• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perburuan dan Perdagangan Burung Air untuk Konsumsi di Desa Singakerta Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perburuan dan Perdagangan Burung Air untuk Konsumsi di Desa Singakerta Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Besarnya jumlah penduduk dan meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap semua sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi, akan mengakibatkan kerusakan alam. Hutan ditebang sampai ke puncak gunung yang paling tinggi, burung-burung diburu untuk dimakan, untuk dipelihara bahkan dijual. Beberapa jenis burung telah menghilang dari Pulau Jawa (MacKinnon et al. 2010).

Daerah sepanjang Pantai Utara Jawa Barat dikenal sebagai tempat perburuan burung air, termasuk burung air migran (Widodo et al. 1996). Setiap tahun sedikitnya 300.000 ekor burung air ditangkap oleh penduduk, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk diperdagangkan. Lebih 50% dari burung air yang ditangkap adalah burung-burung migran (Howes et al. 2003) dan jenis burung yang dilindungi (Silvius et al. 1989 diacu dalam Mustari 1992). Aktivitas penangkapan burung-burung tersebut meningkat pada periode bulan Desember-Maret, bertepatan dengan musim migrasi burung. Eksploitasi yang terjadi terus-menerus tanpa menerapkan prinsip kelestarian akan mengancam populasi burung di alam.

(2)

Data mengenai perburuan dan perdagangan burung air dalam penelitian-penelitian sebelumnya diatas belum mendalam dan perlu diperbaharui. Kegiatan perburuan dan perdagangan burung air serta kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini perlu dikaji lebih dalam agar dapat dipertimbangkan upaya pengelolaan populasinya serta tidak berdampak pada kerusakan alam yang semakin parah.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kegiatan perburuan dan perdagangan burung air untuk konsumsi di Desa Singakerta.

2. Mengetahui karakteristik masyarakat yang terlibat dalam perdagangan burung. air untuk konsumsi.

1.3 Manfaat Penelitian

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1Perburuan Burung

Burung air migran banyak diburu untuk dimakan ataupun untuk diperdagangkan. Starks (1985) melaporkan adanya perburuan burung air migran secara intensif selama musim berburu di Somut Sakhon (Thailand). Jumlah burung yang dapat ditangkap mencapai 2.000 ekor/kampung/tahun.

Penduduk lokal di Indramayu dan Cirebon mempunyai kebiasaan menangkap burung-burung air terutama burung Terik (Glareola maldivarum) untuk dijual sebagai makanan (Widodo et al. 1996). G. maldivarum yang bermigrasi dari Australia menuju ke utara, diperkirakan ditangkap sebanyak 45.000 ekor per tahun (Howes et al. 2003). Bambangan kuning (Ixobrychus sinensis) atau masyarakat Desa Singakerta menyebutnya Cengkeg, merupakan jenis yang paling banyak ditangkap. Di tempat berbiaknya, di Jepang, diketahui bahwa jenis ini telah dikategorikan sebagai burung langka (Howes et al. 2003).

Beberapa penelitian terkait dengan penangkapan burung di wilayah Indramayu telah banyak dilakukan. Tercatat sebanyak 12.434 individu burung dari 30 spesies telah tertangkap pada periode Oktober – November 1990 dalam penelitian yang dilakukan oleh Johnson et al. Sedangkan Aminah dan Rahmina (1992) yang melakukan penelitian pada bulan Januari – Februari 1992 mencatat sebanyak 20.894 individu burung dari 24 spesies yang tertangkap (Tabel 1).

(4)

Tabel 1 Jumlah individu burung yang diburu pada beberapa penelitian di wilayah Indramayu

No Nama jenis Jumlah Individu

1 2 3 4 5 6

1 Actitis hypoleucos 407 529 288 171 √ 173 81 105 2 Amaurornis phoenicurus 631 589 1326

3 Anas gibberifons

4 Ardea spp. 257 10 14

5 Ardea purpurea

6 Ardeola speciosa 282 53 58 3 √ √ 7 Arenaria interpres 462

8 Butorides striatus 253 2 √ 760 911 1009 14 Chlidonias hybrida 212

15 Collocalia sp. 19 16

16 Dendrocygna javanica 279 3 252 218 48 √ √ 17 Dupetor flavicollis 3 19

18 Egretta spp. 361 36 1 19 Egretta intermedia

20 Gallicrex cinerea 564 62 2663 2246 1214 √ 8 62 103

21 Gallinago spp. 385 654 614 763

22 Gallinago stenura 491 3308 2110 1857 √

23 Gallinula chloropus 1738 34 577 487 113 √ 1843 2928 2539

35 Numereus phaeopus

36 Nycticorax nycticorax 247 1 5 4 √

37 Pluvialis sp. 49 63 175

38 Pluvialis fulva/dominica 288

39 Porphyrio porphyrio 1 1 2 5

40 Porzana cinerea 590 `17 149

41 Porzana fusca 851 35 315 439 531 675 428 309 42 Porzana pusilla 328 416 325 43 Rallus striatus 63

44 Rostratula benghalensis 28

(5)

Keterangan : 1. Johnson et al. (1990) 4. Sibuea (1996)

2. Aminah M dan Rahmina D (1993) 5. Iskandar dan Karlina (2004) 3. Aminah M dan Rahmina D (1993) 6. Jamaksari (2011)

Kegiatan penangkapan burung pada umumnya dilakukan oleh kelompok masyarakat ekonomi lemah dan dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Kegiatan tersebut telah dilakukan secara turun temurun, bahkan lokasi penangkapan burung sudah meluas. Awalnya aktivitas penangkapan hanya disekitar Desa Singakerta, namun saat ini sudah meluas ke daerah lain seperti ke desa-desa di kecamatan lain di Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, Karawang, bahkan ke daerah Jawa Tengah. Kegiatan menangkap burung dilakukan hampir setiap hari terutama pada saat tidak terang bulan atau saat tanaman padi mulai tumbuh dengan rata-rata 25 hari perbulan dilakukan penangkapan burung (Iskandar & Karlina 2004).

2.2Metode perburuan

Banyak cara yang dilakukan oleh pemburu di wilayah Indramayu untuk melakukan perburuan burung. Beberapa metode perburuan yang dilakukan diantaranya adalah :

1. Ngobor (teknik obor) (Milton & Marhadi 1985, Johnson et al. 1990, Purnama & Indrawan 2007, Whitworth et al. 2008, Jamaksari 2011). Pemburu menggunakan lampu petromaks yang dimodifikasi menggunakan seng alumunium sebagai alat untuk memfokuskan arah sinar serta tangkrup untuk menangkap burung. Cara kerja alat ini adalah pemburu berada di belakang sinar kemudian mengarahkan sinar ke target (burung).

2. Jaring Kabut (Milton & Marhadi 1985, Johnson et al. 1990, Mustari 1992, Iskandar & Karlina 2004, Purnama & Indrawan 2007, Whitworth et al. 2008, Jamaksari 2011). Teknik ini dilakukan dengan cara membentangkan jaring di daerah lintasan burung. Areal berburu biasanya di daerah pertambakan, sawah dan pesisir.

3. Clap net (Sahab) (Milton & Marhadi 1985, Basuni & Setiyani 1989, Johnson

(6)

yang bertujuan untuk menarik perhatian burung-burung air lainnya. Apabila burung sudah berkumpul ditengah-tengah sahab, maka pemburu akan menarik tali pusat sehingga sahabnya tertutup.

4. Pulut (Purnama & Indrawan 2007). Metode ini biasanya digunakan untuk menangkap famili Anatidae pada sawah yang telah dipanen. Pemburu membawa rekaman suara burung dan burung tiruan untuk menarik perhatian burung target.

5. Senter (Mustari 1992). Pemburu menggunakan senter sebagai alat penerang serta tangkrup untuk menangkap burung.

2.3Perdagangan Burung

Perdagangan secara internasional telah diatur oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora). Jenis burung yang diperdagangkan oleh Indonesia, baik di pasar internasional maupun lokal merupakan jenis yang termasuk daftar CITES maupun yang tidak (non-CITES) (Soehartono & Mardiastuti 2003). Secara umum perdagangan burung mencakup dua tujuan yaitu perdagangan burung untuk tujuan peliharaan (burung paruh bengkok dan burung berkicau) dan burung untuk tujuan konsumsi.

(7)

2.4Rantai Perdagangan Burung

Perdagangan burung dimulai dari pengambilannya di alam sampai pada konsumen. Jalur distribusi burung dari pengambilannya di alam sampai pada konsumen disebut jalur perdagangan burung. Pelaku perdagangan sumberdaya alam pada umumnya mencakup pengumpul dan penjual sumberdaya alam atau

collector, pembeli sekaligus penjual atau trader, pembeli sekaligus penjual skala besar atau large-stock trader, serta pembeli dan pengguna atau consumer (MWBP 2006 diacu dalam Siagian 2011).

Dalam sistem perburuan burung di Desa Singakerta, Kecamatan Krangkeng, Indramayu, terdapat beberapa aktor yang berpengaruh terhadap sistem. Ada empat aktor yang berperan dalam rantai perdagangan burung yaitu pemburu, bakul atau pengepul, pedagang dan konsumen (Jamaksari 2011).

Gambar 1 Rantai perdagangan burung air di Singakerta (Jamaksari 2011).

Pemburu Bakul Pedagang Konsumen

2.5Permasalahan Konservasi Burung

Burung air di sepanjang pantai utara Indramayu - Cirebon banyak mengalami ancaman yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidupnya (Widodo

et al. 1996). Beberapa faktor yang dapat mengancam kelangsungan hidup burung-burung air tersebut diantaranya adalah pengalihan peruntukan habitat, perburuan burung dan dampak penggunaan pestisida.

