• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep penguasaan negara atas sumber daya air dalam perspektif islam (analisis Putusan Mahkamah Konstitusi no.058-059-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber daya air)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep penguasaan negara atas sumber daya air dalam perspektif islam (analisis Putusan Mahkamah Konstitusi no.058-059-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang pengujian Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber daya air)"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Sumber Daya Air)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Afnanul Huda

NIM : 105045201507

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala

rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga

tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada

kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi yang berjudul “KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS

SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air)” penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah

Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan

mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya

penulisan skripsi ini, tanpa adanya bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima

(6)

v

Program Studi Jinayah Siyasah yang lama dan Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan

Bapak Afwan Faizin, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi

Jinayah Siyasah yang baru.

3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, sebagai Dosen pembimbing yang senantiasa

membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap Dosen fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan berbagai

macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi

perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.

5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta atas pelayanan referensi

buku-bukunya.

6. Orang tua penulis Bapak H. Ahmad Faiq dan Ibu Hj. Zakiyah, penulis

memohon maaf atas segala perilaku penulis yang tidak berkenan di hati,

penulis juga menyucapkan terima kasih yang teramat sangat atas cinta, kasih

dan sayangnya kepada penulis yang telah merawat dengan penuh kesabaran

(7)

vi

membalas jasa-jasa kalian, penulis hanya bisa mendoakan semoga selalu

diberkahi oleh Allah SWT dan mendapatkan kemudahan dalam segala urusan.

8. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta: Budi, Latif, Andi, Lia, Rahma, Isti,

Dinnur, Iqie, Dawam, Salman, Fadholi, Hendri, Fery, Alwan, Niam (SS 2005)

yang senantiasa menemati penulis dalam studi, Anas, Widi, Rahman, Ulin, dll

(Komunitas SaunG) yang menjadi teman diskusi yang menyenangkan, dan

Jazuli, Syadzali, Mufti, Usup, dan mas Iput (SIMAHARAJA) terima kasih

atas semua keceriaan selama ini, terima kasih semua.

Terakhir, penulis berdoa kepada Allah SWT semoga ilmu yang telah kita

dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT.

(8)

vii HALAMAN PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Kepustakaan ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM ISLAM... 15

A. Pengertian Kepemilikan ...15

B. Macam-Macam Kepemilikan ...19

C. Penguasaan atas Sumber Daya Air ...33

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005... 38

A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi ...38

1. Hukum Acara ...38

2. Putusan Mahkamah Konstitusi ...45

B. Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ...53

(9)

viii

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI... 72

A. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ...72

1. Analisis Formil Pembentukan Undang-Undang ...73

2. Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ...80

B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Amar Putusan Mahkamah ...86

BAB V PENUTUP... 91

A. Kesimpulan ...91

B. Saran-Saran ...93

(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah negara

berdaulat yang lepas dari penjajahan asing, pada tahun 1945, para tokoh nasional

yang terbentuk dalam wadah yang disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang

kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945 di samping mengatur tata kenegaraan

juga mengatur tata kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti termuat

dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.

Hal ini yang membedakan konstitusi Republik Indonesia dengan tradisi

penulisan konstitusi di negara-negara Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya

hanya memuat materi-materi konstitusi yang bersifat politik. Tradisi yang dianut

Indonesia, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur, nampak dipengaruhi

oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara-negara sosialis

seperti negara-negara di Eropa Timur.1

Corak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi ekonomi terlihat

pada materi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:

1

(11)

1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan.

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam perkembangannya, setelah amandemen Undang Undang Dasar

1945 keempat pada tanggal 10 Agustus 2002, Pasal ini ditambah dengan

memasukkan 2 (dua) ayat baru, yaitu:

4) perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional.

5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam

undang-undang.

Penambahan dua ayat dalam pasal ini merupakan upaya untuk

mengakomodasi ketentuan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dihapus, yaitu mengenai demokrasi

ekonomi. Bila dilihat kembali materi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 33

disebutkan bahwa:

(12)

anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang".

Selanjutnya dikatakan bahwa:

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."2

Dari pasal ini jelas sekali peranan negara dalam mengatur perekonomian

besar sekali. Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 Undang Undang Dasar

1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di

tangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek

kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan

prinsip pasal 33.3

Selama ini, jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung

semangat untuk membela kesejahteraan rakyat banyak. Akan tetapi, sekarang kita

menghadapi era globalisasi yang melahirkan ekonomi pasar.4 Dapatkah kita

mempertahankan pelaksanaan Pasal 33, yang meletakkan fungsi penguasaan

2

Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, (Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999), hal. 1.

3

Arimbi HP dan Emmy Hafid,Makalah: Membumikan...., hal. 2.

4

Dasar dari teori ekonomi pasar adalah persaingan bebas yang menggerakkan mekanisme pasar. Dalam hal ini penawaran dan permintaan bebas yang melatarbelakangi motif keuntungan pada pihak produsen, pedagang maupun konsumen, menentukan harga-harga yang disebut harga tawaran bebas– dan selanjutnya menentukan apa dan berapa banyak jenis dan jumlah barang yang

(13)

negara sangat besar dalam menghadapi perkembangan zaman seperti sekarang

ini? Semua tantangan ini dapat kita amati dari produk perundang-undangan yang

dibuat. Apakah undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama

Dewan Perwakilan Rakyat telah sesuai dengan semangat Pasal 33

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, agar jiwa dari pasal

tersebut dapat terjaga.

