KEPADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN OLEH FORWARDER DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI
: STUDI KASUS DI HPHTI PT. MUSI HUTAN PERSADA SUMATERA SELATAN
Oleh : EDI WILSON
E02498005
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Edi Wilson, E02498005. Kepadatan Tanah Akibat Penyaradan Oleh Forwarder Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai : Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS dan Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F
RINGKASAN
Perkembangan sistem pemanenan hutan seiring dengan kemajuan teknologi serta konsep pengusahaan hutan modern memacu peningkatan penggunaan alat-alat berat kehutanan seperti traktor dalam kegiatan pengusahaan hutan. Terlepas dari beberapa kelebihan yang dimilikinya, penggunaan traktor dalam pemanenan hutan terutama dalam kegiatan penyaradan juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa kerusakan vegetasi hutan (tegakan tinggal dan tumbuhan bawah) dan kerusakan tanah terutama pemadatan tanah. Kontak yang terjadi antara permukaan tanah dengan tapak roda traktor akan mengkibatkan terjadinya pemadatan tanah.
Pemadatan tanah (Soil Compaction) merupakan proses pergerakan partikel-partikel tanah yang secara mekanis bergerak ke posisi keadaan yang lebih rapat satu sama lain. Pemadatan tanah terjadi karena adanya gaya tekan terhadap tanah (ground pressure) dan getaran yang dihasilkan oleh traktor. Semakin besar ground pressure yang dihasilkan maka semakin intensif proses pemadatan tanah yang terjadi. Pemadatan tanah merupakan fungsi dari jenis tanah, kadar air dan jenis lalu lintas yang ada di permukaan tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk ; memetakan pola jalan sarad forwarder dalam satu setting pemanenan di HTI, mengetahui tingkat kepadatan tanah pada jalan sarad akibat intensitas penggunaan forwarder dan menghitung persentase luas areal terpadatkan dalam satu setting pemanenan, mengetahui pengaruh pemberian serasah di jalur sarad terhadap kepadatan tanah, dan mengetahui respon pertumbuhan semai tanaman di tanah terpadatkan.
Penelitian dilaksanakan di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Wilayah II Benakat, Sumatera Selatan (Setting IX Blok Teras Unit VIII Tebing Indah) pada Bulan Juli – September 2003. Alat yang diamati dalam penelitian ini adalah 6-Wheel Forwarder Timberjack 1010D yang merupakan alat sarad di HPHTI tersebut. Contoh tanah diambil dengan menggunakan ring sample, plastik, pisau. Tinggi dan panjang akar tanaman diukur dengan menggunakan mistar. Contoh tanah dan contoh tanaman diproses lebih lanjut di Laboratorium R&D PT. MHP dan Laboratorium Mekanika Tanah Fateta IPB. Sedangkan analisis sifat fisik dan kimia tanah dilakukan di Laboratorium Jurusan Tanah Faperta IPB. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari ; 1) Tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol), 2) Serasah, 3) Bibit Acacia mangium, Swietenia macrophylla dan Gmelina arborea.
ii Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penyaradan di HTI dengan menggunakan forwarder merupakan sistem penyaradan terencana dan terpola, dimana forwarder dalam menyarad sortimen kayu melewati tumpukan serasah (jalur sarad) yang telah disiapkan sebelumnya pada saat penebangan. Proses penyaradan dimulai dari ujung jalur sarad dan sortimen kayu disarad ke TPn yang berada di sekitar tepi jalan angkutan. Untuk rit selanjutnya, forwarder cenderung mengikuti jejak tapak roda dari rit penyaradan sebelumnya. Sortimen kayu disarad per jalur sarad dan baru pindah ke jalur sarad selanjutnya setelah semua sortimen kayu di jalur tersebut selesai disarad.
Luas setting IX adalah 10,4 ha. Lebar jalur sarad adalah ± 5 meter dan jarak antar jalur sarad berkisar antara 13,5 meter sampai 15 meter. Jalur sarad terpanjang adalah ± 290 meter dan diperlukan 8 rit untuk menyarad semua sortimen kayunya ke TPn. Jumlah rit maksimum yang diterima jalur sarad adalah 28 rit dan areal di sekitar TPn dilewati forwarder lebih dari 30 rit. Hal ini dikarenakan ada salah satu jalur sarad yang berfungsi sebagai jalur utama/koridor. Jumlah rit total yang diperlukan untuk menyarad semua sortimen kayu dari setting IX adalah 108 rit.
Luas areal yang dilewati forwarder (mengalami kenaikan kepadatan tanah) adalah 16.504,80 m2 yaitu sekitar 16 % (15,87 %) dari luas total setting.
Hasil analisis data kerapatan massa tanah menunjukkan bahwa kepadatan tanah meningkat seiring dengan kenaikan intensitas penyaradan pada semua kedalaman baik pada jalur serasah maupun jalur tanpa serasah. Hal ini terlihat dengan naiknya nilai kerapatan massa tanah dan menurunnya nilai porositas tanah.
Nilai kerapatan massa tanah pada tanah kontrol pada lapisan permukaan 0-5 cm, kedalaman 0-5-10 cm, dan kedalaman 10-10-5 cm berturut-turut adalah 1,29 g/cm3, 1,33 g/cm3 dan 1,34 g/cm3. Nilai ini meningkat pada rit pertama penyaradan, berturut-turut adalah 1,40 g/cm3, 1,44 g/cm3 dan 1,44 g/cm3 pada jalur serasah dan 1,44 g/cm3, 1,45 g/cm3 dan 1,44 g/cm3 pada jalur tanpa serasah. Kerapatan massa tanah terus meningkat hingga rit kelima, berturut-turut adalah 1,53 g/cm3, 1,55 g/cm3 dan 1,55 g/cm3 pada jalur serasah dan 1,58 g/cm3, 1,57 g/cm3 dan 1,57 g/cm3 pada jalur tanpa serasah dan cenderung konstan untuk rit-rit selanjutnya.
Porositas tanah pada tanah kontrol adalah 51,41 % untuk lapisan permukaan 0-5 cm, 49,99% untuk kedalaman 5-10 cm dan 49,28% untuk kedalaman 10-15 cm. Porositas tanah mengalami penurunan pada rit pertama penyaradan, berturut-turut adalah 48,22%, 46,90% dan 46,98% pada jalur serasah dan 45,73%, 45,12% dan 45,50% pada jalur tanpa serasah. Nilai porositas terus menurun hingga rit kelima, berturut-turut adalah 42,35%, 41,70% dan 41,36% pada jalur serasah dan 40,42%, 40,77% dan 40,91% pada jalur tanpa serasah dan cenderung konstan untuk rit-rit selanjutnya.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa intensitas penyaradan (rit) berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 99 % terhadap kenaikan kepadatan tanah dan penurunan porositas tanah baik di jalur serasah maupun jalur tanpa serasah.
iii Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian serasah terhadap kepadatan tanah menunjukkan bahwa pemberian serasah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepadatan tanah dan porositas tanah. Hal ini diduga karena kondisi serasah yang sudah mengering sebelum proses penyaradan, karena penyaradan dilakukan 2 bulan setelah penebangan dan bertepatan dengan musim kering sehingga serasah langsung hancur ketika dilewati forwarder pada rit pertama dan kedua. Selain itu serasah tidak diatur rapi sehingga bergeser ke kiri dan kanan jalur sarad ketika dilewati forwarder. Kondisi ini menyebabkan fungsi serasah tidak optimal.
Data hasil pengamatan respon pertumbuhan tiga jenis semai tanaman menunjukkan bahwa respon pertumbuhan semai pada tanah kontrol lebih baik dibandingkan dengan tanah bekas lintasan forwarder. Pertambahan tinggi Acacia mangium adalah 2,14 cm (kontrol) dan 1,49 cm (jalur sarad) ; pertambahan panjang akar adalah 3,45 cm (kontrol) dan 2,84 cm (jalur sarad) ; NPA adalah 2,197 (kontrol) dan 2,343 (jalur sarad). Pertambahan tinggi Swietenia macrophylla adalah 0,75 cm (kontrol) dan 0,56 cm (jalur sarad) ; pertambahan panjang akar adalah 1,57 cm (kontrol) dan 1,27 cm (jalur sarad) ; NPA adalah 1,544 (kontrol) dan 1,50 (jalur sarad). Pertambahan tinggi Gmelina arborea adalah 1,37 cm (kontrol) dan 1,17 cm (jalur sarad) ; pertambahan panjang akar adalah 2,66 cm (kontrol) dan 1,76 cm (jalur sarad) ; NPA adalah 0,745 (kontrol) dan 0,86 (jalur sarad).
Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan untuk melihat pengaruh jalan sarad (tanah terpadatkan) terhadap respon pertumbuhan ketiga jenis semai tanaman terlihat bahwa tanah bekas jalan sarad forwarder tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hampir semua respon yang diamati, kecuali pada respon pertambahan panjang akar Gmelina arborea. Tanah bekas jalur sarad forwarder (tanah terpadatkan) memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan panjang akar Gmelina arborea.
iv
KEPADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN OLEH FORWARDER DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI
: STUDI KASUS DI HPHTI PT. MUSI HUTAN PERSADA SUMATERA SELATAN
Karya Ilmiah
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Oleh EDI WILSON
E02498005
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
v Judul : KEPADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN OLEH FORWARDER
DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN SEMAI : STUDI
KASUS DI HPHTI PT. MUSI HUTAN PERSADA, SUMATERA SELATAN
Nama : EDI WILSON
Nrp : E02498005
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F Tanggal : Tanggal :
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kehutanan
Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Tanggal :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang Laweh, Kec. Lembah Gumanti, Kab. Solok,
Sumatera Barat pada tanggal 01 Januari 1979 sebagai putra pertama dari empat
bersaudara buah kasih dari pasangan Bapak Dahyurial dan Ibu Yurnita
Pendidikan formal penulis diawali dengan bersekolah pada sekolah dasar
SD Inpres 5/81 - 4/82 Padang Laweh pada tahun 1985 dan lulus pada tahun 1992.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMPN 1 Lembah Gumanti dan
menyelesaikan studi pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan ke
pendidikan menengah di SMUN 1 Lembah Gumanti dan lulus pada tahun 1998.
Pada tahun 1998 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Jurusan
Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Sebagai bidang minat penulis
memilih Sub Program Studi Pemanenan Hasil Hutan.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,
penulis menyusun skripsi dengan judul : ”Kepadatan Tanah Akibat Penyaradan oleh Forwarder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai : Studi Kasus di HPHTI PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan”, dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS (ketua komisi
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan
karya ilmiah dengan judul : “Kepadatan Tanah Akibat Penyaradan oleh Forwarder
dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Semai : Studi Kasus di HPHTI PT. Musi
Hutan Persada Sumatera Selatan”.
Meningkatnya penggunaan alat-alat berat kehutanan dalam kegiatan
pengusahaan hutan terutama dalam pemanenan hutan khususnya kegiatan
penyaradan, menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap lingkungan hutan
seperti kerusakan vegetasi hutan (tegakan tinggal dan tumbuhan bawah) dan
kerusakan tanah terutama pemadatan tanah. Kondisi ini tidak bisa diabaikan
begitu saja karena akan merugikan dalam kegiatan pengusahaan hutan. Hal inilah
yang mendasari penulis dalam melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan
karya ilmiah ini.
Karya ilmiah ini membahas mengenai pola pergerakan forwarder
Timberjack 1010D dalam menyarad kayu, dampak penggunaan forwarder dalam
kegiatan penyaradan terhadap kepadatan tanah, pengaruh pemberian serasah di
jalur sarad terhadap kepadatan tanah, serta respon pertumbuhan semai Acacia
mangium, Swietenia macrophylla dan Gmelina arborea di tanah padat.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis dibantu oleh banyak pihak,
mulai dari pelaksanaan penelitian di lapangan hingga rampungnya tulisan ini.
Pada kesempatan ini, dengan segenap ketulusan hati penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Ayah, Ibu, Adik-adik (Izal, Iwal, Feny) tercinta serta segenap keluarga atas
doa, dukungan moril dan materil, serta bimbingan dan nasehatnya kepada
penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Juang R. Matangaran, MS (ketua komisi pembimbing) dan
Bapak Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc.F (anggota komisi pembimbing) atas
bimbingan dan arahannya semenjak penyusunan rencana penelitian hingga
viii 3. Bapak Dr. Ir. Basuki Wasis, MS dan Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si selaku
dosen penguji.
4. Bapak Ir. Jajang Suryana, M.Sc (Sekretaris Departemen Hasil Hutan) atas
semua bantuan dan dukungannya kepada penulis.
5. Seluruh pimpinan dan karyawan PT. Musi Hutan Persada Sumatera
Selatan.
6. Pimpinan dan karyawan PT. HALIDA atas fasilitas dan akomodasi selama
pelaksanaan penelitian.
7. Seluruh pimpinan dan karyawan Departemen Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan IPB.
8. Seluruh pimpinan dan karyawan Yayasan KEKAL Indonesia atas
dukungan dan fasilitasnya selama penyusunan karya ilmiah ini.
9. Keluarga Cinangneng (Mas Gembong, Akuwied, Bayu, Kecuk, Aan,
Finto, Ade, Arie da Vhotqha, Kojek, Yophie) atas dukungan dan
kebersamaannya selama ini.
10.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya
ilmiah ini yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan
mungkin mengandung banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik
dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang sangat diharapkan. Terima
kasih.
Bogor, September 2006
Penulis
ix
DAFTAR ISI
RINGKASAN ... i
RIWAYAT HIDUP... vi
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR LAMPIRAN... xv
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan... 2
C. Hipotesis ... 3
D. Manfaat Penelitian... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyaradan Dalam Pemanenan Kayu ... 4
1. Pengertian Penyaradan dan Sistem-Sistem Penyaradan Kayu... 4
2. Penyaradan dengan Menggunakan Traktor... 5
B. Pemadatan Tanah... 7
1. Sifat Fisik Tanah ... 7
2. Pengertian Pemadatan Tanah ... 8
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemadatan Tanah... 10
C. Pemadatan Tanah dan Pengaruhnya Terhadap Pemadatan Tanaman . 14 D. Sifat Fisik dan Biologi Tanaman... 15
1. Gmelina arborea... 15
2. Swietenia macrophylla King ... 17
3. Acacia mangium... 19
x
B. Bahan dan Alat Penelitian... 21
1. Bahan ... 21
2. Alat... 21
C. Pelaksanaan Penelitian ... 21
1. Memetakan Jalan Sarad Forwarder dalam Satu Setting Pemanenan ... 21
2. Perhitungan Jumlah Rit Penyaradan yang Diterima Jalan Sarad ... 23
3. Pengukuran Kepadatan Tanah... 24
4. Perhitungan Nilai Kepadatan Tanah ... 25
5. Penentuan Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Padat... 27
D. Analisis Data ... 29
1. Pengaruh Jumlah Rit Penyaradan Terhadap Tingkat Kepadatan Tanah ... 29
2. Pengaruh Kepadatan tanah/Jalan Sarad forwarder Terhadap Pertumbuhan Tanaman ... 30
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas dan Keadaan Wilayah... 32
B. Topografi... 33
C. Geologi dan Jenis Tanah ... 33
D. Hidrologi ... 34
E. Iklim ... 33
F. Kondisi Vegetasi Hutan ... 34
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemetaan Pola Jalan Sarad... 36
B. Kepadatan Tanah Akibat Penyaradan ... 41
C. Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Padat... 55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA... 66
xi
DAFTAR GAMBAR
Teks Halaman
Gambar 1. Gaya Tekan Pada... 13
Gambar 2. Skema Jalan Sarad forwarder ... 22
Gambar 3. Bagan Tahapan Kegiatan Penelitian ... 24
Gambar 4. Titik-titik Pengambilan Sampel Tanah ... 25
Gambar 5. Bagan Alur Langkah Kerja Penelitian ... 31
Gambar 6. Penyaradan Dengan Menggunakan Forwarder 1010D ... 36
Gambar 7. Pola Jalur Sarad Forwarder ... 38
Gambar 8. Spesifikasi Forwarder 1010D... 41
Gambar 9. Grafik Hubungan Kerapatan Massa Tanah pada Jalur Serasah Dengan Intensitas Penyaradan Pada Tiga Tingkat Kedalaman.. 45
Gambar 10. Grafik Hubungan Kerapatan Massa Tanah pada Jalur Tanpa Serasah Dengan Intensitas Penyaradan pada Tiga Tingkat Kedalaman... 45
Gambar 11. Grafik Hubungan Porositas Dengan Intensitas Penyaradan pada Jalur Serasah pada Tiga Kedalaman ... 49
Gambar 12. Grafik Hubungan Porositas Dengan Intensitas Penyaradan pada Jalur Tanpa Serasah pada Tiga Kedalaman ... 50
Gambar 13. Respon Pertumbuhan Rata-rata Acacia mangium pada Tanah Bekas Jalur Sarad dan Tanah Tidak Terusik... 59
