• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi dataluaran regCM3 untuk analisis kekeringan di Sub DAS Seluna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi dataluaran regCM3 untuk analisis kekeringan di Sub DAS Seluna"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI DATA LUARAN

RegCM3

UNTUK ANALISIS

KEKERINGAN DI SUB DAS SELUNA

UNGGUL HANDOKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aplikasi Data Luaran RegCM3

untuk Analisis Kekeringan di Sub DAS Seluna adalah karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari

karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2013

Unggul Handoko

(3)

iii

ABSTRACT

UNGGUL HANDOKO. Application of RegCM3 Output for Drought Analysis in

Seluna Sub Basin. Under direction of RIZALDI BOER, WAHYOE SOEPRI H and AKHMAD FAQIH.

Assessment of drought characteristics requires long historical climate data. In many cases, long historical data is hardly available. Climate dynamic model is very potential to be used for reconstructing long historical climate data. This study aims to reconstruct daily climate data using climate model RegCM3 and to assess the characteristic of drought occurrence in rice paddy using the reconstructed data from the climate model. The drought analysis was done using water balance model. The result of the analysis suggests that the development of correction factor for RegCM3 is required before the reconstructed data is used for drought analysis. The pattern of drought generated using the reconstructed data is similar to that of the observed ones. The result of analysis indicates that the rice start suffering from drought when the soil water has dropped below 30% of field capacity and this condition occurs mostly during August to October. This study recommends the use of RegCM3 output for climate impact analysis in areas where daily climate data is limited or not available.

(4)

iv

Evaluasi karakteristik kekeringan membutuhkan data iklim historis jangka panjang. Pada beberapa kasus, data iklim historis jangka panjang susah untuk didapatkan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut dapat menggunakan model iklim dinamik beresolusi tinggi. Salah satu model iklim tersebut ialah

RegCM3. Model ini berpotensi merekonstruksi data historis dengan cukup baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan model RegCM3

dalam merekonstruksi data iklim historis dan menganalisis karakteristik kejadian kekeringan pada tanaman padi dengan menggunakan data iklim hasil rekonstruksi. Perhitungan model kekeringan dengan menggunakan metode keseimbangan air Thornthwaite dan Mather. Hasil analisis menunjukkan bahwa diperlukan koreksi bias dari RegCM3 sebelum data hasil rekonstruksi digunakan untuk menganalisis kekeringan. Pola model kekeringan yang dihasilkan dari data rekonstruksi menunjukkan kemiripan dengan observasi. Padi mulai mengalami cekaman kekeringan pada saat kondisi air tersedia turun dibawah 30% kapasitas lapang dan kondisi ini pada umumnya terjadi pada bulan Agustus sampai dengan Oktober. Penelitian ini merekomendasikan penggunaan data luaran RegCM3 untuk analisis dampak iklim pada wilayah-wilayah yang ketersediaan data iklim harian terbatas atau bahkan tidak tersedia.

(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

APLIKASI DATA LUARAN

RegCM3

UNTUK ANALISIS

KEKERINGAN DI SUB DAS SELUNA

UNGGUL HANDOKO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Aplikasi Data Luaran RegCM3 untuk Analisis Kekeringan di Sub DAS Seluna

Nama : Unggul Handoko

NRP : G 251100031

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Wahyoe Soepri Hantoro Akhmad Faqih, S.Si, Ph.D

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Klimatologi Terapan

Dr. Ir. Tania June,M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr

(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul

“APLIKASI DATA LUARAN RegCM3 UNTUK ANALISIS KEKERINGAN

DI SUB DAS SELUNA”. Tesis ini disusun untuk meraih gelar Magister Sains

pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Wahyoe Soepri Hantoro, dan

Akhmad Faqih, S.Si, Ph.D selaku komisi pembimbing; program studi Klimatologi

Terapan (Dr. Ir. Tania June,M.Sc beserta staf); Centre for Climate Risk Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) yang telah memberikan tempat dan fasilitas untuk melakukan penelitian; Kementrian Riset

dan Teknologi RI yang telah memberikan beasiswa selama penulis menempuh

pendidikan; Syamsu DJ, S.Si dan Zai yang telah membantu proses running

RegCM3; Pusat Penelitian Limnologi LIPI yang telah memberi dukungan materi dan non materi; teman-teman Lab.Hidroinformatika Puslit Limnologi LIPI atas

bantuan data dan masukan-masukanya ; sahabat penulis Agus Kuntarto, S.Si dan

Endra Tri Wisesa, S.T. yang telah memberikan masukan dan bantuan dalam

proses pengolahan data; teman-teman di program studi KLI tahun 2010 dan 2011;