Salah satu undang-undang yang dibentuk dalam rangka melaksanakan

ketentuan pasal 33 UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

tentang Sumber Daya Air. Namun undang-undang yang disahkan pada tanggal 19

Februari 2004 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 2004 ini menuai banyak

kontroversi, karena terdapat beberapa pasal yang diindikasikan akan memicu

privatisasi5 pengelolaan air dan komersialisasi air yang bertentangan dengan

semangat pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Untuk menjaga Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 khususnya, dan

konstitusi pada umumnya, amandemen Undang-Undang 1945 yang ketiga telah

mengakomodasi terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga

baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di mana salah satu fungsinya adalah

untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian fungsi

5

(14)

ini lebih dikenal dengan istilahjudicial review. Keberadaan Mahkamah Konstitusi

dengan kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar disebut dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai

penjaga konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The

Sole of Interpreter Constitution)

Oleh karena itu, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

mengajukan uji materiil UU Sumber Daya Air (UU SDA) ke Mahkamah

Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas UU SDA terhadap pasal 33 UUD

1945. Bahkan undang-undang ini mencetak rekor sebagai undang-undang yang

paling banyak diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi.6 Tercatat ada 19 pasal

yang dimintakan uji materiil kepada Mahkamah konstitusi dengan berbagai

alasan, di antaranya:

1. pasal 9, 10, 26, 45, 46, 80 karena dianggap dapat mendorong

privatisasi sumber daya air

2. pasal 26 ayat (7) yang dapat mengakibatkan adanya komersialisasi air

3. pasal 90, 91, 92 yang bersifat diskriminatif, karena membatasi

pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan apabila terjadi kerugian

6

(15)

Setelah melalui persidangan yang cukup panjang, pada tanggal 13 Juli

2005 majelis hakim membacakan putusannya yang menolak permohonan

pembatalan UU SDA karena majelis hakim menganggap UU SDA tidak

bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Dalam pertimbangan hukumnya,

majelis hakim menganggap bahwa tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi

terhadap sumber daya air akibat diberlakukannya UU SDA tersebut.

Islam sebagai agama wahyu juga mengatur tentang kepemilikan dan

pengelolaan sumber daya alam. Jenis kepemilikan atas sumber daya alam terdiri

dari (i) kepemilikan individu (milk fardiyah); (ii) kepemilikan umum (milk

’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daulah).7 Terminologi konsep

kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi

konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep

kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda cukup signifikan.

Islam mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi tidak boleh memilikinya

dalam arti seluas-luasnya.

Jika kita transformasikan nilai ajaran Islam dalam konteks kekinian, peran

negara yang pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu

mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan sumber daya alam demi

menyejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif ini substansi pasal 33 UUD 1945

jelas sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam.

7

(16)

Dalam pandangan Islam, sumber daya air termasuk dalam kepemilikan

umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:

Artinya: “Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)8

Yusuf Qardhawi dalam bukunya Daur Qiyam wa Akhlaq fi

al-Iqtishadi al-Islami menyatakan bahwa Islam menetapkan adanya kepemilikan

bersama terhadap benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan)

bagi semua manusia. Oleh karena itu, Islam mengeluarkan segala sesuatu yang

keberadaan dan kemanfaatannya tidak bergantung usaha-usaha khusus dari ruang

lingkup kepemilikan individu,sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan

umum serta tidak boleh dilakukan oleh perseorangan yang akan mengakibatkan

kerugian bagi masyarakat.. Rasulullah SAW menyebutkan benda-benda jenis ini

sebanyak empat hal, yaitu: air, padang rumput, api, dan garam.9

Berdasarkan fenomena di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan

penelitian tentang konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam

perspektif Islam dalam sebuah skripsi yang berjudul KONSEP PENGUASAAN

NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM

8

Abi Daud Sulaiman As-Sijistani,Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), hal. 537.

9

(17)

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004

dan 008/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007

tentang Sumber daya Air).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis

kemukakan di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi

masalah agar tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan.

Pembatasan tersebut berupa analisis yang menggunakan tinjauan fiqh siyasah

dalam menjawab permasalahan tentang konsep penguasaan negara atas sumber

daya air dalam perspektif Islam. Mengacu kepada latar belakang yang diuraikan

di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep penguasaan negara atas sumber daya air menurut putusan

Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2004 tentang Sumber daya Air?

2. Bagaimana tinjauan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi

tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan

skripsi ini antara lain:

1. Untuk mengetahui konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air

dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

2. Untuk memberikan perspektif Islam mengenai penguasaan negara terhadap

sumber daya air.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya

menyangkut bidang politik ekonomi

2. Bagi dunia akademis menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah-kritis dalam

memperkaya khazanah ilmu pengetahuan

3. Memberikan gambaran yang jelas tentang kebijakan Pemerintah Indonesia

dalam pemanfaatan sumber daya alam, khususnya sumber daya air.

D. Tinjauan Pustaka (Study Preview)

Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penulisan skripsi ini,

penulis ingin memberikan rujukan terhadap tema yang membahas dan

(19)

sumber-sumber yang penulis dapatkan ialah berasal dari buku-buku yang berkaitan,

jurnal-jurnal, artikel pada media massa,dan karya ilmiah berupa skripsi.

Buku Soegeng Sarjadi dan Imam Sugema, Ekonomi Konstitusi:Haluan

Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta 2009,

buku ini menjelaskan konsep ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konstitusi

UUD 1945 yang menafikan privatisasi dan komersialisasi terhadap sumber daya

alam dan mengupayakan kedaulatan ekonomi berada di tangan rakyat.

Buku Yusuf Qardhawi, Daur Qiyam wa Akhlaq fi Iqtishadi

al-Islami, Maktabah Wahbah, Kairo 1995, Buku ini menjelaskan tentang nilai dan

karakteristik ekonomi islam. Dalam buku ini, Yusuf Qardhawi menjelaskan

bahwa ekonomi islam adalah ekonomi pertengahan antara paham kapitalis dan

sosialis. Beliau juga menjelaskan tentang konsep kepemilikan dalam islam yang

mengakui adanya kepemilikan bersama atas benda-benda yang sangat dibutuhkan

oleh manusia.

