonjolkan isu respon pemerintah, polisi terhadap demo. Perbedaan pandangan atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga ditunjukkan di mana harian Waspada menganggap kebijakan tersebut belum tepat, sebaliknya harian

(3)

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Nova Hutabarat

Tempat, Tanggal Lahir : Balige, 30 Nopember 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Anak ke : 2 (dua) dari 5 (lima) bersaudara

Alamat : Jl. Marakas No. 41 Padang Bulan, Medan

No. Telp./ HP : -/ 081370258886

Nama Orang Tua : - Ayah : Maruasa Tua Hutabarat

- Ibu : Mastiur Sianturi

Pekerjaan Orang Tua : - Ayah : Pegawai BUMN

- Ibu : Ibu Rumah Tangga

Alamat Orang Tua : Jl. Sipitu-pitu Narumonda, Porsea, Tobasa

Nama Saudara : - Betharia Telma S. Hutabarat

- David Hotman Hutabarat

- Togar Parnaehan Hutabarat

- Berlian Tua Hutabarat

Pendidikan Formal :

1. SD Negeri No. 173637 Narumonda, Porsea tamat tahun 1998

2. SLTP Negeri 3 Porsea tamat tahun 2001

3. SMU N 2 Soposurung Balige tamat tahun 2004

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis penjatkan ke hadirat Tuhan Allah Yang

Maha Kuasa, atas berkat dan rahmat-Nya yang selalu dicurahkan kepada penulis.

Dengan kekuatan dari-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang

berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa

(Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan

Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa).

Skripsi ini penulis persembahkan kepada 2 orang terhebat dalam hidup

penulis, kedua orang tuaku: Mama (Mastiur Sianturi) dan Bapak (Maruasa Tua

Hutabarat). Tuhan begitu baik telah memberikan orang tua yang begitu hebat

mengasihi penulis, yang selalu mendukung penulis dalam segala hal. Walau tidak

ada yang dapat dilakukan membalas cinta kasih mereka, penulis berharap skripsi

ini bisa menjadi salah satu cara mengungkapkan rasa kasih dan terima kasih

penulis. Terima kasih juga kepada keempat saudara penulis (Kak Betha, David,

Togar, dan Berlian) untuk dukungan dan semua hal yang pernah kita lakukan

bersama. Semoga kita mampu mendapatkan impian kita masing-masing dan bisa

membanggakan kedua orang tua kita.

Begitu banyak pihak yang telah mendukung penulis hingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya, antara lain kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu

(5)

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Mazdalifah M.Si, selaku Dosen Wali penulis. Terima kasih

untuk pengajaran, nasehat, saran, dan diskusi selama ini khususnya di

setiap awal semester.

4. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si selaku Dosen Pembimbing penulis

dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih banyak untuk semua hal

yang telah Bapak berikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa di

kampus ini, untuk ilmu, dukungan, diskusi, pengalaman, bahkan

obrolan-obrolan selama ini. Penulis sadar tidak bisa melakukan sesuatu

untuk membalas kebaikan Bapak. Semoga Tuhan selalu memberkati

Bapak.

5. Seluruh staf pengajar di FISIP USU khususnya Departemen Ilmu

Komunikasi yang selama ini telah memberikan ilmunya kepada

penulis.

6. Seluruh staf administrasi Departemen Ilmu Komunikasi: Kak Icut, Kak

Ros, Rotua, Maya, dan Yusi. Terimakasih untuk bantuannya.

7. Seluruh pihak harian Waspada dan harian Analisa, terkhusus wartawan

yang bersedia penulis wawancara. Terima kasih untuk bantuannya.

8. Sahabat-sahabatku (Mei, Ibeth, Rita, Cheesna, Julika, Debby, Betty,

Sudi). Terima kasih untuk kebersamaan dan semua hal yang kita bagi

bersama. Untuk teman-teman yang masih mengerjakan skripsi,

(6)

9. Teman-teman sesama Pohaners (Dian, Nova, Mei, Tri, Budi). Terima

kasih terkhusus untuk Mei dan Tri yang menjadi teman berdiskusi

tentang skripsi dan menjadi tempat curahan hati penulis. Hidup

Pohaners!

10.Teman-teman PKL penulis di Metro TV Biro Medan, Mei, Ibeth, Dian,

Indah, Widya. Penulis merasakan kedekatan dan kebersamaan yang

indah selama PKL bersama kalian.

11.Teman-teman di Paduan Suara Consolatio. Terima kasih untuk

pengalaman dan pembelajaran kita selama ini. Penulis menemukan

petualangan, suka-duka, canda tawa, bahkan cinta di dalam kalian.

12.Teman-teman di PD/PA Filipi. Terima kasih sudah menganggap

penulis sebagai bagian dari kalian.

13.Bang Deddi Hutauruk. Terima kasih dukungan, bantuanmu dan

kebersamaan kita selama ini. Semoga abang selalu mendapatkan yang

terbaik dalam hidup.

14.Alumni SMA N 2 Soposurung Balige khususnya lulusan tahun 2004

kelas 3 IPA 2. Semoga kita tetap saling mendukung di manapun kita

berada.

15.Para senior stambuk 2003 khususnya kak Mery dan kak Chay.

Teman-teman sesama stambuk 2004, terima kasih untuk kebersamaan kita

selama menjalani kuliah di kampus ini.

16.Seluruh teman-teman kost penulis di Marakas No.41,khususnya kak

(7)

17.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih

untuk setiap pertanyaan “kapan selesai?” yang tanpa sadar hal itu

menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sadar skripsi ini masih memiliki kekurangan, oleh karena itu

penulis mengharapkan masukan yang membangun untuk skripsi ini. Akhir kata

semoga skripsi ini bermanfaat.