(8)

ekosistem (Widodo et al. 1996). Perubahan fungsi lahan ini mengakibatkan hilangnya habitat alami burung baik sebagai tempat berlindung, tempat mencari makan maupun sebagai tempat berkembangbiak.

Penangkapan ratusan ribu burung air yang bermigrasi di sepanjang Pesisir Utara Jawa, yang kemudian dijual sebagai makanan di pasar setempat, sangat membahayakan jenis-jenis tersebut sehingga jumlahnya menjadi jauh berkurang. Kelangkaan burung di pedesaan di Jawa, baik ditinjau dari jumlah dan keanekaragamannya, sangat menyedihkan. Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara penggunaan pestisida, kehilangan habitat dan penembakan dengan senapan angin dan ketapel (MacKinnon et al. 2010).

Burung mudah terkontaminasi pestisida karena kebiasaan hidupnya yang selalu berpindah dan memakan berbagai jenis makanan seperti biji-bijian, ikan, serangga dan binatang lainnya. Burung dapat mengakumulasi bahan beracun dalam konsentrasi besar, karena menempati posisi tertinggi dalam rantai makanan. Insektisida golongan klor-organik yang sangat persisten seringkali dianggap sebagai penyebab punahnya atau berkurangnya populasi banyak burung pemakan ikan pada berbagai ekosistem di dunia (Ginoga 1999). Dampak negatif insektisida terhadap burung dapat terjadi secara langsung yaitu berupa kematian, karena adanya kontak antara burung dengan insektisida pada waktu pemberantaan hama, dan secara tidak langsung berupa peracunan melalui rantai makanan (Nandika 1986 diacu dalam Ginoga 1999).

(9)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian dilakukan di Desa Singakerta, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Alasan yang mendasari pemilihan lokasi karena di Desa Singakerta merupakan pusat pengumpulan dan pemasaran burung air di Pantai Utara Jawa (Noor 1988). Penelitian dilakukan selama tiga bulan yaitu Desember 2011 - Februari 2012 (59 hari pengamatan), bertepatan dengan musim migrasi burung.

3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah kamera digital, buku Seri Panduan Lapang Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan tahun 2010, panduan wawancara, dan recorder.

3.3Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis-jenis data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : 1. Tipe dan kondisi habitat perburuan burung

2. Lokasi perburuan

3. Spesies burung yang diburu

4. Jumlah individu spesies burung yang tertangkap

5. Jumlah individu spesies burung yang dikumpulkan kepada setiap pengepul 6. Waktu perburuan

7. Metode perburuan 8. Rantai perburuan burung

9. Perdagangan burung untuk konsumsi

(10)

pengepul, motivasi menjadi pengepul, jumlah individu burung per hari, keterikatan dengan pemburu, modal, harga jual dan beli jenis burung dan penghasilan dari mengepul burung), pedagang (data yang dikumpulkan diantaranya adalah profil pedagang, harga jual burung serta penghasilan dari berdagang burung), serta persepsi konsumen terhadap perdagangan burung air.

Selain data diatas, data penunjang penelitian yang diperlukan adalah kondisi umum lokasi penelitian (letak , topografi dan vegetasi), kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di lokasi penelitian, dan peta lokasi penelitian.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data dan analisis data sekaligus (Bungin 2003). Cara pengumpulan data meliputi: (1) studi literatur dan konsultasi dengan ahli, (2) pengamatan (observasi) di lokasi perburuan, pengepulan dan lokasi perdagangan burung, serta wawancara, (3) melakukan pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan hasil mengenai gambaran perdagangan burung.

3.4.1 Studi literatur dan konsultasi dengan pakar

Studi literatur dimaksudkan untuk melengkapi data pengamatan di lapang dan wawancara. Literatur diperoleh dari berbagai sumber ilmiah seperti jurnal, laporan penelitian, buku, dan konsultasi dengan pakar.

3.4.2 Pengamatan (observasi)

(11)

3.4.3 Wawancara

Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur, yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk panduan wawancara. Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sample berdasarkan pertimbangan atau tujuan (Sevilla et al. 1993). Pada penelitian ini terdapat empat kategori responden yang bertindak sebagai pelaku perdagangan yaitu pemburu, pengepul, pedagang burung dan konsumen.

Metode pengambilan contoh responden yang akan diwawancarai pada masing-masing kategori yaitu dengan menggunakan convenience sampling. Dengan cara ini, peneliti memiliki kebebasan untuk memilih siapa saja yang mereka temui yang akan dijadikan sebagai responden dalam penelitian (Umar 2005). Responden yang terpilih merupakan responden yang direkomendasikan oleh Kepala Desa dan dekat dengan tempat tinggal Kepala desa. Jumlah responden pemburu ada delapan orang, responden pengepul ada tiga orang, responden pedagang ada 12 orang dan responden konsumen ada 30 orang.

Pemburu burung yaitu orang-orang yang melakukan penangkapan burung di lapangan dengan tujuan untuk diperdagangkan (Basuni & Setiyani 1989). Kepada pemburu burung ditanyakan jenis burung yang diburu, harga jual, metode perburuan, waktu perburuan, penanganan pasca perburuan, motivasi berburu, penghasilan dari berburu serta mitos terkait perburuan burung.

Pengepul atau pengumpul burung, yaitu orang-orang yang menerima, mengumpulkan sementara hasil tangkapan langsung dari pemburu dan kemudian menjualnya kepada pedagang burung atau langsung kepada konsumen. Kepada masing-masing pengepul ditanyakan mengenai jumlah dan jenis burung yang dikumpulkan, asal burung tersebut, bentuk kesepakatan dengan pemburu, harga jual dan harga beli, alur perdagangan, motivasi pengepul burung, dan penghasilan sebagai pengepul.

(12)

burung tersebut, harga jual dan harga beli, alur perdagangan, motivasi berdagang burung dan penghasilan dari berdagang.

Konsumen, yaitu orang-orang yang membeli burung untuk dikonsumsi. Kepada konsumen ditanyakan mengenai motivasi mengkonsumsi burung, pengetahuan tentang penyakit yang dibawa oleh burung, pengetahuan mengenai status perlindungan dan status konservasi burung yang dikonsumsi.

3.5 Analisis Data

Data mengenai tipe dan kondisi habitat perburuan burung, lokasi perburuan, waktu perburuan, metode perburuan, rantai perburuan burung, perdagangan burung untuk konsumsi serta karakteristik masyarakat yang terlibat dalam sistem perdagangan burung yang meliputi pemburu, pengepul, pedagang dan konsumen yang diperoleh dari studi literatur, pengamatan lapang dan wawancara dengan masyarakat diolah secara tabulasi dan dianalisis secara kualitatif yang selanjutnya dijelaskan secara deskriptif.

(13)

BAB IIV

KOND

DISI UM

MUM LOK

KASI PEN

NELITIA

AN

(14)

Desa Singakerta dapat dijangkau dengan sarana transportasi lokal yaitu angkutan umum dengan rute Cirebon - Indramayu. Dari Cirebon ke Desa Singakerta ditempuh dengan waktu ± 30 menit, sedangkan dari Indramayu ditempuh dalam waktu ± 45 menit. Sarana transportasi lain yang melewati Desa Singakerta yaitu angkutan bus Jakarta – Cirebon – Tegal – Purwokerto.

Sebagian besar dari luas wilayah desa merupakan tanah sawah. Sebagian besar tanah sawah tersebut memakai pengairan setengah teknis dan tadah hujan. Irigasi di desa ini relatif sulit dilakukan karena pada saat air laut pasang, air pada sungai kecil yang melewati Desa Singakerta dan bermuara di laut juga akan meluap. Akibatnya sarana irigasi yang telah dibuat menjadi rusak. Produktivitas padi di daerah ini relatif rendah, selain karena faktor pengaturan air yang kurang baik juga karena sering terkena gangguan hama seperti tikus dan sundep (Aminah & Rahmina 1993).

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

(15)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Kondisi habitat berburu

Tipe habitat perburuan burung di Desa Singakerta adalah sawah, tambak atau empang dan rawa. Sawah di Desa Singakerta merupakan tipe sawah irigasi. Tanaman yang mendominasi areal sawah adalah padi, pisang dan kacang-kacangan. Sawah yang digunakan untuk berburu burung adalah sawah dengan padi berumur satu bulan (dengan ketinggian air < 3 cm) hingga padi siap panen (Gambar 3a).

Tambak atau empang merupakan kolam-kolam besar buatan yang digunakan untuk budidaya ikan dan udang. Air yang digunakan untuk usaha tambak adalah adalah air payau. Di Desa Singakerta, terdapat dua macam tambak yaitu tambak permanen dan tidak permanen. Tambak permanen dibuat dari semen sedangkan tambak yang tidak permanen hanya dibuat dari tanggul-tanggul tanah. Tambak yang digunakan untuk berburu burung adalah tambak yang tidak permanen dengan kondisi tambak yang dangkal dan mulai kering serta ditumbuhi rumput (Gambar 3b) .

Rawa merupakan daerah yang tergenang air dan ditumbuhi oleh tumbuhan. Rawa air payau dengan kedalaman air ± 1 m dan ditumbuhi banyak rumput merupakan rawa-rawa yang sering digunakan untuk berburu burung (Gambar 3c).

(c) (b)

(a)

(16)

5.1.2 Lokasi perburuan

Lokasi yang digunakan untuk perburuan burung merupakan lokasi tempat burung banyak terkonsentrasi dan mudah dijangkau oleh pemburu. Lokasi perburuan burung tidak hanya berada di wilayah Singakerta, tetapi juga di Kecamatan Karangampel, Kecamatan Patrol dan daerah lainnya di Kabupaten Indramayu, Cirebon, Subang, Karawang dan Majalengka. Beberapa pemburu melakukan perburuan ke wilayah Tegal, Brebes, Pekalongan, Semarang, Demak, Cilacap, bahkan ke wilayah Kalianda, Lampung.

