BERKELANJUTAN DI MUARA ANGKE DAERAH
KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
Nyoto Santoso
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembibmbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Januari 2012
Nyoto Santoso
Nyoto Santoso. Policy Guidance and Strategy for Sustainable Mangrove Management in Muara Angke DKI Jakarta. Guided by: Cecep Kusmana, Dedi Soedharma, and Rinekso Soekmadi.
Mangrove area in Muara Angke DKI Jakarta is about 477.7 ha, having values and potencies for lives supporting around. Objectives of this study: 1) to identify biophysical environment condition of mangrove, 2) to study social condition of the community around mangrove area, 3) to analyze economical values of mangrove area in Muara Angke, 4) to analyze sustainability status of mangrove area management, 5) to establish the guide of policy and strategy of sustainable management of mangrove area in Muara Angke. Methods of data analysis were description, quantitative (TEV), sustainability (MDS), and A’WOT analysis. Results showed: 1) land cover vegetation in mangrove area was increasing with rehabilitation activity, 2) diversity of plants (mangrove associated) increased, 3) variation of fauna (bird, mammals, reptile, and fish) decreased, 4) estimation of economical value in the area was about Rp. 100.009.463.994,-/year, 5) the condition of mangrove management in Muara Angke DKI Jakarta was not sustainable yet, 6) Leveraging sustainable factors needed to be encouraged were reducing beach abration, water contamination, increasing participation management, application of mangrove rehabilitation technology, rob technology, keeping and improving Local Government commitment, integrated programs, in building and application of laws in mangrove management, provide regulation and law enforcement in mangrove management area, 7) goals of sustainable mangrove management based on priorities were (1) Empowering of institution, (2) Improving of community (stakeholders) participation in mangrove management, (3) Improving of mangrove conservation, and (4) Utilizing of technology on mangrove management.
Perubahan kebijakan, degradasi lingkungan, dan dinamika sosial ekonomi masyarakat telah mendorong terjadinya penurunan fungsi kawasan mangrove Muara Angke. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan kajian terhadap komponen lingkungan pembentuk hutan mangrove, komponen pengelolaan kawasan, upaya-upaya rehabilitasi dan optimasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove melalui penelitian “Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta”.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke, 2) Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke, 3) Sejauhmana status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Muara Angke, 4) Bagaimana arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke pada masa mendatang.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka diperlukan pengetahuan dan merupakan tujuan antara dari penelitian ini, yaitu: 1) Mengidentifikasi kondisi biofisik ekosistem mangrove Muara Angke, 2) Mengkaji kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara Angke, 3) Menganalisis nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke, 4) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, 5) Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan.
pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan Muara Angke.
Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Hutan Lindung sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Jumlah jenis meningkat dari 11 spesies (1995) menjadi 20 spesies (2011), didominasi oleh bakau (R.apiculata) dan api-api (A.marina).
Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat pada kawasan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) sebagian besar bukan jenis mangrove sejati. Jumlah jenis meningkat dari 18 spesies (tahun1972) menjadi 33 spesies (2011), yang didominasi pidada (S.caseolaris), dan nipah (Nypa fruticans). Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan SMMA telah mengalami perubahan, terutama salinitas air relatif rendah (air tawar), yang dikarenakan air pasang dan air surut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya dan pengaruh Sungai Angke lebih dominan dibandingkan dengan air laut.
Keanekaragaman jenis satwaliar 95 jenis burung, 4 jenis reptilia dan 4 jenis mamalia. Jenis-jenis burung masih banyak dijumpai burung air, seperti belibis, ruak-ruak/kareo, kuntul dan pecuk (LPP Mangrove, 2002) dan menjadi 67 jenis burung, 4 mamalia dan 4 reptilia (tahun 211). Kelimpahan populasi burung air tersebut mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kehadiran jenis burung tersebut lebih banyak dijumpai pada kawasan SMMA dibanding kawasan lainnya, serta selain menggunakan kawasan SMMA sebagai feeding ground, juga sekaligus sebagai tempat berkembangbiak dan mengasuh anak.
Pada mulanya daratan Pantai Kapuk selalu berkembang ke arah laut dengan laju sekitar 1 m per tahun yang dipacu oleh adanya hutan mangrove yang lebat karena perakarannya dapat mengurangi terjadinya erosi dan memacu sedimentasi. Pada tahun 1980, tepi Barat muara Sungai Angke dibangun break mengendapkannya di sebelah barat jetti tersebut.
Buruknya sanitasi di daerah hulu mengakibatkan perairan sungai di daerah tapak yang terletak di sekitar muara sungai menjadi septik, berwarna hitam dan berbau. Akibat rendahnya kecepatan aliran di daerah hilir, kecepatan reoksigenasi menjadi sangat lambat, sehingga kemampuan self purification sungai tersebut sangat lemah. Situasi yang lebih buruk, rendahnya kecepatan air sungai di bagian hilir menyebabkan proses biodegrasi terjadi pada perjalanan menuju ke muara, yang mengkonversi zat organik yang terlarut menjadi koloid sehingga mempercepat laju sedimentasi.
Kemauan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengamanan hutan lindung yang cukup besar, sebanyak 100% respoden yang berasal dari masyarakat nelayan, 90% masyarakat petambak, 50% masyarakat Non-PIK dan 55% masyarakat PIK masing-masing manyatakan bersedia turut serta dan berpartisipasi utnuk mengamankan dan melestarikan hutan lindung.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut pernah mengalami kerugian akibat gangguan lingkungan. Persentase terbesar masyarakat yang pernah mengalami gangguan lingkungan adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Tegal Alur, Pluit dan Kapuk Muara dengan persentase di atas 90%. Gangguan lingkungan yang paling banyak atau sering dialami oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah banjir (rob), sedangkan jenis gangguan lingkungan yang paling sedikit dirasakan oleh masyarakat adalah abrasi. Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa dalam 10 tahun terakhir terdapat 40% responden yang mengalami kerugian akibat abrasi, dengan frekuensi antara 1-3 kali dan lebih dari 6 kali.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa 89% responden dalam 10 tahun terakhir pernah mengalami gangguan lingkungan berupa intrusi air laut, dengan persentase terbesar lebih dari enam kali.
Beberapa pihak yang menjadi mitra dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah: Lembaga Swadaya Masyarakat, Swasta (PT. Kapuk Naga Indah, PT. Mandara Permai, PT. Murindra Karya Lestari), Perguruan Tinggi. Tingginya minat dan kepedulian para pihak dalam meningkatkan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke belum mampu mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan. Kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan antara lain: (1) Penguatan batas kawasan, (2) Pembangunan sarana prasarana, (3) Penanaman dan pemeliharaan, (4) Penanganan sampah, (5) Pengelolaan pengunjung, (6) Penegakan hukum, (7) Penelitian, dan (8) Sosialisasi dan koordinsi. Upaya melegalkan kelembagaan pengelolaan yang melibatkan parapihak (kolaboratif) sudah pernah dilakukan, namun karena pergantian pimpinan atau staf yang bertanggung jawab menyebabkan perubahan komitmen tersebut, dan pada akhirnya koordinasi dan sinkronisasi program pengelolaan tidak terwujud.
Berdasarkan seluruh penjumlahan terhadap nilai dari seluruh manfaat yang terdapat pada kawasan mangrove Muara Angke (478 ha) diperoleh estimasi nilai manfaat total sebesar Rp. 100.009.463.994,-/tahun, yang sebagian besar merupakan nilai manfaat tidak langsung (80,03 %).