Medan, Desember 2008

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR SKEMA ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 7

I.3. Pembatasan Masalah ... 7

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

I.4.1. Tujuan Penelitian ... 7

I.4.2. Manfaat Penelitian ... 8

I.5. Kerangka Teori ... 8

I.5.1. Analisis Framing ... 8

I.5.2. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 10

I.5.3. Berita dan Konstruksi Realitas ... 12

I.6. Kerangka Konsep ... 15

I.7. Definisi Konsep ... 17

BAB II. URAIAN TEORITIS... 21

II.1. Paradigma Konstruktivis ... 21

II.2. Analisis Framing ... 29

II.3. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki .. 35

(9)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 52

III.1. Deskripsi Objek Penelitian ... 52

III.1.1. Harian Waspada ... 52

III.1.1.1. Sejarah Berdirinya PT. Harian Waspada ... 52

III.1.1.2. Visi dan Misi PT. Harian Waspada ... 55

III.1.1.3. Prinsip-Prinsip Dasar PT. Harian Waspada ... 56

III.1.1.4. Badan Hukum PT. Harian Waspada... 57

III.1.1.5. Struktur Organisasi Redaksi PT. Harian Waspada... 58

III.1.2. Harian Analisa ... 59

III.1.2.1. Sejarah Berdirinya Harian Analisa ... 59

III.1.2.2. Visi, Misi, dan Motto... 61

III.1.2.3. Rubrik ... 63

III.1.2.4. Struktur Organisasi Harian Analisa ... 64

III.2. Metode Penelitian ... 65

III.2.1. Unit Penelitian ... 66

III.2.2. Teknik Pengumpulan Data ... 66

III.2.3. Unit dan Level Analisis ... 67

III.2.4. Teknik Analisis Data ... 67

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

IV.1. Analisis Isi (Content Analysis) ... 69

IV.2. Analisis Framing ... 76

IV.2.1. Frame 1: Demo BBM Rusuh ... 77

IV.2.1.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 78

(10)

IV.2.2.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 93

IV.2.2.2. Analisis Framing terhadap Harian Analisa ... 100

IV.2.3. Frame 3: Respon Pemerintah/ Polisi terhadap Demo ... 107

IV.2.3.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 107

IV.2.3.2. Analisis Framing terhadap Harian Analisa ... 115

IV.2.4. Frame 4: Berita yang Dimuat di Satu Media namun tidak Dimuat di Media Lainnya... 123

IV.2.4.1. FrameWaspada: Respon Pihak Oposisi terhadap Keputusan Pemerintah ... 123

IV.2.4.2. FrameAnalisa: Mahasiswa Menganiaya Polisi... 127

BAB V. PENUTUP V.1. Kesimpulan ... 130

V.2. Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(11)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Teori (Theorytical Framework)... 15

Skema 2. Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 16

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Persentasi kemunculan berita demonstrasi mahasiswa terkait

kenaikan harga BBM di harian Waspada dan Analisa ... 70

Tabel 2. Porsi penyajian berita demonstrasi mahasiswa untuk daerah

Medan/ Sumatera dan luar Medan/ Sumatera oleh harian

Waspada ... 71

Tabel 3. Porsi penyajian berita demonstrasi mahasiswa untuk daerah

Medan/ Sumatera dan luar Medan/ Sumatera oleh harian Analisa 72

Tabel 4. Posisi penempatan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian

Waspada ... 73

Tabel 5. Posisi penempatan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian

Analisa ... 73

Tabel 6. Pola pengemasan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian

Waspada ... 74

Tabel 12. Perangkat Penanda Frame Respon Pemerintah/ Polisi terhadap

Demo di Harian Waspada ... 114

Tabel 13. Perangkat Penanda Frame Respon Pemerintah/ Polisi terhadap

Demo di Harian Analisa ... 122

Tabel 14. Perangkat Penanda Frame Harian Waspada: Respon Pihak

Oposisi terhadap Keputusan Pemerintah ... 126

Tabel 15. Perangkat Penanda Frame Harian Analisa: Mahasiswa

(13)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada

dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana konstruksi harian Waspada dan

Analisa terhadap berita demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. Penelitian ini menggunakan 2 metodologi yang berbeda yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Fokus penelitian ini adalah pada analisis kualitatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruktivis. Sebagai awal/ pengantar penelitian digunakan analisis kuantitatif (analisis isi kuantitatif/ content analysis) yang bertujuan untuk mengukur data sebaran berita di harian Waspada dan

Analisa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis

framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Dalam model ini perangkat penanda framing dibagi ke dalam 4 struktur besar.

Pertama, Struktur Sintaksis (headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup). Kedua, Struktur Skrip (5W + 1H). Ketiga, Struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat). Keempat, Struktur Retoris (kata, idiom, gambar/ foto, grafik).

Dalam penelitian ini yang menjadi unit penelitian adalah berita-berita seputar demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM yang dimuat oleh harian Waspada dan harian Analisa selama bulan Mei sampai Juni 2008. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2008. Dalam penelitian ini, peneliti mencari isu-isu yang dimuat pada berita di kedua harian tersebut dan isu yang tidak dimuat di satu harian namun dimuat di harian lainnya. Lalu berita-berita tersebut dianalisis dengan perangkat frame yang telah ditentukan. Berdasarkan 2 jenis isu tersebut, berita yang diteliti di harian Waspada

berjumlah 21 berita, sedangkan di harian Analisa diteliti sebanyak 14 berita. Adapun isu yang dipilih peneliti adalah: Demo BBM rusuh, Insiden Unas, dan Respon Pemerintah, Polisi terhadap Demo.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan wartawan harian Waspada

dan Analisa. Wawancara bertujuan untuk mengetahui pembingkaian wartawan dan redaksi kedua harian tersebut terhadap berita demonstrasi mahasiswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harian Waspada dan Analisa

melakukan pemaknaan, pemahaman, dan pengkonstruksian tersendiri atas berita demonstrasi mahasiswa yang ada. Konstruksi harian Waspada menunjukkan penonjolan pada isu kerusuhan dan anarkisme demo sedangkan harian Analisa

menonjolkan isu respon pemerintah, polisi terhadap demo. Perbedaan pandangan atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga ditunjukkan di mana harian Waspada menganggap kebijakan tersebut belum tepat, sebaliknya harian

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Media massa merupakan sumber informasi yang sangat penting bagi

manusia. Media massa merupakan alat bantu bagi masyarakat untuk membantu

masyarakat dalam menyelesaikan gejala-gejala sosial/ kebutuhan-kebutuhan

sosial. Di jaman teknologi modern seperti sekarang ini, manusia pun mampu

menciptakan alat-alat modern yang memudahkan mereka untuk mendapatkan

informasi. Misalnya internet, televisi (baik yang berbayar ataupun tidak), radio,

dan lain-lain. Melalui media, manusia mampu berinteraksi atau berhubungan

dengan orang di belahan dunia lain. Media juga dianggap penting dalam semua

sistem masyarakat karena dianggap mampu memberi/ menciptakan second reality.

Dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik,

media sering ditempatkan sebagai salah satu variabel determinan. Bahkan , media,

terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang

sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial dan

politik. Dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch

menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government). Hanya

mereka yang mempunyai akses kepada informasi yang bakal menguasai

percaturan kekuasaan (Sobur, 2004: 31).

Bagi sebagian orang media mungkin dianggap sebagai wadah untuk

menampung aspirasi rakyat (demokrasi). Sebagian orang lain menganggap media

(15)

Media massa tidak menunggu peristiwa lalu mengejar, memahami kebenarannya

dan memberitakannya kepada publik. Ia mendahului semua itu. Ia menciptakan

peristiwa. Menafsirkan dan mengarahkan terbentuknya kebenaran. Tidak selalu

untuk melayani kepentingan pihak-pihak tertentu secara setia dan terkontrol

(Sobur, 2004: 33).

Ada juga orang-orang yang menganggap media sebagai kekuatan keempat

dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik sebuah Negara (the fourth estate).

Sebagai alat untuk menyampaikan berita dan informasi tentang berbagai hal,

media mampu membentuk opini publik dalam menyikapi suatu peristiwa. Abrar

menyatakan, sebagai sponsor opini khalayak, pers (media) perlu berperilaku fair

(jujur) dan modesty (rendah hati). Perilaku fair akan menjamin berita objektif,

akurat dan berpihak pada kebenaran. Sedangkan perilaku modesty akan menjamin

lahirnya berita yang cermat dan tidak emosional (Abrar, 1997: 8). Namun hal

penting yang patut diketahui adalah media (wartawan) tidak pernah bisa membuat

pemberitaan yang netral dan seobjektif mungkin. Hal ini disebabkan karena ada

kepentingan-kepentingan lain (misalnya kepentingan media, pemilik media, atau

wartawan sendiri) yang terdapat dalam sebuah pemberitaan media massa.

Akhir-akhir ini media massa sedang ramai mengangkat pemberitaan

tentang kenaikan harga BBM. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan

masyarakat yang sangat penting sehingga saat isu kenaikan BBM muncul,

kebijakan tersebut menuai banyak penolakan. Penolakan ini muncul terutama dari

kalangan masyarakat menegah ke bawah, alasannya adalah di samping kenaikan

(16)

memicu naiknya harga kebutuhan-kebutuhan lain seperti sembako, tarif angkutan,

dan lain-lain.

Pemerintah sendiri menilai kebijakan untuk menaikkan harga BBM

memang harus dilakukan akibat tingginya harga minyak dunia. Presiden dalam

pidatonya pernah menyebutkan agar rakyat memahami bila pemerintah

memutuskan menaikkan harga BBM. Dan walaupun terjadi berbagai aksi

penolakan, akhirnya pada tanggal 23 Mei 2008 harga BBM resmi naik sebanyak

28,7 %.

Pemerintah mengakui naiknya harga BBM sangat berpengaruh terhadap

aspek-aspek kehidupan masyarakat, khususnya yang menengah ke bawah. Oleh

karena itu pemerintah telah mempersiapkan kompensasi yaitu memberikan BLT

(Bantuan Langsung Tunai) sebanyak Rp. 100.000,- per bulan bagi masyarakat

miskin. Namun, banyak pihak menganggap BLT bukanlah jalan keluar bagi

masyarakat. Bercermin dari kebijakan pemberian BLT setelah naiknya BBM

tahun 2005, pemberian dana BLT tidak merata bagi seluruh masyarakat miskin,

bahkan jadwal pemberian BLT tidak tepat pada waktunya. Keadaan tersebut

memunculkan anggapan bahwa BLT tidak efektif dalam meringankan beban

masyarakat miskin. Sebaliknya dikhawatirkan jumlah masyarakat miskin semakin

meningkat.

Berbagai lapisan masyarakat mulai dari LSM, mahasiswa, buruh. ibu-ibu,

tukang becak, dan supir angkutan umum berunjuk rasa menolak naiknya harga

BBM. Tidak hanya sebelum harga BBM dinyatakan naik, pasca kebijakan

tersebut aksi protes pun tetap terjadi di mana-mana. Aksi protes tersebut

(17)

mulut, mogok makan, dan lain-lain. Berbagai upaya dilakukan dengan harapan

pemerintah mau “melihat ke bawah” dan mengubah kebijakannya. Salah satu

elemen masyarakat yang menonjol dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM

adalah mahasiswa. Mahasiswa secara bergantian berunjuk rasa menolak kebijakan

tersebut. Salah satu situs internet membuat pernyataan bahwa bagi mahasiswa,

pemberian BLT bagi masyarakat miskin dianggap sebagai cara untuk

membungkam gejolak di masyarakat terkait dengan kenaikan harga BBM.

Namun, tidak semua aksi protes terhadap kenaikan harga BBM berlangsung aman

dan damai. Bahkan banyak yang berakhir ricuh, bentrok dengan petugas

keamanan, dan mengakibatkan jatuhnya korban.

Kerusuhan serta bentrok antara mahasiswa Universitas Nasional dan

aparat polisi mengawali hari pertama dikeluarkannya kebijakan pemerintah

menaikkan harga BBM. Mahasiswa memprotes kebijakan tersebut dengan

berunjuk rasa sejak malam di kampus Unas. Unjuk rasa berakhir ricuh di mana

terjadi tindakan-tindakan anarkis: melempari bom Molotov, botol, dan batu. Aksi

mahasiswa tersebut dibalas polisi dengan menyerang mahasiswa sampai ke

kampus Unas. Polisi juga melakukan tindakan anarkis dengan melakukan

pemukulan, penangkapan terhadap mahasiswa, dan pengrusakan fasilitas kampus.