5.1.3 Spesies burung yang tertangkap

Selama penelitian (Desember 2011 - Februari 2012) tercatat sebanyak 26 spesies burung dari 11 famili yang tertangkap (Tabel 2). Dua belas spesies diantaranya merupakan spesies migran. Sebanyak 10 spesies migran tertangkap setiap bulan selama penelitian (Tabel 3). Spesies migran yang paling banyak tertangkap adalah Bambangan kuning (Ixobrychus sinensis). Spesies penetap yang paling banyak tertangkap adalah Mandar batu (Gallinula chloropus) (Gambar 4).

(d)

(c)

(a) (b)

(17)

Tabel 2 Spesies burung yang tertangkap selama Desember 2011 - Februari 2012

Famili No Nama spesies Status Keterangan

Ilmiah Indonesia Lokal

Ardeidae 1 Butorides striatus Kokokan laut Blekok cio Penetap 2 Ardeola speciosa Blekok sawah Blekok Penetap 3 Nycticorax nycticorax Koak-malam kelabu Goak/Goak maling Penetap Nokturnal 4 Ixobrychus sinensis Bambangan kuning Cengkeg Migran 5 Ixobrychus cinnamomeus Bambangan merah Onggok Penetap

Anatidae 6 Dendrocygna sp. Belibis Belibis Penetap

Phasianidae 7 Coturnix chinensis Puyuh batu Puyuh Penetap

Rallidae 8 Gallirallus striatus Mandar - padi sintar Der/Beker Penetap 9 Porzana pusilla Tikusan kerdil Slenter Migran 10 Porzana fusca Tikusan merah Tututan Penetap 11 Amaurornis phoenicurus Kareo padi Kruak Penetap 12 Gallicrex cinerea Mandar bontot Ayam-ayaman/Biron Migran 13 Gallinula chloropus Mandar batu Pelan Penetap 14 Porphyrio porphyrio Mandar besar Birit/Mandar Penetap Jacanidae 15 Hydrophasianus chirurgus Burung-sepatu teratai Ucing-ucingan Migran Rostratulidae 16 Rostratula benghalensis Berkik-kembang besar Pelung Penetap

Charadriidae 17 Pluvialis fulva Cerek kernyut Truyun Migran

18 Charadrius dubius Cerek-kalung-kecil Curek kalung Migran Scolopacidae 19 Tringa stagnatilis Trinil rawa Bayeman Migran 20 Tringa nebularia Trinil kaki-hijau Clongongan Migran 21 Tringa glareola Trinil semak Trinil geger Migran 22 Tringa hypoleucos Trinil pantai Trinil kali Migran 23 Gallinago stenura Berkik ekor-lidi Berkek Migran Glareolidae 24 Glareola maldivarum Terik asia Terik Migran Nokturnal

Tytonidae 25 Tyto alba Serak jawa Dares Penetap Nokturnal

(18)

Tabel 3 Jumlah sp

esies migraan yang terrtangkap seelama

(19)

dijual satuan. Sedangkan burung yang berukuran, 1/2, 1/4, 1/5, dan 1/6 akan dijual per ikat. Satu ikat berisi 2-6 ekor individu burung.

Tabel 4 Ukuran tubuh burung yang dikonsumsi

Ukuran tubuh Spesies Ukuran Tubuh (cm)* Keterangan

1 1/2

Dendrocygna sp. 45

Gallicrex cinerea (♂) 40

Porphyrio porphyrio 42

Nycticorax nycticorax 61

1 Gallicrex cinerea (♀) 40

Gallinula chloropus 31

3/4

Butorides striatus 45 Kurus

Amaurornis phoenicurus 30

Hydrophasianus chirurgus (♂) 33

Tringa stagnatilis 23

Tringa nebularia 32

1/2

Ardeola speciosa 45 Kurus

Ixobrychus cinnamomeus 41 Kurus

Gallirallus striatus 24

Hydrophasianus chirurgus (♀) 33 Kurus

Rostratula benghalensis 25

Pluvialis fulva 25

Gallinago stenura 24

1/4

Ixobrychus sinensis 38 Kurus

Tringa glareola 20

Tringa hypoleucos 20

Glareola maldivarum 23

Coturnix chinensis 15

Charadrius dubius 16

1/5 Porzana fusca 21

1/6 Porzana pusilla 18

Keterangan: *sumber: MacKinnon et al. (2010)

5.1.4 Jumlah individu spesies burung yang tertangkap

(20)

Tabel 5 Jumlah individu burung yang tertangkap selama Desember 2011 -

Keterangan : n = Jumlah hari

(21)

Gambar 6

ng banyak dditangkap seelama Deseember

(22)

Gambar

7 Fluktuasi pen

7 Fluktuasi jum 2012.

an lima spesies b

harian lima spes

g paling banyak d

31 37

ri

ke-nerea

cinnamomeus

ngkap selama Deesember 2011-Fe

(23)

5.1.5 Jumlah individu spesies burung yang dikumpulkan kepada setiap pengepul

Terdapat tiga orang pengepul di Desa Singakerta. Pengepul pertama merupakan pengepul dengan jumlah burung terbanyak yaitu sebanyak 8.594 individu. Pengepul kedua berhasil mengumpulkan burung sebanyak 3.427 individu. Sedangkan pengepul ketiga merupakan pengepul dengan jumlah burung paling sedikit yaitu sebanyak 2.204 individu (Tabel 6).

Tabel 6 Jumlah individu spesies burung yang dikumpulkan per pengepul selama Desember 2011 - Februari 2012

Nama spesies

Pengepul 1 Pengepul 2 Pengepul 3

Jumlah

Butorides striatus 88 1.49 89 1.50 3 0.05 180 3.05

Ardeola speciosa 10 0.16 15 0.25 0 0.00 25 0.42

Nycticorax nycticorax 0 0.00 2 0.03 0 0.00 2 0.03

Ixobrychus sinensis 3262 55.28 1044 17.69 327 5.54 4633 78.52

Ixobrychus

cinnamomeus 425 7.20 254 4.30 367 6.22 1046 17.72

Dendrocygna sp. 171 2.89 8 0.13 8 0.13 187 3.16

Coturnix chinensis 28 0.47 0 0.00 0 0.00 28 0.47

Gallirallus striatus 379 6.42 195 3.30 244 4.13 818 13.86

Porzana pusilla 372 6.30 105 1.78 165 2.79 642 10.88

Porzana fusca 389 6.59 110 1.86 125 2.11 624 10.57

Amaurornis phoenicurus 205 3.47 21 0.35 4 0.06 230 3.89

Gallicrex cinerea 983 16.66 311 5.27 336 5.69 1630 27.62

Gallinula chloropus 722 12.23 219 3.71 510 8.64 1451 24.59

Porphyrio porphyrio 24 0.40 6 0.10 1 0.01 31 0.52

Rostratula benghalensis 153 2.59 7 0.11 1 0.01 161 2.72

Gallinago stenura 480 8.13 673 11.40 112 1.89 1265 21.44

Glareola maldivarum 323 5.47 0 0.00 0 0.00 323 5.47

Tyto alba 0 0.00 5 0.08 0 0.00 5 0.08

Caprimulgus sp. 0 0.00 17 0.28 0 0.00 17 0.28

Jumlah 8594 145.66 3427 58.08 2204 37.35 14225 241.10

Persentase 60.415 24.091 15.494 100

(24)

5.1.6 Waktu perburuan

Perburuan burung banyak dilakukan pada bulan Oktober - Maret. Diluar bulan tersebut perburuan tetap dilakukan, yaitu berburu burung penetap. Aktivitas berburu dilakukan hampir setiap hari terutama pada saat cuaca cerah, tidak terang bulan atau saat tanaman padi mulai tumbuh, dengan rata-rata waktu perburuan selama 20-25 hari per bulan. Setiap bulannya, ada tanggal-tanggal tertentu dimana terdapat jumlah tangkapan burung terbanyak dan sebaliknya, baik jumlah individu maupun jumlah spesiesnya. Selama penelitian, pada bulan Desember jumlah tangkapan burung terbanyak dijumpai pada tanggal 29, sedangkan jumlah tangkapan tersedikit dijumpai pada tanggal 20 (Tabel 7).

Tabel 7 Jumlah individu dan spesies burung yang paling banyak dan paling sedikit tertangkap pada setiap bulannya selama penelitian

Bulan Tanggal Jumlah Jumlah total Individu Rata-rata

Desember 290.38 Terbanyak 29 526 3.775 Tersedikit 20 71 Januari 307.80 Terbanyak 15 449 9.542

Tersedikit 14 194

Februari 60.53 Terbanyak 1 109 908

Tersedikit 11 12

Spesies

Desember Terbanyak 29 21 22

Tersedikit 19 dan 20 8

Januari Terbanyak 8 20 23

Tersedikit 18 11

Februari Terbanyak 4 dan 12 13 20

Tersedikit 13 3

5.1.7 Metode perburuan

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pemburu, terdapat beberapa metode perburuan burung, diantaranya adalah :

1. Jaring gelandang (Jaring kabut)

(25)

persawahan (di pematang sawah), rawa, tambak dan pesisir. Hasil buruan diantaranya adalah jenis Bambangan, Berkik, Kareo, Mandar, Terik, dan burung air lainnya.

