ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TENTANG CALON INDEPENDEN DI DALAM
UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
TESIS
Oleh
AGUS SUSANTO
087011014/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TENTANG CALON INDEPENDEN DI DALAM
UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
AGUS SUSANTO
087011014/MKn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Judul Tesis
HALAMAN PENGESAHAN
: ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG CALON INDEPENDEN DI DALAM UNDANG-UNDANG
NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN
DAERAH
Nama Mahasiswa
:
AGUS SUSANTONIM
Program Studi
: 087011014
:
MAGISTER KENOTARIATANMenyetujui Komisi Pembimbing
Prof. SYAMSUL ARIFIN,S.H.,M.H Ketua
Dr.FAISAL AKBAR.,S.H.,M.Hum Dr.PENDASTAREN TARIGAN.,S.H.,M.S Anggota
Ketua Program Studi
Mengetahui
Anggota
Dekan
Prof.Dr. M. YAMIN.,S.H.,C.N.,M.S Prof.Dr. Runtung, SH, MHum
Tanggal lulus: 5 September 2009
Telah diuji pada
Tanggal : 5 September 2009
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
Anggota
: Prof. Syamsul Arifin,SH,MH
: 1. Dr.Faisal Akbar.,SH.,Mhum
2. Dr.Pendastaren Tarigan.,SH.,MS
3. Prof.Dr.M.Yamin.,SH.,CN.,MS
4. Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum
ABSTRAK
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menghasilkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan dibenarkan adanya calon perseorangan. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah wujud demokrasi yang menitikberatkan kebebasan memilih Kepala Daerah Hukum dan proses pemilihan Kepala Daerah Hukum dalam proses pertarungan
yang bebas. Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut di atas maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
1. Sejauh mana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang?
2. Bagaimana pengaturan pemilihan Kepala Daerah dalam perundang-undangan?
3. Bagaimana Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon
Perseorangan?
Hasil penelitian menunjukkan 1).Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang setelah diamandemenkannya UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji secara judicial review terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif ataupun yudikatif sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 2). Pengaturan pemilihan Kepala Daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka Calon Kepala Daerah tidak selamanya harus dari partai politik atau gabungan partai politik melainkan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan yang memiliki pengaruh kepada masyarakat untuk dipilih menjadi kepala daerah dan menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik, terkadang calon independen lebih baik dari partai politik karena kedekatannya kepada masyarakat sehingga pembangunan yang berbasis kemasyarakatan dapat terlaksana dengan baik yakni gotong-royong, koperasi, serta kekeluargaan, 3) Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Calon Perseorangan adalah dengan memakai dasar hukum Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, ” Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, dengan tidak ada kecualinya ”, serta Pasal 28D Ayat (3) berbunyi , ” Setiap Warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. ”
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar : a) Kepada Masyarakat yang memiliki kemampuan serta memiliki jaringan yang baik kepada masyarakat maka tidak mutlak dapat menjadi calon dari partai politik tetapi dapat melalui jalur independen. b)Bagi partai politik jangan berkecil hati dengan adanya calon independen tetapi merupakan koreksi supaya
memperbaiki diri dalam tubuh partai itu sendiri karena kedaulatan sekarang sudah terletak kepada rakyat tidak seperti zaman Orde Baru dimana Kepala Daerah ditentukan oleh Presiden. c)Harapan ke depan bagi partai politik dan calon independen untuk bersama-sama membangun bangsa dengan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah secara jujur , adil, demokrasi, langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Kata kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi, Pemerintah Daerah, Calon Independen
i
ABSTRACT
The Supreme Court in performing the State authority by examining the laws, in this case, the law No.32/2004 regarding the regional Government resulting in the law of Republic Indonesia No.12/2008 regarding the second amendment on
the law No.32/2004 regarding the regional Government, has justified for presence
of individual or independent candidate. The DirectElection of Regional chief was a manifestation of democracy emphasizing on the freedom of electing the legal Region Chief and process of Legal Region Chief election in free competition system. To consider the background, the formulated topic of discussion is : 1. The extent to which the Supreme Court has authority in Judge authority to
examine the law ?
2. What is the regulation of Regional Chief election in the Statutes ?
3. What is the legal analysis on judgement of Supreme Court about the
independent candidate ?
The result of research indicated : 1) the authority of Supreme Court in judgement power in examination of the law after the amendment of Constitution
1945 has provided the Constitution on legal product determined by the state power
branches of legislative, executive , or judicative as long as it is not controvertial to Constitution 1945, 2) The Regulation of Regional Chief Election Following the
birth of The Law No.32/2004 regarding the Regional Goverment , the candidate of
Regional Chief would be not always from the political party or coalition of political parties , rather than to provide the independent candited with opportunity who has
influence on people to be elected as chief region and to create a better democratic
sistem, sometimes the independent candidate is better than political party because of his close relationship with the people , thus the community –based development
could be implemented appropriately, including mutual working , cooperative , and
tolerance , 3)The Legal Analysis on Decision of Supreme Court on Independent candidate would be to rely on Chapter 27 (1) of Constitution 1945 stating ,“ Every citizen has equal status in the law and goverment and under mandatory to support and promote the law and goverment,without any exception“,and also the chapter 28 D (3) stating, “Each citizen is entitled to enjoy the same opportunity in the
goverment “.
