• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi politik tokoh agama dalam proses pengambilan kebijakan publik pemerintahan kota Tangerang : studi kasus PERDA No.7 dan 8 tahun 2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Partisipasi politik tokoh agama dalam proses pengambilan kebijakan publik pemerintahan kota Tangerang : studi kasus PERDA No.7 dan 8 tahun 2005"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PARTISIPASI POLITIK TOKOH AGAMA DALAM

PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

(STUDI KASUS PERDA NO. 7 DAN 8 TAHUN 2005)

Disusun Oleh :

Rizki Pauzia

NIM: 103033227799

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PARTISIPASI POLITIK TOKOH AGAMA DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

(STUDI KASUS PERDA NO. 7 DAN 8 TAHUN 2005)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Sebagai Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh : Rizki Pauzia NIM : 103033227799

Dibawah Bimbingan

Dra. Gefarina Djohan, MA NIP : 150295488

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Partisipasi Politik Tokoh Agama dalam Proses Pengambilan Kebijakan Publik Pemerintah Kota Tangerang (Studi Kasus: Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005)” telah diterima dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

pada tanggal 28 Agustus 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana program strata satu (S1) pada jurusan Pemikiran Politik

Islam.

Jakarta, 28 Agustus 2007

Sidang Munaqasah

Ketua merangkap anggota Sekretaris merangkap anggota

Drs. Bustamin, MBA. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP : 150289320 NIP : 150188625

Penguji I Penguji II

Dr. Sirojuddin Aly, MA Drs. Syamsuri, M.Ag. NIP : 150318684 NIP : 150240089

Pembimbing

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan

pertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga tercurahkan kepada nabi dan rasul yang paling mulia Muhammad SAW, dan

keluarganya serta sahabatnya.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan banyak dukungan

dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pula penulis

berterima kasih kepada :

1. Bapak Ir. Suratno Abubakar, anggota DPRD Kota Tangerang

sekaligus Ketua Panitia Khusus (Pansus) Perda No. 7 dan 8 Tahun

2005.

2. Bapak Pdt. T Harmanto, Wakil Ketua Umum Majlis Agama Budha

Theravada Indonesia (MAGABUDHI) Wilayah Kota Tangerang.

3. Bapak WS Asyunta Pura, Ketua Umum Majlis Tinggi Agama

Konguchu Indonesia (MATAKIN) Wilayah Kota Tangerang

4. Bapak Michael Tan Wibiksana, Ketua Umum Konfrensi Wali Gereja

Indonesia (KWI) Kota Tangerang.

5. Bapak H. Junaedi Nawawi, Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia

(5)

6. Bapak Viktor Hutauruk, Ketua Umum Persatuan Gereja Indonesia

(PGI) Kota Tangerang.

7. Bapak Drs. Anak Agung Gede Anom S, Ketua Umum Parisade Kota

Tangerang.

8. Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils., Ketua Jurusan Pemikiran Politik

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, Sekretaris Jurusan Pemikiran

Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Ibu Dra. Gefarina Djohan, MA., selaku pembimbing skripsi, yang

telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi

ini.

11. Ibu Dra. Haniah Hanafie, M.Si., selaku pembimbing akademik yang

telah memberikan kemudahan dalam menyetujui proposal penulis

untuk diajukan kepada fakultas.

12. Dosen-dosen Pemikiran Politik Islam, atas transfer ilmu yang telah

diberikan. Semoga dengan ketulusan dan keikhlasan hati, ilmu yang

diberikan merupakan bekal yang berharga bagi penulis.

13. Orang tua tercinta, Bapak dan Ibu yang senantiasa memberikan do’a

dan penngorbanannya dengan ketulusan cinta dan kasih sayang yang

tak terhingga sepanjang masa.

14. Kakak-kakakku yang selalu memberikan dukungan moril maupun

(6)

15. Fredy Ismana, belahan hatiku yang selalu memberikan motivasi

dengan ketulusan cinta dan pengorbanannya. Our commitment motivates me to finish this final duty. Thank’s Honey… My love will never die.

16. Sahabat-sahat setiaku (Lynda “semoga menemukan cinta sejati”, Irna

“kapan bisa dikenalin sama dedenya?”, Khilda “semoga lekas dewasa

dan mendapat momongan”, Muthi “semoga cinta sejatinya lekas

kembali ke tanah air”, dan Baiti “semoga bisa menjadi ibu rumah

tangga yang baik”), kebersamaan kita akan selalu menjadi kenangan

terindah.

17. Amirul Hasan, Nawwal Husni (yang selalu setia menagantar

bidadari-bidadari PPI pergi) dan teman-teman PPI lainnya angkatan 2003.

Pada akhirnya, penulis pun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi

ini masih banyak terdapat kekurangan oleh karena itu

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ...i

LEMBAR PENGESAHAN ...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...vi

BAB I : PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...6

C. Tujuan Penelitian...7

D. Metode Penelitian...7

E. Sistematika Penulisan ...9

BAB II : PARTISIPASI POLITIK...11

A. Pengertian Partisipasi Politik ...11

B. Tujuan Partisipasi Politik ...12

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik ...13

D. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik ...18

BAB III : PERATURAN DAERAH (PERDA) KOTA TANGERANG NO.7 DAN 8 TAHUN 2005 ...26

A. Latar Belakang Perda No.7 dan 8 Tahun 2005 ...26

B. Tujuan Pembuatan Perda No.7 dan 8 Tahun 2005 ...32

C. Proses Penyusunan Perda No.7 dan 8 Tahun 2005...34

BAB IV : BENTUK, FAKTOR, DAN TINGKAT PARTISIPASI POLITIK...37

A. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Tokoh Agama terhadap Proses Pembuatan Perda No.7 dan 8 Tahun 2005...39

(8)

C. Tingkat Partisipasi Politik Tokoh Agama terhadap Proses

Pembuatan Perda No.7 dan 8 Tahun 2005...51

BAB V : PENUTUP ... 56

A Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara dalam mempengaruhi

proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan sekaligus sebagai wahana

dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud, antara lain:

mengajukan tuntutan, mempengaruhi dan mengajukan kritik terhadap kebijakan publik

yang ditetapkan oleh pemerintah, mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu,

memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum, dan sebagainya. Pandangan tentang

pentingnya partisipasi politik berbeda dari sistem politik yang satu terhadap sistem

politik yang lain. Pengertian dan bentuk partisipasi politik di dalam kehidupan

masyarakat yang totaliter misalnya, berbeda dengan pengertian dan bentuk partisipasi di

dalam kehidupan masyarakat demokratis. Perbedaan tersebut pun terdapat diantara

masyarakat tradisional, masyarakat sedang berkembang, dan masyarakat modern. Di

negara-negara totaliter, partisipasi politik sangat dibatasi, sedangkan pada negara

demokratis partisipasi politik setiap warga negara sangat dijunjung tinggi.

Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi

politik ialah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui

kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan

untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi,

(10)

yang absah oleh rakyat.1 Sehingga di negara-negara demokratis partisipasi politik tidak dibatasi melainkan suatu keharusan karena tanpa partisipasi politik, kehidupan politik

akan mengalami kemacetan.

Ketika rezim Otoriter Orde baru berkuasa partisipasi politik masyarkat Indonesia

sangat terbatas seperti terjadinya pemfusian partai politik, tidak ada kebebasan berbicara

dan berpendapat, tidak ada kebebasan pers, rakyat diwajibkan memilih partai politik

tertentu dalam pemilu sehingga kekuasaan rezim ini dapat bertahan selama kurang lebih

32 tahun. Bahkan pemerintah tidak segan-segan menghalalkan segala cara dengan

melakukan tindak kekerasan dalam membatasi partisipasi dengan alasan demi

menciptakan stabilitas keamanan dan ekonomi. Namun, setelah runtuhnya rezim Orde

Baru pada Mei 1998 yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa, kini Indonesia menjadi

sebuah negara yang lebih mengedepankan konsep demokrasi. Hal ini mulai ditandai

dengan adanya kebebasan pers, kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan

mendirikan partai politik dengan berbagai aliran atau ideologi, presiden dan wakil

presiden dapat dipilih secara langsung oleh rakyat begitu pula dengan kepala daerah.

Kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik tidak hanya di

tingkat pusat. Di tingkat daerah pun masyarakat memiliki hak yang sama dalam

berpartisipasi.

