Sumber Daya Air)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Afnanul Huda
NIM : 105045201507
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iv
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepada
kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul “KONSEP PENGUASAAN NEGARA ATAS
SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air)” penulis susun dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Jinayah Siyasah konsentrasi Siyasah
Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulus hati, penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan
mengatasi berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya
penulisan skripsi ini, tanpa adanya bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima
v
Program Studi Jinayah Siyasah yang lama dan Bapak Dr. Asmawi, M.Ag dan
Bapak Afwan Faizin, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi
Jinayah Siyasah yang baru.
3. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, sebagai Dosen pembimbing yang senantiasa
membimbing dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap Dosen fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi
perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.
5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta atas pelayanan referensi
buku-bukunya.
6. Orang tua penulis Bapak H. Ahmad Faiq dan Ibu Hj. Zakiyah, penulis
memohon maaf atas segala perilaku penulis yang tidak berkenan di hati,
penulis juga menyucapkan terima kasih yang teramat sangat atas cinta, kasih
dan sayangnya kepada penulis yang telah merawat dengan penuh kesabaran
vi
membalas jasa-jasa kalian, penulis hanya bisa mendoakan semoga selalu
diberkahi oleh Allah SWT dan mendapatkan kemudahan dalam segala urusan.
8. Sahabat-sahabat penulis yang tercinta: Budi, Latif, Andi, Lia, Rahma, Isti,
Dinnur, Iqie, Dawam, Salman, Fadholi, Hendri, Fery, Alwan, Niam (SS 2005)
yang senantiasa menemati penulis dalam studi, Anas, Widi, Rahman, Ulin, dll
(Komunitas SaunG) yang menjadi teman diskusi yang menyenangkan, dan
Jazuli, Syadzali, Mufti, Usup, dan mas Iput (SIMAHARAJA) terima kasih
atas semua keceriaan selama ini, terima kasih semua.
Terakhir, penulis berdoa kepada Allah SWT semoga ilmu yang telah kita
dapat di kampus ini bermanfaat bagi kita semua dan diberkahi oleh Allah SWT.
vii HALAMAN PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Tinjauan Kepustakaan ... 9
E. Metodologi Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM ISLAM... 15
A. Pengertian Kepemilikan ...15
B. Macam-Macam Kepemilikan ...19
C. Penguasaan atas Sumber Daya Air ...33
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005... 38
A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi ...38
1. Hukum Acara ...38
2. Putusan Mahkamah Konstitusi ...45
B. Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ...53
viii
BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI... 72
A. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ...72
1. Analisis Formil Pembentukan Undang-Undang ...73
2. Analisis Materil Isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ...80
B. Analisis Fiqh Siyasah terhadap Amar Putusan Mahkamah ...86
BAB V PENUTUP... 91
A. Kesimpulan ...91
B. Saran-Saran ...93
1
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah negara
berdaulat yang lepas dari penjajahan asing, pada tahun 1945, para tokoh nasional
yang terbentuk dalam wadah yang disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang
kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945 di samping mengatur tata kenegaraan
juga mengatur tata kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti termuat
dalam Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.
Hal ini yang membedakan konstitusi Republik Indonesia dengan tradisi
penulisan konstitusi di negara-negara Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya
hanya memuat materi-materi konstitusi yang bersifat politik. Tradisi yang dianut
Indonesia, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur, nampak dipengaruhi
oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara-negara sosialis
seperti negara-negara di Eropa Timur.1
Corak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi ekonomi terlihat
pada materi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:
1
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam perkembangannya, setelah amandemen Undang Undang Dasar
1945 keempat pada tanggal 10 Agustus 2002, Pasal ini ditambah dengan
memasukkan 2 (dua) ayat baru, yaitu:
4) perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Penambahan dua ayat dalam pasal ini merupakan upaya untuk
mengakomodasi ketentuan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dihapus, yaitu mengenai demokrasi
ekonomi. Bila dilihat kembali materi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 33
disebutkan bahwa:
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang".
Selanjutnya dikatakan bahwa:
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."2
Dari pasal ini jelas sekali peranan negara dalam mengatur perekonomian
besar sekali. Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 Undang Undang Dasar
1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di
tangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek
kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan
prinsip pasal 33.3
Selama ini, jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung
semangat untuk membela kesejahteraan rakyat banyak. Akan tetapi, sekarang kita
menghadapi era globalisasi yang melahirkan ekonomi pasar.4 Dapatkah kita
mempertahankan pelaksanaan Pasal 33, yang meletakkan fungsi penguasaan
2
Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, (Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiends of the Earth (FoE) Indonesia, 1999), hal. 1.
3
Arimbi HP dan Emmy Hafid,Makalah: Membumikan...., hal. 2.
4
Dasar dari teori ekonomi pasar adalah persaingan bebas yang menggerakkan mekanisme pasar. Dalam hal ini penawaran dan permintaan bebas yang melatarbelakangi motif keuntungan pada pihak produsen, pedagang maupun konsumen, menentukan harga-harga yang disebut harga tawaran bebas– dan selanjutnya menentukan apa dan berapa banyak jenis dan jumlah barang yang
negara sangat besar dalam menghadapi perkembangan zaman seperti sekarang
ini? Semua tantangan ini dapat kita amati dari produk perundang-undangan yang
dibuat. Apakah undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat telah sesuai dengan semangat Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, agar jiwa dari pasal
tersebut dapat terjaga.