Demonstrasi mahasiswa terus berlangsung di beberapa tempat di Indonesia

dan tidak sedikit yang berakhir ricuh. Aksi bakar ban, lempar batu dengan pihak

aparat pun mewarnai demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM.

Terkait dengan tingginya tingkat keseringan demonstrasi mahasiswa yang

berakhir ricuh, muncul berbagai pendapat, penilaian terhadap aksi mahasiswa.

(18)

mengakibatkan kemacetan lalu-lintas dan berujung kekerasan. Anarkisme yang

dilakukan mahasiswa dalam berbagai aksi unjuk rasa dinilai kontra produktif.

Aksi anarkis bisa menghilangkan dukungan masyarakat yang merupakan modal

utama mencapai tujuan demonstrasi

(http://hariansib.com/2008/05/29/mahasiswa-aniaya-polisi-di-kampus-moestopo/). Mantan Ketua Umum PB Himpunan

mahasiswa Islam periode 2003-2005, Hasanuddin menghimbau semua eksponen

mahasiswa semua sikap kritis yang sebagaimana terekspresi antara lain dalam

demonstrasi mulai berlangsung secara santun dan tidak merugikan rakyat yang

dibelanya. Menurutnya, aksi demonstrasi sudah memakan banyak korban

sehingga mahasiswa harus mengukur lagi efektivitas penyampaian aspirasi

dengan cara-cara kekerasan

(http://beritasore.com/2008/25/08/alumni-hmi-seyogianya-aksi-demonstrasi-mahasiswa-berlangsung-santun/).

Dukungan terhadap aksi mahasiswa juga bermunculan. Beberapa pihak

berpendapat bahwa demostrasi yang dilakukan adalah untuk membela hak rakyat

khususnya rakyat miskin. Ada juga yang menyatakan mahasiswa pada awalnya

tidak berniat untuk melakukan aksi anarkis dalam kegiatan unjuk rasa. Ada

anggapan bahwa kemungkinan ricuh dalam aksi demonstrasi mahasiswa terjadi

karena ditunggangi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu lewat

demonstrasi tersebut, dan akibatnya citra demonstrasi mahasiswa menjadi buruk.

Banyak ungkapan yang muncul tentang aksi demonstrasi mahasiswa.

Media massa (pers) dalam setiap pemberitaannya pun dapat menimbulkan

citra-citra tersendiri bagi pihak yang diberitakan, seperti mahasiswa. Media memang

dituntut untuk membuat berita yang real yaitu fakta yang sesungguhnya terjadi di

(19)

realitas media berbeda dengan realitas sesungguhnya. Ada fakta-fakta yang

diangkat menjadi berita ada juga yang tidak. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya,

siapa narasumber yang ditanyai, isu-isu apa yang dominan diangkat dari suatu

peristiwa, posisi berita dalam surat kabar, dan lain-lain.

Berita pada dasarnya dibentuk lewat proses aktif dari pembuat berita

(Eriyanto, 2002: 91). Peristiwa-peristiwa yang kompleks, tidak beraturan diolah

sedemikian rupa dan dibuat supaya beraturan dan bermakna lewat skema

interpretatif wartawan. Wartawan berusaha mengembangkan beritanya sehingga

peristiwa yang tidak menarik sekalipun menjadi menarik dan bermakna.

Setiap media memiliki ideologi masing-masing dalam memaknai dan

memahami suatu peristiwa. Harian Waspada dan Analisa, seperti halnya media

lain, juga memiliki perspektif sendiri dalam menulis berita. Perbedaan segmen

pembaca dan “kuat” di segmen berita (misalnya: politik, ekonomi, dan lain-lain)

mampu membuat media mengarahkan suatu peristiwa sesuai dengan segmen

tersebut. Dengan perbedaan ideologi, 1 (satu) fakta yang sama dapat diberitakan

secara berbeda oleh media yang berbeda, misalnya peristiwa demonstrasi

mahasiswa karena naiknya harga BBM.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana

harian Waspada dan harian Analisa mengemas peristiwa demonstrasi mahasiswa

terkait kebijakan naiknya harga BBM menjadi berita yang akhirnya menurut

(20)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

“Bagaimanakah aksi demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga

BBM dikonstruksi oleh harian Waspada dan harian Analisa?”.

I.3. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari permasalahan yang terlalu luas sehingga dapat

mengaburkan penelitian, penulis membatasi masalah yang akan diteliti sebagai

berikut:

1. Penelitian terbatas hanya dilakukan terhadap harian Waspada dan harian

Analisa edisi 1 Mei 2008-30 Juni 2008,

2. Berita-berita yang diteliti terbatas pada berita tentang aksi mahasiswa

terkait penolakan terhadap kebijakan naiknya harga BBM,

3. Penelitian ini bersifat kualitatif/ konstruktivis,

4. Penelitian menggunakan analisis framing dengan menggunakan model

analisis Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.4.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perspektif atau ideologi media Waspada dan

Analisa dalam menulis berita demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan

(21)

2. Untuk mengetahui bagaimana harian Waspada dan harian Analisa

mengemas pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa terkait

kebijakan naiknya harga BBM.

3. Untuk mengetahui bagaimana harian Waspada dan harian Analisa

mengonstruksi demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga

BBM.

I.4.2. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta

memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan di lingkungan

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya kajian-kajian

tentang analisis framing,

2.Secara teoritis, peneliti dapat menerapkan ilmu yang diperoleh selama

menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU dan menambah

wawasan peneliti mengenai konstruksi media terhadap suatu berita,

3.Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pembaca surat kabar dan media Waspada serta media Analisa.

I.5. Kerangka Teori

Setiap metode ataupun pendekatan selalu didasari oleh

pemikiran-pemikiran ataupun teori-teori yang digunakan sebagai pijakan berpikir. Salah satu

fungsi utama teori ialah memberikan fondasi dalam berpikir ilmiah (Sarwono,

(22)

I.5.1. Analisis Framing

Framing adalah metode penyajian realitas di mana kebenaran suatu

realitas tidak diingkari secara total melainkan dibelokkan secara halus dengan

memberikan sorotan-sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan

menggunakan istilah yang mempunyai konotasi tertentu dan dengan bantuan foto,

karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2001: 186).