Based on the result of research , it could be then sugested that : a) The people
who have ability and better and wide network should not be made a candidate of political party , but they can be through independent path. b ) The political party
should not be depressed by existence and presence of independent candidate ,but it
should be a correction for them to improve the internal body of political party because the sovereignity has been put on people hand , unlike to New Order time in which the chief region was determined by the President, 3) It is hoped that both political party and independent candidate should develop the nation cooperatively by performing the honest , democratic, equal and transparant, general , free, and secret Election of Chief Region
Keywords : Decision of Supreme Court ,Regional Goverment Independent
Candidate
ii
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati dipanjatkan kehadiran Tuhan yang Maha
Esa atas berkat dan anugrahNya yang telah menambah keyakinan dan kekuatan
bagi penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan
penulisan tesis dengan judul ”Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Tentang Calon Independent Di dalam Undang-Undang No 32. Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah.”
Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
memeperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan
ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Chairudin P.Lubis,DTM & H,SP.A (K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,M.Sc., selaku Direktris Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta
seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan ,
sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan
(M.Kn.) sekolah Passcasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof.Dr. Muhamad Yamin, SH.,MS.CN., selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
iii
Utara dan Ibu Dr.T.Keizerina Devi A, SH.,CN,M.Hum selaku Sekretaris
Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara beserta seluruh Staff atas bantuan dalam memberikan
kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program
Mgister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
4. Bapak Prof Syamsul Arifin, SH, MH, DR. Faisal Akbar SH, M.Hum, DR.
Pendastaren Tarigan, S.H,MS atas kesediaannya memberikan bimbingan
dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
5. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi Program Studi Magister
Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang
dibutuhkan
6. Bapak Thomas Tarigan, SH,MKn, yang telah banyak membantu
memberikan ide-ide dan masukan-masukan yang sangat membantu penulis
didalam penyelesaian tesis ini.
7. Saudari Rizky Aryetta, S.ST yang telah banyak membantu memberikan
data-data informasi yang penulis butuhkan.
8. Seluruh staf dan manajemen IT& B Campus yang telah banyak membantu
di dalam penyelesaian tesis ini
9. Seluruh rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi
iv
penulis dalam rangka penyelesaian studi Program Magister Kenotariatan
(M.Kn.).
Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terimakasih kepada ibunda dan istri
tercinta yang selalu mengasihi, yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan
nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis dan juga
Bapak Racmady Tanady yang juga telah saya anggap sebagai abang saya sendiri
yang begitu peduli dan penuh perhatian terhadap penulis sehingga kasih sayang
mereka merupakan kesempurnaan dan motivasi buat penulis sehingga segala
hambatan-hambatan dalam penulisan ini seakan terasa ringan hingga dapat
menyelesaikannya dengan tepat waktu.
Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
terimakasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan serta doa kepada penulis selama
proses penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2009
Penulis,
Agus Susanto Tan
v
APBD
= Anggaran Pendapatan Belanja Daerah = Badan Permusyawaratan Daerah = Dana Alokasi Dasar
= Dana Alokasi Umum
= Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
= Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong = Dewan Perwakilan Rakyat
= Dewan Perwakilan Daerah = Komisi Independen Pemilihan = Komisi Pemilihan Umum
= Komisi Pemilihan Umum Daerah = Kamus Umum Bahasa Indonesia = Laporan Pertanggungjawaban
= Mahkamah Agung
= Majelis Permusyawaratan Rakyat
= Majelis Permusyawaratan Rakyat Semesta = Mahkamah Konstitusi
PANWASLU PARPOL PEMILU
= Panitia Pengawas Pemilihan Umum = Partai Politik
= Pemilihan Umum
PERMENDAGRI = Peraturan Menteri Dalam Negeri PILKADA = Pegawai Negeri Sipil
= Panitia Pemilihan Kecamatan = Panitia Pemungutan Suara = Rancangan Peraturan Daerah = Republik Federal Jerman = Rencana Umum Tata Ruangan = Sistem Imformasi Keuangan Daerah = Satuan Kerja Perangkat Daerah = Sebelum Masehi
= Standar Pelayanan Minimum = Undang-Undang Dasar 1945 = Warga Negara Indonesia
vi
Affirmative Action
: Perkembangan Kelompok Tertentu : Pertanggungjawaban Kepada Rakyat : Keseimbangan
: Pemeriksaan : Membentuk
: Urusan Pemerintah
: Berdemokrasi sesuai dengan peraturan : Rakyat
: Kesepakatan Seluruh Warga Negara : Undang-Undang Dasar
: Peraturan Perundang-Undangan : Pemerintahan
: Undang-undang Dasar : Pemimpin
: Bepegang kepada hukum : Pembuat undang-undang : Melalui Penelitian Kepustakaan : Kemerdekaan
: Kehidupan
: Berdasarkan Kekuasaan Belaka : Kerajaan
Nietontvankelijk Verklaard : Perkara Tidak Dapat Diterima Procedural Democracy
: Kebijakan yang sesuai dengan aturan
Social Control Social Engineering Stakeholder
Statuere
Symbol Of unity To Search Unified System Verifikasi
Verordenende Macht Yudikatif
: Sarana Pengendalian Masyarakat : Merencanakan kepada Masyarakat : Pemegang kekuasaan
: Membuat Sesuatu Agar Berdiri/ Menetapkan : Simbolik Sebagai Pemersatu
: Mencari
: Berada dalam suatu sistem
: Pemeriksaan tentang benar atau tidaknya laporan : Kekuasaan Tertentu
: Peradilan
viii
Nama
2.Francoise Jonathan
Tempat/Tanggal Lahir : Perbaungan /09 April 1971
Alamat
Pendidikan
: Jl.Sutrisno Gg.F No.08 Medan-20215
North Sumatera-Indonesia
: agus_susanto@itnb.ac.id
Universitas Terbuka – Sertifikat Program Bisnis : Certificate : 1993
Fakultas Hukum – Universitas Sumatera Utara (USU) : SH : 1995
Fakultas Hukum PPS Kenotariatan – USU
Universitas Surapati – Program Manajemen
Washington University - USA
: CN
Oxford Centre For Leadership – (OXFORD-UK) : M.OXCEL : 2007
European Business School – Brussels
STM-IMNI-Program Manajemen Pemasaran
: MBA
: MM
: 2007
: 2008
Oxford Centre For Leadership (OXFORD-UK)
Sekolah Pasca Sarjana Program Kenotariatan – MKn
: Fellow : 2008
Universitas Sumatera Utara : MKn : 2009
Program Doktor - Universitas Pasundan Bandung
Pengalaman kerja (Sekarang)
: DR (Cand) : Proses Penyusunan Disertasi
IT&B Campus
YAI – Wilayah Sumatera Utara
Yayasan Tunas Andalan Nusa
ix
: Managing Director
: Regional Director
: Ketua Badan Pelaksana Harian
Pengalaman kerja (Dahulu)
“Wicaksana” Attorney & Counselor of Law : Marketing Director
Dosen di berbagai Universitas
Konsultan Pendidikan
Dll.
