• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Peraturan Bank Indonesia NO.13/09/2011 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah Dan Unit Usaha Syari’ah (UUS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Peraturan Bank Indonesia NO.13/09/2011 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah Dan Unit Usaha Syari’ah (UUS)"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA

NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN

BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)

TESIS

Oleh

SRI MURTINI 097005108/ HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(2)

ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA

NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN

BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SRI MURTINI 097005108/ HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(3)

Judul Tesis :ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)

Nama Mahasiswa : Sri Murtini Nomor Pokok : 097005108 Program Studi : ILMU HUKUM

Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Utary maharani Barus, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal, 20 Januari 2012

PANITIA PENGUJI

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Bank Syariah dan unit syariah sebagai lembaga intermediasi, dalam operasionalnya salah satu tugas pokoknya adalah memberikan pembiayaan yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak pihak yang merupakan deficit unit. Pembiayaan bukanlah tanpa masalah dan tanpa resiko.Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syariah menunjukkan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank syariah dan unit usaha syariah merupakan hal yang mendesak dan harus segera dilaksanakan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariaah.Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah menurut PBI No 13/9/PBI/2011 serta prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam strukturisasi pembiayaan perbankan syariah dan unit usaha syariah menurut ketentuan PBI No :13/09/PBI/2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum perpustakaan. Penelitian ini mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bank syariah dan unit usaha syariah. Penelitian ini bersifat dekriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran atas suatu keadaan sejelas mungkin.

Ada 4 faktor yang membuat Bank Indonesia mengeluarka kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usah syariah yakni:untuk menjaga kelangsungan usaha,untuk menjaga kualitas pembiayaan,untuk mendukung pertumbuhan industry perbankan syariah secara optimal,untuk meminimalisasi resiko kerugian. Adapun bentuk restrukturisasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia adalah:Penjadualan kembali(Rescheduling),persyaratan kembali(Reconditioning), dan penataan kembali (Restructuring). Kebijakan restrukturisasi oleh Bank Indonesia berpedoman kepada beberapa prinsip yakni prinsip umum restrukturisasi pembiayaan: Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), Prinsip demokrasi ekonomi, Prinsip kepercayaan (Fiduciarya Principle) ,prinsip kerahasiaan (Confidential Principle) dan Prinsip good coorperate governance, selain itu juga dianut prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi bank syariah dan unit usaha syariah yaitu:prinsip keadilan dan keseimbangan,prinsip kemashalatan dan prinsip tidak mengandung gharar, maysir dan riba.Dalam pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah diharapkan agar konsekwan menerapkan sarana prinsip-prinsip syariah

Kata kunci: -Restrukturisasi,pembiayaan

(6)

ABSTRACT

Islamic banks and Islamic unit in as intermediation agencies, its operational is providing financing that is anyway the granting of facilities provision of funds to meet the needs of the parties which is deficit unit. Financing is not without issues and without risk. An overview of the financing conditions in the troubled Islamic banks shows that restructuring in terms of financing on Islamic banks and Islamic business unit is urgent and should be immediately implemented.. As for the issue raised in this research are: what factors are causing the Indonesia Bank restructuring policy for issuing Islamic bank financing and business units. How to shape the restructuring of the financing for Islamic banks according to PBI No. 13/10/PBI/2011 as well as the principles are contained in the structuring of financing Islamic banking and Islamic business units according to the provisions of the PBI No: 13/10/PBI/2011.

The methods used in this research is a research method or also called juridical normative legal research library. This study refers to the norm of law that there are in the legislation that governs Islamic banks and Islamic business unit. This research is the descriptive research give you an idea of a State as clearly as possible.

There are four factors that make the Bank Indonesia issued a policy of restructuring financing for Islamic banks and units have : in order to maintain continuity of business, to maintain quality, financing to support the growth of Islamic banking industry optimally, to minimize the risk of loss. As for the form of restructuring that is determined by the Bank Indonesia is: Rescheduling, Reconditioning, and Restructuring. The policy of restructuring by Bank Indonesia based upon a number of principles: the principle of a general restructuring of financing: the principle of prudence (Prudential Principle), the principles of economic democracy, the principle of trust (Fiduciary Principle), the principle of confidentiality (Confidential Principle) and the principle of good governance, in addition to coorperate also embraced the principles of Islamic and the restructuring of the Islamic and business units, namely: the principle of Islamic and justice, the principle of benefit and balance principle of not containing gharar, gambling and usury

Keywords : - restructuring , financing

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada ALLAH SWT,

karena Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat penulis selesaikan

dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini

masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa faktor teknis yang sangat

terbatas

Adapun tesis ini berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK

INDONESIA NO.13/09/PBI/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI

PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA

SYARIAH”,(UUS) yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana,

Universitas Sumatera Utara

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik

berupa bimbingan, pengajaran dan arahan dari berbagai macam, Oleh karena itu

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

kepada yang terhormat pada pembimbing: Prof.Dr.H.Bismar Nasution,SH,M.H.,

Prof.Dr.Sunarmi,SH,M.Hum., Dr.Utari Maharani Barus,SH,M.Hum., dimana

(8)

bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan

penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

semua pihak yang terlibat dalam penyelesian studi ini, kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr.dr.Syahril Pasaribu,

DTM&H,M.Sc (CTM), Sp.A (K)

2. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof.Dr.Runtung, SH.M.Hum., atas kesempatan

menjadi mahasiswa Program Studi Magister Fakultas Huku USU

3. Prof.Dr.Suhaidi, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu

Hukum sekaligus sebagai Komisi Penguji

4. Mahmul Siregar,SH,M.Hum., sebagai Komisi Penguji

Kepada orang tua penulis, Alm.Haji Muhammad Kosim, Alm. Hajjah Siti

Poni, tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain mohon ridho Allah atas kasih

sayang yang telah dicurahkan kepada penulis, semoga Allah mencurahkan kasih

sayangNya kepada kedua orang tua penulis

Kepada suami tercinta Abul Khair SH,MHum yang telah mencurahkan

perhatian dan kesabaran atas penelitian dan penulisan tesis dan kepada anak-anak

penulis M.Farqi Khair, Octi Fadillah Khair, Astri Khairisa, M.Haikal Khair yang

tidak henti-hentinya memberikan dorongan semangat dan kesabaran kepada penulis

(9)

Kepada Kakak dan adik-adik penulis terutama Komis Simanjuntak atas

kesabaran dan pengertian serta memberikan doa dan semangat kepada penulis.

