BERITA DEMONSTRASI MAHASISWA DI HARIAN WASPADA DAN HARIAN ANALISA
(Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S1) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Disusun oleh: NOVA HUTABARAT
040904081
PROGRAM STUDI JURNALISTIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana konstruksi harian Waspada dan
Analisa terhadap berita demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM.
Penelitian ini menggunakan 2 metodologi yang berbeda yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Fokus penelitian ini adalah pada analisis kualitatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruktivis. Sebagai awal/ pengantar penelitian digunakan analisis kuantitatif (analisis isi kuantitatif/ content analysis) yang bertujuan untuk mengukur data sebaran berita di harian Waspada dan
Analisa.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
Dalam model ini perangkat penanda framing dibagi ke dalam 4 struktur besar.
Pertama, Struktur Sintaksis (headline, lead, latar informasi, kutipan sumber,
pernyataan, penutup). Kedua, Struktur Skrip (5W + 1H). Ketiga, Struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat). Keempat, Struktur Retoris (kata, idiom, gambar/ foto, grafik).
Dalam penelitian ini yang menjadi unit penelitian adalah berita-berita seputar demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM yang dimuat oleh harian Waspada dan harian Analisa selama bulan Mei sampai Juni 2008. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2008. Dalam penelitian ini, peneliti mencari isu-isu yang dimuat pada berita di kedua harian tersebut dan isu yang tidak dimuat di satu harian namun dimuat di harian lainnya. Lalu berita-berita tersebut dianalisis dengan perangkat frame yang telah ditentukan. Berdasarkan 2 jenis isu tersebut, berita yang diteliti di harian Waspada berjumlah 21 berita, sedangkan di harian Analisa diteliti sebanyak 14 berita. Adapun isu yang dipilih peneliti adalah: Demo BBM rusuh, Insiden Unas, dan Respon Pemerintah, Polisi terhadap Demo.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan wartawan harian Waspada dan Analisa. Wawancara bertujuan untuk mengetahui pembingkaian wartawan dan redaksi kedua harian tersebut terhadap berita demonstrasi mahasiswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harian Waspada dan Analisa melakukan pemaknaan, pemahaman, dan pengkonstruksian tersendiri atas berita demonstrasi mahasiswa yang ada. Konstruksi harian Waspada menunjukkan penonjolan pada isu kerusuhan dan anarkisme demo sedangkan harian Analisa menonjolkan isu respon pemerintah, polisi terhadap demo. Perbedaan pandangan atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga ditunjukkan di mana harian Waspada menganggap kebijakan tersebut belum tepat, sebaliknya harian
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Nova Hutabarat
Tempat, Tanggal Lahir : Balige, 30 Nopember 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Anak ke : 2 (dua) dari 5 (lima) bersaudara
Alamat : Jl. Marakas No. 41 Padang Bulan, Medan
No. Telp./ HP : -/ 081370258886
Nama Orang Tua : - Ayah : Maruasa Tua Hutabarat
- Ibu : Mastiur Sianturi
Pekerjaan Orang Tua : - Ayah : Pegawai BUMN
- Ibu : Ibu Rumah Tangga
Alamat Orang Tua : Jl. Sipitu-pitu Narumonda, Porsea, Tobasa
Nama Saudara : - Betharia Telma S. Hutabarat
- David Hotman Hutabarat
- Togar Parnaehan Hutabarat
- Berlian Tua Hutabarat
Pendidikan Formal :
1. SD Negeri No. 173637 Narumonda, Porsea tamat tahun 1998
2. SLTP Negeri 3 Porsea tamat tahun 2001
3. SMU N 2 Soposurung Balige tamat tahun 2004
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis penjatkan ke hadirat Tuhan Allah Yang
Maha Kuasa, atas berkat dan rahmat-Nya yang selalu dicurahkan kepada penulis.
Dengan kekuatan dari-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada dan Harian Analisa
(Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan
Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa).
Skripsi ini penulis persembahkan kepada 2 orang terhebat dalam hidup
penulis, kedua orang tuaku: Mama (Mastiur Sianturi) dan Bapak (Maruasa Tua
Hutabarat). Tuhan begitu baik telah memberikan orang tua yang begitu hebat
mengasihi penulis, yang selalu mendukung penulis dalam segala hal. Walau tidak
ada yang dapat dilakukan membalas cinta kasih mereka, penulis berharap skripsi
ini bisa menjadi salah satu cara mengungkapkan rasa kasih dan terima kasih
penulis. Terima kasih juga kepada keempat saudara penulis (Kak Betha, David,
Togar, dan Berlian) untuk dukungan dan semua hal yang pernah kita lakukan
bersama. Semoga kita mampu mendapatkan impian kita masing-masing dan bisa
membanggakan kedua orang tua kita.
Begitu banyak pihak yang telah mendukung penulis hingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya, antara lain kepada:
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu
2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Mazdalifah M.Si, selaku Dosen Wali penulis. Terima kasih
untuk pengajaran, nasehat, saran, dan diskusi selama ini khususnya di
setiap awal semester.
4. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si selaku Dosen Pembimbing penulis
dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih banyak untuk semua hal
yang telah Bapak berikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa di
kampus ini, untuk ilmu, dukungan, diskusi, pengalaman, bahkan
obrolan-obrolan selama ini. Penulis sadar tidak bisa melakukan sesuatu
untuk membalas kebaikan Bapak. Semoga Tuhan selalu memberkati
Bapak.
5. Seluruh staf pengajar di FISIP USU khususnya Departemen Ilmu
Komunikasi yang selama ini telah memberikan ilmunya kepada
penulis.
6. Seluruh staf administrasi Departemen Ilmu Komunikasi: Kak Icut, Kak
Ros, Rotua, Maya, dan Yusi. Terimakasih untuk bantuannya.
7. Seluruh pihak harian Waspada dan harian Analisa, terkhusus wartawan
yang bersedia penulis wawancara. Terima kasih untuk bantuannya.
8. Sahabat-sahabatku (Mei, Ibeth, Rita, Cheesna, Julika, Debby, Betty,
Sudi). Terima kasih untuk kebersamaan dan semua hal yang kita bagi
bersama. Untuk teman-teman yang masih mengerjakan skripsi,
9. Teman-teman sesama Pohaners (Dian, Nova, Mei, Tri, Budi). Terima
kasih terkhusus untuk Mei dan Tri yang menjadi teman berdiskusi
tentang skripsi dan menjadi tempat curahan hati penulis. Hidup
Pohaners!