Kegiatan Organisasi (Sekarang)
Assosiasi Notaris Indonesia
Yayasan Sosial Lautan Mulia
Pakom “Wira” Poltabes MS
Pakom “Garuda” Perhubungan Kodam I/BB
Perkumpulan “Tio Ciu”
Perhimpunan “INTI” – Medan
Cambridge Association of Managers
Kegiatan Organisasi (Dahulu)
: Anggota Luar Biasa
: Ketua Pemuda
: Sekretaris
: Kepala Departemen Hukum
: Penasehat
: Certified Manager/Fellow
Yayasan Sosial Emas
KMB – USU
Universitas Sumatera Utara
SMU – Husni Thamrin
: Wakil Ketua
: Ketua Umum
: Komisaris Kelas
: OSIS / Pemimpin Kelas / Ketua
Kegiatan lain di dalam dan luar USU : Pembawa Acara (MC)
Dll
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR SINGKATAN ... vii
DAFTAR KATA ASING ... viii
RESUME ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11
1. Kerangka Teori ... 11
2. Konsepsi ... 16
G. Metodologi Penelitian ... 18
1. Jenis Penelitian ... 18
2. Sumber Data ... 19
3. Alat Pengumpulan Data ... 20
4. Analisa Data ... 20
xi
BAB II KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG ……… 21
A. Badan Kekuasaan Kehakiman ... 21
B. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 43
C. Wewenang Mahkamah Konstitusi ... 51
BAB III PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM PERUNDANG-UNDANGAN ... 60
A. Pemilihan Kepala Daerah ... .. 60
B. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung ... 73
B.1. Hubungan Kepala Daerah Dengan DPRD Pasca Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah... 80
B.2. Wewenang DPRD Dalam Pilkada Langsung UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 85
C. Mekanisme Tahapan Pelaksanaan Pilkada langsung ... 87
D. Calon Perseorangan Dibenarkan Ikut Dalam Pemilihan Kepala Daerah ... 89
BAB IV ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP CALON INDEPENDEN ... 93
A. Latar Belakang Gugatan ... 93
B. Putusan Mahkamah Konstitusi ... 94
C. Alasan Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Calon Independen ... 104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
A. Kesimpulan ... 107
B. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 109
xii
ABSTRAK
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menghasilkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan dibenarkan adanya calon perseorangan. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah wujud demokrasi yang menitikberatkan kebebasan memilih Kepala Daerah Hukum dan proses pemilihan Kepala Daerah Hukum dalam proses pertarungan
yang bebas. Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut di atas maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
1. Sejauh mana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang?
2. Bagaimana pengaturan pemilihan Kepala Daerah dalam perundang-undangan?
3. Bagaimana Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon
Perseorangan?
Hasil penelitian menunjukkan 1).Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang setelah diamandemenkannya UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji secara judicial review terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif ataupun yudikatif sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 2). Pengaturan pemilihan Kepala Daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka Calon Kepala Daerah tidak selamanya harus dari partai politik atau gabungan partai politik melainkan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan yang memiliki pengaruh kepada masyarakat untuk dipilih menjadi kepala daerah dan menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik, terkadang calon independen lebih baik dari partai politik karena kedekatannya kepada masyarakat sehingga pembangunan yang berbasis kemasyarakatan dapat terlaksana dengan baik yakni gotong-royong, koperasi, serta kekeluargaan, 3) Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Calon Perseorangan adalah dengan memakai dasar hukum Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, ” Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, dengan tidak ada kecualinya ”, serta Pasal 28D Ayat (3) berbunyi , ” Setiap Warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. ”
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar : a) Kepada Masyarakat yang memiliki kemampuan serta memiliki jaringan yang baik kepada masyarakat maka tidak mutlak dapat menjadi calon dari partai politik tetapi dapat melalui jalur independen. b)Bagi partai politik jangan berkecil hati dengan adanya calon independen tetapi merupakan koreksi supaya
memperbaiki diri dalam tubuh partai itu sendiri karena kedaulatan sekarang sudah terletak kepada rakyat tidak seperti zaman Orde Baru dimana Kepala Daerah ditentukan oleh Presiden. c)Harapan ke depan bagi partai politik dan calon independen untuk bersama-sama membangun bangsa dengan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah secara jujur , adil, demokrasi, langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Kata kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi, Pemerintah Daerah, Calon Independen
i
ABSTRACT
The Supreme Court in performing the State authority by examining the laws, in this case, the law No.32/2004 regarding the regional Government resulting in the law of Republic Indonesia No.12/2008 regarding the second amendment on
the law No.32/2004 regarding the regional Government, has justified for presence
of individual or independent candidate. The DirectElection of Regional chief was a manifestation of democracy emphasizing on the freedom of electing the legal Region Chief and process of Legal Region Chief election in free competition system. To consider the background, the formulated topic of discussion is : 1. The extent to which the Supreme Court has authority in Judge authority to
examine the law ?