Buku Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,

Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, Jakarta 2006, Buku ini menjelaskan tentang tata

cara pengajuan uji materiil undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Makalah Yance Arizona,Konstitusi dalam Intaian Neoliberalisme, Jakarta

2008. makalah ini menjelaskan politik ekonomi Indonesia dari era Orde lama

sampai era reformasi dan potensi adanya privatisasi dalam setiap undang-undang

(20)

Skripsi Siti Makbullah, Konsep Perekonomian Nasional dalam

Pandangan Ekonomi Islam: Tinjauan terhadap Pasal 33 UUD 1945 dan

Perubahannya, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

Dalam skripsi ini dijelaskan tentang konsep perekonomian nasional berdasarkan

pasal 33 UUD 1945 dalam pandangan ekonomi islam. Skripsi ini hanya

menjelaskan secara global konsep perekonomian nasional tanpa menyinggung

konsep penguasaaan negara atas sumber daya alam.

Skripsi M. Waliyul Fahmi, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif UUD

1945 dan Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,

2007. Skripsi ini menjelaskan sistem demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa

Indonesia sesuai UUD 1945 dan sistem ekonomi islam sebagai alternatif dalam

sistem ekonomi di Indonesia. Skripsi ini juga tidak membahas tentang konsep

penguasaan negara atas sumber daya alam.

E. Metode Penelitian

Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai penelitian ini, maka

metodologi yang digunakan adalah:

1. Jenis Penelitian

Melihat pada pendekatan keilmuan yang digunakan dalam skripsi ini,

maka penelitian skripsi ini termasuk pada jenis penelitian hukum normatif,

karena titik tekannya adalah pada peraturan perundang-undangan serta

(21)

Selain itu, titik tekan penelitian ini juga terletak pada aturan-aturan dan

pandangan para ahli hukum Islam baik klasik maupun kontemporer tentang

konsep kepemilikan dan penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam

Islam terutama yang terkait erat dengan analisis yang akan dilakukan oleh

penulis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumenter

di mana data diperoleh dengan cara meneliti dokumen-dokumen hukum yang

ada, baik berupa peraturan yang mengatur tentang uji materiil undang-undang

terhadap UUD 1945 maupun tentang konsep penguasaan negara atas sumber

daya air , serta buku-buku referensi yang lainnya yang memiliki keterkaitan

dengan permasalahan tersebut.

3. Sumber data

a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung

dari sumber asli. Pasal 33 UUD 1945 beserta Perubahannya,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai

pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya

(22)

b. Data Sekunder, buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang

membahas tentang hal-hal yang terkait dengan pembahasan.

c. Data Tersier, yang terdiri dari kamus, ensiklopedia, artikel, koran,

majalah, situs, internet, jurnal politik dan pemerintahan serta makalah

yang berkaitan.

4. Teknik Analisis Data

Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif,

maka analisis data yang akan dilakukan adalah analisis isi (content analysis).

Teknik analisis ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen

termasuk peraturan perundang-undangan ataupun referensi-referensi islam

yang berkaitan dengan konsep penguasaan negara atas sumber daya air.

Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content) baik berupa

kata-kata (word), makna (meaning), ide, tema-tema dan pesan lainnya yang

dimaksudkan dalam isi putusan tersebut.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku

Pedoman Menulis Skripsi, Tesis, Disertasi, yang diterbitkan oleh Fakultas

(23)

F. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab,

dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai

topik-topik tertentu, yaitu:

Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas konsep kepemilikan dan penguasaan atas sumber daya

air dalam perspektif Islam, yang berisi tentang pengertian kepemilikan,

macam-macam kepemilikan, dan penguasaan atas sumber daya air

Bab III membahas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Bab ini membahas seputar

hukum acara dan putusan di Mahkamah Konstitusi dan pengujian

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air.

Bab IV membahas analisis fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah

Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

sumber daya air yang berisi tentang analisis fiqh siyasah terhadap pertimbangan

hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan analisis fiqh siyasah terhadap

amar putusan Mahkamah Konstitusi.

Bab V membahas penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab

rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan

(24)

15

A. Pengertian Kepemilikan

Secara etimologis kepemilikan (milkiyyah) berarti1:

ِﺘ

“Memiliki sesuatu dan mampu untuk bertindak secara bebas terhadapnya”

Dengan demikian kepemilikan merupakan penguasaan seseorang terhadap

sesuatu sehinggaseseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap sesuatu tersebut.

Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang

memiliki sesuatu berarti mempunyai kekuasaan terhadap sesuatu tersebut

sehingga dia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada

orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat

menghalang-halanginya dari memanfaatkan sesuatu yang dimilikinya itu.2

Sedangkan pengertian kepemilikan menurut terminologi fuqaha,

terdapat beberapa definisi tentang kepemilikan yang disampaikan oleh para ulama ,

antara lain:

1

Ibn Mandhur,Lisan al-Arab, jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr,tt), hal. 492.

2

(25)

1. definisi yang disampaikan oleh Jamaluddin al-Ghaznawi3:

ِﺘ

ِﺟ ﺎ

ِﺬ

ِﻄ

ِﻟ

ِﺣ ﺎ

ِﺒِﻪ

ِﺘ

ِﺑ

ِﻊ

ِﺮ

ِﻣ

Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang bersifat menghalangi, artinya memberi pemiliknya hak untuk memanfaatkannya beserta mencegah orang lain untuk memanfaatkannya.

2. definisi yang disampaikan oleh Mustafa Ahmad al-Zarqa4:

ِﺘ

ِﺟ ﺎ

ِﺣ ﺎ

ِﻟ ﺎ

ِﻧ ﺎ

ٍﻊ

Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang menghalangi (orang lain) secara

syara’ yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk bertasharruf ketika tidak adanya halangan.

3. definisi yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily5:

ِﺘ

ِﺑ

ِﻣ

ِﻜ

ِﺣ ﺎ

ِﻣ

ِﺘ

ﱠﻟ

ِﻟ ﺎ

ِﻧ ﺎ

ٍﻊ

ِﻋ

Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung

kecuali ada halangan syar’i.