Gambar 14. Respon Pertumbuhan Rata-Rata Swietenia macrophylla Pada Tanah Bekas Jalur Sarad dan Tanah Tidak Terusik... 59
Gambar 15. Respon Pertumbuhan Rata-rata Gmelina arborea pada Tanah Bekas Jalur Sarad dan Tanah Tidak Terusik... 60
Gambar16. Lokasi Penanaman Tanaman Acacia Mangium ... 61
Gambar17. Lokasi Penanaman Tanaman Swietenia macrophylla ... 62
Gambar18. Lokasi Penanaman Tanaman Gmelina arborea ... 62
Gambar 19. Respon Pertumbuhan Tanaman Acacia mangium pada Bekas Jalan Sarad (bulk density 1,49 g/cm3) dan Tanah Tak Terusik (bulk density 1,32 g/cm3) Setelah 2 Bulan Penanaman... 63
xii Gambar 21. Respon Pertumbuhan Tanaman Gmelina arborea pada Bekas
xiii
DAFTAR TABEL
Teks Halaman
Tabel 1 Batas Areal Kerja Tiap Kelompok Hutan ... 32
Tabel 2 Luasan KH Berdasarkan Kelas Kemiringan Lahan ... 33
Tabel 3 Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 37
Tabel 4 Perhitungan Luas Areal Terpadatkan Akibat Penyaradan pada Setiap Intensitas Penyaradan... 39
Tabel 5 Rata-rata Kerapatan Massa Tanah dan Porositas Tanah pada Berbagai Intensitas Penyaradan di Jalur Serasah ... 43
Tabel 6 Rata-rata Kerapatan Massa Tanah dan Porositas Tanah pada Berbagai Intensitas Penyaradan di Jalur Tanpa Serasah ... 44
Tabel 7 Analisis Ragam Pengaruh Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) terhadap Tingkat Kepadatan Tanah pada Tiga Tingkat Kedalaman. 46
Tabel 8 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 0-5 cm pada Jalur Serasah. ... 46
Tabel 9 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 5-10 cm pada Jalur
Serasah. ... 47
Tabel 10 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 10-15 cm pada Jalur
Serasah. ... 47
Tabel 11 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 0-5 cm pada Jalur
Tanpa Serasah. ... 47
Tabel 12 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 5-10 cm pada Jalur
Tanpa Serasah. ... 48
Tabel 13 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Kepadatan Tanah pada Kedalaman 10-15 cm pada Jalur
Tanpa Serasah. ... 48
Tabel 14 Model Hubungan Antara Intensitas Penyaradan (rit) Dengan Tingkat Kepadatan Tanah pada Jalur Serasah dan Jalur Tanpa
Serasah ... 49
Tabel 15 Model Hubungan Antara Intensitas Penyaradan (rit) Dengan
xiv Tabel 16 Analisis Ragam Pengaruh Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit)
terhadap Porositas Tanah pada Tiga Tingkat Kedalaman... 51
Tabel 17 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 0-5 cm pada Jalur Serasah. ... 51
Tabel 18 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 5-10 cm pada Jalur Serasah. ... 52
Tabel 19 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 10-15 cm pada Jalur Serasah. ... 52
Tabel 20 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 0-5 cm pada Jalur Tanpa Serasah. ... 52
Tabel 21 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 5-10 cm pada Jalur Tanpa Serasah. ... 53
Tabel 22 Uji Beda Nyata Duncan Pengaruh Intensitas Penyaradan (rit) Terhadap Porositas Tanah pada Kedalaman 10-15 cm pada Jalur Tanpa Serasah. ... 53
Tabel 23 Analisis Ragam Pengaruh Penggunaan Serasah terhadap Tingkat Kepadatan dan Porositas Tanah ... 54
Tabel 11 Rata-rata Respon Pertumbuhan Semai pada Tanah Padat dan Tanah Kontrol ... 56
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian ... 70
Lampiran 2. Data Pengukuran Pola Jalur Sarad Forwarder... 71
Lampiran 3. Jumlah Rit Penyaradan Tiap Jalur Sarad... 81
Lampiran 4. Hasil Kerapatan Massa Tanah pada Tanah Tidak Terusik
(Kontrol)... 82
Lampiran 5. Hasil Kerapatan Massa Tanah pada Berbagai Intensitas
Penyaradan pada Jalur Serasah ... 83
Lampiran 6. Hasil Kerapatan Massa Tanah pada Berbagai Intensitas
Penyaradan pada Jalur Tanpa Serasah ... 94
Lampiran 7. Data Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Tidak Terusik (Kontrol)... 100
Lampiran 8. Data Respon Pertumbuhan Tanaman di Tanah Bekas Jalur
Sarad Forwarder ... 101
Lampiran 9. Analisis Ragam Hubungan Intensitas Penyaradan (rit) Dengan Tingkat Kerapatan Massa Tanah pada Jalur Serasah... 102
Lampiran10. Analisis Ragam Hubungan Intensitas Penyaradan (rit) Dengan Tingkat Kerapatan Massa Tanah pada Jalur Tanpa Serasah.... 104
Lampiran11. Analisis Ragam Hubungan Intensitas Penyaradan (rit) Dengan Porositas Tanah pada Jalur Serasah ... 106
Lampiran12. Analisis Ragam Hubungan Intensitas Penyaradan (rit) Dengan Porositas Tanah pada Jalur Tanpa Serasah ... 108
Lampiran13. Analisis Ragam Hubungan Pemberian Serasah Dengan
Tingkat Kerapatan Massa Tanah... 110
Lampiran14. Analisis Ragam Hubungan Pemberian Serasah Dengan
Porositas Tanah ... 115
Lampiran15. Uji lanjut Duncan... 120
Lampiran16. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Acacia mangium pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah yang Tidak
Dilewati Forwarder. ... 124
Lampiran17. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Swietenia macrophylla pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah yang Tidak Dilewati Forwarder. ... 126
Lampiran18. Analisis Ragam Respon Pertumbuhan Semai Gmelina arborea pada Tanah yang Dilewati Forwarder dan Tanah
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanenan hutan merupakan salah satu tahap penting dalam kegiatan
pengelolaan hasil hutan, yang pada dasarnya merupakan proses
pengaktualisasian nilai hutan (nilai kayu). Karena potensi kayu di dalam
hutan belum bernilai ekonomi secara nyata sebelum kayu tersebut dikeluarkan
dari dalam hutan (dipanen) dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan
umat manusia.
Secara umum kegiatan pemanenan hutan terdiri dari tahapan
perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH) seperti perencanaan jalan sarad
dan penentuan lokasi TPn, penebangan, penyaradan, dan pengangkutan.
Perencanaan pemanenan memiliki peranan yang sangat penting dalam
pemilihan sistem pemanenan, alat yang digunakan, jumlah tenaga kerja, biaya,
luas setting pemanenan, minimalisasi dampak sehingga tercapai proses
pemanenan hutan yang optimal.
Perkembangan sistem pemanenan hutan dan kemajuan teknologi serta
konsep pengusahaan hutan modern memacu peningkatan penggunaan alat-alat
berat kehutanan seperti traktor dalam kegiatan pengusahaan hutan. Menurut
Suparto (1979) penggunaan traktor dalam pemanenan hutan memiliki
beberapa keuntungan dibanding cara manual antara lain :
1. Traktor dapat bergerak dengan leluasa di antara pohon inti pada sistem
tebang pilih.
2. Traktor dapat digunakan dengan aman hingga kelerengan 40%.
3. Traktor dapat digunakan untuk jarak sarad yang cukup panjang.
4. Traktor memiliki titik berat yang rendah.
Walaupun memiliki beberapa kelebihan, penggunaan traktor dalam
pemanenan hutan terutama dalam penyaradan juga menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan berupa kerusakan vegetasi hutan (tegakan tinggal
dan tumbuhan bawah) dan kerusakan tanah terutama pemadatan tanah. Kontak
yang terjadi antara permukaan tanah dengan tapak traktor akan mengakibatkan
2 Pemadatan tanah (Soil Compaction) merupakan proses pergerakan
partikel-partikel tanah yang secara mekanis bergerak ke posisi keadaan yang
lebih rapat satu sama lain (Markwick, 1944 dalam Matangaran, 1992).
Kerusakan areal berupa pemadatan tanah ini dapat diakibatkan oleh aktivitas
manusia dan aktivitas alat berat yang digunakan pada saat pemanenan baik
pada tahap penyaradan maupun pengangkutan.
Pemadatan tanah terjadi karena adanya gaya tekan terhadap tanah
(ground pressure) dan getaran yang dihasilkan oleh traktor. Ground pressure
yang dihasilkan oleh alat berat diukur dari berat alat rata-rata dibagi dengan
setiap inchi kuadrat luas tanah yang menopang alat tersebut. Semakin kecil luas
permukaan tanah yang menopang akan menyebabkan semakin besarnya
ground pressure yang dihasilkan dan semakin intensif proses pemadatan tanah
yang terjadi.
Tingkat kepadatan tanah akan berkorelasi negatif dengan pertumbuhan
tanaman. Pemadatan tanah akan mengganggu dan sangat berbahaya bagi
pertumbuhan tanaman. Tanah yang terpadatkan akan mengganggu penetrasi
akar tanaman sehingga pertumbuhan tanaman akan terhambat. Keadaan seperti
ini memerlukan pemecahan yang serius karena sangat merugikan dalam
kegiatan pengusahaan hutan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan alat berat kehutanan terhadap
kerusakan tanah hutan.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memetakan pola jalan sarad forwarder dalam satu setting pemanenan
HTI.
