• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Phosphate Solubilizing Microbe to Reduce the Rate of Inorganic-P Fertilizer on ICM (Integrated Crop Management) and SRI (System of Rice Intensification) Cultivation System

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Phosphate Solubilizing Microbe to Reduce the Rate of Inorganic-P Fertilizer on ICM (Integrated Crop Management) and SRI (System of Rice Intensification) Cultivation System"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI MIKROB PELARUT FOSFAT UNTUK MENGURANGI

DOSIS PUPUK P ANORGANIK PADA SISTEM BUDIDAYA

PADI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DAN

SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION

(SRI)

MUTIARA DEWI PUSPITAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Mikrob Pelarut Fosfat untuk Mengurangi Dosis Pupuk P Anorganik pada Sistem Budidaya Padi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan System of Rice Intensification (SRI) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)
(5)

RINGKASAN

MUTIARA DEWI PUSPITAWATI. Studi Mikrob Pelarut Fosfat untuk Mengurangi Dosis Pupuk P Anorganik pada Sistem Budidaya Padi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan System of Rice Intensification (SRI). Di bimbing oleh: SUGIYANTA dan ISWANDI ANAS.

Pupuk fosfor (P) memiliki peranan penting dalam meningkatkan produksi padi (Oryza sativa L.). Pemberian pupuk P dengan dosis tinggi tidak sejalan dengan ketersediaan P dalam tanah karena sebagian besar P terikat oleh Al, Fe dan Ca sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk P tidak efisien. Pemanfaatan mikrob pelarut P merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan ketersediaan P yang dapat diserap oleh tanaman, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk P anorganik. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) isolasi dan seleksi mikrob pelarut P untuk memperoleh isolat mikrob yang unggul, (2) menguji efektivitas mikrob pelarut P unggul berdasarkan hasil seleksi dalam meningkatkan ketersediaan P dan kemampuan melarutkan P pada sistem budidaya padi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dan system of rice intensification (SRI), (3) menguji pengaruh mikrob pelarut P dalam mengurangi dosis pupuk P anorganik pada pertumbuhan dan hasil padi sawah.

Penelitian ini terbagi atas dua percobaan. Percobaan I dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB pada Bulan Oktober 2011 sampai April 2012. Percobaan II dilakukan di Kebun Percobaan Sawah Baru, University Farm, IPB pada Bulan Mei sampai Agustus 2012.

Tahapan pelaksanaan percobaan I adalah (1) mengisolasi dan menyeleksi mikrob pelarut P (bakteri dan fungi) dari sumber pupuk hayati. (2) Uji indeks pelarutan Patau Phosphate Solubilizing Index (PSI) dengan mengukur luas zona bening disekitar koloni. (3) Uji kemampuan melarutkan P dari sumber P sukar larut (Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4). (4) Uji antagonistik bertujuan mengetahui

kemampuan bakteri dan fungi pelarut P untuk hidup bersama dalam satu cawan, serta identifikasi bakteri dan fungi pelarut P. Tahapan pelaksanaan percobaan II menggunakan rancangan split plot dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama sebagai petak utama adalah sistem budidaya (PTT dan SRI) dan faktor kedua sebagai anak petak adalah kombinasi dosis pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P, yaitu kontrol (100% pupuk P anorganik), 75% pupuk P anorganik, 75% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P, 75% pupuk P anorganik + fungi pelarut P, 50% pupuk P anorganik, 50% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P, 50% pupuk P anorganik + fungi pelarut P, bakteri pelarut P, fungi pelarut P dan bakteri + fungi pelarut P (mix culture).

Hasil percobaan I diperoleh isolat bakteri pelarut P BPFA5 (Pseudomonas aeruginosa)dan isolat fungi pelarut P FPFE1 (Aspergillus niger) memiliki indeks pelarut P yang tinggi, dengan nilai zona bening 2.29 dan 1.22; kemampuan pelarutan P tinggi dari sumber P Ca3(PO4)2 yaitu 259.86 dan 537.26 ppm-P yang

bersifat kompatibel (non antagonistik) dalam satu kultur. Isolat unggul tersebut digunakan untuk diaplikasikan di lapangan.

(6)

vi

gabah per malai, bobot 1000 butir gabah, hasil gabah per hektar, dan populasi mikrob pelarut P yang lebih tinggi pada sistem budidaya SRI dibandingkan sistem budidaya PTT. Kombinasi pupuk P anorganik 75% dosis pupuk P anorganik + mikrob pelarut P pada sistem budidaya SRI menghasilkan jumlah anakan produktif, hasil gabah per hektar, dan serapan hara P gabah yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Aplikasi mikrob pelarut P (bakteri dan fungi pelarut P) meningkatkan hasil gabah per hektar dan serapan hara P jerami dan gabah.

(7)

SUMMARY

MUTIARA DEWI PUSPITAWATI. Study of Phosphate Solubilizing Microbe to Reduce the Rate of Inorganic-P Fertilizer on ICM (Integrated Crop Management) and SRI (System of Rice Intensification) Cultivation System. Supervised by: SUGIYANTA and ISWANDI ANAS.

Phosphorus (P) fertilizer has an important role in increasing the production of paddy rice (Oryza sativa L.). Application of high rate P fertilizer is not suitable with the availability of P in the soil because most P bounded by Al, Fe and Ca so make it unavailable to plants. This leads to inefficient use of P fertilizers. Utilization of phosphate solubilizing microbes (PSM) is one of the means to increase the availability of P that can be absorbed by plants, thus reducing the use of inorganic-P fertilizer. Therefore, the aims of the experiment were (1) isolating and selecting some phosphate solubilizing microbes, (2 )to test its effectiveness of PSM in increasing the availability P available on cultivation system of ICM and SRI, (3) to know the effect of PSM to reducing rate inorganic-P fertilizer on the growth and yield of rice.

The experiment was conducted of two experiment. First experiment was conducted in Soil Biotechnology Laboratory, Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University in October 2011 - April 2012. Second experiment was conducted at Field Experiment Sawah Baru, University Farm, Bogor Agricultural University in May to August 2012.

The first experiment was (1) isolating and selecting PSM (phosphate solubilizing bacteria and fungi) from biofertilizers. (2) Phosphate solubilizing index test (PSI) to measure the clear zone around the colony. (3) Test the ability of solubilizing P from insoluble phosphate source (Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4). (4)

Antagonistic test to know ability of phosphate solubilizing bacteria and fungi and compatibility both in the growing medium and identified of phosphate solubilizing bacteria and fungi. The second experiment was conducted using a split block design with two factors and three replications. First factor as main factor is cultivations system (ICM and SRI) and second factor as sub plot is Combination of rate inorganic-P fertilizer and PSM namely 100% inorganic-P; 75% inorgaic-P; 75% inorganic-P + Phosphate solubilizing bacteria (PSB); 75% inorganic-P + phosphate solubilizing fungi (PSF); 50% inorgaic-P; 50% inorganic-P + PSB; 50% inorganic-P + PSF; PSB only; PSF only; and PSB + PSF.

The results of laboratory experiment obtained isolate of PSB BPFA5 (Pseudomonas aeruginosa) and the isolate of PSF FPFE1 (Aspergillus niger) has high phosphate solubilizing index, with wide of clear zone is 2.29 and 1.22, ability of phosphate solubilizing from P source Ca3(PO4)2 is 259.86 dan 537.26 ppm-P

and compatible (non antagonistic) in same medium. Both of these isolates used for inoculation in the field.

(8)

viii

grain higher than other treatments. PSM application (PSB and PSF) increase of yield and nutrient-P uptake of straw and grain.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

STUDI MIKROB PELARUT FOSFAT UNTUK MENGURANGI

DOSIS PUPUK P ANORGANIK PADA SISTEM BUDIDAYA

PADI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DAN

SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION

(SRI)

MUTIARA DEWI PUSPITAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ii

(13)
(14)

Judul : Studi Mikrob Pelarut Fosfat untuk Mengurangi Dosis Pupuk P Anorganik pada Sistem Budidaya Padi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan System of Rice Intensification (SRI)

Nama : Mutiara Dewi Puspitawati NIM : A252100051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugiyanta, MSi Ketua

Prof. Dr.Ir. Iswandi Anas, M.Sc Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi

Agronomi dan Hortikultura

Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.

(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2011 sampai Agustus 2012 ialah Studi Mikrob Pelarut Fosfat untuk Mengurangi Dosis Pupuk P Anorganik pada Sistem Budidaya Padi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan System of Rice Intensification (SRI).