10.Teman-teman PKL penulis di Metro TV Biro Medan, Mei, Ibeth, Dian,
Indah, Widya. Penulis merasakan kedekatan dan kebersamaan yang
indah selama PKL bersama kalian.
11.Teman-teman di Paduan Suara Consolatio. Terima kasih untuk
pengalaman dan pembelajaran kita selama ini. Penulis menemukan
petualangan, suka-duka, canda tawa, bahkan cinta di dalam kalian.
12.Teman-teman di PD/PA Filipi. Terima kasih sudah menganggap
penulis sebagai bagian dari kalian.
13.Bang Deddi Hutauruk. Terima kasih dukungan, bantuanmu dan
kebersamaan kita selama ini. Semoga abang selalu mendapatkan yang
terbaik dalam hidup.
14.Alumni SMA N 2 Soposurung Balige khususnya lulusan tahun 2004
kelas 3 IPA 2. Semoga kita tetap saling mendukung di manapun kita
berada.
15.Para senior stambuk 2003 khususnya kak Mery dan kak Chay.
Teman-teman sesama stambuk 2004, terima kasih untuk kebersamaan kita
selama menjalani kuliah di kampus ini.
16.Seluruh teman-teman kost penulis di Marakas No.41,khususnya kak
17.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih
untuk setiap pertanyaan “kapan selesai?” yang tanpa sadar hal itu
menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulis sadar skripsi ini masih memiliki kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan masukan yang membangun untuk skripsi ini. Akhir kata
semoga skripsi ini bermanfaat.
Medan, Desember 2008
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR SKEMA ... ix
DAFTAR TABEL ... x
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang Masalah ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 7
I.3. Pembatasan Masalah ... 7
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
I.4.1. Tujuan Penelitian ... 7
I.4.2. Manfaat Penelitian ... 8
I.5. Kerangka Teori ... 8
I.5.1. Analisis Framing ... 8
I.5.2. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 10
I.5.3. Berita dan Konstruksi Realitas ... 12
I.6. Kerangka Konsep ... 15
I.7. Definisi Konsep ... 17
BAB II. URAIAN TEORITIS... 21
II.1. Paradigma Konstruktivis ... 21
II.2. Analisis Framing ... 29
II.3. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki .. 35
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 52
III.1. Deskripsi Objek Penelitian ... 52
III.1.1. Harian Waspada ... 52
III.1.1.1. Sejarah Berdirinya PT. Harian Waspada ... 52
III.1.1.2. Visi dan Misi PT. Harian Waspada ... 55
III.1.1.3. Prinsip-Prinsip Dasar PT. Harian Waspada ... 56
III.1.1.4. Badan Hukum PT. Harian Waspada... 57
III.1.1.5. Struktur Organisasi Redaksi PT. Harian Waspada... 58
III.1.2. Harian Analisa ... 59
III.1.2.1. Sejarah Berdirinya Harian Analisa ... 59
III.1.2.2. Visi, Misi, dan Motto... 61
III.1.2.3. Rubrik ... 63
III.1.2.4. Struktur Organisasi Harian Analisa ... 64
III.2. Metode Penelitian ... 65
III.2.1. Unit Penelitian ... 66
III.2.2. Teknik Pengumpulan Data ... 66
III.2.3. Unit dan Level Analisis ... 67
III.2.4. Teknik Analisis Data ... 67
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69
IV.1. Analisis Isi (Content Analysis) ... 69
IV.2. Analisis Framing ... 76
IV.2.1. Frame 1: Demo BBM Rusuh ... 77
IV.2.1.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 78
IV.2.2.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 93
IV.2.2.2. Analisis Framing terhadap Harian Analisa ... 100
IV.2.3. Frame 3: Respon Pemerintah/ Polisi terhadap Demo ... 107
IV.2.3.1. Analisis Framing terhadap Harian Waspada ... 107
IV.2.3.2. Analisis Framing terhadap Harian Analisa ... 115
IV.2.4. Frame 4: Berita yang Dimuat di Satu Media namun tidak Dimuat di Media Lainnya... 123
IV.2.4.1. FrameWaspada: Respon Pihak Oposisi terhadap Keputusan Pemerintah ... 123
IV.2.4.2. FrameAnalisa: Mahasiswa Menganiaya Polisi... 127
BAB V. PENUTUP V.1. Kesimpulan ... 130
V.2. Saran ... 132
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Kerangka Teori (Theorytical Framework)... 15
Skema 2. Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 16
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persentasi kemunculan berita demonstrasi mahasiswa terkait
kenaikan harga BBM di harian Waspada dan Analisa ... 70
Tabel 2. Porsi penyajian berita demonstrasi mahasiswa untuk daerah
Medan/ Sumatera dan luar Medan/ Sumatera oleh harian
Waspada ... 71
Tabel 3. Porsi penyajian berita demonstrasi mahasiswa untuk daerah
Medan/ Sumatera dan luar Medan/ Sumatera oleh harian Analisa 72
Tabel 4. Posisi penempatan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian
Waspada ... 73
Tabel 5. Posisi penempatan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian
Analisa ... 73
Tabel 6. Pola pengemasan berita demonstrasi mahasiswa oleh harian
Waspada ... 74
Tabel 12. Perangkat Penanda Frame Respon Pemerintah/ Polisi terhadap
Demo di Harian Waspada ... 114
Tabel 13. Perangkat Penanda Frame Respon Pemerintah/ Polisi terhadap
Demo di Harian Analisa ... 122
Tabel 14. Perangkat Penanda Frame Harian Waspada: Respon Pihak
Oposisi terhadap Keputusan Pemerintah ... 126
Tabel 15. Perangkat Penanda Frame Harian Analisa: Mahasiswa
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul Berita Demonstrasi Mahasiswa di Harian Waspada
dan Harian Analisa (Analisis Framing Terhadap Berita Demonstrasi Mahasiswa Terkait Kebijakan Naiknya Harga BBM di Harian Waspada dan Harian Analisa). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana konstruksi harian Waspada dan
Analisa terhadap berita demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM. Penelitian ini menggunakan 2 metodologi yang berbeda yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Fokus penelitian ini adalah pada analisis kualitatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruktivis. Sebagai awal/ pengantar penelitian digunakan analisis kuantitatif (analisis isi kuantitatif/ content analysis) yang bertujuan untuk mengukur data sebaran berita di harian Waspada dan
Analisa.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Dalam model ini perangkat penanda framing dibagi ke dalam 4 struktur besar.