Jaring terbuat dari bahan nilon dan ada juga yang terbuat dari bahan plastik. Ukuran mata jaring bermacam-macam, yaitu 1, 1½, 2, 2½, 3 dan 3½ inci. Pada sisi kanan dan kiri jaring terdapat bambu penyangga yang disebut telajak, dengan tinggi sekitar 2 m. Dalam berburu, pemburu biasanya membawa 6 ting-ting jaring. Ting-ting merupakan ukuran sepuluh gawang jaring. Satu gawang panjangnya 8–10 m.

Gambar 8 (a) Ilustrasi jaring gelandang (b) jaring tampak dari samping (c) Proses pemasangan jaring (d) Jaring yang sudah terpasang.

2. Ngobor

Alat utama yang digunakan pada metode ini antara lain lampu petromaks (Gambar 9a-b), tangkrup (Gambar 9c) dan waring (Gambar 9d). Pada salah satu sisi kaca petromaks ditambahkan seng alumunium yang berfungsi untuk memfokuskan arah sinar sehingga sinar akan terkumpul pada satu sisi dan memudahkan dalam perburuan. Bahan bakar yang digunakan pada petromaks adalah bensin ± 2 liter untuk sekali berburu.

Cara berburu dengan metode ini adalah pemburu terus berjalan pelan sepanjang malam dibelakang sinar petromaks sambil mengamati keadaan sekitar. Hasil buruan yang di dapat lebih beragam dibandingkan metode jaring gelandang,

8 – 10 m 1 m

2,5 m

Telajak

(a) (b)

(26)

karena hampir semua burung yang ditemui akan ditangkap menggunakan

tangkrup, baik itu burung anakan maupun dewasa.

(e)

(d)

(c)

(b)

(a)

Gambar 9 (a) Lampu petromaks dilihat dari belakang (b) Lampu petromaks dilihat dari depan (c) Tangkrup (d) Waring (e) Ngobor (Purnama & Indrawan 2007).

3. Ngetug dan nyompret

Ngetug dan nyompret merupakan metode perburuan dengan menggunakan suara tiruan burung yang berasal dari alat yang disebut ketugan dan sompret.

Ketugan dibuat dari ban dalam bekas, sedangkan sompret dibuat dari bambu dengan bermacam ukuran (Gambar 10a-b). Baik ketugan maupun sompret, masing-masing mempunyai bunyi yang berbeda-beda sesuai dengan suara jenis-jenis burung. Ketugan dibunyikan dengan cara menekan bagian tengahnya, sedangkan sompret dibunyikan dengan cara ditiup layaknya peluit. Ada juga alat yang dinamakan salon. Terbuat dari batok kelapa yang berfungsi untuk memperkeras bunyi.

(27)

sepanjang malam untuk memanggil burung. Dengan cara ini burung akan menghampiri sumber suara dan menabrak jaring yang telah dipasang. Berbeda dengan jaring gelandang yang jarang dicek, pada metode ini pengecekan selalu dilakukan untuk memastikan adanya burung yang masuk ke jaring. Jenis burung yang didapat adalah jenis Mandar, Tikusan, Bambangan.

Gambar 10 (a) Ketugan (b) Sompret.

(b)

(a)

4. Jaring tangkrep (clap net)

Jaring tangkrep digunakan untuk berburu burung air yang memiliki ukuran tubuh yang besar seperti jenis Bangau, Kuntul, Cangak dan famili Ardeidae lainnya. Metode ini diaplikasikan selama siang hari. Ukuran jaring untuk berburu burung pantai adalah 4m x 2m. Sedangkan untuk burung air dan burung terrestrial yang berukuran lebih besar digunakan jaring dengan ukuran 8m x 2m (Purnama & Indrawan 2007).

(28)

Burung jebakan

Gambar 11 Jaring tangkrep (clap net).

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden pemburu, sekitar 47,06% pemburu menggunakan metode jaring gelandang dalam berburu burung, 23,53% masing-masing menggunakan metode ngobor dan nyompret dan ngetug serta 5,88% sisanya menggunakan jaring tangkrep.

5.1.8 Rantai perdagangan burung

Dalam sistem perburuan burung di Singakerta, terdapat beberapa komponen yang berpengaruh terhadap sistem. Komponen-komponen tersebut adalah pemburu, pengepul, pedagang burung goreng dan konsumen. Pemburu akan menjual hasil buruannya kepada pengepul dan pedagang burung goreng. Terkadang pemburu dan pengepul juga menjual hasil buruannya langsung kepada konsumen, tetapi hal ini sangat jarang dilakukan. Kebanyakan konsumen membeli daging burung dari pedagang burung goreng. Ada juga pengepul kecil dari daerah lain yang menjual burung kepada pengepul di Desa Singakerta (Gambar 12).

Pengepul Kecil

Pemburu Pengepul Pedagang Konsumen

(29)

Hasil pengamatan dan wawancara kepada pemburu dan pengepul, secara umum terjadi penurunan jumlah pemburu dan pengepul yang masih aktif melakukan perburuan dan perdagangan burung.

5.1.9 Perdagangan burung untuk konsumsi

Burung-burung yang berhasil ditangkap oleh pemburu ditampung oleh para pengepul yang menanti di rumah pengepul itu sendiri. Transaksi jual beli antara pemburu dengan pengepul berlangsung ditempat itu juga secara tunai. Selanjutnya burung-burung tersebut akan disalurkan ke pedagang.

Pedagang mengambil burung tersebut ke rumah pengepul. Pedagang membayar setengah dari harga tersebut dan sisanya akan dibayar keesokan harinya setelah burung tersebut laku terjual. Burung-burung yang diambilnya dari pengepul maupun pemburu masih dalam keadaan hidup. Burung-burung tersebut selanjutnya akan diolah sendiri oleh pedagang di rumahnya (Gambar 13).

Tahap pertama pengolahan adalah penyembelihan burung. Setelah disembelih burung tersebut direndam dalam air panas. Hal tersebut dilakukan agar mudah dalam pencabutan bulu. Bulu-bulu hasil cabutan tersebut adakalanya dikumpulkan oleh pedagang untuk dijual bersama bulu bebek sebagai bahan baku pembuatan kok untuk bulutangkis.

Tahap selanjutnya adalah pemotongan terhadap paruh dan ceker dan pembelahan daging burung menjadi dua bagian kanan dan kiri sehingga bentuknya menjadi pipih. Ceker kadang dikumpulkan oleh pedagang untuk diolah menjadi bahan makanan lain, semetara paruh burung tidak dimanfaatkan lagi. Setelah dipipihkan, dilakukan penyortiran dan pembersihan organ dalam burung. Organ dalam selain hati dan usus akan dibuang. Hati dan usus burung tersebut akan dijual terpisah dengan daging burung.

(30)

Burung hidup

Penyembelihan

Perendaman dalam air mendidih

Pencabutan bulu

Pemotongan paruh dan ceker

Pembelahan tubuh burung menjadi dua bagian

Penyortiran dan pembersihan organ dalam

Pembersihan

Pemberian bumbu

Burung siap digoreng dan dikonsumsi

Gambar 13 Skema proses pengolahan burung hingga siap untuk dikonsumsi.

(31)

Tabel 8 Harga jual burung di pasaran

No

Nama Jenis Harga jual (Rp. per ekor)

Lokal Indonesia

3 Goak maling Koak-malam kelabu 7500 8500 12000-15000 4 Cengkeg Bambangan kuning 1250 1500 2500-4000

5 Onggok Bambangan merah 2500 3000 5000-6000

6 Belibis Belibis kembang 7500 8500 12000-15000

7 Puyuh Puyuh batu 1250 1500 2500-4000

15 Birit/Mandar Mandar besar 7500 8500 12000-15000 16 Ucing-ucingan (♂) Burung-sepatu teratai 3750 4750 6000-8000 17 Ucing-ucingan (♀) Burung-sepatu teratai 2500 3000 5000-6000 18 Pelung Berkik-kembang besar 2500 3000 5000-6000

19 Truyun Cerek kernyut 2500 3000 5000-6000

20 Curek kalung Cerek-kalung-kecil 1250 1500 2500-4000

21 Bayeman Trinil rawa 3750 4750 6000-8000

22 Clongongan Trinil kali-hijau 3750 4750 6000-8000 23 Trinil geger Trinil semak 1250 1500 2500-4000 24 Trinil kali Trinil pantai 1250 1500 2500-4000 25 Berkek/Berkik Berkik ekor-lidi 2500 3000 5000-6000

26 Terik Terik asia 1250 1500 2500-4000

27 Dares* Serak jawa 0 0 0

28 Cabak* Cabak 0 0 0

Keterangan : *diperdagangkan sebagai burung hias atau dilepas ke alam

5.1.10 Karakteristik masyarakat yang terlibat dalam sistem perdagangan

burung

5.1.10.1 Pemburu

(32)
(33)

5.1.10.2 Pengepul

Terdapat tiga orang pengepul burung di daerah ini. Satu orang pengepul menjadikan mengepul burung sebagai pekerjaan utamanya. Satu orang bekerja sebagai pengepul bebek. Satu orang lagi bekerja sebagai peternak bebek dan usaha tempat penitipan sepeda motor. Sebelum menjadi pengepul, ketiganya pernah berprofesi sebagai pemburu burung.

Usia pengepul adalah 48, 61 dan 75 tahun. Adapun latar belakang menjadi pengepul adalah karena sumberdaya burung yang melimpah dan untung yang besar. Modal yang diperoleh semua pengepul adalah hasil dari meminjam di bank. Modal tersebut pada awalnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan untuk usaha ternak bebek. Namun saat ini modal tersebut juga digunakan untuk modal tambahan menjadi pengepul burung.