Terima kasih penulis ucapkan kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc atas koreksi dan nasehat yang membangun, dosen penguji luar komisi Dr. Ir. Miftahudin, M.Si yang telah memberikan banyak saran serta Dr.Ir. Maya Melati, M.S, M.Sc yang telah menjadi wakil dari Program Studi Agronomi dan Hortikultura. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, M.Si sebagai penasehat akademik penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada staf, laboran, dan rekan-rekan Laboratorium Bioteknologi Tanah, ITSL, Kepala dan Staf Kebun Percobaan Sawah Baru atas kerjasama dan bantuannya selama penelitian.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada orangtua penulis Ayahanda Kasman Ma’atin (Alm) dan Ibunda Ruhaina Kasman (Almh), kakak tercinta (Intania dan Syachrully), keponakan serta keluarga besar yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan semangat. Ahmad Rifqi Fauzi yang telah sabar memberikan dukungan, semangat, nasehat dan segala waktu dan kasih sayang. Rekan seperjuangan Ida Widiyawati atas kerjasama dan semangat, Dian Fahriyanty, Yulia Delsi, Engelbert Manaroingsong, Nope Gromikora, Nur Maslahah, Ismail Maskromo, Aris Aksarah, Odit Ferry, Dewi Erika, Thamrin, serta rekan–rekan mahasiswa pascasarjana Departemen Agronomi dan Hortikultura 2010 (AGH, PBT, ITB) yang telah memberikan dukungan serta kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Rekan-rekan pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana AGH (FORSCA AGH-IPB 2011-2012) atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Rekan-rekan W7Lv6 atas bantuan dan kerjasamanya. Rekan-rekan Short Stay Program 70 Days Chiba University, terima kasih atas pengalaman dan kerjasamanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus2013

(16)

v

Mikrob Pelarut Fosfat 4

System of Rice Intensification (SRI) 6 Sistem Budidaya Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) 6 3 BAHAN DAN METODA

Waktu dan Tempat 7

Percobaan I. Isolasi dan Seleksi Mikrob Pelarut P 7

Alat dan Bahan 8

Pelaksanaan Penelitian 8

Pengamatan 9

Percobaan II. Pemanfaatan Mikrob Pelarut P dalam Mengurangi Dosis Pupuk P Anorganik pada Padi Sawah dengan Sistem Budidaya PTT dan SRI

9

Alat dan Bahan 10

Metoda Penelitian 10

Pelaksanaan Percobaan 11

Pengamatan 11

Analisis Data 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan I. 14

Hasil isolasi, seleksi dan uji indeks pelarutan P bakteri dan fungi pelarut P 14 Uji kemampuan melarutkan P dari berbagai sumber P sukar larut 15

Uji Antagonistik 16

Percobaan II. 17

Kondisi Umum 17

Tinggi tanaman 17

Jumlah anakan 18

Jumlah anakan produktif 20

Bobot basah dan bobok kering tanaman 21

Komponen hasil 21

Persentase gabah hampa dan persentase gabah isi 23 Bobot 1000 butir gabah dan produksi gabah 24

Analisis serapan hara P 25

Populasi mikrob pelarut fosfat 26

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 28

(17)

vi

DAFTAR TABEL

1 Pelaksanaan sistem budidaya padi PTT dan SRI 12  2 Kemampuan tumbuh dan uji indeks pelarutan P oleh mikrob pelarut P 14  3 Kemampuan mikrob pelarut P dalam melarutkan P dari berbagai sumber

P sukar larut (Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4) 16 

4 Hasil uji antagonistik antara bakteri pelarut P dan fungi pelarut P 17  5 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap tinggi

tanaman 18 

6 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap jumlah

anakan 20 

7 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap bobot

basah dan bobot kering tanaman 22 

8 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap komponen

panen 24 

9 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap populasi

mikrob pelarut P 27

DAFTAR GAMBAR

1 Isolat murni bakteri dan fungi pelarut P yang bersifat (a) antagonistik dan

(b) non antagonistik 17 

2 Pengaruh interaksi antara sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap jumlah anakan pada umur 3 dan 5 MST 19  3 Pengaruh interaksi antara sistem budidaya dan kombinasi pemupukan

terhadap jumlah anakan produktif 21 

4 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap produksi

gabah per hektar 25 

5 Serapan hara P jerami dan gabah pada perlakuan sistem budidaya dan

(18)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kandungan media Nutrient Agar, Nutient Broth, Picovskaya dan Potato

Dectrose Agar 33 

2 Deskripsi padi sawah varietas Ciherang 34 

3 Lay out penelitian 35 

4 Lay out satuan unit percobaan 36  5 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah di lahan percobaan Sawah Baru

sebelum tanam 37 

6 Suhu dan kelembapan relatif mingguan Rumah Plastik, Sawah Baru 38  7 Hasil sidik ragam pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan

terhadap pertumbuhan 38 

8 Hasil sidik ragam pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan

terhadap komponen hasil 39 

(19)
(20)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pupuk fosfor (P) memiliki peranan penting dalam peningkatan produksi padi (Oryza sativa L.). Unsur P diserap tanaman melalui akar dalam bentuk ion HPO42- atau ion H2PO4- (Havlin et al 1999). Unsur P berpengaruh terhadap

produksi padi karena memiliki peran sebagai penyimpang dan transfer energi, kerja osmotik, reaksi fotosintesis dan glikolisis. Kebutuhan pupuk P pada tanaman padi menurut Doberman dan Fairhurst (2000) adalah 2.6 kg P ha-1 dalam setiap ton gabah dipanen. Tanaman memerlukan P pada semua fase pertumbuhan terutama pada awal pertumbuhan. Tanaman memerlukan 0.3% sampai 0.5% P dari berat kering tanaman untuk tumbuh optimal (Marschner 1995), sedangkan jumlah P tersedia di dalam tanah tidak melebihi dari 0.1% dari total P.

Unsur P sulit melarut sehingga tanaman lambat menyerap P di dalam tanah. Sebagian besar bentuk P terikat oleh koloid tanah (Al, Fe, dan Ca). Pengikatan ini menyebabkan unsur P tidak tersedia bagi tanaman, penggunaan pupuk P tidak efisien, dan pemupukan pupuk P harus diberikan dalam dosis tinggi. Tanaman hanya dapat menyerap unsur hara P dari pupuk, sebanyak 15% sampai 20%, sebagian besar dijerap antara koloid tanah dan sebagian tinggal sebagai residu dalam tanah (Buckman dan Brady 1956; Jones et al. 2000).

Pemanfaatan mikrob pelarut P merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan ketersediaan P yang dapat diserap oleh tanaman, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk P anorganik. Mikrob pelarut fosfat terdiri dari bakteri, fungi dan sedikit aktinomisetes (Subba-Rao 1982). Aktivitas mikrob pelarut P banyak dikaitkan dengan kemampuan mikrob dalam menghasilkan asam-asam organik seperti asam formiat, asetat, propionat, laktat, glikolat, glioksilat, fumarat, tartat, ketobutirat, suksinat dan sitrat yang bersifat dapat melarutkan bentuk-bentuk P yang sukar larut, sehingga menjadi bentuk tersedia bagi tanaman (Subba-Rao 1982; Whitelaw 2000). Menurut Subba-Rao (1982) penambahan mikrob dapat meningkatkan kelarutan unsur hara yang dibutuhkan tanaman baik yang berasal dari pupuk maupun mineral tanah serta meningkatkan kemampuan akar menyerap unsur hara dengan pembentukan akar rambut yang lebih banyak. Penggunaan mikrob pelarut pterutama bakteri (Pseudomonas putida dan Enterobacter gergoviae) mampu meningkatkan kelarutan P, serapan P dan pertumbuhan tanaman jagung pada tanah ultisol sampai 65% (Buntan 1992).

Salah satu sumber mikrob pelarut P diperoleh dari pupuk hayati. Pupuk hayati merupakan inokulan berbahan aktif organisme hidup. Pupuk hayati mengandung sel-sel dari strain-strain mikrob penambat nitrogen, pelarut fosfat atau selulotik. Suriadikarta dan Simanungkalit (2006) dan Subba-Rao (1982) menyatakan bahwa penggunaan pupuk hayati bertujuan untuk meningkatkan jumlah mikrob, mempercepat proses fisiologis tanaman yang membantu tanaman dalam menyediakan hara dalam tanah yang dapat diasimilasi oleh tanaman.

(21)

2

muda 8-15 hari, tanam tunggal dengan jarak tanam lebar 25 cm x 25 cm atau lebih dan pengairan dengan menjaga kondisi tanah tetap lembab. Hutabarat (2011) melaporkan bahwa populasi total mikrob, Azotobacter, Azospirillum dan mikrob pelarut P pada budidaya SRI lebih tinggi masing-masing sebesar 105%, 83%, 129% dan 13% dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional. Peneliti lain melaporkan sistem budidaya SRI dengan penggunaan pupuk kimia 50% + biofertilizer, mampu meningkatkan populasi Azotobacter, mikrob pelarut P dan total mikrob dibandingkan dengan konvensional (Bakrie 2011). Disamping SRI, telah dikembangkan pula sistem budidaya PTT yang dikembangkan berdasarkan potensi lahan dan status hara tanah (Balitbang Pertanian 2010). Aplikasi mikrob pelarut P pada sistem budidaya padi bertujuan untuk menyeleksi mikrob pelarut P unggul yang memiliki kemampuan melarutkan P tanah yang tinggi serta efektifitasnya pada suatu sistem budidaya dalam mengurangi dosis penggunaan pupuk P anorganik, sehingga perlu diteliti lebih lanjut.

Tujuan

1. Isolasi dan seleksi mikrob pelarut P dari sumber pupuk hayati yang beredar di pasaran.

2. Menguji efektivitas mikrob pelarut P unggul dari hasil seleksi dalam meningkatkan ketersediaan serta melarutkan P pada sistem budidaya SRI dan PTT.

3. Menguji pengaruh mikrob pelarut P unggul dari hasil seleksi dalam mengurangi dosis pupuk P anorganik pada pertumbuhan dan hasil padi sawah.