Penilaian status keberlanjutan didasarkan pada ke-51 atribut tersebut melalui data dan pendapat stakeholder menunjukkan bahwa kawasan mangrove Muara Angke belum berkelanjutan. Dari lima dimensi yang dianalisis untuk menentukan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke-Jakarta, tidak terdapat lima dimensi yang tergolong berkelanjutan (skor > 75).
(2) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, (3) Konservasi mangrove, dan (4) Teknologi pengelolaan kawasan mangrove.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
BERKELANJUTAN DI MUARA ANGKE DAERAH
KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
Oleh:
Nyoto Santoso
E.061050081
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS 2. Dr. Ir. Istomo, MS
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
Nama : Nyoto Santoso
NIM : E. 061050081
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F.
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi IPK IPB Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan petunjuk, saran dan arahan, dan bimbingannya, baik secara moral mupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan disertasi ini. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Prof. Dr. Ir. Marimin, MS. selaku Sekretaris Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ijin belajar dan kuliah sehingga selesainya program doktor, kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo selaku Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. selaku Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah memberikan motivasi hingga terselesaikannya program doktor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Pimpinan dan Staf BKSDA DKI Jakarta, Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, PT. Murindra Karya Lestari, PT. Kapuk Naga Indah dan PT. Mandara Permai, Camat dan Staf Kecamatan Penjaringan, Kelurahan Muara Angke, Kelurahan Kapuk Muara, Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Tegal Alur, dan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove.
Penulis secara khusus mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua yang telah mendidik sejak kecil sampai sekarang. Kepada istri penulis (Drh. Hj. Ria Puryanti Yahya, M.Si) yang turut mendorong dalam pelaksanaan kuliah, penyusunan proposal, penelitian sampai penulisan disertasi. Juga kepada anak-anakku tercinta (Hamam Kusumagani, S.Ked dan Rizky Praba Nugraha) diucapkan banyak terima kasih telah memberikan motivasi dalam penyelesaian disertasi ini.
Saya menyadari bahwa disertasi ini masih kurang sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya dan semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2012
Penulis lahir di Banyuwangi pada tanggal 15 Maret 1962. Penulis adalah putra ketiga dari keluarga Bapak Bagini dan Ibu Tumini, pekerjaan tani. Sejak masuk Sekolah Menengah Pertama, penulis diasuh oleh Bapak Soekardi Budiono, pekerjaan pegawai Perum Perhutani dan bersamanya mulai mengenal pengelolaan hutan, termasuk pengelolaan hutan mangrove.
Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Sumber Beras II Banyuwangi dan lulus tahun 1973, melanjutkan ke SMP Negeri Benculuk Banyuwangi lulus tahun 1976, selanjutnya masuk ke SMA Negeri Genteng Banyuwangi lulus tahun 1980. Penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1985 dan melanjutkan ke Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1992. Pada tahun 2005 penulis masuk Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2012.
Sejak tahun 1985 sampai dengan sekarang mengabdi sebagai staf pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Beberapa tugas di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB adalah Staf Pembantu Dekan III Fakultas Kehutanan IPB, Sekretaris Praktek Umum Kehutanan, anggota Komisi Pendidikan, anggota Komisi Kerjasama, Ketua Komisi Olahraga Fahutan IPB. Sejak tahun 1995 menjabat sebagai Sekretaris Tim Pengelola Fasilitas Olahraga IPB dan tahun 1999 sampai dengan sekarang sebagai Manajer Operasional Unit Pengelola Teknis Olahraga dan Seni IPB, dan tahun 1999 sampai sekarang sebagai Direktur Sekolah Sepakbola IPB.
Di samping itu penulis juga aktif pada Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (Yayasan Mangrove Indonesia) sejak tahun 1995-2008 sebagai Direktur Eksekutif, serta antara tahun 2005-2008 sebagai Sekretaris Kelompok Kerja Mangrove Nasional. Sebagai anggota Dewan Pakar pada Yayasan Pembangunan Perkebunan Strategis dan Berkelanjutan (2010-sekarang) dan Kelompok Kerja Mangrove Nasional (2008-(2010-sekarang), Ketua Badan Pengawas Jaringan Pelestari Nilai Konservasi Tinggi Indonesia (2010-sekarang).
Penulis menikah dengan Drh. Hj. Ria Puryanti Yahya, M.Si dan dikaruniai dua putra yaitu Hamam Kusumagani, S.Ked dan Rizky Praba Nugraha.
Demikian riwayat hidup penulis untuk menambah informasi latar belakang dan pengalaman kerja selama ini.
Bogor, Januari 2012
KATA PENGANTAR ... xi
2.1.2 Luas dan Sebaran Hutan Mangrove di Indonesia ... 12
2.2 Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove ... 13
2.2.1 Zonasi Hutan Mangrove ... 13
2.2.2 Habitat ... 14
2.2.3 Klasifikasi Tempat Tumbh ... 16
2.2.4 Klasifikasi Komunitas Hutan Mangrove ... 17
2.2.5 Sistem Perakaran Hutan Mangrove ... 23
2.2.6 Kenekaragaman Hayati Ekosistem Hutan Mangrove ... 24
2.2.7 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 25
2.3 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat ... 29
2.4 Analisis Kebijakan ... 33
3 METODE PENELITIAN ... 38
3.1 Lokasi dan Waktu ... 38
3.2 Ruang Lingkup, Tahapan Penelitian dan Variable yang Diamati 38
3.2.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 38
3.2.2 Tahapan Penelitian ... 39
3.4.3 Analisis Status Keberlanjutan (MDS) ... 50
4.2.1 Letak dan Batas Geografis ... 60
4.2.2 Geologi dan Tanah... 60
4.2.3 Hidro-Oceanografi ... 68
4.2.4 Hidrologi ... 72
4.2.5 Iklim... 76
4.3 Komponen Biologi ... 77
4.3.1 Penutupan Vegetasi ... 77
4.3.2 Keanekaragaman Jenis Flora ... 82
4.3.3 Keanekaragaman Jenis Satwaliar ... 88
4.3.4 Biota Air ... 96
4.4 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 103
4.4.1 Penduduk ... 105
4.4.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Kawasan Mangrove Muara Angke ... 113
4.4.3 Interaksi Masyarakat dengan Hutan Mangrove ... 122
4.4.4 Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Mangrove Muara Angke ... 123
4.5 Kegiatan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang Telah Dilakukan ... 127
4.5.1 Kebijakan ... 127
4.5.2 Kelembagaan ... 128
4.5.3 Kegiatan Pengelolaan ... 129
5 VALUASI NILAI EKONOMI TOTAL KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE ... 141
5.1 Pendahuluan ... 141
5.2 Profil Responden ... 143
5.2.1 Responden CVM (Contingent Valuation Method) ... 143
5.2.2 Responden TCM (Travel Cost Method) ... 145
5.2.3 Profil Wisata Mangrove DKI Jakarta ... 145
5.2.4 Ekowisata Tol Soedyatmo ... 150
5.2.5 Suaka Margasatwa Muara Angke ... 152
5.3 Analisis Nilai Ekonomi Total ... 153
5.3.1 Direct Use Value (Nilai Manfaat Langsung) ... 154
5.3.2 Indirect Use Value (Nilai Manfaat Tidak Langsung) ... 158
5.3.3 Nilai Pilihan Hutan Mangrove Muara Angke Jakarta ... 164
5.3.4 Manfaat Pewarisan Hutan Mangrove Muara Angke ... 165