2. What is the regulation of Regional Chief election in the Statutes ?
3. What is the legal analysis on judgement of Supreme Court about the
independent candidate ?
The result of research indicated : 1) the authority of Supreme Court in judgement power in examination of the law after the amendment of Constitution
1945 has provided the Constitution on legal product determined by the state power
branches of legislative, executive , or judicative as long as it is not controvertial to Constitution 1945, 2) The Regulation of Regional Chief Election Following the
birth of The Law No.32/2004 regarding the Regional Goverment , the candidate of
Regional Chief would be not always from the political party or coalition of political parties , rather than to provide the independent candited with opportunity who has
influence on people to be elected as chief region and to create a better democratic
sistem, sometimes the independent candidate is better than political party because of his close relationship with the people , thus the community –based development
could be implemented appropriately, including mutual working , cooperative , and
tolerance , 3)The Legal Analysis on Decision of Supreme Court on Independent candidate would be to rely on Chapter 27 (1) of Constitution 1945 stating ,“ Every citizen has equal status in the law and goverment and under mandatory to support and promote the law and goverment,without any exception“,and also the chapter 28 D (3) stating, “Each citizen is entitled to enjoy the same opportunity in the
goverment “.
Based on the result of research , it could be then sugested that : a) The people
who have ability and better and wide network should not be made a candidate of political party , but they can be through independent path. b ) The political party
should not be depressed by existence and presence of independent candidate ,but it
should be a correction for them to improve the internal body of political party because the sovereignity has been put on people hand , unlike to New Order time in which the chief region was determined by the President, 3) It is hoped that both political party and independent candidate should develop the nation cooperatively by performing the honest , democratic, equal and transparant, general , free, and secret Election of Chief Region
Keywords : Decision of Supreme Court ,Regional Goverment Independent
Candidate
ii
A. Latar Belakang
BAB I
PENDAHULUAN
1
Demokrasi merupakan suatu sistem untuk mengatur tata tertib masyarakat
dan juga mengadakan perubahan masyarakat, menentukan corak kebudayaan
sendiri, kebebasan, berkumpul, menentukan kebebasan bergerak, menyatakan
pendapat dan tulisan, menganut agama dan kepercayaan dan keyakinan masing-
masing.
Teorisasi demokrasi melahirkan dua pendekatan yang lazim digunakan
apabila hendak menjelaskan konsep demokrasi, yaitu pendekatan klasik normatif
yang juga dikenal dengan pendekatan substantif dan pendekatan empiris minimalis
atau juga dikenal dengan pendekatan prosedural1. Dalam ilmu politik, dikenal dua
macam pemahaman tentang demokrasi; pemahaman secara normatif dan
pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut juga
sebagai Procedural Democracy2.
Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan (resep bagaimana demokrasi itu seharusnya), sementara
pendekatan empiris minimalis lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun
(deskripsi tentang apa demokrasi itu sekarang). Pendekatan klasik normatif lebih
banyak membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara substantif dan
umumnya mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah kehendak rakyat sebagai sumber alat untuk mencapai kebaikan bersama3.
1 Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Liebe Book, Yogyakarta, 2004, hal 37.
2 Afan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 3.
3 Suyatno, Op.Cit, hal 37.
2
Pada umumnya pendefinisian demokrasi diletakkan pada dasar sebuah
pemerintahan dari rakyat, bukannya dari pada Aristokrat, kaum Monarki, Birokrat,
para ahli ataupun para pemimpin agama, oleh rakyat dan untuk rakyat.4
Perkembangan selanjutnya demokrasi ditandai dengan lahirnya Magna
Carta (Piagam Besar) pada 15 juni 1215. Magna Carta merupakan semacam
kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja Jhon dari Inggris dimana untuk
pertama kalinya seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan
menjamin beberapa hak dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana
bagi keperluan perang dan sebagainya5. Magna Carta memiliki dua pesan yang
berjangkauan luas; pertama, bahwa kekuasaan pemerintahan adalah terbatas; dan
kedua, bahwa hak asasi manusia lebih tinggi dari kekuasaan raja6.
Rene Descartes (1596-1650) melalui ucapannya Cogito Ergo Sum (saya
berfikir maka saya ada) mengilhami lahirnya gagasan nilai-nilai kebebasan
manusia. Gagasan tersebut memberikan ruang leluasa bagi pengembangan
demokrasi. Karya-karya yang menyuarakan kebebasan pada gilirannya bertebaran
pada masa itu, semisal karya Jhon Locke (1632-1704), Charles de Secondat
Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778), yang
kesemuanya memiliki tujuan tunggal yakni bagaimana membangun struktur politik
yang serasional mungkin7.