Hipotesis

1. Kemampuan isolat mikrob pelarut P dari pupuk hayati dipasaran mempunyai kemampuan yang berbeda dalam melarutkan P pada budidaya padi sawah. 2. Penggunaan mikrob pelarut P dapat mengurangi dosis pupuk P anorganik. 3. Pengaruh mikrob pelarut fosfat lebih efektif pada sistem budidaya SRI

dibandingkan dengan sistem budidaya PTT.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi

(22)

3

tergantung dari jenis padi itu sendiri. Kesuburan tanah merupakan syarat mutlak yang dibutuhkan tanaman padi. Tanaman padi membutuhkan tanah yang subur, dengan kandungan unsur hara yang cukup (Yandianto 2003).

Tanaman padi bersifat merumpun yang menghasilkan anakan yang tumbuh dari tanaman induk. Dari satu batang bibit yang ditanam, maka dalam waktu yang sangat singkat dapat terbentuk suatu rumpun yang terdiri dari 20-30 atau lebih tunas baru atau anakan (Siregar 1987). Tanaman padi mempunyai sistem perakaran serabut (De Datta 1981). Penyebaran sistem akar dapat mencapai kedalaman 20-30 cm. Pertumbuhan rambut akar sangat dipengaruhi lingkungan akar. Kondisi tanah aerobik menguntungkan tanaman dalam pembentukan akar rambut. Perakaran padi pada kondisi tergenang dengan perkolasi air terganggu, jarang melebihi 40 cm. Kedalaman perakaran padi dipengaruhi oleh kondisi genetik dan lingkungan. Salah satu ciri akar padi adalah adanya ruang udara besar pada akar dewasa yang menghubungkan dari jerami ke akar. Kapasitas penyerapan air dan hara pada tanaman padi berkaitan erat dengan panjang total sistem perakaran.

Tahap pertumbuhan padi dibagi menjadi 3 bagian, yaitu fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Fase vegetatif (1) meliputi periode perkecambahan sampai dengan primodia malai. Fase ini ditandai dengan pembentukan anakan aktif yaitu pertambahan anakan yang cepat sampai dengan anakan maksimal, bertambahnya tinggi tanaman dan pertumbuhan daun teratur. Fase reproduktif (2) dimulai dari inisiasi primodia malai sampai dengan keluar malai (heading), fase ini ditandai dengan memanjangnya ruas batang, pertumbuhan jumlah anakan terhenti, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan. Pembungaan adalah stadia keluarnya malai sedangkan anthesis dimulai bila benang sari bunga paling ujung pada tiap cabang malai telah keluar. Fase terakhir adalah fase pemasakan (3) dimulai dari berbunga sampai panen, pada fase pemasakan terdiri dari masak susu (milky), masak adonan (dought), masak kuning (yellow-ripe), dan tua (maturity). Fase pemasakan oleh senesen dan peningkatan pertumbuhan bulir (ukuran dan berat) dan perubahan warna bulir. Menuju penuaan (maturity), berat kering meningkat perlahan tetapi berat segar menurun sebagai akibat hilangnya air. Inisiasi primordial malai biasanya dimulai 30 hari sebelum pembungaan (Yoshida 1981).

Fosfor

Pupuk fosfor (P) memiliki peranan penting dalam peningkat produksi padi. Phosphor (P) merupakan salah satu unsur hara makro yang diserap oleh akar dalam bentuk ion HPO42- atau ion H2PO4- yang berasal dari sisa-sisa organisme.

Sebenarnya, di alam terdapat banyak batuan fosfat berupa senyawa Ca3(PO4)2,

(23)

4

Menurut Buckman dan Brady (1956) terdapat tiga masalah dalam penyerapan P: (1) jumlah total dalam tanah kecil; (2) tidak tersedianya fosfor; dan (3) terjadi fiksasi fosfor dalam tanah dari sumber pupuk yang diberikan. Sebagian besar fosfor dalam tanah umumnya tidak tersedia bagi tanaman meskipun keadaan lapangan paling ideal. Sifat P dalam tanah tidak mobil karena tingkat ketersediaannya dalan tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah (pH), kadar Al dan Fe oksida, kadar Ca, kadar bahan organik, tekstur dan pengelolaan lahan. Fosfat tanah dapat dalam bentuk P larutan, P labil, P difiksasi oleh Al, Fe atau Ca, dan P organik. Fosfat dalam larutan dapat berbentuk H2PO4-atau HPO42- (Havlin et al.

1999), tergantung dari kemasaman larutan (pH). Fosfat tidak tersedia difiksasi oleh Fe dan Al oksida pada tanah masam, difiksasi Ca pada tanah basa. Bentuk-bentuk tersebut saling terjadi keseimbangan, artinya apabila Bentuk-bentuk P tidak tersedia dalam jumlah sedikit akan terjadi aliran hara P dari bentuk-bentuk yang tidak tersedia.

Penyerapan unsur P oleh tanaman dilakukan oleh akar melalui pembuluh xylem. Proses penyerapan tersebut berupa reaksi penukaran ion. Tanaman menyerap ion PO43- dan melepaskan OH-. Reaksi pertukaran ion ini terjadi karena

adanya tekanan osmosis antara tanaman dan tanah dan dipengaruhi juga oleh gaya kohesi antara molekul air yang sangat kuat. Hal ini menyebabkan unsur hara yang terlarut dalam tanah dapat terserap oleh tumbuhan. Setelah unsur hara berada dalam tubuh tumbuhan, maka unsur hara tersebut disebarkan ke seluruh bagian tumbuhan melalui pembuluh kapiler.

Pupuk Hayati

(24)

5

Mikrob Pelarut P

Mikrob pelarut P terdiri dari bakteri, fungi dan sedikit aktinomiset (Subba-Rao 1982; Chen et al. 2002). Kelompok bakteri pelarut P antara lain Pseudomonas striata, P. diminuta, P. fluorescens, P. cerevisia, P. aeruginosa, P. putida, P. denitrificans, P. rathonis, Bacillus polymyxa, B. laevolacticus, B. megatherium, Thiobacillus sp., Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacterium, Escheria, freundii, cunninghamella, Brebibacteruim spp., Serratia spp., Alcaligenes spp., Achrombacter spp., dan Thiobacillus sp. (Gunarno dan Nurhayati 1994). Fungi pelarut P berasal dari kelompok Deutromycetes antara lain Aspergillus niger, A. awamori, P. digitatum, P. bilaji, dan Sclerotium. Fungi pelarut P yang dominan di tanah adalah Penicillium dan Aspergillus (Suh et al. 1995; Whitelaw et al. 1999). Mikrob pelarut P secara alami berada di tanah berkisar 0.1-0.5% dari total populasi mikrob di dalam tanah. Mikrob pelarut P hidup terutama di sekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm dari permukaan tanah (Alexander 1977).

Pupuk P memiliki nilai efisiensi yang rendah, karena hanya 10% sampai 30% dari pupuk yang diberikan ke tanah dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Marschner 1995). Hal ini terjadi karena adanya proses pengikatan atau fiksasi P yang cukup tinggi oleh tanah. Pada tanah yang bersifat basa (pH tinggi), fiksasi P dilakukan oleh kalsium (Ca) dan terbentuk ikatan Ca-P yang bersifat sukar larut, sehingga bentuk P ini sukar atau tidak tersedia bagi tanaman. Pada tanah yang bersifat masam (pH rendah), fiksasi P dilakukan oleh besi (Fe) atau aluminium (Al) dan terbentuk ikatan Fe-P atau Al-P yang juga sukar larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Mikroorganisme tanah seperti bakteri Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. dapat mengeluarkan asam-asam organik seperti asam formiat, asetat, dan laktat yang bersifat dapat melarutkan bentuk-bentuk fosfat yang sukar larut tersebut sehingga menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman.

Pemupukan P sering tidak efisien karena fosfat terikat menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Pemberian pupuk mikrob, yang kini beredar dengan berbagai merek, ternyata cukup efektif mengatasi masalah tersebut. Mikrob pelarut P merupakan mikrob tanah yang mempunyai kemampuan melarutkan P tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman. Hal ini terjadi karena bakteri tersebut mampu mensektresi asam-asam organik yang dapat membentuk kompleks stabil dengan kation-kation pengikat P di dalam tanah dan asam-asam organik tersebut akan menurunkan pH dan memecahkan ikatan pada beberapa bentuk senyawa P sehingga akan meningkatkan ketersediaan P dalam larutan tanah. Jenis asam organik yang dihasilkan Mikrob pelarut P adalah asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, fumarat, asam formiat, asetat, glikolat, aksalat, propionate, malat, tartat dan α-ketoburiat (Ilmer dan Schinner 1992) yang mampu mengkhelat kation logam Al3+, Fe3+, Ca2+, dan Mg2+, sehingga akan membebaskan P sukar larut menjadi tersedia bagi tanaman. Mikrob pelarut P tersebut berasal dari golongan bakteri (Psedomonas, Bacillus, Escheria, Brevibacterium dan Serratia). Populasi mikrob tersebut dalam tanah berkisar dari ratusan sampai puluhan ribu sel g-1 tanah (Subba-Rao 1982).

(25)

6

dan Mg sehingga P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, salah satunya adalah Pseudomonas sp. Pelarutan P oleh Pseudomonas sp. didahului dengan sekresi asam-asam organik, diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glikosilat, malat, fumarat. Hasil sekresi tersebut akan berfungsi sebagai katalisator, pengkhelat dan memungkinkan asam-asam organik tersebut membentuk senyawa kompleks dengan kation-kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan l3+ sehingga terjadi pelarutan fosfat menjadi bentuk tersedia yang dapat diserap oleh tanaman (Subba-Rao 1982). Menurut Gopi (2006) mikrob ini juga diketahui memproduksi asam amino, vitamin dan hormon pemacu pertumbuhan seperti indole acetic acid (IAA) dan giberelin yang dapat membantu pertumbuhan tanaman.