2. Mengetahui tingkat kepadatan tanah pada jalan sarad akibat intensitas
penggunaan forwarder dan persentase luas tanah yang terpadatkan dalam
satu setting pemanenan.
3. Mengetahui pengaruh pemberian serasah terhadap kepadatan tanah.
3
C. Hipotesis
1. Penggunaan alat berat penyaradan (forwarder) akan meningkatkan
kepadatan tanah.
2. Pemberian serasah di jalan sarad akan mengurangi tingkat kepadatan
tanah.
3. Pertumbuhan semai jenis cepat tumbuh di tanah padat akan terganggu.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh penggunaan forwarder sebagai alat sarad pada kegiatan pemanenan
hutan di HTI terhadap kerusakan tanah terutama pemadatan tanah dan
pengaruhnya terhadap respon pertumbuhan tanaman sehingga pada akhirnya
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyaradan Dalam Pemanenan Kayu
1. Pengertian Penyaradan dan Sistem-Sistem Penyaradan Kayu
Brown (1958), mendefisinikan penyaradan sebagai suatu kegiatan
pemindahan log dari tempat penebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPn)
atau Landing. Juta (1954), mendefinisikan penyaradan sebagai suatu kegiatan
pemindahan kayu dari tempat penebangan atau tunggak ke tempat
pengumpulan kayu (TPn) di tepi jalan, jalan rel atau tepi sungai dan
Wackerman (1949), mendefinisikan penyaradan sebagai kegiatan
memindahkan kayu (log) dari lokasi yang tidak menguntungkan bagi
kayu-kayu tersebut ke satu titik pengumpulan dari suatu sistem pengangkutan
primer.
Penyaradan (minor transportation) dimulai saat kayu diikatkan ke rantai
penyarad di tempat tebangan kemudian disarad ke tempat tujuannya (TPn, tepi
sungai, tepi jalan rel atau tepi jalan mobil, landing) dan berakhir setelah kayu
dilepaskan dari rantai penyarad (Elias, 1980). Secara umum berdasarkan
sortimen kayu yang disarad dikenal tiga sistem penyaradan, yaitu :
1. Short wood system
2. Tree length system
3. Full tree system
Sistem penyaradan kayu ditinjau dari bentuk kayu yang dihasilkan
(Suparto, 1979; Elias, 1980; United Tractor, 1993) dibagi menjadi :
1) Cut to length system (short wood method) adalah sistem penyaradan
dimana kayu hasil tebangan disarad ke TPn dalam bentuk sortimen
tertentu, cabang, ranting dan daun ditinggal di areal tebangan.
2) Tree length system adalah sistem penyaradan dimana kayu-kayu hasil
tebangan cabang, ranting dan daunnya dipangkas di lokasi penebangan,
kemudian disarad ke TPn dalam bentuk sortimen menurut panjang batang.
3) Full tree system adalah sistem penyaradan dimana kayu-kayu hasil
5 sedangkan proses pemangkasan cabang dan pembagian batang menjadi
sortimen tertentu dilakukan di TPn.
Juta (1954), mengemukakan bahwa berdasarkan tenaga kerja yang
dipakai pada sistem penyaradan dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :
1) Penyaradan non mekanis, terdiri dari :
a) Penyaradan dengan tenaga manusia dengan dipikul, ditarik,
digulingkan dan didorong.
b) Penyaradan dengan memakai tenaga hewan, yaitu : kuda, keledai, sapi
dan gajah.
c) Penyaradan dengan menggunakan gaya berat.
2) Penyaradan mekanis, terdiri dari :
a) Penyaradan dengan kabel.
b) Penyaradan dengan traktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem penyaradan (Brown,
1958) adalah sebagai berikut :
1) Ukuran kayu dan sifat kayu.
2) Topografi.
3) Pertimbangan silvikultur.
4) Pertimbangan iklim.
5) Jarak ke tempat pengangkutan.
2. Penyaradan Dengan Menggunakan Traktor
Penyaradan kayu dengan traktor adalah proses pemindahan kayu dari
tempat tebangan ke tempat pengumpulan dengan menggunakan alat utama
traktor atau skidder (Wackerman, 1949 ).
Simmons (1951), mengemukakan beberapa faktor ekonomi yang harus
diperhatikan dalam penggunaan traktor sebagai alat sarad, yaitu :
1) Investasi besar.
2) Memerlukan kerja yang kontinyu untuk menghindari biaya penyusutan
yang besar.
3) Untuk mengimbangi biaya traktor, pekerjaan penebangan dan pembagian
batang harus ditingkatkan.
6 5) Biaya per unit tanpak lebih tinggi dibanding dengan sistem lain untuk
kegiatan kayu pendek.
Cara penyaradan yang sering digunakan dalam pemanenan kayu di luar
Jawa adalah dengan menggunakan traktor. Pada penyaradan dengan traktor,
posisi kayu yang disarad sebagian atau seluruhnya bersentuhan dengan tanah.
Traktor yang digunakan adalah traktor berban karet (wheel skidder) atau traktor
berban ulat (crawler) (Suparto, 1979).
Keuntungan penggunaan traktor menurut Suparto (1979) adalah :
1) Dapat bergerak leluasa di antara pohon inti pada sistem tebang pilih.
2) Dapat digunakan dengan aman sampai kelerengan 40%.
3) Dapat digunakan pada jarak sarad yang cukup panjang.
4) Traktor memiliki titik berat yang rendah.
Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan traktor berupa kerusakan
vegetasi hutan dan kerusakan fisik tanah hutan. Kerusakan fisik tanah hutan
berupa erosi dan run off lebih besar pada jalan sarad yang baru dilakukan
penyaradan dibandingkan dengan jalan sarad yang telah ditinggalkan selama 2
tahun dan 3 tahun (Ruslan, 1979). Kerusakan berupa peningkatan kerapatan
limbak tanah menyebabkan rusaknya habitat binatang tanah (Tinambunan,
1987). Kerapatan limbak tanah pada bekas jalan sarad ke dalaman 0-5 cm
untuk jenis tanah podsolik merah kuning dapat mencapai 1,67 g/cm3.
Menurut Conway (1976) keuntungan dari forwarding adalah :
1) Dapat memuat sendiri, daya angkut besar dan jarak sarad lebih jauh.
2) Kerusakan log yang diangkut lebih rendah.
3) Dapat digunakan dalam kegiatan penjarangan.
4) Dapat mengangkut kayu dengan jalan angkutan yang lebih cepat bila
dibanding dengan cara ground skidding.
5) Produktivitas dan biaya tidak disebabkan ukuran log yang disarad karena
ukuran muatan relatif sama.
7
B. Pemadatan Tanah 1. Sifat fisik Tanah
Sifat fisik tanah hutan telah lama diyakini oleh para peneliti sebagai
faktor yang penting dalam proses pertumbuhan tegakan. Tanah merupakan
suatu sistem dinamis yang secara fisik terdiri dari tiga macam bahan yaitu
padatan, cairan dan gas. Komposisi ketiga bahan penyusun tanah tergantung
dari jenis tanah dan kondisi lingkungan, sehingga ketiga bahan penyusun tanah
ini saling tergantung satu dengan yang lainnya. Hubungan ketiga bahan
penyusun tanah tersebut menunjukkan sifat-sifat fisik tanah (Hillel, 1980).
Secara geologis tanah merupakan bahan organik pada suatu permukaan yang
terpengaruh cuaca atau lapisan atas (Top soil) (Smith, 1992).
Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa tekstur tanah menunjukkan
kasar halusnya tanah berdasarkan perbandingan banyaknya butir-butir pasir,
debu, dan liat. Dalam klasifikasi tanah (taksonomi tanah) tingkat famili, kasar
halusnya tanah ditunjukkan oleh sebaran ukuran butir (particle size
distribution) yang merupakan penyederhanaan dari kelas tekstur tanah.
Menurut Soedarmo dan Prayoto (1985) bahwa terdapat hubungan yang erat
antara tekstur tanah dengan sifat-sifat tanah lain, seperti kapasitas tukar kation,
porositas, kecepatan infiltrasi dan permeabilitas.
Struktur tanah menurut Hardjowigeno (1992) adalah gumpalan kecil dari
butir-butir pasir, debu dan liat yang terikat satu sama lainnya oleh suatu perekat
seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan
kecil ini mempunyai bentuk, ukuran dan kemantapan (ketahanan) yang
berbeda-beda. Tanah yang berstruktur baik (remah atau granuler) mempunyai
tata udara yang baik, unsur-unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah.
Struktur tanah yang baik adalah bentuknya membulat sehingga tidak dapat
saling bersinggungan dengan rapat. Di samping itu struktur tanah halus tidak
mudah rusak (mantap), sehingga pori-pori tanah tidak cepat tertutup bila terjadi
hujan.
