KEWENANGAN DPR DALAM SELEKSI PEJABAT NEGARA
Mata Kuliah:
Hukum Tentang Lembaga-Lembaga Negara
Dosen:
Dr. Hernadi Affandi, S.H.,LL.M.
Disusun Oleh:
Aditya Najwan
110110130278
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
DPR adalah salah satu lembaga negara yang termasuk ke dalam lembaga legislatif.
Dalam menjalankan peran sebagai lembaga legislatif tersebut, DPR memilik berbagai macam
hak, kewajiban dan kewenangan.
DPR dalam era reformasi diharapkan dapat merubah stigma buruk yang terlanjur
melekat pada lembaga tersebut. Dalam era orde baru, DPR dianggap hanya dijadikan sebuah
instrumen untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah yang berkuasa saat itu. Tujuan
reformasi yang utama adalah memperbarui seluruh tatanan kehidupan dalam masyarakat
yang meliputi berbagai sapek seperti ekonomi, politik dan hukum. Untuk mencapai tujuan
tersebut berbagai langkah sudah dilakukan. Sebagai contoh dalam bidang hukum adalah
melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kenyataannya tujuan tersebut bukan hanya tidak tercapai, tetapi yang terjadi adalah
semakin menyimpang dari tujuan tersebut. Berbagai faktor teknis maupun non teknis hingga
masalah internal dan eksternal menjadi penghambat dalam menciptakan keadaan sesuai
dengan tujuan dan agenda reformasi
Dalam tulisan ini penulis akan berbicara dalam mengenai kewenangan DPR dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif, khususnya tentang kewenangan DPR
dalam proses seleksi calon pejabat publik.
B. RUMUSAN MASALAH
Tulisan ini akan memuat rumusan masalah sebagai berikut
1. Bagaimana pengaturan tentang dasar hukum DPR dalam kewenangannya
dalam proses seleksi pejabat publik?
2. Masalah yang timbul dalam praktik pemilihan tersebut?
3. Bagaimana solusi penyelesaian masalah tersebut?
C. TUJUAN
2. Dapat meengetahui berbagai masalah yang timbul akibat kewenangan
tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. DASAR HUKUM
Sebagai sebuah lembaga negara, DPR memiliki wewenang 1:
a) membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama;
b) memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden
untuk menjadi undang-undang;
c) membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
d) memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang
APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama;
e) membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan
memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang
diajukan oleh Presiden;
f) membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD
atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
g) memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan
membuat perdamaian dengan negara lain;
h) memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang;
i) memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan
abolisi;
j) memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta
besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
k) memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
l) memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
m) memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial
untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
n) memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden
untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.
Jika diperhatikan, di dalam huruf (k), (l), (m), dan (n) di atas, dapat dilihat bahwa DPR
terlibat dalam proses seleksi pejabat negara. Pada huruf (k) dan (n) menggunakan kata
e ilih seda gaka pada huruf l da e ggu aka kata e berika persetujua .
Jika ditelisik lebih jauh, kenyataannya tak semua pemilihan pejabat negara oleh DPR
disebutkan di dalam UUD 1945 (Konstitusi). Secara ekplisit hanya memberilkan kewenangan
kepada DPR untuk menyetujui calon hakim konstitusi, calon hakim agung, komisioner Komisi
Yudisial, terkecuali pada pemilihan calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).2
Memang beberapa calon pejabat publik seperti duta besar, Kapolri, Panglima TNI,
Gubernur Bank Indonesia, Anggota BPK, komisioner negara, termasuk anggota KY dan KPK
proses rekrutmennya melibatkan pemerintah (presiden) dan DPR sebab berdasarkan UU, DPR
berwenang untuk sekadar memilih, sebagian memberi persetujuan, atau memilih dan
meneruskan hasil seleksi kepada presiden untuk mendapatkan penetapan secara
administratif3
B. ANALISA
Dalam praktiknya kewenangan tersebut berpotensi menghadirkan intervensi kepada
orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan terkait. Sehingga dikhawatirkan akan
terjadi politik dagang sapi di dalam proses pengisian jabatan tersebut. Terutama dalam
kewenangan DPR dalam memilih. Dalam hal ini adalah proses pemilihan calon hakim agung.
Selain itu dengan melibatkan DPR dalam proses pemilihan juga memiliki kelemahan.