serta semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan karya

ilmiah ini dalam bentuk apapun dan tidak bisa disebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Maret 1979 di Bantul, merupakan anak

ke-7 dari tujuh orang bersaudara dari pasangan Bapak Moch. Dalhar, BA (Alm)

dan Ibu Sri Kusnani. Pendidikan formal penulis dimulai di SD Muhammadiyah

Karangkajen I Yogyakarta (1986-1992). Setelah menyelesaikan pendidikan dasar

penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Yogyakarta (1992-1995) dan

menempuh pendidikan menengah atas di SMU Negeri 8 Yogyakarta (1995-1998).

Pada tahun 1999 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi di

Universitas Gadjah Mada pada Program Studi Geografi Fisik, Fakultas Geografi

melalui jalur UMPTN. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun

2003. Penulis diterima bekerja di Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun 2008. Tahun 2010 penulis mendapatkan

kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Studi Klimatologi Terapan

Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Kementrian Riset dan Teknologi

(12)

DAFTAR ISI

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekeringan ... 11

2.6 Konsep Neraca Air ... 13

2.7 Indeks Kekeringan ... 15

2.8 Penelitian Sebelumnya yang terkait dengan Model Iklim dan atau Kekeringan ... 18

III. METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Lokasi Penelitian ... 20

3.2 Data dan Peralatan ... 20

3.3 Metode Analisis ... 26

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model RegCM3.. 32

4.2 Evaluasi Kehandalan Data Model Luaran RegCM3... 35

4.3 Keadaan Curah Hujan Berdasarkan Data Luaran RegCM3 ... 37

(13)

4.5 Evaluasi Kehandalan Model Kekeringan ... 44

4.6 Karakteristik Kekeringan di Sub DAS Seluna ... 45

4.7 Perbandingan Penggunaan Data Murni RegCM3 dengan Data Campuran (Data Aktual dan Data RegCM3)... 58

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Nilai Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen pada

beberapa Tekstur Tanah ... 13

Tabel 2. Persentase Luasan Kabupaten/Kota di Sub DAS Seluna ... 20

Tabel 3. Hubungan Kelas Tekstur dan Jenis Tekstur Tanah ... 29

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema Proses Terjadi Kekeringan ... 10

Gambar 2. Skema Kapasitas Air Tersedia ... 15

Gambar 3. Sub DAS Seluna dan Kabupaten/Kota yang Masuk di dalam Sub DAS ... 22

Gambar 4. Jenis Tanah di Sub DAS Seluna ... 23

Gambar 5. Penggunaan Lahan tahun 1994 di Sub DAS Seluna... 24

Gambar 6. Penggunaan Lahan tahun 2006 di Sub DAS Seluna ... 25

Gambar 7. Diagram Alir Kerangka Penelitian ... 26

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3. 32 Gambar 9. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Bulanan RegCM3 33 Gambar 10. Pola Hubungan Suhu Udara Rata-rata Bulanan RegCM3.. 35

Gambar 11. Hubungan ketinggian dengan curah hujan ... 37

Gambar 12. Curah hujan wilayah rata-rata tahunan ... 39

Gambar 13. Kecenderungan curah hujan tahunan (1990-2010) ... 40

Gambar 14. Hubungan ketinggian dengan suhu udara ... 41

Gambar 15. Kecenderungan suhu udara tahunan ... 42

Gambar 16. Suhu udara rata-rata tahunan di Sub DAS Seluna... 43

Gambar 17. Nilai korelasi kekeringan aktual dan model menurut %KL 44 Gambar 18. Pola persentase kapasitas lapang periode El Nino... 46

Gambar 19. Pola persentase kapasitas lapang periode La Nina ... 47

Gambar 20. Pola persentase kapasitas lapang periode Normal ... 48

Gambar 21. Rata-rata jumlah deret hari kering (1990-2010) ... 50

Gambar 22. Pola CH rata-rata, %KL rata-rata dan peluang rata-rata... 51

Gambar 23. (a) Rata-rata Kondisi Air Tersedia pada Bulan Agustus-Oktober Menurut %KL ... 52

Gambar 23.(b) Hubungan Luasan Kekeringan Aktual dan Model menurut Kabupaten/Kota... 52

Gambar 24. Persamaan garis lurus antara luasan aktual dan model... 54

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tantangan yang berkaitan dengan permasalahan hidrologi seperti banjir dan

kekeringan melanda hampir di seluruh belahan bumi. Peningkatan kejadian banjir

dan kekeringan terjadi di mana-mana, baik frekuensi kejadiannya ataupun besar

dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Dirmeyer (2011) menyatakan

bahwa kurun waktu 1970-2005, 30% bencana alam yang terjadi di dunia

merupakan kejadian banjir dan 15% merupakan kejadian kekeringan.