Salah satu undang-undang yang dibentuk dalam rangka melaksanakan
ketentuan pasal 33 UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air. Namun undang-undang yang disahkan pada tanggal 19
Februari 2004 dan diundangkan pada tanggal 18 Maret 2004 ini menuai banyak
kontroversi, karena terdapat beberapa pasal yang diindikasikan akan memicu
privatisasi5 pengelolaan air dan komersialisasi air yang bertentangan dengan
semangat pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Untuk menjaga Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 khususnya, dan
konstitusi pada umumnya, amandemen Undang-Undang 1945 yang ketiga telah
mengakomodasi terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga
baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di mana salah satu fungsinya adalah
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kemudian fungsi
5
ini lebih dikenal dengan istilahjudicial review. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
dengan kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar disebut dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
penjaga konstitusi (The Guardian of Constitution) dan penafsir konstitusi (The
Sole of Interpreter Constitution)
Oleh karena itu, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
mengajukan uji materiil UU Sumber Daya Air (UU SDA) ke Mahkamah
Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas UU SDA terhadap pasal 33 UUD
1945. Bahkan undang-undang ini mencetak rekor sebagai undang-undang yang
paling banyak diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi.6 Tercatat ada 19 pasal
yang dimintakan uji materiil kepada Mahkamah konstitusi dengan berbagai
alasan, di antaranya:
1. pasal 9, 10, 26, 45, 46, 80 karena dianggap dapat mendorong
privatisasi sumber daya air
2. pasal 26 ayat (7) yang dapat mengakibatkan adanya komersialisasi air
3. pasal 90, 91, 92 yang bersifat diskriminatif, karena membatasi
pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan apabila terjadi kerugian
6
Setelah melalui persidangan yang cukup panjang, pada tanggal 13 Juli
2005 majelis hakim membacakan putusannya yang menolak permohonan
pembatalan UU SDA karena majelis hakim menganggap UU SDA tidak
bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Dalam pertimbangan hukumnya,
majelis hakim menganggap bahwa tidak terjadi privatisasi dan komersialisasi
terhadap sumber daya air akibat diberlakukannya UU SDA tersebut.
Islam sebagai agama wahyu juga mengatur tentang kepemilikan dan
pengelolaan sumber daya alam. Jenis kepemilikan atas sumber daya alam terdiri
dari (i) kepemilikan individu (milk fardiyah); (ii) kepemilikan umum (milk
’ammah) dan, kepemilikan negara (milk daulah).7 Terminologi konsep
kepemilikan dalam Islam ini memang tidak berbeda dengan konsep ekonomi
konvensional. Akan tetapi, secara substansi dan implementasi konsep
kepemilikan (property right) menurut ajaran Islam berbeda cukup signifikan.
Islam mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi tidak boleh memilikinya
dalam arti seluas-luasnya.
Jika kita transformasikan nilai ajaran Islam dalam konteks kekinian, peran
negara yang pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu
mengelola/mengendalikan dan memanfaatkan sumber daya alam demi
menyejahterakan rakyatnya. Dalam perspektif ini substansi pasal 33 UUD 1945
jelas sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam.
7
Dalam pandangan Islam, sumber daya air termasuk dalam kepemilikan
umum. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw.:
Artinya: “Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)8
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Daur Qiyam wa Akhlaq fi
al-Iqtishadi al-Islami menyatakan bahwa Islam menetapkan adanya kepemilikan
bersama terhadap benda-benda yang bersifat dharuri (yang sangat dibutuhkan)
bagi semua manusia. Oleh karena itu, Islam mengeluarkan segala sesuatu yang
keberadaan dan kemanfaatannya tidak bergantung usaha-usaha khusus dari ruang
lingkup kepemilikan individu,sehingga kepemilikannya bersifat bersama dan
umum serta tidak boleh dilakukan oleh perseorangan yang akan mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat.. Rasulullah SAW menyebutkan benda-benda jenis ini
sebanyak empat hal, yaitu: air, padang rumput, api, dan garam.9
Berdasarkan fenomena di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian tentang konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam
perspektif Islam dalam sebuah skripsi yang berjudul KONSEP PENGUASAAN
NEGARA ATAS SUMBER DAYA AIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM
8
Abi Daud Sulaiman As-Sijistani,Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), hal. 537.
9
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan 008/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007
tentang Sumber daya Air).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis
kemukakan di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi
masalah agar tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan.
Pembatasan tersebut berupa analisis yang menggunakan tinjauan fiqh siyasah
dalam menjawab permasalahan tentang konsep penguasaan negara atas sumber
daya air dalam perspektif Islam. Mengacu kepada latar belakang yang diuraikan
di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep penguasaan negara atas sumber daya air menurut putusan
Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber daya Air?
2. Bagaimana tinjauan fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan
skripsi ini antara lain:
1. Untuk mengetahui konsep penguasaan negara terhadap sumber daya air
dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
2. Untuk memberikan perspektif Islam mengenai penguasaan negara terhadap
sumber daya air.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya
menyangkut bidang politik ekonomi
2. Bagi dunia akademis menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah-kritis dalam
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
3. Memberikan gambaran yang jelas tentang kebijakan Pemerintah Indonesia
dalam pemanfaatan sumber daya alam, khususnya sumber daya air.
D. Tinjauan Pustaka (Study Preview)
Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penulisan skripsi ini,
penulis ingin memberikan rujukan terhadap tema yang membahas dan
sumber-sumber yang penulis dapatkan ialah berasal dari buku-buku yang berkaitan,
jurnal-jurnal, artikel pada media massa,dan karya ilmiah berupa skripsi.
Buku Soegeng Sarjadi dan Imam Sugema, Ekonomi Konstitusi:Haluan
Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta 2009,
buku ini menjelaskan konsep ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konstitusi
UUD 1945 yang menafikan privatisasi dan komersialisasi terhadap sumber daya
alam dan mengupayakan kedaulatan ekonomi berada di tangan rakyat.
Buku Yusuf Qardhawi, Daur Qiyam wa Akhlaq fi Iqtishadi
al-Islami, Maktabah Wahbah, Kairo 1995, Buku ini menjelaskan tentang nilai dan
karakteristik ekonomi islam. Dalam buku ini, Yusuf Qardhawi menjelaskan
bahwa ekonomi islam adalah ekonomi pertengahan antara paham kapitalis dan
sosialis. Beliau juga menjelaskan tentang konsep kepemilikan dalam islam yang
mengakui adanya kepemilikan bersama atas benda-benda yang sangat dibutuhkan
oleh manusia.