5.3.5 Estimasi Nilai Ekonomi Manfaat Keberadaan Hutan Mangrove Muara Angke ... 166
5.4 Pembahasan Nilai Ekonomi Total Kawasan Mangrove Muara Angke... 166
6.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Muara Angke ... 170
6.3 Faktor Pengungkit Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove Muara Angke... 178
6.3.1 Dimensi Ekologi ... 178
6.3.2 Dimensi Ekonomi ... 182
6.3.3 Dimensi Sosial ... 184
6.3.4 Dimensi Kelembagaan ... 188
6.3.5 Dimensi Teknologi ... 192
6.4 Kesimpulan ... 196
7 ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN MANGROVE MUARA ANGKE ... 198
7.1 Pendahuluan ... 198
7.2 Kebutuhan Stakeholder... 199
7.3 Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke ... 201
7.3.1 Definisi Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Kawasan Lindung ... 201
7.3.2 Status Pemanfaatan dan Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke... 202
7.3.3 Prioritas Kebijakan ... 209
7.3.4 Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke ... 216
7.4 Kesimpulan ... 219
8 KESIMPULAN DAN SARAN ... 220
8.1 Kesimpulan ... 220
8.2 Saran ... 223
DAFTAR PUSTAKA ... 224
Halaman
1 Luas hutan mangrove pada beberapa wilayah negara di dunia ... 12
2 Luas mangrove Indonesia menurut Kementrian Kehutanan dan Bakosurtanal (2006-2010) ... 13
3 Pembentukan struktur komunitas mangrove Australia ... 18
4 Tahap penelitian, jenis data, dan sumber data ... 41
5 Karakteristik spektral citra Landsat 7 ETM+ ... 44
6 Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah Cagar Alam Muara Angke ... 67
7 Besarnya nisbah C/N, Ph, dan tekstur tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara Angke ... 68
8 Besarnya kandungan unsur hara, kapasitas tukar kation (KTK), dan logam berat tanah hutan mangrove di sebelah barat dan timur Muara Angke ... 68
9 Debit air sungai pada beberapa lokasi penelitian di kawasan mangrove Muara Angke DKI Jakarta ... 73
10 Hasil analisis kualitas air pada plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke (Santoso, N 2002) ... 74
11 Data curah hujan bulanan stasiun Cengkareng ... 76
12 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989 ... 77
13 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001 .... 79
14 Kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 ... 81
15 Daftar jenis tumbuhan di SMMA pada periode waktu yang berbeda ... 83
16 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Lindung Muara Angke pada periode waktu yang berbeda ... 85
17 Daftar jenis tumbuhan di Hutan Wisata Kamal pada periode waktu yang berbeda ... 86
18 Daftar jenis tumbuhan di Kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011 ... 87
19 Daftar jenis satwaliar di Suaka Margasatwa Muara Angke pada periode 1984 - 2000 ... 89
23 Kandungan fitoplakton di SMMA tahun 1996 ... 97
24 Hasil analisis phytoplankton di SMMA tahun 2000 ... 98
25 Jenis-jenis ikan di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke
tahun 2000 ... 99
26 Hasil analisis biota air (kelimpahan zooplankton, ind/l) pada plot
pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke ... 100
27 Hasil analisis biota air (kelimpahan phytoplankton, ind/l) pada
plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara Angke... 101
28 Hasil analisis biota air (kelimpahan benthos, ind/m2) pada berbagai plot pengamatan di kawasan hutan mangrove Muara
Angke ... 102
29 Kondisi penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
Kelurahan Pluit ... 106
30 Jumlah penduduk menurut kelas umur dan jenis kelamin di
Keluruhan Kamal Muara ... 108
31 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
Kelurahan Kamal Muara ... 108
32 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
Kelurahan Kapuk Muara ... 110
33 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian dan pendidikan di
kelurahan penjaringan ... 111
34 Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Penjaringan,
Muara Kamal, dan Pluit ... 112
35 Rata-rata tingkat pendapatan penduduk di Kelurahan Kapuk
Muara dan Tegal Alur ... 112
36 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan lindung
menurut persentase penilaian responden ... 114
37 Persepsi masyarakat terhadap manfaat kawasan lindung menurut
persentase penilaian responden ... 117
38 Persepsi masyarakat pelestarian kawasan lindung menurut
persentase penilaian responden ... 119
39 Persentase masyarakat yang pernah mengalami gangguan
lingkungan di kawasan Muara Angke, Jakarta ... 124
40 Jenis gangguan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar Muara
terakhir ... 125
43 Frekuensi intrusi air laut yang dialami responden dalam 10 tahun terakhir ... 126
44 Kerugian akibat intrusi air laut dalam 10 tahun terakhir ... 126
45 Frekuensi banjir rob dalam 10 tahun terakhir ... 127
46 Kerugian akibat banjir dalam 10 tahun terakhir ... 127
47 Fasilitas dan sarana prasarana penunjang wisata mangrove DKI Jakarta ... 148
48 Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penahan abrasi ... 159
49 Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penahan intrusi ... 160
50 Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penyerap karbon ... 161
51 Estimasi nilai ekonomi manfaat hutan mangrove Muara Angke sebagai penjerap limbah ... 162
52 Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai penyedia unsur hara ... 163
53 Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai tempat pemijahan ... 164
54 Estimasi nilai ekonomi kawasan hutan mangrove Muara Angke sebagai penghasil oksigen ... 164
55 Nilai ekonomi manfaat pilihan hutan mangrove Muara Angke ... 165
56 Estimasi nilai ekonomi manfaat pewarisan hutan mangrove Muara Angke ... 165
57 Estimasi nilai total hutan mangrove Muara Angke (478 ha)... 167
58 Hasil analisis MDS beberapa parameter statistik keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ... 176
59 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dan masing-masing dimensi pengelolan kawasan mangrove Muara Angke ... 178
60 Luas perubahan garis pantai kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010 ... 179
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Peraturan Pemerintah No. 34
Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2011 ... 203
64 Matriks prioritas komponen SWOT kebijakan pengelolaan
kawasan mangrove Muara Angke ... 210
65 Matriks prioritas faktor strentghs kebijakan pengelolaan kawasan
mangrove Muara Angke ... 210
66 Matriks prioritas faktor weaknesses kebijakan pengelolaan
kawasan mangrove Muara Angke ... 211
67 Matriks prioritas faktor opportunities kebijakan pengelolaan
kawasan mangrove Muara Angke ... 211
68 Matriks prioritas faktor threats kebijakan pengelolaan kawasan
mangrove Muara Angke ... 212
69 Bobot dan prioritas kebijakan pengelolaan kawasan mangrove
Halaman
1 Kerangka pikir penelitian ... 9
2 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993) ... 27
3 Tahapan penelitian ... 40
4 Karakteristik reflektansi spektral pada masing-masing tutupan lahan . 44 5 Tipologi barang dan jasa sistem sumberdaya dan lingkungan: Total Economic Value (Pagiola et al. 2004) ... 48
6 Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS ... 51
7 Lokasi kawasan hutan Muara Angke DKI Jakarta (Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 2011) ... 60