Pertama, Struktur Sintaksis (headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup). Kedua, Struktur Skrip (5W + 1H). Ketiga, Struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat). Keempat, Struktur Retoris (kata, idiom, gambar/ foto, grafik).
Dalam penelitian ini yang menjadi unit penelitian adalah berita-berita seputar demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga BBM yang dimuat oleh harian Waspada dan harian Analisa selama bulan Mei sampai Juni 2008. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2008. Dalam penelitian ini, peneliti mencari isu-isu yang dimuat pada berita di kedua harian tersebut dan isu yang tidak dimuat di satu harian namun dimuat di harian lainnya. Lalu berita-berita tersebut dianalisis dengan perangkat frame yang telah ditentukan. Berdasarkan 2 jenis isu tersebut, berita yang diteliti di harian Waspada
berjumlah 21 berita, sedangkan di harian Analisa diteliti sebanyak 14 berita. Adapun isu yang dipilih peneliti adalah: Demo BBM rusuh, Insiden Unas, dan Respon Pemerintah, Polisi terhadap Demo.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan wartawan harian Waspada
dan Analisa. Wawancara bertujuan untuk mengetahui pembingkaian wartawan dan redaksi kedua harian tersebut terhadap berita demonstrasi mahasiswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa harian Waspada dan Analisa
melakukan pemaknaan, pemahaman, dan pengkonstruksian tersendiri atas berita demonstrasi mahasiswa yang ada. Konstruksi harian Waspada menunjukkan penonjolan pada isu kerusuhan dan anarkisme demo sedangkan harian Analisa
menonjolkan isu respon pemerintah, polisi terhadap demo. Perbedaan pandangan atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga ditunjukkan di mana harian Waspada menganggap kebijakan tersebut belum tepat, sebaliknya harian
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Media massa merupakan sumber informasi yang sangat penting bagi
manusia. Media massa merupakan alat bantu bagi masyarakat untuk membantu
masyarakat dalam menyelesaikan gejala-gejala sosial/ kebutuhan-kebutuhan
sosial. Di jaman teknologi modern seperti sekarang ini, manusia pun mampu
menciptakan alat-alat modern yang memudahkan mereka untuk mendapatkan
informasi. Misalnya internet, televisi (baik yang berbayar ataupun tidak), radio,
dan lain-lain. Melalui media, manusia mampu berinteraksi atau berhubungan
dengan orang di belahan dunia lain. Media juga dianggap penting dalam semua
sistem masyarakat karena dianggap mampu memberi/ menciptakan second reality.
Dalam berbagai analisis tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik,
media sering ditempatkan sebagai salah satu variabel determinan. Bahkan , media,
terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang
sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial dan
politik. Dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl Deutsch
menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government). Hanya
mereka yang mempunyai akses kepada informasi yang bakal menguasai
percaturan kekuasaan (Sobur, 2004: 31).
Bagi sebagian orang media mungkin dianggap sebagai wadah untuk
menampung aspirasi rakyat (demokrasi). Sebagian orang lain menganggap media
Media massa tidak menunggu peristiwa lalu mengejar, memahami kebenarannya
dan memberitakannya kepada publik. Ia mendahului semua itu. Ia menciptakan
peristiwa. Menafsirkan dan mengarahkan terbentuknya kebenaran. Tidak selalu
untuk melayani kepentingan pihak-pihak tertentu secara setia dan terkontrol
(Sobur, 2004: 33).
Ada juga orang-orang yang menganggap media sebagai kekuatan keempat
dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik sebuah Negara (the fourth estate).
Sebagai alat untuk menyampaikan berita dan informasi tentang berbagai hal,
media mampu membentuk opini publik dalam menyikapi suatu peristiwa. Abrar
menyatakan, sebagai sponsor opini khalayak, pers (media) perlu berperilaku fair
(jujur) dan modesty (rendah hati). Perilaku fair akan menjamin berita objektif,
akurat dan berpihak pada kebenaran. Sedangkan perilaku modesty akan menjamin
lahirnya berita yang cermat dan tidak emosional (Abrar, 1997: 8). Namun hal
penting yang patut diketahui adalah media (wartawan) tidak pernah bisa membuat
pemberitaan yang netral dan seobjektif mungkin. Hal ini disebabkan karena ada
kepentingan-kepentingan lain (misalnya kepentingan media, pemilik media, atau
wartawan sendiri) yang terdapat dalam sebuah pemberitaan media massa.
Akhir-akhir ini media massa sedang ramai mengangkat pemberitaan
tentang kenaikan harga BBM. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan
masyarakat yang sangat penting sehingga saat isu kenaikan BBM muncul,
kebijakan tersebut menuai banyak penolakan. Penolakan ini muncul terutama dari
kalangan masyarakat menegah ke bawah, alasannya adalah di samping kenaikan
memicu naiknya harga kebutuhan-kebutuhan lain seperti sembako, tarif angkutan,
dan lain-lain.
Pemerintah sendiri menilai kebijakan untuk menaikkan harga BBM
memang harus dilakukan akibat tingginya harga minyak dunia. Presiden dalam
pidatonya pernah menyebutkan agar rakyat memahami bila pemerintah
memutuskan menaikkan harga BBM. Dan walaupun terjadi berbagai aksi
penolakan, akhirnya pada tanggal 23 Mei 2008 harga BBM resmi naik sebanyak
28,7 %.
Pemerintah mengakui naiknya harga BBM sangat berpengaruh terhadap
aspek-aspek kehidupan masyarakat, khususnya yang menengah ke bawah. Oleh
karena itu pemerintah telah mempersiapkan kompensasi yaitu memberikan BLT
(Bantuan Langsung Tunai) sebanyak Rp. 100.000,- per bulan bagi masyarakat
miskin. Namun, banyak pihak menganggap BLT bukanlah jalan keluar bagi
masyarakat. Bercermin dari kebijakan pemberian BLT setelah naiknya BBM
tahun 2005, pemberian dana BLT tidak merata bagi seluruh masyarakat miskin,
bahkan jadwal pemberian BLT tidak tepat pada waktunya. Keadaan tersebut
memunculkan anggapan bahwa BLT tidak efektif dalam meringankan beban
masyarakat miskin. Sebaliknya dikhawatirkan jumlah masyarakat miskin semakin
meningkat.