John Locke melalui karyanya ”Two Treatis of Government” menyatakan
struktur politik seharusnya didasarkan pada persamaan penuh dan kebebasan
4 Ibid, hal. 33.
5 Mariam Budiarjo, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Rajawali Press, AIPI,
Jakarta, 1993, hal. 54.
6 Ramdlonnaning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Krimonologi
UI, Jakarta, 1983, hal. 9.
7 Ibid, hal. 18.
3
dibatasi hanya karena harus menghormati satu sama lain dalam kerangka hidup
bersama dan damai. Implementasi kekuasaan dijalankan dalam lembaga yang
terpisah kewenangannya. Lembaga legislatif membuat hukum sedangkan lembaga
eksekutif yang menjalankan hukum serta bertanggung jawab pada monarki dan
pemerintahannya.8
Negara memiliki kekuasaan namun dibatasi oleh hak alamiah yang dimiliki
oleh manusia sejak lahir, yaitu hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan dan hak
atas milik pribadi9
. Karya Locke sangat berpengaruh pada perkembangan politik
selanjutnya. Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, atas
kebebasan dan hak untuk mempunyai hak milik (Life, Liberty, and Property)10.
Undang-Undang Dasar adalah sumber utama dari norma-norma hukum tata
negara serta mengatur bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapannya di
pusat dan di daerah, mengatur tugas-tugas alat perlengkapan itu serta hubungannya
satu sama lain.11
Undang-Undang Dasar sesuatu negara, akan diketahui bentuk dan susunan
negara itu, misalnya bahwa bentuk negara Republik Indonesia adalah ”republik”
dengan susunan ”kesatuan”, bukan susunan negara ”serikat” (federasi).12
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 menghasilkan alat-alat
perlengkapan negara yang baru seperti Dewan Perwakilan Daerah, Komisi
Yudisial, Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
8 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Fokus Media, hal. 43.
9 Arif Budiman, Teori Negara : Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 1996, hal. 24.
10 Mariam Budiarjo, Op.Cit., hal. 56.
11 M.Solly Lubis, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 31.
12 Ibid, hal. 31
4
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru dalam struktur
kelembagaan Negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal
24C jo Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang termasuk salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani
permasalahan ketatanegaraan berdasarkan otoritas Undang-Undang Dasar 1945,
yang meliputi lima perkara pokok yaitu, (i) menguji konstitusionalitas undang-
undang, (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan Undang-Undang Dasar 1945, (iii) memutus pembubaran partai politik,
(iv) memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan (v) memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas suatu
Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yakni melalui penafsiran/interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi undang-undang yang dihasilkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara
yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara.
Dengan demikian undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif (Dewan
Perwakilan Rakyat bersama Presiden) diimbangi oleh adanya pengujian (formal
dan materiil) dari yudisial c.q Mahkamah Konstitusi.13
Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yakni Yayasan Pusat Reformasi
Pemilu, Yayasan Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia, Yayasan
Jaringan Pendidikan Pemilih, Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan
Kemitraan Masyarakat Indonesia, Indonesian Corruption Watch, serta beberapa
orang Ketua Komisi Pemilihan Umum Propinsi yakni Setia Permana, Indra Abidin,
13 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 31-32.
5
Hasyim Asy ari, Wahyudi Purnomo, Suparman Marzuki, Irham Buana Nasution,
Pattimura, Yassin H.Tuloli, Rozali Abdullah, Ahmad Syah Mirzan, Yulida Mirzan,
Ardiyan Saptawan, Zainawi Yazid mengajukan keberatan atas beberapa pasal
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketentuan pasal-pasal tersebut yang isinya adalah bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 yakni Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yakni ”Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
”Putusan Mahkamah Konstitusi menghasilkan beberapa hasil revisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni untuk kepala
daerah yang masa jabatannya berakhir pada November 2008 sampai bulan Juli
2009, pilkada dilakukan paling lambat Oktober 2008. Manakala dijumpai putaran
kedua, pelaksanaannya paling lambat dilakukan Desember 2008.
Berdasarkan Pasal 59 ayat (2a) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan dibenarkan adanya calon
independen yakni :
Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila
memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :
a. Propinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa
harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
6
b. Propinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai
dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5%
(lima persen);
c. Propinsi dengan jumlah lebih penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai
dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya
4% (empat persen);
d. Propinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa
harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Sedangkan calon independen yang didukung oleh sejumlah orang dapat
mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati apabila memenuhi
syarat dukungan dengan ketentuan :
a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus
lima puluh ribu) jiwa didukung sekurang-kurangnya 6,5 % (enam koma lima
persen).