Partisipasi politik masyarakat ditingkat daerah merupakan partisipasi yang

bertujuan untuk mempengaruhi proses kebijakan publik pemerintah yang berlaku dalam

1

(11)

ruang lingkup daerah masing-masing baik Daerah Tingat I yaitu propinsi maupun

Daerah Tingkat II yaitu Kabupaten/Kotamadya.

Partisipasi politik masyarakat tidak hanya terbatas pada pemilihan umum tetapi

juga menyangkut kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi proses kebijakan publik

pemerintah. Karena secara ideal, lahirnya kebijakan publik merupakan upaya untuk

menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat (publik) di suatu wilayah.

Karena kebijakan publik merupakan upaya untuk menanggulangi masalah publik, maka

sepatutnya kebijakan itu berorientasi pada kepentingan publik. Untuk itu partisipasi

masyarakat dianggap penting dalam penyusunan kebijakan, karena warga

masyarakatlah yang paling memahami dan merasakan langsung kebutuhan dan masalah

yang dihadapinya. Sudah selayaknya, dalam tatanan sebuah negara yang demokratis

unsur masyarakat tidak hanya sebagai objek pengambilan kebijakan publik melainkan

pula elemen penentu kebijakan yang akan diambil.

Dari setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, masyarakatlah yang paling

merasakan dampaknya. Sehingga masyarakat memiliki hak untuk dimintai pendapatnya

yang akan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijaksanaan. Dalam struktur

politik, partisipasi masyarakat merupakan suatu input untuk mempengaruhi proses

pembuatan kebijakan publik pemerintah. Karena kebijakan publik adalah jalan

mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan maka sudah sepatutnya pemerintah

melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik demi terciptanya

(12)

Menurut Bailey (1990) yang dikutip kembali oleh Amir Fadillah ada beberapa

faktor yang menyebabkan partisipasi politik masyarakat, yaitu: 2

Pertama, adanya keyakinan bahwa keputusan terbaik hanya bisa diambil apabila dalam prosesnya melibatkan semua pihak yang berkepentingan dan masyarkat yang

terkena dampaknya. Kedua, memberikan informasi kepada masyarakat yang berkepentingan dan untuk mendapatkan feed-back (umpan balik) dalam bentuk pengetahuan lokal. Ketiga, adanya partisipasi masyarakat akan dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik dalam arti keputusan tersebut dapat diterima karena

masyarakat dilibatkan. Dengan adanya partisipasi masyarakat, minimal para pengambil

keputusan dapat mengukur sampai sejauhmana reaksi masyarakat terhadap program

tersebut baik yang mendukung maupun yang menentangnya.

Pemerintah Kota Tangerang adalah pemerintahan yang berada di Daerah Tingat

II dengan jumlah penduduk sekitar 1.407.084 jiwa. Masyarakat Kota Tangerang

merupakan masyarakat yang plural. Pluralitas masyarakat Kota Tangerang ditandai

dengan adanya keanekaragaman dalam beragama, status ekonomi, sosial, suku, dan

budaya. Pluralitas keagamaan ditandai dengan keberagaman agama yang dianut oleh

masyarakat antara lain agama Islam dengan jumlah pemeluk sebanyak 90.19%, 3.47%

Protestan, 2,43% Katolik, 0,36% Hindu, dan 3,55% Budha dan Konguchu.3 Status ekonomi atau mata pencarian masyarakat Kota Tangerang antara lain di bidang industri,

pertanian, perdagangan, perbankan dan lembaga keuangan dan sebagainya. Mayoritas

2

Amir Fadillah, “Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial dan Sumber ketahanan Sosial Masyarakat Pedesaan,” Fajar: Jurnal LPM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 5 No. 1 (November 2003): h. 7.

3

(13)

masyarakat bekerja di bidang industri karena lapangan pekerjaan yang tersedia di

bidang industri cukup banyak yaitu mencapai 2.731 sedangkan sektor pertanian hanya

tersedia 1 87 lahan pertanian, di bidang perdagangan 1.180, dan di

bidang perbankan dan lembaga keuangan tersedia 1.253 lapangan pekerjaan.4 Keberagaman dan pertumbuhan penduduk Kota Tangerang tidak hanya disebabkan oleh

pertumbuhan secara alamiah, tetapi tidak lepas karena pengaruh migran yang masuk

yang disebabkan oleh daya tarik Kota Tangerang dengan berkembangnya potensi

industri, perdagangan dan jasa sehingga mengakibatkan tersedianya lapangan pekerjaan.

Pluralitas yang terjadi di Kota Tangerang yang diiringi oleh pesatnya arus

modernisasi dapat menimbulkan potensi tindak kriminal. Kriminalitas terbanyak yang

terjadi di Kota Tangerang adalah pada kasus narkoba yaitu sebanyak 310 kasus dan

praktik prostitusi kian marak hingga merambah ke pingir-pinggir jalan protokol.5 Untuk mengatasi masalah tersebut dan sebagai salah satu upaya Pemerintah Kota Tangerang

untuk mewujudkan visi dan misi Kota Tangerang yaitu menciptakan masyarakat yang

Berakhlakul Karimah dan beritikad baik dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat maka unntuk mewujudkan visi dan misi tersebut, Pemerintah Kota Tangerang

mengupayakan pembuatan kebijakan publik atau Peraturan Daerah (Perda) No.7 Tahun

2005 tentang pelarangan pengedaran dan penjualan minuman beralkohol/memabukkan

serta Perda No.8 tentang pelarangan prostitusi. Namun pada kenyataannya kedua perda

ini cukup memicu kontroversi di kalangan masyarakat, baik masyarakat Kota

Tangerang mapun masyarakat yang berada di luar Kota Tangerang terutama Perda No.

4

Data Diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemda Kota Tangerang, tanggal 4 September 2007.

5

(14)

8 tentang pelarangan prostitusi. Terjadinya kontrovrsi pada Perda No. 8 karena sebagian

orang beranggapan bahwa perda tersebut merugikan pihak perempuan atau bias gender.

Selain itu ada juga yang beranggapan bahwa kedua perda ini merupakan usaha

pemerintah untuk menegakkan syariat Islam. Pro dan kontra dalam kedua perda ini

ditunjukan melalui tulisan-tulisan di media massa, demonstrasi massa, dan sebagainya.

Hal ini membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam mengapa terjadi

kontroversi pada Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005 dan apakah kontroversi ini terjadi

karena masyarakat tidak dilibatkan dalam proses kebijakan publik tersebut?

Bertitik tolak atas pemikiran dan keadaan di atas, maka penulis tertarik untuk

mengetahui partisipasi politik masyarakat Kota Tangerang khususnya tokoh agama

terhadap dua bentuk kebijakan publik pemerintah Kota Tangerang tentang pelarangan

minuman keras dan prostitusi yang tertera dalam Peraturan Daerah No 7 dan 8 Tahun

2005.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis hanya membatasi

masalah pada partisipasi politik tokoh agama yang berada dalam organisasi keagamaan

tehadap proses kebijakan publik pemerintah Kota Tangerang khususnya Perda No. 7

dan 8 Tahun 2005. Agar pembahasan ini lebih terfokus, maka penulis membuat

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk partisipasi politik tokoh agama dalam proses pengambilan

(15)

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi politik tokoh agama dalam proses

pengambilan kebijakan publik pemerintah Kota Tangerang (Perda No. 7 dan 8

Tahun 2005).

3. Bagaimana tingkat partisipasi politik tokoh agama dalam proses pengambilan

kebijakan publik pemerintah Kota Tangerang (Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005).

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penilitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk partisipasi politik tokoh agama dalam proses pengambilan

kebijakan publik pemerintah Kota Tangerang (Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005).

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong aktivitas partisipasi

politik tokoh agama dalam proses pengambilan kebijakan publik pemerintah Kota

Tangerang (Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005).

3. Untuk mengetahui tingkat partisipasi politik yang dilakukan oleh tokoh agama

dalam proses pengambilan kebijakan publik pemerintah Kota Tangerang (Perda No.

7 dan 8 Tahun 2005).

D. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Dalam penelitian yang membahas mengenai Partisipasi Politik Tokoh Agama

dalam Proses Pengambilan Kebijakan Publik Pemerintah Kota Tangerang (Perda No. 7

(16)

Taylor, metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati,6 dalam hal ini objek penelitiannya adalah tokoh agama yang berada dalam organisasi keagamaan di Kota

Tangerang.