Berbagai lapisan masyarakat mulai dari LSM, mahasiswa, buruh. ibu-ibu,
tukang becak, dan supir angkutan umum berunjuk rasa menolak naiknya harga
BBM. Tidak hanya sebelum harga BBM dinyatakan naik, pasca kebijakan
tersebut aksi protes pun tetap terjadi di mana-mana. Aksi protes tersebut
mulut, mogok makan, dan lain-lain. Berbagai upaya dilakukan dengan harapan
pemerintah mau “melihat ke bawah” dan mengubah kebijakannya. Salah satu
elemen masyarakat yang menonjol dalam aksi penolakan kenaikan harga BBM
adalah mahasiswa. Mahasiswa secara bergantian berunjuk rasa menolak kebijakan
tersebut. Salah satu situs internet membuat pernyataan bahwa bagi mahasiswa,
pemberian BLT bagi masyarakat miskin dianggap sebagai cara untuk
membungkam gejolak di masyarakat terkait dengan kenaikan harga BBM.
Namun, tidak semua aksi protes terhadap kenaikan harga BBM berlangsung aman
dan damai. Bahkan banyak yang berakhir ricuh, bentrok dengan petugas
keamanan, dan mengakibatkan jatuhnya korban.
Kerusuhan serta bentrok antara mahasiswa Universitas Nasional dan
aparat polisi mengawali hari pertama dikeluarkannya kebijakan pemerintah
menaikkan harga BBM. Mahasiswa memprotes kebijakan tersebut dengan
berunjuk rasa sejak malam di kampus Unas. Unjuk rasa berakhir ricuh di mana
terjadi tindakan-tindakan anarkis: melempari bom Molotov, botol, dan batu. Aksi
mahasiswa tersebut dibalas polisi dengan menyerang mahasiswa sampai ke
kampus Unas. Polisi juga melakukan tindakan anarkis dengan melakukan
pemukulan, penangkapan terhadap mahasiswa, dan pengrusakan fasilitas kampus.
Demonstrasi mahasiswa terus berlangsung di beberapa tempat di Indonesia
dan tidak sedikit yang berakhir ricuh. Aksi bakar ban, lempar batu dengan pihak
aparat pun mewarnai demonstrasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM.
Terkait dengan tingginya tingkat keseringan demonstrasi mahasiswa yang
berakhir ricuh, muncul berbagai pendapat, penilaian terhadap aksi mahasiswa.
mengakibatkan kemacetan lalu-lintas dan berujung kekerasan. Anarkisme yang
dilakukan mahasiswa dalam berbagai aksi unjuk rasa dinilai kontra produktif.
Aksi anarkis bisa menghilangkan dukungan masyarakat yang merupakan modal
utama mencapai tujuan demonstrasi
(http://hariansib.com/2008/05/29/mahasiswa-aniaya-polisi-di-kampus-moestopo/). Mantan Ketua Umum PB Himpunan
mahasiswa Islam periode 2003-2005, Hasanuddin menghimbau semua eksponen
mahasiswa semua sikap kritis yang sebagaimana terekspresi antara lain dalam
demonstrasi mulai berlangsung secara santun dan tidak merugikan rakyat yang
dibelanya. Menurutnya, aksi demonstrasi sudah memakan banyak korban
sehingga mahasiswa harus mengukur lagi efektivitas penyampaian aspirasi
dengan cara-cara kekerasan
(http://beritasore.com/2008/25/08/alumni-hmi-seyogianya-aksi-demonstrasi-mahasiswa-berlangsung-santun/).
Dukungan terhadap aksi mahasiswa juga bermunculan. Beberapa pihak
berpendapat bahwa demostrasi yang dilakukan adalah untuk membela hak rakyat
khususnya rakyat miskin. Ada juga yang menyatakan mahasiswa pada awalnya
tidak berniat untuk melakukan aksi anarkis dalam kegiatan unjuk rasa. Ada
anggapan bahwa kemungkinan ricuh dalam aksi demonstrasi mahasiswa terjadi
karena ditunggangi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu lewat
demonstrasi tersebut, dan akibatnya citra demonstrasi mahasiswa menjadi buruk.
Banyak ungkapan yang muncul tentang aksi demonstrasi mahasiswa.
Media massa (pers) dalam setiap pemberitaannya pun dapat menimbulkan
citra-citra tersendiri bagi pihak yang diberitakan, seperti mahasiswa. Media memang
dituntut untuk membuat berita yang real yaitu fakta yang sesungguhnya terjadi di
realitas media berbeda dengan realitas sesungguhnya. Ada fakta-fakta yang
diangkat menjadi berita ada juga yang tidak. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya,
siapa narasumber yang ditanyai, isu-isu apa yang dominan diangkat dari suatu
peristiwa, posisi berita dalam surat kabar, dan lain-lain.
Berita pada dasarnya dibentuk lewat proses aktif dari pembuat berita
(Eriyanto, 2002: 91). Peristiwa-peristiwa yang kompleks, tidak beraturan diolah
sedemikian rupa dan dibuat supaya beraturan dan bermakna lewat skema
interpretatif wartawan. Wartawan berusaha mengembangkan beritanya sehingga
peristiwa yang tidak menarik sekalipun menjadi menarik dan bermakna.
Setiap media memiliki ideologi masing-masing dalam memaknai dan
memahami suatu peristiwa. Harian Waspada dan Analisa, seperti halnya media
lain, juga memiliki perspektif sendiri dalam menulis berita. Perbedaan segmen
pembaca dan “kuat” di segmen berita (misalnya: politik, ekonomi, dan lain-lain)
mampu membuat media mengarahkan suatu peristiwa sesuai dengan segmen
tersebut. Dengan perbedaan ideologi, 1 (satu) fakta yang sama dapat diberitakan
secara berbeda oleh media yang berbeda, misalnya peristiwa demonstrasi
mahasiswa karena naiknya harga BBM.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana
harian Waspada dan harian Analisa mengemas peristiwa demonstrasi mahasiswa
terkait kebijakan naiknya harga BBM menjadi berita yang akhirnya menurut
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimanakah aksi demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga
BBM dikonstruksi oleh harian Waspada dan harian Analisa?”.