4. definisi yang disampaikan oleh Ali al-Khafifi6:

3

Jamaluddin al-Ghaznawi, al-Hawi al-Qudsi, sebagaimana dikutip oleh Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 49.

4

Mushtafa Ahmad al-Zarqa,al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), hal. 241.

5

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr), 1985, hal. 57.

6

(26)

ِﺘ

ِﻜ

ِﺣ ﺎ

ِﺒ

ِﺑ

ِﺘ

ِﻋ

ِﻧ ﺎ

ِﻊ

ِﻋ

Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang memungkinkan pemiliknya bebas membelanjakan dan memanfaatkannya sepanjang tidak adanya

halangan syara’.

Dari beberapa definisi tersebut di atas, telah jelas bahwa yang dijadikan

kata kunci kepemilikan adalah penggunaan term ikhtishash. Dalam definisi

tersebut terdapat duaikhtishash/keistimewaan yang diberikan oleh syara’ kepada

pemilik harta:

1. keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa

kehendak atau izin pemiliknya

2. keistimewaan dalam bertasharruf.Tasharrufadalah7:

ﱡﻞ

ِﻣ

ٍﺺ

ِﺑ

ِﺗِﻪ

ِﻪ

ِﺋ ﺎ

ِﻗ

Sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendak)

nya dan syara’ menetapkan batasnya beberapa konsekwensi yang

berkaitan dengan hak

Jadi pada prinsipnya atas dasar kepemilikan (milkiyyah), seseorang

mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam membelanjakannya selama

7

(27)

tidak ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’ (al-mani’). Adapun yang dimaksud denganal-mani’ adalah8:

ِﻦ

“Sesuatu yang mencegah pemilik dari melakukan tasharruf

(membelanjakan harta)”

Penghalang (mani’) dalam kepemilikan yang mencegah adanya tasharruf

dalam harta terdiri atas dua hal:

1. kurangnya keahlian, seperti anak kecil

2. adanya hak orang lain yang ada pada harta seseorang, seperti harta yang

digadaikan.

Namun adanya penghalang ini tidak menghilangkan status kepemilikan

seseorang atas harta tersebut, karena penghalang ini adalah faktor eksternal yang

tidak mempengaruhi status kepemilikan seseorang.

Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan

bahwa kepemilikan adalah suatu hak atas zat tertentu (dalam hal ini bisa

berbentuk benda bergerak atau benda mati) dan atau kegunaanya yang dapat

dimanfaatkan sesuai dengan kehendak pemiliknya atau yang berhak terhadap zat

tersebut. Sehingga apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat

tersebut, pemilik tidak membutuhkan persetujuan dari orang lain, karena pemilik

berhak atas zat tersebut.

8

(28)

Taqyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kepemilikan individu adalah

hukum syara’ yangberlaku bagi zat dan atau kegunaannya (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang

tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil

kegunaannya oleh orang lain, seperti disewa ataupun dikonsumsi untuk

dihabiskan zatnya seperti dibeli oleh orang lain.9

Atas dasar inilah, maka kepemilikan merupakan izin syar’i untuk

memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan

ditetapkan selain dengan ketetapan syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab

kepemilikannya. Jika demikian, maka kepemilikan atas zat tertentu bukan semata

berasal dari zat itu sendiri, atau dari karakter dasarnya, akan tetapi berasal dari

adanya izin yang diberikan oleh syara’, serta berasal dari sebab yang

diperbolehkan oleh syara’ untuk memiliki zat tersebutsecara sah.10

B. Macam-macam Kepemilikan

Kepemilikan dari sudut pandang obyek kepemilikan (mahal al-milk) dapat

dibedakan menjadi dua bagian:

1. kepemilikan sempurna (milkiyah tammah), yaitu: kepemilikan atas materi

harta dan manfaatnya secara bersamaan, sehingga seluruh hak yang terkait

9

Taqyuddin an-Nabhani,Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 66.

10

(29)

dengan harta itu berada di bawah penguasaan pemilik. Kepemilikan ini

bersifat mutlak, tidak dibatasi waktu, dan tidak bisa digugurkan orang lain.

Menurut ulama fiqih, ciri khusus kepemilikan sempurna adalah:

a. sejak awal, kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna

b. kepemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki sebelumnya,

artinya materi dan manfaat sudah ada sejak pemilikan benda itu

c. Kepemilikannya tidak dibatasi dengan waktu

d. Apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka masing-masing orang

dianggap bebas menggunakan miliknya tersebut sebagaimana milik

mereka masing-masing.

2. kepemilikan tidak sempurna (milkiyah naqisah), yaitu: kepemilikan atas salah

satu unsur harta, materi atau manfaatnya saja. Hal ini seperti orang yang

menyewa yang hanya memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki materinya.

Kepemilikan dari sudut pandang bentuknya dapat dibagi menjadi dua

bagian:

1. kepemilikan yang jelas (mutamayyizah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu

benda yang mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat

dipisahkan dari yang lainnya. Seperti kepemilikan terhadap sebuah rumah

atau sebagian rumah yang sudah jelas batas-batasnya.

2. kepemilikan yang bercampur (sya’iah), yaitu: kepemilikan atas sebagian, baik

(30)

dari persekutuan dalam harta tersebut. Seperti kepemilikan atas sebaian

rumah yang belum jelas pembagiannya.

Kepemilikan dari sudut pandang pihak yang berhak memanfaatkannya

dapat dibagi menjadi dua bagian11:

1. kepemilikan pribadi (milkiyah fardiyah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu

harta yang hak pemanfaatannya hanya untuk seseorang yang tertentu sebagai

pemilik harta

2. kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah), yaitu: kepemilikan terhadap sesuatu

yang hak pemanfaatannya ditetapkan bagi kelompok masyarakat dengan

ketentuan setiap anggota masyarakat berhak menggunakannya atas nama

bagian dari masyarakat tersebut.