5.1.10.3 Pedagang

Terdapat 12 responden pedagang, 66,67% berjenis kelamin pria dan 33,33% berjenis kelamin wanita. Kisaran usia pedagang adalah 30-56 tahun. Pendidikan pedagang adalah tamat SD (58,34%), tamat SMP (33,33%) dan tamat SMK (8,33%). Berdagang burung goreng merupakan mata pencaharian utama mereka.

Semua pedagang tidak menjajakan dagangannya di wilayah Singakerta, tetapi di wilayah Cirebon (66,67%), Kecamatan Karangampel (8,33%), Kecamatan Jatibarang (8,33%), dan 16,66% merupakan pedagang tidak tetap yang berjualan di tempat-tempat komedi putar berlangsung. Mereka berdagang dari pukul 15.00–21.00 WIB. Jika pada hari tersebut ada daging burung yang tidak laku, maka pedagang akan menyimpannya di lemari es dan akan menjualnya kembali pada hari berikutnya. Berdasarkan informasi dari pedagang burung goreng, burung jenis Terik (Glareola maldivarum), Bambangan kuning (Ixobrychus sinensis), Trinil (Tringa sp) dan Bambangan merah (I. cinnamomeus) kurang diminati konsumen.

(34)

yang dijual adalah 20-50 ekor per hari. Selain menjual burung goreng, pedagang juga menjual daging bebek dan ayam goreng.

Setiap harinya, modal yang harus dikeluarkan oleh pedagang adalah sekitar Rp 50.000,-. Modal tersebur digunakan untuk transport, bumbu, minyak goreng, plastik dan kertas nasi serta administrasi pasar. Keuntungan yang diperoleh bervariasi dengan kisaran Rp 100.000,- - Rp 200.000,- per hari. Menurut pedagang burung goreng, semakin lama usaha ini semakin kurang menguntungkan. Adapun kendala dalam berdagang diantara adalah cuaca buruk seperti hujan lebat, jumlah dan jenis burung yang tidak pasti, hadirnya pedagang “pecel ayam” dan isu lingkungan seperti ayam tiren (ayam yang sudah mati sebelum disembelih) dan flu burung.

5.1.10.4 Konsumen

Terdapat 30 orang konsumen, 53,33% berjenis kelamin pria dan 46,67% berjenis kelamin wanita. Kisaran usia konsumen adalah 16-55 tahun. Pekerjaan konsumen diantaranya adalah mahasiswa (6,67%), PNS (10%), wiraswasta (23,33%), karyawan (6,67%), pedagang (16,67%), petani (3,33%), buruh (6,67%) dan ibu rumah tangga (26,67%). Konsumen berasal dari wilayah Cirebon (56,67%), Indramayu (33,33%), Kuningan (6,67%) dan Karawang (3,33%).

Para konsumen tertarik mengonsumsi daging burung karena suka (40%), rasanya gurih dan enak (90%), bergizi (3,33%) dan harganya murah (10%). Frekuensi konsumen mengkonsumsi burung goreng adalah sekali dalam satu minggu (6,67%) dan masing-masing 46,67% responden menjawab jarang dan tidak tentu. Dibandingkan dengan daging ayam, daging burung memiliki rasa yang lebih gurih (93,33%) dan aromanya wangi (3,33%) tetapi dagingnya lebih sedikit (66,67%) dan alot (10%).

(35)

Akibat dari perburuan dan perdagangan burung liar secara berlebihan diantaranya adalah jumlah burung berkurang (63,33%), burung akan punah (26,67%) dan rusaknya alam (30%). Sebesar 3,33% konsumen berpendapat bahwa tidak akan ada akibat dari perburuan dan perdagangan burung liar secara berlebihan dan 20% menjawab tidak tahu. Adapun saran konsumen terhadap perburuan dan perdagangan burung adalah agar tetap melestarikan habitat dan populasinya, tidak berlebihan dalam pemanfaatannya, pembinaan kearah ternak burung puyuh, pengaturan pemasaran, koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat lebih ditingkatkan.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Kondisi habitat berburu

Burung air menjadikan areal pantai atau lahan basah serta tegakan tumbuhan diatasnya sebagai tempat untuk mencari makan maupun beristirahat (Howes et al. 2003). Pada waktu bermigrasi ke Pulau Jawa, burung-burung air menempati habitat padang lumpur, tepi pantai, tambak, padang rerumputan sepanjang pantai dan gugusan karang yang kering sewaktu air surut (Alikodra 1993). Habitat tambak dan hamparan lumpur (mudflat) di Kabupaten Indramayu, Cirebon dan Majalengka, paling banyak dihuni oleh burung-burung air (Widodo

et al. 1996). Lahan pertanian di wilayah Indramayu dan Cirebon yang masih luas menjadi salah satu habitat penting bagi burung air.

(36)

(Mugil dussumieri) (Mustari 1992), makrozoobenthos seperti kelomang laut (Uca

sp.), polychaeta (Nereis sp.) dan Crustacea (Balamus) (Alikodra 1993).

Baik sawah maupun tambak tidak permanen tersebut dipilih sebagai tempat perburuan karena tipe habitat tersebut merupakan tempat terkonsentrasinya burung buruan. Selain itu daerahnya terbuka sehingga mempermudah dalam pengamatan keberadaan burung. Menurut penuturan pemburu, diantara kedua tipe habitat tersebut, areal persawahan merupakan tempat yang paling sering dikunjungi pemburu untuk berburu burung dikarenakan selain sebagai penyedia pakan, juga memiliki kemudahan dalam aksesibilitas perburuan. Alikodra (1990) menyatakan bahwa lokasi perburuan burung dilakukan pada areal persawahan.

Daerah rawa yang banyak ditumbuhi rumput jarang digunakan untuk berburu, karena kondisi tersebut menyulitkan pemburu dalam berburu burung. Selain itu, metode perburuan burung di habitat rawa adalah ngobor, yang tidak semua pemburu bisa melakukannya. Tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Alikodra (1990) menyebutkan bahwa rawa-rawa juga digunakan oleh pemburu dalam berburu burung. Menurut penuturan pemburu, saat ini rawa jarang digunakan untuk berburu dikarenakan telah banyak dikeringkan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian atau dibiarkan begitu saja.

Berdasarkan pengamatan dan evaluasi di lapangan, habitat yang masih tersisa sudah tidak mendukung lagi bagi kehidupan burung. Burung tidak akan datang ke tempat tersebut tetapi akan mencari habitat di tempat yang lain yang dapat memberikan makanan, istirahat, keamanan dan tempat berkembangbiak. Habitat yang rusak bahkan hilang menyebabkan tempat persinggahan burung migran bergeser ke lokasi lain yang lebih memungkinkan dalam persediaan pakan dan keamanan (Sibuea 1996).

Sebanyak 9.230,68 ha (74,48%) hutan mangrove di sepanjang pantai utara Indramayu dalam kondisi rusak (Dishutbun Indramayu 2010). Kerusakan ini diakibatkan oleh pengalihfungsian hutan mangrove menjadi tambak, perumahan dan lokasi industri (Widodo et al. 1996). Perubahan fungsi lahan ini mengakibatkan hilangnya habitat alami bagi burung air. Hilangnya habitat alami akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman makanan yang merupakan

(37)

akan dirasakan oleh burung-burung penetap (Widodo et al. 1996). Selain itu, perubahan cara pengelolaan tambak dari pola empang parit menjadi pola intensif menjadi salah satu penyebab rusaknya mangrove di kawasan ini (Jamaksari 2011).

Pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dan insektisida yang dilakukan oleh petani juga menjadi ancaman bagi burung air. Bahan aktif suatu pestisida dapat menyebabkan kematian terhadap organisme perairan seperti krustasea, ikan dan moluska (Supriharyono 2002 diacu dalam Jamaksari 2011) yang merupakan pakan burung air. Bahan-bahan pencemar tersebut akan terakumulasi pada tubuh burung air tersebut karena memangsa biota air yang tercemar. Akibatnya sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup burung, seperti menipisnya cangkang telur yang mengakibatkan menurunnya daya tetas telur bahkan kematian burung (Ginoga 1999).

Selain itu, pencemaran lingkungan yang terjadi di wilayah ini adalah limbah yang berasal dari pengelolaan minyak bumi. Pengaruh racun dari tumpahan minyak yang terperangkap pada sedimen-sedimen di daerah pasang surut dapat bertahan lama. Kondisi ini akan membunuh dan menghambat produktivitas dari oganisme yang ada di kawasan tersebut (Jamaksari 2011).

5.2.2 Lokasi Perburuan

Kegiatan perburuan burung di Desa Singakerta masih tetap berlangsung (Sibuea 1996) bahkan lokasi perburuan burung sudah meluas (Iskandar & Karlina 2004). Saat ini lokasi perburuan burung tidak hanya berada di wilayah Singakerta, namun sudah menjangkau Kecamatan Karangampel, Kecamatan Patrol dan daerah lainnya di Kabupaten Indramayu (Alikodra 1990, Alikodra 1993, Iskandar & Karlina 2004), Cirebon (Alikodra 1990, Alikodra 1993, Iskandar & Karlina 2004, Jamaksari 2011), Subang, Karawang (Iskandar & Karlina 2004, Jamaksari 2011), Majalengka (Alikodra 1990, Alikodra 1993), Kuningan (Alikodra 1990) dan Ujung Karawang, Bekasi (Purnama 2009).

(38)

melakukan usaha penangkapan di luar Desa Singakerta pada saat bulan-bulan penangkapan rata-rata dapat memperoleh hasil lebih besar dibandingkan dengan pemburu yang menangkap burung di Desa Singakerta.