Kepada rekan di sekolah Pasca Sarjana Bu Wina, M.Ikhsan,Emil,Pak Made,Pak

Suhadi,Pak M.Butar-butar,Pak Viktor,Pak Bostang,Pak Ikhwan,Pak Faisal,

Pak Yorris,Pak Parada,Pak saptono,yang begitu semangatnya mengikuti pelajaran

Semoga ALLAH SWT membalas jasa, amal, dan budi baik tersebut dengan pahala

yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan

menyampaikan permintaan yang tulus seandainya dalam penulisan tesis ini terdapat

kekurangan dan kekeliruan disana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang

bertujuan serta bersifat membangun unutuk menyempurnakan penulisan tesis ini

Medan, Januari 2012

Penulis

Sri Murtini

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sri Murtini

Tempat/ Tanggal Lahir: P. Besar, 10 Nopember 1961

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : SD Swasta Kartini Medan Tamat Tahun 1973

SMP Swasta Jenderal Sudirman Medan Tamat Tahun 1976

SMA Negeri VI Medan Tamat Tahun 1980

Strata 1 (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Tamat Tahun 1987

Strata 2 (S2) Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAR HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 13

C. Tujuan Penelitian... 13

D. Manfaat Penelitian... 14

E.Keaslian Penelitian... 14

F.Kerangka Teori dan Konsep... 15

G. Metode Penelitian... 27

BAB II :KEBIJAKAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANKSYARIAH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)... 30

A. Fungsi dan Kewenangan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentra.. . 30

B. Peran Bank Indonesia dalam Perbankan Syariah... 35

(12)

A. Restrukturisasi Pembiayaan dan Pengaturannya... 56

B. Pola Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah dan

Unit Usaha Syarian (UUS)... 66

BAB IV : PRINSIP-PRINSIP DALAM RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN

BAGI PERBANKAN SYARIA’H DAN UNIT USAHA SYARIAH

(UUS) MENURUT KETENTUAN PBI No.13/9/PBI/2011 ... ... 70

A.Prinsip Umum Restrukturisasi Pembiayaan pada Perbankan Syariah.... 70

B.Prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi pem,biayaan perbankan... 82

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan... 91

B.Saran ... 92

(13)

ABSTRAK

Bank Syariah dan unit syariah sebagai lembaga intermediasi, dalam operasionalnya salah satu tugas pokoknya adalah memberikan pembiayaan yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak pihak yang merupakan deficit unit. Pembiayaan bukanlah tanpa masalah dan tanpa resiko.Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syariah menunjukkan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank syariah dan unit usaha syariah merupakan hal yang mendesak dan harus segera dilaksanakan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariaah.Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah menurut PBI No 13/9/PBI/2011 serta prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam strukturisasi pembiayaan perbankan syariah dan unit usaha syariah menurut ketentuan PBI No :13/09/PBI/2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum perpustakaan. Penelitian ini mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bank syariah dan unit usaha syariah. Penelitian ini bersifat dekriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran atas suatu keadaan sejelas mungkin.

Ada 4 faktor yang membuat Bank Indonesia mengeluarka kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usah syariah yakni:untuk menjaga kelangsungan usaha,untuk menjaga kualitas pembiayaan,untuk mendukung pertumbuhan industry perbankan syariah secara optimal,untuk meminimalisasi resiko kerugian. Adapun bentuk restrukturisasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia adalah:Penjadualan kembali(Rescheduling),persyaratan kembali(Reconditioning), dan penataan kembali (Restructuring). Kebijakan restrukturisasi oleh Bank Indonesia berpedoman kepada beberapa prinsip yakni prinsip umum restrukturisasi pembiayaan: Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), Prinsip demokrasi ekonomi, Prinsip kepercayaan (Fiduciarya Principle) ,prinsip kerahasiaan (Confidential Principle) dan Prinsip good coorperate governance, selain itu juga dianut prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi bank syariah dan unit usaha syariah yaitu:prinsip keadilan dan keseimbangan,prinsip kemashalatan dan prinsip tidak mengandung gharar, maysir dan riba.Dalam pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah diharapkan agar konsekwan menerapkan sarana prinsip-prinsip syariah

Kata kunci: -Restrukturisasi,pembiayaan

(14)

ABSTRACT

Islamic banks and Islamic unit in as intermediation agencies, its operational is providing financing that is anyway the granting of facilities provision of funds to meet the needs of the parties which is deficit unit. Financing is not without issues and without risk. An overview of the financing conditions in the troubled Islamic banks shows that restructuring in terms of financing on Islamic banks and Islamic business unit is urgent and should be immediately implemented.. As for the issue raised in this research are: what factors are causing the Indonesia Bank restructuring policy for issuing Islamic bank financing and business units. How to shape the restructuring of the financing for Islamic banks according to PBI No. 13/10/PBI/2011 as well as the principles are contained in the structuring of financing Islamic banking and Islamic business units according to the provisions of the PBI No: 13/10/PBI/2011.

The methods used in this research is a research method or also called juridical normative legal research library. This study refers to the norm of law that there are in the legislation that governs Islamic banks and Islamic business unit. This research is the descriptive research give you an idea of a State as clearly as possible.

There are four factors that make the Bank Indonesia issued a policy of restructuring financing for Islamic banks and units have : in order to maintain continuity of business, to maintain quality, financing to support the growth of Islamic banking industry optimally, to minimize the risk of loss. As for the form of restructuring that is determined by the Bank Indonesia is: Rescheduling, Reconditioning, and Restructuring. The policy of restructuring by Bank Indonesia based upon a number of principles: the principle of a general restructuring of financing: the principle of prudence (Prudential Principle), the principles of economic democracy, the principle of trust (Fiduciary Principle), the principle of confidentiality (Confidential Principle) and the principle of good governance, in addition to coorperate also embraced the principles of Islamic and the restructuring of the Islamic and business units, namely: the principle of Islamic and justice, the principle of benefit and balance principle of not containing gharar, gambling and usury

Keywords : - restructuring , financing

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu

perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem

perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang

sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Perkembangan industri keuangan

syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum

formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum

tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang

telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut

menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan

yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.1

Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank

umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah

beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai

amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan

1

Choir, Arah Perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia,diakses

(16)

landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Pada

tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 3

Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank

Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah.

Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat

perundang-undangan tersebut diberlakukan. Apalagi setelah keluarnya UU No.21

tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dimana undang-undang ini dikeluarkan

guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat terhadap perbankan syari’ah. Sehubungan dengan

hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang

mendesak dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah,

prinsip kesehatan bank bagi bank syariah, dan yang tidak kalah penting

diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan

pengaturan terhadap bank syariah dalam undang-undang tersendiri.2

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian

fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang

merupakan defisit unit. Untuk itu perbankan syari’ah dalam menyalurkan

pembiayaannya harus berlandaskan kepada dua prinsip pembiayaan syariah yang

mendasar. Pertama, Prinsip Keadilan, pembiayaan saling menguntungkan baik

pihak yang menggunakan dana maupun pihak yang menyediakan dana. Kedua,

Prinsip Kepercayaan, merupakan landasan dalam menentukan persetujuan

(17)

pembiayaan maupun dalam menghitung margin keuntungan maupun bagi hasil

yang menyertai pembiayaan tersebut.3

Untuk mendukung prinsip-prinsip tersebut agar dapat berjalan jauh dari

prasangka, manipulasi, korupsi dan kolusi maka dibutuhkan informasi yang

memadai. Informasi ini menjadi data pendukung yang dapat digunakan untuk

mengambil keputusan yang proposional. Jenis informasi yang dimaksud antara

lain: pertama, informasi data nasabah. Kedua, informasi data

penjualan/pembelian/penyewaan riil. Ketiga, proyeksi laporan keuangan.