Namun ada sebagian fuqaha yang menambahkan pembagian kepemilikan

dari sudut pandang pihak yang memanfaatkannya menjadi tiga bagian dengan

menambah satu bagian, yaitu12:

3. kepemilikan negara (milkiyah dauliyah), yaitu: harta yang merupakan hak

bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang

khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau

mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan

11

Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi

al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 46.

12

(31)

ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan

yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.

1. Kepemilikan Pribadi (milkiyah fardiyah)

Kepemilikan pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat

ataupun manfaat (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja

mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh

kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain

(seperti disewa), atau karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya (seperti

dibeli)-dari barang tersebut.

Kepemilikan pribadi dapat diperoleh dengan berbagai cara yang

dibenarkan oleh hukum islam, di antaranya adalah13:

a. Penguasaan terhadap harta bebas (Ihraz al-mubahat14 )

Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang

belum dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain. Yang dimaksud dengan

al-mubahat (harta bebas atau harta tak bertuan) adalah harta benda yang

tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan

13

Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal 56.

14

(32)

tidak ada larangan hukum (mani’ syar’i) untuk memilikinya.. seperti air di

sumbernya, rumput di padang rumput, kayu dan pohon-pohon di hutan

belantara atau ikan di sungai dan di laut.

Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut :

1) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan

terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.

2) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena

ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab

aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi

terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar’i yaitu:

a) belum ada orang lain yang mendahului melakukan ihraz

(penguasaan). Dalam hal ini berlaku kaidah:

“Barang siapa lebih dahulu menguasai harta bebas, maka sungguh ia telah memilikinya”

b) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus

berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak

menjadi miliknya.jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah

penguasaan untuk tujuan dimiliki.

b. Adanya transaksi (al-aqd)

Yang dimaksud dengan al-aqd adalah pertalian antara ijab dan

(33)

terhadap obyek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling

kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang mebutuhkan

distribusi harta kekayaan.

c. Penggantian (al-khalafiyah)

Al-khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru

menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dapat dibedakan

menjadi dua yaitu:

1) Penggantian atas seseorang oleh orang lain, seperti pewarisan

Dalam pewarisan, seorang ahli waris menggantikan posisi kepemilikan

orang yang wafat terhadap terhadap harta yang ditinggalkannya

(tirkah).

2) Penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti tadhmin

(pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan

harta benda orang lain, atau pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika

seseorang menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain. Melalui

tadhmin dan ta’widh, terjadilah peralihan kepemilikan dari pemilik

lama kepada pemilik baru.

d. Turunan dari sesuatu yang dimiliki (al-tawallud)

Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang dimiliki adalah milik

orang yang memiliki ssesuatu yang awal. Hal ini berlaku kaidah:

ﱠﻟ

(34)

Setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya.

Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta yang bersifat

produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang baru) seperti binatang yang

dapat beranak, menghasilkan air susu dan pohon yang dapat berbuah.

Benda mati yang tidak produktif seperti rumah, perabotan rumah, dan

uang tidak berlaku prinsip tawallud. Keuntungan yang didapat dari

benda-benda mati tersebut sesungguhnya berasal dari hasil usaha (tijarah).15

2. Kepemilikan Umum (milkiyah ‘ammah)

Kepemilikan umum adalah hak yang ditetapkan bagi setiap individu

untuk memanfaatkan benda-benda tertentu yang ditetapkan oleh syara’ atas dasar individu tersebut merupakan bagian dari komunitas masyarakat, bukan

sebagai individu yang memiliki barang tersebut. Sedangkan benda-benda

yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang

telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW bahwa benda-benda

tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling

membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam

15

(35)

melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok

kecil orang.16

Islam menjelaskan bahwa setiap sumber alam yang produktif adalah

menjadi hak milik umum apabila memenuhi dua syarat, yaitu:

3. Sumber alam tersebut mempunyai manfaat yang penting bagi masyarakat

4. Sumber alam tersebut tumbuh dengan sendirinya, dan tidak membutuhkan

pekerjaan besar untuk mendapatkan hasilnya.

Apabila kedua syarat ini terpenuhi, maka sumber alam tersebut

menjadi milik umum dan negara tidak boleh menjual atau memberikan

kepada seseorang. Sedangkan apabila salah satu kedua syarat di atas tidak

ada, maka pemerintah boleh memberikan hak pengelolaan sumber daya alam

tersebut kepada perorangan atau membiarkan tetap sebagai hak milik umum

sebagaimana asalnya.17

Adapun jenis-jenis benda milik umum dapat dikategorikan menjadi 3

(tiga) bagian, yaitu:

a. Barang tambang (sumber alam) yang tak terbatas jumlahnya

Dalil yang digunakan sebagai dasar untuk jenis barang yang

depositnya tidak terbatas ini adalah hadis Nabi riwayat Abu Dawud

16

Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi al-Islam, terj: Redaksi al-Azhar Press, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), hal. 238.

17

Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi

(36)

tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia

diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma'rab:

"Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR Abu Dawud).18

Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja,

melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya

banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup

kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi

seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi

seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan

sejenisnya.

Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak

boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak

boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau

18

(37)

lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi penguasa wajib

membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang

wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya

dan menyimpan hasilnya dibayt al-mal.

Ketentuan bahwa barang tambang adalah termasuk kepemilikan

umum jika barang tambang tersebut ditemukan di dalam tanah yang tidak

dimiliki oleh seseorang. Apabila barang tambang tersebut ditemukan di

tempat yang masuk dalam kepemilikan pribadi, para fuqaha berbeda

pendapat. Ada dua pendapat yang meengemuka di kalangan fuqaha

menanggapi persoalan barang tambang yang ditemukan di tanah yang

sudah menjadi milik seseorang, yaitu:

1) Barang tambang tersebut tetap menjadi milik umum, sekalipun

ditemukan di tanah yang sudah menjadi milik seseorang. pendapat ini

dipilih oleh sebagian besar ulama mazhab Maliki.