Faktor lain yang menyebabkan adanya perpindahan lokasi berburu adalah karena musim tanam dan musim panen pada tiap-tiap wilayah berbeda-beda. Burung air di persawahan biasanya akan mencari makan di daerah pasca panen (Jamaksari 2011). Hal ini menyebabkan pada areal sawah yang telah dipanen banyak terdapat burung air. Areal sawah yang masih baru ditanami padi umumnya jarang didatangi burung dikarenakan ketersediaan pakan yang sedikit. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan burung dari satu wilayah ke wilayah lain sehingga pemburu juga akan bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain untuk berburu burung.

5.2.3 Spesies burung yang tertangkap

Spesies migran merupakan spesies yang paling banyak ditangkap setiap bulannya. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan bertepatan dengan musim migrasi burung. Burung memulai perjalanan menuju belahan bumi selatan pada bulan September–Maret dan kembali lagi ke tempat berbiak di belahan bumi utara pada bulan Maret – April (Howes et al. 2003).

Berdasarkan laporan Noor (1987) bahwa dari hasil pengamatan praktek penangkapan yang dilakukan pada bulan Januari – Juni 1987 tercatat 27 jenis burung yang ditangkap oleh masyarakat (Tabel 9). Dari tahun ke tahun jumlah spesies burung yang ditangkap oleh masyarakat tidak menentu. Faktor yang mempengaruhi jumlah tangkapan burung diantaranya adalah waktu penelitian, lamanya waktu penelitian dan cuaca.

(39)

paling banyak tertangkap adalah Mandar batu (Gallinula chloropus). Spesies ini merupakan spesies yang bersarang di rawa-rawa dan di sawah (Milton & Marhadi 1985) dan keberadaannya tidak mengenal musim.

Tabel 9 Jumlah spesies dan individu burung yang tertangkap pada beberapa penelitian di wilayah Indramayu

Sumber Waktu penelitian Jumlah

Individu Spesies Milton dan Marhadi (1985) September 1984 - Mei 1985 14678 59

Noor (1988) Januari - Juni 1987 14738 27

Johnson et al. (1990) Oktober - November 1990 12434 30

Noor dan Indrawan (1990) - 14261 30

Aminah dan Rahmina (1993) November – Desember 1991 23864 29 Aminah dan Rahmina (1993) Januari – Februari 1992 20894 24

Sibuea (1992) - 26340 28

Alikodra (1993) 1989 - 1991 21494 33

Sibuea (1996) - - 11

Iskandar dan Karlina (2004) Agustus - Oktober 2002 - 8 Jamaksari (2011) November 2010 - Januari 2011 24141 17

Diantara kesebelas famili, Rallidae merupakan famili yang jumlah spesiesnya paling banyak tertangkap yaitu sebanyak tujuh spesies. Hal senada diungkapkan oleh Milton Marhadi (1985), Noor (1988), Noor dan Indrawan (1990), Iskandar dan Karlina (2004) dan Jamaksari (2011). Famili Rallidae merupakan famili yang menyukai daerah persawahan. Sebagian besar wilayah Singakerta merupakan wilayah persawahan, sehingga banyak terdapat famili Rallidae di wilayah ini.

Dalam sistem perburuan, burung-burung yang diburu untuk tujuan konsumsi dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan ukuran tubuhnya. Ukuran tubuh tersebut didasarkan pada ukuran jenis Mandar batu (Gallinula chloropus) atau Pelan yang diberi kategori 1 pelan. Seperti juga penelitian Noor (1988) dan Aminah dan Rahmina (1993), ditentukan bahwa ukuran dan harga burung yang berlaku ditetapkan berdasarkan jenis burung standar, yaitu Mandar batu atau

Pelan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap pemburu dan pengepul tentang asal-usul satuan tersebut, semua responden menjawab tidak tahu. Hal ini dikarenakan satuan tersebut sudah lama dipakai secara turun temurun.

(40)

Hal ini dikarenakan burung tersebut memiliki rata-rata ukuran tubuh yang tergolong besar. Sedangkan burung yang berukuran, 1/2, 1/4, 1/5, dan 1/6 akan dijual per ikat dengan satu ikat berisi 2-6 ekor individu. Hal tersebut bertujuan untuk menyamakan satuan dengan spesies burung yang mempunyai ukuran satu

pelan sehingga harganya menjadi seragam.

Spesies yang bukan merupakan spesies target perburuan dan tidak untuk dikonsumsi adalah Serak jawa (Tyto alba), Cabak (Caprimulgus sp.) dan Walet (Collocalia sp.). Ketiga spesies tersebut juga tercatat selama penelitian yang dilakukan oleh Milton dan Marhadi (1985), Sibuea (1992), Aminah dan Rahmina (1993). Sedangkan Noor (1988), Noor dan Indrawan (1990) dan Johnson et al. (1990) hanya mencatat Caprimulgus sp.. Selain dagingnya kurang enak bila dikonsumsi, spesies Serak jawa dan Cabak lebih diminati sebagai burung hias yang di jual dengan harga lebih tinggi. Sedangkan jenis Walet akan dilepasliarkan kembali.

5.2.4 Jumlah individu spesies burung yang tertangkap

Sebanyak 14.225 individu burung tertangkap selama Desember 2011– Februari 2012. Bulan Januari merupakan bulan dengan jumlah tangkapan burung terbanyak. Hal ini dikarenakan pada bulan Januari banyak burung air migran yang datang (Jamaksari 2011). Sedangkan jumlah tangkapan paling sedikit dijumpai pada bulan Februari.

Bulan Februari merupakan musim tanam padi. Sawah pada keadaan musim tanam akan menyediakan sedikit pakan bagi burung. Selain itu, sawah tersebut akan lebih mendapatkan pengawasan ketat oleh petani. Situasi ini menyebabkan keberadaan burung di sawah tersebut beralih ke wilayah persawahan lain yang menyediakan banyak pakan. Oleh karena itu, rata-rata pemburu di lokasi tersebut akan berhenti berburu burung dan kembali pada pekerjaan utama sebagai buruh tani. Penghasilan dari berburu burung saat musim tanam lebih rendah dan tidak menentu dibandingkan dengan menjadi buruh tani. Hal inilah yang menyebabkan jumlah tangkapan burung berkurang.

(41)

146.780 individu burung (8 spesies) yang tertangkap (Tabel 10). Faktor yang mempengaruhi jumlah tangkapan burung diantaranya adalah waktu penelitian, lamanya waktu penelitian, jumlah hari berburu dan cuaca.

Gambar 7 menunjukkan pola grafik yang fluktuatif pada setiap hasil tangkapan perhari. Hal tersebut disebabkan lokasi perburuan yang tidak menetap, jumlah jaring yang terpasang, cuaca, dan jumlah pemburu yang berburu burung per harinya.

5.2.5 Jumlah individu spesies burung yang dikumpulkan kepada setiap pengepul

Pengepul pertama merupakan pengepul dengan jumlah burung terbanyak. Hal tersebut dikarenakan harga beli yang ditawarkan mahal sehingga banyak pemburu yang menjual hasil buruannya pada pengepul pertama. Pemburu yang menyetorkan hasil buruannya pada pengepul pertama selain berasal dari Desa Singakerta itu sendiri juga berasal dari wilayah lain. Selain itu berdasarkan hasil wawancara, pengepul pertama juga mempunyai banyak langganan pedagang burung goreng yang siap memasarkan daging burung siap konsumsi.

Sedangkan pengepul ketiga merupakan pengepul dengan jumlah burung paling sedikit. Berdasarkan hasil wawancara, pengepul ketiga ini memang sudah mengurangi aktivitasnya mengepul burung dikarenakan usia yang sudah tua dan sering sakit-sakitan.

5.2.6 Waktu perburuan

Setiap bulannya, ada tanggal-tanggal tertentu dimana terdapat jumlah tangkapan burung terbanyak dan sebaliknya, baik jumlah individu maupun jumlah spesiesnya (Tabel 7). Jumlah spesies dan individu yang tertangkap setiap harinya dipengaruhi oleh cuaca dan kemauan pemburu dalam berburu.

(42)

5.2.7 Metode perburuan

Sekitar 47,06% pemburu di Desa Singakerta menggunakan metode jaring gelandang atau jaring kabut dalam berburu burung. Teknik perburuan yang sering digunakan oleh para pemburu yaitu dengan menggunakan jaring kabut (Jamaksari 2011). Jaring kabut merupakan metode yang paling berguna dan banyak dipakai untuk menangkap burung liar ukuran sedang dan burung pantai. Pemilihan lokasi jaring kabut yang tepat sebelum berburu merupakan hal yang sangat penting agar penangkapan berhasil dilakukan (Whitworth et al. 2008). Para pemburu akan mulai memasang jaring sebelum senja tiba dan akan membongkarnya setelah waktu subuh. Hal ini dikarenakan banyak spesies yang aktif bergerak ketika senja hari dan subuh, sehingga saat-saat tersebut merupakan waktu yang tepat untuk pemasangan jaring kabut (Whitworth et al. 2008).

Metode jaring tangkrep (clap net) jarang digunakan oleh pemburu dikarenakan hasil buruan bukan merupakan burung untuk dikonsumsi dan hasil buruan sedikit. Pemburu menggunakan metode ini untuk menangkap spesies burung air yang ukurannya lebih besar (Johnson et al. 1990). Spesies tersebut diantaranya adalah Bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan Cangak abu (Ardea cinerea). Sekarang spesies tersebut telah dilarang penangkapnnya. Masing-masing metode perburuan mempunyai keunggulan dan kelemahan (Tabel 10).