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima
puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, harus didukung
sekurang-kurangnya 5 % (lima persen);
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu)
sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya
4%
d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa
harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
7
Jumlah dukungan harus tersebar di lebih 50% (lima puluh persen) jumlah
kabupaten/kota di propinsi serta di kabupaten dengan jumlah dukungan tersebar
lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan.14
Berkas dukungan dibuat dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri
dengan fotocopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk;15
Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon independen untuk pemilihan
gubernur/wakil gubernur dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Propinsi
yang dibantu oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten/Kota, PPK (Panitia
Pemilihan Kecamatan), dan PPS (Panitia Pemungutan Suara), sedangkan untuk
pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dilakukan oleh KPU
(Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten/Kota yang dibantu oleh PPK (Panitia
Pemilihan Kecamatan) dan PPS (Panitia Pemungutan Suara).16
Pilkada yang langsung adalah wujud demokrasi yang menitikberatkan
kebebasan memilih Kepala Daerah Hukum dan proses pemilihan Kepala Daerah
Hukum dalam proses pertarungan yang bebas maka hampir dapat dipastikan
sebagai pemenangnya adalah orang yang kuat terutama sumber daya ekonominya.17
Tahun 2005 ada 192 kabupaten, 32 kota dan 14 provinsi yang
melaksanakan pilkada secara langsung. Jawa Tengah misalnya ada 17
14 Pasal 59 butir (2c) dan butir (2d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
15 Pasal 59 butir (5a) b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
16 Pasal 59 A butir (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
17 Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, Bina Media,
8
kabupaten/kota. Untuk pertama kalinya pilkada langsung akan dilaksanakan di
Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.18
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal
59 ayat (3) mengakomodasikan calon independen sekalipun hanya bersifat implisit
dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Walaupun demikian prospek calon
independen tampaknya masih sangat sulit untuk memperoleh kesempatan yang
sama dengan calon yang berasal dari partai politik. Pengaturan dalam bentuk
peraturan pemerintah akan hal ini masih sangat sulit untuk dipastikan, sekalipun
setiap partai politik berkewajiban mengakomodasi calon independen. Masalahnya
adalah apakah setiap partai politik akan legowo, serta menafsirkan kata ”wajib”
mengakomodasi pada saat menerima calon independen sementara pada waktu yang
sama setiap partai politik memiliki calon masing-masing ? Jika mekanisme
terhadap calon independen yang mencalonkan diri melalui kendaraan partai politik
ini tidak jelas, kemungkinan besar calon independen hanya akan menjadi asesoris
demokrasi belaka.19
Penulis berharap dengan adanya pilkada yang langsung di daerah maka
demokrasi yang selama ini hanya dipunyai oleh partai politik maka dengan adanya
revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka
pemimpin daerah tidak selamanya melalui jalur partai namun bisa melalui
perseorangan dengan aturan yang sudah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
18 Suwandi, I.M, Implikasi Pilkada dalam Undan-Undang 32/2004, Jakarta, 6 November
2004.
19 S.H Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal. 119-120.
9
Demikianlah hal yang diuraikan di atas dirasakan sangat penting sehingga
penulis mengadakan Penelitian tentang Analisis Hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Terhadap Undang-Undang No : 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah Dengan Mengacu Kepada Undang-Undang Dasar dianggap sesuatu yang
penting untuk memberi masukan kepada Pemerintah dan para stakeholder terkait
sebagai sumbangan pemikiran untuk mensukseskan pilkada pada masa yang akan
datang.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut di atas maka terdapat
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
1. Sejauh mana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman
dalam pengujian Undang-Undang?
2. Bagaimana pengaturan pemilihan Kepala Daerah dalam perundang-undangan?
3. Bagaimana Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Calon Independen ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan
kehakiman dalam pengujian Undang-Undang.
2. Untuk mengetahui pengaturan pemilihan Kepala Daerah dalam perundang-
undangan.
3. Untuk menjelaskan Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Tentang Calon Independen.
D. Manfaat Penelitian
10
Dalam penelitian ini diharapkan ada 2 (dua) manfaat yang dapat dihasilkan
yaitu yang bersifat teoritis dan bersifat praktis.
1. Bersifat teoritis, yakni hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian
lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang dapat memberikan
andil bagi peningkatan pengetahuan dalam disiplin Ilmu Hukum khususnya
dalam bidang Mahkamah Konstitusi
2. Bersifat Praktis, yakni hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai :
a. Pedoman dan masukan atau rekomendasi kepada Pemerintah khususnya
Mahkamah Konstitusi dan instansi terkait yang lainnya bertujuan untuk
menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk menegakkan demokrasi.
b. Sebagai informasi kepada masyarakat tentang upaya hukum yang berlaku
jika terjadi sengketa terhadap Undang-Undang maka ketentuan dasar yang
dipakai adalah Undang-Undang Dasar 1945.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang tersedia dan penelusuran kepustakaan
khususnya di lingkungan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum dan Magister
Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara penelitian ini dengan judul ”Analisis
Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen di
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah” belum
pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dan dengan demikian penelitian ini
adalah asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
11
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,20 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkan pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.21 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus
atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan
menggunakan istilah Jerman yaitu ”rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant,
Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo
Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan ”The Rule of Law”
yang diperoleh oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait
dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.22
Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah
”rechtsstaat” mencakup empat elemen penting, yaitu; 1) Perlindungan hak asasi
manusia; 2) Pembagian kekuasaan; 3) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang;
dan 4) Peradilan tata usaha negara.23
Sedang A.V. Dicey menyebutkan tiga ciri-ciri
20 J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting : M. Hisyam), (Jakarta : FE UI, 1996), hal. 203 lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitan, (Bandung : Mandar Maju, 1994 ), hal. 27 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi
intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
21 Ibid, hal. 16.
22 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 152.
23 Ibid. hal. 152.
12
penting ”The Rule of Law”, yaitu; 1) Supremacy of law; 2) Equality before the
law; dan 3) Due process of law.24
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Dua isi pokok yang senantiasa menjadi inspirasi
perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan
kekuasaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Melihat kecenderungan
perkembangan negara hukum modern yang dipengaruhi oleh perkembangan
kompleksitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta kemajuan teknologi, lahir
prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan negara hukum. Terdapat dua belas
prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum
saat ini.