Mikrob pelarut P dapat diisolasi dari tanah yang kandungan P rendah terutama di sekitar perakaran tanaman, karena mikrob ini menggunakan fosfat dalam jumlah sedikit untuk keperluan metabolismenya. Kemampuan bakteri dan fungi pelarut P berbeda-beda tergantung jenis strain (Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Bakteri yang dapat melarutkan P adalah Bacillus megaterium, B. subtilis, Pseudomonas striata dan P. liquifaciens. Fungi yang dapat melarutkan fosfat dalah Aspergillus awmor dan Penicillium digitatum. Beberapa contoh bakteri pelarut P adalah Bacillus megaterium dan Pseudomonas striata (Motsara et al. 1995).

System of Rice Intensification (SRI)

Sistem budidaya padi sawah mempengaruhi aktivitas mikrob pelarut fosfat. Teknologi sistem budidaya SRI (system of rice intensification) dimulai di Madagaskar pertama kali tahun 1983 oleh Fr. Hendri de Laulani. Komponen teknogoli dasar SRI antara lain persemaian kering, pindah tanam bibit muda 8-15 hari dengan menjaga perakaran tidak terganggu saat pindah tanam dan menanam dangkal berkisar 1-2 cm, tanam tunggal, jarak tanam lebar 25 cm x 25 cm atau lebih lebar pada tanah subur, pengendalian gulma sejak dini dan teratur, pengaturan air dengan menjaga kondisi tanah tetap lembab bukan pengairan yang terus menerus (Sato dan Uphoff 2007; Anas dan Uphoff 2009; Uphoff 2009). SRI tidak mempermasalahkan varietas unggul atau lokal. Hasil panen padi budidaya SRI 52% lebih tinggi dibandingkan sistem budidaya konvensional, efisiensi penggunaan air mencapai 44% dibandingkan metode pengairan terus menerus (konvensional) (Sato dan Uphoff 2007; Uphoff 2009).

Berdasarkan hasil pengumpulan data dari sebelas evaluasi yang dilakukan didelapan negara menunjukan bahwa pada budidaya padi SRI terjadi peningkatan produksi padi sekitar 52%, pengurangan air sekitar 44%, pengurangan pengeluaran petani sekitar 25% jika dibandingkan dengan konvensional (Sato dan Uphoff 2007). Penelitian SRI dilakukan oleh Tao et al. (2002) menunjukan bahwa sistem budidaya SRI menghasilkan perakaran 10 cm sampai 15 cm lebih dalam dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional, disebabkan karena penanaman bibit diawal yaitu ditanam dangkal. Persemaian SRI dilakukan dengan cara lembab.

(26)

7

pengelolaan tanah sehat serta pengelolaan bahan organik, pengelolaan potensi tanam secara optimal dan pengelolaaan air baik dan teratur. Gagasan SRI dalam kegiatan budidaya padi ekologis sangat bisa diterima, sehingga berkembang istilah SRI organik. Prinsip-prinsip utama metode SRI organik ada dua hal penting merupakan salah satu model pengelolaan yang menerapkan asas konservasi, yaitu menggunakan pupuk organik untuk menciptakan lingkungan yang baik dan budidaya padi SRI merupakan budidaya padi hemat air dengan mengoptimalkan pemberian air dengan sistem irigasi terputus (intermitten).

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

Intergrated crop management system atau lebih dikenal dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) pada padi sawah merupakan salah satu model pendekatan pengelolaan usaha tani padi, dengan mengimplementasikan berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis (Pramono et al. 2005). Komponen teknologi yang diterapkan dalam PTT dikelompokan ke dalam teknologi dasar dan pilihan. Komponen teknologi dasar sangat dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi padi sawah. Penerapan komponen pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani setempat (Badan Litbang Pertanian 2008). Komponen teknologi dasar yang diimplementasikan pada unit hamparan pengkajian PTT meliputi (a) penggunaan varietas unggul adaptif dan benih berkualitas, (b) perlakuan benih, (c) tanam tunggal bibit muda, (d) penggunaan bahan organik (pupuk organik), (e) pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD), (f) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah melalui uji tanah, (g) pengairan berselang (intermitten irrigation), (h) pengendalian gulma dengan landak/gasrok, dan (i) pengendalian hama secara terpadu (PHT) (Badan Litbang Pertanian 2010).

Efisiensi penggunaan benih dan penggunaan bibit muda, tanam bibit kurang dari 3 bibit per lubang, efisiensi pupuk urea dan penghematan air irigasi berselang 135 mm/ha/musim. Penggunaan bibit muda maksimal umur 21 hari setelah semai (HSS) adalah bertujuan untuk mengurangi stres pada tanaman dan bibit lebih cepat sehat (recovery) sehingga pembentukan anak menjadi lebih cepat (Badan Litbang Pertanian 2008).

(27)

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi dua percobaan. Percobaan I dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB dari bulan Oktober 2011 sampai bulan Agustus 2012. Percobaan II dilaksanakan di rumah plastik di Kebun Percobaan Sawah Baru (06o33’ LS, 106o45’ BT, altitude 250 mdpl), University Farm IPB dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Analisis sifat fisik dan kimia tanah telah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Percobaan I. Isolasi dan Seleksi Mikrob Pelarut P

Tujuan: Isolasi dan seleksi mikrob pelarut P untuk memperoleh isolat mikrob pelarut Pyang unggul

Alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer Merk Shimadzu UV 1201. Bahan yang digunakan lima sampel pupuk hayati sebagai sumber isolat (merk dagang: Poin Dua Tani, Primanu, Biost, Bioekstrim, Azozo), media Picovskaya, Nutrient Agar, Nutrient Broth, Potato Dectrose Agar (Lampiran 1), molasses, serta sumber P sukar larut Ca3(PO4)2, AlPO4, dan FePO4.

Pelaksanaan penelitian

Tahapan pelaksanaan percobaan adalah sebagai berikut : 1. Isolasi mikrob pelarut P

Sampel pupuk hayati sebanyak 10 ml dilarutkan dengan 90 ml larutan fisiologis steril (8,5 g NaCl/l aquadest). Sampel dikocok sampel menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 30 menit. Suspensi diencerkan dengan seri pengenceran 10-1 sampai 10-7 dan setiap tahapan pengenceran dihomogenisasi berulang menggunakan vortex. Suspensi sebanyak 1 ml dipipet ke dalam cawan petri steril pada tingkat pengenceran 10-4, 10-5,10-6 dan 10-7, kemudian tuangkan medium Picovskaya dengan metode tuang (pour plate). Media di inkubasi dalam suhu ruangan selama 48-72 jam. Kegiatan ini dilaksanakan di dalam laminar air flow cabinet.

2. Pemurnian

(28)

9

terbentuknya zona bening (clear zone) di sekitar koloni. Isolat murni bakteri dan fungi disimpan dalam media miring Picovskaya.

3. Uji indeks pelarutan P

Isolat bakteri dan fungi ditumbuhkan dengan teknik gores pada media Picovskaya (Anas 1989). Koloni diinkubasi selama 72 jam pada suhu ruangan. Kemampuan isolat dalam melarutkan P secara kualitatif berdasarkan besar/kecil zona bening yang dibentuk di sekitar koloni.

4. Uji kemampuan bakteri dan fungi dalam melarutkan P dari berbagai sumber P sukar larut

Tiap-tiap sampel isolat bakteri dan fungi diinokulasi dalam larutan Picovskaya cair (tanpa agar) dengan sumber P beragam yaitu Ca3(PO4)2, AlPO4, FePO4.

Sampel di kocok menggunakan shaker selama 48 jam. Sampel disaring dan dipisahkan antara isolat dan larutan sampel. Sampel tersebut ditambahan dengan larutan penyangga sampai tingkat kepekatan tertentu dan berubah warna menjadi biru. Sampel di ukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nanometer untuk mengetahui jumlah P yang dilarutkan oleh isolat bateri dan fungi dari beberapa sumber P sukar larut.

5. Uji antagonistik

Isolat bakteri dan fungi pelarut fosfat terpilih ditumbuhkan bersama dalam satu cawan berisi media Picovskaya (Lampiran 1) selama 3-7 hari. Kemampuan bakteri dan fungi diamati.

6. Identifikasi bakteri dan fungi pelarut P

Isolat bakteri dan fungi pelarut P terpilih yang mampu hidup sinergis diidentifikasi secara morfologi untuk mengetahui spesies bakteri dan fungi yang digunakan.

Pengamatan

1. Uji indeks pelarutan P

Menguji kemampuan isolat murni mikrob pelarut P secara kualitatif. Kemampuan bakteri dan fungi dalam melarutkan P ditunjukkan dengan menghitung luas zona bening (clearzone) di sekitar koloni. Perhitungan PSI (phosphate solubilization index) berdasarkan metode Premono (1994):

PSI Diameter zona bening Diameter koloni bakteri/fungi

2. Uji kemampuan bakteri dan fungi dalam melarutkan P dari berbagai sumber P sukar larut

Hasil pembacaan spektrofotometer, dihitung kemampuan melarutkan P dari berbagai sumber P sukar larut berdasarkan nilai ppm P atau P murni

5 2.5×

50

1 × nilai grafik × absorban 3. Uji Antagonistik

(29)

10

fungi yang mampu hidup sinergis ditandai dengan salah satu koloni bakteri atau fungi menekan pertumbuhan koloni lain. Isolat bakteri dan fungi terpilih memiliki kriteria bersifat non antagonistik dan mampu hidup sinergis, serta memiliki kecepatan tumbuhyang tinggi.