Porositas (porosity) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume
atau isi dari butir tanah dengan volume dari tanah seluruhnya (Smith, 1992).
8 tinggi bila kandungan bahan organik tinggi), struktur tanah dan tekstur tanah.
Tanah-tanah yang memiliki struktur remah (granuler) mempunyai porositas
yang lebih tinggi daripada tanah-tanah yang memiliki struktur pejal (massive)
(Hardjowigeno, 1992).
Kerapatan kering (dry density) merupakan keadaan khusus dari kerapatan
menyeluruh (bulk density) suatu tanah, dengan menganggap air dihilangkan
seluruhnya dari tanah tersebut. Nilai kerapatan kering dihitung dari nilai
kerapatan menyeluruh dan nilai kadar air. Tingkat kepadatan tanah umumnya
diukur dari nilai kerapatan kering (Smith, 1992). Tingkat pemadatan tanah
diukur dari nilai kerapatan kering tanah yang dipadatkan. Nilai kerapatan
kering dari suatu tanah akan naik bila kandungan air dalam tanah tersebut
meningkat (Das, 1993).
2. Pengertian Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah biasanya didefenisikan sebagai peningkatan kerapatan
limbak tanah, merapatnya partikel-partikel solid tanah, dan penurunan nilai
porositas tanah (Glinski and Lipiec,1990 dalam Jorge et. al, 1992). Pemadatan
tanah dalam arti sebenarnya yang diinginkan adalah untuk fondasi jalan
angkutan, sedangkan pemadatan tanah hutan atau pertanian akibat pergerakan
kendaraan seperti traktor tidak diinginkan. Dari sudut pandang teknik
(engineering) pemadatan tanah cenderung meningkatkan kekuatan tanah (shear
strength) dan menurunkan kompresibilitas tanah (Craig, 1983 dalam Jorge et.
al, 1992). Dari sudut pandang pertanian (agricultural), kepadatan tanah
cenderung untuk menurunkan kuantitas air dan unsur hara yang dibutuhkan
akar tanaman dalam tanah (Bowen, 1981 dalam Joerge et. al. 1992).
Kepadatan tanah (soil compaction) merupakan proses pergerakan
partikel-partikel tanah yang secara mekanis bergerak ke posisi keadaan yang
lebih rapat satu sama lain. Pemadatan tanah merupakan fungsi dari jenis tanah,
kadar air dan jenis lalu lintas yang ada di permukaan tanah. Pada tiap lintasan
traktor cenderung terjadi pemadatan tanah pada bekas lintasan ban dan akan
semakin menjadi padat pada lintasan berikutnya. Pukulan air hujan dan injakan
kaki hewan pada tanah merupakan gaya yang dapat memadatkan tanah (Miles
9 Menurut Markwick (1944) dalam Matangaran (1992), pemadatan tanah
itu adalah proses dimana partikel-partikel tanah secara mekanis bergerak ke
posisi yang lebih rapat satu sama lain. Tingkat kepadatan tanah yang yang
dicapai dinyatakan dalam kg/m3. Herujito dalam Abbas (1990) mengistilahkan
pemadatan tanah dengan “kekompakan” yaitu kenaikan kerapatan limbak tanah
sebagai akibat dari beban atau tekanan yang dialami oleh tanah tersebut.
Untuk menduga tingkat pemadatan tanah hutan yang terjadi, dilakukan dengan
pengukuran kerapatan limbak tanahnya (Hamzah, 1983).
Poerwowidodo (1992) mengemukakan kerapatan limbak tanah dapat
digunakan sebagai petunjuk tidak langsung aras kepadatan tanah. Kepadatan
tanah akan langsung mengendalikan kesarangan tanah, kapasitas sekap air, dan
penerobosan perakaran tanaman ke dalam tubuh tanah untuk mengintensifkan
penyerapan udara, air dan hara. Pada aras kepadatan tanah yang tinggi, dapat
mengganggu perkembangan perakaran dan pertumbuhan tanaman.
Greacen dan Sans (1986) dalam Sambas (1994) mengatakan bahwa
pemadatan tanah hutan setelah kegiatan pembalakan secara mekanik terjadi
karena adanya gaya tekan dan getaran alat-alat seperti traktor.
Menurut Sowers dan Sowers dalam Gaultney et. al., (1982), perubahan
tingkat kepadatan tanah disebabkan oleh gaya dari luar maupun dari dalam
tanah sendiri. Gaya dari dalam berupa pengeringan, pengembangan maupun
pendinginan tanah, sedangkan gaya dari luar dikenakan pada tanah oleh
kegiatan yang ada pada permukaan tanah. Pemadatan tanah sebagai akibat
bekerjanya suatu alat berat berkaitan erat dengan gaya tekan terhadap tanah
dari alat yang bersangkutan. Gaya tekan terhadap tanah merupakan faktor
kunci proses terjadinya pemadatan tanah. Gaya tekan (ground pressure)
diukur dari berat alat rata-rata dibagi luas permukaan tanah yang menopang
alat tersebut. Semakin kecil luas permukaan tanah yang menopang, akan
semakin besar gaya tekan pada tanah yang dihasilkan. Semakin besar gaya
tekan pada tanah semakin intensif proses pemadatan yang terjadi (Lowman et.
al. dalam Matangaran, 1992).
Kepadatan tanah diketahui dari perhitungan pengaruh jumlah rit terhadap
10 kerapatan limbak tanah yang tidak dilalui traktor (tanah tidak terusik) sebagai
gambaran tegakan hutan tumbuh pada kondisi kerapatan limbak tanah di TPn
diukur juga. Kriteria Hovland et. al. (1966) dalam Hamzah (1983), yaitu hasil
dari penyaradan 1-2 rit tergolong kerapatan longgar. Penyaradan 3-32 rit
kerapatan sedang kecuali pada penyaradan 27 rit, dan lebih dari 33 rit termasuk
tanah padat (compact soil).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemadatan Tanah
Pergerakan traktor melewati permukaan tanah akan menghasilkan
tekanan ban atau roda traktor yang cenderung memadatkan lapisan atas tanah
(topsoil). Tingkat kepadatan tanah yang disebabkan oleh traktor tergantung
pada rit yang dilewati traktor, berat traktor, tipe ban atau roda, tekanan ban
terhadap tanah, kandungan air tanah, dan kecepatan traktor (Glinski and
Lipiec,1990 dalam Jorge et.al, 1992).
Efek utama yang dihasilkan oleh tekanan ban traktor terhadap tanah
adalah penurunan daya aliran air tanah (hydraulic conductivity), peningkatan
kepadatan tanah (bulk density) dan penurunan porositas tanah (Klute and
Jacob, 1949 dalam Jorge, 1992) dan perubahan dalam status aerasi tanah,
perubahan dalam karakteristik air tanah, dan menghalangi penetrasi akar
(Glinski dan Lipiec, 1990 dalam Jorge et.al, 1992).
Jumikis dalam Abbas (1990), menjelaskan pemadatan tanah tergantung
kadar air, jumlah energi pemadatan dan sifat alami tanah. Menurut Raghavan
et. al; Mekyes dalam Abbas (1990), bahwa di samping jumlah lintasan, besar
tekanan pada tanah setiap lintasannya menentukan besarnya kepadatan tanah
yang terjadi. Gaultney et. al. dalam Solihin H. Z. (1995), menyatakan ada
empat faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya pemadatan tanah yaitu
penggunaan lahan untuk penanaman yang terus menerus, melakukan kegiatan
pada lahan yang terlalu dini sementara kelembaban tanah tinggi, penggunaan
traktor dan peralatannya yang terlalu berat dan kurangnya penggunaan limbah
hewan pada pertanian.
Lenhard (1986) dalam Matangaran (1992), meneliti tingkat kepadatan
tanah akibat intensitas penggunaan alat penyarad traktor beroda karet. Luas
11 tanpa muatan pada berbagai intensitas penyaradan yaitu 0, 1, 2, 4, 8, 16, dan 32
rit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kerapatan limbak tanah
menunjukkan nilai maksimum pada intensitas 4 rit. Di atas intensitas 4 rit
tersebut ternyata nilai kerapatan limbak tanahnya menjadi konstan.
Markwick dalam Matangaran (1992) mengemukakan beberapa prinsip
dasar dari pemadatan tanah, yaitu :
1) Kerapatan limbak tanah merupakan ukuran kerapatan partikel tanah.
2) Secara umum pengeluaran air tanah dapat meningkatkan volume bagian
padatnya dan pemadatan merupakan peningkatan kerapatan partikel tanah.
3) Pada kondisi kadar air tanah tertentu, kepadatan tanah akan bertambah jika
daya pemadatan bertambah dan laju pertambahannya akan menurun
sampai udara sisa di dalam tanah kurang dari 3%.