Kedua belas Prinsip tersebut adalah :25
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empiris terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang berdasarkan diri pada aturan hukum.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality Before the Law)
Setiap orang adalah sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Segala sikap dan tindakan diskriminatif adalah sikap dan tindakan terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara untuk mendorong mempercepat perkembangan kelompok tertentu (affirmative action).
3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
Segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang- undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dahulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan pemerintah harus
didasarkan atas aturan atau rules and procedures. Agar hal ini tidak menjadikan birokrasi terlalu kaku, maka diakui pula prinsif frijsermessen yang memungkinkan para pejabat adminisrasi negara mengembangkan dan
24 A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitusion, Tenth Edition, (London : Macmillan Education LDT, 1959).
25 Jimly Asshiddiqie, Op Cit., hal. 154-162.
13
menetapkan sendiri beleid-regels atau policy-rules yang berlaku internal dalam rangka menjalankan tugas yang diberikan oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan Kekuasaan.
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara
menetapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horisontal. Pembatasan kekuasaan ini adalah untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan mengembangkan mekanisme checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan.
5. Organ-Organ Pemerintahan yang Independen.
Sebagai upaya pembatasan kekuasaan, saat ini berkembang pula adanya
pengaturan kelembagaan pemerintahan yang tanpa campur tangan pemerintah yakni bank sentral, organisasi tentara, kepolisian dan kejaksaan. Selain itu ada
pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain- lain. Independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi agar tidak dapat disalahgunakan oleh pemerintah.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak.
Peradilan bebas dan tidak memihak (indepedendent and impartial judiciari) mutlak keberadaannya dalam negara hukum. Hakim tidak boleh memihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun baik oleh kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang
(ekonomi). Untuk menjamin kebenaran dan keadilan, tidak diperkenankan
adanya intervensi terhadap putusan pengadilan.
7. Peradilan Tata Usaha Negara.
Meskipun peradilan tata usaha negara adalah bagian dari peradilan secara luas yang harus bebas dan tidak memihak, namun keberadaannya perlu disebutkan
secara khusus. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi
warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi yang menjadi kompetensi peradilan tata usaha negara. Keberadaan peradilan ini menjamin
hak-hak warga negara yang dilanggar oleh keputusan-keputusan pejabat
administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Keberadaan pengadilan tata usaha negara harus diikuti dengan jaminan bahwa keputusan pengadilan tersebut ditaati oleh pejabat administrasi negara.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court).
Disamping peradilan tata usaha negara, negara hukun modern juga lazim
mengadopsi gagasan pembentukan mahkamah konstitusi sebagai upaya
memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi melakukan
pengujian atas konstitusinasionalitas undang-undang dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga-lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang
kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia.
Adanya perlindungan konstitusional terhadap Hak Asasi Manusia dengan
jaminan hukum bagi tuntutan penegaknya melalui proses yang adil. Terbentuknya negara dan penyelenggaraan kekuasaan negara tidak boleh mengurangi arti dan makna kebebasan dasar dan Hak Asasi Manusia.
Seandainya suatu negara Hak Asasi Manusia terabaikan atau pelanggaran Hak
14
Asasi Manusia tidak dapat diatasi secara adil, negara ini tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10.Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat ).
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjadi peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara pihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal
ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksud untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan obsolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
11.Berfungsi Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat).
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Cita- cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara hukum maupun gagasan negara demokrasi dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan umum. Dalam konteks Indonesia, gagasan negara hukum yang
demokratis adalah untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
12.Transparansi dan Kontrol Sosial.
Adanya transparansi dan kontrol sosial terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum sehingga dapat memperbaiki kelemahan mekanisme
kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara
langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di perlemen tidak
selalu dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Ini adalah
bentuk Representation in presence.
Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah
hukum, bukan manusia. Dalam sebuah negara hukum dengan sendirinya dianut
supremasi hukum. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma
hukum yang berpuncak pada konstitusi yang merupakan wujud kesepakatan seluruh
warga negara (general agremeent). Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara
hukum dengan sendirinya menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi
konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus
merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial
15
tertinggi cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian kesejahteraan yang
berkeadilan menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara.26
Mahkamah Konstitusi dalam kerangka hukum setelah perubahan UUD 1945
untuk memperkuat pranata demokrasi yang penyelenggaraannya untuk menegakkan
hukum dan keadilan serta kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung.
Kerangka berfikir mengenai pemilihan Kepala Daerah ditentukan oleh
perspektif yang digunakan untuk mengukur demokratis atau tidaknya sebuah sistem
politik. Sistem politik demokratik tidak semata-mata dapat diukur dari aspek
prosedural. Metode pemilihan langsung oleh banyak kalangan politisi dan
pengamat politik dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis karena
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk memilih wakil- wakil
atau pemimpinnya.27
Demokrasi merupakan suatu ajaran yang sifatnya universal, dalam sistem
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada di
dalam keputusan bersama rakyat. Secara umum prinsip demokrasi meliputi adanya
pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas, pers yang bebas. Pemilihan
26 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokrasi, Yogyakarta, Kreasi Total Media, 2007, hal 27 lihat bandingkan Jimmly Asshiddiqie,
Wewenang dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Negara Hukum yang Demokratis,
Disampaikan Pada Acara Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke-53 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 12 Januari 2007, hal. 13-14 menyatakan “Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun ide ini ditolak oleh Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama Undang- Undang Dasar yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi Undang-Undang Dasar 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak memiliki pengalaman hal ini.