4. Identifikasi bakteri dan fungi pelarut P

Isolat bakteri dan fungi terpilih diidentifiasi secara morfologis untuk mengetahui spesies bakteri dan fungi yang digunakan.

Percobaan II. Pemanfaatan Mikrob Pelarut P dalam Mengurangi Dosis Pupuk P Anorganik pada Padi Sawah dengan Sistem Budidaya PTT dan SRI

Tujuan : mengetahui pengaruh aplikasi mikrob pelarut P dalam mengurangi dosis pupuk P anorganik terhadap pertumbuhan dan hasil pada sistem budidaya SRI dan PTT.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah bak penanaman yang terbuat dari terpal dengan ukuran 0.75 m x 1.25 m x 0.5 m (p x l x t) sebanyak 60 buah, thermohigrometer, bor tanah, dan alat-alat pertanian lainnya. Bahan yang digunakan yaitu benih padi varietas Ciherang (Lampiran 2) dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, Subang, Jawa Barat, pupuk Urea dengan dosis anjuran 250 kg urea/ha (N = 46.32%), pupuk SP36 100 kg/ha (P2O5 =

36.52%), pupuk KCl 100 kg/ha (K2O = 62.62%), isolatterpilih bakteri dan fungi

pelarut Pyang diperoleh dari percobaan I dan sumber tanah dari Sawah Baru, Dramaga, Bogor.

Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi (split plot design) dengan dua faktor. Faktor pertama sebagai petak utama (main plot) adalah sistem budidaya yang terdiri dari 2 taraf, faktor kedua sebagai anak petak (sub plot) adalah kombinasi pemupukan antara dosis pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P yang terdiri dari 10 taraf. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 60 satuan percobaan. Denah penempatan unit percobaan tersaji pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.

Model linier aditif d ri r ncan an a a g slit plot design :

Yijk μ αi ik βj αβ ij ωk ijk Kete

Yijk = nilai pengamatan perlakuan sistem budidaya ke-i, kombinasi pemupukan ke-j, dan blok ke-k

(30)

11

ij = interaksi perlakuan sistem budidaya ke-i dan kombinasi pemupukan ke-j j

ω = pengaruh blok ke-k

= pengaruh kombinasi pemupukan ke-j k

ijk = galat anak petak

Berikut adalah perlakuan yang dicobakan yaitu : Faktor pertama sistem budidaya padi sawah (S) Pengolahan tanaman terpadu (PTT)

System of rice intensification (SRI)

Faktor kedua kombinasi pemupukan (P) dan mikrob pelarut P Kontrol ( 100% pupuk P anorganik)

Perlakuan 75% pupuk P anorganik

Perlakuan 75% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P Perlakuan 75% pupuk Panorganik + fungi pelarut P Perlakuan 50% pupuk P anorganik

Perlakuan 50% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P Perlakuan 50% pupuk P anorganik + fungi pelarut P Perlakuan bakteri pelarut P

Perlakuan fungi pelarut P

Perlakuan bakteri + fungi pelarut P (mix culture)

Pelaksanaan percobaan

Percobaan II akan dilaksanakan dengan rincian kegiatan sebagai berikut : 1. Persiapan lahan

Tahap persiapan meliputi analisis pupuk dan analisis tanah, persiapan benih dan persiapan tanah. Sampel tanah yang digunakan diambil dari lokasi Sawah Baru, Dramaga, Bogor. Cara pengambilan sampel tanah diambil secara komposit dari kedalaman 0-20 cm dengan menggunakan bor tanah. Tanah dikering anginkan dan diayak. Tanah tersebut kemudian dianalisis di laboratorium. Analisis pupuk Urea, SP36, dan KCl dilakuan untuk mengetahui kandungan N, P dan K dari pupuk yang digunakan.

2. Persiapan benih

Persemaian dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu seleksi benih yang bernas, dilakukan dengan cara merendam benih dengan larutan garam 20 g/l air selama 15 menit. Seleksi benih yang mengapung dan buang. Benih di bilas dan direndam dalam air selama 24 jam. Benih diperam dalam karung goni selama 48 jam sampai benih berkecambah. Benih yang telah berkecambah disemai di bak persemaian dengan media tanah yang telah dilumpurkan sempurna.

(31)

12

3. Persiapan aplikasi bakteri dan fungi pelarut P

Aplikasi perlakuan mikrob pelarut P menggunakan suspensi bakteri dan fungi pelarut P yang diperbanyak dengan menumbuhkan isolat bakteri pada media Picovskaya dan fungi di media PDA. Inokulan diinkubasi selama 4-7 hari pada suhu ruangan. Biakan bakteri dan fungi tersebut dilarutkan menggunakan aquadest ke dalam molasses steril (10 ml molasses/L aquadest). Tabel 1Pelaksanaan sistem budidaya padi PTT dan SRI

Komponen Budidaya

Sistem budidaya

PTT (Darmadi 2011) SRI (Sato dan Uphoff 2007) Pengolahan

tanah

Kedalaman olah tanah 15 - 20 cm

Kedalaman olah tanah 15 - 20 cm

Umur bibit 17 HSS 10 HSS

Jumlah bibit 2 bibit per lubang tanam 1 bibit per lubang tanam Jarak tanam 25 cm x 12.5 cm x 50 cm

(jajar legowo)

25 cm x 25 cm Populasi

tanaman

24 tanaman per petak 15 tanaman per petak Takaran

pupuk sesuai perlakuan

1. Urea 250 kg/ha yang diberikan tiga kali yaitu 1/3 (1, 4, 6 MST), SP36 100 kg/ha

diberikan tergantung perlakuan, dan KCl 100 kg/ha

diberikan pada 1 MST. Aplikasi pemupukan dengan cara disebar (top dressing). 2. Pemberian perlakuan bakteri

dan fungi pelarut P pada saat pindah tanam, akar bibit padi dicelupkan kedalam suspensi bakteri dan fungi pelarut P (tergantung perlakuan) selama lima menit.

1. Urea 250 kg/ha yang diberikan tiga kali yaitu 1/3 (1, 4, 6 MST), SP36 100 kg/ha

diberikan tergantung perlakuan, dan KCl 100 kg/ha

diberikan pada 1 MST. Aplikasi pemupukan dengan cara disebar (top dressing). 2.Pemberian perlakuan bakteri

dan fungi pelarut P pada saat pindah tanam, akar bibit padi dicelupkan kedalam suspensi bakteri dan fungi pelarut P (tergantung perlakuan) selama Pemeliharaan Penyulaman sampai umur 4

MST

Penyulaman sampai umur 4 MST

Panen

Penyiangan umur 5 dan 10 MST

Penyiangan umur 5 dan 10 MST

85% gabah menguning, daun bendera sudah menguning (IRRI 2002)

(32)

13

Pengamatan

Parameter pengamatan pada percobaan rumah plastik : 1. Populasi Mikrob Pelarut P

Perhitungan mikrob pelarut P ditetapkan dengan melakukan analisis di laboratorium. Sampel tanah diambil pada kedalaman 20 cm diambil dari tiap perlakuan menggunakan pipa berdiameter 2.5 cm pada lima titik. Pengambilan sampel tanah dilakukan tiga kali yaitu sebelum tanam (0 MST), umur 7 MST dan pada 13 MST. Jumlah populasi tanah dihitung dalam satuan pembentuk koloni gram-1 tanah bobot kering mutlak atau disingkat SPK g-1 tanah BKM. 2. Pertumbuhan tanaman dan komponen hasil

a. Tinggi tanaman (cm)

Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali pada tiap tanaman sampel, dimulai pada umur 3 MST, tinggi tanaman diukur dari pangkal batang tanaman yang berbatasan dengan tanah (permukaan tanah) sampai dengan ujung malai paling panjang. Jika belum keluar malai maka sampai pada pucuk daun tertinggi sampai 9 MST.

b. Jumlah anakan per rumpun (batang rumpun-1)

Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah anakan per rumpun pada tanaman sampel. Pengamatan dilakukan pada setiap 2 minggu sekali sejak 3 MST sampai 9 MST.

c. Jumlah anakan produktif per rumpun (batang rumpun-1)

Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah anakan yang menghasilkan malai pada setiap rumpun untuk semua rumpun sampel, yang dilakukan pada saat panen.

d. Bobot basah dan bobot kering tanaman (g)

Dilakukan dengan cara mengambil bobot basah dan kering sampel tanaman pada saat panen. Menimbang bobot segar tanaman (jerami, gabah, akar) yang dilakukan setelah panen kemudian dikeringkan menggunakan oven selama 48 jam dengan suhu 80°C.

e. Panjang malai (cm)

Pengamatan dilakukan setelah panen dengan cara mengukur panjang malai dari batas buku daun sampai ujung malai.

f. Jumlah gabah per malai (butir malai-1)

Pengamatan diperoleh dengan menghitung seluruh jumlah gabah dalam satu malai.

g. Bobot 1000 butir (g)