4) Jika tanah diberi pemadatan pada variasi kadar air yang berbeda maka
akan terdapat kerapatan limbak maksimum tanah tersebut pada kadar air
tertentu. Kadar air ini merupakan kadar air optimum.
5) Kerapatan limbak tanah maksimum dan kadar air optimum bervariasi
antara tipe tanah dan besarnya daya pemadatan tanah yang diberikan.
6) Penggilasan tanah bermanfaat bagi tanah yang relatif kering dan digilas
pada kadar air di bawah optimum.
7) Penggilasan terhadap tanah liat yang sangat lunak akan mengaduk tanah
tersebut dan hasilnya akan merusak tanah.
8) Kenaikan kepadatan tanah akan meningkatkan pula kekuatan dan stabilitas
tanah dan mengurangi penurunan tanah. Kemampuan menyerap air
menjadi menurun dengan meningkatnya kepadatan tanah.
9) Umumnya efektivitas peralatan pemadatan tanah menurun dengan
bertambah tebalnya/dalamnya lapisan tanah yang dipadatkan. Itulah
sebabnya diperlukan pemadatan tanah lapis demi lapis dan tiap lapis tidak
terlalu tebal.
10)Jika semua faktor sama, makin berat alat pemadat tanah makin efektif
pemadatan tanah dan makin dalam tanah yang ikut terpadatkan.
Lowman et. al. dalam Matangaran (1992) mengemukakan bahwa tingkat
12 sifat fisik tanah dan daya luar yang bekerja pada tanah tersebut. Sifat-sifat
tanah hutan bervariasi dalam tekstur, struktur, kandungan mineral, kandungan
bahan-bahan organik, dan kadar air. Interaksi dari sifat-sifat tersebut pada
suatu tanah hutan tertentu menentukan perubahan tingkat kepadatan tanah yang
akan terjadi akibat aktivitas pemanenan kayu.
Hamzah (1983) mengemukakan bahwa untuk menduga derajat
pemadatan tanah hutan akibat pembalakan, dapat dilakukan dengan mengukur
kerapatan limbak tanahnya. Kerapatan limbak tanah ada kaitannya dengan
kedudukan alamiah, yaitu berat tanah itu tiap satuan volume (g/cm3) dalam
keadaan belum terganggu. Hovland et. al., (1966) dalam Hamzah (1983)
membedakan kelas pemadatan tanah sebagai berikut :
1) Tanah longgar (loose soil) dengan kerapatan limbak tanah 0,9-1,3 g/cm3
2) Tanah normal (normal soil) dengan kerapatan limbak tanah 1,3-1,5 g/cm3
3) Tanah padat (compact soil) dengan kerapatan limbak tanah 1,5-1,8 g/cm3
Menurut Buckman dan Brady (1964), tingkat kepadatan tanah erat
kaitannya dengan kerapatan massa tanah (bulk density) dan kerapatan butir
tanah (particle density). Semakin tinggi kerapatan massa tanah dan kerapatan
butir tanah maka semakin padat tanah tersebut (Hamzah, 1983).
Gaya tekan pada tanah dari manusia, hewan dan beberapa tipe mesin
penyarad dapat dilihat pada Gambar 1. (Adams dan Froehlich dalam
Matangaran, 1992), tetapi gaya tekan pada tanah tidak merupakan petunjuk
penting tentang kepadatan yang diduga. Getaran, dynamic pressure selama
bermuatan dapat menghasilkan tingkat pemadatan yang relatif tidak
menunjukkan respon yang berbeda antara gaya tekan pada tanah oleh hewan
dan alat mesin. Pemadatan tanah yang terjadi akibat pemanenan kayu ternyata
menyebabkan kerusakan fisik tanah hutan. Bila hal ini terjadi dan diserahkan
pada alam saja akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk
13
Gaya Tekan Pada Tanah(lb/inc2)
0 5 10 15 20 25 30
Manusia Crawler Kuda Rubber Tire Skidder
Gambar 1. Gaya Tekan Pada Tanah Manusia, Crawler, Kuda dan Rubber Tired Skidder (Adams dan Froehlich dalam Matangaran, 1992)
Koshi dan Fryrear (1973) mengadakan penelitian tentang efek dari
lintasan traktor, pemberian serasah (mulch) dan konfigurasi tempat tumbuh
benih pada tanah. Kepadatan tanah dilihat pada tiga ke dalaman yaitu 0-7.5,
7.5-15, dan 22.5-30 cm pada lintasan traktor baik yang diberi serasah maupun
yang tidak diberi serasah. Serasah terdiri dari tiga ukuran yaitu 0.56, 11.2, dan
22.4 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian serasah besar dari
11.2 ton/ha secara signifikan menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan
hydraulic conductivity, porositas tanah, kandungan bahan organik tanah pada
lintasan traktor pada ke dalaman 15 cm. Peningkatan kandungan bahan organik
dan porositas, penurunan kepadatan tanah cenderung memperbaiki hubungan
antara tanah-air-tanaman.
Faktor yang menyebabkan terjadinya pemadatan tanah pada tanah hutan
adalah kegiatan pembalakan secara mekanis yang akan merusak struktur tanah.
Penggunaan input tenaga mekanis dalam waktu tertentu dapat berakibat buruk
terhadap produktivitas tanah dan pertumbuhan tanaman khususnya perakaran
(Lumintang dan Hidayat, 1982).
Pengoperasian alat-alat berat menyebabkan perubahan sifat sifat tanah
yang bervariasi pada berbagai jenis tanah. Perubahan ini akan menyebabkan
pengaruh terhadap produktivitas hutan. Laju pertumbuhan benih dan tegakan
akan berkurang, serta memberi pengaruh yang berjangka panjang terhadap
produktivitas tanah hutan (Matangaran, 1992).
Pengawasan atau pembatasan lalu lintas traktor di atas permukaan tanah
14 meminimalisasi pemadatan tanah (Gupta and Larson, 1985 dalam Jorge et. al,
1992).
C. Pemadatan Tanah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Traktor berban karet yang digunakan untuk pemanenan kayu bisa
menyebabkan kepadatan tanah dan meninggalkan bekas tapak roda traktor
yang mengganggu pertumbuhan pohon (Dickerson, 1976; Froehlich, 1978
dalam Wronski, 1984). Efek ini muncul dari meningkatnya kekuatan tanah
(soil strength) dan menurunnya aerasi tanah, kedua hal ini akan menghalangi
pertumbuhan akar baru (Russel and Goss, 1974; Greacen and Sands, 1980
dalam Wronski, 1984). Selain mengganggu pertumbuhan akar, pemadatan dan
perusakan tanah akan merubah sifat/bentuk fisik tanah (physical properties)
yang mengakibatkan terjadinya run off dan erosi tanah (Wooldridge, 1960
dalam Wronski, 1984).
Penggunaan traktor untuk menyarad kayu akan meningkatkan kepadatan
tanah, dan diduga dengan meningkatnya kepadatan tanah ini menyebabkan
pertumbuhan anakan pohon akan terganggu. Beberapa penelitian tentang hal
ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kepadatan tanah dan
pertumbuhan akar tanaman. Hill dan Cruse (1985) mengemukakan bahwa
meningkatnya kepadatan tanah menyebabkan pertumbuhan akar tanaman
terganggu, terutama untuk pertumbuhan anakan pohon sampai dengan
kedalaman 5 cm.
Matangaran (1992) menyatakan bahwa nilai kritis kerapatan limbak tanah
terhadap pertumbuhan benih adalah 1,4 g/cm3, sedangkan kerapatan limbak
tanah 1,3 g/cm3 sudah memberikan respon yang jelek terhadap pertumbuhan
benih. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sebaiknya hanya
dilakukan penyaradan 2 rit saja. Jika lebih dari 2 rit pada jalan sarad yang sama
maka benih alami yang jatuh dan berkecambah kemungkinan sangat terganggu
pertumbuhannya dan kemungkinan akan mati.
Dengan adanya tekanan traktor pada tanah, elemen tanah akan tertekan
sampai mencapai keseimbangan baru, sebagai akibatnya tanah menjadi padat
dan kerapatan limbak tanahnya bertambah. Kepadatan adalah penyebab
15 udara kecil, sehingga porositasnya rendah. Air dan udara sukar bergerak
melalui tanah, karena hanya sedikit pori-pori yang berukuran besar.
Penyediaan air dan oksigen untuk pertumbuhan tanaman sangat erat dengan
jumlah dan ukuran pori-pori tanah. Di musim hujan, pada kerapatan limbak
tanah yang tinggi menyebabkan aliran permukaan tinggi, akibatnya air tidak
bisa diserap secara optimal oleh tanah.
Bertambahnya berat isi dan berkurangnya porositas total berpengaruh
negatif terhadap pertumbuhan tanaman (Lutz dan Chandler, 1985;
Matangaran, 1992). Penurunan variabel respon pertumbuhan tanaman terjadi
seiring dengan kepadatan tanah yang semakin tinggi dan porositas tanah yang
semakin randah (Matangaran, 1992) .