8 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 1989 ... 79
9 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2001 ... 81
10 Kondisi kelas penutupan vegetasi mangrove Muara Angke tahun 2006 ... 83
11 Berbagai bentuk dimensi breakwater ... 133
12 Penanaman mangrove dengan sistem guludan ... 134
13 Kondisi pertumbuhan tanaman mangrove dengan metode guludan .... 134
14 Penanaman mangrove dengan bibit langsung ... 135
15 Kondisi sarana prasarana pengelolaan tahun 2000 dan tahun 2011 ... 136
16 Sarana dan prasarana di Hutan Lindung Angke Kapuk ... 136
17 Sarana dan prasarana di Ekowisata Mangrove ... 137
18 Persentase tingkat pendidikan responden ... 144
19 Pekerjaan responden ... 145
20 Tingkat pendidikan responden TWA Angke Kapuk ... 147
21 Persepsi responden terhadap lokasi wisata TWA Angke Kapuk ... 149
22 Tingkat pendidikan responden TCM di Ekowisata Tol Soedyatmo .... 151
23 Persepsi responden terhadap lokasi wisata Ekowisata Tol Soedyatmo. ... 151
Jakarta ... 174
27 Perubahan garis pantai pada kawasan mangrove Muara Angke dari tahun 1984 sampai tahun 2010 ... 180
28 Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ... 181
29 Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ... 184
30 Atribut sosial yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ... 187
31 Atribut kelembagaan yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ... 191
1 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Lindung Muara Angke tahun 2002 ... 233
2 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2002 ... 235
3 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Kebun Bibit Muara Angke pada tahun 2002 ... 239
4 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Wisata Muara Angke pada tahun 2002 ... 240
5 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Hutan Lindung Muara Angke pada tahun 2011 ... 245
6 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke pada tahun 2011 ... 248
7 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Arboretum Muara Angke pada tahun 2011 ... 249
8 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Taman Wisata Alam Muara Angke pada tahun 2011 ... 250
9 Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di kawasan Ekowisata Muara Angke pada tahun 2011 ... 251
10 Identifikasi nilai ekonomi sumberdaya alam kawasan mangrove Muara Angke per lokasi ... 252
11 Total nilai ekonomi sumberdaya alam kawasan mangrove Muara Angke per lokasi ... 253
12 Nilai ekonomi cacing dengan metode penilaian pasar aktual ... 254
13 Nilai ekonomi ikan dan kepiting tangkap dengan metode penilaian pasar aktual ... 255
14 Nilai ekonomi memancing dengan metode penilaian dengan biaya perjalanan (TCM) ... 257
15 Nilai ekonomi wisata dengan metode penilaian dengan biaya perjalanan (TCM) ... 258
16 Nilai penahan abrasi dengan metode penilaian replacement cost atau biaya pengganti ... 259
17 Nilai penahan intrusi air laut atau pelindung supplai air tawar (barrier antara akuifer dan laut) ... 260
18 Nilai penyerapan karbon dengan metode penilaian benefit transfer .... 261 19 Nilai penjerap limbah atau polutan dengan pendekatan penilaian
asuhan (nursery) dengan pendekatan metode biaya pengganti (replacement cost) ... 265 22 Nilai manfaat penghasil oksigen dengan metode pendekatan
substitution cost ... 266 23 Nilai pilihan dengan menggunakan metode benefit transfer... 267 24 Nilai manfaat keberadaan ... 268
25 Nilai pewarisan (bequest value) ... 269 26 Budidaya tambak ... 270
27 Hasil analisis A’WOT terhadap faktor-Faktor internal dan eksternal pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke ... 273
28 Kuesioner penentuan status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta... 276
1.1 Latar Belakang
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu
atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut
tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Nybakken (1982) mendeskripsikan hutan
mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu
varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon
yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam
perairan asin.
Bakosurtanal (2009) menyebutkan bahwa luas kawasan mangrove di
Indonesia yang bervegetasi adalah sekitar 3.244.018,46 ha. Akan tetapi luas hutan mangrove tersebut telah banyak mengalami penurunan kualitas dan kuantitas yang
dikarenakan kegiatan konversi (tambak, pemukiman, persawahan), penebangan
kayu yang tidak bertanggung jawab (kayu bakar, pembuatan arang).
Kecenderungan konversi hutan mangrove menjadi bentk penggunaan lahan lain
semakin meningkat, yang didasari semata-mata kepentingan ekonomi dan kurang
memperhatikan keberlanjutan kepentingan ekologi dan sosial.
Luas hutan mangrove di wilayah Kamal dan Angke (Muara Angke) DKI
Jakarta pada tahun 1990 sekitar 1.144 ha, namun karena kebijakan pemerintah
sebagian besar kawasan mangrove dikonversi menjadi kawasan pemukiman. Pada
saat ini kawasan mangrove Muara Angke tinggal tersisa 327,7 ha dengan status
sebagai kawasan Hijau Lindung dan seluas 150 ha sebagai areal budidaya tambak.
Selain mengalami penurunan kuantitas, kawasan mangrove Muara Angke juga
terus mengalami tekanan berupa pencemaran limbah rumah tangga, limbah
industri, penebangan liar, dan sampah padat.
Tujuan ditetapkannya kawasan ini sebagai kawasan Hijau Lindung (hutan
lindung, suaka margasatwa, hutan wisata, kebun bibit, dan jalur hijau) adalah
untuk perlindungan kehidupan keanekaragaman jenis satwaliar (burung-burung
air, mamalia, reptilia, dan biota perairan) beserta ekosistemnya, yang dapat
dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan wisata alam. Akan tetapi
terhadap keberlanjutan manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove.
Kawasan mangrove Muara Angke merupakan kawasan ekosistem
mangrove yang paling dekat dengan pusat pemukiman dan Ibukota Negara
Republik Indonesia, memiliki aksesibilitas baik, masih mencerminkan ekosistem
mangrove yaitu: air payau, terpengaruh pasang surut, keanekaragaman jenis
burung cukup tinggi (burung air, burung dari daratan, burung endemik pesisir),
terdapat populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang merupakan sisa-sisa populasi monyet asli Jakarta.
Upaya pengelolaan terhadap kawasan hutan mangrove Muara Angke
masih terbatas (dana, sumberdaya manusia, sarana prasarana, ketersediaan
informasi), sehingga tidak mampu meningkatkan kualitas lingkungan hutan
mangrove dan meningkatkan keberlanjutan fungsi dan manfaat kawasan. Bahkan
timbul kesan dan persepsi masyarakat bahwa kawasan konservasi tersebut tidak
terurus, sehingga kondisinya semakin menurun.
Perubahan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) turut pula
mempengaruhi kondisi hutan mangrove di Muara Angke. Sejak perubahan tata
ruang DKI Jakarta, dimana diterbitkannya ijin pembangunan perumahan dan
rekreasi Pantai Indah Kapuk oleh Pemda DKI Jakarta, serta dikonversinya hutan
mangrove (tukar kawasan hutan dari hutan mangrove menjadi hutan darat) seluas
lebih kurang 831,63 ha menjadi kawasan pemukiman dan rekreasi, terjadilah
perubahan bentang alam secara besar-besaran, sehingga hal tersebut ikut pula
mempengaruhi kualitas lingkungan hutan mangrove di Muara Angke.