Buku Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Setjen dan Kepaniteraan MK-RI, Jakarta 2006, Buku ini menjelaskan tentang tata
cara pengajuan uji materiil undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
Makalah Yance Arizona,Konstitusi dalam Intaian Neoliberalisme, Jakarta
2008. makalah ini menjelaskan politik ekonomi Indonesia dari era Orde lama
sampai era reformasi dan potensi adanya privatisasi dalam setiap undang-undang
Skripsi Siti Makbullah, Konsep Perekonomian Nasional dalam
Pandangan Ekonomi Islam: Tinjauan terhadap Pasal 33 UUD 1945 dan
Perubahannya, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang konsep perekonomian nasional berdasarkan
pasal 33 UUD 1945 dalam pandangan ekonomi islam. Skripsi ini hanya
menjelaskan secara global konsep perekonomian nasional tanpa menyinggung
konsep penguasaaan negara atas sumber daya alam.
Skripsi M. Waliyul Fahmi, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif UUD
1945 dan Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
2007. Skripsi ini menjelaskan sistem demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa
Indonesia sesuai UUD 1945 dan sistem ekonomi islam sebagai alternatif dalam
sistem ekonomi di Indonesia. Skripsi ini juga tidak membahas tentang konsep
penguasaan negara atas sumber daya alam.
E. Metode Penelitian
Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai penelitian ini, maka
metodologi yang digunakan adalah:
1. Jenis Penelitian
Melihat pada pendekatan keilmuan yang digunakan dalam skripsi ini,
maka penelitian skripsi ini termasuk pada jenis penelitian hukum normatif,
karena titik tekannya adalah pada peraturan perundang-undangan serta
Selain itu, titik tekan penelitian ini juga terletak pada aturan-aturan dan
pandangan para ahli hukum Islam baik klasik maupun kontemporer tentang
konsep kepemilikan dan penguasaan negara terhadap sumber daya air dalam
Islam terutama yang terkait erat dengan analisis yang akan dilakukan oleh
penulis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumenter
di mana data diperoleh dengan cara meneliti dokumen-dokumen hukum yang
ada, baik berupa peraturan yang mengatur tentang uji materiil undang-undang
terhadap UUD 1945 maupun tentang konsep penguasaan negara atas sumber
daya air , serta buku-buku referensi yang lainnya yang memiliki keterkaitan
dengan permasalahan tersebut.
3. Sumber data
a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung
dari sumber asli. Pasal 33 UUD 1945 beserta Perubahannya,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai
pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
b. Data Sekunder, buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang
membahas tentang hal-hal yang terkait dengan pembahasan.
c. Data Tersier, yang terdiri dari kamus, ensiklopedia, artikel, koran,
majalah, situs, internet, jurnal politik dan pemerintahan serta makalah
yang berkaitan.
4. Teknik Analisis Data
Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif,
maka analisis data yang akan dilakukan adalah analisis isi (content analysis).
Teknik analisis ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen
termasuk peraturan perundang-undangan ataupun referensi-referensi islam
yang berkaitan dengan konsep penguasaan negara atas sumber daya air.
Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content) baik berupa
kata-kata (word), makna (meaning), ide, tema-tema dan pesan lainnya yang
dimaksudkan dalam isi putusan tersebut.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
Pedoman Menulis Skripsi, Tesis, Disertasi, yang diterbitkan oleh Fakultas
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab,
dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai
topik-topik tertentu, yaitu:
Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas konsep kepemilikan dan penguasaan atas sumber daya
air dalam perspektif Islam, yang berisi tentang pengertian kepemilikan,
macam-macam kepemilikan, dan penguasaan atas sumber daya air
Bab III membahas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Bab ini membahas seputar
hukum acara dan putusan di Mahkamah Konstitusi dan pengujian
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air.
Bab IV membahas analisis fiqh siyasah terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
sumber daya air yang berisi tentang analisis fiqh siyasah terhadap pertimbangan
hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan analisis fiqh siyasah terhadap
amar putusan Mahkamah Konstitusi.
Bab V membahas penutup yang berisi tentang kesimpulan yang menjawab
rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan
15
A. Pengertian Kepemilikan
Secara etimologis kepemilikan (milkiyyah) berarti1:
ِﺘ
“Memiliki sesuatu dan mampu untuk bertindak secara bebas terhadapnya”
Dengan demikian kepemilikan merupakan penguasaan seseorang terhadap
sesuatu sehinggaseseorang mempunyai kekuasaan khusus terhadap sesuatu tersebut.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang
memiliki sesuatu berarti mempunyai kekuasaan terhadap sesuatu tersebut
sehingga dia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada
orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat
menghalang-halanginya dari memanfaatkan sesuatu yang dimilikinya itu.2
Sedangkan pengertian kepemilikan menurut terminologi fuqaha,
terdapat beberapa definisi tentang kepemilikan yang disampaikan oleh para ulama ,
antara lain:
1
Ibn Mandhur,Lisan al-Arab, jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr,tt), hal. 492.
2
1. definisi yang disampaikan oleh Jamaluddin al-Ghaznawi3:
ِﺘ
ِﺟ ﺎ
ِﺬ
ِﻄ
ﻲ
ِﻟ
ِﺣ ﺎ
ِﺒِﻪ
ِﺘ
ِﺑ
ِﻊ
ِﺮ
ِﻣ
Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang bersifat menghalangi, artinya memberi pemiliknya hak untuk memanfaatkannya beserta mencegah orang lain untuk memanfaatkannya.
