• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan Penanggulangan Bencana di Indone

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Catatan Penanggulangan Bencana di Indone"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

1/4

CATATAN TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

Eko Teguh Paripurno

Pengantar

UU PB No. 24/2007 memandatkan adanya perubahan paradigma dalam penyelenggaraan PB di Indonesia, dari tangap darurat ke pengurangan risiko. Setelah lima tahun pelaksanaan UU PB tersebut maka sudah sepantasnya kita melihat praktik pelaksanaan UU PB tersebut melalui hubungan peran antar para pelaku kepentingan, sekaligus hubungan antar perundangan yang mendasarinya, baik yang terbit sebelum atau sesudah terbitnya UU PB. Tentu pada akhirnya, kita mencoba mencari jalan terbaik agar mandat tersebut terwujud: masyarakat aman, sejahtera dan bermartabat.

Mandat Organisasi

Kehadiran BNPB merupakan mandat UU 24/2007 tentang PB dan PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan PB untuk menyelenggarakan PB. BNPB merupakan lembaga pemerintah yang memiliki mandat utama sebagai penyelenggara PB tersebut melalui fungsi koordinasi, komando dan pelaksana. Namun demikian mandat penyelenggaraan PB secara proporsional juga dimiliki oleh sektor-sektor lain sesuai dengan tupoksi masing-masing. kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan mempunyai mandat mengatur hubungan dan ketersediaan sumberdaya di pusat dan daerah dalam hal PB. Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan, Kementrian Pekerjaan Umum menangani kondisi darurat bencana. Pertanyaannya, apakah perundangan-undangan yang menjadi acuan tersebut secara substansial selaras dan sinergis? Ternyata tidak.

(2)

2/4

kehadirannya dengan UU PB. Beberapa pengertian terkait bencana seperti “mitigasi” dan “adaptasi” lebih condong sebagai pengertian dalam perubahan iklim.

Undang-undang yang hadir lebih dahulu cenderung belum mempertimbangkan bencana menjadi urusan pemerintah. Peraturan di bawahnya yang muncul kemudian juga belum menempatkan bencana menjadi pertimbangan. Beberapa contoh dapat kita tunjukkan di sini misalnya: Pertama, UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung Belum diselarasakan standar bangunan gedung dengan kecenderungan intensitas ancaman yang berhubungan dengan kehadirannya di dalam zona rawan ancaman yang berpengaruh langsung terhadap kerusakan gedung (gempa) atau pemanfaatan gedung untuk pengurangan risiko bencana (tsunami). Kedua, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air belum melihat pengelolaan sumberdaya air dari sisi negatif (ancaman) baik dari sisi kelebihan air (banjir) maupun kekurangan air (kekeringan) sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan pencegahan bencana. Ketiga, UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), belum secara baik menjelaskan peran TNI dalam kondisi aman khususnya bencana. Keempat, UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); dalam peraturan keduanya berhubungan saling asing, walau prakteknya tidak demikian. Karena itu peran Polri dalam PB perlu diatur lebih lanjut.

Fungsi Koordinasi

Ketidakselarasan undang-undang dalam PB tersebut menjadikan Kementrian dan lembaga dan yang menjalankan mandat PB seperti yang tertulis dalam tupoksi sektornya sebagai turunan atas perundangan sektornya tentu bukan sebuah pelanggaran. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika penyelarasan dan koordinasi antar sektor untuk pemwujudkan praktek yang baik tidak dapat dilakukan. Apakah ke”baru”an, BNPB sebagai pemilik mandat dan fungsi koordinasi dalam PB terlihat ragu-ragu dan “sungkan” menjalankan mandat tersebut? Di sisi lain Kementrian dan Lembaga sebagai “aktor” senior “enggan” melakukan koordinasi?