Tabel 10 Kelebihan dan kelemahan metode perburuan burung

No Metode

berburu Keunggulan Kelemahan

1 Jaring

gelandang

Energi dan biaya yang dikeluarkan sedikit

Tingkat kerusakan jaring tinggi, tingkat kematian burung tinggi, Hasil buruan lebih sedikit

2 Ngobor Hasil buruan bervariasi dan

jumlahnya banyak (tergantung musim)

Energi dan biaya yangdikeluarkan cukup besar, membutuhkan kesabaran dan kegigihan

3 Ngetug dan

nyompret

Tingkat kematian burung dan tingkat kerusakan jaring rendah

Membutuhkan energi yang cukup besar, membutuhkan kreativitas untuk selalu memperbaharui alat

4 Clap net

Hasil buruan berupa burung untuk tujuan peliharaan dan harganya mahal

(43)

5.2.8 Rantai perburuan burung

Beberapa komponen yang berpengaruh terhadap sistem perdagangan burung diantaranya adalah pemburu, pengepul, pedagang dan konsumen. Pengepul umumnya memiliki langganan pemburu yang akan memasok hasil buruannya. Tidak ada bentuk kesepakatan apapun antara pengepul dan pemburu terkait jual beli burung. Jika ada pemburu yang berhutang kepada pengepul maka pemburu tersebut wajib menyerahkan burung hasil buruannya kepada pengepul yang bersangkutan. Jumlah pemburu bervariasi tergantung pada musim tanam dan panen.

Harga beli burung pada masing-masing pengepul berbeda-beda. Para pemburu umumnya akan menjual hasil buruannya pada pengepul yang harga belinya tinggi dengan harapan akan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh karena itu jumlah pemburu pada masing-masing pengepul selalu bervariasi.

Berdasarkan hasil wawancara, pemburu akan menjual hasil buruannya kepada pengepul (50%) dan kepada pedagang burung goreng (50%). Namun pada kenyataannya, pemburu di Desa Singakerta lebih banyak menjual hasil buruannya langsung kepada pedagang burung goreng. Iskandar dan Karlina (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa hasil tangkapan pemburu akan dijual langsung kepada pedagang burung dan ayam goreng tanpa melalui penampung. Pemburu sudah mengetahui bahwa jika dijual langsung kepada pedagang, maka untung yang didapat akan semakin besar dibandingkan menjual burung lewat pengepul.

Pemburu dan pengepul juga menjual hasil buruannya langsung kepada konsumen, tetapi hal ini sangat jarang dilakukan. Kebanyakan konsumen membeli daging burung dari pedagang burung goreng karena burung tersebut sudah diolah dan siap untuk dikonsumsi.

(44)

Secara umum terjadi penurunan jumlah pemburu dan pengepul yang masih aktif melakukan aktivitas perburuan dan perdagangan. Sekitar tahun 1985, jumlah pemburu di wilayah ini berkisar antara 170-135 orang dengan jumlah pengepul >10 orang. Pemburu bertambah banyak jumlahnya pada tahun 1990-1994, yaitu sekitar 300 orang (Tabel 11) (Sibuea 1996). Sekitar tahun 1996 hinga sekarang jumlah pemburu dan pengepul terus mengalami penurunan.

Tabel 11 Jumlah pemburu dan pengepul burung di daerah Krangkeng

Tahun Peneliti Σ pemburu (orang)

Σ pengepul

(orang) Sumber 1985 - 1986 Milton dan Marhadi 135 - 170 > 10 Sibuea (1996)

1990 Johnson et al. 300 15 Sibuea (1996)

1994 Informasi penduduk 300 < 15 Sibuea (1996) 1996 Sibuea < 250 < 10 Sibuea (1996) 2004 Iskandar dan Karlina 40 - -

2010 - 2011 Jamaksari - 5 -

2011 - 2012 Informasi penduduk 20 3 (Penelitian ini)

Penurunan jumlah pemburu dan pengepul disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah (Sibuea 1996):

1. Jenis dan jumlah burung yang ditangkap semakin sedikit sehingga tidak memberikan keuntungan bagi pemburu. Jumlah nilai rupiah yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan dan harga jual hasil tangkapan.

2. Adanya alternatif pekerjaan lain yang tidak menuntut keahlian dan biaya seperti buruh kasar, penarik becak atau tukang ojek. Selain itu, berburu burung saat ini tidak popular dikalangan generasi muda sehingga berburu burung dilakukan oleh orang yang pernah memiliki pengalaman berburu burung dan masih memiliki peralatannya.

3. Luas tempat perburuan burung berkurang dan daerah menangkap burung telah hilang atau bergeser ke lokasi lain.

(45)

5.2.9 Perdagangan burung untuk konsumsi

Jenis burung yang diperjualbelikan untuk tujuan konsumsi di Desa Singakerta merupakan hasil perburuan di alam. Hanya satu jenis burung yang diperjualbelikan dari hasil ternak dengan nama lokal Puyuh. Basuni dan Setiyani (1989) menyatakan bahwa burung yang diperjualbelikan di pasar adalah jenis-jenis burung yang merupakan hasil penangkapan di alam bebas dan sedikit sekali jenis yang berasal dari hasil penangkaran. Masing-masing jenis burung yang diperdagangkan mempunyai harga yang berbeda-beda. Apabila saat burung banyak atau musim burung melimpah maka harga burung akan turun begitu pun sebaliknya (Iskandar & Karlina 2004).

Dahulu pusat aktivitas jual beli burung terjadi di Jembatan Cimanis yang terletak di jalur jalan Cirebon dan Indramayu. Para pengepul telah memulai kegiatannya pada pukul 06.30 – 09.00 WIB. Para pengepul tersebut menanti para pemburu burung yang membawa hasil tangkapnnya. Transaksi jual beli berlangsung ditempat itu juga secara tunai (Aminah & Rahmina 1993).

Sekarang keadaan telah jauh berbeda. Keadaan tersebut menurut penuturan para pemburu dan pengepul disebabkan karena telah terjadi penurunan jumlah pemburu dan pengepul (Tabel 11). Pusat aktivitas jual beli burung tidak lagi terjadi di Jembatan Cimanis tetapi di rumah masing-masing pengepul. Transaksi jual beli antara pemburu dengan pengepul terjadi pada pukul 07.00 – 08.00 WIB. Selanjutnya burung-burung tersebut akan disalurkan ke penjual.

Burung yang diburu kemudian akan dijual untuk tujuan konsumsi. Menu burung yang ditawarkan oleh pedagang burung goreng adalah digoreng. Dalam praktek perdagangan, biasanya pedagang burung goreng mencampur daging burung liar dengan daging burung ternak yaitu jenis Puyuh. Pedagang tidak hanya menyediakan daging burung saja, melainkan juga menyediakan daging bebek dan ayam. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dari berjualan burung sangat kecil dibandingkan pendapatan dari berjualan bebek.

(46)

jenis burung yang kurang diminati konsumen adalah jenis Bambangan kuning, Bambangan merah, Tikusan kerdil dan Trinil dikarenakan dagingnya yang sedikit. Jenis Bambangan kuning merupakan jenis yang paling banyak tertangkap, tetapi kurang disukai konsumen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa konsumen tidak memilih jenis daging burung tertentu tetapi lebih untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani yang murah.

5.2.10 Karakteristik masyarakat yang terlibat dalam sistem perdagangan

burung

Kegiatan perburuan burung pada umumnya dilakukan oleh masayarakat miskin sebagai pekerjaan sampingan dan telah dilakukan secara turun temurun. (Iskandar & Karlina 2004) dan telah dilakukan secara turun temurun (Noor & Indrawan 1990). Latar belakang yang menyebabkan penangkapan burung-burung air adalah karena adanya tekanan ekonomi (Widodo et al. 1996). Pendapatan dari pekerjaan utama yang kurang mencukupi menyebabkan para pemburu harus mencari sumber pendapatan alternatif. Sumber pendapatan alternatif biasanya tidak saja yang menguntungkan tetapi juga yang biayanya relatif murah, tersedia disekitar lingkungan tempat tinggal dan dapat menggantikan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan utama (Aminah & Rahmina 1993).

Adanya nilai ekonomi burung dan relatif murahnya biaya penangkapan burung serta tersedianya burung di sekitar tempat tinggal, telah mendorong semakin meluasnya usaha penangkapan burung (Aminah & Rahmina 1993). Selain itu, hasil materi yang didapat dari usaha tersebut dapat memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap pendapatan total rumah tangga (Iskandar & Karlina 2004).

(47)

produktif merupakan modal yang menguntungkan karena kemampuan fisik responden cukup memadai (Aminah & Rahmina 1993).

Menurut penuturan para pemburu, jarang sekali pemburu yang berusia dibawah 30 tahun. Hal ini dikarenakan berburu burung saat ini tidak popular dikalangan generasi muda sehingga berburu burung dilakukan oleh orang yang pernah memiliki pengalaman berburu burung dan masih memiliki peralatannya (Sibuae 1996). Selain itu, tingkat pendidikan generasi muda yang cukup maju membuat mereka enggan bekerja hanya sebagai pemburu burung.

Sebanyak 62,50% responden pemburu menjadi pemburu adalah atas kemauan sendiri dengan berbekal pengetahuan yang mereka dapatkan dari teman. Hal tersebut utamanya dilatarbelakangi oleh keadaan dimana mereka melihat pemburu lain sukses berburu dengan jumlah tangkapan melimpah dan juga pendapatan yang besar. Oleh karena itu mereka akhirnya memutuskan untuk menjadi pemburu dengan harapan akan sesukses pemburu lainnya.

Para pemburu yang mempunyai pengalaman berburu kurang dari 30 tahun umumnya belum pernah mengikuti penyuluhan terkait perburuan dan perdagangan burung. Penyuluhan tersebut terakhir kali diadakan pada tahun 1990 oleh suatu lembaga. Sebanyak 67% pemburu menyatakan telah mengetahui adanya peraturan-peraturan yang berlaku mengenai jenis burung yang dilindungi (Iskandar & karlina 2004). Pengetahuan pemburu mengenai adanya jenis-jenis burung yang dilindungi hanya sebatas pada burung-burung terrestrial yang berukuran besar, mempunyai bulu yang indah dan kicauan yang bagus.