Keempat, akad pembiayaan.4

Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah dapat

dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: produk penyaluran dana (financing), produk penghimpun dana (funding) dan produk jasa (service).5

3

Pengenalan Pola Pembiayaan Syari’ah,

Dari ketiga jenis

produk ini, produk penyaluran dana (financing) yang berkaitan erat dengan pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syari’ah. Dalam menyalurkan

dananya kepada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syari’ah terbagi

ke dalam 4 (empat) kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya,

yakni: Pertama, pembiayaan dengan prinsip jual beli. Kedua, pembiayaan dengan

Desember 2010. 4

Ibid.

5

(18)

prinsip sewa. Ketiga, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Keempat,

pembiayaan dengan aqad pelengkap.6

Dari berbagai jenis aqad pembiayaan bank syari’ah, di lain pihak sejak

tahun 2003 komposisi pembiayaan bank syari’ah didominasi skim murabahah.

7

Namun demikian, selama periode krisis ekonomi di Indonesia beberapa

tahun yang lalu bank syariah masih dapat menunjukkan kinerja yang relatif lebih

baik dibandingkan dengan lembaga perbankan konvensional. Hal ini dapat dilihat

dari relatif lebih rendahnya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing loans) pada bank syariah dan tidak terjadinya negative spread dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut dapat dipahami mengingat tingkat

pengembalian pada bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga dan

pada akhirnya dapat menyediakan dana investasi dengan biaya modal yang relatif

lebih rendah kepada masyarakat. Pengalaman historis tersebut telah memberikan

harapan kepada masyarakat akan hadirnya sistem perbankan syariah sebagai

alternatif sistem perbankan yang selain memenuhi harapan masyarakat dalam Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia lebih menyukai pembiayaan konsumtif,

dibandingkan pembiayaan produktif.

6

Ibid.

7

(19)

aspek syariah juga dapat memberikan manfaat yang luas dalam kegiatan

perekonomian.8

Perkembangan bisnis bank syariah di Indonesia menujukkan pertumbuhan

yang cukup baik sejauh ini. Salah satu faktornya disebabkan oleh dukungan

permintaan “Islamic product” yang solid dari mayoritas penduduk muslim di Indonesia. Secara umum, analisis menujukkan bahwa return on equity (ROE) bank syariah berpotensi mencapai kisaran 38-41%. Nilai ROE tersebut hampir

dua kali kinerja ROE yang dicatatkan bank konvensional. Temuan tesebut

memberikan harapan besar bagi pelaku bank syariah di Indonesia sekaligus

diprediksi akan menciptakan persaingan sengit pada lahan keuangan syariah itu

sendiri dalam beberapa tahun ke depan. Aset bank syariah meningkat sangat

pesat sebesar 40% pada tahun 2009 dibanding periode yang sama tahun

sebelumnya, namun total aset tersebut masih sangat kecil dibanding dengan total

aset perbankan Indonesia yaitu hanya 2,5% dari $270 milyar. Kenyataan tersebut

menujukkan bahwa peluang bank syariah masih cukup besar dan tumbuhnya

potensi bisnis yang kuat (strong potential for growth).9

8 Choir,

Op.Cit.

Menurut proyeksi Bank

Indonesia, pertumbuhan aset perbankan syariah di 2010 paling pesimis bisa

9

Perdana Wahyu Santosa, Momentum Pertumbuhan Bank Syariah,

(20)

tumbuh 26% dan paling optimis bisa tumbuh hingga 81%. Jika skenario optimis

tercapai, nilai aset perbankan syariah di 2010 akan mencapai Rp.124 trilliun.10

Sedangkan berdasarkan data statistik perbankan syari

Oktober 2011, total aset perbankan syariah sebesar Rp 125,5 triliun, naik dari

2010 yang hanya sekitar Rp 97,5 triliun. Adapun besar pangsa pasarnya terhadap

perbankan nasional sudah mencapai 3,68 persen, naik sekitar 0,5 persen

sepanjang 2011. Persentase pertumbuhan ini sudah perlahan-lahan mendekati

angka lima persen. Sementara, dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan

masing-masing mencapai Rp 101,7 triliun dan Rp 96,9 triliun dengan tingkat

financing to deposit rasio (FDR) sekitar 94 persen.11

Di Indonesia saat ini terdapat 255 bank umum dan 2.262 BPR dengan

jumlah volume usaha sebesar Rp 1.005 trilyun, dana masyarakat Rp.679 trilyun

dan penyaluran kredit Rp.277 trilyun. Dari total volume usaha perbankan

nasional itu, terdapat dua bank umum syariah, satu bank umum yang membuka

kantor Syariah, serta 84 BPR Syariah, dengan total volume usaha sebesar Rp. 1,2

trilyun. Kiprah jaringan perbankan syariah di Indonesia diakui masih belum

menggembirakan. Diakui memang ada beberapa kendala yang dihadapi

perbankan syariah untuk berkompetisi dengan perbankan konvensional.

Beberapa kendala itu diantaranya, terbatasnya kantor bank syariah, dan masih

minimnya pemahaman masyarakat terhadap kegiatan bank syariah. Bila

10

Ibid.

11

Ali Rama, Proyeksi Perbankan Syari’ah 2012,

(21)

dibandingkan dengan perkembangan perbankan syariah di negara-negara lain,

seperti kawasan Timur Tengah, dan Malaysia, maka perkembangan perbankan

syari’ah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan.12

Jika melihat dari segi pertumbuhan jumlah perbankan syari’ah selama

tahun 2010, jumlah Bank Umum Syari’ah (BUS) dan bertambah menjadi 5

(lima) dengan diterbitkannya ijin usaha 5 BUS yaitu; PT. Bank Victoria Syariah,

PT.BCA Syariah, PT. Bank Jabar Banten Syariah, PT.Bank BNI Syariah, dan

PT. Bank Maybank Syariah Indonesia. Dari 5 (lima) ijin BUS baru tersebut 3

(tiga) diantaranya adalah ijin konversi (perubahan kegiatan usaha bank

konvensional menjadi bank syariah) dan 2 (dua) lainnya adalah ijin BUS hasil

spin-off (pemisahan). Dengan disetujuinya spin-off Unit Usaha Syariah (UUS) pada beberapa bank maka jumlah Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha

Syariah (UUS) di tahun 2010adalah 11 Bank Umum Syariah (BUS) dan 23 Unit

Usaha Syariah (UUS).