Pengamatan diperoleh dengan menimbang 1000 butir gabah bernas yang dihasilkan tanaman setelah panen pada kadar air gabah 14%.

h. Persentase gabah hampa (%)

Pengamatan diperoleh dengan menghitung banyak gabah yang hampa dibagi seluruh gabah dalam satu rumpun dikali 100%.

i. Hasil gabah per hektar (kg ha-1)

Dihitung dengan mengkonversikan bobot gabah dari seluruh rumpun dalam satu luasan pertanaman menjadi bobot gabah dalam kg per hektar.

j. Analisis Serapan P tanaman (gabah dan jerami)

(33)

14

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode sidik ragam dan apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji beda nilai tengah Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Software yang digunakan untuk uji statistik adalah sistem analisis statistik (SAS).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan I. Isolasi dan Seleksi Mikrob Pelarut P

Hasil isolasi, seleksi dan uji indeks pelarutan P bakteri dan fungi pelarut P

Isolat-isolat dari sumber pupuk hayati telah dimurnikan melalui karakterisasi morfologi baik bentuk, warna dan ukuran. Pertumbuhan mikrob pelarut P ditandai dengan pembentukkan zona bening di sekitar koloni bakteri atau fungi pada media Picovskaya yang bersumber dari tricalcium fosfat Ca3(PO4)2. Hasil pemurnian mikrob pelarut P diperoleh 16 isolat murni yang

terdiri dari 10 isolat bakteri dan 6 isolat fungi. Pengamatan zona bening isolat murni bakteri dan fungi pelarut P tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Kemampuan tumbuh dan uji indeks pelarutan P oleh mikrob pelarut P

(34)

15

Hasil seleksi menunjukkan bahwa indeks pelarutan P yang tinggi dan memiliki kemampuan tumbuh yang cepat dihasilkan dari bakteri pelarut P isolat BPFA2 dan BPFA5 dengan nilai 2.22 dan 1.92. Indeks pelarutan yang rendah terdapat pada bakteri pelarut P isolat BPFB1 dan BPFE2, dengan nilai PSI berturut-turut 0.44 dan 0.99. Indeks pelarutan P yang tinggi dan memiliki kemampuan tumbuh yang cepat diperoleh dari fungi pelarut P isolat FPFA2 dan FPFC1 dengan nilai 1.38 dan 1.19. Luas zona bening yang di sekitar koloni menjelaskan kemampuan bakteri dan fungi dalam melarutkan P bervariasi. Rachimati (1995) menyatakan bahwa luas zona bening secara kualitatif menunjukkan besar kecilnya kemampuan bakteri melarutkan P dari fosfat sukar larut. Luas zona bening pada media padat tidak mampu menunjukkan jumlah P yang dilarutkan bakteri, meskipun luas zona bening menunjukkan besar kecilnya kemampuan bakteri melarutkan P yang sukar larut (Tatiek 1991).

Uji kemampuan melarutkan P dari berbagai sumber P sukar larut

Pengamatan peubah kuantatif pelarutan P dari berbagai sumber P sukar larut selama 72 jam, tersaji pada Tabel 3. Hasil isolat yang menunjukan nilai pelarutan P yang tinggi dari sumber kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) adalah isolat

bakteri BPFC1 dan BPFA5 serta isolat fungi FPFC2 dan FPFE1. Pelarutan P yang tinggi dari sumber aluminuium fosfat (AlPO4) adalah isolat bakteri BPFA6 dan

BPFC1 serta isolat fungi FPFC1 dan FPFC2, sedangkan dari sumber besi fosfat (FePO4), nilai pelarutan P yang tinggi adalah isolat bakteri BPFA6 dan BPFE2

serta isolat fungi FPFC2 dan FPFE1.

Kemampuan pelarutan fungi dari sumber alumunium fosfat lebih tinggi dibandingkan bakteri. Banik dan Dey (1982) menyatakan bahwa fungi pelarut P lebih efektif melarutkan P dari sumber alumunium fosfat (kondisi masam), sedangkan bakteri lebih efektif melarutkan P dari sumber kalsium fosfat (kondisi basa). Pada bakteri pelarut P isolat BPFC1 dan BPFA5 menghasilkan nilai pelarutan P tertinggi dari sumber kalsium fosfat (Ca3(PO4)2), hal ini menunjukkan

mikrob tersebut memiliki kemampuan pelarutan P yang tinggi pada kondisi alkali. Isolat mikrob pelarut P memiliki kemampuan pelarutan P yang berbeda-beda, tergantung dari sifat genetik dalam memproduksi asam organik yang berperan dalam menentukan kemampuan pelarutan P, serta sumber P yang dilarutkan(Rachmiati1995). Mikrob pelarut P dapat ditumbuhkan dalam media yang mengandung sumber P yang berbeda seperti Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, dan

(35)

16

Tabel 3 Kemampuan mikrob pelarut P dalam melarutkan P dari berbagai sumber P sukar larut(Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4)

Bakteri dan fungi pelarut P mempunyai kemampuan untuk hidup bersama. Salah satu cara untuk mengetahui kompatibilitas antara bakteri dan fungi pelarut P dari masing-masing isolat murni, dilakukan uji antagonistik. Uji antagonistik merupakan salah satu metoda seleksi bakteri dan fungi pelarut P yang mampu hidup sinergis dalam satu cawan dan memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi (Gambar 1). Hasil uji antagonistik bakteri dan fungi pelarut P tersebut tersaji pada Tabel 4.

Uji antagonistik ditandai dengan kemampuan bakteri dan fungi untuk hidup bersama dalam satu kultur secara sinergis. Hasil uji antagonistik menunjukkan bahwa isolat BPFA5 dan FPFE1 menujukkan gejala antagonistik negatif (non antagonistik). Hal ini berarti bahwa kedua isolat tersebut mampu hidup secara sinergis dalam satu kultur (mix culture).

(36)

17

Tabel 4 Hasil uji antagonistik antara bakteri pelarut P dan fungi pelarut P Isolat fungi pelarut P Isolat bakteri pelarut P

BPFA2 BPFA5 BPFA6 BPFC1 BPFE2

FPFA2 + +

FPFC1 + +

+

+ + +

FPFC2 + + +

FPFE1 + + + +

Keterangan : (+) = antagonistik

(-) = non antagonistik.

Gambar 1 Isolat murni bakteri dan fungi pelarut P yang bersifat (a) antagonistik dan (b) non antagonistik

b

a

Percobaan II. Pemanfaatan Mikrob Pelarut P dalam Mengurangi Dosis Pupuk P Anorganik pada Padi Sawah dengan Sistem Budidaya PTT dan SRI

Kondisi umum

Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah yang digunakan adalah jenis tanah latosol dengan kandungan pasir (14%), debu (40%), dan liat (46%), pH tanah yang cenderung masam (pH 5.3). Kandungan N-total (0.31%) dan C-total (2.76%) sedang; kandungan P2O5 sangat tinggi dan K2O sangat rendah; kapasitas

tukar kation (KTK) sedang yaitu (21.41 me/100g) dengan kejenuhan basa sedang (43%) dan nilai P-total 0.34%. Hasil analisis tanah lahan penelitian tersaji pada Lampiran 5.

(37)

18

sawah. Yoshida (1981) menyatakan bahwa suhu tinggi mempengaruhi laju evapotranspirasi, laju pertumbuhan tanaman, proses pembungaan, penyerbukan dan produksi tanaman.

Selama penelitian terjadi serangan hama pada petakan percobaan yaitu hama keong, walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), dan wereng cokelat (Nilaparvata lugens). Pengendalian hama dilakukan secara alami maupun menyemprotkan insektisida dan fungisida untuk mengurangi serangan hama dan mencegah penyakit pada tanaman.

Tinggi tanaman

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa sistem budidaya berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada 3,7 dan 9 MST. Kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Tidak terdapat pengaruh interaksi antara sistem budidaya dan kombinasi pemupukan P anorganik dan mikrob pelarut P terhadap tinggi tanaman. Hasil sidik ragam terhadap tinggi tanaman tersaji pada Lampiran 7.

Pengamatan tinggi tanaman pada perlakuan sistem budidaya dan kombinasi pemupukan tersaji pada Tabel 5. Akhir pengamatan menunjukkan bahwa sistem budidaya SRI menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan sistem budidaya PTT, sedangkan perlakuan kombinasi pemupukan tidak terjadi perbedaan dari masing-masing taraf perlakuan. Perbedaan tinggi tanaman pada kedua sistem budidaya diduga karena terjadi kompetisi akar antar tanaman dalam memperebutkan unsur hara dan air (Pratiwi et al.2009).

Tabel 5 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap tinggi tanaman

Perlakuan Tinggi tanaman pada minggu ke-

3 5 7 9

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang samamenunjukkan tidak berbeda nyata pada uji

(38)

19

Jumlah anakan

Perlakuan sistem budidaya menunjukkan berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada 3 MST sampai 9 MST, tetapi kombinasi pupuk P anorganik + mikrob pelarut P tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan. Terdapat interaksi antara peubah sistem budidaya dan kombinasi pemupukan P anorganik dan mikrob pelarut P terhadap jumlah anakan pada 3 dan 5 MST. Hasil sidik ragam untuk peubah jumlah anakan tersaji pada Lampiran 7.