2. definisi yang disampaikan oleh Mustafa Ahmad al-Zarqa4:
ِﺘ
ِﺟ ﺎ
ِﺣ ﺎ
ِﻟ ﺎ
ِﻧ ﺎ
ٍﻊ
Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang menghalangi (orang lain) secara
syara’ yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk bertasharruf ketika tidak adanya halangan.
3. definisi yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhaily5:
ِﺘ
ِﺑ
ِﻣ
ِﻜ
ِﺣ ﺎ
ِﻣ
ِﺘ
ﱠﻟ
ِﻟ ﺎ
ِﻧ ﺎ
ٍﻊ
ِﻋ
Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung
kecuali ada halangan syar’i.
4. definisi yang disampaikan oleh Ali al-Khafifi6:
3
Jamaluddin al-Ghaznawi, al-Hawi al-Qudsi, sebagaimana dikutip oleh Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 49.
4
Mushtafa Ahmad al-Zarqa,al-Madkhal al-Fiqhi al-Islami, jilid I, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), hal. 241.
5
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr), 1985, hal. 57.
6
ِﺘ
ِﻜ
ِﺣ ﺎ
ِﺒ
ِﺑ
ِﺘ
ِﻋ
ِﻧ ﺎ
ِﻊ
ِﻋ
Milk adalah keistimewaan (ikhtishash) yang memungkinkan pemiliknya bebas membelanjakan dan memanfaatkannya sepanjang tidak adanya
halangan syara’.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, telah jelas bahwa yang dijadikan
kata kunci kepemilikan adalah penggunaan term ikhtishash. Dalam definisi
tersebut terdapat duaikhtishash/keistimewaan yang diberikan oleh syara’ kepada
pemilik harta:
1. keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya tanpa
kehendak atau izin pemiliknya
2. keistimewaan dalam bertasharruf.Tasharrufadalah7:
ﱡﻞ
ِﻣ
ٍﺺ
ِﺑ
ِﺗِﻪ
ِﻪ
ِﺋ ﺎ
ِﻗ
Sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan iradah (kehendak)
nya dan syara’ menetapkan batasnya beberapa konsekwensi yang
berkaitan dengan hak
Jadi pada prinsipnya atas dasar kepemilikan (milkiyyah), seseorang
mempunyai keistimewaan berupa kebebasan dalam membelanjakannya selama
7
tidak ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’ (al-mani’). Adapun yang dimaksud denganal-mani’ adalah8:
ِﻦ
“Sesuatu yang mencegah pemilik dari melakukan tasharruf
(membelanjakan harta)”
Penghalang (mani’) dalam kepemilikan yang mencegah adanya tasharruf
dalam harta terdiri atas dua hal:
1. kurangnya keahlian, seperti anak kecil
2. adanya hak orang lain yang ada pada harta seseorang, seperti harta yang
digadaikan.
Namun adanya penghalang ini tidak menghilangkan status kepemilikan
seseorang atas harta tersebut, karena penghalang ini adalah faktor eksternal yang
tidak mempengaruhi status kepemilikan seseorang.
Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kepemilikan adalah suatu hak atas zat tertentu (dalam hal ini bisa
berbentuk benda bergerak atau benda mati) dan atau kegunaanya yang dapat
dimanfaatkan sesuai dengan kehendak pemiliknya atau yang berhak terhadap zat
tersebut. Sehingga apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat
tersebut, pemilik tidak membutuhkan persetujuan dari orang lain, karena pemilik
berhak atas zat tersebut.
8
Taqyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kepemilikan individu adalah
hukum syara’ yangberlaku bagi zat dan atau kegunaannya (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang
tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil
kegunaannya oleh orang lain, seperti disewa ataupun dikonsumsi untuk
dihabiskan zatnya seperti dibeli oleh orang lain.9
Atas dasar inilah, maka kepemilikan merupakan izin syar’i untuk
memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan
ditetapkan selain dengan ketetapan syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab
kepemilikannya. Jika demikian, maka kepemilikan atas zat tertentu bukan semata
berasal dari zat itu sendiri, atau dari karakter dasarnya, akan tetapi berasal dari
adanya izin yang diberikan oleh syara’, serta berasal dari sebab yang
diperbolehkan oleh syara’ untuk memiliki zat tersebutsecara sah.10
B. Macam-macam Kepemilikan
Kepemilikan dari sudut pandang obyek kepemilikan (mahal al-milk) dapat
dibedakan menjadi dua bagian:
1. kepemilikan sempurna (milkiyah tammah), yaitu: kepemilikan atas materi
harta dan manfaatnya secara bersamaan, sehingga seluruh hak yang terkait
9
Taqyuddin an-Nabhani,Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, terj. Moh. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 66.
10
dengan harta itu berada di bawah penguasaan pemilik. Kepemilikan ini
bersifat mutlak, tidak dibatasi waktu, dan tidak bisa digugurkan orang lain.
Menurut ulama fiqih, ciri khusus kepemilikan sempurna adalah:
a. sejak awal, kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna
b. kepemilikannya tidak didahului oleh sesuatu yang dimiliki sebelumnya,
artinya materi dan manfaat sudah ada sejak pemilikan benda itu
c. Kepemilikannya tidak dibatasi dengan waktu
d. Apabila hak milik itu kepunyaan bersama, maka masing-masing orang
dianggap bebas menggunakan miliknya tersebut sebagaimana milik
mereka masing-masing.
2. kepemilikan tidak sempurna (milkiyah naqisah), yaitu: kepemilikan atas salah
satu unsur harta, materi atau manfaatnya saja. Hal ini seperti orang yang
menyewa yang hanya memiliki manfaatnya saja tanpa memiliki materinya.
Kepemilikan dari sudut pandang bentuknya dapat dibagi menjadi dua
bagian:
1. kepemilikan yang jelas (mutamayyizah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu
benda yang mempunyai batas-batas yang jelas dan tertentu yang dapat
dipisahkan dari yang lainnya. Seperti kepemilikan terhadap sebuah rumah
atau sebagian rumah yang sudah jelas batas-batasnya.