27 http://groups.yahoo.com/group/HMI-MPO/message/2816
16
Kepala Daerah secara langsung menjadi momentum untuk mempertegas dalam
lajur pengembangan dan penumbuhan demokrasi.28
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi yang
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit, yang disebut dengan operational definition.29
Pentingnya definisi
operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran
mendua (dua bius) dari suatu istilah yang dipakai.30
Dalam penulisan tesis ini diperlukan konsepsi yang merupakan definisi
operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan
penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang termasuk salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani
permasalahan ketatanegaraan berdasarkan otoritas Undang-Undang Dasar 1945,
yang meliputi lima perkara pokok yaitu, (i) menguji konstitusionalitas undang-
undang, (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar 1945, (iii) memutus
pembubaran partai politik, (iv) memutus perselisihan hasil pemilihan umum,
dan (v) memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
28 http://www.hary.com/kajian.php
29 Sutan Remy Syahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.
30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya , 2005, hal. 139
17
b. Pilkada secara langsung untuk memilih kepala daerah yang lebih demokrasi
sesuai dengan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
perubahan yang kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
c. Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Undang-Undang No. 5
Tahun 2007 tanggal 23 Juli 2007, maka perorangan atau independen dapat
mengajukan pasangan calon kepala daerah dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang.
Calon perseorangan merupakan calon yang ikut pemilihan kepala daerah
tidak melalui partai politik, gabungan partai politik melainkan keikutsertaannya
melalui perorangan. Adapun kelemahan calon perseorangan adalah apabila calon
perseorangan tidak memiliki kemampuan berpolitik yang baik serta tidak adanya
dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik itu ditingkat I maupun
ditingkat II maka akan terjadi pembuatan peraturan daerah serta pengesahan
anggaran daerah tidak akan berjalan dengan baik.
Keunggulan dari calon partai politik dan gabungan partai politik adalah
terjadinya hubungan yang baik antara kepala daerah dengan partai politik yang
mendukungnya, serta pembangunan daerah akan terlaksana dengan baik karena
adanya dukungan dari partai politik tersebut.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
18
Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research,
yaitu yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari).31 Pada
dasarnya yang dicari itu adalah ”pengetahuan yang benar” untuk menjawab
pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir
yang ditempuh melalui penalaran deduktif32
dan sistematis dalam
penguraiannya.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya serta juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini
adalah metode pendekatan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam hubungan ini dilakukan
pengukuran dan analisis terhadap ”Analisis Hukum Terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen di dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”
31 Bambang Sungono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Indonesia, Jakarta
2005, hal. 27.
32 Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Seseungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja,
Universitas Erlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang lebih bersifat aksiomatif (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.
2. Sumber Data
19
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder untuk
mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual
dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek yang diteliti yang
dapat berupa peraturan-perundangan dan karya ilmiah.
Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder dan tersier.
a. Bahan Hukum Primer.
Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini
diantaranya adalah, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
misalnya, Rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum, serta penelitian lain yang relevan dengan penulisan ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum,
20
ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum, laporan ilmiah yang
akan dianalisa dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian.
3. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi
dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan
hukum primer yaitu peraturan perundangan-undangan, dokumen-dokumen dan teori
yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Analisa Data
Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer,
sekunder dan tersier maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik
kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, yakni
pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk dapat memberikan
gambaran secara jelas atas permasalahan yang ada yang akhirnya dinyatakan dalam
bentuk deskriptif analisis.
BAB II
21
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
A. Badan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa
dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara yang diserahkan kepadanya
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan
yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan harus dapat bekerja dengan
baik dalam tugasnya sehingga menghasilkan putusan yang obyektif dan tidak
memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan karena badan
ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain termasuk pemerintahan.
1. Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara yang menurut Pasal 24
Undang-Undang Dasar 1945 melakukan kekuasaan kehakiman bersama lain-lain
badan kehakiman menurut Undang-Undang (ayat 1); susunan dan kekuasaan
badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-Undang (ayat 2)
Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka fungsi
kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung merupakan pengadilan
negara yang tertinggi yang membawahi badan peradilan lainnya sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman dengan fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi (pokok) mengadili meliputi :
1. Fungsi peradilan kasasi;
22
2. Fungsi peradilan untuk sengketa kewenangan mengadili dan sengketa
perampasan kapal asing;
3. Fungsi Peninjauan Kembali (PK );
4. Fungsi hak menguji material (materiel toetssingrecht).33
b. Fungsi administratif meliputi : organisasi, administrasi, dan keuangan yang
terdiri dari :
1) Fungsi pengawasan mencakup bidang :
a. Masalah teknis peradilan;
b. Terhadap perbuatan hukum dan perilaku para hakim serta pejabat
kepaniteraan;
c. Administrasi peradilan;
2) Fungsi pengaturan
c. Fungsi yang bersifat ketatanegaraan34 meliputi :
1) Fungsi penasihat (advieserende functie );
2) Fungsi pengawasan partai politik;
3) Fungsi pengawasan pemilu (pemilihan umum);
4) Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah.
Judicial Review diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem
hukum tertentu. Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan Judicial review
berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan sehingga pada dasarnya, kedua istilah
tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau
meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik
33 Soedirjo, Mahkamah Agung, Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya, Media Sarana ,Jakarta 1987, hal. 7.
34 Henry P. Panggabean, “Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari“, Sinar Harapan, Jakarta , 2001, hal. 149.