2) Barang tambang tersebut menjadi milik sang pemilik tanah karena ikut

kepada tanah, sebagaimana tanaman yang tumbuh di atas tanah

tersebut. Inilah pendapat yang terkuat dalam mazhab Syafii.19

b. Sarana umum dan kebutuhan pokok yang diperlukan oleh masyarakat

dalam kehidupan sehari-hari

19

Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim,An-Nizam al-Iqtishadi

(38)

Semua harta yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia

dan jika tidak ada akan menyebabkan kesengsaraan bagi manusia tidak

boleh dikuasai oleh seseorang dan menjadi milik bersama, seperti air.

Rasulullah SAW telah menjelaskan secara rinci dan sempurna mengenai

sifat-sifat sarana umum ini. Hal ini seperti yang dimaksud dalam hadits

beliau yang berkaitan dengan sarana umum ini. Seperti hadits yang

diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)20

Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang

pertama kali diperbolehkan oleh Rasulullah untuk seluruh umat manusia.

Mereka berserikat di dalamnya dan melarang mereka untuk memiliki

bagian apa pun dari sarana umum tersebut, karena hal itu merupakan hak

seluruh rakyat. Rakyat boleh mengambil air dari sungai-sungai yang ada

untuk mengairi sawah dan ladang mereka. Rakyat juga boleh mengambil

rumput untuk hewan ternak mereka dari padang rumput yang tidak

dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini pemerintah tidak boleh

20

(39)

memberikannya hanya kepada satu golongan dan melarang golongan

lainnya. Pemerintah hanya diperbolehkan melakukan pengaturan agar

tidak terjadi perselisihan antar sesama anggota masyarakat dalam

memanfaatkan sarana umum tersebut.21

Sarana umum yang menjadi milik bersama dan tidak boleh

dimiliki secara pribadi tidak hanya terbatas pada ketiga benda yang

disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Para ulama

berpendapat bahwa hadits di atas hanya menyebutkan beberapa jenis

benda sebagai contoh, bukan merinci secara pasti bahwa hanya ketiga

benda tersebut yang menjadi milik umum. Para ulama mengqiyaskan

(menyamakan) dengan benda yang disebutkan dalam hadits untuk semua

benda-benda yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan

mereka. Seperti minyak bumi dan batubara sebagai sumber energi

disamakan dengan api yang merupakan sumber energi pada masa

Rasulullah dan dibutuhkan oleh seluruh manusia.

c. Harta yang asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk

memilikinya

Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda-banda yang sejak

awal pembentukannya diperuntukkan bagi kepentingan umum dan dapat

21

Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi

(40)

dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. Contohnya adalah benda-benda

yang diwaqafkan untuk kepentingan umum, seperti masjid dan jalan raya.

Dalil dari harta jenis ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh imam

Tirmidzi:

Artinya: Mina adalah milik orang-orang yang lebih dahulu sampai. (HR. Tirmidzi dari Aisyah)22

Maksud dari perkataan munakhu man sabaq adalah bahwa Mina

merupakan milik seluruh rakyat. Barangsiapa yang lebih awal datang di

tempat Mina, lalu menempatinya, maka bagian tersebut adalah baginya,

karena Mina adalah milik umum bagi seluruh manusia.

Hal yang sama juga terjadi pada harta yang diwaqafkan pemiliknya

untuk kepentingan umum, seperti masjid, sekolah dan jalan raya.

Semuanya merupakan harta milik umum yang dilarang dimiliki oleh

individu dengan alasan apapun.

3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)

Kepemilikan negara merupakan kekhususan yang dimiliki oleh negara

dalam mengelola harta yang merupakan milik umum (seluruh rakyat), dimana

22

(41)

kepala negara selaku pemegang kekuasaan bisa memberikan harta tersebut

kepada sebagian rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Yang termasuk

dalam harta milik negara adalah harta yang tersimpan di baitul mal (kas

negara) yang berasal dari hartafai’,kharaj, danjizyah (pajak).23

Ada perbedaan yang mendasar antara harta milik negara dan harta

milik umum, meskipun pengelolaannya sama-sama dilakukan oleh negara.

Harta yang termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara

kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan orang-orang untuk

mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan harta milik negara

dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada siapapun

yang dikehendaki oleh negara sesuai dengan kebijakan negara.

Sebagai contoh: air, garam, padang rumput yang merupakan milik

umum, negara tidak boleh sama sekali memberikannya kepada orang tertentu,

meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai

dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj (pajak) yang merupakan

milik negara boleh diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain

tidak. Juga diperbolehkan harta kharaj dipergunakan untuk membeli senjata

saja tanpa diberikan kepada seorangpun.24

23

Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993), hal 45-46.

24

(42)

Dalam konteks Inndonesia, harta milik negara adalah semua

penerimaan negara yang masuk dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara), baik penerimaan negara dari pajak maupun penerimaan

negara non-pajak. Semua penerimaan negara tersebut akan dikeluarkan

(dibelanjakan) sesuai dengan kebijakan pemerintah.

C. Penguasaan atas Sumber Daya Air

Air, Sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu benda

yang menjadi milik umum dan bisa dimanfaatkan oleh semua orang. Sedangkan

air yang dieksplorasi ada tiga macam, yaitu: air sungai, air sumur, dan air dari

mata air.25 Ketiganya akan dijelaskan secara rinci beserta siapa saja yang berhak

untuk menguasai dan memanfaatkannya.