I.3. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari permasalahan yang terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian, penulis membatasi masalah yang akan diteliti sebagai
berikut:
1. Penelitian terbatas hanya dilakukan terhadap harian Waspada dan harian
Analisa edisi 1 Mei 2008-30 Juni 2008,
2. Berita-berita yang diteliti terbatas pada berita tentang aksi mahasiswa
terkait penolakan terhadap kebijakan naiknya harga BBM,
3. Penelitian ini bersifat kualitatif/ konstruktivis,
4. Penelitian menggunakan analisis framing dengan menggunakan model
analisis Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.4.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perspektif atau ideologi media Waspada dan
Analisa dalam menulis berita demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan
2. Untuk mengetahui bagaimana harian Waspada dan harian Analisa
mengemas pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa terkait
kebijakan naiknya harga BBM.
3. Untuk mengetahui bagaimana harian Waspada dan harian Analisa
mengonstruksi demonstrasi mahasiswa terkait kebijakan naiknya harga
BBM.
I.4.2. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat serta
memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan di lingkungan
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya kajian-kajian
tentang analisis framing,
2.Secara teoritis, peneliti dapat menerapkan ilmu yang diperoleh selama
menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU dan menambah
wawasan peneliti mengenai konstruksi media terhadap suatu berita,
3.Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pembaca surat kabar dan media Waspada serta media Analisa.
I.5. Kerangka Teori
Setiap metode ataupun pendekatan selalu didasari oleh
pemikiran-pemikiran ataupun teori-teori yang digunakan sebagai pijakan berpikir. Salah satu
fungsi utama teori ialah memberikan fondasi dalam berpikir ilmiah (Sarwono,
I.5.1. Analisis Framing
Framing adalah metode penyajian realitas di mana kebenaran suatu
realitas tidak diingkari secara total melainkan dibelokkan secara halus dengan
memberikan sorotan-sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan
menggunakan istilah yang mempunyai konotasi tertentu dan dengan bantuan foto,
karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2001: 186).
Gagasan mengenai framing pada awalnya dikemukakan oleh Baterson
tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta
yang menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Tahun
1974, Goffman mengembangkan konsep frame sebagai kepingan-kepingan
perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca
realitas.
Seperti layaknya kalau kita melihat lewat jendela, seringkali batasan
pandangan menghalangi kita untuk melihat realitas yang sesungguhnya. Melalui
berita, kita mengetahui apa yang terjadi di daerah manapun di dunia. Melalui
media, kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik di Jakarta,
kehidupannya, kegiatannya. Tetapi apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, dan
apa yang kita rasakan mngenai dunia itu tergantung pada jendela apa yang kita
pakai. Pandangan lewat jendela itu, tergantung pada apakah jendela yang kita
pakai besar atau kecil. Jendela yang besar dapat melihat lebih luas, sementara
jendela yang kecil membatasi pandangan kita. Apakah jendela itu berjeruji atau
tidak. Apakah jendela itu dapat dibuka lebar ataukah hanya dapat dibuka
kah kita hanya bisa mengintip dari balik jerujinya. Yang paling penting, apakah
jendela itu terletak dalam rumah yang punya posisi tinggi ataukah dalam rumah
yang terhalang oleh rumah lain. Dalam berita, jendela itu yang kita sebut sebagai
frame atau bingkai (Eriyanto, 2004: 4).
Pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat
bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media
memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan.
Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun,
media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke
permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita
yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif
dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang
legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan (Imawan, dalam Sobur,
2004: 162).
Sasaran dari analisis framing, sebagai salah satu metode analisis wacana,
adalah menemukan “aturan dan norma” yang tersembunyi di balik sebuah teks.
Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui perspektif atau pendekatan yang
dipergunakan oleh sebuah media dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa.
Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan
diorganisir, digunakan, dan dipahami (Hamad, 2004: 2003)
I.5.2 Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
Model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik
tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing
didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan
informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu
(Eriyanto, 2004: 252).
Menurut Pan dan Kosicki ada 2 dari konsepsi framing yang saling
berkaitan yaitu konsepsi psikologi (internal individu) dan kosepsi sosiologis
(social). Bagaimana kedua konsepsi yang berlainan tersebut dapat digabungkan
dalam suatu model dijelaskan dan dilihat dari bagaimana suatu berita diproduksi
dan peristiwa dikonstruksi oleh wartawan. Dalam mengkonstruksi suatu realitas
wartawan tidak hanya menggunakan konsepsi yang ada dalam dirinya semata.
Namun proses konstruksi juga melibatkan nilai-nilai sosial yang melekat dalam
diri wartawan, khalayak yang akan membaca berita, dan ditentukan juga oleh
proses produksi yang melibatkan standard kerja, profesi jurnalistik, dan standard
profesional dari wartawan.
Dengan cara apa wartawan atau media menonjolkan pemaknaan atau
penafsiran mereka atas suatu peristiwa? Wartawan memakai secara strategis kata,
kalimat, lead, hubungan antar kalimat, foto, grafik, dan perangkat lain untuk
membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami
oleh pembaca (Eriyanto, 2004: 254). Model Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa
I.5.3. Berita dan Konstruksi Realitas
Ada banyak definisi berita yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut
Astrid S. Susanto Sunario berita adalah suatu pelaporan tentang suatu kejadian
yang dianggap penting (Sunario, 1993: 159). Mitchell V. Charnley
mendefinisikan berita yaitu laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang
menarik atau penting atau keduanya, bagi sejumlah besar orang (Kusumaningrat,
2005: 39). Dalam definisi jurnalistik, Assegaff menyatakan berita adalah laporan
tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian
untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar
biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup
segi-segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan (Assegaf, dalam
Sumadiria, 2005: 64-65).
Berita lahir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Namun, tidak
semua peristiwa layak atau mempunyai nilai berita. Beberapa elemen nilai berita
yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah (Santana, 2005: 18-20):
1. Immediacy, kerap diistilahkan dengan timelines. Artinya terkait dengan
kesegeraan peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan
sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi. Bila peristiwanya
terjadi beberapa waktu lalu, hal ini dinamakan sejarah. Unsur waktu
amat penting di sini.