2. kepemilikan yang bercampur (sya’iah), yaitu: kepemilikan atas sebagian, baik
dari persekutuan dalam harta tersebut. Seperti kepemilikan atas sebaian
rumah yang belum jelas pembagiannya.
Kepemilikan dari sudut pandang pihak yang berhak memanfaatkannya
dapat dibagi menjadi dua bagian11:
1. kepemilikan pribadi (milkiyah fardiyah), yaitu: kepemilikan terhadap suatu
harta yang hak pemanfaatannya hanya untuk seseorang yang tertentu sebagai
pemilik harta
2. kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah), yaitu: kepemilikan terhadap sesuatu
yang hak pemanfaatannya ditetapkan bagi kelompok masyarakat dengan
ketentuan setiap anggota masyarakat berhak menggunakannya atas nama
bagian dari masyarakat tersebut.
Namun ada sebagian fuqaha yang menambahkan pembagian kepemilikan
dari sudut pandang pihak yang memanfaatkannya menjadi tiga bagian dengan
menambah satu bagian, yaitu12:
3. kepemilikan negara (milkiyah dauliyah), yaitu: harta yang merupakan hak
bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang
khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau
mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan
11
Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi
al-Tanmiyah, (Kairo: Dar al-Wafa’, 1988), hal. 46.
12
ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan
yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
1. Kepemilikan Pribadi (milkiyah fardiyah)
Kepemilikan pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat
ataupun manfaat (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja
mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh
kompensasi-baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
(seperti disewa), atau karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya (seperti
dibeli)-dari barang tersebut.
Kepemilikan pribadi dapat diperoleh dengan berbagai cara yang
dibenarkan oleh hukum islam, di antaranya adalah13:
a. Penguasaan terhadap harta bebas (Ihraz al-mubahat14 )
Yakni cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang
belum dikuasai atau dimiliki oleh pihak lain. Yang dimaksud dengan
al-mubahat (harta bebas atau harta tak bertuan) adalah harta benda yang
tidak termasuk dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan
13
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal 56.
14
tidak ada larangan hukum (mani’ syar’i) untuk memilikinya.. seperti air di
sumbernya, rumput di padang rumput, kayu dan pohon-pohon di hutan
belantara atau ikan di sungai dan di laut.
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan
terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
2) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena
ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab
aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi
terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar’i yaitu:
a) belum ada orang lain yang mendahului melakukan ihraz
(penguasaan). Dalam hal ini berlaku kaidah:
“Barang siapa lebih dahulu menguasai harta bebas, maka sungguh ia telah memilikinya”
b) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus
berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak
menjadi miliknya.jadi kalimat kunci dari ihraz al-mubahat adalah
penguasaan untuk tujuan dimiliki.
b. Adanya transaksi (al-aqd)
Yang dimaksud dengan al-aqd adalah pertalian antara ijab dan
terhadap obyek akad. Akad merupakan sebab kepemilikan yang paling
kuat dan paling luas berlaku dalam kehidupan manusia yang mebutuhkan
distribusi harta kekayaan.
c. Penggantian (al-khalafiyah)
Al-khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru
menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
1) Penggantian atas seseorang oleh orang lain, seperti pewarisan
Dalam pewarisan, seorang ahli waris menggantikan posisi kepemilikan
orang yang wafat terhadap terhadap harta yang ditinggalkannya
(tirkah).
2) Penggantian benda atas benda yang lainnya, seperti tadhmin
(pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan
harta benda orang lain, atau pada ta’widh (pengganti kerugian) ketika
seseorang menyebabkan penganiayaan terhadap pihak lain. Melalui
tadhmin dan ta’widh, terjadilah peralihan kepemilikan dari pemilik
lama kepada pemilik baru.
d. Turunan dari sesuatu yang dimiliki (al-tawallud)
Sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang dimiliki adalah milik
orang yang memiliki ssesuatu yang awal. Hal ini berlaku kaidah:
ﱠﻟ
Setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya.
Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta yang bersifat
produktif (dapat menghasilkan sesuatu yang baru) seperti binatang yang
dapat beranak, menghasilkan air susu dan pohon yang dapat berbuah.
Benda mati yang tidak produktif seperti rumah, perabotan rumah, dan
uang tidak berlaku prinsip tawallud. Keuntungan yang didapat dari
benda-benda mati tersebut sesungguhnya berasal dari hasil usaha (tijarah).15
2. Kepemilikan Umum (milkiyah ‘ammah)
Kepemilikan umum adalah hak yang ditetapkan bagi setiap individu
untuk memanfaatkan benda-benda tertentu yang ditetapkan oleh syara’ atas dasar individu tersebut merupakan bagian dari komunitas masyarakat, bukan
sebagai individu yang memiliki barang tersebut. Sedangkan benda-benda
yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang
telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW bahwa benda-benda
tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling
membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam
15
melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang atau sekelompok
kecil orang.16
Islam menjelaskan bahwa setiap sumber alam yang produktif adalah
menjadi hak milik umum apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
3. Sumber alam tersebut mempunyai manfaat yang penting bagi masyarakat
4. Sumber alam tersebut tumbuh dengan sendirinya, dan tidak membutuhkan
pekerjaan besar untuk mendapatkan hasilnya.
Apabila kedua syarat ini terpenuhi, maka sumber alam tersebut
menjadi milik umum dan negara tidak boleh menjual atau memberikan
kepada seseorang. Sedangkan apabila salah satu kedua syarat di atas tidak
ada, maka pemerintah boleh memberikan hak pengelolaan sumber daya alam
tersebut kepada perorangan atau membiarkan tetap sebagai hak milik umum
sebagaimana asalnya.17
Adapun jenis-jenis benda milik umum dapat dikategorikan menjadi 3
(tiga) bagian, yaitu:
a. Barang tambang (sumber alam) yang tak terbatas jumlahnya
Dalil yang digunakan sebagai dasar untuk jenis barang yang
depositnya tidak terbatas ini adalah hadis Nabi riwayat Abu Dawud
16
Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi al-Islam, terj: Redaksi al-Azhar Press, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), hal. 238.