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah:

a. Penelitian Lapangan (field research), yaitu penelitian dengan cara mencermati langsung objek yang diteliti guna memperoleh data yang otentik.

b. Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu dengan cara membaca, memahami dan menginterpretasikan informasi dari buku-buku dan media

cetak lainnya yang ada hubunganya dengan materi skripsi.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara

Teknik wawancara ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan

informasi melalui tanya jawab dengan mengajukan beberapa pertanyaan

yang tidak berstruktur, maksudnya susunan pertanyaan dan susunan

kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat berubah pada saat wawancara karena

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara. Teknik

wawancara ini dapat memberikan informasi secara langsung dari responden

atau informan.

b. Dokumenter

6

(17)

Teknik ini dilakukan dengan cara memperoleh data-data primer maupun

sekunder melalui literatur-literatur baik dari media cetak maupun visual yang

tentunya berhubungan dengan topik penelitian yang dibahas dalam skripsi

ini.

3. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik

deskriptif-analisis. Deskriptif-Analisis adalah menganalisis data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan para tokoh agama yang berada dalam

organisasi keagamaan dan pihak pemerintah Kota Tangerang yang terkait

dengan proses pengambilan kebijakan publik tersebut.

Sistematika Penulisan

Agar tersusun rapih dan sistematis, maka dalam penulisan bahasan skripsi ini

dibagi ke dalam beberapa bab, yang secara rinci adalah sebagai berikut:

Dimulai dengan bab pertama, dalam bab awal ini dimulai dengan latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Selanjutnya pada bab kedua yang merupakan landasan teori yang membahas

secara konseptual tentang pengertian partisipasi politik, tujuan partisipasi politik,

faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik, dan bentuk-bentuk partisipasi politik.

Selanjutnya dalam bab ketiga membahas tentang Peraturan Daerah (Perda) No.7

dan 8 Tahun 2005. Pembahasan pada bab ini meliputi latar belakang, tujuan pembuatan,

(18)

Kemudian pada bab keempat menjelaskan mengenai partisipasi politik tokoh

agama dalam Proses Pengambilan Kebijakan Publik Pemerintah Kota Tangerang (Perda

No.7 dan 8 Tahun 2005). Dalam bab ini dibahas mengenai bentuk-bentuk partisipasi

politik tokoh agama, faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik tokoh agama,

dan tingkat partisipasi politik tokoh agama terhadap proses pembuatan Peraturan Daerah

No.7 dan 8 Tahun 2005.

Terakhir bab kelima, bab ini adalah bab penutup yang merupakan kesimpulan

(19)

BAB II PARTISIPASI POLITIK

A. Pengertian Partisipasi Politik

Dalam praktiknya, masyarakat Indonesia masih banyak yang belum menyadari

bahwa kegiatan dan aktivitasnya yang berkaitan dengan pemerintah merupakan salah

satu bentuk partisipasi politik mereka sebagai warga negara. Sebagai contoh ketika

mereka dihadapkan pada pemilihan umum (general election) untuk mengangkat wakil rakyat di parlemen atau mungkin pada pemilihan presiden maupun kepala daerah secara

langsung, masyarakat berbondong-bondong datang ke TPS terdekat untuk

menggunakan hak pilih mereka sekalipun mereka memvonis diri untuk tidak ingin

terlibat dalam kancah politik pemerintah. Peran serta masyarakat dalam kegiatan

kampanye sampai kepada pemilihan umum pada hakikatnya merupakan partisipasi

masyarakat dalam kegiatan politik walaupun tanpa mereka sadari. Sampai sejauh ini

banyak pakar yang mendefinisikan partisipasi politik sebagai keterlibatan individu

sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Peran serta

masyarakat merupakan kata lain dari istilah standar dalam ilmu politik,yaitu partisipasi

politik. Partisipasi politik dapat didefinisikan sebagai upaya warga masyarakat, baik

secara individual maupun kelompok, untuk ikut serta mempengaruhi pembentukan

kebijakan publik dalam sebuah negara.7

7

(20)

Di samping itu, dijelaskan pula bahwa partisipasi politik diartikan sebagai

penentuan sikap dan keterlibatan setiap individu dalam situasi dan kondisi

organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan

serta dalam pencapaian tujuan organisasi serta ambil bagian dalam setiap

pertanggungjawaban bersama.8 Upaya ini tentunya dilakukan berdasarkan kesadaran terhadap tanggung jawab dalam kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu

negara. Menurut Huntington, partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warga negara

preman (private civilization) yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.9 Dengan partisipasi politik kita mengacu pada semua aktivitas yang sah oleh warga negara yang kurang lebih langsung dimaksudkan untuk

mempengaruhi pemilihan pejabat pemerintahan dan/atau tindakan-tindakan yang

mereka ambil. Hal ini sejalan pula dengan definisi yang diungkapkan oleh RR Maran

yang menyatakan bahwa partisipasi adalah usaha terorganisir oleh warga Negara untuk

memilih pemimpin-pemimpin mereka dan mempengaruhi bentuk dan jalannya

kebijaksanaan umum.10

B. Tujuan Partisipasi Politik

Melalui definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa para ahli politik

tersebut, dapatlah diketahui bahwa pada dasarnya partisipasi politik bertujuan untuk

mempengaruhi pembentukan kebijakan publik, menentukan dan memilih pemimpin

8

Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia (Surabaya:SIC,2002), h.127. 9

Samuel P.Huntington & Joan M Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang

(Jakarta:Rineka Cipta,1990), h.6. 10

(21)

serta melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan keinginannya dan keinginan

kelompoknya.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

Kebutuhan anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam masalah-masalah

politik tidak jarang berbenturan dengan atau bertolak belakang dengan kekuasaan

politik yang dimiliki negaranya. Benturan semacam ini, berkaitan erat dengan tingkat

sosialisasi politik yang dikembangkan oleh negara yang bersangkutan. Perbandingan

setiap warga negara dalam menentukan tingkat partisipasi politik warganya amat

bervariasi, bahkan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik, memberi

suara, atau untuk menduduki jabatan pemerintahan telah dibatasi hanya untuk kelompok

kecil orang yang berkuasa, kaya, dan keturunan terpandang.

Partisipasi politik berbeda-beda antara masyarakat yang satu terhadap

masyarakat yang lain disertai dengan kadar partisipasi politik yang juga bervariasi.

Variasi sikap politik masyarakat ini ada yang berwujud apatisme, sinisme, alienasi, dan anomi. Apatisme politik adalah sikap yang dimiliki orang yang tidak berminat (menghindarkan diri) atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala

umum maupun khusus yang ada dalam masyarakatnya. Sinisme politik sikap yang dimiliki orang yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan perasaan curiga.

Orang yang demikian beranggapan bahwa politik merupakan urusan yang kotor, bahwa

(22)

tidak punya moral dan tidak tahu malu. Alienasi politik merupakan perasaan keterasingan seseorang dari kehidupan politik dan pemerintahan masyarakat dan anomi

politik adalah perasaan kehilangan nilai dan arah hidup sehingga tidak bermotivasi

untuk mengambil tindakan-tindakan yang berarti dalam hidup ini.11

Kecenderungan ke arah partisipasi warga negara yang lebih luas dalam politik

sebetulnya bermula pada masa Renaisance dan Reformasi pada abad 15 sampai abad 17 dan memperoleh dorongan yang kuat pada masa ”zaman terang” dan revolusi industri

abad 18 dan 19. 12

Menurut Myron Weiner yang dikutip kembali oleh Arifin Rahman dalam Sistem Politik Indonesia, setidaknya terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik,antara lain :13

1. Modernisasi; Komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat, penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media

komunikasi masa. Ketika penduduk kota baru – yaitu buruh, pedagang dan kaum

profesional – merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri,

mereka makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.

2. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial; Begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan

modernisasi, masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan

keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam

pola partisipasi politik.

11

Rafael Raga Maran, PengantarSosiologi Politik, h. 155. 12

Mochtar Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta:UGM Press,1995), h.45. 13

(23)

3. Pengaruh kaum Intelektual dan Komunikasi Massa Modern; Kaum intelektual – sarjana, filosof, pengarang, dan wartawan – sering mengemukakan ide-ide seperti

egalitarianisme dan nasionalisme kepada masyarakat umum untuk membangkitkan

tuntutan akan partisipasi massa yang luas dalam pembuatan keputusan politik.