Jika dalam berburu burung pemburu mendapatkan jenis burung yang bukan untuk dikonsumsi, maka biasanya burung tersebut akan dipelihara untuk kemudian dijual dan ada juga pemburu yang langsung melepasliarkannya. Jenis burung yang dimaksud diantaranya adalah jenis Manyar, Kutilang, Dederuk, Perkutut, Jalak sungu, Cabak dan Burung hantu.

Para pemburu di Desa Singakerta tidak mempercayai adanya suatu kepercayaan dalam perburuan burung. Mitos yang selama ini beredar tentang kesialan yang akan dialami jika jenis Dara laut (Sterna sp.) dengan nama lokal

(48)

2011), adalah tidak benar. Pemburu tidak akan berburu burung jika cuaca buruk seperti hujan deras dan pemburu tersebut malas untuk berburu.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat, masyarakat non pemburu dan pemburu, pada umumnya menyatakan bahwa keberadaan burung di wilayahnya tidak akan punah (Iskandar & Karlina 2004). Tetapi menurut penuturan pemburu, hasil tangkapan saat ini mengalami penurunan. Penurunan hasil tangkapan masyarakat dapat memberikan gambaran bahwa terjadi penurunan populasi dan keanekaragaman jenis burung yang hidup di habitat sekitar Desa Singakerta (Iskan dar & Karlina 2004). Ada beberapa dugaan penyabab turunnya populasi burung, baik burung migran maupun penetap di pesisir pantai utara Jawa Barat, khususnya di Singakerta, yaitu rusak atau hilangnya habitat, berkurangnya jumlah burung-burung yang singgah di Desa Singakerta dan bergesarnya tempat persinggahan burung ke lokasi lain (Sibuea 1996).

Menurut penuturan pemburu, penyebab berkurangnya populasi burung adalah akibat dari kegiatan penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan, terutama kegiatan penelitian mengenai pencincinan burung. Kegiatan perburuan burung diduga memberi dampak terhadap berkurangnya populasi burung (Sibuea 1996). Hal yang bertentangan diungkapkan oleh Iskandar dan Karlina dalam penelitiannya tahun 2004 yang menyatakan bahwa masyarakat Desa Singakerta yakin bahwa berkurangnya burung bukan karena aktivitas penangkap, melainkan berkurangnya lahan atau tempat bersarang serta tempat mencari pakan burung. Burung bukan lagi sebagai hama tanaman padi mereka. Bahkan masayarakat di lokasi penelitian memperlihatkan keberadaan burung sebagai hal yang menguntungkan.

(49)

pendampingan masyarakat khususnya pemburu, agar dapat mencari alternatif mata pencaharian lain sebagai usaha sampingan (Iskandar & Karlina 2004).

Perburuan dan perdagangan burung yang masih berlangsung hingga saat ini memperlihatkan upaya-upaya tersebut diatas belum berhasil diterapkan. Upaya-upaya yang dilakukan tersebut tampaknya belum memperlihatkan hasil yang berarti dari segi konservasi jenis. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah tidak adanya tindak lanjut yang nyata dari Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu terhadap proyek-proyek pelestarian jenis-jenis burung air dan habitatnya (Iskandar & Karlina 2004).

Sebanyak 66,67% pedagang burung goreng berdagang di wilayah Cirebon. Penjualan di ibukota Kabupaten Cirebon relatif lebih tinggi dibandingkan harga di ibukota Kabupaten Indramayu (Aminah & Rahmina 1993). Jika pada hari tersebut ada daging burung yang tidak laku, maka pedagang akan menyimpannya di lemari es dan akan menjualnya kembali pada hari berikutnya. Hal tersebut dilakukan untuk menekan kerugian. Burung jenis Terik (Glareola maldivarum), cBambangan kuning (Ixobrychus sinensis), Trinil (Tringa sp.) dan Bambangan merah (I. cinnamomeus) kurang diminati konsumen dikarenakan dagingnya yang sedikit dan baunya agak amis.

Dalam praktek perdagangan yang dilakukan, biasanya pedagang mencampur daging berbagai jenis burung dalam satu wadah. Karena awamnya konsumen terhadap burung, biasanya mereka tidak bisa membedakan antara satu jenis burung dengan jenis lainnya. Menurut pedagang burung goreng, semakin lama usaha ini semakin kurang menguntungkan. Hal ini dikarenakan jumlah omzet penjualannya menurun. Disisi lain kenaikan biaya lebih besar dibandingkan peningkatan harga jual (Aminah & Rahmina 1993). Selain menjual burung goreng, pedagang juga menjual daging bebek dan ayam goreng sebagai solusi untuk meningkatkan keuntungan. Para pedagang mulai berangkat menuju pasar sekitar pukul 16.00 dan pulang kembali pada pukul 23.00

(50)

menyatakan jarang membeli. Daging burung biasanya oleh konsumen hanya dijadikan sebagai camilan, bukan sebagai lauk seperti daging ayam sehingga konsumen jarang membelinya.

Sebagian besar konsumen tidak mengetahui jenis-jenis burung yang diperdagangkan untuk tujuan konsumsi. Mereka hanya mengetahui jenis Puyuh,

(51)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai perburuan dan perdagangan burung air untuk konsumsi yang dilakukan di Desa Singakerta, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan:

1a. Tipe habitat yang digunakan dalam perburuan burung adalah areal persawahan dan tambak yang tidak permanen. Lokasi perburuan burung tidak hanya berada di wilayah Singakerta, namun sudah menjangkau wilayah lainnya. b. Sebanyak 26 spesies (14.225 individu) dari 11 famili burung air tertangkap

dalam rentang waktu Desember 2011 - Februari 2012. Jumlah tangkapan terbanyak terdapat pada bulan Januari (9.542 individu). Spesies migran merupakan spesies yang paling banyak ditangkap setiap bulannya. Spesies migran yang paling banyak tertangkap adalah Bambangan kuning (Ixobrychus sinensis) (32,57%). Spesies penetap yang paling banyak tertangkap adalah Mandar batu (Gallinula chloropus) (10,20%). Setiap tahun rata-rata jumlah burung yang ditangkap mengalami penurunan.

2a.Terdapat tiga orang pengepul di Desa Singakerta. Pengepul pertama merupakan pengepul dengan jumlah burung terbanyak yaitu sebanyak 8.594 individu.

b. Kegiatan perburuan burung yang dilakukan oleh pemburu di Desa Singakerta merupakan pekerjaan sampingan. Sekitar 47,06% pemburu menggunakan metode jaring gelandang dalam berburu burung. Burung hasil buruan akan dijual langsung kepada pedagang burung goreng.

c. Sebanyak 66,67% pedagang burung goreng berdagang di wilayah Cirebon. Burung jenis Terik, Bambangan kuning, Bambangan merah, Tikusan kerdil dan Trinil kurang disukai konsumen karena rasanya pahit, dagingnya sedikit dan juga bewarna kehitaman.

d. Setiap tahun jumlah pemburu, pengepul dan konsumen mengalami penurunan. e. Cita rasa yang gurih dan enak serta murah pada daging burung merupakan

(52)

6.2 Saran

1. Perlu diadakannya pendekatan kepada pemburu, pengepul dan pedagang untuk tidak memburu dan membeli jenis-jenis burung yang kurang laku dipasaran. 2. Peran aktif pemerintah dalam mendorong dan memberdayakan masyarakat

pemburu menjadi peternak burung Puyuh yang lebih mandiri dan ramah lingkungan.

(53)

KRANGKENG, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

ATIK WURYANI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(54)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: PAU - IPB.

Alikodra HS. 1990. Laporan penelitian ekologi dan konservasi burung wader migran di Jawa. Fakultas Kehutanan – IPB.

Alikodra HS. 1993. Konservasi burung wader migran di Jawa. Media Konservasi IV (2): 65-76.

Aminah M dan Rahmina D. 1993. Studi sosial ekonomi penangkapan dan pemasaran burung air di Indramayu - Cirebon. PHPA/AWB - Indonesia. Basuni S, Setiyani G. 1989. Studi perdagangan burung di Pasar Pramuka, Jakarta

dan teknik penangkapan burung di alam. Media Konservasi II: 9-18.

Bungin B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

[Dishutbun Indramayu] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indramayu. 2010. Pokja Mangrove Indramayu. Indramayu: Dishutbun Indramayu. Ginoga LN. 1999. Pencemaran insektisida pada tiga spesies burung air di areal

persawahan Sukamandi, Subang Jawa Barat. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Hayman P, Marchant J, and Prater T. 1986. A Field Guide to the Birds of Suoth East Asia. Collins. London.

Howes J, Bakewell D, Noor YR. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor: Wetlands International - Indonesia Programme.

Iskandar S, Karlina E. 2004. Kajian pemanfaatan jenis burung air di Pantai Utara Indramayu, Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah X (1): 43-48.

Jamaksari H. 2011. Keanakaragaman burung pantai pada berbagai tipe habitat di kawasan Muara Cimanuk, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Tabel 1  Jumlah individu burung yang diburu pada beberapa penelitian di wilayah Indramayu
Gambar 4  Spesies burung yang tertangkap (a) Gallinula chloropus (b) Ixobrychus
Tabel  2  Spesies burung yang tertangkap selama Desember 2011 - Februari 2012
Tabel 4  Ukuran tubuh burung yang dikonsumsi
+7

Referensi

Dokumen terkait