Rencana reklamasi pantura DKI Jakarta diperkirakan akan memberikan
pengaruh terhadap kelestarian fungsi ekosistem hutan mangrove di Muara Angke
dan sekitarnya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan kajian terhadap
komponen lingkungan pembentuk hutan mangrove, komponen pengelolaan dan
kebijakan, upaya-upaya rehabilitasi dan optimasi manfaat dan fungsi ekosistem
hutan mangrove dalam rangka memformulasikan pengelolaan kawasan mangrove
Muara Angke untuk mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove tersebutdi
Kondisi hutan mangrove Muara Angke saat ini telah mengalami
kerusakan, yang disebabkan oleh perubahan lingkungan di sekitarnya dan tekanan
langsung dan tidak langsung terhadap keberadaan hutan mangrove itu sendiri.
Kondisi pengelolaan (prasarana dan sarana, sumberdaya manusia, dana, data, dan
informasi) juga sangat lemah. Hal ini mendorong persepsi masyarakat terhadap
upaya pelestarian hutan mangrove yang rendah.
Faktor-faktor yang mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari
aktivitas manusia atau pembangunan di darat (industri, restoran atau hotel,
pemukiman, dan pertanian) yang memberikan kontribusi tekanan berupa
pencemaran (limbah cair), sedimentasi, dan kerusakan (sampah), serta aktivitas
manusia di perairan laut (perhubungan, perikanan atau nelayan) yang memberikan
dampak negatif (pencemaran minyak, abrasi) terhadap pantai. Faktor lain yang
mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari aktivitas manusia pada hutan
mangrove itu sendiri, berupa: budidaya tambak dan penebangan kayu bakau.
Aktivitas semua pihak pada ketiga tempat tersebut (daratan atau hulu, hutan
mangrove, dan perairan laut) telah menimbulkan dampak negatif terhadap
keberadaan dan keberlanjutan fungsi hutan mangrove Muara Angke.
Kebijakan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta ikut serta memberi
peluang terhadap terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove
Muara Angke, yaitu: konversi hutan mangrove (831,63 ha) menjadi wilayah
pemukiman Pantai Indah Kapuk dan rencana reklamasi pantai. Lemahnya fungsi
pengawasan terhadap kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan
pencemaran (industri, restoran, dan perhotelan) juga ikut serta semakin
meningkatnya intensitas pencemaran lingkungan, termasuk menurunnya kualitas
lingkungan hutan mangrove Muara Angke.
Di samping itu, status kawasan mangrove Muara Angke (hutan lindung,
taman wisata alam, suaka margasatwa, lahan dengan tujuan istimewa dan
arboretum, tambak) yang dikelola oleh Dinas Kelautan dan Pertanian, BKSDA
(Balai Konservasi Sumberdaya Alam), PT. Murindra Karya Lestari, Badan Riset
Kementrian Kelautan dan Perikanan telah mendorong tidak harmonisnya
pengelolaan kawasan mangrove dilakukan secara parsial dan tidak terpadu.
Pengembangan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke di DKI Jakarta
sangat penting untuk mendukung sarana pendidikan lingkungan, penelitian, dan
wisata alam bagi generasi muda dan masyarakat pada umumnya, serta sebagai
ruang terbuka hijau dan meningkatkan kualitas kawasan lindung. Terbatasnya
ruang untuk melakukan kegiatan di alam terbuka telah mendorong upaya
pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kegiatan wisata alam
(pemancingan, rekreasi, penelitian, dan pendidikan lingkungan).
Berdasarkan kondisi dan permasalahan serta pengembangan pengelolaan
kawasan lindung DKI Jakarta, maka pengelolaan kawasan mangrove Muara
Angke Jakarta berkelanjutan perlu kajian yang meliputi:
a. Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke?
b. Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan mangrove
Muara Angke?
c. Sejauhmana status keberlanjutan pengelolaan mangrove di Muara Angke?
d. Bagaimana arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove
Muara Angke pada masa mendatang?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasi kondisi lingkungan (biofisik) ekosistem mangrove Muara
Angke
b. Mengkaji kondisi sosial masyarakat di sekitar kawasan mangrove Muara
Angke
c. Menganalisis nilai ekonomi total kawasan mangrove Muara Angke
d. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara
Angke
e. Merumuskan arah kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan yang berguna
dalam upaya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke Jakarta berkelanjutan,
yang meliputi:
a. Bagi iptek adalah memperkaya khasanah pengetahuan dan gagasan di bidang
pengelolaan mangrove secara berkelanjutan
b. Bagi pengambil keputusan adalah tersedianya arahan kebijakan dan strategi
pengelolaan mangrove berkelanjutan yang dapat diaplikasikan di Muara
Angke Jakarta
c. Bagi praktisi adalah tersedianya arahan dan strategi untuk praktek pengelolaan
mangrove yang berkanjutan di Muara Angke.
1.5 Kerangka Pikir
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang
penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia
hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota,
penahan abrasi, penahan angin dan tsunami, penyerap limbah, dan pencegah
intrusi air laut, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti
penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan fungsi sosial
sebagai lahan interaksi bagi masyarakat.
Kebijakan pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) yang
mengkonversi kawasan mangrove seluas 831,63 ha telah menyebabkan penurunan
nilai dan fungsi kawasan mangrove. Di samping itu kebijakan penetapan status
kawasan mangrove (hutan lindung, taman wisata alam, suaka margasatwa,
arboretum, lahan dengan tujuan istimewa, tambak) telah mendorong pengelolaan
kawasan berjalan secara parsial dan tidak terpadu. Kondisi ini didorong oleh
rendahnya kesadaran masyarakat dan rendahnya komitmen pemerintah dan
pemerintah Propinsi DKI Jakarta, telah mendorong semakin rusaknya ekosistem
mangrove Muara Angke.
Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil
kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk
maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat
dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas
(kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi jenis dan proporsi) mangrove di
Muara Angke semakin dipercepat.
Ancaman kerusakan bagi kawasan mangrove sebagian besar berasal dari
aktivitas manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana
penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung melalui: alih fungsi atau konversi,
pencemaran, abrasi, dan sedimentasi. Secara tidak langsung melalui fenomena
alam seperti: meningkatnya muka air laut, banjir (rob).
Banyak kawasan mangrove hancur akibat alih fungsi mangrove untuk
tambak, industri, dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi
lingkungan (Wartaputra 1990; Kusmana 2002). Perubahan hutan mangrove
menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika
terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta
abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi (Naamin 2002; Soedharma et al. 1990). Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk
perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya, serta adanya
pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi
dari cara pandang antara peran mangrove terhadap lingkungan dan alih fungsi
menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Muara Angke.
Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat dibandingkan sektor
lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan.
Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi
mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya
terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu
dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk
menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan
mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah
pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan.
Supriharyono (2000) menyatakan kerusakan hutan mangrove terutama disebabkan
oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak. Budhisantoso
(1998) menyebutkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi dalam
pengelolaan pengembangan kawasan pesisir adalah menyusutnya persediaan
sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh
karenanya, pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pembinaan kelestarian
alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan
maupun kolektif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup
mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus
terjadi. Dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni
masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pengelolaan kawasan mangrove.
Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang
mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia, antara lain
adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi
ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial
ekonomi masyarakat, sisitem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan
kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi 1997). Kebijakan mengenai konversi
lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir.
Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan,
mengakibatkan kualitas, dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami
ancaman dari berbagai pemangku kepentingan.
Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini
memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila
kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan
ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan
mangrove, seperti antara sektor kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan,
transmigrasi, perhubungan, pariwisata, dan sektor perindustrian, menimbulkan
tekanan yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Terjadinya
degradasi hutan mangrove juga disebabkan oleh pencurian dan penebangan yang
tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum
sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan.
Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan, maka
perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan pengelolaan
mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan
kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan peraturan perundangan yang ada, sehingga konsep perencanaan dan pemanfaatan mangrove
dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Muara Angke, maka diperlukan
pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini, evaluasi
kebijakan pemanfaatan mangrove di Muara Angke, dan analisis kebutuhan
stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang.
Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam
penyusunan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Muara
Angke. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu
dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan hasil keputusan ini
merupakan rekomendasi untuk kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara
Angke - Jakarta yang berkelanjutan. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini
Kebijakan pengelolaan
mangrove
Kondisi biofisik ekosistem mangrove
Kondisi sosial ekonomi masyarakat
Nilai ekonomi mangorve
Faktor-faktor penentu keberlanjutan pengelolaan mangrove
Pola pemanfaatan oleh stakeholder
Strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan
Kepentingan masyarakat dan
pengusaha Perubahan luas
lahan mangrove
pembangunan wilayah pesisir
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
1.6 Novelty
Kebaruan dari penelitian ini adalah pendekatan baru dalam merumuskan ‘Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Berkelanjutan di Muara Angke DKI Jakarta berdasarkan kajian Aspek Lingkungan, Sosial, dan
Ekonomi Masyarakat’.
2.1 Ekosistem Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu
atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi
tidak terpengaruh oleh iklim. Daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian
hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih
dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8 % (Departemen
Kehutanan 1994).
Nybakken (1982) mendeskripsikan hutan mangrove adalah sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove
dicirikan oleh: tumbuhan dari 9 genus (Avicennia, Snaeda, Laguncularia, Lumnitzera, Conocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan
Sonneratia), memiliki akar napas (pneumatofor), adanya zonasi (Avicennia, Sonnetaria, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Nypa), tumbuh pada substrat tanah berlumpur atau berpasir dan variasinya, salinitas bervariasi.
Berdasarkan Haan (1935) dan Watson (1935) dalam Departemen Kehutanan
(1994) menyebutkan bahwa tempat tumbuh hutan mangrove adalah: tempat yang
memiliki salinitas (0 % dengan sedikit dipengaruhi pasang surut sampai salinitas
10-30 % dengan digenangi 1-2 kali/hari), dan tempat yang digenangi (kadang-kadang
digenangi oleh air pasang tertinggi sampai tempat digenangi air pasang dengan
genangan 56-62 kali/bulan).
2.1.1 Luas dan Sebaran Mangrove di Dunia
Berdasarkan Spalding et.al. (1997), ekosistem mangrove di dunia tersebar di antara 30o LU dan 30o LS, dengan beberapa keanehan terdapat di sebelah utara
Bermuda (32o20’ LU) dan Jepang (31o22’ LU) dan di Australia Selatan (38o45’ LS),
di dunia, yakni: komunitas Group Barat dan komunitas Group Timur (Tomlinson
1986 dan Spalding et.al 1997). Komunitas mangrove Group Timur tersebar sekitar Indo-Pacific yang di bagian timur dibatasi oleh komunitas mangrove di Pasific Barat
dan Tengah, dan di bagian Barat dibatasi oleh komunitas mangrove pada bagian
ujung Afrika Selatan. Komunitas mangrove Group Barat meliputi komunitas
mangrove di pantai Afrika, Amerika sampai lautan Atlantik, laut Karibia, dan Gulf
Mexico, dan juga bagian barat pantai Pasific dan Amerika. Dua Group (wilayah
sebaran) tersebut memiliki komposisi floristik yang berbeda, serta komposisi jenis
flora di Wilayah Timur memiliki jumlah jenis lima kali dari keanekaragaman jenis di
Wilayah Barat.
Pola distribusi mangrove di dunia merupakan hasil dari proses panjang dari
faktor sejarah dan waktu pembentukannya. Kemungkinan pola distribusi dipengaruhi
oleh banyak faktor, antara lain: dibatasi oleh letak lintang, temperatur rendah,
temperatur permukaan air laut dan temperatur udara, dan terutama temperatur
ekstrim. Curah hujan juga dapat mempengaruhi cukup kuat distribusi mangrove,
terutama diakibatkan oleh menurunnya salinitas, sedangkan lingkungan mangrove
memerlukan salinitas yang relatif lebih tinggi. Meskipun demikian mangrove mampu
beradaptasi pada lingkungan payau sampai lingkungan perairan laut dengan salinitas
tinggi, dan kadang-kadang salinitas lebih tinggi pada daerah pasang surut terutama di
negara dengan iklim sangat kering (arid), pertumbuhan terbatas. Pada daerah dengan curah hujan rendah, jumlah spesies mangrove yang dapat hidup sangat terbatas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi mangrove antara lain: tanah, pasang
surut, geomorphologi, ketersediaan mineral, aerasi tanah, angin, arus laut, dan
gelombang.
Berdasarkan Spalding et.al. (1997), luas ekosistem mangrove di dunia sekitar 18.107.700 ha. Negara-negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan memiliki
luas hutan mangrove yang terluas di dunia dibandingkan dengan wilayah
negara-negara di tempat lain. Sedangkan negara-negara di dunia yang memiliki ekosistem hutan
beberapa wilayah negara di dunia seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas hutan mangrove pada beberapa wilayah negara di dunia
No. Wilayah Luas Mangrove (Km
2
1. Spalding M, Blasco F, Field C (1997) 2. ITTO (1983).
3. Fisher and Spalding (1993).
2.1.2 Luas dan Sebaran Hutan Mangrove di Indonesia
Menurut Kementrian Kehutanan (2006), luas hutan mangrove Indonesia
7.804.444,80 ha dan hasil interpretasi tahun 2010 seluas 3.685.241,16 ha. Sedangkan
menurut Bakosurtanal (2009), luas hutan mangrove Indonesia sekitar 3.244.018,46
ha. Perbedaan hasil pengukuran ini dikarenakan metode yang dipergunakan berbeda.