Sistem-sistem transportasi dan komunikasi modern memudahkan dan mempercepat

penyebaran ide-ide baru. Kaum intelektual telah sejak lama menjadi pembuat dan

penyebar ide-ide yang mampu merubah sikap dan tingkah laku dari kelas sosial lain.

Melalui kaum kaum intelektual dan media komunikasi modern, ide demokratisasi

partisipasi telah tersebar ke bangsa-bangsa baru merdeka jauh sebelum mereka

mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.

4. Konflik diantara Kelompok-kelompok Pemimpin Politik; Kalau timbul kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa digunakan oleh kelompok-kelompok

yang saling berhadapan adalah mencari dukungan rakyat. Dalam hal ini mereka

tentu menganggap sah dan memperjuangkan ide-ide partisipasi massa dan akibatnya

menimbulkan gerakan-gerakan yang menuntut agar ”hak-hak” ini dipenuhi. Jadi,

kelas-kelas menengah dalam perjuangannya melawan kaum aristokrat telah menarik

kaum buruh dan membantu memperluas hak-hak pilih rakyat.

5. Keterlibatan Pemerintah yang Meluas dalam Urusan Sosial, Ekonomi, dan Kebudayaan; Perluasan kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijaksanaan baru biasanya berarti bahwa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintah menjadi

semakin menyusup ke segala segi kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah

(24)

dengan mudah dapat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pemerintah yang mungkin

dapat ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya

tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan

keputusan politik.

Sementara itu untuk melengkapi uraian di atas, dapat dijelaskan pula bahwa

faktor utama yang mendorong orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik

pertama adalah kepuasan finansial. Orang yang memiliki status ekonomi yang rendah menyebabkan seseorang cenderung merasa teralienasi dari kehidupan politik dan

kemudian orang tersebut akan lebih terlihat apatis terhadap aktivitas politik. Keadaan

yang sama akan berbeda hasilnya bila dipandang kepada orang yang memiliki

kemapanan dalam perekonomian dan finansial. Mereka akan lebih terlihat aktif dalam

kegiatan politik bahkan tak sedikit pula yang menceburkan benar-benar dalam

kepartaian maupun dewan parlemen.

Kedua, faktor lain yang cukup signifikan adalah adanya perangsang yang dapat menarik orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Dalam hal ini minat untuk

berpartisipasi dapat dipengaruhi misalnya oleh intensitas dalam mengikuti

diskusi-diskusi politik melalui media masa atau melalui diskusi-diskusi informal.

Ketiga, karena faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang-orang yang berwatak sosial, yang punya kepedulian besar terhadap problem sosial, politik,

ekonomi, dan lainnya, biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik. Keempat, karena

faktor karakter sosial seseorang. Karakter sosial menyangkut status sosial ekonomi,

(25)

mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku seseorang dalam bidang politik. Orang

yang berasal dari lingkungan sosial yang lebih rasional dan menghargai nilai-nilai

seperti keterbukaan, kejujuran, keadilan, dan lainnya tentu akan mau juga

memperjuangkan tegaknya nilai-nilai tersebut dalam bidang politik.

Keempat, faktor situasi atau lingkungan politik itu sendiri. Lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan

politik. Dalam lingkungan politik yang demokratis, orang merasa lebih bebas dan

nyaman untuk terlibat dalam aktivitas politik daripada dalam lingkungan politik yang

totaliter. Lingkungan politik yang sering diisi dengan aktivitas-aktivitas brutal dan

kekerasan dengan sendirinya menjauhkan masyarakat dari wilayah politik.

Sejalan dengan faktor-faktor yang menyebabkan partisipasi politik tersebut di

atas, Rafael Maran mengutip pernyataan Morris Rosenberg yang mengemukakan

bahwa terdapat tiga alasan mengapa orang tidak mau berpartisipasi dalam kehidupan

politik, antara lain :14

Pertama, karena ketakutan akan konsekuensi negatif dari aktivitas politik. Pada hal ini orang beranggapan bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap

kehidupannya. Kedua, karena orang beranggapan bahwa berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan kesia-siaan. Menganggap sia-sia karena partisipasi politiknya tidak

akan mempengaruhi proses dan hasil politik pemerintah. Mengingat pemerintahan di

masa Orde Baru, rakyat banyak sekali yang terjangkit sydrome ini. Pada masa tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa pemenang dalam pemilihan umum adalah partai yang

14

(26)

berkuasa dalam parlemen dan pemerintahan sehingga cukup beralasan kalau rakyat pada

masa itu menganggap partisipasi politik sebagai upaya menggugurkan kewajiban

sebagai warga negara yang memiliki hak pilih. Ketiga, alasan orang untuk tidak

berpartisipasi politik mungkin disebabkan karena tidak adanya perangsang untuk

berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam hal ini tidak ada hasil yang dapat dipetik

dari partisipasi tersebut maka orang pun enggan untuk melakukan partisipasi dalam

aktivitas politik.

D. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Partisipasi politik sebagai peran serta masyarakat secara kolektif di dalam proses

penentuan pemimpin, pembuatan kebijakan publik, dan pengawasan proses

pemerintahan di sepanjang Indonesia merdeka mengalami penurunan secara

terus-menerus. Untuk merealisasikan hak berpartisipasi dalam politik, masyarakat dan negara

waktu itu mengembangkan berbagai wadah mulai dari kelompok kepentingan, ormas,

partai politik, dan lembaga perwakilan rakyat sampai kepada sistem perwakilan politik

yang otonom dan fungsional.

Lebih jauh dari itu, kegiatan partisipasi politik pun dilakukan pula melalui opini

publik dan kekuatan masa sehingga media masa dipenuhi tuntutan rakyat dan tempat

umum serta kantor lembaga publik dipenuhi demonstran. Kegiatan tersebut lebih

disemarakkan dengan aksi mogok dan demonstrasi unjuk kekuatan massa.

Semua kegiatan tersebut terkait dan bermuara kepada tiga hal yakni fungsi

(27)

pembuatan kebijakan, dan mengawasi proses politik. Mungkin harus disadari bersama,

bahwa pada moment itulah partisipasi politik mulai dimanfaatkan sebagai mekanisme

beroperasinya nilai moral di dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan negara.

Partisipasi politik masyarakat dapat dilakukan dapat dilakukan secara langsung

maupun tidak langsung. Secara langsung, partisipasi politik dilakukan melalui

kontak-kontak langsung dengan para pejabat negara yang ikut dalam menentukan pembuatan

kebijakan publik. Sedangkan secara tidak langsung kegiatan partisipasi dapat dilakukan

melalui media massa yang ada, misalnya dengan menuliskan pikiran dan pandangan

pada sebuah koran atau majalah terhadap hal-hal yang menjadi sorotan publik.

Pada umumnya partisipasi politik rakyat ada yang bersifat mandiri

(autonomous), dimana individu dapat melakukan kegiatannya atas inisiatif dan

keinginan dari yang bersangkutan semata-mata karena rasa tanggung jawabnya dalam

kehidupan politik, atau didorong oleh keinginan untuk mewujudkan keinginannya atau

kelompoknya. Partisipasi politik juga dapat dilakukan bukan atas inisiatif dan kehendak

sendiri, melainkan karena diminta atau digerakkan oleh orang lain ataupun

kelompoknya. Partisipasi semacam inilah yang disebut partisipasi yang

dimobilisasikan.15

Menurut Samuel Huntington, peran serta atau partisipasi masyarakat dapat

dikategorikan ke dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :16

1. Electoral activity, adalah segala kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan pemilu termasuk dalam kegiatan ini adalah ikut serta

15

Samuel P Huntington & Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, h. 8 16

(28)

memberikan dana untuk kampanye sebuah partai politik, memberikan suara,

mengawasi perhitungan dan pemilihan suara, dan mengajak serta mempengaruhi

seseorang untuk mendukung partai tertentu.

2. Lobbying, yaitu tindakan seseorang maupun kelompok untuk menghubungi pejabat pemerintah ataupun tokoh politik dengan tujuan untuk mempengaruhi pejabat atau

tokoh politik tersebut ikut serta dalam masalah yang menyangkut dan

mempengaruhi kehidupan mereka.

3. Organizational Activity, adalah keterlibatan warga masyarakat ke dalam berbagai organisasi politik dan sosial baik sebagai pemimpin, aktivis, maupun anggota.

4. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh warga negara dengan langsung mendatangi maupun menghubungi lewat telepon pejabat pemerintah ataupun tokoh

politik.

5. Violence, adalah cara-cara yang ditempuh melalui jalan kekerasan untuk mempengaruhi pemerintah, cara yang ditempuh ini dapat dilakukan dengan cara

pengrusakan terhadap barang ataupun individu.

Bentuk-bentuk partisipasi politik seseorang tampak dalam aktivitas-aktivitas

politiknya dan memiliki perbedaan bentuk dan intensitasnya. Perbedaan tersebut

biasanya didasarkan atas frekuensi dan intensitasnya.Orang yang melakukan partisipasi

secara tidak intensif yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan biasanya tidak

berdasarkan prakarsa sendiri, seperti memberikan suara dalam pemilu, besar sekali

jumlahnya. Sebaliknya, orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri

(29)

Presiden, anggota legislative, dan sebagainya.17 Hal tersebut dapat digambarkan dalam bentuk piramida partisipasi politik.

Menduduki jabatan politik atau administratif

Mencari jabatan politik atau administratif

Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi politik

Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi politik

Menjadi anggota aktif dalam suatu organisasi semi-politik

Menjadi anggota pasif dalam suatu organisasi semi-politik

Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya

Partisipasi dalam diskusi politik formal

Partisipasi dalam pemungutan suara (voting)

17

(30)

Pernyataan tersebut dapat digambarkan dalam sebuah hierarki dengan statement

pertama sebagai puncak hierarki. Hierarki tersebut berlaku untuk berbagai tipe sistem

politik. Pada puncak hierarki terdapat orang-orang yang menduduki berbagai macam

jabatan, baik para pemegang jabatan politik maupun para anggota birokrasi pada

berbagai tingkatan. Mereka yang menempati puncak hierarki ini memiliki kepentingan

langsung dengan pelaksanaan kekuasaan politik formal. Di bawah para pemegang

jabatan politik formal adalah para anggota berbagai organisasi politik atau semi politik.

Termasuk di dalamnya adalah semua jenis partai politik dan kelompok kepentingan.

Baik partai politik dan kelompok kepentingan merupakan organisasi yang berfungsi

sebagai wadah yang memungkinkan para anggota masyarakat berpartisipasi dalam

aktivitas politik yang meliputi upaya mempertahankan gagasan, posisi, orang atau

kelompok-kelompok tertentu melalui sistem politik yang bersangkutan.18

Partisipasi dalam bentuk partai politik dan kelompok kepentingan dapat bersifat

aktif maupun pasif. Partisipasi aktif merupakan kegiatan seseorang dalam aktivitas

politik dengan menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam suatu organisasi politik,

memberikan dukungan keuangan, atau membayar iuran anggota dan aktif menjaga dan

melaksanakan Anggaran Dasar partai.19

Bentuk partisipasi yang lain adalah dengan mengikuti rapat-rapat umum dan

diskusi terbuka yang diselenggarakan oleh suatu organisasi politik maupun kelompok

kepentingan tertentu. Partisipasi semacam ini dapat bersifat spontan namun sering juga

difasilitasi oleh partai-partai politik untuk memenuhi agenda politiknya. Melalui

18

Rafael raga Maran, Pengantar SosiologiPolitik, h. 149. 19

(31)

keadaan seperti ini, partisipasi politik seseorang bukan didasarkan atas kesadarannya

sendiri melainkan karena dimobilisasi.20

Sejak berkembangnya reformasi di negeri ini, hal-hal yang diangkat dan dikaji

melalui forum diskusi baik di media televisi maupun rapat umum sering kita jumpai.

Apalagi menjelang pemilihan umum, biasanya para kandidat calon pemimpin maupun

partai politik yang mengusulkan dan mendukung pasangan calonnya masing-masing,

mengadakan diskusi mengangkat permasalahan yang menarik dan marak untuk

diperbincangkan. Melalui wahana inilah orang bebas mengemukakan pendapat serta

sikap politiknya. Hal ini dimungkinkan karena adanya hubungan yang familiar dan bersahabat antara peserta diskusi dengan penyaji dan narasumber.

Bentuk partisipasi politik yang tidak menuntut banyak upaya adalah

memberikan suara dalam suatu pemungutan suara. Kegiatan ini merupakan aktivitas

yang paling sederhana karena untuk melakukan partisipasi ini yang diperlukan hanyalah

sedikit inisiatif.21

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang hampir sama dengan pernyataan Samuel

Huntington juga dikemukakan oleh Collin Andrews yang membagi bentuk partisipasi

politik menjadi bentuk yang Konvensional dan Non-Konvensional. Menurutnya,

kegiatan politik konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang ”normal” dalam

demokrasi modern. Sedangkan bentuk partisipasi non-konvensional adalah beberapa

kegiatan partisipasi politik yang dilakukan secara legal maupun ilegal dan

20

Rafael raga Maran, Pengantar SosiologiPolitik, h. 150. 21

(32)

revolusioner.22 Aktivitas dan partisipasi politik konvensional dapat berupa : pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, serta komunikasi individual dengan pejabat politik dan

administratif. Berbeda dengan partisipasi non-konvensional yang terdiri atas : pengajuan

petisi, demonstrasi, konfrontasi, aksi mogok, tindak kekerasan politik terhadap

benda-benda (anarki), tindakan kekerasan terhadap manusia seperti penculikan dan pembunuhan, serta perang gerilya dan revolusi.

Pemberian suara (voting) merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling umum digunakan. Dalam negara-negara yang totaliter misalnya, cara ini digunakan

lebih sebagai alat bagi penguasa untuk memilih siapa yang seharusnya menjalankan

kekuasaan. Bagi negara yang berpartai tunggal, voting lebih ditujukan untuk memberi kesempatan kepada penguasa untuk dapat memobilisasi rakyatnya dan bukan sebagai

kesempatan bagi rakyat dalam mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah atau bahkan

memilih pemimpin pemerintahan. Sebenarnya terdapat kekurang-efektifan dalam

melaksanakan partisipasi politik ini, penolakan untuk ikut dan berperan serta dalam

memberikan suara dapat dianggap sebagai penolakan dan protes halus bagi mereka yang

tidak setuju terhadap cara ini.

Demonstrasi, protes, dan tindakan kekerasan kadangkala menjadi pilihan bagi

mereka yang menganggap ini adalah bagian dari partisipasi politiknya. Sejak digelarnya

fase reformasi di Indonesia, demonstrasi dan protes terhadap kebijakan publik bahkan

sampai kepada tindakan kekerasan melawan aparat menjadi hal yang tak asing lagi

22

(33)

untuk dilihat. Hampir di setiap konflik kepentingan yang melibatkan pejabat atau

pemimpin dengan rakyat dan bawahannya selalu diselesaikan dan diakhiri dengan

sebuah demonstrasi. Agaknya kita mulai salah mengartikan reformasi sebagai bagian

dan kesempatan untuk meluapkan emosi yang selama ini terpendam.

Reformasi yang kebablasan inilah yang merusak citra demonstrasi sebagai

bagian partisipasi politik non-konvensional. Disamping demonstrasi dan protes,

tindakan kekerasan yang umum terjadi adalah kudeta, dimana sekelompok kecil

konspirator, biasanya dari kalangan militer, berusaha untuk menggulingkan

pemerintahan yang sah dan menggantikannya dengan suatu kelompok penguasa baru

atau bahkan menciptakan rezim baru. Di Indonesia, kudeta pernah terjadi ketika terjadi

pemberontakan G30S/PKI oleh sekelompok pejabat militer untuk mengganti dasar dan

ideologi negara. Kini, yang nampak mengancam adalah bukan lagi bahaya laten

tersebut, melainkan pemberontakan terhadap negara kesatuan Republik Indonesia untuk

melepaskan dan menyatakan referendum, seperti halnya Tim-tim yang berhasil

meneriakkan referendumnya. Bentuk partisipasi politik yang berwujud demonstrasi,

protes, dan tindakan kekerasan ini biasanya dipergunakan oleh orang untuk

mempengaruhi kehidupan politik dan kebijaksanaan pemerintah bila bentuk-bentuk dan

aktivitas partisipasi politik lainnya tidak dapat dilakukan dan dipandang tidak efektif

(34)

Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran

untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, serta kepuasan

warga negara.23

23

(35)

BAB III

KEBIJAKAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA TANGERANG

(PERATURAN DAERAH NO. 7 DAN 8 TAHUN 2005)

A. Latar Belakang Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005

Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga

berwenang untuk memecahkan masalah atau mewujudkan tujuan yang diinginkan

masyarakat.24 Kebijakan publik dibuat untuk mengatasi masalah yang ada dalam masyarakat. Masalah tersebut menjadi masalah publik yang memerlukan intervensi

pemerintah karena masyarakat tidak dapat menyelesaikannya sendiri. Maka kebijakan

publik merupakn wewenang pemerintah untuk mengatasi segala masalah yang

menyangkut kehidupan bersama agar tercapai tujuan dan cita-cita bersama.