Penetrasi akar yang terhambat akan mengakibatkan berat, volume dan
panjang akar tanaman menurun dengan meningkatnya tingkat kepadatan tanah
(Hamzah, 1983). Hill dan Cruise (1985) dalam Matangaran (1992) mengatakan
bahwa ke dalaman penetrasi akar berkorelasi kuat dengan tingkat kepadatan
tanah yaitu semakin tinggi tingkat kepadatan tanah maka penetrasi akar
semakin dangkal. Tanah yang padat mengurangi kapasitas menyekap air,
mengurangi kandungan udara dan memberikan hambatan fisik yang besar pada
penerobosan akar sehingga mengendalikan kapasitas kemampuannya
memanen air, udara dan hara, seperti: pengecilan matra daun dan batang,
pemendekan ruas batang, pembesaran pangkal batang, pemudaran warna hijau
daun dan pengguguran daun lebih dini sehingga tanaman berpenampilan kerdil
dan memperlihatkan bentuk reset (Hasckaylo, 1960; Kramer dan Kozlowski,
1960; Grable dan Siemer, 1968; Champion dan Barley, 1969 dalam
Poerwowidodo, 1992).
D. Sifat Fisik dan Biologi Tanaman 1. Gmelina arborea
Gmelina arborea merupakan salah satu jenis kayu berdaun lebar dari
famili Verbenaceae (Lamb, 1986). Menurut Al Rasyid (1991), Gmelina
arborea dikenal dengan nama daerah gmelina (Indonesia), gambar (India) dan
gamar (Bangladesh) sedangkan Lamb (1973) dalam Kamudjo (1990)
16 yemane dan gamar tetapi lebih dikenal dengan nama gmelina, melina atau
yemane.
Menurut Lamb (1968), Gmelina arborea tersebar di sepanjang
Pegunungan Himalaya dari arah tenggara ke selatan, meliputi daerah India,
Nepal, Siklim, Assam, Pakistan Timur, Burma, Thailand, Laos, Kamboja dan
Cina bagian Selatan.
Gmelina arborea dapat tumbuh di daerah-daerah iklim basah sampai
kering dengan curah hutan rata-rata tahunan berkisar antara 750-4.800 mm dan
ketinggian tempat tumbuh antara 50-1.000 mdpl. Tanaman ini tumbuh dengan
baik pada tanah aluvial basah serta berkapur dengan lapisan permukaan bersifat
basa dan semakin ke bawah semakin tinggi keasamannya (Soerianegara dan
Indrawan, 1985).
Gmelina arborea mudah ditanam, pertumbuhannya cepat dan dapat
ditanam secara campuran. Pohonnya lurus dengan batang bebas cabang antara
6-9 m. Tinggi pohon dapat mencapai 20-30 m dengan diameter setinggi dada
sampai dengan 60 cm (Lamb, 1968). NAS (1980), Granes (1979), Palmer
(1973) dan Al-Rasyid (1989) dalam Al-Rasyid (1991) mengatakan G. Arborea
memiliki kayu yang ringan dengan berat jenis medium (0.4-0.64). Pada
mulanya gmelina dikenal sebagai pohon penghasil energi, tetapi kemudian
pemanfaatannya semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi kayu
dan kebutuhan kayu penghara industri yang terus meningkat. Dari berbagai
penelitian, kayu gmelina dapat digunakan untuk keperluan pembuatan papan
partikel, core kayu lapis, korek api, peti kemas, bahan kerajinan kayu dan
kertas kraft (Brazil). Riap rata-rata Gmelina arborea sekitar 28 m3/ha/tahun
(Kasmudjo, 1990). Menurut Kasmudjo (1990), kayu Gmelina arborea
berwarna kuning keabu-abuan dan tidak berbau khas. Tekstur kayu sedang
sampai halus, kekerasan sedang, arah serat terpadu. Berat jenis kayu sedang
antara 0.42-0.64 dan kekuatan kayu dikelompokkan ke dalam kelas menengah
(kelas III) sehingga kayu gmelina memenuhi syarat sebagai bahan konstruksi
ringan dan kayu petukangan (khususnya perabotan). Nilai keteguhan geser
17 kekerasannya baik sebagai bahan kerajinan kayu serta kandungan komponen
kimia kayu gmelina sesuai sebagai bahan pulp dan kertas.
Selanjutnya Al-Rasyid (1991) menyatakan ketertarikan para pengusaha
hutan untuk mengembangkan Gmelina arborea disebabkan rentang
pemanfaatan dan tempat tumbuhnya yang cukup luas dan cepat tumbuh.
Namun demikian tingkat pertumbuhan dan produksinya ditentukan oleh faktor
kualitas lahan. Lamb (1968) dalam Al-Rasyid (1991) menyatakan bahwa
unsur-unsur dari sifat tanah yang dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan
atau produksi tanaman Gmelina arborea adalah kandungan unsur nitrogen
dalam tanah yang tinggi, reaksi tanah lapisan olah sedikit asam sampai netral
(pH 6-7), solum tanah dalam, kelembaban tanah tinggi, kejenuhan basa tinggi
dan drainase tanah baik. Ditambahkan Al-Rasyid (1991) untuk pertumbuhan
Gmelina arborea juga diperlukan unsur fosfor dan kalsium.
2. Swietenia macrophylla King
Marga Swietenia yang termasuk dalam suku Meliaceae, terdiri dari tiga
jenis, yaitu S. macrophylla King, S. humillis Zucc dan S. mahagoni (L) Jack.
Pengenalan taksonomi dapat diamati melalui perbedaan-perbedaan fisik dari
ketiga jenis tersebut. Penjelasan secara biologi sulit dilakukan, karena
terjadinya persilangan bebas antara ketiga jenis tersebut (Mahyew dan Newton,
1998).
Tinggi pohon mencapai 35 meter, tajuk rapat, lebat, hijau tua. Kulit
kelabu gelap, beralur, mengelupas dan cabang coklat kekelabuan, kuncup
besar, tertutup oleh sisik tebal berwarna coklat muda dengan ujung berlipat,
sering kali beresin, daun tua gugur dengan warna guram tidak berbulu
(Samingan, 1982). Selanjutnya Martawijaya (1981) menambahkan, bahwa
tinggi pohon mahoni daun besar sekitar 25 meter dengan diameter 125 cm,
bentuk silindris, tidak berbanir, tajuk membulat. Kulit batang pohon mahoni
daun besar mengandung tanin yang dapat berfungsi sebagai antipyretic, tonic
dan astrigent. Menurut Ardhikusumah dan Dilmy (1956) dalam Kusuma
(1989), dibandingkan dengan mahoni daun kecil, mahoni daun besar lebih
ringan, serat-seratnya kurang halus, lebih tahan terhadap hama penggerek
18 Menurut Sutisna, Purnadjaja dan Kalima (1998), tiga jenis Swietenia
tersebut, tersebar di Amerika Tropika, dari Mexico Tengah, Amerika Tengah,
Hindia Barat termasuk Florida bagian selatan, Bolivia, Peru dan Brazil.
Sekarang ini Mahoni datanam di seluruh daerah tropika, termasuk Malaysia,
Indonesia dan Filipina. Heyne (1987) lebih spesifik mengatakan bahwa mahoni
daun besar berasal dari daerah Honduras, sedangkan di Indonesia ditanam di
Jawa dan Aceh. Mahoni daun besar merupakan jenis pohon yang berasal dari
Amerika Tengah (Honduras, Meksiko, Kolombia, Venezuela, West Indies).
Mahoni daun besar pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1872, dan
mulai dikembangkan secara luas di Pulau Jawa pada tahun 1897-1902. Pada
zaman penjajahan di Pulau Jawa, jenis ini ditanam pada lapangan yang telah
menurun kesuburannya yang tidak baik ditanami dengan tanaman jati
(Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, 1980)
S. macrophylla King termasuk ke dalam pohon gugur daun dengan tajuk
berbentuk tajuk menyerupai payung. Jenis ini dapat tumbuh mencapai
ketinggian sampai lebih 30 meter dan diameter setinggi dada lebih dari 1,5
meter. Umur dari jenis ini belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
pohon yang mampu hidup hingga ratusan tahun (Mahyew dan Newton, 1998).
Di alam, Mahoni tumbuh baik di hutan gugur daun atau hutan yang selalu
hijau, terpencar atau dalam kelompok kecil hingga 4-8 pohon/ha (Sutisna, dkk.,
1998). Menurut Mahyew dan Newton (1998), S. macrophylla dapat tumbuh
pada berbagai kondisi lingkungan. Jenis ini dapat ditemukan pada tipe hutan
tropis kering dan hutan tropis basah, dengan curah hujan tahunan 1.000-2.000
mm. Di Peru dan Bolivia, jenis ini ditemukan sampai di ketinggian lebih dari
1.400 mdpl dan mampu tumbuh pada tanah yang sedikit liat serta kurus.