Gagasan mengenai framing pada awalnya dikemukakan oleh Baterson

tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat

kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta

yang menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Tahun

1974, Goffman mengembangkan konsep frame sebagai kepingan-kepingan

perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca

realitas.

Seperti layaknya kalau kita melihat lewat jendela, seringkali batasan

pandangan menghalangi kita untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Melalui

berita, kita mengetahui apa yang terjadi di daerah manapun di dunia. Melalui

media, kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik di Jakarta,

kehidupannya, kegiatannya. Tetapi apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, dan

apa yang kita rasakan mngenai dunia itu tergantung pada jendela apa yang kita

pakai. Pandangan lewat jendela itu, tergantung pada apakah jendela yang kita

pakai besar atau kecil. Jendela yang besar dapat melihat lebih luas, sementara

jendela yang kecil membatasi pandangan kita. Apakah jendela itu berjeruji atau

tidak. Apakah jendela itu dapat dibuka lebar ataukah hanya dapat dibuka

(23)

kah kita hanya bisa mengintip dari balik jerujinya. Yang paling penting, apakah

jendela itu terletak dalam rumah yang punya posisi tinggi ataukah dalam rumah

yang terhalang oleh rumah lain. Dalam berita, jendela itu yang kita sebut sebagai

frame atau bingkai (Eriyanto, 2004: 4).

Pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat

bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media

memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan.

Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun,

media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke

permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita

yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif

dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang

legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan (Imawan, dalam Sobur,

2004: 162).

Sasaran dari analisis framing, sebagai salah satu metode analisis wacana,

adalah menemukan “aturan dan norma” yang tersembunyi di balik sebuah teks.

Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui perspektif atau pendekatan yang

dipergunakan oleh sebuah media dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa.

Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan

diorganisir, digunakan, dan dipahami (Hamad, 2004: 2003)

I.5.2 Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

(24)

media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik

tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing

didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan

informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu

(Eriyanto, 2004: 252).

Menurut Pan dan Kosicki ada 2 dari konsepsi framing yang saling

berkaitan yaitu konsepsi psikologi (internal individu) dan kosepsi sosiologis

(social). Bagaimana kedua konsepsi yang berlainan tersebut dapat digabungkan

dalam suatu model dijelaskan dan dilihat dari bagaimana suatu berita diproduksi

dan peristiwa dikonstruksi oleh wartawan. Dalam mengkonstruksi suatu realitas

wartawan tidak hanya menggunakan konsepsi yang ada dalam dirinya semata.

Namun proses konstruksi juga melibatkan nilai-nilai sosial yang melekat dalam

diri wartawan, khalayak yang akan membaca berita, dan ditentukan juga oleh

proses produksi yang melibatkan standard kerja, profesi jurnalistik, dan standard

profesional dari wartawan.

Dengan cara apa wartawan atau media menonjolkan pemaknaan atau

penafsiran mereka atas suatu peristiwa? Wartawan memakai secara strategis kata,

kalimat, lead, hubungan antar kalimat, foto, grafik, dan perangkat lain untuk

membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami

oleh pembaca (Eriyanto, 2004: 254). Model Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa

(25)

I.5.3. Berita dan Konstruksi Realitas

Ada banyak definisi berita yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut

Astrid S. Susanto Sunario berita adalah suatu pelaporan tentang suatu kejadian

yang dianggap penting (Sunario, 1993: 159). Mitchell V. Charnley

mendefinisikan berita yaitu laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang

menarik atau penting atau keduanya, bagi sejumlah besar orang (Kusumaningrat,

2005: 39). Dalam definisi jurnalistik, Assegaff menyatakan berita adalah laporan

tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian

untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar

biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup

segi-segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan (Assegaf, dalam

Sumadiria, 2005: 64-65).

Berita lahir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Namun, tidak

semua peristiwa layak atau mempunyai nilai berita. Beberapa elemen nilai berita

yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah (Santana, 2005: 18-20):

1. Immediacy, kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan

kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan

sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi. Bila peristiwanya

terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan sejarah. Unsur waktu

amat penting di sini.

2. Proximity, adalah kedekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa

dalam keseharian hidup mereka. Khalayak berita akan tertarik dengan

berbagai peristiwa yang terjadi di dekatnya, di sekitar kehidupan

(26)

3. Consequence, berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita

yang mengandung nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji

pegawai negeri, kenaikan harga BBM, masyarakat dengan segera akan

mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi

sehari-hari yang harus mereka hadapi.

4. Conflict, perseteruan antarindividu, antartim atau antarnegara

merupakan elemen-elemen natural dari berbagai berita-berita yang

mengandung konflik.

5. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi (unussualness) ialah sesuatu

yang akan diperhatikan segera oleh masyarakat.

6. Seks, kerap seks menjadi satu elemen utama dari sebuah pemberitaan.

Segala hal yang berhubungan dengan seks pasti menarik dan menjadi

sumber berita.

7. Emotion, sering disebut elemen human interest. Elemen ini

menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan,

simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau tragedi.

8. Prominence, elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar intilah

names make news” (nama membuat berita). Segala sesuatu yang

berhubungan dengan orang terkenal (public figure, pejabat, pembuat

kebijakan, dan lain-lain) akan dibuu berita.

9. Suspense, elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu

terhadap sebuah peristiwa oleh masyarakat. Kisah berta yang

menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting.

(27)

Dalam ilmu komunikasi sebagai payung dunia jurnalisme, sebenarnya ada

dua cara pandang berbeda dalam melihat konsep yang bernama “berita”. Pertama,

berita sebagai hasil konstruksi realitas dari suatu proses manajemen produksi

institusi media setak surat kabar ataupun majalah. Kedua, berita sebagai hasil

rekonstruksi realitas yang akan melibatkan produksi dan pertukaran makna

(Birowo, 2004: 168-169).