Kebijakan publik sebenarnya adalah kontrak antara rakyat dengan penguasa

akan hal-hal penting apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, sebuah

istilah yang diikonkan terhadap Jean Jacques Rousseau. Demokrasi adalah sebuah

suasana di mana seorang penguasa dipilih bukan atas dasar kelahiran atau kekerasan

namun atas dasar sebuah kontrak yang dibuat bersama melalui pemilihan umum

langsung atau tidak langsung dan siapa pun yang menjadi penguasa harus membuat

kontrak sosial dengan rakyatnya. Kebijakan publik adalah kontrak sosial itu sendiri.25

24

Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik (Jakarta: Suara Bebas, 2006), h. 38. 25

(36)

Karena kebijakan publik adalah kontrak sosial, maka kebijakan publik

merupakan intervensi pemerintah untuk mengatur kehidupan publik agar dapat menjadi

yang lebih baik. Sedangkan publik atau rakyat itu sendiri harus menaatinya karena telah

terjalin kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Namun kebijakan publik juga harus

sesuai dengan aspirasi rakyat.

Ada banyak kejadian yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya

ada yang kita anggap sebagai kejadian biasa yang tidak memmpunyai suatu akibat pada

manusia. Di lain pihak ada kejadian yang mempunyai akibat negatif terhadap kehidupan

manusia yang kita sebut sebagai massalah. Ketika masalah yang terjadi dalam

kehidupan masyarakat kemudian diperbincangkan dan menimbulkan opini publik maka

masalah ini disebut sebagai isu. Namun tidak semua masalah atau isu yang ada dalam

masyarakat dijadikan sebagi agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan.

Kebijakan publik dibuat karena adanya isu atau masalah yang bersifat mendasar yang

menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama. Isu ini diangkat sebagai

agenda politik untuk diselesaikan.26

Said Zainal Abidin dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Publik memberikan kriteria isu yang dapat masuk dalam agenda kebijakan, antara lain:27 (1) isu yang dinggap telah mencapai tingat kritis sehingga tidak bisa diabaikan; (2) isu yang

sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat; (3) isu yang menyangkut aspek

tertentu dalam suatu masyarakat. Misalnya, isu SARA di Indonesia; (4) isu yang

menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat

26

Riant Nugroho D, Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, h. 101. 27

(37)

jika diabaikan; (5) isu yang berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi; (6) isu yang

berkenaan dengan trend yang berkembang dalam masyarakat

Apakah peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah Kota Tangerang

mengenai pelarangan pengedaran dan penjualan minuman keras/beralkohol yang tertera

dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2005 dan pelarangan prostitusi dalam Peraturan

Daerah No. 8 Tahun 2005 dilatar belakangi oleh isu atau masalah publik yang harus

dijadikan sebagai agenda pemerintah untuk diproses menjadi suatu kebijakn publik.

Peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah Kota Tangerang mengenai

pelarangan pengedaran dan penjualan minuman keras/beralkohol yang tertera dalam

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2005 dan pelarangan prostitusi dalam Peraturan Daerah

No. 8 Tahun 2005 tentunya dilatarbelakangi oleh isu atau masalah penting yang ada

dalam masyarakat Kota Tangerang yang harus diselesaikan agar masyarakat dapat

menjadi lebih baik.

Kota Tangerang secara geografis berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan

menjadi bagian dari pengembangan metropolitan Jabotabek, serta menjadi pintu

gerbang bagi masuknya pergerakan orang, barang dan jasa ke Propinsi Banten. Kondisi

inilah yang menjadikan Kota Tangerang memiliki letak strategis yang memberikan

keuntungan tersendiri bagi perkembangan pembangunan Kota Tangerang. Dukungan

aksesibilitas yang baik, ketersediaan sarana dan prasarana, kemudahan berinvestasi,

kondisi lingkungan yang kondusif menjadikan Kota Tangerang memiliki prospek yang

cerah dan menjanjikan sebagai lokasi pengembangan berbagai kegiatan perekonomian

(38)

Kota Tangerang memilki visi sebagai kota industri, kota perdagangan, kota

permukiman, yang ramah lingkungan dengan masyarakat yang berakhlak mulia.

Sebagai kota industri, di Kota Tangerang terdapat pabrik-pabrik industri yang dapat

menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Kota Tangerang selain itu juga

terdapat pusat-pusat perdagangan yang memberikan aset cukup besar bagi pendapatan

daerah. sebagai kota dengan prospek yang cerah bagi pengembangan berbagai kegiatan

ekonomi, secara tidak langsung akan menarik penduduk untuk bermukim di Kota

Tangerang. Kondisi Kota Tangerang yang aman, nyaman dengan masyarakatnya yang

agamis, rukun dan toleransi, menjadi fakta utama bagi terlaksananya kesinambungan

pembangunan. Peran serta masyarakat serta kondusifnya situasi Kota Tangerang yang

didukung dengan kebijakan pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan,

menjadikan pelaksanaan pembangunan berjalan berkelanjutan sehingga meningkatkan

kualitas kehidupan masyarakatnya, baik secara material maupun non material. 28

Sebagai kota industri dan memiliki letak yang strategis tentunya akan megalami

perubahan sosial dalam masyarakat. Dan perubahan yang terjadi di tengah masyarakat

tidak selalu berlangsung secara normal sebagaimana yang dikehendaki. Sehingga

perubahan sosial tidak selalu memberikan dampak positif bagi masyarakat tetapi juga

melahirkan masalah baru dalam kehidupan masyarakat yang timbul manakala terjadi

ketidaksesuaian antara unsur yang ada dalam masyarakat yang dapat mengganggu tertib

sosial.

28

(39)

Arus modernisasi yang berkembang pesat di Kota Tangerang memberikan

perubahan sosial yang bersifat positif maupun negatif terhadap masyarakat Kota

Tangerang. Perubahan positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat Kota Tangerang

antara lain: kemudahan akses informasi, adanya pusat industrialisasi sehingga membuka

lapangan pekerjaan kepada masyarakat, kemudahan sarana dan prasarana umum,

peningkatan kualitas pendidikan, dan sebagainya. Sedangkan perubahan sosial yang

bersifat negatif terhadap masyarakat Kota Tangerang antara lain: masuknya budaya

asing yang dapat mengikis budaya lokal sehingga masyarakat semakin menjauh dari

nilai-nilai religius, masyarakat terjerumus ke dalam pergaulan bebas dan maraknya

praktek prostitusi yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang

berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat, konsumsi minuman

keras dan obat-obatan terlarang dijadikan sebagai trend dalam pergaulan bahkan sudah memasuki lingkungan sekolah hingga sekolah dasar. Kondisi tersebut sangat

memperihatinkan karena dapat menghancurkan generasi muda dan moral masyarakat

serta dapat melahirkan tindak kejahatan.

Jika melihat kategori isu yang dapat masuk dalam agenda kebijakan publik yang

disebutkan oleh Said Zainal Abidin dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Publik, masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Kota Tangerang seperti maraknya

pengedaran dan konsumsi minuman keras atau narkoba yang sudah merambah ke

lingkungan sekolah hingga tingkat sekolah dasar serta maraknya praktek prostitusi

tergolong dalam kategori pertama yaitu isu yang dinggap telah mencapai tingat kritis

sehingga tidak bisa diabaikan. Dan kategori ke empat yaitu isu yang menyangkut

(40)

Serta kategori ke enam yaitu isu yang berkenaan dengan trend yang berkembang dalam masyarakat

Termasuk ke dalam kategori pertama dan ke enam karena pengedaran dan

konsumsi minuman keras atau narkoba serta praktek prostitusi telah mencapai tingkat

kritis dan menyangkut gaya hidup masyarakat. Pengedaran dan konsumsi minuman

keras atau narkoba dijadikan sebagai gaya hidup modern masyarakat baik orang dewasa,

pemuda, dan bahkan para pelajar yang jika dibiarkan maka bangsa ini akan hancur dan

masyarakat akan semakin jauh dari nilai-nilai leluhur Kota Tangerang yang dikenal

sebagai masyarakat religius. Begitu pula dengan menjamurnya warung remang-remang

maraknya dan praktek prostitusi yang terjadi di jalan-jalan protokol dimana hal tersebut

sangan bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.