2. Proximity, adalah kedekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa
dalam keseharian hidup mereka. Khalayak berita akan tertarik dengan
berbagai peristiwa yang terjadi di dekatnya, di sekitar kehidupan
3. Consequence, berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita
yang mengandung nilai konsekuensi. Lewat berita kenaikan gaji
pegawai negeri, kenaikan harga BBM, masyarakat dengan segera akan
mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi
sehari-hari yang harus mereka hadapi.
4. Conflict, perseteruan antarindividu, antartim atau antarnegara
merupakan elemen-elemen natural dari berbagai berita-berita yang
mengandung konflik.
5. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi (unussualness) ialah sesuatu
yang akan diperhatikan segera oleh masyarakat.
6. Seks, kerap seks menjadi satu elemen utama dari sebuah pemberitaan.
Segala hal yang berhubungan dengan seks pasti menarik dan menjadi
sumber berita.
7. Emotion, sering disebut elemen human interest. Elemen ini
menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan,
simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau tragedi.
8. Prominence, elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar intilah
“names make news” (nama membuat berita). Segala sesuatu yang
berhubungan dengan orang terkenal (public figure, pejabat, pembuat
kebijakan, dan lain-lain) akan dibuu berita.
9. Suspense, elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu
terhadap sebuah peristiwa oleh masyarakat. Kisah berta yang
menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting.
Dalam ilmu komunikasi sebagai payung dunia jurnalisme, sebenarnya ada
dua cara pandang berbeda dalam melihat konsep yang bernama “berita”. Pertama,
berita sebagai hasil konstruksi realitas dari suatu proses manajemen produksi
institusi media setak surat kabar ataupun majalah. Kedua, berita sebagai hasil
rekonstruksi realitas yang akan melibatkan produksi dan pertukaran makna
(Birowo, 2004: 168-169).
Ahli sosiologi, Gaye Tuchman dalam bukunya Making News, menyatakan
bahwa berita merupakan konstruksi realitas sosial. Tindakan membuat berita, kata
Tuchman adalah tindakan mengkonstruksi realita itu sendiri, bukan penggambaran
realita. Dia menekankan bahwa berita adalah sekutu bagi lembaga-lembaga yang
berlegitimiasi dan bahwa berita juga melegitimasi status quo (Severin, 2007: 400).
Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka dapat dibuat skema yang dapat
Skema 1. Kerangka Teori (Theorytical Framework)
I.6. Kerangka Konsep
Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga
dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama
(Singarimbun, 1995: 17). Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang
bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan
dicapai (Nawawi, 1995: 40). Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan
analisis framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M.
Kosicki.
Analisis Framing Model Pan dan Kosicki
Informasi
Proses Produksi Berita oleh Media
Pola Konstruksi Realitas
STRUKTUR
Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
I.7. Definisi Konsep
1. Sintaksis
Dalam pengertian umum, sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam
kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian
susunan bagan berita-headline, lead, latar informasi, sumber, penutup-
dalam suatu kesatuan teks berita secara keseluruhan.
Unit yang diamati dari struktur sintaksis adalah:
a. Headline
Berita yang menjadi topik utama media.
b. Lead
Alinea pembuka atau alinea pertama suatu berita. Lead atau teras
berita berisi pokok-pokok penting yang dapat mewakili isi berita.
c. Latar informasi
Merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang
ingin ditampilkan wartawan. Wartawan ketika menulis berita
biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis.
Latar yang dipilih menentukan arah mana pandangan khalayak
hendak dibawa.
d. Kutipan sumber berita
Orang atau hal-hal yang dijadikan sumber berita. Dimaksudkan
untuk membangun objektivitas prinsip keseimbangan dan tidak
memihak. Ia juga merupakan bagian berita yang menekankan bahwa
apa yang ditulis oleh wartawan bukan pendapat wartawan semata,
Pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing atas tiga hal.
Pertama, mengklaim validitas atau kebenaran dari pernyataan yang
dibuat dengan mendasarkan diri pada klaim otoritas akademik.
Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada
pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau
pandangan tertentu yang dihubungkan dengan kutipan atau
pandangan mayoritas sehingga pandangan tersebut tampak sebagai
menyimpang.
e. Pernyataan
Merupakan kalimat-kalimat yang dibuat untuk mendukung isi berita.
f. Penutup
Bagian akhir berita.
2. Skrip
Skrip berhubungan dengan bagaimana strategi cara bercerita atau
bertutur wartawan dalam mengisahkan/ menceritakan peristiwa ke
dalam bentuk berita.
Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah unsur kelengkapan berita,
yaitu:
a. Who (siapa), siapa yang terlibat
b. What (apa), apa peristiwa yang diberitakan
c. When (kapan), waktu terjadinya peristiwa
d. Where (dimana), lokasi peristiwa
e. Why (mengapa), mengapa bisa terjadi
3. Tematik
Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis,
bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke
dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk
teks secara keseluruhan.
Tematik memiliki perangkat framing:
a. Detail
Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang
ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara
berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang
baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi yang tidak
menguntungkan dirinya dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu
tidak disampaikan)
b. Koherensi
Merupakan elemen untuk melihat bagaimana seseorang secara
strategis menggunakan perangkat bahasa untuk menjelaskan fakta
atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah,
berhubungan, atau sebab-akibat.
c. Bentuk kalimat
Bentuk kalimat dipakai untuk menjelaskan fakta yang ada,
berhubungan dengan kalimat pasif atau kalimat aktif dan kalimat
d. Kata ganti
Kata pengganti subjek atau objek dalam suatu kalimat, misalnya :
aku, dia., mereka, itu, dan lain-lain.
4. Retoris
Struktur retoris suatu wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau
kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin di
tonjolkan. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memaknai
pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya
mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada
pembaca.
Retoris memiliki perangkat framing sebagai berikut:
a. Leksikon
Pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau
menggambarkan peristiwa.
b. Grafis
Biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan
tulisan yang lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian
garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar,
termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik,
gambar, tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.
c. Metafora
BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1. Paradigma Konstruksionis
Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog
interpretative, Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak menulis
karya dan menghasilkan tesis mengenai konsruksi sosial atas realitas. Tesis utama
dar Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis,
dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia,
namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya.
Sebaliknya manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru
menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam
masyarakatnya.
Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu
menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut
proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa (Eriyanto,
2004: 14-15). Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri
manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah
menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di
mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang
lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses
inilah dihasilkan suatu dunia─dengan kata lain, manusia menemukan dirinya
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun
fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas
objektif yang bisa jadi akan mengahadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu
faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.
Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi realitas sui generis. Hasil dari
eksternalisasi ─kebudayaan─ itu misalnya, manusia menciptakan alat demi
kemudahan hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik
alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan
dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik
benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang
objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk
kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar
kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda
dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa
dialami oleh setiap orang.
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif
individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia
yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebaga gejala realitas di luar
kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui
internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu
yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi.
mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang
mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan
pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan
konstruksi masing-masing. Selain plural, komstruksi sosial itu juga bersifat
dinamis (Eriyanto, 2004: 15).
Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah
realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis
pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau
realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam
studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai
paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan
paradigma positivis/ paradigma transmisi (Eriyanto, 2004: 37).
Kalau asumsi trasmisi melihat komunikasi sebagai proses penyebaran
(pengiriman dan penerimaan pesan), maka paradigma konstruksionis melihat
komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian
bukan bagaimana orang mengirimkan pesan, tetapi bagaimana masing-masing
pihak dalam lalu-lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan
makna. Di sini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling
dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama
antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan
dengan konteks sosial di mana mereka berada (Eriyanto, 2004: 40).
Pendekatan konstruksionis memusatkan perhatian kepada bagaimana
seseorang membuat gambaran mengenai sebuah peristiwa politik, personalitas,
lembaga atau kelompok mempunyai peran yang sama dalam menafsirkan dan
mengkostruksi peristiwa politik (Eriyanto dalam Bungin, 2003: 155).
Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama,
pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses
bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah suatu
yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah
suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua,
pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang
dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan
dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana
konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan
sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam
menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan
tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator
dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan,
memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks
pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2004: 40-41).
Dalam konteks berita, sebuah teks tidak bisa kita samakan seperti sebuah
kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas.
Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara
berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan pemaknaan yang
berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana
mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita
arti yang riil. Di sini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah
produk interaksi antara wartawan dengan fakta (Eriyanto, 2004: 17).
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana
media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu per
satu di bawah ini.
Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis,
realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep
subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari
wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif., karena realitas itu
tercipta lewat konstruksi dari pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda,
tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan
yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu
yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta/ realitas pada
dasarnya dikonstruksi.
Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas
bergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi.
Dalam kata-kata yang ekstrim, realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana
ia dilihat. Pikiran dan konsepsi kitalah yang membentuk dan mengkreasikan fakta
yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda
(Eriyanto, 2004: 20-21).
Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis media
bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksikan
realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini media
Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan seolah-olah media
sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan
realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi
dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut
membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Kalau ada demonstrasi
mahasiswa selalu diberitakan dengan anarkime, itu bukan menunjukkan realitas
sebenarnya, tetapi juga menggambarkan bagaimana media ikut berperan dalam
mengkonstruksikan realitas. Apa yang tersaji dalam berita, dan kita baca tiap hari,
adalah produk dari pembentukan realitas media. Media adalah agen yang secara
aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2004: 23).
Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari
realitas. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita itu ibaratnya sebagai
drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan
antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil dari
konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai
dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat
bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan
selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan
pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang
berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda
Berita bersifat subjektif/ konstruksi atas realitas. Pandangan
konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai subjektivitas
jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah
dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Berita bersifat subjektif dan opini
tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput wartawan melihat dengan perspektif
dan pertimbangan subjektif. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi
berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda
pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standard tidak bisa dipakai. Kalau ada
perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap
sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas suatu
realitas (Eriyanto, 2004: 27).
Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas. Dalam
pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral
dan keberpihakannya; karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam
pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan
juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam
banyak kasus: topik apa yang diangkat dan siapa yang diwawancarai disediakan
oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata bagian
dari pilihan profesioanal individu. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan
juga dipandang sebagai aktor/ agen konstruksi. Wartawan bukan hanya
melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa. Sebagai aktor
sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif
membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka.
Wartawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja. Karena
dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, dalam
berada di luar diri wartawan. Realitas bukanlah sesuatu yang “berada di luar”
Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana
proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya, bersifat subjektif, yang
terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan (Eriyanto,
2004: 28-30).
Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang
integral dalam produksi berita. Dalam pendekatan konstruksionis, aspek etika,
moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media.
Wartawan bukanlah robot yang memilih apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan
moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai-
tertentu ─ umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu ─ adalah bagian integral
dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksikan realitas.
Wartawan di sini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi
partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena
fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi
mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati
(Eriyanto, 2004: 32).
Nilai, etika dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral
dalam penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe
konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang
bebas nilai. Pilihan, etika, moral atau keberpihakan peneliti mejadi bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari proses penelitian. Peneliti adalah entitas dengan
berbagai nilai dan keberpihakan yang berbeda-beda. Karenanya, bisa jadi objek
yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan
temuan yang berbeda pula (Eriyanto, 2004: 33-34).
Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Dalam
pandangan konstruksionis khalayak dipandang bukanlah subjek yang pasif. Ia
adalah subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa
Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/ berita yang dibaca
oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna
lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat
berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan.
Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang
sama. Kalau saja makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna
terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi (Eriyanto,
2004: 35).
II.2. Analisis Framing
Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson tahun
1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, yang
menyediakan kategori-kategori standard untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini
kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan
frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behaviour) yang
membimbing individu dalam membaca realitas (Sudibyo, 2001: 219).
G. J. Aditjondro dalam sudibyo (2001: 222) menyatakan bahwa framing
secara total melainkan dibelokkan secara halus dengan memberikan
sorotan-sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja dengan menggunakan istilah yang
mempunyai konotasi tertentu dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi
lainnya (Sudibyo, 2001: 186).
Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas
dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu, frame sering
diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi
makna spesifik tentang objek wacana. Framing secara umum dirumuskan sebagai
proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang
tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan agar aspek itu menjadi lebih
noticeable, meaningfull, dan memorable bagi khalayak. Framing juga dapat
dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas
sehingga elemen isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dalam kognisi
individu, sehingga lebih besar pula kemungkinannya untuk mempengaruhi
pertimbangan individu (individual judgment). Proses framing lebih dari sekedar
proses rekonstruksi dan interpretasi realitas. Dalam pandangan Charlotte Ryan,
framing pada dasarnya adalah proses perekayasaan peristiwa, serta proses
menandai apa yang signifikan dari peristiwa –sehari-hari (Sudibyo, 2001: 221).