Hasil pengukuran Bakosurtanal didasarkan atas perhitungan luas lahan mangrove
yang bervegetasi, sedangkan hasil pengukuran Kementrian Kehutanan (2006)
(2006-2010)
No Provinsi BPDAS Luas pada Tahun 2006 Luas Rekap RTK RHL Luas Hasil Pemetaan
MSP tahun 2010 BAKOSURTANAL 2009
1 2 3 3 3 4
1 NAD Krueng Aceh 422.703,00 60.726,82 22.950,321
2 Sumatera Utara Asahan Barumun 364.581,15 22.352,80 50.369,793
3 Riau Indragiri Rokan 261.285,33 37.966,41 206.292,642
4 Kep. Riau Kep. Riau 178.417,55 64.821,80 54.681,915
5 Jambi Batanghari 52.566,88 5.736,26 12.528,323
6 Sumatera Barat Agam Kuantan 61.534,00 8.073,33 3.002,689
7 Sumatera Selatan Musi 1.693.112,11 596.697,46 149.707,431
8 Bangka-Belitung Baturusa Cerucuk 273.692,82 31.701,37 64.567,396
9 Bengkulu Ketahun 46.034,28 1.904,90 2.321,870
10 Lampung Way Seputih-Sekampung 866.149,00 4.403,95 10.533,676
11 Kalimantan Selatan Barito 116.824,00 135.181,50 56.552,064
12 Kalimantan Tengah Kahayan 30.497,71 64.663,23 68.132,451
13 Kalimantan Barat Kapuas 342.600,12 127.864,00 149.344,189
14 Kalimantan Timur Mahakam Berau 883.379,00 1.121.925,27 364.254,989
BPHM II 5.593.376,95 2.284.019,11 1.215.239,749
15 Banten Citarum Ciliwung 1.180,48 2.936,188
16 DKI Jakarta Citarum Ciliwung 259,93 500,675
17 Jawa Barat Citarum Ciliwung 13.883,20 22.407,39 7.932,953
18 Jawa Barat Cimanuk-Citanduy 0,00 8.127,33
19 Jawa Tengah Pemali Jratun 50.690,00 40.366,13 4.857,939
20 Jogyakarta SOP 0,00 88,32 0,000
21 Jawa Timur Solo 66.466,30 69.886,30 18.253,871
22 Brantas 5.817,40 54.360,14
23 Sampean Madura 199.946,60 7.348,06
24 Bali Unda Anyar 2.215,50 454,90 1.925,046
25 NTB Dodokan Moyosari 18.356,88 13.931,00 11.921,179
26 NTT Benain Noelmina 40.640,85 10.800,00 20.678,450
27 Sulawesi Utara Tondano 32.384,49 12.063,00 12.445,712
28 Gorontalo Bone Bolango 32.934,62 26.475,64 12.315,465
29 Sulawesi Tengah Palu - Poso 29.621,56 88.030,16 43.746,508
30 Sulawesi Barat Lariang Mamasa 3.000,00 1.507,00 3.182,201
31 Sulawesi Selatan Saddang 2.772,30 58.551,95 12.821,497
Jeneberang Walanae 26.206,00 13.082,00
32 Sulawesi Tenggara Sampara 74.348,82 46.706,10 62.506,924
33 Maluku Waehapu Batu Merah 128.035,00 92.648,33 139.090,920
34 Maluku Utara Ake Malamo 43.887,00 46.259,41 39.659,729
35 Papua Barat Remu Rasinki 430.604,00 431.257,90 475.734,835
36 Papua Memberamo 1.007.817,00 356.871,00 1.158.268,619
BPHM I 2.211.067,93 1.401.222,05 2.028.778,711
TOTAL 7.804.444,88 3.685.241,16 3.244.018,460
2.2 Karakteristik Ekosistem Hutan Mangrove 2.2.1 Zonasi Hutan Mangrove
Jenis-jenis pohon mangrove cenderung tumbuh dalam zona-zona atau
jalur-jalur. Berdasarkan hal tersebut, hutan mangrove dapat dibagi ke dalam beberapa
mintakat (zona), yaitu Sonneratia, Avicennia (yang menjorok ke laut), Rhizophora,
Sonneratia sp.) dan di tanah lebih padat tumbuh Avicennia sp.. Makin dekat ke darat makin tinggi letak tanah dan dengan melalui beberapa zona peralihan akhirnya
sampailah pada bentuk klimaks.
Pada endapan lumpur yang kokoh lebih umum terdapat Avicennia marina, sedang pada lumpur yang lebih lunak diduduki Avicennia alba (Van Steenis 1958). Pada belakang zona-zona ini terdapat Bruguiera cylindrica tercampur dengan
Rhizophora apiculata, R. mucronata, B. parviflora, dan Xylocarpus granatum (yang puncak tajuknya dapat mencapai 35-40 meter).
Zonasi tersebut akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya, bergantung
dari keadaan tempatnya. Misalnya di Cagar Alam Pulau Rambut diketahui terdiri dari
tiga zona dari laut ke darat yaitu, zona Rhizophora mucronata, R. Stylosa, dan zona
Scyhiphora. Adapun di Cilacap terdapat 3 zona, yaitu zona Avicennia atau
Sonneratia, zona Rhizophora dan zona Bruguiera (LPP Mangrove 1998).
2.2.2 Habitat
Hutan mangrove telah menarik perhatian berbagai ahli biologi sejak abad 19,
terutama karena kekhasannya, yaitu kehadiran berbagai macam bentuk akar, seperti
akar napas, akar tunjang, dan akar lutut. Schimper (1898) menganggap hutan
mangrove ini sebagai vegetasi xerofil yang secara fisiologi habitatnya kering karena
kadar garam yang tinggi dalam air rawa (Steenis 1958).
Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove
mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan
terjadinya pergoyangan beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu, dan
salinitas. Karena itu hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi
yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik itu dapat bertahan dan
berkembang di hutan mangrove. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis
biota mangrove kecil saja, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing jenis
dalamnya mempunyai kisaran ekologi tersendiri dan masing-masing mempunyai
relung khusus (Steenis 1958). Hal ini menyebabkan terbentuknya berbagai macam
komunitas dan bahkan zonasi, sehingga komposisi jenis berbeda dari satu tempat ke
tempat lain. Steenis (1958) mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan
adanya ''Ecological Preference" berbagai jenis adalah kombinasi faktor-faktor berikut
ini:
1). Tipe tanah: keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai
perbandingan
2). Salinitas: variasi harian dan nilai rata-rata pertahun secara kasar sebanding
dengan frekuensi, kedalaman, dan jangka waktu genangan
3). Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak
4). Kombinasi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan
amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas.
Steenis (1958), dan ditegaskan pula oleh Soerianegara (1971) dan Kartawinata
& Waluyo (1977), bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi di hutan
mangrove adalah sifat-sifat tanah (mineralogi dan fisik) dan bukan hanya faktor
salinitas. Pengaruh faktor ini jelas pada penyebaran Rhizophora (R. mucronata
tumbuh pada lumpur yang dalam dan lembek, R. stylosa pada pantai pasir atau terumbu karang, R. apiculata pada keadaan transisi). Mengenai pengaruh salinitas, Steenis (1958) mengatakan bahwa faktor ini bukan faktor utama, dan berhubungan
erat dengan faktor pasang surut. Meskipun demikian pengaruh nyatanya dapat terlihat
pula, misalnya bila salinitas berkurang karena estuaria dan goba yang tertutup, hutan
Rhizophora mati dan diganti oleh jenis yang tumbuh di tempat yang kurang asin, seperti Lumnitzera. Hal yang sama tentang Bruguiera cylindrica dilaporkan oleh Watson (1928) di Malaya.
Pengaruh kecepatan arus dapat terlihat sepanjang sungai yang mengalami
pasang surut setiap hari. Pada tepian yang dipengaruhi oleh aliran yang deras,
berakar serabut.
2.2.3 Klasifikasi Tempat Tumbuh
Pengaruh pasang surut terhadap penyebaran jenis-jenis mangrove Indonesia
belum diteliti dengan terperinci. Di semenanjung Malaya hal ini telah dikerjakan oleh
Watson (1928) dalam Steenis (1958) yang menghasilkan suatu klasifikasi genangan
air pasang berdasarkan sifat-sifat pasang di suatu tempat. Diperkirakan klasifikasi ini
berlaku juga untuk kawasan Indonesia. Watson (1928) mengemukakan adanya
korelasi antara jenis-jenis dengan tinggi pasang dan lamanya tempat digenangi air.