Kesulitan BNPB menjalankan mandat mengkoordinasikan kementrian dan lembaga, bila ditelusuri rasanya berawal dari Perpres 8/2008 tentang Pembentukan BNPB yang “hanya” menempatkan BNPB sebagai lembaga teknis non departemen yang dipimpin oleh kepala setingkat mentri. Demikian juga bila kita lihat, Perpres 24/2009 tentang Anggota Unsur Pengarah PB dari Masyarakat Profesional dan Perpres 59/2009 tentang Anggota Unsur Pengarah PB dari Instansi Pemerintah, menempatkan unsur pengarah di bawah kepala. Perpres ini menarik karena Perpres 8/2008 (26 Januari 2008) menempatkan unsur pengarah BNPB “lebih rendah” dari BPLS (Perpres 14/2007, revisi Perpres 40/2009). Pada unsur pengarah BNPB terdiri dari masyarakat profesional, ada semacam “down grade” setelah melalui fit and proper test; sedang dari sisi wakil pemerintah “hanya” diisi pejabat eselon satu.

(3)

3/4

Tata Kerja dan Pendanaan PB

UU 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 / 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah ini hadir sebelum UU PB, sehingga belum mengatur mandat Pemerintah Daerah dalam PB. Hal ini berakibat PB belum menjadi “mandat pokok” pendanaan untuk kegiatan PB menjadi “anak tiri” di dalam perimbangan keuangan pembangunan. Pendanaan PB di daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Hal yang sama pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan PB sering dianggap belum jelas.

PP 22/2008 tentang Pendanaan PB dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, atau antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih belum bermakna. Salah satu perangkat perundangan yang digunakan adalah PP 44/2012 tentang Dana Darurat. Peraturan penggunaan dana darurat perlu mengakomodir praktek-prakek penanganan darurat yang memunculkan status kesiapan darurat dan transisi darurat, dengan mempertimbangkan implikasi yang ada.

Penyelenggaraan PB

(4)

4/4

PB 2010 – 2014 tidak selaras dengan Permen PU 21/ PRT /M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi dan Permen PU 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Ke tujuh, Perka BNPB 13/2010 tentang Pedoman Perencanaan, Pertolongan dan Evakuasi perlu mempertimbangkan Kepmenkes No 1653/Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Penanganan Bencana Bidang Kesehatan. Ke delapan, Perka BNPB 2/2012 tentang Pedoman Pengkajian Risiko Bencana tidak selaras dengan hasil analisis risiko dan peta-peta hasil Badan Geologi ESDM.

Penutup: Bagaimana Sebaiknya?

Untuk mengurangi ketidakselarasan dalam menjalankan mandat, maka dalam jangka pendek BNPB perlu mengkaji kembali dan memperbaiki perka-perka yang berpotensi tidak selaras dengan peraturan kementrian /lembaga lannya; serta proaktif untuk mengajak kementrian terkait membuat kesepakatan bersama. Selanjutnya untuk jangka menengah dan panjang BNPB perlu mempersiapkan perbaikan / pembaruan peraturan pemerintah atau keputusan presiden yang dapat mengadopsi permasalaan yang hadir karena ketidakselarasan tersebut.

Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno MT, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Kontak: +62818260162 / +6281339228339, paripurno@upnyk.ac.id,

Referensi

Dokumen terkait

informasi  konselor harus jujur dan obyektif sehingga klien memahami dengan benar dan dapat menyatakan persetujuan. • Klien anak  didorong untuk menyertakan

Guru yang juga diharapkan oleh orang tua dan remaja dapat. memberikan penjelasan yang lebih lengkap kepada siswanya tentang

Brand strategy tidak hanya penting untuk perusahaan atau rumah makan yang telah memiliki merek, tetapi juga bagi industri yang sedang berkembang atau dalam tahap

Universitas Negeri

Berkenaan dengan standar hasil kinerja guru, Piet A Sahertian (dalam Rusman, 2010: 51) menjelaskan bahwa “standar guru itu berhubungan dengan kualitas guru dalam menjalankan

Berdasarkan analisis hasil tes dan analisis hasil wawancara, diperoleh bahwa kesalahan memahami konsep dasar dimensi tiga terdiri dari: (1) siswa

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Ilmu Pendidikan dalam Bidang Bimbingan dan

The purpose of this study is to predict the determinant of financial distress and bankcruptcy which consists of seven financial ratios such as net working