Sebagai contoh DPR hanya akan mempunyai sedikit waktu untuk menilai rekam jejak dari
calon-calon yang diajukan. Sedangkan proses seleksi pada tahap seleksi sebelumya, hanya
panitia seleksi saja yang mengetahuinya. Sehingga DPR hanya dapat menilai hanya pada saat
proses fit and proper test. Mengingat, DPR sebagai lembaga negara memiliki 3 fungsi4, yakni
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dengan sempitnya waktu yang dimiliki maka
proses pemilihan tersebut menjadi tidak efektif
Kenyataannya dalam proses fit and proper test, DPR seringkali mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin sudah pernah ditanyakan kepada setiap calon pada
proses di panitia seleksi sebelumnya. Seharusnya DPR hanya meninjau dari aspek politiknya
saja, misalnya, hanya menanyakan tentang garis-garis besar program yang disusun oleh para
calon. Sehingga seharusnya DPR hanya memilki kewenangan untuk memberi persetujuan
atau tidak memberi persetujuan saja. Sedangkan dalam proses pemilihan dan usulannya
dilaksanakan oleh lembaga yang independen.
Seandainya wewenang dalam memilih tersebut tetap ada, apabila pejabat yang dipilih
tersangkut masalah hukum, tentu hal tersebut akan menjadi bumerang dan menjadi beban
moral bagi DPR secara keseluruhan. Meskipun kenyataanya hanya dipilih oleh anggota komisi,
misalnya Komisi 3 DPR yang berkaitan dengan hukum.
Selanjutnya yang dipersoalkan adalah apakah anggota-anggota DPR tersebut memiliki
kompetensi atau tidak dalam menjalankan kewenangan tersebut. Mengingat pada setiap
proses Pemillihan Umum (Legislatif) hanya didasarkan pada popularitas semata. Tentu
banyak masyarakat yang hanya mengenal figurnya dibandingkan dengan kompetensinya.
Sehingga sudah selayaknya hal tersebut dipertanyakan kepada anggota-anggota DPR
tersebut.
Dengan kelemahan-kelemahan yang sudah disebutkan, sudah sangat pantas untuk
mengkaji ulang kewenangan tersebut. Terutama pada kewenangan yang berhubungan
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN-KESIMPULAN
DPR adalah salah satu lembaga negara yang termasuk ke dalam lembaga legislatif.
Sebagai sebuah lembaga negara, DPR memiliki wewenang-wewenang.
Salah satu dari wewenang tersebut adalah terlibat ke dalam proses seleksi pejabat
negara. keterlibatan tersebut diwujudkan dalam hal persetujuan dan pemilihan
kewenangan tersebut berpotensi menghadirkan intervensi kepada orang-orang
yang akan menduduki jabatan-jabatan terkait
karena tugasnya yang tidak sedikit tentu DPR hanya akan mempunyai sedikit
waktu untuk menilai rekam jejak dari calon-calon yang diajukan
Seandainya wewenang dalam memilih tersebut tetap ada, apabila pejabat yang
dipilih tersangkut masalah hukum, tentu hal tersebut akan menjadi bumerang dan
menjadi beban moral bagi DPR
Masalah selanjutnya adalah apakah anggota-anggota DPR yang terlibat dalam
proses seleksi tersebut memiliki kompetensi. Sebab pada proses Pemilu, tidak
dapat dipungkiri bahwa masayarakat cenderung mengenal figurnya, bukan
kompetensinya
Dengan berbagai kelemahan yang ada, sudah saatnya untuk mengkaji ulang
kewenangan tersebut.
B. SARAN
Sudah sepantasnya pembuat undang-undang memikirkan kembali untuk revisi
beberapa aturan mengenai kewenangan tersebut
Menurut hemat penulis, sebaiknya anggota DPR tidak diberikan kewenangan
dalam hal memilih calon-calon pejabat negara. yang tetap dipertahankan adalah
mengenai persetujuannya
Sehingga dalam proses fit and proper test hanya akan ditanyakan mengenai
garis-garis besar dari program. Dengan kata lain DPR tidak perlu berurusan dengan
Diperlukan pengawasan yang ketat baik dari dalam maupun luar lembaga DPR
dalam proses seleksi tersebut. Sehingga dapat diharapkan output yang akan
SUMBER REFERENSI
1. hukumonline.com/berita/baca/lt53aabdb0a7a9f/menakar-konstitusionalitas-dpr-menguji-pejabat-publik
2. Undang-Undang Dasar 1945.