17
Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi
tentang Abyad ibn Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia
diizinkan mengelola tambang garam di daerah Ma'rab:
"Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR Abu Dawud).18
Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja,
melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya
banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup
kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi
seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi
seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan
sejenisnya.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak
boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak
boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau
18
lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi penguasa wajib
membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang
wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya
dan menyimpan hasilnya dibayt al-mal.
Ketentuan bahwa barang tambang adalah termasuk kepemilikan
umum jika barang tambang tersebut ditemukan di dalam tanah yang tidak
dimiliki oleh seseorang. Apabila barang tambang tersebut ditemukan di
tempat yang masuk dalam kepemilikan pribadi, para fuqaha berbeda
pendapat. Ada dua pendapat yang meengemuka di kalangan fuqaha
menanggapi persoalan barang tambang yang ditemukan di tanah yang
sudah menjadi milik seseorang, yaitu:
1) Barang tambang tersebut tetap menjadi milik umum, sekalipun
ditemukan di tanah yang sudah menjadi milik seseorang. pendapat ini
dipilih oleh sebagian besar ulama mazhab Maliki.
2) Barang tambang tersebut menjadi milik sang pemilik tanah karena ikut
kepada tanah, sebagaimana tanaman yang tumbuh di atas tanah
tersebut. Inilah pendapat yang terkuat dalam mazhab Syafii.19
b. Sarana umum dan kebutuhan pokok yang diperlukan oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari
19
Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim,An-Nizam al-Iqtishadi
Semua harta yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia
dan jika tidak ada akan menyebabkan kesengsaraan bagi manusia tidak
boleh dikuasai oleh seseorang dan menjadi milik bersama, seperti air.
Rasulullah SAW telah menjelaskan secara rinci dan sempurna mengenai
sifat-sifat sarana umum ini. Hal ini seperti yang dimaksud dalam hadits
beliau yang berkaitan dengan sarana umum ini. Seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud)20
Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang
pertama kali diperbolehkan oleh Rasulullah untuk seluruh umat manusia.
Mereka berserikat di dalamnya dan melarang mereka untuk memiliki
bagian apa pun dari sarana umum tersebut, karena hal itu merupakan hak
seluruh rakyat. Rakyat boleh mengambil air dari sungai-sungai yang ada
untuk mengairi sawah dan ladang mereka. Rakyat juga boleh mengambil
rumput untuk hewan ternak mereka dari padang rumput yang tidak
dimiliki oleh seseorang. Dalam hal ini pemerintah tidak boleh
20
memberikannya hanya kepada satu golongan dan melarang golongan
lainnya. Pemerintah hanya diperbolehkan melakukan pengaturan agar
tidak terjadi perselisihan antar sesama anggota masyarakat dalam
memanfaatkan sarana umum tersebut.21
Sarana umum yang menjadi milik bersama dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi tidak hanya terbatas pada ketiga benda yang
disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas. Para ulama
berpendapat bahwa hadits di atas hanya menyebutkan beberapa jenis
benda sebagai contoh, bukan merinci secara pasti bahwa hanya ketiga
benda tersebut yang menjadi milik umum. Para ulama mengqiyaskan
(menyamakan) dengan benda yang disebutkan dalam hadits untuk semua
benda-benda yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan
mereka. Seperti minyak bumi dan batubara sebagai sumber energi
disamakan dengan api yang merupakan sumber energi pada masa
Rasulullah dan dibutuhkan oleh seluruh manusia.
c. Harta yang asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk
memilikinya
Yang termasuk dalam kategori ini adalah benda-banda yang sejak
awal pembentukannya diperuntukkan bagi kepentingan umum dan dapat
21
Said Mahammad Basyuni, al-Hurriyyah al-Iqtishadiyyah fi al-Islam wa Atsaruha fi
dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. Contohnya adalah benda-benda
yang diwaqafkan untuk kepentingan umum, seperti masjid dan jalan raya.
Dalil dari harta jenis ini adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh imam
Tirmidzi:
Artinya: Mina adalah milik orang-orang yang lebih dahulu sampai. (HR. Tirmidzi dari Aisyah)22
Maksud dari perkataan munakhu man sabaq adalah bahwa Mina
merupakan milik seluruh rakyat. Barangsiapa yang lebih awal datang di
tempat Mina, lalu menempatinya, maka bagian tersebut adalah baginya,
karena Mina adalah milik umum bagi seluruh manusia.
Hal yang sama juga terjadi pada harta yang diwaqafkan pemiliknya
untuk kepentingan umum, seperti masjid, sekolah dan jalan raya.
Semuanya merupakan harta milik umum yang dilarang dimiliki oleh
individu dengan alasan apapun.
3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
Kepemilikan negara merupakan kekhususan yang dimiliki oleh negara
dalam mengelola harta yang merupakan milik umum (seluruh rakyat), dimana
22
kepala negara selaku pemegang kekuasaan bisa memberikan harta tersebut
kepada sebagian rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Yang termasuk
dalam harta milik negara adalah harta yang tersimpan di baitul mal (kas
negara) yang berasal dari hartafai’,kharaj, danjizyah (pajak).23
Ada perbedaan yang mendasar antara harta milik negara dan harta
milik umum, meskipun pengelolaannya sama-sama dilakukan oleh negara.
Harta yang termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara
kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan orang-orang untuk
mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan harta milik negara
dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada siapapun
yang dikehendaki oleh negara sesuai dengan kebijakan negara.