Dikenal lima kelas genangan, yaitu:
1). Kelas 1 : Tempat digenangi oleh air pasang (all high tides), genangan per bulan 56 kali sampai 62 kali. Di tempat seperti ini jarang suatu jenis dapat hidup,
kecuali Rhizophora mucronata yang tumbuh di tepi sungai
2). Kelas 2 : Tempat digenangi oleh air pasang agak besar (medium high tides). Di tempat ini tumbuh jenis-jenis Avicennia dan Sonneratia. Berbatasan dengan sungai R. mucronata merajai
3). Kelas 3 : Tempat digenangi oleh pasang rata-rata (normal high tides). Tempat
ini mencakup sebagian besar hutan mangrove yang ditumbuhi oleh
R. mucronata, R. apiculata, Ceriop tagal, dan Bruguiera parviflora
4). Kelas 4 : Tempat digenangi oleh pasang perbani (spring tides). Di sini
Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada lumpur yang keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat dengan drainase lebih tumbuh B. parviflora kadang-kadang dengan B. sexangula
pasang surut (Haan 1935) dalam Steenis (1958):
1). Kelas 1 : Salinitas 10-30%, tanah digenangi 1-2 kali sehari atau
sekurang-kurangnya 20 hari per bulan, jenis Avicennia atau Sonneratia pada tanah baru yang lunak atau Rhizophora pada tanah yang lebih keras, membentuk zona luar 2). Kelas 2 : Salinitas 10-30%, tanah digenangi 10-19 hari per bulan, Bruguiera
gymnorrhiza tumbuh baik dengan tegakan membentuk zona tengah
3). Kelas 3 : Salinitas 10-30 %, tanah digenangi 9 hari atau kurang sebulan,
jenis-jenis Xylocarpus dan Heritiera berkembang disini dan membentuk zona ke 3 4). Kelas 4 : Salinitas 10-30%, tanah digenangi hanya beberapa hari saja dalam
setahun, Rhizophora dan Lumnitzera berkembang baik
5). Kelas 5 : Salinitas 0%, tanah sedikit dipengaruhi pasang surut
6). Kelas 6 : Salinitas 0%, tanah dipengaruhi oleh perubahan permukaan air hanya
pada musim basah.
2.2.4 Klasifikasi Komunitas Hutan Mangrove
Terdapat tiga skema klasifikasi yang menampakan beberapa nilai umum pada
komunitas mangrove, dua pada skala sedang sampai lokal dan satu pada skala sedang
sampai regional.
1. Klasifikasi Menggunakan Tanda-Tanda Struktural
Menurut Specht (1970) dalam Lugo dan Snedaker (1974), mengembangkan
suatu klasifikasi struktural dari komunitas tumbuhan mangrove dengan menggunakan
bahan-bahan untuk merefleksikan sejumlah jaringan fotosintesis (berkontribusi untuk
input energi) dan biomassa dari jaringan tumbuhan yang mengalami respirasi
(mencakup output energi). Bahan-bahan yang digunakan adalah (1) tinggi dan bentuk
kehidupan dari strata yang paling tinggi (yang meliputi perkiraan biomassa) dan (2) “Foliage Projective Cover” (FPC) dari strata yang paling tinggi. FPC adalah proporsi jaringan fotosintesis secara vertikal di atas tanah. Idealnya diukur menggunakan
struktur. Pembentukan ini selanjutnya bisa dibatasi meliputi nama genus atau spesies
yang dominan (seperti Avicenniawoodland). Penggunaan klasifikasi ini pada kisaran pembentukan struktur mangrove dapat dilihat pada Tabel 3. Pada umumnya di sini
adalah komunitas-komunitas tertutup. Jarang pohon-pohon yang tingginya melebihi
30 meter. Kanopi terbuka berhubungan dengan tingginya salinitas tempat, sering atau
hampir mendekati sumber air yang tinggi levelnya (high-water spring level), dimana curah hujan atau run-off rendah atau keadaan sedang. Kanopi terbuka bisa juga karena adanya air tergenang yang merupakan suatu bentuk lingkungan dan beberapa
contoh yang lain, pada komunitas yang pendek (dwarf) strukturnya tidak bisa dijelaskan dengan cepat.
Tabel 3 Pembentukan struktur komunitas mangrove Australia
Bentuk hidup dan tinggi dari strata
paling tinggi
Foliage Projective Cover of Tallest Stratum Rapat
30 m Hutan tertutup tinggi
10-30 m hutan tertutup
Sumber : Lugo dan Snedaker (1974)
Keterangan :
1) Suatu pohon dibatasi sebagai tumbuhan kayu, tinggi lebih dari 5 m dengan suatu batang tunggal
2) Semak dibatasi sebagai suatu tumbuhan kayu, tingginya kurang dari 8 m biasanya banyak tumbuhan lain pada bagian dasarnya.
Asumsi yang dibuat pada klasifikasi ini yaitu komunitas adalah sempurna
(mature) yaitu mempunyai kemampuan penuh untuk merefleksikan pengaruh dari keseimbangan air, pemupukan tanah, suhu, dan cahaya. Dalam istilah pengetahuan
biogeografi ekologi komunitas tumbuhan mangrove, penggunaan klasifikasi ini
adalah ekstrim. Parameter terseleksi (FPC dan tinggi) dihubungkan dengan
pertumbuhan komunitas dan akibatnya memungkinkan beberapa interpretasi
prediksi secara langsung tentang perubahan komunitas yang mengikuti manipulasi
lingkungan.
2. Klasifikasi Penggunaan Tanda-Tanda Fisiografi dan Struktural
Lugo dan Snedaker (1974), memperkirakan bahwa komunitas mangrove
menunjukan suatu bentuk kisaran yang luas, suatu bentuk yang sering digunakan
untuk klasifikasi adalah didasarkan pada proses-proses dan hidrologi (geomorphic and hydrological).
Enam tipe komunitas mempunyai serangkaian karakteristik variable
lingkungan seperti: tipe tanah dan kedalaman, kisaran salinitas tanah, dan kecepatan
pengaliran pasang. Selanjutnya setiap tipe komunitas mempunyai kisaran
karakteristik produksi utama, pelapukan serasah dan pengiriman karbon selama
recycling nutrien pada kecepatan yang berbeda pada komponen-komponen komunitas. Tipe-tipe tersebut adalah:
a. Overwash mangrove forest: hutan mangrove ini terdapat pada pulau kecil dan proyeksi kecil terbentuk dari massa tanah yang banyak pada teluk yang dangkal
dan estuarin. Posisinya lurus dihalangi oleh aliran pasang, dan tipe hutan ini sering
tergenang (overwashed) oleh pasang dan banyak bahan-bahan organik yang tercuci
b. Fringe mangrove forest (hutan mangrove rumbai): hutan ini berbentuk rumbai tipis dilindungi oleh garis pantai dan pulau, paling baik berkembang sepanjang
garis pantai yang elevasinya lebih tinggi dari pasang rata-rata. Kecepatan datang
dan surutnya pasang adalah rendah, sistem akar tunjang berkembang dengan baik
semua menjerat namun sedikit bahan organiknya yang terurai
c. Riverine mangrove forest: hutan ini mempunyai tinggi lebih 20 meter, hutan ini terjadi karena pasang (floodplain) sepanjang aliran sungai dan teluk. Hutan ini biasanya dipengaruhi oleh pasang harian dan sering terdapat di depan hutan