Framing, seperti dikatakan Todd Gitlin, adalah sebuah strategi bagaimana
realitas/ dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan
kepada khalayak pembaca. Peristiwa-perisiwa ditampilkan dalam pemberitaan
agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah
prinsip dari seleksi, penekanan, dan presentasi dari realitas. Menurut Gitlin, frame
hari yang sering kali kita lakukan. Setiap hari jurnalis berhadapan dengan
beragam peristiwa dengan berbagai pandangan dan kompleksitasnya. Lewat
frame, jurnalis mengemas peristiwa yang kompleks itu menjadi peristiwa yang
dapat dipahami, dengan perspektif tertentu dan lebih menarik perhatian khalayak.
Frame media dengan demikian adalah bentuk yang muncul dari pikiran (kognisi),
penafsiran, dan penyajian, dari seleksi, penekanan, dan pengucilan dengan
menggunakan simbol-simbol yang dilakukan secara teratur dalam wacana yang
terorganisir, baik dalam bentuk verbal maupun visual. Dengan frame, jurnalis
memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya
sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada
khalayak (Eriyanto, 2004: 68-69).
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/ realitas. Proses
memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin memilih
peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).
Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang
diberitakan dan bagian mana dari realitas ang tidak diberitakan ? penekanan aspek
tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan
melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek
lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan
konstruksi atas suatu peristiwa bias jadi berbeda antara satu media dengan media
lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan
menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana
fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan
kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa,
dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan
pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di
headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk
mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika
menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi dengan simbol
budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar,
dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan
realitas. Pemakaian kata, kalimat, atau foto itu merupakan implikasi dari memilih
aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi
menonjol, lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek
yang lain. Semua aspek itu, dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari
konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 2004:
69-70).
Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari
lapangan psikologi dan sosiologi. Namun, secara umum teori framing dapat
dilihat dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi.
Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh
media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas yang begitu
kompleks dan penuh dimensi, ketika dimuat dalam berita bisa jadi akan menjadi
realitas satu dimensi. Perbedaan muncul karena realitas pada dasarnya bukan
tersebut ada banyak penafsiran dan pemaknaan yang berbeda-beda dalam
memahami realitas. Analisis framing membantu kita untuk mengetahui bagaimana
realitas/ peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga
menghasilkan berita yang secara radikal berbeda.
Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang
kompleks, penuh dimensi, dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai
sesuatu yang sederhana beraturan dan memenuhi logika tertentu. Framing
menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang
dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses
informasi ke dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu.
Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang
tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya dan dikenal dalam benak mereka.
Teori framing menunjukkan bagaimana jurnalis membuat simplifikasi, prioritas,
dan struktur tertentu dari peristiwa. Karenanya framing menyediakan kunci
bagaimana peristiwa dipahami oleh media dan ditafsirkan ke dalam bentuk berita.
Karena media melihat peristiwa dari kacamata tertentu maka realitas setelah
dilihat khalayak adalah realitas yang sudah terbentuk oleh bingkai media. Di sini
media cenderung melihat realitas sebagai sesuatu yang sederhana. Misalnya,
liputan terorisme yang kompleks disederhanakan sebagai tindakan tidak bermoral.
Konflik etnis, rasial, diberitakan semata sebagai konflik atau kerusuhan (Eriyanto,
2004: 140).
Ada beberapa hal yang menjadi ciri suatu frame antara lain, menonjolkan
aspek tertentu-mengaburkan aspek lain. Framing umumnya ditandai dengan
fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya,
ada aspek lainnya yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Pemberitaan
suatu peristiwa dari perspektif politik misalnya, mengabaikan aspek lain:
ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Menampilkan sisi tertentu-melupakan sisi lain. Sebut misalnya
pemberitaan media mengenai aksi mahasiswa. Berita misalnya, banyak
menampilkan bagaimana demonstrasi akhirnya diwarnai dengan bentrokan. Berita
secara panjang lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekad
menembus barikade, dan akhirnya diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang
luka-luka. Dengan menampilkan sisi seperti ini dalam berita, ada sisi lain yang
dilupakan. Yakni, apa tuntutan dari mahasiswa tersebut? Seolah dengan
menggambarkan berita seperti itu, demonstrasi tersebut tidak ada gunanya.
Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat keributan
saja di tengah masyarakat. Berita misalnya, ditandai dengan gerutuan sopir
angkutan yang tidak suka dengan demonstrasi karena menyebabkan kemacetan,
dan sebagainya. Di sini, menampilkan aspek terterntu menyebabkan aspek lain
yang penting dalam memahami relaitas tidak mendapatkan liputan yang memadai
dalam berita.
Menampilkan aktor tertentu-menyembunyikan aktor lainnya. Berita
sering kali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu saja tidak
salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau
aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam
Sasaran dari analisis framing, sebagai salah satu metode analisis wacana,
adalah menemukan “aturan dan norma” yang tersembunyi di balik sebuah teks.
Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui perspektif atau pendekatan yang
dipergunakan oleh sebuah media dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa.
Analisis ini membantu kita melihat secara lebih mendalam bagaimana pesan
diorganisir, digunakan, dan dipahami (Hamad, 2004: 2003)
II.2. Analisis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
Model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks,
media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik
tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing
didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan
informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu
(Eriyanto, 2004: 252).
Pan dan Kosicki menilai, sebagai suatu metode analisis isi, analisis
framing agak berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam analisis isi
kuantitatif. Pertama, analisis isi tradisional melihat teks berita sebagai hasil
stimuli psikologis yang objektif, dan karenanya maknanya dapat diidentifikasi
dengan ukuranyang objektif pula. Sebaliknya dalam analisis framing, teks berita
dilihat terdiri dari berbagai simbol yang disusun lewat perangkat simbolik yang
dipakai yang akan dikonstruksi dalam memori khalayak. Dengan kata lain, tidak
ada pesan atau stimuli yang bersifat objektif, sebaliknya teks berita dilihat sebagai