Sebagai contoh: air, garam, padang rumput yang merupakan milik
umum, negara tidak boleh sama sekali memberikannya kepada orang tertentu,
meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai
dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj (pajak) yang merupakan
milik negara boleh diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain
tidak. Juga diperbolehkan harta kharaj dipergunakan untuk membeli senjata
saja tanpa diberikan kepada seorangpun.24
23
Rafiq Yunus al-Mishry, Ushul al-Iqtishadi al-Islami, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1993), hal 45-46.
24
Dalam konteks Inndonesia, harta milik negara adalah semua
penerimaan negara yang masuk dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara), baik penerimaan negara dari pajak maupun penerimaan
negara non-pajak. Semua penerimaan negara tersebut akan dikeluarkan
(dibelanjakan) sesuai dengan kebijakan pemerintah.
C. Penguasaan atas Sumber Daya Air
Air, Sebagaimana telah dijelaskan di atas, merupakan salah satu benda
yang menjadi milik umum dan bisa dimanfaatkan oleh semua orang. Sedangkan
air yang dieksplorasi ada tiga macam, yaitu: air sungai, air sumur, dan air dari
mata air.25 Ketiganya akan dijelaskan secara rinci beserta siapa saja yang berhak
untuk menguasai dan memanfaatkannya.
1. Air Sungai
Air sungai sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: Pertama,
sungai besar yang dialirkan oleh Allah SWT yang tidak dibuat manusia,
seperti sungai Nil, sungai Dajlah. Air dari sungai macam ini dapat
dipergunakan untuk berbagai keperluan, mulai untuk minum, mengairi lahan
pertanian, sampai pembangkit listrik. Tidak ada yang boleh melarang
seseorang untuk mengambil air darinya, termasuk pemerintah. Pemerintah
25
tidak berkuasa atas air yang ada di sungai tersebut. Pemerintah hanya berhak
untuk mengatur supaya pemanfaatan air berlangsung tertib dan lancar.
Kedua, sungai kecil yang dialirkan oleh Allah SWT. Sungai jenis ini
ada dua macam:
a. Sungai yang bisa naik meninggi meskipun tanpa bendungan yang
menahannya dan mencukupi kebutuhan penduduk tanpa kekurangan.
Masing-masing penduduk boleh mengambil air untuk mengairi lahan
pertaniannya saat ia membutuhkan. Peran pemerintah adalah mengatur
pemanfaatan air supaya tidak terjadi perselisihan antar warga.
b. Sungai yang airnya sedikit dan baru bisa mengairi lahan pertanian apabila
diberi bendungan. Maka penduduk bagian hulu dapat menahan air itu
hingga dapat mengairi sawah mereka, kemudian dilanjutkan wilayah
berikutnya yang dilewati sungai. Peran pemerintah adalah mengatur
supaya penduduk yang di hulu tidak menghabiskan air dan membatasi
pemakaian air supaya bisa merata. Adapun ukuran air yang ditahan oleh
penduduk hulu adalah sebatas mata kaki sebagaimana yang diriwayatkan
dari Rasulullah SAW.26
Ketiga, sungai yang digali oleh manusia ketika mereka menghidupkan
lahan mati untuk mengairi lahan mereka. Maka sungai itu menjadi milik
bersama mereka, seperti saluran yang mereka buat di antara lahan mereka.
26
2. Air Sumur
Bagi para penggali sumur ada tiga kemungkinan:Pertama, orang yang
menggali sumur untuk air minum bagi orang yang lewat, maka air yang
dihasilkan oleh sumur itu menjadi milik bersama, dan penggalinya memiliki
hak yang setara dengan orang lain. Jadi penggali sumur seolah-olah
mewaqafkan sumur hasil galiannya kepada setiap orang yang
membutuhkannya.
Kedua, orang yang menggali sumur untuk pemenuhan kebutuhan
airnya. Seperti kalangan badui yangnomaden (berpindah-pindah) saat mereka
menempati lahan dan menggali sumur di tanah itu untuk keperluan minum
mereka dan hewan-hewannya. Maka mereka menjadi pihak yang paling
berhak atas air sumur itu selama mereka berada di tempat itu. Jika mereka
meninggalkan tempat itu, maka sumur itu menjadi sumber air yang menjadi
milik umum.
Ketiga, orang yang menggali untuk kepentingan dirinya dengan niat
untuk memilikinya. Apabila penggaliannya belum sampai menemukan air,
maka kepemilikannya atas sumur itu belum diakui. Sedangkan jika dia
menggalinya dan menemukan airnya, maka sumur itu menjadi miliknya
setelah selesai menuntaskan penggaliannya.27 Hukum di atas adalah ketika
27
seseorang menggalinya di lahan kosong yang tidak dimiliki oleh seseorang
(bumi mati).
3. Air dari mata air
Mata air terbagi atas 3 (tiga) macam: Pertama, mata air yang
dipancarkan oleh Allah SWT dan bukan karena digali oleh manusia. Status
hukum mata air ini adalah sebagaimana hukum dari sungai-sungai yang
dialirkan oleh Allah SWT. Bagi orang yang mengelola bumi mati dengan
menggunakan air dari mata air tersebut, maka dia dapat mengambilnya sesuai
dengan kebutuhannya. Jika para petani memperebutkan mata air itu karena
keterbatasan airnya, maka yang didahulukan adalah lahan-lahan yang
dihidupkan (dikelola) dengan air dari mata air tersebut.
Kedua, mata air yang digali oleh manusia. Mata air tersebut menjadi
milik orang yang menggalinya dan dia juga berhak memiliki lahan di sekitar
mata air tersebut. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masalah luasnya tanah
di sekitanya adalah mengikuti kebiasaan yang berlaku. Sedang imam Abu
Hanifah berpendapat tanah di sekitar mata air adalah seluas lima ratus hasta.