13

Sedangkan dari 2010 ke 2011, tidak terjadi penambahan jumlah Bank

Umum Syariah (BUS), begitu pula dengan Unit Usaha Syariah (UUS), Yang

mengalami peningkatan hanya jumlah Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)

yang mencapai 153 bertambah tiga dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, dari segi

12

Choir., Loc.Cit.

13

Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011, Direktorat Perbankan Syariah,

(22)

perluasan jaringan kantor cukup tinggi, mecapai 1.354, 301 dan 362 untuk

masing-masing BUS, UUS, dan BPRS.14

Pengembangan perbankan syariah nasional pada dasarnya merupakan

bagian dari program restrukturisasi perbankan nasional. Sedikitnya ada empat hal

yang menjadi tujuan pengembangan perbankan yang berdasarkan prinsip Islam

tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Kedua, terciptanya dual banking system di Indonesia yang mengakomodasikan baik perbankan konvensional maupun

perbankan syariah yang akan melahirkan kompetisi yang sehat dan perilaku

bisnis yang berdasarkan nilai-nilai moral, yang pada gilirannya akan

meningkatkan market disciplines dan pelayanan bagi masyarakat. Ketiga, mengurangi risiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia. Karena

pengembangan bank syariah sebagai alternatif dari bank konvensional akan

memberikan penyebaran risiko keuangan yang lebih baik. Keempat, mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan membatasi kegiatan

spekulasi atau tidak produktif karena pembiayaan ditujukan pada usaha-usaha

yang berlandaskan nilai-nilai moral.15

Pertumbuhan pembiayaan yang tinggi di tengah pasar perbankan syariah

yang sedang berkembang di Indonesia sekarang ini merupakan hal yang

didambakan. Akan tetapi, pertumbuhan pembiayaan yang tinggi bukan

14

Ali rama, Op.Cit., hal.3 15 Outlook Perbankan Syariah,

(23)

segalanya. Hal terpenting adalah pembiayaan dengan portfolio sehat dan tumbuh

sesuai kebutuhan pasar. Oleh karena semangat tinggi dalam pertumbuhan,

seringkali setelah pembiayaan diberikan bukan peningkatan pendapatan yang

diperoleh. Hal yang muncul, justru permasalahan pembiayaan.16

Seiring pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia dalam beberapa

tahun terakhir ini, pembiayaan bermasalah pada perbankan syari’ah juga

melonjak tajam. Hal ini disebabkan setidaknya karena dua hal; Pertama, kemampuan debitur mengembalikan pinjaman menurun karena krisis global yang

menyebabkan penghasilan mereka juga berkurang. Kedua, perbankan syariah cenderung berhati-hati dan menahan pembiayaannya sehingga rasio Non Performing Financing (NPF) naik.17

Kondisi ini bisa dilihat dari data Bank Indonesia tentang Pembiayaan

bermasalah (Non Performing Financing/-NPF) perbankan syariah. Pada Januari 2010 pembiayaan bermasalah kembali meningkat sekitar 35 basis poin menjadi

4,36% dari akhir tahun lalu 4,01%, Bahkan secara tahunan melonjak dari

sebelumnya 1,4% akibat kualitas pembiayaan modal kerja di usaha kecil

menengah menurun. Peningkatan pembiayaan bermasalah itu, paling tinggi

terjadi pada modal kerja yang meningkat menjadi Rp. 1,1 triliun naik dalam

sebulan mencapai Rp. 201 miliar dari posisi sebelumnya Rp. 899 miliar.

16

Burhanuddin Siregar, Pengaruh Produk Sektor Usaha, Segmentasi dan Plafond Pembiayaan Terhadap Penciptaan Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,

Desember 2010. 17

Arthur Gideon, Lampu Kuning NPF Bermasalah Bank Syariah,

(24)

Demikian juga dengan pembiayaan investasi mengalami kenaikan pembiayaan

nonlancar menjadi Rp. 572 miliar dari bulan sebelumnya Rp. 574 miliar,

termasuk kualitas pembiayaan untuk konsumsi juga menujukkan kenaikan

pembiayaan bermasalah sebesar Rp. 2 miliar menjadi Rp. 475 miliar.

Berdasarkan sektor usaha, kenaikan pembiayaan bermasalah terjadi di sektor

usaha kecil menengah dari Rp 1,61 triliun menjadi 1,74 triliun, sedangkan non

UKM juga naik dari Rp. 271 miliar menjadi Rp. 312 miliar. Direktur Bisnis BRI

Syariah Ari Purwandono mengatakan peningkatan pembiayaan bermasalah

dipengaruhi berbagai faktor di antaranya pada awal tahun dipicu oleh rendahnya

kucuran pembiayaan baru sehingga pembagi terhadap NPF menjadi lebih

rendah.18

Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syari’ah di

Indonesia menunjukan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank

syari’ah di Indonesia merupakan hal mendesak dan harus segera dilaksanakan.

Restrukturisasi ini juga bertujuan untuk menjamin kegiatan operasional

perbankan yang sehat dan tersedianya fasilitas jasa perbankan yang merupakan

hal yang sangat penting sebagai wadah untuk memobilisasi dana, menciptakan

infrastruktur hukum dan standar pengawasan perbankan, menciptakan dan

mempertahankan sistem perbankan yang sehat dan untuk menyelesaikan masalah

18

(25)

bank yang lemah dan insolven, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat

kepada perbankan.19

Untuk mengakomodir perkembangan yang terjadi pada perbankan syariah, maka

diperlukan beberapa ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi kebutuhan

perbankan syariah, ataupun penyempurnaan atas ketentuan yang sudah ada

sebelumnya oleh Bank Indonesia sebagai regulator perbankan di Indonesia.

Penyempurnaan ketentuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap

perbankan syariah tidak hanya bertujuan untuk mengakomodir perkembangan

yang ada, seperti pembiayaan bermasalah yang semakin meningkat, namun juga

untuk tujuan harmonisasi dengan ketentuan perbankan konvensional. Seperti

peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia mengenai restrukturisasi pembiayaan

yang tentunya tetap memperhatikan kesesuaian dengan prinsip syariah, serta

mempertimbangkan assessment yang dilakukan dalam rangka Financial Sector Assessment Program (FSAP) terhadap peraturan perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 tanggal 8

Februari 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/18/PBI/2008

Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang

diberlakukan sejak tanggal 8 Februari 2011. Peraturan Bank Indonesia (PBI) itu

sendiri dilakukan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dan kualitas

19

(26)

pembiayaan serta meminimalisasi risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha

Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya, dimana salah satu

upayanya dapat dengan melakukan Restrukturisasi Pembiayaan atas nasabah

yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar. Ketentuan ini

mengatur hal-hal berupa: pertama, kualitas pembiayaan yang dapat dilakukan

restrukturisasi. Kedua, intensitas berapa kali restrukturisasi pembiayaan dapat

dilakukan dan penetapan kualitas pembiayaan apabila melebih jumlah maksimal

pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan sesuai ketentuan. Ketiga, bank wajib

menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan untuk

pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Keempat,

Laporan restrukturisasi pembiayaan bagi BPRS. 20

Berdasarkan uraian di atas, maka kajian mengenai restrukturisasi

pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha syari’ah berdasarkan PBI

No.13/09/PBI/2011 yang merupakan penyempurnaan dari PBI

No.10/18/PBI/2008 menjadi penting untuk dikaji, karena melihat bagaimana

kebijakan restrukturisasai tersebut akan memberikan jalan keluar atau solusi

bagi perbankan syari’ah di Indonesia dari tingginya tingkat pembiayaan

bermasalah yang sedang dihadapinya seiring perkembangan pesat perbankan

syari’ah di Indonesia saat ini.

20

(27)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengajukan

permasalahan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan

kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha

syari’ah.

2. Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit

usaha syariah berdasarkan ketentuan PBI No.13/9/PBI/2011.

3. Prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam restrukturisasi pembiayaan

perbankan syari’ah dan unit usaha syari’ah menurut ketentuan PBI No

13/9/PBI/2011.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Bank Indonesia

mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi

(28)

3. Untuk mengetahui dan menganalisis prinsip-prinsip yang terkandung dalam

restrukturisasi perbankan syari’ah menurut ketentuan PBI

No.13/9/PBI/2011.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai di atas, maka diharapkan

penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan substansi disiplin di bidang Ilmu hukum, khususnya Hukum

Perbankan Syari’ah.

2. Manfaat Praktis :

Diharapkan dapat memberi manfaat bagi policy maker dalam menentukankebijakan yang berkaitan dengan perbankan, khususnya bank

yang mendasarkan pada prinsip Syariah.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul “Analisis Yuridis PBI No.13/9/PBI/2011 tentang

Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah dan Usaha Unit Syari’ah ” ini

adalah asli, karena belum ada tesis-tesis terdahulu yang menulis tentang hal

yang sama di lingkungan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas

(29)

F. Terangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi

bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak

disetujui.21

Dalam tesis yang membahas restrukturisasi kebijakan pembiayaan bagi

bank syari’ah dan unit usaha syari’ah ini digunakan teori restrukturisasi sebagai

grand theory, atau disebut juga dengan teori sebagai pisau analisis. Restrukturisasi merupakan tindakan berani dengan melakukan pengorbanan.

Harapannya, nilai perusahaan secara fundamental membaik.22

Dalam era persaingan yang semakin ketat, setiap kali sebuah perusahaan

harus mengevaluasi kinerjanya, serta melakukan serangkaian perbaikan, agar

tetap tumbuh dan dapat bersaing. Perbaikan ini akan dilaksanakan secara terus

menerus, sehingga kinerja perusahaan makin baik dan dapat terus unggul dalam

persaingan, atau minimal tetap dapat bertahan. Salah satu strategi untuk

memperbaiki dan memaksimalkan kinerja perusahaan adalah dengan cara

21 M.Solly Lubis,

Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), h.80. Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa teori yang dimaksudkan di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.

22

Bramantyo Djohganputro, Restrukturisasi Bukan Sekedar Make Up,

(30)

restrukturisasi. Jika mendengar istilah atau kata restrukturisasi, maka

seolah-olah membicarakan perusahaan yang sedang menurun. Hal ini disebabkan oleh

definisi restrukturisasi itu sendiri, yang antara lain restrukturisasi sering disebut

sebagai downsizing atau delayering, melibatkan pengurangan perusahaan di bidang tenaga kerja, unit kerja atau divisi, ataupun pengurangan tingkat jabatan

dalam struktur oganisasi perusahaan. Pengurangan skala perusahaan ini

diperlukan untuk memperbaiki efisiensi dan efektifitas.23

Strategi restrukturisasi digunakan untuk mencari jalan keluar bagi

perusahaan yang tidak berkembang, sakit atau adanya ancaman bagi organisasi,

atau industri diambang pintu perubahan yang signifikan. Pemilik umumnya

melakukan perubahan dalam tim unit manajemen, perubahan strategi, atau

masuknya teknologi baru dalam perusahaan. Selanjutnya sering diikuti oleh

akuisisi untuk membangun bagian yang kritis, menjual bagian yang tidak perlu,

guna mengurangi biaya akuisisi secara efektif. Hasilnya adalah perusahaan

yang kuat, atau merupakan transformasi industri. Strategi restrukturisasi

memerlukan tim manajemen yang mempunyai wawasan untuk melihat ke

depan, kapan perusahaan berada pada titik undervalued atau industri pada posisi yang matang untuk transformasi. Wawasan yang sama diperlukan untuk

23

(31)

melakukan turn around pada unit usaha, bahkan pada bisnis yang tidak familiar.24

Restrukturisasi ini dalam hukum perusahaan bertujuan untuk memperbaiki

dan memaksimalisasi kinerja perusahaan. Perusahaan melakukan pembenahan

supaya segera lepas dari krisis melalui berbagai aspek. Perbaikan-perbaikan

tersebut menyangkut berbagai aspek perusahaan, mulai dari perbaikan portofolio

perusahaan, perbaikan permodalan, perampingan manajemen, perbaikan sistem

pengelolaan perusahaan, sampai perbaikan sumber daya manusia. Dengan

demikian, restrukturisasi perusahaan merupakan kepentingan semua pihak.

Bukan saja pihak manajemen, namun juga merupakan kepentingan komisaris

yang mewakili kepentingan pemegang saham. Restrukturisasi juga merupakan

kepentingan karyawan secara keseluruhan karena tindakan restrukturisasi akan

berdampak pada semua karyawan.

25

Kebutuhan akan restrukturisasi ini juga diperlukan dalam dunia perbankan.

Salah satu penyebab dilakukannya restrukturisasi dalam perbankan disebabkan

pembiayaan atau kredit yang disalurkan bank kepada nasabahnya mengalami

masalah.26

24 Henry Mintzberg and James Brian Quinn,

The Strategy Process, Concepts, Contects, Cases,

dalam Strategi Untuk Memperbaiki dan Memaksimalkan Kinerja Perusahaan,dalam

25

Edratna, Restrukturisasi Perusahaan, Penting Dilakukan dalam Keadaan Ekonomi Apapun,

26

(32)

Restrukturisasi hutang perlu dilakukan untuk mengatasi kredit yang

bermasalah yang sedang dialami oleh perusahaan, baik perusahaan manufaktur,

perusahaan jasa, maupun perusahaan dagang. Kredit yang bermasalah ini

mempunyai dampak yang sangat luas terhadap seluruh aspek perekonomian.

Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat dari adanya kredit macet

ini, pemerintah Indonesia memberikan atau memprioritaskan untuk melakukan

restrukturisasi hutang pada

perbankan diumpamakan sebagai jantungnya perekonomian Indonesia, yang

dimana apabila perbankan tersebut sehat maka perekonomian negara pun juga

mengarah ke arah yang positif dan akan berdampak ke semua sektor

perekonomian.27

Restrukturisasi ini juga penting untuk dilakukan pada pembiayaan bagi bank

syari’ah dan unit usaha syari’ahnya yang mengalami masalah. Dalam upaya

untuk menghindari risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah

berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya, dan sebagai salah satu upaya

untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah pembiayaan, Bank Syariah dan Unit

dijanjikan, Pembiayaan yang tidak menepati jadwal angsura \Pembiayaan yang memiliki potensi merugikan BMT, Pembiayaan yang memiliki potensi menunggak dalam satu waktu tertentu, dalam

Pembiayaan Bermasalah, Pencegahan dan Penanganan, ASBISINDO Jawa Barat,

27

Restrukturisasi Utang; Alasan, Proses dan Model,

(33)

Usaha Syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang

memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar.28

Hal ini berkaitan erat dengan penyelamatan kredit melalui jalur

non-hukum. Restrukturisasi merupakan upaya yang dilakukan bank dalam rangka

membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain

melalui:29

1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya. Penjadwalan kembali dapat

dilakukan dengan berbagai cara. Tindakan rescheduling dapat diberikan

kepada debitur yang masih menunjukkan itikad baik untuk melunasi

kewajibannya. Tindakan ini dilakukan karena terjadi kelebihan pembiayaan

terhadap obyek kredit (over finance).

2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah

angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak

menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank.

Tindakan reconditioning dapat diberikan kepada debitur yang masih memiliki

itikad baik untuk melunasi kewajibannya, yang berdasarkan pembuktian

28

Konsideran PBI No.10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah.

29

(34)

secara kuantitatif merupakan alternatif yang terbaik. Tindakan ini juga

dilakukan karena debitur mengalami kekurangan modal kerja.

3. Penataan Kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah.

Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk kredit dengan kualitas

kurang lancar, diragukan dan macet.

Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet merupakan tindakan yang

sudah lazim dilakukan di kalangan perbankan untuk menurunkan rasio kredit

bermasalah (non- performing loan) agar tingkat kesehatan bank tetap terjaga

dengan baik. Meskipun demikian, program restrukturisasi dan penghapusan

kredit macet harus dilaksanakan secara benar sesuai aturan hukum yang berlaku

agar tidak sampai menimbulkan moral hazard yang dapat merugikan pihak bank,

debitor, dan masyarakat. Di masa kini, restrukturisasi dan penghapusan kredit

macet secara umum telah diatur secara jelas dalam UU Perbankan (UU 10/1998),

Peraturan Bank Indonesia (PBI 7/2005), dan dalam pedoman perkreditan di

masing-masing bank. Penghapusan (write-off) terhadap kredit macet adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen risiko penyaluran kredit perbankan.30

30

Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007), h.5.

Sejalan dengan penyelamatan kredit yang menggunakan jalur non hukum,

(35)

kepailitan tidak semata-mata bermuara kepada kemungkinan atau kemudahan

pemailitan debitur yang tidak membayar hutang. Undang-undang kepailitan

harus memberikan alternatif muara yang lain, yaitu berupa pemberian

kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar

hutang-hutangnya tetapi masih memiliki prospek usaha yang baik serta pengurusnya

beritikad baik dan kooperatif dengan para kreditur untuk melunasi

hutang-hutangnya, merestrukturisai hutang-hutang-hutangnya, dan menyehatkan perusahaannya.

Restrukturisasi hutang dan perusahaan (debt and corporate restructuring, atau

corporate reorganization, atau corporate rehabilitation) akan memungkinkan perusahaan debitur kembali berada dalam keadaan mampu membayar

hutang-hutangnya.31

Sedangkan teori pendukung atau dikenal dengan teori sebagai wacana,

pada penelitian ini menggunakan Teori tentang Kesehatan Bank, Teori Risiko

Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts dan Teori Pengawasan bank. Penilaian kesehatan bank amat penting disebabkan karena bank mengelola

dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Untuk menilai suatu kesehatan

bank dapat dilihat dari berbagai segi. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan

apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat atau

tidak sehat. Standar untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan

oleh pemerintah melalui Bank Indonesia. Kepada bank-bank diharuskan

31

(36)

membuat laporan baik yang bersifat rutin ataupun secara berkala mengenai

seluruh aktivitasnya dalam suatu periode tertentu. Dari laporan ini dipelajari dan

dianalisis, sehingga dapat diketahui kondisi suatu bank. Dalam ketentuan Surat

Edaran BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, perihal Penilaian Tingkat

Kesehatan Bank Umum maka predikat Tingkat Kesehatan Bank dibagi dalam

empat peringkat, yaitu :

Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 1 (PK-1) atau Peringkat Komposit 2 (PK-2), ”Cukup Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 3 (PK-3), “Kurang Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 4 (PK-4), dan “Tidak Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 5 (PK-5).

Penilaian tingkat kesehatan bank secara kuantitatif dilakukan terhadap 5

(lima) faktor, yaitu faktor Permodalan (Capital), Kualitas Aktiva Produktif

(Asset), Manajemen, Rentabilitas (Earning) dan Likuiditas. Analisis ini dikenal

dengan istilah Analisis CAMEL. CAMEL merupakan aspek yang paling banyak

berpengaruh terhadap kondisi keuangan bank dan merupakan tolak ukur yang

menjadi obyek pemeriksaan bank yang dilakukan oleh regulator bank.32

Sedangkan Teori Risiko Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts

adalah mengindentifikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah

sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko

(37)

yang ada dari pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts, seperti

murabahah, ijarah, ijarah muntahia bit tamlik, salam dan istishna.33

Risio-risiko perbankan pada umumnya dibandingkan dengan bank syariah,

mengacu pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 antara lain sebagai

berikut :

34

1. Risiko Kredit (credit risk).

Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya.

2. Risiko Pasar

Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.

3. Risiko Likuiditas

Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan. Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah

33

Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi II, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h.241.Selanjutnya dikatakan bahwa penilaian risiko ini mencakup dua aspek, yaitu Default Risk (risiko kebangkrutan), yakni risiko yang terjadi pada First Way Out dan aspek

Recovery Risk (risiko jaminan), yakni risiko yang terjadi pada Second Way Out. 34

Rasul Karim, Manajemen Risiko Pada Perbankan Syari’ah,

(38)

membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, di dalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

Ada tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank, yakni;

analisis pembiayaan yang keliru, creative accounting, dan karakter nasabah.

Risiko yang ditimbulkan dari kelemahan analisis yang dilakukan bank ini

memberikan dampak terjadinya pembiayaan bermasalah.35

Kesemua teori ini juga tidak terlepas dari teori pengawasan bank yang

mengemukakan bahwa sistem pengawasan bank yang semata-mata untuk

mewujudkan dan menjaga sistem perbankan yang sehat akan tercapai apabila

otoritas pengawas dapat dengan mudah melakukan pengawasan secara efektif

serta semua bank yang diawasi dalam kondisi terkendali sepenuhnya. Hal ini

dimungkinkan apabila bank yang diawasi sedikit atau diupayakan menjadi

sangat minimal, dan semua kegiatan bank sampai pada hal yang paling teknis

diatur melalui seperangkat aturan yang ketat dan ruang gerak usaha bank

dibatasi melalui berbagai aturan yang bersifat larangan.

Teori ini berkaitan

erat dengan teori kesehatan bank dan restrukturisasi.

36

35

Adiwarman Karim,Op.Cit., h.251. 36

(39)

2. Konsepsi

Dalam penelitian hukum pentingnya kerangka konsepsional ditujukan

untuk memberikan beberapa konsep atau pengertian yang akan dipergunakan

sebagai dasar penelitian. Adapun istilah-istilah yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah:

Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam

rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya.37

Kebijakan adalah sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai

tujuan tertentu.38

Pembiayaan adalah Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan

yang dipersamakan dengan itu berupa; transaksi bagi hasil dalam bentuk

mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang

mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk

37

Pasal 1 angka 7 PBI No.10/18/PBI/200B tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

38

(40)

mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan

ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.39

Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya

berdasarkan prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum

Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.40

Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.41

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam

kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.42

Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja

dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor

induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan

Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang

berkedudukan di luar negeri yang pelaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu

syariah dan/atau unit syariah.43

Risiko Likuiditas adala

dapat membayar kewajibannya yang jatuh tempo secara tunai. Meskipun pihak

tersebut memiliki aset yang cukup bernilai untuk melunasi kewajibannya, tapi

39

Pasal 1 angka 25 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 40

Pasal 1 angka 7 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 41

Pasal 1 angka 8 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 42

(41)

ketika aset tersebut tidak bisa dikonversikan segera menjadi uang tunai, maka

pihak tersebut dikatakan tidak likuid.44

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif atau

disebut juga dengan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum

normatif atau kepustakaan ini mencakup: penelitian terhadap asas-asas

hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf

sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.45

Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang

memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa

ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. Paling tidak ada tiga ciri dari

penelitian deskriptif yaitu: pertama, penelitian deskriptif berhubungan

dengan keadaan yang terjadi saat itu. Kedua, menguraikan satu variabel saja,

jika ada beberapa variabel yang akan diuraikan dilakukan satu persatu.

Ketiga, variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan

(treatment) terhadap variabel.46

45

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1994), h.14.

46 Ronny Kountur,

(42)

2. Sumber Data

Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif

maka data yang dipergunakan adalah data sekunder, yang bersumber pada:

a. Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan

hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum atau

perundang-undangan yang berkaitan erat dengan penelitian ini, seperti UU No.10

tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia, UU No.21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syari’ah dan PBI No.13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi

Pembiayaan Bagi bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah serta ketentuan

pelaksana berupa Surat Edaran Bank Indonesia yang terkait dengan

restrukturisasi pembiayaan.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian,

hasil karya ilmiah lainnya di bidang hukum dan sebainya.

c. Bahan Hukum Tertier adalah bahan hukum penunjang yang mencakup

bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder yang lebih dikenal dengan nama bahan

acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum seperti kamus

umum, kamus hukum, ensiklopedi hukum, dan lain-lain, serta

bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk

(43)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier

teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui penelitian

kepustakaan (library research).

4. Analisa Data

Setelah seluruh data yang diperlukan untuk penelitian ini

dikumpulkan, selanjutnya data dianalisa secara kualitatif. Artinya data yang

diperoleh dianailisis secara menyeluruh, mendalam dan komprehensif

(44)

BAB II

KEBIJAKAN BANK INDONESIA

TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH (UUS)

A. Fungsi dan Kewenangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

Ruang lingkup kebijakan pengaturan pengaturan dan pengawasan bank

oleh Bank Indonesia (BI) menurut undang-undang yang pelaksanaannya tertuang

dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI), pada dasarnya mencakup empat

aspek, yakni : pertama, perizinan, meliputi ijin prinsip dan ijin usaha. Kedua,

pengaturan dan ketentuan perbankan, meliputi ijin bank, kelembagaan bank,

kegiatan usaha bank, kegiatan bank dengan prinsip syariah,

merger-konsolidasi-akuisisi, sistem informasi antar bank, tata cara pengawasan bank, sistem

pelaporan bank ke BI, penyertaan bank, pencabutan usaha-likuidasi-pembubaran

bentuk hukum bank, dan lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan.

Ketiga,aspek pengawasan, meliputi pengawasan secara tidak langsung (on site supervision maupun keduanya). Keempat, aspek pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan, berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana.47

Berbagai aturan yang dibuat tersebut tidak lain adalah untuk menciptakan

dan memelihara kesehatan bank48

47

Marsuki, Landscape Kebanksentralan Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana media, 2010), hal.104-105.

, baik secara individu maupun perbankan

sebagai suatu sistem.

48

(45)

1. Fungsi Pembinaan dan Pengawasan Perbankan di Indonesia

Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang

Perbankan mengamanatkan bahwa: “Pembinaan dan pengawasan bank

dilakukan oleh Bank Indonesia. Sejalan dengan itu, Pasal 8 Undang-Undang

No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia juga menyatakan bahwa:

“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:

(1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter (2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran (3) Mengatur dan mengawasi bank

Adapun fungsi pembinaan yang dimanatkan undang-undang kepada

Bank Indonesia maknanya adalah merupakan upaya-upaya yang dilakukan

dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek-aspek;

kelembagaan bank, kepemilikan bank, kepengurusan bank, kegiatan usaha

bank, pelaporan bank, reta lainnya berhubungan dengan kegiatan operasional

bank.49

Sedangkan fungsi pengawasan adalah meliputi pengawasan tidak

langsung, yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian

memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran sistem pembayaran, serta dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter. Demikian juga harus sehat secara mikro, sebagai suatu entitas bisnis. Untuk itu berarti bank harus mempunyai modal yang cukup; mampu menajga kualitas assetnya; mampu mengelola dengan baik dan mengoperasikannya berdasarkan prinsip kehati-hatian; mampu menghasilkan keuntungan untuk mempertahankan usahanya; mampu memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi segala kewajibannya, serta senantiasa dapat memnuhi segala ketentuan dan aturan yang ditetapkan.

49

(46)

analisis dan evaluasi laporan bank; dan pengawasan langsung dalam bentuk

pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.50

Jadi undang-undang perbankan membedakan secara jelas yang

dimaksud dengan fungsi pembinaan dan fungsi pengawasan, dimana fungsi

pembinaan menitikberatkan pada “regulation”, sedangkan fungsi pengawasan menitikberatkan pada “supervision”.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 29 UU No.10 Tahun 1998 tentang

Perbankan dijelaskan pula tujuan dari pembinaan dan pengawasan bank oleh

Bank Indonesia tersebut, yaitu:

Pertama, kedua fungsi itu harus dilakukan oleh Bank Indonesia selaku

bank sentral, mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat

yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, karenanya keadaan suatu

bank perlu dipantau oleh Bank Indonesia.

Kedua, tujuannya agar kesehatan bank tetap terjaga dan kepercayaan

masyarakat terhadap bank tetap terpelihara, sebab kepercayaan masyarakat

terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga

perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat.

Ketiga, sejalan dengan itu Bank Indonesia diberi kewenangan, tanggung

jawab dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang

bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk-petunjuk,

50

(47)

nasihat-nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam

bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.

Keempat, di pihak lain bank wajib memiliki dan menerapkan sistem

pengawasan internal dalam rangka menjamin terlaksananya proses

pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip

kehati-hatian.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pembina, Bank Indonesia (BI)

berperan sebagai institusi atau regulator sistemik. Ada tiga alasan BI berperan

sebagai regulator sistemik. yang mengawasi kesehatan dan stabilitas

keseluruhan sistem keuangan semakin mengemuka. Tiga alasan tersebut,

pertama, bank sentral memiliki hubungan jual-beli sehari-hari dengan palaku

pasar sebagai bagian dari fungsi utamanya mengimplementasikan kebijakan

moneter. Sehingga tidak ada lembaga lain yang memiliki pengetahuan dan

akses sejenis ke aliran utama sistem keuangan. Kedua, tanggung jawab untuk

mempertahankan stabilitas ekonomi makro sangat sejalan dengan peran

untuk menjamin stabilitas keuangan. Sejarah menunjukkan berbagai krisis

ekonomi dunia selalu berhubungan dengan krisis keuangan, sehingga bank

sentral secara alami memang harus mempertimbangkan intetaksi antara

sektor keuangan daan kebijakan moneter dalam melaksanakan tugansnya.

Ketiga, fungsi lender of last resort memang ada di bank sentral. Dengan fungsi itu, bank sentral dapat menggunakan neracanya untuk menyedaikan

(48)

bank sentral akan mampu memperoleh informasi lapangan langsung dari

lembaga-lembaga keuangan yang diawasi . Informasi ini butuhkan untuk

membuat keputusan yang tepat apakah suatu lembaga keuangan perlu di

selamatkan.51

2. Fungsi Bank Indonesia sebagai “Lender of The Last Resort”

Kebijakan lender of last resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu alat efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu,

BI telah merumuskan secara lebih jelas kebijakan the lender of last resort

(LLR) dalam kerangka JPSK untuk dalam kondisi normal dan darurat (krisis)

mengacu pada best practices. Pada prinsipnya, LLR untuk dalam kondisi normal hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven yang memiliki agunan likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR

untuk kondisi krisis, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan

utama, dengan tetap mensyaratkan solvensi dan agunan. 52

51

Darmin Nasution, Ada Tiga Alasan bank Indonesia Sebagai Regulator Sistemik, Info bank, 23 januari 2010.

Untuk mengatasi

kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank Indonesia sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah berdasarkan

Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah

(49)

dengan Undang-undang No 3 Tahun 2004 .53

B. Peran Bank Indonesia dalam Perbankan Syariah

Sebagai peraturan pelaksanaan

fungsi lender of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan

Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006.

Pendanaan FPD bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN).

Sejalan dengan tugas pokok dan peran Bank Indonesia serta arahan umum

kebijakan di bidang perbankan pada awal tahun 2010, pelaksanaan kebijakan di

bidang perbankan syariah selain mengacu pada kebijakan umum di bidang

perbankan juga memperhatikan arahan dan kebijakan khusus terkait dengan

perbankan syariah yang merupakan sub sektor perbankan yang masih perlu di

dorong agar dapat tumbuh lebih cepat dimana peran dan kontribusinya

diharapkan dalam mencapai sasaran kebijakan di bidang perbankan dan

kebijakan Bank Indonesia secara umum dapat lebih besar.

Secara umum Bank Indonesia telah menetapkan sejumlah arah kebijakan di

bidang perbankan dengan pendekatan insentif dan disinsentif. Hal ini antara lain

mencakup peningkatan ketahanan sistem perbankan yang perlu ditempuh melalui

penguatan pengaturan, pemantapan sistem pengawasa bank, penataan kembali

53

(50)

tingkat kompetisi di Industri perbankan Indonesia, serta pendalaman pasar

keuangan. Selanjutnya, untuk meningkatkan peranan perbankan syariah terhadap

perekonomian nasional dan penguatan ketahanannya sejumlah kegiatan yang

merupakan implementasi arah kebijakan tahun 2010 di bidang perbankan syariah

yang dilaksanakan Bank Indonesia, khususnya Direktorat Perbankan Syariah

dengan mencakup berbagai kegiatan dalam bidang penelitian, pengaturan dan

pengembangan, perijinan, dan pengawasan perbankan syariah. Seluruh kegiatan

tersebut dilakukan sebagai satu kesatuan dalam upaya mengembangkan

perbankan syariah yang efisien, prudent dan sejalan dengan prinsip syariah.54

1. Penelitian dalam Rangka Regulasi dan Pengembangan Produk

Sebagai pemegang otoritas pengawas bank-bank di Indonesia, Bank

Indonesia secara intensif sejak tahun 2002 hingga sekarang terus melakukan

regulasi terhadap aktivitas perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun

2007-2008, Bank Indonesia mencanangkan program akselerasi pengembangan dan

pertumbuhannya. Dalam jangka pendek, hingga akhir 2008 Bank Indonesia

menargetkan pertumbuhan kuantitatif aset perbankan syariah yang cukup

besar, yaitu dapat mencapai minimal 5% dari seluruh aset perbankan

nasional. Untuk itulah akselerasi pertumbuhan tersebut perlu didukung oleh

suatu kebijakan akselerasi yang tepat yang tidak hanya melibatkan Bank

54

Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011,

Referensi

Dokumen terkait

Upaya untuk mencari solusi atas masalah masih rendahnya volume pembiayaan berbasis bagi hasil yang disalurkan oleh perbankan syariah, maka perlu dikaji faktor apa saja

Bab I terdiri dari beberapa bagian yaitu, memuat latar belakang masalah sebagai alasan peneliti untuk membahas tentang Pengukuran Kinerja Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Break Even Point (BEP) pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Studi Kasus pada BPRS BDS Yogyakarta)” dengan baik, yang merupakan syarat