1. Air Sungai

Air sungai sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: Pertama,

sungai besar yang dialirkan oleh Allah SWT yang tidak dibuat manusia,

seperti sungai Nil, sungai Dajlah. Air dari sungai macam ini dapat

dipergunakan untuk berbagai keperluan, mulai untuk minum, mengairi lahan

pertanian, sampai pembangkit listrik. Tidak ada yang boleh melarang

seseorang untuk mengambil air darinya, termasuk pemerintah. Pemerintah

25

(43)

tidak berkuasa atas air yang ada di sungai tersebut. Pemerintah hanya berhak

untuk mengatur supaya pemanfaatan air berlangsung tertib dan lancar.

Kedua, sungai kecil yang dialirkan oleh Allah SWT. Sungai jenis ini

ada dua macam:

a. Sungai yang bisa naik meninggi meskipun tanpa bendungan yang

menahannya dan mencukupi kebutuhan penduduk tanpa kekurangan.

Masing-masing penduduk boleh mengambil air untuk mengairi lahan

pertaniannya saat ia membutuhkan. Peran pemerintah adalah mengatur

pemanfaatan air supaya tidak terjadi perselisihan antar warga.

b. Sungai yang airnya sedikit dan baru bisa mengairi lahan pertanian apabila

diberi bendungan. Maka penduduk bagian hulu dapat menahan air itu

hingga dapat mengairi sawah mereka, kemudian dilanjutkan wilayah

berikutnya yang dilewati sungai. Peran pemerintah adalah mengatur

supaya penduduk yang di hulu tidak menghabiskan air dan membatasi

pemakaian air supaya bisa merata. Adapun ukuran air yang ditahan oleh

penduduk hulu adalah sebatas mata kaki sebagaimana yang diriwayatkan

dari Rasulullah SAW.26

Ketiga, sungai yang digali oleh manusia ketika mereka menghidupkan

lahan mati untuk mengairi lahan mereka. Maka sungai itu menjadi milik

bersama mereka, seperti saluran yang mereka buat di antara lahan mereka.

26

(44)

2. Air Sumur

Bagi para penggali sumur ada tiga kemungkinan:Pertama, orang yang

menggali sumur untuk air minum bagi orang yang lewat, maka air yang

dihasilkan oleh sumur itu menjadi milik bersama, dan penggalinya memiliki

hak yang setara dengan orang lain. Jadi penggali sumur seolah-olah

mewaqafkan sumur hasil galiannya kepada setiap orang yang

membutuhkannya.

Kedua, orang yang menggali sumur untuk pemenuhan kebutuhan

airnya. Seperti kalangan badui yangnomaden (berpindah-pindah) saat mereka

menempati lahan dan menggali sumur di tanah itu untuk keperluan minum

mereka dan hewan-hewannya. Maka mereka menjadi pihak yang paling

berhak atas air sumur itu selama mereka berada di tempat itu. Jika mereka

meninggalkan tempat itu, maka sumur itu menjadi sumber air yang menjadi

milik umum.

Ketiga, orang yang menggali untuk kepentingan dirinya dengan niat

untuk memilikinya. Apabila penggaliannya belum sampai menemukan air,

maka kepemilikannya atas sumur itu belum diakui. Sedangkan jika dia

menggalinya dan menemukan airnya, maka sumur itu menjadi miliknya

setelah selesai menuntaskan penggaliannya.27 Hukum di atas adalah ketika

27

(45)

seseorang menggalinya di lahan kosong yang tidak dimiliki oleh seseorang

(bumi mati).

3. Air dari mata air

Mata air terbagi atas 3 (tiga) macam: Pertama, mata air yang

dipancarkan oleh Allah SWT dan bukan karena digali oleh manusia. Status

hukum mata air ini adalah sebagaimana hukum dari sungai-sungai yang

dialirkan oleh Allah SWT. Bagi orang yang mengelola bumi mati dengan

menggunakan air dari mata air tersebut, maka dia dapat mengambilnya sesuai

dengan kebutuhannya. Jika para petani memperebutkan mata air itu karena

keterbatasan airnya, maka yang didahulukan adalah lahan-lahan yang

dihidupkan (dikelola) dengan air dari mata air tersebut.

Kedua, mata air yang digali oleh manusia. Mata air tersebut menjadi

milik orang yang menggalinya dan dia juga berhak memiliki lahan di sekitar

mata air tersebut. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masalah luasnya tanah

di sekitanya adalah mengikuti kebiasaan yang berlaku. Sedang imam Abu

Hanifah berpendapat tanah di sekitar mata air adalah seluas lima ratus hasta.

Orang yang menggali mata air itu boleh mengalirkan airnya ke mana saja

yang dia mau, dan tanah yang dialiri air itu menjadi miliknya juga.

Ketiga, mata air yang digali oleh seseorang di lingkungan tanah

miliknya, maka orang itu menjadi pihak yang paling berhak atas airnya. Jika

kapasitas mata air itu hanya mencukupi pengairan ladangnya, orang lain tidak

(46)

diminum. Jika air itu lebih dari kebutuhannya, lalu dia ingin mengolah lahan

lain dengan kelebihan air tersebut, maka dia menjadi pihak yang berhak atas

kelebihan air tersebut. Jika dia tidak ingin mengolah tanah mati dengan

kelebihan air itu, maka dia harus memberikan kelebihan air itu untuk para

pemilik ternak, bukan para pemilik ladang. Jika dia minta bayaran atas air

yang digunakan oleh para pemilik ladang, maka hal itu boleh dilakukan.28

28

(47)

38

A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi 1. Hukum Acara

Untuk melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi hanya

bisa melakukan atau memutus perkara yang dimohonkan kepadanya apabila

pemohon tersebut mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Tidak

semua orang dapat mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi

dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja, sebagaimana dikenal

dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara belum

tentu dapat dijadikan dasar permohonan.1

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut

undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada

Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan

kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi

pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dalam perkara

pengujian undang-undang, persyaratanlegal standingatau kedudukan hukum

1

(48)

dimaksud mencakup syarat formil sebagaimana ditentukan dalam

undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan

konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.2

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan

permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, yang menyebutkan:

(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang

dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga

agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang

2

(49)

memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian

undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam

Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud

yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;

c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai

akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

TentangIegal standing, Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskannya

dalam putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor

010/PUU-III/2005, bahwa kerugian yang timbul karena berlakunya suatu

undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai

berikut:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah

(50)

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik

(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka

kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.3

Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya

memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi

sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan

diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang

tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara

dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali

dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.

Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam

itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata

usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan

individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri

3

(51)

inilah yang membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi

dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.

Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada

undang-undang, hukum acara lain yang timbul karena kebutuhan yang

kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan

yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha

Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan

aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi

pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan tata usaha negara dengan

aturan hukum acara perdata maka secaramutatis mutandis juga aturan hukum

acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuat

dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik

sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara

lain itu digunakan dalam praktek.

Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi

dapat dikenali sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

b. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK);

c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada;

d. Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata

(52)

e. Pendapat sarjana (doktrin);

f. Hukum Acara dan/atau yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.4

Secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah

Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:5

1. Pengajuan permohonan

a. Ditulis dalam bahasa Indonesia;

b. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;

c. Diajukan dalam 12 rangkap;

d. Jenis perkara;

e. Sistematika:

1) Identitas dan legal standing

2) Posita

3) Petitum

f. Disertai bukti pendukung

2. Pendaftaran

3. Penjadwalan Sidang

a. Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali

perkara Perselisihan Hasil Pemilu).

4

Maruarar Siahaan,Hukum Acara…., hal. 82-84.

5

(53)

b. Para pihak diberitahu/dipanggil.

c. Diumumkan kepada masyarakat.

4. Pemeriksaan Pendahuluan

a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:

1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan.

2) Kejelasan materi permohonan.

b. Memberi nasehat:

1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan.

2) Perbaikan materi permohonan.

c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.

5. Pemeriksaan Persidangan

a. Terbuka untuk umum.

b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti.

c. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan.

d. Lembaga Negara dapat dimintai keterangan, Lembaga Negara

dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan

yang diminta.

e. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.

f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain.

(54)

Adapun susunan isi putusan atau sistematika putusan Mahkamah

Konstitusi diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:

a. Mahkamah Konstitusi memberikan putusan demi keadilan berdasarkan

ketuhanan yang maha esa.

b. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:

1)Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”;

2) Identitas pihak;

3) Ringkasan permohonan;

4) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

5) Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

6) Amar putusan;

7) Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat

negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan

(55)

kepadanya.6 Gustav Radbruch mengemukakan bahwa: “Seharusnya dalam

suatu putusan mengandung idée des recht atau cita hukum, yang meliputi

unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid) dan

kemanfaatan (zweekmasigkeit).7

Ketiga unsur tersebut sedapat mungkin harus diakomodir dalam suatu

putusan secara proporsional. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara

yang penting bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya,

melainkan mengetahui secara objektif fakta atau peristiwanya sebagai duduk

perkara yang sebenarnya yang nantinya dijadikan dasar putusannya, bukan

secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui

terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan

putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan

mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus

benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenar-benarnya dan peraturan hukum yang

akan diterapkan.8

6

Mr. P.A. Stein, Compendium Van Het Burgerlijke Procesrechts, 4e druk, Kluwer, 1977, hal. 158. dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia,Cet I, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), 2006, hal. 235.

7

Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum,Edisi IV, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal. 145.

8

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang

Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, (Bandung: PT Citra

(56)

Dengan demikian, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh

hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di

dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu

perkara atau sengketa antara para pihak.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya isi putusan hakim

konstitusi dapat berupa 3 (tiga) macam, yaitu permohonan tidak dapat

diterima, permohonan ditolak, serta permohonan dikabulkan. Ketiga macam

hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard)

Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan

permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) apabila

permohonannya melawan hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam

hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan atau

permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi. Dalam Pasal 51 diatur bahwa:

1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

(57)

b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c) Badan hukum publik atau privat; atau

d) Lembaga negara.

2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya

tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon

wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a) Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan

berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; dan/atau

b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang

dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Permohonan ditolak (ontzigd)

Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila

permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud

tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, baik mengenai

pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar

(58)

c. Permohonan dikabulkan.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan

dikabulkan, apabila permohonannya beralasan. Dalam hal ini Mahkamah

Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan. Atau dalam hal

pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan

pembentukan undang-undang berdasarkan Undang Undang Dasar 1945,

amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal

permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas

materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang

bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonaan

wajib dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat tiga

puluh hari kerja sejak putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat,

pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat

dimohonkan pengujian kembali dikemudian hari (nebis in idem).

Jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang disimpulkan dari

amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaratoir,

constitutief dan condemnatoir. Suatu putusan dikatakan condemnatoir

kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau

termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een

prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak

(59)

terhadap penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini

Referensi

Dokumen terkait

(2) Setiap orang atau Badan Usaha yang memasukkan kayu ke Daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Surat Izin

(3) Pemegang Izin Pemakaian Air Tanah dan Pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mendapat izin sebelum berlakunya Peraturan Menteri

(6) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) direncanakan dan ditetapkan sebagai bagian dalam rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai

Berdasarkan rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud huruf (d), Kepala Dinas yang membidangi pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi menerbitkan izin penggunaan sumber daya air atau

(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut

(4) Permohonan Izin Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis oleh badan usaha kepada Menteri melalui

(2) Pemegang Izin Pemakaian Air Tanah dan Pemegang Izin Pengusahaan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mendapat izin setelah berlakunya Peraturan

(3) Pihak lain dalam melakukan usaha pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib bekerjasama dengan badan usaha milik masyarakat Hukum