Ahli sosiologi, Gaye Tuchman dalam bukunya Making News, menyatakan

bahwa berita merupakan konstruksi realitas sosial. Tindakan membuat berita, kata

Tuchman adalah tindakan mengkonstruksi realita itu sendiri, bukan penggambaran

realita. Dia menekankan bahwa berita adalah sekutu bagi lembaga-lembaga yang

berlegitimiasi dan bahwa berita juga melegitimasi status quo (Severin, 2007: 400).

Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka dapat dibuat skema yang dapat

(28)

Skema 1. Kerangka Teori (Theorytical Framework)

I.6. Kerangka Konsep

Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga

dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama

(Singarimbun, 1995: 17). Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang

bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan

dicapai (Nawawi, 1995: 40). Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan

analisis framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M.

Kosicki.

Analisis Framing Model Pan dan Kosicki

Informasi

Proses Produksi Berita oleh Media

Pola Konstruksi Realitas

(29)

STRUKTUR

Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

(30)

I.7. Definisi Konsep

1. Sintaksis

Dalam pengertian umum, sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam

kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian

susunan bagan berita-headline, lead, latar informasi, sumber, penutup-

dalam suatu kesatuan teks berita secara keseluruhan.

Unit yang diamati dari struktur sintaksis adalah:

a. Headline

Berita yang menjadi topik utama media.

b. Lead

Alinea pembuka atau alinea pertama suatu berita. Lead atau teras

berita berisi pokok-pokok penting yang dapat mewakili isi berita.

c. Latar informasi

Merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang

ingin ditampilkan wartawan. Wartawan ketika menulis berita

biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis.

Latar yang dipilih menentukan arah mana pandangan khalayak

hendak dibawa.

d. Kutipan sumber berita

Orang atau hal-hal yang dijadikan sumber berita. Dimaksudkan

untuk membangun objektivitas prinsip keseimbangan dan tidak

memihak. Ia juga merupakan bagian berita yang menekankan bahwa

apa yang ditulis oleh wartawan bukan pendapat wartawan semata,

(31)

Pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing atas tiga hal.

Pertama, mengklaim validitas atau kebenaran dari pernyataan yang

dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik.

Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada

pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau

pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau

pandangan mayoritas sehingga pandangan tersebut tampak sebagai

menyimpang.

e. Pernyataan

Merupakan kalimat-kalimat yang dibuat untuk mendukung isi berita.

f. Penutup

Bagian akhir berita.

2. Skrip

Skrip berhubungan dengan bagaimana strategi cara bercerita atau

bertutur wartawan dalam mengisahkan/ menceritakan peristiwa ke

dalam bentuk berita.

Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah unsur kelengkapan berita,

yaitu:

a. Who (siapa), siapa yang terlibat

b. What (apa), apa peristiwa yang diberitakan

c. When (kapan), waktu terjadinya peristiwa

d. Where (dimana), lokasi peristiwa

e. Why (mengapa), mengapa bisa terjadi

(32)

3. Tematik

Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis,

bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke

dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk

teks secara keseluruhan.

Tematik memiliki perangkat framing:

a. Detail

Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang

ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara

berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang

baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi yang tidak

menguntungkan dirinya dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu

tidak disampaikan)

b. Koherensi

Merupakan elemen untuk melihat bagaimana seseorang secara

strategis menggunakan perangkat bahasa untuk menjelaskan fakta

atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah,

berhubungan, atau sebab-akibat.

c. Bentuk kalimat

Bentuk kalimat dipakai untuk menjelaskan fakta yang ada,

berhubungan dengan kalimat pasif atau kalimat aktif dan kalimat

(33)

d. Kata ganti

Kata pengganti subjek atau objek dalam suatu kalimat, misalnya :

aku, dia., mereka, itu, dan lain-lain.

4. Retoris

Struktur retoris suatu wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau

kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin di

tonjolkan. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memaknai

pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya

mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada

pembaca.

Retoris memiliki perangkat framing sebagai berikut:

a. Leksikon

Pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau

menggambarkan peristiwa.

b. Grafis

Biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan

tulisan yang lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian

garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar,

termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik,

gambar, tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.

c. Metafora

(34)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. Paradigma Konstruksionis

Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog

interpretative, Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak menulis

karya dan menghasilkan tesis mengenai konsruksi sosial atas realitas. Tesis utama

dar Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis,

dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia,

namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya.

Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru

menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam

masyarakatnya.

Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu

menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut

proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa (Eriyanto,

2004: 14-15). Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri

manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah

menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di

mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang

lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses

inilah dihasilkan suatu dunia─dengan kata lain, manusia menemukan dirinya

(35)

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun

fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas

objektif yang bisa jadi akan mengahadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu

faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.

Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi realitas sui generis. Hasil dari

eksternalisasi ─kebudayaan─ itu misalnya, manusia menciptakan alat demi

kemudahan hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik

alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan

dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik

benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang

objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk

kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar

kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda

dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa

dialami oleh setiap orang.

Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan

kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif

individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia

yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebaga gejala realitas di luar

kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui

internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu

yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.

(36)

mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang

mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan

pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan

konstruksi masing-masing. Selain plural, komstruksi sosial itu juga bersifat

dinamis (Eriyanto, 2004: 15).

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah

realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis

pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau

realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam

studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai

paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan

paradigma positivis/ paradigma transmisi (Eriyanto, 2004: 37).

Kalau asumsi trasmisi melihat komunikasi sebagai proses penyebaran

(pengiriman dan penerimaan pesan), maka paradigma konstruksionis melihat

komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian

bukan bagaimana orang mengirimkan pesan, tetapi bagaimana masing-masing

pihak dalam lalu-lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan

makna. Di sini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling

dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama

antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan

dengan konteks sosial di mana mereka berada (Eriyanto, 2004: 40).

Pendekatan konstruksionis memusatkan perhatian kepada bagaimana

seseorang membuat gambaran mengenai sebuah peristiwa politik, personalitas,

(37)

lembaga atau kelompok mempunyai peran yang sama dalam menafsirkan dan

mengkostruksi peristiwa politik (Eriyanto dalam Bungin, 2003: 155).

Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama,

pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses

bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu

yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah

suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua,

pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang

dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan

dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana

konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan

sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam

menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan

tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator

dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan,

memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks

pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2004: 40-41).

Dalam konteks berita, sebuah teks tidak bisa kita samakan seperti sebuah

kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas.

Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara

berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan pemaknaan yang

berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana

mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita

(38)

arti yang riil. Di sini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah

produk interaksi antara wartawan dengan fakta (Eriyanto, 2004: 17).

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana

media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu per

satu di bawah ini.

Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis,

realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep

subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari

wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif., karena realitas itu

tercipta lewat konstruksi dari pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda,

tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan

yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu

yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta/ realitas pada

dasarnya dikonstruksi.

Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas

bergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi.

Dalam kata-kata yang ekstrim, realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana

ia dilihat. Pikiran dan konsepsi kitalah yang membentuk dan mengkreasikan fakta

yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda

(Eriyanto, 2004: 20-21).

Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis media

bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksikan

realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media

(39)

Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan seolah-olah media

sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan

realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi

dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut

membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Kalau ada demonstrasi

mahasiswa selalu diberitakan dengan anarkime, itu bukan menunjukkan realitas

sebenarnya, tetapi juga menggambarkan bagaimana media ikut berperan dalam

mengkonstruksikan realitas. Apa yang tersaji dalam berita, dan kita baca tiap hari,

adalah produk dari pembentukan realitas media. Media adalah agen yang secara

aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2004: 23).

Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari

realitas. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita itu ibaratnya sebagai

drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan

antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil dari

konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai

dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat

bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan

selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan

pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang

berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda

Berita bersifat subjektif/ konstruksi atas realitas. Pandangan

konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai subjektivitas

jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah

(40)

dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Berita bersifat subjektif dan opini

tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput wartawan melihat dengan perspektif

dan pertimbangan subjektif. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi

berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda

pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standard tidak bisa dipakai. Kalau ada

perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap

sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas suatu

realitas (Eriyanto, 2004: 27).

Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Dalam

pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral

dan keberpihakannya; karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam

pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan

juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam

banyak kasus: topik apa yang diangkat dan siapa yang diwawancarai disediakan

oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata bagian

dari pilihan profesioanal individu. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan

juga dipandang sebagai aktor/ agen konstruksi. Wartawan bukan hanya

melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa. Sebagai aktor

sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif

membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka.

Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena

dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, dalam

berada di luar diri wartawan. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada di luar”

(41)

Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana

proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya, bersifat subjektif, yang

terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan (Eriyanto,

2004: 28-30).

Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang

integral dalam produksi berita. Dalam pendekatan konstruksionis, aspek etika,

moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media.

Wartawan bukanlah robot yang memilih apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan

moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai-

tertentu ─ umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu ─ adalah bagian integral

dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksikan realitas.

Wartawan di sini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi

partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena

fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi

mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati

(Eriyanto, 2004: 32).

Nilai, etika dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral

dalam penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe

konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang

bebas nilai. Pilihan, etika, moral atau keberpihakan peneliti mejadi bagian yang

tidak bisa dipisahkan dari proses penelitian. Peneliti adalah entitas dengan

berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek

(42)

yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan

temuan yang berbeda pula (Eriyanto, 2004: 33-34).

Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Dalam

pandangan konstruksionis khalayak dipandang bukanlah subjek yang pasif. Ia

adalah subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa

Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/ berita yang dibaca

oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna

lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat

berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan.

Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang

sama. Kalau saja makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna

terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi (Eriyanto,

2004: 35).

II.2. Analisis Framing

Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson tahun

1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat

kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, yang

menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini

kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan

frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang

membimbing individu dalam membaca realitas (Sudibyo, 2001: 219).

G. J. Aditjondro dalam sudibyo (2001: 222) menyatakan bahwa framing

(43)

secara total melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan

sorotan-sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan menggunakan istilah yang

mempunyai konotasi tertentu dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi

lainnya (Sudibyo, 2001: 186).

Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas

dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu, frame sering

diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi

makna spesifik tentang objek wacana. Framing secara umum dirumuskan sebagai

proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang

tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan agar aspek itu menjadi lebih

noticeable, meaningfull, dan memorable bagi khalayak. Framing juga dapat

dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas

sehingga elemen isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dalam kognisi

individu, sehingga lebih besar pula kemungkinannya untuk mempengaruhi

pertimbangan individu (individual judgment). Proses framing lebih dari sekedar

proses rekonstruksi dan interpretasi realitas. Dalam pandangan Charlotte Ryan,

framing pada dasarnya adalah proses perekayasaan peristiwa, serta proses

menandai apa yang signifikan dari peristiwa –sehari-hari (Sudibyo, 2001: 221).

Framing, seperti dikatakan Todd Gitlin, adalah sebuah strategi bagaimana

realitas/ dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan

kepada khalayak pembaca. Peristiwa-perisiwa ditampilkan dalam pemberitaan

agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah

prinsip dari seleksi, penekanan, dan presentasi dari realitas. Menurut Gitlin, frame

(44)

hari yang sering kali kita lakukan. Setiap hari jurnalis berhadapan dengan

beragam peristiwa dengan berbagai pandangan dan kompleksitasnya. Lewat

frame, jurnalis mengemas peristiwa yang kompleks itu menjadi peristiwa yang

dapat dipahami, dengan perspektif tertentu dan lebih menarik perhatian khalayak.

Frame media dengan demikian adalah bentuk yang muncul dari pikiran (kognisi),

penafsiran, dan penyajian, dari seleksi, penekanan, dan pengucilan dengan

menggunakan simbol-simbol yang dilakukan secara teratur dalam wacana yang

terorganisir, baik dalam bentuk verbal maupun visual. Dengan frame, jurnalis

memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya

sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada

khalayak (Eriyanto, 2004: 68-69).

Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/ realitas. Proses

memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin memilih

peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua

kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).

Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang

diberitakan dan bagian mana dari realitas ang tidak diberitakan ? penekanan aspek

tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan

melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek

lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan

konstruksi atas suatu peristiwa bias jadi berbeda antara satu media dengan media

lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan

menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau

(45)

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana

fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan

kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa,

dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan

pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di

headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk

mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika

menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi dengan simbol

budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar,

dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan

realitas. Pemakaian kata, kalimat, atau foto itu merupakan implikasi dari memilih

aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi

menonjol, lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek

yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari

konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2004:

69-70).

Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari

lapangan psikologi dan sosiologi. Namun, secara umum teori framing dapat

dilihat dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi.

Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh

media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas yang begitu

kompleks dan penuh dimensi, ketika dimuat dalam berita bisa jadi akan menjadi

realitas satu dimensi. Perbedaan muncul karena realitas pada dasarnya bukan

(46)

tersebut ada banyak penafsiran dan pemaknaan yang berbeda-beda dalam

memahami realitas. Analisis framing membantu kita untuk mengetahui bagaimana

realitas/ peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga

menghasilkan berita yang secara radikal berbeda.

Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang

kompleks, penuh dimensi, dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai

sesuatu yang sederhana beraturan dan memenuhi logika tertentu. Framing

menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang

dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses

informasi ke dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu.

Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang

tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya dan dikenal dalam benak mereka.

Teori framing menunjukkan bagaimana jurnalis membuat simplifikasi, prioritas,

dan struktur tertentu dari peristiwa. Karenanya framing menyediakan kunci

bagaimana peristiwa dipahami oleh media dan ditafsirkan ke dalam bentuk berita.

Karena media melihat peristiwa dari kacamata tertentu maka realitas setelah

dilihat khalayak adalah realitas yang sudah terbentuk oleh bingkai media. Di sini

media cenderung melihat realitas sebagai sesuatu yang sederhana. Misalnya,

liputan terorisme yang kompleks disederhanakan sebagai tindakan tidak bermoral.

Konflik etnis, rasial, diberitakan semata sebagai konflik atau kerusuhan (Eriyanto,

2004: 140).

Ada beberapa hal yang menjadi ciri suatu frame antara lain, menonjolkan

aspek tertentu-mengaburkan aspek lain. Framing umumnya ditandai dengan

(47)

fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya,

ada aspek lainnya yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Pemberitaan

suatu peristiwa dari perspektif politik misalnya, mengabaikan aspek lain:

ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Menampilkan sisi tertentu-melupakan sisi lain. Sebut misalnya

pemberitaan media mengenai aksi mahasiswa. Berita misalnya, banyak

menampilkan bagaimana demonstrasi akhirnya diwarnai dengan bentrokan. Berita

secara panjang lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekad

menembus barikade, dan akhirnya diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang

luka-luka. Dengan menampilkan sisi seperti ini dalam berita, ada sisi lain yang

dilupakan. Yakni, apa tuntutan dari mahasiswa tersebut? Seolah dengan

menggambarkan berita seperti itu, demonstrasi tersebut tidak ada gunanya.

Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat keributan

saja di tengah masyarakat. Berita misalnya, ditandai dengan gerutuan sopir

angkutan yang tidak suka dengan demonstrasi karena menyebabkan kemacetan,

dan sebagainya. Di sini, menampilkan aspek terterntu menyebabkan aspek lain

yang penting dalam memahami relaitas tidak mendapatkan liputan yang memadai

dalam berita.

Menampilkan aktor tertentu-menyembunyikan aktor lainnya. Berita

sering kali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu saja tidak

salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau

aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam

(48)

Sasaran dari analisis framing, sebagai salah satu metode analisis wacana,

adalah menemukan “aturan dan norma” yang tersembunyi di balik sebuah teks.

Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui perspektif atau pendekatan yang

dipergunakan oleh sebuah media dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa.

Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan

diorganisir, digunakan, dan dipahami (Hamad, 2004: 2003)

II.2. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks,

media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik

tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing

didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan

informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu

(Eriyanto, 2004: 252).

Pan dan Kosicki menilai, sebagai suatu metode analisis isi, analisis

framing agak berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam analisis isi

kuantitatif. Pertama, analisis isi tradisional melihat teks berita sebagai hasil

stimuli psikologis yang objektif, dan karenanya maknanya dapat diidentifikasi

dengan ukuranyang objektif pula. Sebaliknya dalam analisis framing, teks berita

dilihat terdiri dari berbagai simbol yang disusun lewat perangkat simbolik yang

dipakai yang akan dikonstruksi dalam memori khalayak. Dengan kata lain, tidak

ada pesan atau stimuli yang bersifat objektif, sebaliknya teks berita dilihat sebagai

Gambar

gambar/foto, grafik
Tabel 1. Persentasi kemunculan berita demonstrasi mahasiswa terkait
Tabel 2. Porsi penyajian berita demonstrasi mahasiswa untuk daerah
Tabel 3. Porsi penyajian berita demonstrasi mahasiswa untuk daerah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, untuk hasil belajar siswa dalam ranah afektif dan psikomotorik dapat dilihat pada Tabel 3 yang telah dipaparkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa

6 Nurul Ursyiyah Itsnaini SMPN 1 Kalianget 69. 7 Za'im Jundi Muhammad SMPIT Al-Hidayah

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Guru harus memperhatikan dan memahami proses yang digunakan siswa sehingga sampai pada jawaban yang diinginkan (Slavin, 2006:42). Sikap siswa dengan terhadap pembelajaran

Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini yakni untuk mengetahui pengaruh marketing public relation dan kualitas pelayanan terhadap loyalitas konsumen pada

Pedestrian merupakan trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki untuk menikmati nuansa bangunan perkotaan dan taman-taman Kota/ Kabupaten. Dalam konteks perkotaan biasanya

Peserta yang menjadi target pelatihan adalah seluruh kepala desa, sekretaris desa dan anggota BPD dari 7 (tujuh) desa di Kecamatan Sumberpucung. Total seluruh

Informasi lain yang akan coba digali untuk me- lengkapi penelitian adalah mengenai tingkat pengetahuan dari usaha mikro, kecil dan menengah tentang pajak, khususnya