Termasuk ke dalam ketegori ke empat karena isu ini menyangkut banyak pihak

yaitu tindak pengedaran dan konsumsi minuman keras memberikan dampak negative

tidak hanya kepada pelaku saja tetapi juga terhadap kelurga dan linngkungan sekitar

begitu pula dengan kemaksiatan seperti pergaulan bebas atau prostitusi juga

memberikan dampak yang negatif terhadap lingkungan masyarakat.

Sebagai upaya pemerintah Kota Tangerang untuk memecahkan masalah tersebut,

maka pemerintah Kota Tangerang memasukan isu tersebut ke dalam agenda kebijakan

publik yang menghasilkan output berupa Peraturan Daerah tentang pelarangan

pengedaran dan penjualan minuman keras/beralkohol yang terdapat di dalam Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2005 dan pelarangan prostitusi yang terdapat di dalam Peraturan

(41)

B. Tujuan Dibuatnya Perda 7 dan 8 Tahun 2005

Dalam membuat suatu kebijakan dibutukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Jika kebijakan dibuat tanpa adanya tujuan maka waktu dan biaya yang dikeluarkan akan

sia-sia. Dan kebijakan yang dibuat hanya sebagai bukti dari eksistensi para pemimpin

namun secara substansi kebijakan tersebut tidak dapat memberikan perubahan yang

lebih baik dalam kehidupan masyarakat.

Setiap hal yang ada di dunia pasti ada tujuannya. Demikian pula dengan

kebijakan publik, hadir untuk tujuan tertentu yaitu untuk mengatur kehidupan bersama

dan mencapai tujuan bersama. Untuk itu disetiap negara memiliki peraturan atau

undang-undang yang harus ditaati untuk mengatur kehidupan masyarakatnya sehingga

tercapai tujuan dan cita-cita bersama. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45, maka kebijakan

publik adalah seluruh prasarana dan sarana untuk mencapai tempat tujuan tersebut.

Salah satu tujuan Kota Tangerang adalah menjadikan masyarakat Kota

Tangerang berakhlak mulia. Masyarakat yang berahklak mulia dicerminkan melalui kualitas hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia itu

sendiri. Akhlak yang mulia menjadi landasan moral dan etika dalam bermasyarakat,

(42)

dapat mendukung terwujudnya masyarakat Kota Tangerang yang religius, demokratis,

mandiri, berkualitas sehat jasmani-rohani, serta tercukupi kebutuhan material-spiritual.29 Jika pengedaran dan konsumsi minuman keras atau narkoba dan praktek

prostitusi yang kian marak di Kota Tangerang dibiarkan saja maka visi Kota Tangerang

untuk menciptakan masyarakat yang berakhlakul mulia merupakan sebatas wacana.

Salah satu usaha pemerintah Kota Tangerang untuk mencapai tujuan menciptakan

masyarakat yang berakhlak mulia maka pemerintah mencoba untuk mengatasi maraknya pengedaran dan konsumsi minuman keras dan narkoba serta prostitusi maka

pemerintah Kota Tangerang membuat suatu kebijakan berupa peraturan daerah tentang

pelarangan pengedaran dan penjualan minuman beralkohol (Perda No.7 Tahun 2005)

dan pelarangan prostitusi (Perda No.8 Tahun 2005) untuk mengatasi masalah sosial

yang melanda masyarakat Kota Tangerang yaitu tingginya konsumsi minuman

beralkohol dan narkoba dan maraknya praktek prostitusi di lingkungan Kota Tangerang.

Dengan dibuatnya perda tersebut diharapkan tujuan dan cita-cita bersama dapat

tercapai.

Dalam Perda No 7, pemerintah Kota Tangerang melarang pengedaran,

penjualan, dan penggunaan minuman beralkohol yang dikelompokan dalam tiga

golongan, yaitu:

1. Minuman beralkohol golongan A yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol

(C2H5OH) 1% sampai dengan 5%

29

(43)

2. Minuman beralkohol golongan B yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol

(C2H5OH) lebih dari 5% sampai dengan 20%

3. Minuman beralkohol golongan C yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol

(C2H5OH) lebih dari 20% sampai dengan 55%

Dalam Perda ini pemerintah Kota Tangerang melarang siapa pun menjual

minuman beralkohol golongan A, B, dan C kecuali di tempat-tempat yang telah

ditetapkan sesuai dengan Peraturan Walikota. Dan siapa pun dilarang meminum

minuman beralkohol golongan A, B, dan C di tempat-tempat umum.

Dalam Perda nomor 8 pemerintah Kota Tangerang melarang setiap orang baik

sendiri-sendiri atau bersama-sama mendirikan atau menyediakan tempat atau orang

untuk melakukan pelacuran. Dan melarang setiap orang yang sikap dan perilakunya

mencurigakan yang dapat menimbulkan anggapan bahwa ia pelacur dilarang berada di

jalan-jalan umum, rumah penginapan, tempat hiburan, warung-warung kopi, dan

sebagainya.

Kedua peraturan daerah ini merupakan upaya yang dilakukan pamerintah Kota

Tangerang untuk mengatasi masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat demi

terciptanya tujuan dan cita-cita bersama yaitu terciptanya kehidupan masyarakat yang

aman, damai, adil, dan makmur sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang tercermin

melalui akhlak mulia.

C. Proses Penyusunan Perda 7 dan 8 Tahun 2005

Pembuatan undang-undang atau peraturan daerah merupakan salah satu

(44)

dipimpin oleh Walikota sedangkan lembaga legisatif pada tingkat daerah adalah Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam proses pembuatan undang-undang atau

peraturan daerah eksekutif membuat rancangan undang-undang yang kemudian dibahas

oleh DPR dan eksekutif untuk mendapat persetujuan bersama.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Perda No.

7 dan 8 Tahun 2005 yaitu Ir. Suratno Abubakar dapat dijelaskan bahwa dalam proses

penyusunan Peraturan Daerah No. 7 dan 8 Tahun 2005 (tentang pelarangan minuman

keras dan prostitusi), Walikota Tangerang sebagai lembaga eksekutif mengajukan

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) No. 7 dan 8 Tahun 2005 yang kemudian

diserahkan secara tertulis kepada Pimpinan DPRD Kota Tangerang sebagai lembaga

legislatif, kemudian Pimpinan DPRD memberitahukan kepada Anggota masuknya Raperda

tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Setelah itu, Pimpinan DPRD

membuat alat kelengkapan dewan berupa Panitia Khusus (Pansus) yang terdiri dari 14 orang

dari berbagai fraksi yang berfungsi untuk membahas secara khusus kedua rancangan peraturan

daerah tersebut.30

Melalui rapat paripurna, eksekutif (Walikota Tngerang) dan legislaif (DPRD Kota

Tangerang) membahas kedua rancangan peraturan daerah tersebut. melalui rapat panitia

khusus maupun melalui sidang paripurna serta hearing dengan elemen masyarakat seperti LSM, tokoh masyarakat dan tokoh agama, pengusaha, wartawan, dan

institusi-institusi yang terkait seperti polres, kejaksaan dan pengadilan. Kemudian

dikonsultasikan dengan Depdagri dan bagian hukum propinsi Banten. Setelah mencapai

kesepakatan bersama diantara eksekutif, legislatif, dan elemen masyarakat maka

legislatif (DPRD) mengesahkan raperda tersebut menjadi peraturan daerah yang

30

(45)

kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.31 Dalam proses perumusan hingga disahkannya kedua peraturan daerah tersebut menghabiskan waktu kurang lebih empat

bulan terhitung sejak tanggal 7 Juli 2005 s/d 21 Nopember 2005.