Interaksi sistem budidaya dan kombinasi pemupukkan terhadap jumlah anakan pada 3 dan 5 MST tersaji pada Gambar 2. Perlakuan 75% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P dan perlakuan bakteri pelarut P pada 3 MST menghasilkan jumlah anakan terbanyak pada sistem budidaya SRI dibandingkan perlakuan lainnya. Pengamatan minggu ke 5 MST menunjukkan bahwa perlakuan 75% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P pada sistem budidaya SRI menghasilkan jumlah anakan terbanyak dibandingkan perlakuan lainnya. Penggunaan mikrob pelarut P (bakteri Pseudomonas aeruginosa) mampu meningkatkan penyerapan unsur hara P yang ditunjang dengan jarak tanam lebar pada sistem budidaya SRI. Perkembangan akar tanaman pada sistem budidaya SRI memacu penyerapan unsur hara P. Perkembangan akar tanaman padi dan jumlah anakan dipengaruhi ketersediaan unsur hara P (Doberman dan Fairhust 2000).

Keterangan : P0 kontrol (100% pupuk P anorganik); P1 (75% pupuk P anorganik); P2 (75% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P); P3 (75% pupuk P anorganik + fungi pelarut P); P4 (50% pupuk P anorganik); P5 (50% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P); P6 (50% pupuk P anorganik + fungi pelarut P); P7 (bakteri pelarut P); P8 ( fungi pelarut P); P9 (bakteri + fungi pelarut P (mix culture)

(39)

20

Hasil analisis data menunjukkan bahwa pada 7 MST sampai 9 MST sistem budidaya SRI menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan sistem budidaya PTT (Tabel 6). Peningkatan jumlah anakan pada sistem budidaya SRI diduga karena kondisi lingkungan yang mendukung, seperti jarak lebar, radiasi matahari yang cukup, suhu sedang, aerasi tanah, dan unsur hara yang cukup (Muliasari 2009). Sistem budidaya SRI menggunakan jarak tanam lebar yaitu 25 cm x 25 cm. Masdar (2005) menyatakan bahwa penggunaan jarak tanam lebar memacu tanaman untuk menghasilkan banyak anakan. Jarak tanam lebar juga memberi kesempatan kepada akar untuk tumbuh dan menyebar luas sehingga meningkatkan penyerapan air dan unsur hara di dalam tanah (Bakrie 2011). Selain itu, jarak tanam lebar mengurangi kompetisi antar tanaman (Uphoff 2009), penyebaran radiasi matahari yang cukup dan suhu mikro tanaman. Perlakuan kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap peubah jumlah anakan.

Tabel 6 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap jumlah anakan

Perlakuan Jumlah anakan pada minggu ke-

Umur tanaman 7 9

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Jumlah anakan produktif

(40)

21

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan 75% dosis pupuk P anorganik + bakteri pelarut P dan perlakuan 50% dosis pupuk P anorganik + fungi pelarut P pada sistem budidaya SRI menghasilkan jumlah anakan produktif yang lebih banyak dibandingkan perlakuan pemupukan lainnya (Gambar 3). Penggunaan mikrob pelarut P (bakteri dan fungi) mampu meningkatkan jumlah anakan produktif dan mengurangi dosis pupuk P anorganik pada sistem budidaya SRI. Salah satu prinsip teknologi sistem budidaya SRI adalah menjaga kondisi tanah lembab atau macak-macak (aerob). Kondisi ini meningkatkan populasi mikrob pelarut P yang hidup pada kondisi aerobik. Masing-masing mikrob pelarut P mempunyai sifat khusus yang berbeda-beda, hal ini mempengaruhi aktivitas mikrob dalam melarutkan P di tanah (Suriadikarta dan Simanungkalit 2006). Hal ini sejalan dengan penelitian Bakrie (2011) yang menyatakan bahwa perlakuan 50% pupuk anorganik + 200 kg organik hayati yang mengandung mikrob pelarut P pada sistem budidaya SRI menghasilkan jumlah anakan produktif yang lebih banyak dibandingkan dengan 100% dosis pupuk P anorganik.

Jumlah anakan produktif merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi potensi hasil tanaman padi. Jumlah anakan produktif dapat dipengaruhi oleh kerapatan tanaman. Jarak tanam yang lebar pada sistem budidaya SRI diduga mampu mengurangi kompetisi antar tanaman dalam mendapatkan hara, cahaya, dan ruang tumbuh. Akibatnya pertumbuhan jumlah anakan produktif pada sistem budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan sistem budidaya PTT. Jumlah anakan produktif juga dipengaruhi oleh jumlah anakan dalam satu rumpun. Tingginya kerapatan tanaman dalam satu rumpun menyebabkan kompetisi antar anakan lebih tinggi. Pratiwi et al. (2009) menyatakan kerapatan tanaman akan berpengaruh terhadap banyaknya radiasi yang ditangkap tajuk tanaman, besarnya persaingan akar tanaman dalam menyerap air dan hara.

Keterangan : P0 kontrol (100% pupuk P anorganik); P1 (75% pupuk P anorganik); P2 (75% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P); P3 (75% pupuk P anorganik + fungi pelarut P); P4 (50% pupuk P anorganik); P5 (50% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P); P6 (50% pupuk P anorganik + fungi pelarut P); P7 (bakteri pelarut P); P8 ( fungi pelarut P); P9 (bakteri + fungi pelarut P (mix culture)

0

(41)

22

Bobot basah dan bobot kering tanaman

Bobot tanaman adalah bobot keseluruhan tanaman, yang meliputi akar, tajuk dan gabah. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa sistem budidaya berpengaruh terhadap bobot basah tanaman, tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot kering tanaman. Kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut Ptidak berpengaruh terhadap bobot basah tanaman dan bobot kering tanaman. Tidak terdapat interaksi antara sistem budidayadan kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P terhadap bobot basah tanaman dan bobot kering tanaman (Lampiran 8).

Perlakuan sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap bobot basah dan bobot kering tanaman tersaji pada Tabel 7. Sistem budidaya PTT menghasilkan bobot basah tanaman yang lebih berat yaitu 102.6 g rumpun-1 dibandingkan sistem budidaya SRI yaitu 84.3 g rumpun-1. Perlakuan kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P menunjukkan bahwa tidak berpengaruhterhadap bobot basah tanaman.

Tabel 7 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap bobot basah dan bobot kering tanaman

Bobot basah

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masingpeubah pengamatan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Komponen hasil

(42)

23

serta kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P terhadap panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah, dan persentase gabah hampa. Hasil sidik ragam tersaji pada Lampiran 8.

Hasil pengamatan peubah panjang malai pada perlakuan sistem budidaya dan kombinasi pemupukan tersaji pada Tabel 8. Sistem budidaya PTT menghasilkan panjang malai yang lebih panjang dibandingkan sistem budidaya SRI, yaitu25.4 cm dan 24.6 cm. Perlakuan kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P tidak berbeda dari masing-masing taraf pemupukan terhadap panjang malai. Panjang malai berhubungan dengan jumlah malai yang dihasilkan. Sistem budidaya SRI menghasilkan panjang malai yang lebih pendek sehingga berpeluang menghasilkan jumlah malai yang lebih banyak. Hal ini sejalan dengan penelitian Makarim dan Suhartatik (2009), semakin banyak jumlah malai maka semakin pendek malai yang dihasilkan.

Sistem budidaya SRI menghasilkan jumlah gabah per malai yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem budidaya PTT yaitu 168. 6 butir rumpun-1dan 126.8 butir rumpun-1. Perlakuan kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P tidak berbeda dari masing-masing taraf pemupukan terhadap jumlah gabah per malai. Banyaknya jumlah gabah per malai pada sistem budidaya SRI diduga karena serapan hara malai pada sistem budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan PTT. Serapan hara yang tinggi mendukung dalam pembentukan dan pengisian gabah yang maksimal (Yoshida 1981).

Sistem budidaya SRI menghasilkan bobot 1000 butir gabah yang lebih berat yaitu 23.5 g dibandingkan dengan sistem budidaya PTT yaitu 21.5 g (Tabel 8). Perlakuan kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P tidak berbeda dari masing-masing taraf pemupukan terhadap peubah bobot 1000 butir gabah. Rata-rata bobot 1000 butir gabah mengindikasikan bahwa sistem budidaya tersebut memberikan sumbangan dalam peningkatan produksi padi dan merupakan faktor yang menentukan terhadap hasil gabah.

Hasil analisis perlakuan sistem budidaya serta kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P terhadap persentase gabah hampa tersaji pada Tabel 8. Sistem budidaya PTT menghasilkan persentase gabah hampa yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya SRI yaitu masing-masing 40.9% dan 23.18%. Sistem budidaya SRI menghasilkan gabah hampa yang lebih rendah dibandingkan PTT, hal ini didukung oleh bobot 1000 butir gabah pada sistem budidaya SRI yang lebih tinggi dibandingkan PTT. Hal ini selaras dengan pernyataan Toha dan Daradjat (2008) bahwa semakin tinggi persentase gabah hampa maka bobot 1000 butir akan semakin ringan.