Tempat tumbuh mahoni daun besar adalah daerah beriklim basah maupun
kering dengan tipe hujan A-D, tanah agak liat dan kurus, dengan ketinggian
0-800 mdpl (Martawijaya, 1981). Selanjutnya Tampubolon (1985) dalam
Kusuma (1989) menegaskan bahwa mahoni daun besar masih dapat tumbuh
baik pada tanah dengan drainase terganggu. Pohon mahoni tahan terhadap
naungan sehingga mahoni mampu bersaing dengan alang-alang atau belukar
19 alang-alang rapat. Daunnya sukar terbakar sehingga dapat dipakai sebagai
tanaman sekat bakar bagi jenis tanaman reboisasi yang peka terhadap bahaya
kebakaran (Anonim, 1980 dalam Kusuma, 1989).
Mahoni daun besar merupakan salah satu jenis pohon komersial yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi, kayunya dapat digunakan sebagai bahan
bangunan dan perkakas. Tanaman mahoni daun besar adalah salah satu jenis
tanaman yang digunakan untuk mereboisasi lahan kering yang tidak cocok
untuk tanaman jati (Al-Rasyid dan Mangsud, 1973).
3. Acacia mangium
Acacia mangium ditemukan pertama kali oleh Rumphius pada tahun 1653
dan baru dipublikasikan pada tahun 1753. Nicholson pada tahun 1966 pertama
kali memperkenalkan tanaman ini di Irian Jaya bagian selatan (Fak-fak,
Merauke, Manokwari, Serdai, dan sepanjang Sungai Digul), Kepulauan Aru
(Pulau Pragan, Kepalauan Kaiber), Maluku Selatan, Kepulauan Sula, Taliabu,
Tege, serta Pulau Seram (Kaiaratu dan Waesalan). Untuk di Luar Indonesia
penyebaran alami di Australia, yaitu sepanjang pantai Queensland dan terdapat
mulai dari pantai sampai ketinggian 720 mdpl (Nicholson, 1981).
Pada tahun 1966 tanaman Acacia mangium diperkenalkan di Sabah,
Malaysia, dari habitat alaminya sepanjang hutan tropika basah di Queensland,
Australia. Tanaman ini tumbuh sangat baik sehingga dicoba dilakukan
penanaman. Di sana, mangium tumbuh cepat, atau lebih cepat daripada
Gemelina arborea ataupun Eucalyptus deglupta, keduanya merupakan tanaman
paling cepat tumbuh, dengan diameter batang 40 cm. Tanaman ini tumbuh
sangat cepat dan baik, areal bekas jalur sarad di Sabah dapat tertutup setelah
satu tahun penanaman dengan jarak 3 x 3 meter.
Satu keistimewaan yang perlu diperhatikan adalah kemampuan mangium
untuk tumbuh pada tanah dengan pH rendah 4,2. Hal ini penting karena tanah
asam seperti itu tersebar luas di daerah tropis dan keadaan inilah yang
membedakan mangium dengan beberapa tumbuhan famili Leguminoceae yang
lain seperti Leucena yang membutuhkan pH di atas 5,5.
Pada tempat yang baik tumbuh sangat cepat. Di Sabah beberapa
20 pertumbuhan diameter adalah 2-3 cm per tahun. Tegakan yang tidak terawat
mampu manghasilkan 415 m3 kayu setelah 9 tahun, memenuhi hasil panen
tahunan sebesar 46 m3 per hektar.
Pada tempat tumbuh yang kurang baik seperti tanah dangkal, rendah
nutrisi, areal terganggu, terpadatkan, atau terendam air secara musiman,
produksi kayunya lebih sedikit. Namun hasil tahunan sering mencapai lebih
dari 20 m3 per hektar. Pada peta percobaan terdahulu, pohon ini mencapai
tinggi rata-rata 25 meter dan diameter rata-rata 27 cm pada umur 13 tahun.
Mangium tumbuh dengan baik pada tanah yang tererosi, bebatuan, tanah
miskin hara mineral dan juga pada cuaca yang tinggi atau tanah aluvial. Di
Queensland tanaman ini secara umum ditemukan pada tanah ultisol masam dan
hanya jarang terdapat pada tanah yang terbentuk dari batuan dasar. Di Pulau
Seram (Indonesia) jenis ini dilaporkan tumbuh pada tanah ultisol (podsolik
merah kuning) (National Research Council, 1983).
21
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Wilayah
II Benakat, Sumatera Selatan pada Bulan Juli sampai September 2003.
B. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1) Tanah jenis Podsolik Merah Kuning (Ultisol).
2) Serasah (daun, ranting, cabang, dan batang dengan diameter kurang dari
8 cm dan panjang kurang dari 0,5 m yang merupakan kayu sisa
pemanenan).
3) Bibit Acacia mangium, Swietenia machrophylla, Gmelina arborea.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 6-Wheel
Forwarder Timberjack 1010D, ring sample, plastik, isolasi, timbangan,
kompas, oven, pisau, golok, mistar, meteran, kamera, kalkulator, komputer,
dan alat-alat tulis.
C. Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan data penelitian dilakukan dalam satu setting pemanenan
yang sedang dilakukan kegiatan penyaradan. Tahapan penelitian yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Memetakan Pola Jalan Sarad Forwarder Dalam Satu Setting Pemanenan
Pemanenan hutan di HTI menggunakan sistem tebang habis, dimana
proses penebangan dilakukan per jalur dan langsung diproses sebelum
penebangan di jalur selanjutnya. Proses tersebut adalah pembersihan cabang
dan ranting serta pembagian batang dengan menggunakan chain saw.
22 8 cm beserta cabang dan ranting pohon dipotong-potong dengan panjang
kurang dari 0,5 m dan disusun sedemikian rupa di antara tumpukan kayu
sehingga membentuk suatu jalur yang akan dilewati forwarder dalam menyarad
kayu.
a
b
Gambar 2. Skema Jalan Sarad forwarder
Keterangan : a = jalur serasah sebagai jalan sarad forwarder b = tumpukan kayu/log
Tahapan kegiatan yang dilakukan dalam memetakan pola jalan sarad
forwarder adalah sebagai berikut :
1) Mengumpulkan data tentang setting pemanenan yang akan dilakukan
penelitian antara lain; luas setting pemanenan, potensi tegakan, umur
tegakan, jarak tanam, lokasi dan luas TPn, arah jalur sarad, lebar jalur
sarad, jarak antara jalur sarad dengan jalur sarad selanjutnya.
2) Mengumpulkan data tentang tipe forwarder dan spesifikasinya, kualifikasi
operator, dan mekanisme penyaradan (SOP penyaradan).
3) Membuat pancang/patok sebagai alat bantu dalam pengambilan data
pergerakan forwarder dan untuk menandai jumlah rit yang dilewati
forwarder.
23 4) Memulai pengukuran dengan terlebih dahulu menentukan titik ikat atau
titik awal pengukuran (titik awal pergerakan forwader ketika memasuki
setting pemanenan).
5) Memperhatikan pergerakan forwarder dari titik awal sampai jarak tertentu
hingga forwarder tersebut berbelok dan menandai titik belokan tersebut
dengan pancang.
6) Membidik dengan kompas kemudian mencatat azimut yang tertera pada
kompas dan mengukur jarak dari titik awal ke titik belokan forwarder
dengan menggunakan meteran dan memasukkannya ke tally sheet (tally
sheet terlampir)
7) Melanjutkan pengukuran pergerakan forwarder dari titik belokan ke titik
(belokan) selanjutnya dengan cara yang sama sampai rit tersebut selesai.
8) Melakukan pengukuran untuk rit selanjutnya dengan cara yang sama
sampai penyaradan di jalur sarad tersebut selesai dan pindah ke jalur sarad
selanjutnya.
9) Menandai jalan sarad yang dilewati forwarder dengan pancang yang sudah
disiapkan sebelumnya untuk tiap-tiap rit yang diterima jalan sarad. Hal ini
untuk mempermudah dalam pengambilan contoh tanah tiap rit.
10)Kegiatan di atas dilakukan tiap hari sampai kegiatan penyaradan dalam
setting pemanenan tersebut selesai.
11)Memplotkan data yang diperoleh ke dalam bentuk gambar (kertas
milimeter blok) yang hasilnya adalah peta pola jalan sarad forwarder.
12)Dari peta tersebut dapat dilakukan perhitungan persentase luas areal
terpadatkan (jalan sarad) terhadap luas total setting pemanenan dan
persertase luas areal terpadatkan berdasarkan rit terhadap luas total setting
pemanenan.
2. Perhitungan Jumlah Rit Penyaradan yang Diterima Jalan Sarad
Kegiatan ini dapat dilakukan setelah data pengukuran pemetaan pola
jalan sarad forwarder diplotkan ke dalam bentuk peta. Tahap kegiatannya