Meskipun kedua peraturan daerah ini menimbulkan pro dan kontra namun hal

tersebut merupakan sesuatu yang biasa terjadi di dalam masyarakat yang plural dan

sebuah negara yang demokratis. Karena Indonesia menganut sistem demokrasi tidak

langsung, maka suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam pengambilan

keputusan. Mayoritas dari masyarakat Kota Tangerang memberikan respon yang positif

terhadap ke dua peraturan daerah ini karena keresahan yang dirasakan oleh masyarakat

atas pengaruh negatif dari modernisasi yaitu perubahan masyarakat yang semula meiliki

nilai-nilai keagamaan yang cukup kental kemudian mulai menjauh dari nilai-nilai

tersebut yang disebabkan karena pengaruh negatif dari modernisasi.

31

(46)

BAB IV

BENTUK, FAKTOR, DAN TINGKAT PARTISIPASI POLITIK

Peraturan Daerah No. 7 dan 8 Tahun 2005 merupakan dua bentuk kebijakan

publik pemerintah Kota Tangerang. Kata publik dalam rangkaian kata kebijakan publik

mengandung tiga konotasi yaitu pemerintah, masyarakat, dan umum yang dapat dilihat

dalam dimensi subjek, objek, dan lingkungan dari kebijakan.32 Dalam dimensi subjek, kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah yang dapat dianggap resmi dan

mempunyai kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Ini

berarti bahwa rakyat hanya dijadikan objek dalam kebijakan. Dalam dimensi

lingkungan, kebijakan publik harus berlaku bagi semua orang dan lingkungan yang luas.

Menurut Nurchalish Madjid yang dikutip kembali oleh Idris Thaha, di

Negara-negara demokratis, termasuk Indonesia, inti pemikiran dari partisipasi politik dalam

kehidupan bernegara adalah kedaulatn berada di tangan rakyat yang berarti hak dan

kewajiban manusia melalui masing-masing pribadi anggota masyarakatnya untuk

berpartisipasi dan mengambil bagian dalam proses-proses menentukan kehidupan

bersama, terutama didalam bidang politik atau sistem kekuasaan yang mengatur

masyarakat itu.33 Karena kebijakan publik merupakan bagian dari kehidupan politik dan salah satu usaha untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama maka rakyat memiliki hak

dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik.

32

Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik (Jakarta: Suara Bebas, 2006), h. 22. 33

(47)

Dalam masyarakat tradisional keikutsertaan masyarakat dalam politik hanya

terbatas pada segolongan elit politik saja sedangkan rakyat hanya dijadikan objek dari

kebijakan publik pemerintah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat

lebih maju dan moderen sehingga timbul kesadaran dalam masyarakat untuk berperan

serta dalam kehidupan politik dan masyarakat tidak lagi hanya sekedar menjadi objek

dari kebijakan publik pemerintah.

Adanya kesadaran tentang demokrasi dalam masyarakat moderen yang

menganggap “pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat,” membuat

kesadaran masyarakat meningat untuk merasa perlu mengambil peranan dalam memberi

warna atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Baik pada tingkat proses penentuan

masalah atau isu kebijakan, perumusan masalah, prioritas masuknya isu dalam agenda

kebijakan, perumusan kebijakan, pengesahan, maupun pelaksanaan dan penilaian

kebijakan.34

Dalam bab ini, penulis akan mendeskripsikan dan menganalisa bentuk-bentuk

partisipasi politik tokoh agama terhadap proses pembuatan Perda No.7 dan 8 Tahun

2005 dan faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi tersebut serta berapa besar

tingkat partisipasinya.

Seperti yang telah dijelaskan di dalam bab sebelumnya, bentuk-bentuk

partisipasi politik dibagi ke dalam dua bentuk yaitu konvensional dan

non-konvensional. Bentuk konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang ”normal”

dalam demokrasi modern. Sedangkan bentuk partisipasi non-konvensional adalah

34

(48)

beberapa kegiatan partisipasi politik yang dilakukan secara legal maupun ilegal dan

revolusioner. Yang termasuk dalam bentuk konvensional diantaranya: diskusi politik,

pemberian suara (voting), lobbying, kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam bentuk

non-konvensional diantaranya: demonstrasi, aksi mogok, tindak kekerasan politik dan

sebagainya.

Disamping itu juga terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

seseorang atau kelompok berpartisipasi dalam politik, diantaranya: modernisasi, tingkat

pendidikan yang tinggi, kemudahan akses informasi, sistem pemerintahan yang

demokratis, dan sebagainya. Sedangkan tingkat partisipasi politik seseorang dapat

dilihat melalui seberapa sering seseorang melakukan partisipasi.

A. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Tokoh Agama terhadap Proses Pembuatan Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005

1. Bentuk-Bentuk Partisipasi Tokoh Agama Budha terhadap Proses Pembuatan Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama Budha Pdt. T . Harmanto

(Wakil Ketua Umum Majelis Agama Budha Theravada Indonesia Kota Tangerang),

bahwasanya umat Budha mendukung dibuatnya peraturan daerah pelarangan minuman

keras dan prostitusi (Perda No. 7 dan 8). Alasannya karena di dalam ajara Budha

pelarangan meminum minuman keras hingga kehilangan kesadaran merupakan salah

(49)

dalam ajaran Budha. Meminum minuman keras dan melakukan praktik prostitusi atau

free sex merupakan perbuatan yang dapat merusak moral bangsa Indonesia.35 Oleh karena itu, tokoh agama Budha mendukung dibuatnya kedua peraturan daerah tersebut

yaitu tentang pelaranga minuman keras dan prostitusi.

Bentuk partisipasi yang dilakukan oleh tokoh agama Budha yang diwakili oleh

Pdt. T. Harmanto merupakan bentuk partisipasi konvensional yaitu melakukan diskusi

politik dengan pemerintah eksekutif maupun legislatif tepatnya ketika pemerintah

mengadakan hearing lintas agama dengan para tokoh agama.. Selain itu tokoh agama Budha juga melakukan sosialisasi kepada umat Budha untuk mendukung ke dua perda

tersebut. Dan umat Budha sendiri menyambut positif ke dua perda tersebut. Namun

sayangnya, partisipasi politik yang dilakukan tokoh agama Budha ketika pemerintah

sudah mengesahkan ke dua perda tersebut. Sedangkan dalam proses pembuatannya,

tokoh agama Budha tidak berpartisipasi atau bahkan tidak dilibatkan.

2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Tokoh Agama Konguchu terhadap Proses Pembuatan Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005

Ajaran Konguchu yang disebut dengan ajaran Purba yang disebut juga dengan

ajaran Jhikau yaitu agama bagi orang-orang yang lembut hati, yang terpelajar. Jadi

manusia hendaknya dididik untuk mendapatkan pengetahuan sehingga memiliki

kontribusi terhadap lingkungan sekitar, bangsa dan negara serta dunia. Keharmonisan

merupakan ajaran inti dari ajaran tersebut. Dimana manusia harus saling tolong

35

(50)

menolong, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain di dalam kehidupan

sehingga tercipta suatu keharmonisan.36 Bertitik tolak dari ajaran Jhikau itulah maka tokoh agama Konguchu tidak keberatan dengan Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005. Karena

kedua peraturan itu merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan keharmonisan

hidup.

Sama halnya dengan tokoh aama Budha, tokoh agama Konguchu hanya

melakukan diskusi politik atau hearing yang diadakan oleh pemerintah dan mensosialisasikan kedua perda tersebut kepada umat sebagai bentuk partisipasi.

3. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Tokoh Agama Protestan terhadap Proses Pembuatan Perda No. 7 dan 8 Tahun 2005

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh agama Protestan Pendeta Victor

Hutauruk ( Ketua Umum Persekutuan Gereja-Geraja di Indonesia/PGI Wilayah Kota

Tangerang) menurutnya masalah minuman keras dan pelacuran semua agama tidak

setuju dengan kedua hal tersebut. Tetapi pemerintah tidak perlu membuat peraturan

daerah untuk mengatasinya karena kedua masalah tersebut merupakan masalah moral

yang menjadi urusan agama.

Sedangkan ketika proses pembuatan Perda No. 7 dan 8 2005 Tokoh agama

Prortestan tidak melakukan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi

kebijakan publik pemerintah Kota Tangerang yaitu untuk mempengaruhi pemerintah

agar tidak membuat kedua peraturan daerah tersebut tentang pelarangan minuman keras

36

Gambar

Tabel.4.1
Tabel 4.2 Tingkat Partisipasi Politik Tokoh Agama
Grafik Tingkat Partisipasi Politik Tokoh Agama

Referensi

Dokumen terkait