(43)

24

Tabel 8 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap komponen hasil

PTT 25.4a 126.8b 21.4b 40.9a

SRI 24.6b 168.6a 23.5a 23.18b

Kombinasi pemupukan

Kontrol (100% pupuk P anorganik) 24.8 157.7 23.0 35.89ab 75% pupuk P anorganik 24.8 141.2 22.1 27.56ab 75% pupuk P anorganik +BPF 24.7 136.2 19.2 46.37a 75% pupuk Panorganik +FPF 25.4 147.8 23.5 22.00b 50% pupuk P anorganik 24.7 155.7 22.7 34.78ab 50% pupuk P anorganik +BPF 25.0 150.2 22.2 42.83a 50% pupuk P anorganik + FPF 24.9 137.5 22.7 30.89ab bakteri pelarut P 25.3 164.1 23.6 23.06b fungi pelarut P 25.2 140.9 23.6 20.51b BPF + FPF (mix culture) 25.1 145.2 23.0 36.52ab

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang samamenunjukkan tidak berbeda nyata pada uji

DMRT taraf 5%.BPF = bakteri pelarut P, FPF = fungi pelarut P, MST = minggu setelah tanam

Hasil gabah

Sistem budidaya berpengaruh terhadap hasil gabah per hektar. Kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P tidak berpengaruh terhadap hasil gabah per hektar. Terdapat interaksi antara sistem budidaya serta kombinasi pemupukan P anorganik dan mikrob pelarut P terhadap hasil gabah per hektar. Hasil sidik ragam hasil gabahtersaji pada Lampiran 8.

(44)

25

Keterangan : P0 kontrol (100% pupuk P anorganik); P1 (75% pupuk P anorganik); P2 (75% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P); P3 (75% pupuk P anorganik + fungi pelarut P); P4 (50% pupuk P anorganik); P5 (50% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P); P6 (50% pupuk P anorganik + fungi pelarut P); P7 (bakteri pelarut P); P8 ( fungi pelarut P); P9 (bakteri + fungi pelarut P (mix culture)

0

Gambar 4 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap produksi gabah per hektar

Analisis serapan hara P

Serapan P tanaman sangat ditentukan oleh kontak akar dengan hara P, konsentrasi P dalam larutan tanah dan kemampuan tanaman menyerap P. Gambar 5 terlihat bahwa serapan P jerami pada sistem budidaya PTT lebih tinggi dibandingkan SRI, sedangkan serapan hara P gabah pada sistem budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan PTT. Perlakuan kombinasi pemupukan 50% dosis pupuk P anorganik + fungi pelarut P pada sistem budidaya PTT menghasilkan serapan hara P jerami yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan serapan hara P gabah pada kombinasi pemupukan 75% dosis pupuk P anorganik + fungi pelarut P pada sistem budidaya SRI menghasilkan serapan hara P gabah lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

(45)

26

Suplai hara yang tinggi dari dalam tanah dan sistem perakaran pada sistem budidaya SRI meningkatkan serapan hara P sehingga kandungan P jaringan lebih tinggi (Razie 2012). Unsur hara P digunakan tanaman sebagai sumber energi, dalam proses fotosintesis, glikolisis dan perkembangan akar. Tingginya serapan hara P pada gabah dibandingkan pada jerami diduga karena unsur hara P yang diserap tanaman ditranslokasi lebih banyak tertuju pada gabah sebagai sink yang paling kuat pada tanaman. Pada fase pengisian gabah, tanaman memerlukan P sebagai sumber energi untuk pengisian gabah.

Keterangan: P0 kontrol (100% pupuk P anorganik); P1 (75% pupuk P anorganik); P2 (75% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P); P3 (75% pupuk P anorganik + fungi pelarut P); P4 (50% pupuk P anorganik); P5 (50% pupuk P anorganik + bakteri pelarut P); P6 (50% pupuk P anorganik + fungi pelarut P); P7 (bakteri pelarut P); P8 ( fungi pelarut P); P9 (bakteri + fungi pelarut P (mix culture)

0

Gambar 5 Serapan hara P jerami dan gabah pada perlakuan sistem budidaya dan kombinasi pemupukan

Populasi mikrob pelarut P

Sistem budidaya berpengaruh terhadap populasi mikrob pelarut P pada pengamatan 7 MST dan 14 MST. Kombinasi pupuk P anorganik dan mikrob pelarut P tidak berbeda nyata terhadap populasi mikrob pelarut P pada pengamatan 7 MST dan 14 MST. Tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Hasil sidik ragam populasi mikrob pelarut P tersaji pada Lampiran 9.

(46)

27

Peningkatan populasi mikrob pelarut P pada sejalan dengan peningkatan serapan hara P gabah pada sistem budidaya SRI. Hal ini sejalan dengan penelitian Bakrie (2011) bahwa sistem budidaya SRI menghasilkan populasi mikrob pelarut P yang lebih tinggi dibandingkan konvensional. Jumlah populasi mikrob pelarut P pada sistem budidaya SRI lebih banyak dibandingkan sistem budidaya PTT diduga karena kondisi tanah pada sistem budidaya SRI yang aerob sehingga memacu aktivitas mirob yang terdapat di dalam tanah. Peningkatan aktivitas mikrob di rhizosfer sejalan dengan peningkatan jumlah P yang dilarutkan mikrob sehingga tersedia untuk tanaman. Hal ini juga mendukung sistem perakaran tanaman dalam menyerap unsur P didalam tanah.

Mikrob pelarut P hidup terutama di sekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalaman 25 cm dari permukaan tanah. Niswati et al. 2008 menyatakan bahwa jumlah populasi mikrob pelarut P yang paling banyak, yaitu pada ke dalaman 10-20 cm. Keberadaan mikrob ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi jumlah dan aktivitas hidupnya. Akar tanaman mempengaruhi kehidupan mikrob dan secara fisiologis mikrob yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran. Aktivitas mikrob yang dekat dengan perakaran tanaman meningkatkan eksudat akar yang dikeluarkan oleh akar tanaman merupakan salah satu sumber nutrisi bagi mikroorganisme di dalam tanah termasuk mikrob pelarut P. Sylvia et al. (1999) menyatakan bahwa eksudat yang dikeluarkan akar merupakan sumber karbon dan asam amino yang menyumbangkan N bagi pertumbuhan mikroorganisme tanah.

Tabel 9 Pengaruh sistem budidaya dan kombinasi pemupukan terhadap populasi mikrob pelarut P

(47)

28

Populasi mikrob pelarut P di dalam tanah dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing mikrob dalam melarutkan P serta kondisi lingkungan yang mendukung aktivitas mikrob. Subba-Rao (1982) menyatakan bahwa kemampuan mikrob pelarut P dalam melarutkan fosfat anorganik beragam dan tergantung pada lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan mikrob tersebut. Aktivitas dan kepadatan populasi mikrob tanah juga ditentukan oleh perubahan kondisi fisika dan kimia tanah (Speeding et al. 2004), keberadaan substrat (Niswati 2008), pH, kelembapan, bahan organik (Ponmurugan dan Gopi 2006), serta teknik budidaya yang diterapkan (Mehrvars et al. 2008).

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Hasil seleksi diperoleh isolat BPFA5 (Pseudomonas aeruginosa) dan isolat FPFE1 (Aspergillus niger) unggul dan memiliki kemampuan pelarutan P lebih tinggi dan bersifat non antagonis.

2. Pelakuan sistem budidaya menghasilkan jumlah anakan produktif, bobot kering tanaman, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah,hasil gabah per hektar, dan populasi mikrob pelarut P yang lebih tinggi pada sistem budidaya SRI dibandingkan sistem budidaya PTT.

3. Kombinasi 75% dosis pupuk P anorganik + mikrob pelarut P pada sistem budidaya SRI menghasilkan jumlah anakan produktif, hasil gabah per hektar, dan serapan hara P gabah yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. 4. Aplikasi mikrob pelarut P (bakteri dan fungi pelarut P) meningkatkan hasil

gabah per hektar dan serapan hara P jerami dan gabah.

Saran

Penggunaan mikrob pelarut P adalah salah satu alternatif untuk mengurangi dosis pupuk P anorganik pada sistem budidaya padi sawah.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander M. 1977. Intoduction to Soil Mycrobiology2nd Ed. New York (US): John Wiley and Sons.

Atlas RM, Bortha R. 1998. Microbial Ecology. Fundamental and Applications. California (US): The Benjamin-Cummings Pub. Co. 756 p.

Anas I. 1989. Biologi dalam Praktek. Bogor (ID): IPB Pr.

Gambar

Tabel 1Pelaksanaan sistem budidaya padi PTT dan SRI
Tabel 2 Kemampuan tumbuh dan uji indeks pelarutan P oleh mikrob pelarut P
Tabel 3 Kemampuan mikrob pelarut P dalam melarutkan P dari berbagai sumber P sukar larut(Ca3(PO4)2, FePO4,  AlPO4)
Tabel 4 Hasil uji antagonistik antara bakteri pelarut P dan fungi pelarut P
+7

Referensi

Dokumen terkait

The highest concentration premium of earthquake distribution for underwriting year 2009 is in zone 3 (DKI Jakarta and West Java). This is no surprise because zone 3 is

Tabel 1 ' Hasil analisis tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat), jenis tanah dan indeks kemantapan agregat.. Spektrum infra red gugus fungsional utama eksopolisakarida

[r]

Data primer adalah jenis data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian sebagai bahan informasi yang dicari (Azwar, 1998: 91). Data primer dalam penelitian ini adalah seluruh

[r]

Model mesin pemilah kayu secara otomatis berdasarkan panjang kayu terdiri dari rangka; rangkaian catu daya, rangkaian sensor panjang, sistem pendorong kayu, sistem konveyor

The result of this research should to strengthen the awareness teachers’ interpersonal skill is important in teaching and learning process.. why the teachers should maintain