Orang yang menggali mata air itu boleh mengalirkan airnya ke mana saja
yang dia mau, dan tanah yang dialiri air itu menjadi miliknya juga.
Ketiga, mata air yang digali oleh seseorang di lingkungan tanah
miliknya, maka orang itu menjadi pihak yang paling berhak atas airnya. Jika
kapasitas mata air itu hanya mencukupi pengairan ladangnya, orang lain tidak
diminum. Jika air itu lebih dari kebutuhannya, lalu dia ingin mengolah lahan
lain dengan kelebihan air tersebut, maka dia menjadi pihak yang berhak atas
kelebihan air tersebut. Jika dia tidak ingin mengolah tanah mati dengan
kelebihan air itu, maka dia harus memberikan kelebihan air itu untuk para
pemilik ternak, bukan para pemilik ladang. Jika dia minta bayaran atas air
yang digunakan oleh para pemilik ladang, maka hal itu boleh dilakukan.28
28
38
A. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi 1. Hukum Acara
Untuk melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi hanya
bisa melakukan atau memutus perkara yang dimohonkan kepadanya apabila
pemohon tersebut mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Tidak
semua orang dapat mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi
dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja, sebagaimana dikenal
dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara belum
tentu dapat dijadikan dasar permohonan.1
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut
undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada
Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan
kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi
pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Dalam perkara
pengujian undang-undang, persyaratanlegal standingatau kedudukan hukum
1
dimaksud mencakup syarat formil sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan
konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.2
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan
permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang menyebutkan:
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga
agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang
2
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai
akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
TentangIegal standing, Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskannya
dalam putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor
010/PUU-III/2005, bahwa kerugian yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai
berikut:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.3
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya
memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi
sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan
diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang
tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara
dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali
dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam
itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata
usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan
individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri
3
inilah yang membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi
dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.
Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada
undang-undang, hukum acara lain yang timbul karena kebutuhan yang
kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan
yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha
Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan
aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi
pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan tata usaha negara dengan
aturan hukum acara perdata maka secaramutatis mutandis juga aturan hukum
acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuat
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik
sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara
lain itu digunakan dalam praktek.
Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi
dapat dikenali sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK);
c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada;
d. Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan Tata
e. Pendapat sarjana (doktrin);
f. Hukum Acara dan/atau yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain.4
Secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah
Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:5
1. Pengajuan permohonan
a. Ditulis dalam bahasa Indonesia;
b. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;
c. Diajukan dalam 12 rangkap;
d. Jenis perkara;
e. Sistematika:
1) Identitas dan legal standing
2) Posita
3) Petitum
f. Disertai bukti pendukung
2. Pendaftaran
3. Penjadwalan Sidang
a. Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali
perkara Perselisihan Hasil Pemilu).
4
Maruarar Siahaan,Hukum Acara…., hal. 82-84.
5
b. Para pihak diberitahu/dipanggil.
c. Diumumkan kepada masyarakat.
4. Pemeriksaan Pendahuluan
a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan.
2) Kejelasan materi permohonan.
b. Memberi nasehat:
1) Kelengkapan syarat-syarat permohonan.
2) Perbaikan materi permohonan.
c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
5. Pemeriksaan Persidangan
a. Terbuka untuk umum.
b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti.
c. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan.
d. Lembaga Negara dapat dimintai keterangan, Lembaga Negara
dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan
yang diminta.
e. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain.
Adapun susunan isi putusan atau sistematika putusan Mahkamah
Konstitusi diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. Mahkamah Konstitusi memberikan putusan demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang maha esa.
b. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
1)Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”;
2) Identitas pihak;
3) Ringkasan permohonan;
4) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
5) Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
6) Amar putusan;
7) Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat
negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan
kepadanya.6 Gustav Radbruch mengemukakan bahwa: “Seharusnya dalam
suatu putusan mengandung idée des recht atau cita hukum, yang meliputi
unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid) dan
kemanfaatan (zweekmasigkeit).7
Ketiga unsur tersebut sedapat mungkin harus diakomodir dalam suatu
putusan secara proporsional. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara
yang penting bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya,
melainkan mengetahui secara objektif fakta atau peristiwanya sebagai duduk
perkara yang sebenarnya yang nantinya dijadikan dasar putusannya, bukan
secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui
terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan
putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan
mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus
benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenar-benarnya dan peraturan hukum yang
akan diterapkan.8
6
Mr. P.A. Stein, Compendium Van Het Burgerlijke Procesrechts, 4e druk, Kluwer, 1977, hal. 158. dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia,Cet I, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), 2006, hal. 235.
7
Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum,Edisi IV, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal. 145.
8
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang
Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, (Bandung: PT Citra
Dengan demikian, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya isi putusan hakim
konstitusi dapat berupa 3 (tiga) macam, yaitu permohonan tidak dapat
diterima, permohonan ditolak, serta permohonan dikabulkan. Ketiga macam
hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard)
Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan
permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) apabila
permohonannya melawan hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam
hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Dalam Pasal 51 diatur bahwa:
1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c) Badan hukum publik atau privat; atau
d) Lembaga negara.
2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon
wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a) Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan/atau
b) Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Permohonan ditolak (ontzigd)
Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila
permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud
tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar
c. Permohonan dikabulkan.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan
dikabulkan, apabila permohonannya beralasan. Dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan. Atau dalam hal
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang Undang Dasar 1945,
amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal
permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas
materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonaan
wajib dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat tiga
puluh hari kerja sejak putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat,
pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali dikemudian hari (nebis in idem).
Jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang disimpulkan dari
amarnya dapat dibedakan antara putusan yang bersifat declaratoir,
constitutief dan condemnatoir. Suatu putusan dikatakan condemnatoir
kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau
termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een
prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak
terhadap penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini