ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA
NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)
TESIS
Oleh
SRI MURTINI 097005108/ HK
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA
NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Studi Ilmu Hukum Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
SRI MURTINI 097005108/ HK
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
Judul Tesis :ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK INDONESIA NO.13/09/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARI’AH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)
Nama Mahasiswa : Sri Murtini Nomor Pokok : 097005108 Program Studi : ILMU HUKUM
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Utary maharani Barus, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal, 20 Januari 2012
PANITIA PENGUJI
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
ABSTRAK
Bank Syariah dan unit syariah sebagai lembaga intermediasi, dalam operasionalnya salah satu tugas pokoknya adalah memberikan pembiayaan yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak pihak yang merupakan deficit unit. Pembiayaan bukanlah tanpa masalah dan tanpa resiko.Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syariah menunjukkan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank syariah dan unit usaha syariah merupakan hal yang mendesak dan harus segera dilaksanakan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariaah.Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah menurut PBI No 13/9/PBI/2011 serta prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam strukturisasi pembiayaan perbankan syariah dan unit usaha syariah menurut ketentuan PBI No :13/09/PBI/2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum perpustakaan. Penelitian ini mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bank syariah dan unit usaha syariah. Penelitian ini bersifat dekriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran atas suatu keadaan sejelas mungkin.
Ada 4 faktor yang membuat Bank Indonesia mengeluarka kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usah syariah yakni:untuk menjaga kelangsungan usaha,untuk menjaga kualitas pembiayaan,untuk mendukung pertumbuhan industry perbankan syariah secara optimal,untuk meminimalisasi resiko kerugian. Adapun bentuk restrukturisasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia adalah:Penjadualan kembali(Rescheduling),persyaratan kembali(Reconditioning), dan penataan kembali (Restructuring). Kebijakan restrukturisasi oleh Bank Indonesia berpedoman kepada beberapa prinsip yakni prinsip umum restrukturisasi pembiayaan: Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), Prinsip demokrasi ekonomi, Prinsip kepercayaan (Fiduciarya Principle) ,prinsip kerahasiaan (Confidential Principle) dan Prinsip good coorperate governance, selain itu juga dianut prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi bank syariah dan unit usaha syariah yaitu:prinsip keadilan dan keseimbangan,prinsip kemashalatan dan prinsip tidak mengandung gharar, maysir dan riba.Dalam pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah diharapkan agar konsekwan menerapkan sarana prinsip-prinsip syariah
Kata kunci: -Restrukturisasi,pembiayaan
ABSTRACT
Islamic banks and Islamic unit in as intermediation agencies, its operational is providing financing that is anyway the granting of facilities provision of funds to meet the needs of the parties which is deficit unit. Financing is not without issues and without risk. An overview of the financing conditions in the troubled Islamic banks shows that restructuring in terms of financing on Islamic banks and Islamic business unit is urgent and should be immediately implemented.. As for the issue raised in this research are: what factors are causing the Indonesia Bank restructuring policy for issuing Islamic bank financing and business units. How to shape the restructuring of the financing for Islamic banks according to PBI No. 13/10/PBI/2011 as well as the principles are contained in the structuring of financing Islamic banking and Islamic business units according to the provisions of the PBI No: 13/10/PBI/2011.
The methods used in this research is a research method or also called juridical normative legal research library. This study refers to the norm of law that there are in the legislation that governs Islamic banks and Islamic business unit. This research is the descriptive research give you an idea of a State as clearly as possible.
There are four factors that make the Bank Indonesia issued a policy of restructuring financing for Islamic banks and units have : in order to maintain continuity of business, to maintain quality, financing to support the growth of Islamic banking industry optimally, to minimize the risk of loss. As for the form of restructuring that is determined by the Bank Indonesia is: Rescheduling, Reconditioning, and Restructuring. The policy of restructuring by Bank Indonesia based upon a number of principles: the principle of a general restructuring of financing: the principle of prudence (Prudential Principle), the principles of economic democracy, the principle of trust (Fiduciary Principle), the principle of confidentiality (Confidential Principle) and the principle of good governance, in addition to coorperate also embraced the principles of Islamic and the restructuring of the Islamic and business units, namely: the principle of Islamic and justice, the principle of benefit and balance principle of not containing gharar, gambling and usury
Keywords : - restructuring , financing
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada ALLAH SWT,
karena Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat penulis selesaikan
dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini
masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa faktor teknis yang sangat
terbatas
Adapun tesis ini berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN BANK
INDONESIA NO.13/09/PBI/2011 TENTANG RESTRUKTURISASI
PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH”,(UUS) yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara
Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik
berupa bimbingan, pengajaran dan arahan dari berbagai macam, Oleh karena itu
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada yang terhormat pada pembimbing: Prof.Dr.H.Bismar Nasution,SH,M.H.,
Prof.Dr.Sunarmi,SH,M.Hum., Dr.Utari Maharani Barus,SH,M.Hum., dimana
bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyelesian studi ini, kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr.dr.Syahril Pasaribu,
DTM&H,M.Sc (CTM), Sp.A (K)
2. Dekan Fakultas Hukum USU, Prof.Dr.Runtung, SH.M.Hum., atas kesempatan
menjadi mahasiswa Program Studi Magister Fakultas Huku USU
3. Prof.Dr.Suhaidi, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu
Hukum sekaligus sebagai Komisi Penguji
4. Mahmul Siregar,SH,M.Hum., sebagai Komisi Penguji
Kepada orang tua penulis, Alm.Haji Muhammad Kosim, Alm. Hajjah Siti
Poni, tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain mohon ridho Allah atas kasih
sayang yang telah dicurahkan kepada penulis, semoga Allah mencurahkan kasih
sayangNya kepada kedua orang tua penulis
Kepada suami tercinta Abul Khair SH,MHum yang telah mencurahkan
perhatian dan kesabaran atas penelitian dan penulisan tesis dan kepada anak-anak
penulis M.Farqi Khair, Octi Fadillah Khair, Astri Khairisa, M.Haikal Khair yang
tidak henti-hentinya memberikan dorongan semangat dan kesabaran kepada penulis
Kepada Kakak dan adik-adik penulis terutama Komis Simanjuntak atas
kesabaran dan pengertian serta memberikan doa dan semangat kepada penulis.
Kepada rekan di sekolah Pasca Sarjana Bu Wina, M.Ikhsan,Emil,Pak Made,Pak
Suhadi,Pak M.Butar-butar,Pak Viktor,Pak Bostang,Pak Ikhwan,Pak Faisal,
Pak Yorris,Pak Parada,Pak saptono,yang begitu semangatnya mengikuti pelajaran
Semoga ALLAH SWT membalas jasa, amal, dan budi baik tersebut dengan pahala
yang berlipat ganda.
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan
menyampaikan permintaan yang tulus seandainya dalam penulisan tesis ini terdapat
kekurangan dan kekeliruan disana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang
bertujuan serta bersifat membangun unutuk menyempurnakan penulisan tesis ini
Medan, Januari 2012
Penulis
Sri Murtini
RIWAYAT HIDUP
Nama : Sri Murtini
Tempat/ Tanggal Lahir: P. Besar, 10 Nopember 1961
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD Swasta Kartini Medan Tamat Tahun 1973
SMP Swasta Jenderal Sudirman Medan Tamat Tahun 1976
SMA Negeri VI Medan Tamat Tahun 1980
Strata 1 (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Tamat Tahun 1987
Strata 2 (S2) Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAR HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Permasalahan... 13
C. Tujuan Penelitian... 13
D. Manfaat Penelitian... 14
E.Keaslian Penelitian... 14
F.Kerangka Teori dan Konsep... 15
G. Metode Penelitian... 27
BAB II :KEBIJAKAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANKSYARIAH DAN UNIT USAHA SYARI’AH (UUS)... 30
A. Fungsi dan Kewenangan Bank Indonesia Sebagai Bank Sentra.. . 30
B. Peran Bank Indonesia dalam Perbankan Syariah... 35
A. Restrukturisasi Pembiayaan dan Pengaturannya... 56
B. Pola Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah dan
Unit Usaha Syarian (UUS)... 66
BAB IV : PRINSIP-PRINSIP DALAM RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
BAGI PERBANKAN SYARIA’H DAN UNIT USAHA SYARIAH
(UUS) MENURUT KETENTUAN PBI No.13/9/PBI/2011 ... ... 70
A.Prinsip Umum Restrukturisasi Pembiayaan pada Perbankan Syariah.... 70
B.Prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi pem,biayaan perbankan... 82
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan... 91
B.Saran ... 92
ABSTRAK
Bank Syariah dan unit syariah sebagai lembaga intermediasi, dalam operasionalnya salah satu tugas pokoknya adalah memberikan pembiayaan yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak pihak yang merupakan deficit unit. Pembiayaan bukanlah tanpa masalah dan tanpa resiko.Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syariah menunjukkan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank syariah dan unit usaha syariah merupakan hal yang mendesak dan harus segera dilaksanakan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariaah.Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah menurut PBI No 13/9/PBI/2011 serta prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam strukturisasi pembiayaan perbankan syariah dan unit usaha syariah menurut ketentuan PBI No :13/09/PBI/2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau disebut juga penelitian hukum perpustakaan. Penelitian ini mengacu pada norma–norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bank syariah dan unit usaha syariah. Penelitian ini bersifat dekriptif yaitu penelitian yang memberikan gambaran atas suatu keadaan sejelas mungkin.
Ada 4 faktor yang membuat Bank Indonesia mengeluarka kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usah syariah yakni:untuk menjaga kelangsungan usaha,untuk menjaga kualitas pembiayaan,untuk mendukung pertumbuhan industry perbankan syariah secara optimal,untuk meminimalisasi resiko kerugian. Adapun bentuk restrukturisasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia adalah:Penjadualan kembali(Rescheduling),persyaratan kembali(Reconditioning), dan penataan kembali (Restructuring). Kebijakan restrukturisasi oleh Bank Indonesia berpedoman kepada beberapa prinsip yakni prinsip umum restrukturisasi pembiayaan: Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), Prinsip demokrasi ekonomi, Prinsip kepercayaan (Fiduciarya Principle) ,prinsip kerahasiaan (Confidential Principle) dan Prinsip good coorperate governance, selain itu juga dianut prinsip-prinsip syariah dalam restrukturisasi bank syariah dan unit usaha syariah yaitu:prinsip keadilan dan keseimbangan,prinsip kemashalatan dan prinsip tidak mengandung gharar, maysir dan riba.Dalam pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah diharapkan agar konsekwan menerapkan sarana prinsip-prinsip syariah
Kata kunci: -Restrukturisasi,pembiayaan
ABSTRACT
Islamic banks and Islamic unit in as intermediation agencies, its operational is providing financing that is anyway the granting of facilities provision of funds to meet the needs of the parties which is deficit unit. Financing is not without issues and without risk. An overview of the financing conditions in the troubled Islamic banks shows that restructuring in terms of financing on Islamic banks and Islamic business unit is urgent and should be immediately implemented.. As for the issue raised in this research are: what factors are causing the Indonesia Bank restructuring policy for issuing Islamic bank financing and business units. How to shape the restructuring of the financing for Islamic banks according to PBI No. 13/10/PBI/2011 as well as the principles are contained in the structuring of financing Islamic banking and Islamic business units according to the provisions of the PBI No: 13/10/PBI/2011.
The methods used in this research is a research method or also called juridical normative legal research library. This study refers to the norm of law that there are in the legislation that governs Islamic banks and Islamic business unit. This research is the descriptive research give you an idea of a State as clearly as possible.
There are four factors that make the Bank Indonesia issued a policy of restructuring financing for Islamic banks and units have : in order to maintain continuity of business, to maintain quality, financing to support the growth of Islamic banking industry optimally, to minimize the risk of loss. As for the form of restructuring that is determined by the Bank Indonesia is: Rescheduling, Reconditioning, and Restructuring. The policy of restructuring by Bank Indonesia based upon a number of principles: the principle of a general restructuring of financing: the principle of prudence (Prudential Principle), the principles of economic democracy, the principle of trust (Fiduciary Principle), the principle of confidentiality (Confidential Principle) and the principle of good governance, in addition to coorperate also embraced the principles of Islamic and the restructuring of the Islamic and business units, namely: the principle of Islamic and justice, the principle of benefit and balance principle of not containing gharar, gambling and usury
Keywords : - restructuring , financing
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu
perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem
perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang
sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Perkembangan industri keuangan
syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum
formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum
tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang
telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut
menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan
yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.1
Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank
umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah
beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai
amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan
1
Choir, Arah Perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia,diakses
landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Pada
tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 3
Tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah.
Industri perbankan syariah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat
perundang-undangan tersebut diberlakukan. Apalagi setelah keluarnya UU No.21
tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dimana undang-undang ini dikeluarkan
guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat terhadap perbankan syari’ah. Sehubungan dengan
hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang
mendesak dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah,
prinsip kesehatan bank bagi bank syariah, dan yang tidak kalah penting
diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan
pengaturan terhadap bank syariah dalam undang-undang tersendiri.2
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian
fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan defisit unit. Untuk itu perbankan syari’ah dalam menyalurkan
pembiayaannya harus berlandaskan kepada dua prinsip pembiayaan syariah yang
mendasar. Pertama, Prinsip Keadilan, pembiayaan saling menguntungkan baik
pihak yang menggunakan dana maupun pihak yang menyediakan dana. Kedua,
Prinsip Kepercayaan, merupakan landasan dalam menentukan persetujuan
pembiayaan maupun dalam menghitung margin keuntungan maupun bagi hasil
yang menyertai pembiayaan tersebut.3
Untuk mendukung prinsip-prinsip tersebut agar dapat berjalan jauh dari
prasangka, manipulasi, korupsi dan kolusi maka dibutuhkan informasi yang
memadai. Informasi ini menjadi data pendukung yang dapat digunakan untuk
mengambil keputusan yang proposional. Jenis informasi yang dimaksud antara
lain: pertama, informasi data nasabah. Kedua, informasi data
penjualan/pembelian/penyewaan riil. Ketiga, proyeksi laporan keuangan.
Keempat, akad pembiayaan.4
Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: produk penyaluran dana (financing), produk penghimpun dana (funding) dan produk jasa (service).5
3
Pengenalan Pola Pembiayaan Syari’ah,
Dari ketiga jenis
produk ini, produk penyaluran dana (financing) yang berkaitan erat dengan pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syari’ah. Dalam menyalurkan
dananya kepada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syari’ah terbagi
ke dalam 4 (empat) kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya,
yakni: Pertama, pembiayaan dengan prinsip jual beli. Kedua, pembiayaan dengan
Desember 2010. 4
Ibid.
5
prinsip sewa. Ketiga, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Keempat,
pembiayaan dengan aqad pelengkap.6
Dari berbagai jenis aqad pembiayaan bank syari’ah, di lain pihak sejak
tahun 2003 komposisi pembiayaan bank syari’ah didominasi skim murabahah.
7
Namun demikian, selama periode krisis ekonomi di Indonesia beberapa
tahun yang lalu bank syariah masih dapat menunjukkan kinerja yang relatif lebih
baik dibandingkan dengan lembaga perbankan konvensional. Hal ini dapat dilihat
dari relatif lebih rendahnya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing loans) pada bank syariah dan tidak terjadinya negative spread dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut dapat dipahami mengingat tingkat
pengembalian pada bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga dan
pada akhirnya dapat menyediakan dana investasi dengan biaya modal yang relatif
lebih rendah kepada masyarakat. Pengalaman historis tersebut telah memberikan
harapan kepada masyarakat akan hadirnya sistem perbankan syariah sebagai
alternatif sistem perbankan yang selain memenuhi harapan masyarakat dalam Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia lebih menyukai pembiayaan konsumtif,
dibandingkan pembiayaan produktif.
6
Ibid.
7
aspek syariah juga dapat memberikan manfaat yang luas dalam kegiatan
perekonomian.8
Perkembangan bisnis bank syariah di Indonesia menujukkan pertumbuhan
yang cukup baik sejauh ini. Salah satu faktornya disebabkan oleh dukungan
permintaan “Islamic product” yang solid dari mayoritas penduduk muslim di Indonesia. Secara umum, analisis menujukkan bahwa return on equity (ROE) bank syariah berpotensi mencapai kisaran 38-41%. Nilai ROE tersebut hampir
dua kali kinerja ROE yang dicatatkan bank konvensional. Temuan tesebut
memberikan harapan besar bagi pelaku bank syariah di Indonesia sekaligus
diprediksi akan menciptakan persaingan sengit pada lahan keuangan syariah itu
sendiri dalam beberapa tahun ke depan. Aset bank syariah meningkat sangat
pesat sebesar 40% pada tahun 2009 dibanding periode yang sama tahun
sebelumnya, namun total aset tersebut masih sangat kecil dibanding dengan total
aset perbankan Indonesia yaitu hanya 2,5% dari $270 milyar. Kenyataan tersebut
menujukkan bahwa peluang bank syariah masih cukup besar dan tumbuhnya
potensi bisnis yang kuat (strong potential for growth).9
8 Choir,
Op.Cit.
Menurut proyeksi Bank
Indonesia, pertumbuhan aset perbankan syariah di 2010 paling pesimis bisa
9
Perdana Wahyu Santosa, Momentum Pertumbuhan Bank Syariah,
tumbuh 26% dan paling optimis bisa tumbuh hingga 81%. Jika skenario optimis
tercapai, nilai aset perbankan syariah di 2010 akan mencapai Rp.124 trilliun.10
Sedangkan berdasarkan data statistik perbankan syari
Oktober 2011, total aset perbankan syariah sebesar Rp 125,5 triliun, naik dari
2010 yang hanya sekitar Rp 97,5 triliun. Adapun besar pangsa pasarnya terhadap
perbankan nasional sudah mencapai 3,68 persen, naik sekitar 0,5 persen
sepanjang 2011. Persentase pertumbuhan ini sudah perlahan-lahan mendekati
angka lima persen. Sementara, dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan
masing-masing mencapai Rp 101,7 triliun dan Rp 96,9 triliun dengan tingkat
financing to deposit rasio (FDR) sekitar 94 persen.11
Di Indonesia saat ini terdapat 255 bank umum dan 2.262 BPR dengan
jumlah volume usaha sebesar Rp 1.005 trilyun, dana masyarakat Rp.679 trilyun
dan penyaluran kredit Rp.277 trilyun. Dari total volume usaha perbankan
nasional itu, terdapat dua bank umum syariah, satu bank umum yang membuka
kantor Syariah, serta 84 BPR Syariah, dengan total volume usaha sebesar Rp. 1,2
trilyun. Kiprah jaringan perbankan syariah di Indonesia diakui masih belum
menggembirakan. Diakui memang ada beberapa kendala yang dihadapi
perbankan syariah untuk berkompetisi dengan perbankan konvensional.
Beberapa kendala itu diantaranya, terbatasnya kantor bank syariah, dan masih
minimnya pemahaman masyarakat terhadap kegiatan bank syariah. Bila
10
Ibid.
11
Ali Rama, Proyeksi Perbankan Syari’ah 2012,
dibandingkan dengan perkembangan perbankan syariah di negara-negara lain,
seperti kawasan Timur Tengah, dan Malaysia, maka perkembangan perbankan
syari’ah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan.12
Jika melihat dari segi pertumbuhan jumlah perbankan syari’ah selama
tahun 2010, jumlah Bank Umum Syari’ah (BUS) dan bertambah menjadi 5
(lima) dengan diterbitkannya ijin usaha 5 BUS yaitu; PT. Bank Victoria Syariah,
PT.BCA Syariah, PT. Bank Jabar Banten Syariah, PT.Bank BNI Syariah, dan
PT. Bank Maybank Syariah Indonesia. Dari 5 (lima) ijin BUS baru tersebut 3
(tiga) diantaranya adalah ijin konversi (perubahan kegiatan usaha bank
konvensional menjadi bank syariah) dan 2 (dua) lainnya adalah ijin BUS hasil
spin-off (pemisahan). Dengan disetujuinya spin-off Unit Usaha Syariah (UUS) pada beberapa bank maka jumlah Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha
Syariah (UUS) di tahun 2010adalah 11 Bank Umum Syariah (BUS) dan 23 Unit
Usaha Syariah (UUS).
13
Sedangkan dari 2010 ke 2011, tidak terjadi penambahan jumlah Bank
Umum Syariah (BUS), begitu pula dengan Unit Usaha Syariah (UUS), Yang
mengalami peningkatan hanya jumlah Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
yang mencapai 153 bertambah tiga dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, dari segi
12
Choir., Loc.Cit.
13
Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011, Direktorat Perbankan Syariah,
perluasan jaringan kantor cukup tinggi, mecapai 1.354, 301 dan 362 untuk
masing-masing BUS, UUS, dan BPRS.14
Pengembangan perbankan syariah nasional pada dasarnya merupakan
bagian dari program restrukturisasi perbankan nasional. Sedikitnya ada empat hal
yang menjadi tujuan pengembangan perbankan yang berdasarkan prinsip Islam
tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga. Kedua, terciptanya dual banking system di Indonesia yang mengakomodasikan baik perbankan konvensional maupun
perbankan syariah yang akan melahirkan kompetisi yang sehat dan perilaku
bisnis yang berdasarkan nilai-nilai moral, yang pada gilirannya akan
meningkatkan market disciplines dan pelayanan bagi masyarakat. Ketiga, mengurangi risiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia. Karena
pengembangan bank syariah sebagai alternatif dari bank konvensional akan
memberikan penyebaran risiko keuangan yang lebih baik. Keempat, mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sektor riil dan membatasi kegiatan
spekulasi atau tidak produktif karena pembiayaan ditujukan pada usaha-usaha
yang berlandaskan nilai-nilai moral.15
Pertumbuhan pembiayaan yang tinggi di tengah pasar perbankan syariah
yang sedang berkembang di Indonesia sekarang ini merupakan hal yang
didambakan. Akan tetapi, pertumbuhan pembiayaan yang tinggi bukan
14
Ali rama, Op.Cit., hal.3 15 Outlook Perbankan Syariah,
segalanya. Hal terpenting adalah pembiayaan dengan portfolio sehat dan tumbuh
sesuai kebutuhan pasar. Oleh karena semangat tinggi dalam pertumbuhan,
seringkali setelah pembiayaan diberikan bukan peningkatan pendapatan yang
diperoleh. Hal yang muncul, justru permasalahan pembiayaan.16
Seiring pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir ini, pembiayaan bermasalah pada perbankan syari’ah juga
melonjak tajam. Hal ini disebabkan setidaknya karena dua hal; Pertama, kemampuan debitur mengembalikan pinjaman menurun karena krisis global yang
menyebabkan penghasilan mereka juga berkurang. Kedua, perbankan syariah cenderung berhati-hati dan menahan pembiayaannya sehingga rasio Non Performing Financing (NPF) naik.17
Kondisi ini bisa dilihat dari data Bank Indonesia tentang Pembiayaan
bermasalah (Non Performing Financing/-NPF) perbankan syariah. Pada Januari 2010 pembiayaan bermasalah kembali meningkat sekitar 35 basis poin menjadi
4,36% dari akhir tahun lalu 4,01%, Bahkan secara tahunan melonjak dari
sebelumnya 1,4% akibat kualitas pembiayaan modal kerja di usaha kecil
menengah menurun. Peningkatan pembiayaan bermasalah itu, paling tinggi
terjadi pada modal kerja yang meningkat menjadi Rp. 1,1 triliun naik dalam
sebulan mencapai Rp. 201 miliar dari posisi sebelumnya Rp. 899 miliar.
16
Burhanuddin Siregar, Pengaruh Produk Sektor Usaha, Segmentasi dan Plafond Pembiayaan Terhadap Penciptaan Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
Desember 2010. 17
Arthur Gideon, Lampu Kuning NPF Bermasalah Bank Syariah,
Demikian juga dengan pembiayaan investasi mengalami kenaikan pembiayaan
nonlancar menjadi Rp. 572 miliar dari bulan sebelumnya Rp. 574 miliar,
termasuk kualitas pembiayaan untuk konsumsi juga menujukkan kenaikan
pembiayaan bermasalah sebesar Rp. 2 miliar menjadi Rp. 475 miliar.
Berdasarkan sektor usaha, kenaikan pembiayaan bermasalah terjadi di sektor
usaha kecil menengah dari Rp 1,61 triliun menjadi 1,74 triliun, sedangkan non
UKM juga naik dari Rp. 271 miliar menjadi Rp. 312 miliar. Direktur Bisnis BRI
Syariah Ari Purwandono mengatakan peningkatan pembiayaan bermasalah
dipengaruhi berbagai faktor di antaranya pada awal tahun dipicu oleh rendahnya
kucuran pembiayaan baru sehingga pembagi terhadap NPF menjadi lebih
rendah.18
Gambaran mengenai kondisi pembiayaan bermasalah pada bank syari’ah di
Indonesia menunjukan bahwa restrukturisasi dalam hal pembiayaan pada bank
syari’ah di Indonesia merupakan hal mendesak dan harus segera dilaksanakan.
Restrukturisasi ini juga bertujuan untuk menjamin kegiatan operasional
perbankan yang sehat dan tersedianya fasilitas jasa perbankan yang merupakan
hal yang sangat penting sebagai wadah untuk memobilisasi dana, menciptakan
infrastruktur hukum dan standar pengawasan perbankan, menciptakan dan
mempertahankan sistem perbankan yang sehat dan untuk menyelesaikan masalah
18
bank yang lemah dan insolven, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat
kepada perbankan.19
Untuk mengakomodir perkembangan yang terjadi pada perbankan syariah, maka
diperlukan beberapa ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi kebutuhan
perbankan syariah, ataupun penyempurnaan atas ketentuan yang sudah ada
sebelumnya oleh Bank Indonesia sebagai regulator perbankan di Indonesia.
Penyempurnaan ketentuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap
perbankan syariah tidak hanya bertujuan untuk mengakomodir perkembangan
yang ada, seperti pembiayaan bermasalah yang semakin meningkat, namun juga
untuk tujuan harmonisasi dengan ketentuan perbankan konvensional. Seperti
peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia mengenai restrukturisasi pembiayaan
yang tentunya tetap memperhatikan kesesuaian dengan prinsip syariah, serta
mempertimbangkan assessment yang dilakukan dalam rangka Financial Sector Assessment Program (FSAP) terhadap peraturan perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 tanggal 8
Februari 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/18/PBI/2008
Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
diberlakukan sejak tanggal 8 Februari 2011. Peraturan Bank Indonesia (PBI) itu
sendiri dilakukan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dan kualitas
19
pembiayaan serta meminimalisasi risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya, dimana salah satu
upayanya dapat dengan melakukan Restrukturisasi Pembiayaan atas nasabah
yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar. Ketentuan ini
mengatur hal-hal berupa: pertama, kualitas pembiayaan yang dapat dilakukan
restrukturisasi. Kedua, intensitas berapa kali restrukturisasi pembiayaan dapat
dilakukan dan penetapan kualitas pembiayaan apabila melebih jumlah maksimal
pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan sesuai ketentuan. Ketiga, bank wajib
menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan untuk
pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Keempat,
Laporan restrukturisasi pembiayaan bagi BPRS. 20
Berdasarkan uraian di atas, maka kajian mengenai restrukturisasi
pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha syari’ah berdasarkan PBI
No.13/09/PBI/2011 yang merupakan penyempurnaan dari PBI
No.10/18/PBI/2008 menjadi penting untuk dikaji, karena melihat bagaimana
kebijakan restrukturisasai tersebut akan memberikan jalan keluar atau solusi
bagi perbankan syari’ah di Indonesia dari tingginya tingkat pembiayaan
bermasalah yang sedang dihadapinya seiring perkembangan pesat perbankan
syari’ah di Indonesia saat ini.
20
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengajukan
permasalahan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Bank Indonesia mengeluarkan
kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit usaha
syari’ah.
2. Bagaimana bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah dan unit
usaha syariah berdasarkan ketentuan PBI No.13/9/PBI/2011.
3. Prinsip-prinsip apakah yang terkandung dalam restrukturisasi pembiayaan
perbankan syari’ah dan unit usaha syari’ah menurut ketentuan PBI No
13/9/PBI/2011.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Bank Indonesia
mengeluarkan kebijakan restrukturisasi pembiayaan bagi bank syari’ah di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk restrukturisasi pembiayaan bagi
3. Untuk mengetahui dan menganalisis prinsip-prinsip yang terkandung dalam
restrukturisasi perbankan syari’ah menurut ketentuan PBI
No.13/9/PBI/2011.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai di atas, maka diharapkan
penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan substansi disiplin di bidang Ilmu hukum, khususnya Hukum
Perbankan Syari’ah.
2. Manfaat Praktis :
Diharapkan dapat memberi manfaat bagi policy maker dalam menentukankebijakan yang berkaitan dengan perbankan, khususnya bank
yang mendasarkan pada prinsip Syariah.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian dengan judul “Analisis Yuridis PBI No.13/9/PBI/2011 tentang
Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah dan Usaha Unit Syari’ah ” ini
adalah asli, karena belum ada tesis-tesis terdahulu yang menulis tentang hal
yang sama di lingkungan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
F. Terangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi
bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak
disetujui.21
Dalam tesis yang membahas restrukturisasi kebijakan pembiayaan bagi
bank syari’ah dan unit usaha syari’ah ini digunakan teori restrukturisasi sebagai
grand theory, atau disebut juga dengan teori sebagai pisau analisis. Restrukturisasi merupakan tindakan berani dengan melakukan pengorbanan.
Harapannya, nilai perusahaan secara fundamental membaik.22
Dalam era persaingan yang semakin ketat, setiap kali sebuah perusahaan
harus mengevaluasi kinerjanya, serta melakukan serangkaian perbaikan, agar
tetap tumbuh dan dapat bersaing. Perbaikan ini akan dilaksanakan secara terus
menerus, sehingga kinerja perusahaan makin baik dan dapat terus unggul dalam
persaingan, atau minimal tetap dapat bertahan. Salah satu strategi untuk
memperbaiki dan memaksimalkan kinerja perusahaan adalah dengan cara
21 M.Solly Lubis,
Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), h.80. Selanjutnya, dijelaskan juga bahwa teori yang dimaksudkan di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
22
Bramantyo Djohganputro, Restrukturisasi Bukan Sekedar Make Up,
restrukturisasi. Jika mendengar istilah atau kata restrukturisasi, maka
seolah-olah membicarakan perusahaan yang sedang menurun. Hal ini disebabkan oleh
definisi restrukturisasi itu sendiri, yang antara lain restrukturisasi sering disebut
sebagai downsizing atau delayering, melibatkan pengurangan perusahaan di bidang tenaga kerja, unit kerja atau divisi, ataupun pengurangan tingkat jabatan
dalam struktur oganisasi perusahaan. Pengurangan skala perusahaan ini
diperlukan untuk memperbaiki efisiensi dan efektifitas.23
Strategi restrukturisasi digunakan untuk mencari jalan keluar bagi
perusahaan yang tidak berkembang, sakit atau adanya ancaman bagi organisasi,
atau industri diambang pintu perubahan yang signifikan. Pemilik umumnya
melakukan perubahan dalam tim unit manajemen, perubahan strategi, atau
masuknya teknologi baru dalam perusahaan. Selanjutnya sering diikuti oleh
akuisisi untuk membangun bagian yang kritis, menjual bagian yang tidak perlu,
guna mengurangi biaya akuisisi secara efektif. Hasilnya adalah perusahaan
yang kuat, atau merupakan transformasi industri. Strategi restrukturisasi
memerlukan tim manajemen yang mempunyai wawasan untuk melihat ke
depan, kapan perusahaan berada pada titik undervalued atau industri pada posisi yang matang untuk transformasi. Wawasan yang sama diperlukan untuk
23
melakukan turn around pada unit usaha, bahkan pada bisnis yang tidak familiar.24
Restrukturisasi ini dalam hukum perusahaan bertujuan untuk memperbaiki
dan memaksimalisasi kinerja perusahaan. Perusahaan melakukan pembenahan
supaya segera lepas dari krisis melalui berbagai aspek. Perbaikan-perbaikan
tersebut menyangkut berbagai aspek perusahaan, mulai dari perbaikan portofolio
perusahaan, perbaikan permodalan, perampingan manajemen, perbaikan sistem
pengelolaan perusahaan, sampai perbaikan sumber daya manusia. Dengan
demikian, restrukturisasi perusahaan merupakan kepentingan semua pihak.
Bukan saja pihak manajemen, namun juga merupakan kepentingan komisaris
yang mewakili kepentingan pemegang saham. Restrukturisasi juga merupakan
kepentingan karyawan secara keseluruhan karena tindakan restrukturisasi akan
berdampak pada semua karyawan.
25
Kebutuhan akan restrukturisasi ini juga diperlukan dalam dunia perbankan.
Salah satu penyebab dilakukannya restrukturisasi dalam perbankan disebabkan
pembiayaan atau kredit yang disalurkan bank kepada nasabahnya mengalami
masalah.26
24 Henry Mintzberg and James Brian Quinn,
The Strategy Process, Concepts, Contects, Cases,
dalam Strategi Untuk Memperbaiki dan Memaksimalkan Kinerja Perusahaan,dalam
25
Edratna, Restrukturisasi Perusahaan, Penting Dilakukan dalam Keadaan Ekonomi Apapun,
26
Restrukturisasi hutang perlu dilakukan untuk mengatasi kredit yang
bermasalah yang sedang dialami oleh perusahaan, baik perusahaan manufaktur,
perusahaan jasa, maupun perusahaan dagang. Kredit yang bermasalah ini
mempunyai dampak yang sangat luas terhadap seluruh aspek perekonomian.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat dari adanya kredit macet
ini, pemerintah Indonesia memberikan atau memprioritaskan untuk melakukan
restrukturisasi hutang pada
perbankan diumpamakan sebagai jantungnya perekonomian Indonesia, yang
dimana apabila perbankan tersebut sehat maka perekonomian negara pun juga
mengarah ke arah yang positif dan akan berdampak ke semua sektor
perekonomian.27
Restrukturisasi ini juga penting untuk dilakukan pada pembiayaan bagi bank
syari’ah dan unit usaha syari’ahnya yang mengalami masalah. Dalam upaya
untuk menghindari risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya, dan sebagai salah satu upaya
untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah pembiayaan, Bank Syariah dan Unit
dijanjikan, Pembiayaan yang tidak menepati jadwal angsura \Pembiayaan yang memiliki potensi merugikan BMT, Pembiayaan yang memiliki potensi menunggak dalam satu waktu tertentu, dalam
Pembiayaan Bermasalah, Pencegahan dan Penanganan, ASBISINDO Jawa Barat,
27
Restrukturisasi Utang; Alasan, Proses dan Model,
Usaha Syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang
memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar.28
Hal ini berkaitan erat dengan penyelamatan kredit melalui jalur
non-hukum. Restrukturisasi merupakan upaya yang dilakukan bank dalam rangka
membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain
melalui:29
1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya. Penjadwalan kembali dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Tindakan rescheduling dapat diberikan
kepada debitur yang masih menunjukkan itikad baik untuk melunasi
kewajibannya. Tindakan ini dilakukan karena terjadi kelebihan pembiayaan
terhadap obyek kredit (over finance).
2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah
angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak
menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank.
Tindakan reconditioning dapat diberikan kepada debitur yang masih memiliki
itikad baik untuk melunasi kewajibannya, yang berdasarkan pembuktian
28
Konsideran PBI No.10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah.
29
secara kuantitatif merupakan alternatif yang terbaik. Tindakan ini juga
dilakukan karena debitur mengalami kekurangan modal kerja.
3. Penataan Kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah.
Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan untuk kredit dengan kualitas
kurang lancar, diragukan dan macet.
Restrukturisasi dan penghapusan kredit macet merupakan tindakan yang
sudah lazim dilakukan di kalangan perbankan untuk menurunkan rasio kredit
bermasalah (non- performing loan) agar tingkat kesehatan bank tetap terjaga
dengan baik. Meskipun demikian, program restrukturisasi dan penghapusan
kredit macet harus dilaksanakan secara benar sesuai aturan hukum yang berlaku
agar tidak sampai menimbulkan moral hazard yang dapat merugikan pihak bank,
debitor, dan masyarakat. Di masa kini, restrukturisasi dan penghapusan kredit
macet secara umum telah diatur secara jelas dalam UU Perbankan (UU 10/1998),
Peraturan Bank Indonesia (PBI 7/2005), dan dalam pedoman perkreditan di
masing-masing bank. Penghapusan (write-off) terhadap kredit macet adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen risiko penyaluran kredit perbankan.30
30
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007), h.5.
Sejalan dengan penyelamatan kredit yang menggunakan jalur non hukum,
kepailitan tidak semata-mata bermuara kepada kemungkinan atau kemudahan
pemailitan debitur yang tidak membayar hutang. Undang-undang kepailitan
harus memberikan alternatif muara yang lain, yaitu berupa pemberian
kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar
hutang-hutangnya tetapi masih memiliki prospek usaha yang baik serta pengurusnya
beritikad baik dan kooperatif dengan para kreditur untuk melunasi
hutang-hutangnya, merestrukturisai hutang-hutang-hutangnya, dan menyehatkan perusahaannya.
Restrukturisasi hutang dan perusahaan (debt and corporate restructuring, atau
corporate reorganization, atau corporate rehabilitation) akan memungkinkan perusahaan debitur kembali berada dalam keadaan mampu membayar
hutang-hutangnya.31
Sedangkan teori pendukung atau dikenal dengan teori sebagai wacana,
pada penelitian ini menggunakan Teori tentang Kesehatan Bank, Teori Risiko
Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts dan Teori Pengawasan bank. Penilaian kesehatan bank amat penting disebabkan karena bank mengelola
dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank. Untuk menilai suatu kesehatan
bank dapat dilihat dari berbagai segi. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan
apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat atau
tidak sehat. Standar untuk melakukan penilaian kesehatan bank telah ditentukan
oleh pemerintah melalui Bank Indonesia. Kepada bank-bank diharuskan
31
membuat laporan baik yang bersifat rutin ataupun secara berkala mengenai
seluruh aktivitasnya dalam suatu periode tertentu. Dari laporan ini dipelajari dan
dianalisis, sehingga dapat diketahui kondisi suatu bank. Dalam ketentuan Surat
Edaran BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, perihal Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum maka predikat Tingkat Kesehatan Bank dibagi dalam
empat peringkat, yaitu :
Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 1 (PK-1) atau Peringkat Komposit 2 (PK-2), ”Cukup Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 3 (PK-3), “Kurang Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 4 (PK-4), dan “Tidak Sehat” dipersamakan dengan Peringkat Komposit 5 (PK-5).
Penilaian tingkat kesehatan bank secara kuantitatif dilakukan terhadap 5
(lima) faktor, yaitu faktor Permodalan (Capital), Kualitas Aktiva Produktif
(Asset), Manajemen, Rentabilitas (Earning) dan Likuiditas. Analisis ini dikenal
dengan istilah Analisis CAMEL. CAMEL merupakan aspek yang paling banyak
berpengaruh terhadap kondisi keuangan bank dan merupakan tolak ukur yang
menjadi obyek pemeriksaan bank yang dilakukan oleh regulator bank.32
Sedangkan Teori Risiko Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts
adalah mengindentifikasi dan menganalisis dampak dari seluruh risiko nasabah
sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko
yang ada dari pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts, seperti
murabahah, ijarah, ijarah muntahia bit tamlik, salam dan istishna.33
Risio-risiko perbankan pada umumnya dibandingkan dengan bank syariah,
mengacu pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 antara lain sebagai
berikut :
34
1. Risiko Kredit (credit risk).
Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya.
2. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.
3. Risiko Likuiditas
Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan. Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah
33
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi II, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h.241.Selanjutnya dikatakan bahwa penilaian risiko ini mencakup dua aspek, yaitu Default Risk (risiko kebangkrutan), yakni risiko yang terjadi pada First Way Out dan aspek
Recovery Risk (risiko jaminan), yakni risiko yang terjadi pada Second Way Out. 34
Rasul Karim, Manajemen Risiko Pada Perbankan Syari’ah,
membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, di dalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.
Ada tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis bank, yakni;
analisis pembiayaan yang keliru, creative accounting, dan karakter nasabah.
Risiko yang ditimbulkan dari kelemahan analisis yang dilakukan bank ini
memberikan dampak terjadinya pembiayaan bermasalah.35
Kesemua teori ini juga tidak terlepas dari teori pengawasan bank yang
mengemukakan bahwa sistem pengawasan bank yang semata-mata untuk
mewujudkan dan menjaga sistem perbankan yang sehat akan tercapai apabila
otoritas pengawas dapat dengan mudah melakukan pengawasan secara efektif
serta semua bank yang diawasi dalam kondisi terkendali sepenuhnya. Hal ini
dimungkinkan apabila bank yang diawasi sedikit atau diupayakan menjadi
sangat minimal, dan semua kegiatan bank sampai pada hal yang paling teknis
diatur melalui seperangkat aturan yang ketat dan ruang gerak usaha bank
dibatasi melalui berbagai aturan yang bersifat larangan.
Teori ini berkaitan
erat dengan teori kesehatan bank dan restrukturisasi.
36
35
Adiwarman Karim,Op.Cit., h.251. 36
2. Konsepsi
Dalam penelitian hukum pentingnya kerangka konsepsional ditujukan
untuk memberikan beberapa konsep atau pengertian yang akan dipergunakan
sebagai dasar penelitian. Adapun istilah-istilah yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah:
Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam
rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya.37
Kebijakan adalah sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai
tujuan tertentu.38
Pembiayaan adalah Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berupa; transaksi bagi hasil dalam bentuk
mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
37
Pasal 1 angka 7 PBI No.10/18/PBI/200B tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
38
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.39
Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.40
Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.41
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.42
Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang
berkedudukan di luar negeri yang pelaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan/atau unit syariah.43
Risiko Likuiditas adala
dapat membayar kewajibannya yang jatuh tempo secara tunai. Meskipun pihak
tersebut memiliki aset yang cukup bernilai untuk melunasi kewajibannya, tapi
39
Pasal 1 angka 25 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 40
Pasal 1 angka 7 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 41
Pasal 1 angka 8 UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. 42
ketika aset tersebut tidak bisa dikonversikan segera menjadi uang tunai, maka
pihak tersebut dikatakan tidak likuid.44
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif atau
disebut juga dengan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum
normatif atau kepustakaan ini mencakup: penelitian terhadap asas-asas
hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.45
Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang
memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa
ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. Paling tidak ada tiga ciri dari
penelitian deskriptif yaitu: pertama, penelitian deskriptif berhubungan
dengan keadaan yang terjadi saat itu. Kedua, menguraikan satu variabel saja,
jika ada beberapa variabel yang akan diuraikan dilakukan satu persatu.
Ketiga, variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan
(treatment) terhadap variabel.46
45
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1994), h.14.
46 Ronny Kountur,
2. Sumber Data
Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif
maka data yang dipergunakan adalah data sekunder, yang bersumber pada:
a. Bahan Hukum Primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan
hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum atau
perundang-undangan yang berkaitan erat dengan penelitian ini, seperti UU No.10
tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia, UU No.21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah dan PBI No.13/9/PBI/2011 tentang Restrukturisasi
Pembiayaan Bagi bank Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah serta ketentuan
pelaksana berupa Surat Edaran Bank Indonesia yang terkait dengan
restrukturisasi pembiayaan.
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian,
hasil karya ilmiah lainnya di bidang hukum dan sebainya.
c. Bahan Hukum Tertier adalah bahan hukum penunjang yang mencakup
bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder yang lebih dikenal dengan nama bahan
acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum seperti kamus
umum, kamus hukum, ensiklopedi hukum, dan lain-lain, serta
bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier
teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research).
4. Analisa Data
Setelah seluruh data yang diperlukan untuk penelitian ini
dikumpulkan, selanjutnya data dianalisa secara kualitatif. Artinya data yang
diperoleh dianailisis secara menyeluruh, mendalam dan komprehensif
BAB II
KEBIJAKAN BANK INDONESIA
TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH (UUS)
A. Fungsi dan Kewenangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Ruang lingkup kebijakan pengaturan pengaturan dan pengawasan bank
oleh Bank Indonesia (BI) menurut undang-undang yang pelaksanaannya tertuang
dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI), pada dasarnya mencakup empat
aspek, yakni : pertama, perizinan, meliputi ijin prinsip dan ijin usaha. Kedua,
pengaturan dan ketentuan perbankan, meliputi ijin bank, kelembagaan bank,
kegiatan usaha bank, kegiatan bank dengan prinsip syariah,
merger-konsolidasi-akuisisi, sistem informasi antar bank, tata cara pengawasan bank, sistem
pelaporan bank ke BI, penyertaan bank, pencabutan usaha-likuidasi-pembubaran
bentuk hukum bank, dan lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan.
Ketiga,aspek pengawasan, meliputi pengawasan secara tidak langsung (on site supervision maupun keduanya). Keempat, aspek pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan, berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana.47
Berbagai aturan yang dibuat tersebut tidak lain adalah untuk menciptakan
dan memelihara kesehatan bank48
47
Marsuki, Landscape Kebanksentralan Indonesia, (Jakarta: Mitra Wacana media, 2010), hal.104-105.
, baik secara individu maupun perbankan
sebagai suatu sistem.
48
1. Fungsi Pembinaan dan Pengawasan Perbankan di Indonesia
Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perbankan mengamanatkan bahwa: “Pembinaan dan pengawasan bank
dilakukan oleh Bank Indonesia. Sejalan dengan itu, Pasal 8 Undang-Undang
No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia juga menyatakan bahwa:
“Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
(1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter (2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran (3) Mengatur dan mengawasi bank
Adapun fungsi pembinaan yang dimanatkan undang-undang kepada
Bank Indonesia maknanya adalah merupakan upaya-upaya yang dilakukan
dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek-aspek;
kelembagaan bank, kepemilikan bank, kepengurusan bank, kegiatan usaha
bank, pelaporan bank, reta lainnya berhubungan dengan kegiatan operasional
bank.49
Sedangkan fungsi pengawasan adalah meliputi pengawasan tidak
langsung, yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian
memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran sistem pembayaran, serta dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter. Demikian juga harus sehat secara mikro, sebagai suatu entitas bisnis. Untuk itu berarti bank harus mempunyai modal yang cukup; mampu menajga kualitas assetnya; mampu mengelola dengan baik dan mengoperasikannya berdasarkan prinsip kehati-hatian; mampu menghasilkan keuntungan untuk mempertahankan usahanya; mampu memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi segala kewajibannya, serta senantiasa dapat memnuhi segala ketentuan dan aturan yang ditetapkan.
49
analisis dan evaluasi laporan bank; dan pengawasan langsung dalam bentuk
pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.50
Jadi undang-undang perbankan membedakan secara jelas yang
dimaksud dengan fungsi pembinaan dan fungsi pengawasan, dimana fungsi
pembinaan menitikberatkan pada “regulation”, sedangkan fungsi pengawasan menitikberatkan pada “supervision”.
Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 29 UU No.10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dijelaskan pula tujuan dari pembinaan dan pengawasan bank oleh
Bank Indonesia tersebut, yaitu:
Pertama, kedua fungsi itu harus dilakukan oleh Bank Indonesia selaku
bank sentral, mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat
yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, karenanya keadaan suatu
bank perlu dipantau oleh Bank Indonesia.
Kedua, tujuannya agar kesehatan bank tetap terjaga dan kepercayaan
masyarakat terhadap bank tetap terpelihara, sebab kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga
perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat.
Ketiga, sejalan dengan itu Bank Indonesia diberi kewenangan, tanggung
jawab dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang
bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk-petunjuk,
50
nasihat-nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam
bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.
Keempat, di pihak lain bank wajib memiliki dan menerapkan sistem
pengawasan internal dalam rangka menjamin terlaksananya proses
pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip
kehati-hatian.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pembina, Bank Indonesia (BI)
berperan sebagai institusi atau regulator sistemik. Ada tiga alasan BI berperan
sebagai regulator sistemik. yang mengawasi kesehatan dan stabilitas
keseluruhan sistem keuangan semakin mengemuka. Tiga alasan tersebut,
pertama, bank sentral memiliki hubungan jual-beli sehari-hari dengan palaku
pasar sebagai bagian dari fungsi utamanya mengimplementasikan kebijakan
moneter. Sehingga tidak ada lembaga lain yang memiliki pengetahuan dan
akses sejenis ke aliran utama sistem keuangan. Kedua, tanggung jawab untuk
mempertahankan stabilitas ekonomi makro sangat sejalan dengan peran
untuk menjamin stabilitas keuangan. Sejarah menunjukkan berbagai krisis
ekonomi dunia selalu berhubungan dengan krisis keuangan, sehingga bank
sentral secara alami memang harus mempertimbangkan intetaksi antara
sektor keuangan daan kebijakan moneter dalam melaksanakan tugansnya.
Ketiga, fungsi lender of last resort memang ada di bank sentral. Dengan fungsi itu, bank sentral dapat menggunakan neracanya untuk menyedaikan
bank sentral akan mampu memperoleh informasi lapangan langsung dari
lembaga-lembaga keuangan yang diawasi . Informasi ini butuhkan untuk
membuat keputusan yang tepat apakah suatu lembaga keuangan perlu di
selamatkan.51
2. Fungsi Bank Indonesia sebagai “Lender of The Last Resort”
Kebijakan lender of last resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu alat efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu,
BI telah merumuskan secara lebih jelas kebijakan the lender of last resort
(LLR) dalam kerangka JPSK untuk dalam kondisi normal dan darurat (krisis)
mengacu pada best practices. Pada prinsipnya, LLR untuk dalam kondisi normal hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven yang memiliki agunan likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR
untuk kondisi krisis, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan
utama, dengan tetap mensyaratkan solvensi dan agunan. 52
51
Darmin Nasution, Ada Tiga Alasan bank Indonesia Sebagai Regulator Sistemik, Info bank, 23 januari 2010.
Untuk mengatasi
kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank Indonesia sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat kepada Bank Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah berdasarkan
Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No 3 Tahun 2004 .53
B. Peran Bank Indonesia dalam Perbankan Syariah
Sebagai peraturan pelaksanaan
fungsi lender of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006.
Pendanaan FPD bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
Sejalan dengan tugas pokok dan peran Bank Indonesia serta arahan umum
kebijakan di bidang perbankan pada awal tahun 2010, pelaksanaan kebijakan di
bidang perbankan syariah selain mengacu pada kebijakan umum di bidang
perbankan juga memperhatikan arahan dan kebijakan khusus terkait dengan
perbankan syariah yang merupakan sub sektor perbankan yang masih perlu di
dorong agar dapat tumbuh lebih cepat dimana peran dan kontribusinya
diharapkan dalam mencapai sasaran kebijakan di bidang perbankan dan
kebijakan Bank Indonesia secara umum dapat lebih besar.
Secara umum Bank Indonesia telah menetapkan sejumlah arah kebijakan di
bidang perbankan dengan pendekatan insentif dan disinsentif. Hal ini antara lain
mencakup peningkatan ketahanan sistem perbankan yang perlu ditempuh melalui
penguatan pengaturan, pemantapan sistem pengawasa bank, penataan kembali
53
tingkat kompetisi di Industri perbankan Indonesia, serta pendalaman pasar
keuangan. Selanjutnya, untuk meningkatkan peranan perbankan syariah terhadap
perekonomian nasional dan penguatan ketahanannya sejumlah kegiatan yang
merupakan implementasi arah kebijakan tahun 2010 di bidang perbankan syariah
yang dilaksanakan Bank Indonesia, khususnya Direktorat Perbankan Syariah
dengan mencakup berbagai kegiatan dalam bidang penelitian, pengaturan dan
pengembangan, perijinan, dan pengawasan perbankan syariah. Seluruh kegiatan
tersebut dilakukan sebagai satu kesatuan dalam upaya mengembangkan
perbankan syariah yang efisien, prudent dan sejalan dengan prinsip syariah.54
1. Penelitian dalam Rangka Regulasi dan Pengembangan Produk
Sebagai pemegang otoritas pengawas bank-bank di Indonesia, Bank
Indonesia secara intensif sejak tahun 2002 hingga sekarang terus melakukan
regulasi terhadap aktivitas perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun
2007-2008, Bank Indonesia mencanangkan program akselerasi pengembangan dan
pertumbuhannya. Dalam jangka pendek, hingga akhir 2008 Bank Indonesia
menargetkan pertumbuhan kuantitatif aset perbankan syariah yang cukup
besar, yaitu dapat mencapai minimal 5% dari seluruh aset perbankan
nasional. Untuk itulah akselerasi pertumbuhan tersebut perlu didukung oleh
suatu kebijakan akselerasi yang tepat yang tidak hanya melibatkan Bank
54
Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011,