Dampak dari banjir dan kekeringan sangat besar. Sachs (2012) menyatakan

bahwa bencana kekeringan yang terjadi pada pertengahan tahun 2012,

menyebabkan lebih dari separo kawasan Midwest dan Plains di Amerika Serikat

dinyatakan darurat karena lumbung-lumbung pangan mengalami kegagalan

panen. Selain itu dua dari kawasan di Afrika, yaitu Tanduk Afrika dan Sahel

mengalami kekeringan dan kelaparan yang luar biasa selama kurun waktu

2010-2012 sehingga menyebabkan ribuan orang mati dan jutaan orang lainnya

menghadapi kekurangan pangan yang serius. Di bagian dunia lainnya, banjir di

Beijing menewaskan banyak warga kota.

Pertanian adalah pengguna terbesar di dunia (Sharma dan Sharma, 2007),

sementara karakteristik dan ketersediaan air untuk menunjang keberlangsungan

pertanian sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Dengan demikian kondisi

pasokan air untuk pertanian sangat fluktuatif mengikuti kondisi iklim. Adanya

banjir dan kekeringan menyebabkan produksi pertanian mengalami penurunan

atau bahkan puso.

Menurut Ditjen PLA (2006) dan Ditlintan (2008), wilayah pertanian di

Jawa, khususnya Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah wilayah yang paling besar

terkena dampak banjir dan kekeringan. Hal ini sejalan dengan banyak penelitian

lainnya (misalnya Boer dan Subbiah, 2005; Boer dan Suharnoto, 2012). Salah

satu DAS di Jawa Tengah yang rentan terhadap bencana banjir dan kekeringan

adalah Daerah Aliran Sungai Jratunseluna. Permasalahan lingkungan tersebut

(17)

2

penerapan tata ruang yang belum maksimal. Untuk bencana kekeringan, daerah

yang paling rentan pada umumnya terjadi di Sub DAS Seluna, seperti di

Kabupaten Pati, Blora, Grobogan, Rembang, Kudus, Boyolali, dan Demak

(Worosuprojo, 2003).

Permasalahan lain yang terjadi di DAS Jratunseluna adalah kerusakan di

bagian hulu akibat alih fungsi lahan dari hutan sebagai daerah resapan menjadi

lahan pertanian semusim, permukiman dan industri. Kerusakan bagian hulu DAS

yang semakin meningkat selain mengakibatkan permasalahan erosi, banjir dan

kekeringan, juga menyebabkan gangguan pada dinamika biologi. Hasil erosi yang

terjadi di bagian hulu DAS akan diendapkan pada tubuh-tubuh perairan yang

mendapatkan inflow dari aliran sungai dari hulu DAS. Hal ini akan mengancam

reservoir (waduk), karena reservoir tersebut mengalami pendangkalan dan pada

gilirannya akan mengurangi usia reservoir.

1.2 Perumusan Masalah

Bencana alam kekeringan merupakan bencana alam yang terkait dengan

faktor cuaca yang kejadiannya berulang. Kerugian yang ditimbulkan dari adanya

bencana kekeringan sangat besar. Banyak sektor yang terkena dampak

kekeringan. Sektor yang paling rentan terkena dampak kekeringan ini ialah sektor

pertanian, karena sektor ini sangat tergantung dengan ketersediaan air permukaan.

Kekeringan merupakan bencana alam yang termasuk dalam kategori bencana

slow onset”, sehingga awal dan berakhirnya bencana ini susah untuk

diidentifikasi. Begitu juga intensitas, frekuensi dan luasannya. Hal yang paling

terasa dari adanya bencana kekeringan adalah gagal panen yang pada gilirannya

akan mengganggu ketahanan pangan.

Banyak berita yang melaporkan di berbagai daerah mengalami kekeringan,

tetapi tidak dijelaskan seberapa besar dampak yang ditimbulkannya dan

lokasi-lokasi yang terkena kekeringan tersebut secara tepat. Oleh sebab itu, diperlukan

suatu metode yang dapat mengidentifikasi karakteristik suatu kejadian kekeringan

(18)

3

lokasi yang terkena kekeringan dengan baik. Metode yang telah banyak digunakan

untuk menggambarkan karakteristik kekeringan tersebut adalah dengan Indeks

Kekeringan (Drought Indices) ataupun dengan neraca air.

Indeks kekeringan dan neraca air dalam perhitungannya memerlukan data

iklim harian seperti curah hujan, suhu dan evapotranspirasi serta ada juga yang

menambahkan data kondisi kelengasan tanah (soil moisture). Permasalahannya, di Indonesia data iklim dalam jangka panjang sangat terbatas, selain itu tidak

semua tempat terdapat stasiun pengukuran. Untuk menanggulangi masalah ini

salah satu pendekatannya ialah dengan menggunakan model iklim yang bersifat

dinamik dengan resolusi tinggi. Salah satu model iklim tersebut ialah RegCM3. Model ini berpotensi digunakan untuk merekonstruksi data historis.

Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa hal yang perlu di kaji dalam

penelitian ini ialah:

1. Apakah data luaran RegCM3 dapat merekonstruksi data iklim lokal dengan baik?

2. Bagimanakah karakteristik kejadian kekeringan pada tanaman padi di Sub

DAS Seluna Jawa Tengah dengan menggunakan data iklim hasil

rekonstruksi?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Dengan mengambil wilayah Sub DAS Seluna, Jawa Tengah sebagai daerah

penelitian, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk:

1. Mengevaluasi penggunaan model RegCM3 untuk merekonstruksi data iklim

historis.

2. Menganalisis karakteristik kejadian kekeringan pada tanaman padi di DAS

(19)

4

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumber informasi

bagi sektor yang berhubungan dengan air khususnya pertanian serta turut serta

dalam mengembangkan ilmu pemodelan iklim yang bermanfaat untuk

perencanaan pengelolaan air.

1.4 Batasan Masalah

Berbagai peristiwa atau pun kejadian yang ada di alam ini merupakan hasil

hubungan sebab akibat dari kejadian yang lainnya. Begitu juga dengan

kekeringan, banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ini. Oleh karena itu

dalam penelitian ini batasan masalah yang dapat disampaikan antara lain:

1. Penelitian ini merupakan kajian awal untuk menganalisis kemampuan data

model RegCM3 dalam menirukan data observasi yang kemudian diaplikasikan untuk analisis karakteristik kekeringan untuk tanaman padi di Sub DAS Seluna

Jawa Tengah.

2. Penelitian ini mengasumsikan bahwa faktor irigasi untuk lahan pertanian

diabaikan, sehingga hanya mempertimbangkan faktor-faktor alami (curah

(20)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Data Iklim di Indonesia

Basis data iklim yang handal dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk

mengetahui kondisi iklim yang dinamis dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, data

iklim harus diperbaharui agar didapatkan data yang akurat. Data iklim yang

akurat dan seri waktu yang panjang sangatlah penting. Karena untuk kebutuhan

analisis iklim biasanya membutuhkan data iklim seri yang cukup panjang agar

didapatkan hasil analsis yang tepat. Oleh sebab itu pengkayaan dan pemutakhiran

data iklim sangatlah penting.

Selain adanya interaksi antar unsurnya, kondisi iklim suatu lokasi saling

berkorelasi dengan lokasi lainnya, baik dalam skala lokal (meso) maupun regional

dan global (makro). Oleh sebab itu, untuk menghasilkan informasi iklim dan

analisis resiko iklim yang efektif dan akurat dibutuhkan data iklim dari berbagai

stasiun pengamatan iklim yang satu sama lain saling melengkapi dan bersifat

sinergis (Las et al, 2000).

Menurut Sandy dalam Damayanti (2001), Pulau Jawa adalah salah satu

wilayah di Indonesia dengan kerapatan jaringan stasiun meteorologi tertinggi.

Hingga akhir tahun 1941 terdapat sejumlah 3.128 pengukur hujan yang tercatat

ada di Pulau Jawa dengan kerapatan 15 km2 pengukur hujan, namun tidak satupun

yang mengumpulkan basis data secara lengkap dan seri waktu yang panjang.

Oleh karena itu untuk keperluan penelitiannya Sandy hanya dapat menggunakan

94 stasiun.

Pernyataan Sandy tersebut diperkuat dengan pendapat Fahrizal (2008),

yang menyatakan bahwa saat ini ketersediaan data iklim di Indonesia masih

sangat terbatas dan sebaran yang tidak merata. Kondisi tersebut diperburuk

dengan adanya over lapping data iklim akibat belum efektifnya sistem koordinasi dan jaringan kerjasama antar instansi penyedia dan pengguna data iklim. Jenis

unsur iklim yang diamati dan periode pengamatannya pun masih sangat beragam

(21)

6

Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,

keterbatasan basis data iklim di atas dapat ditanggulangi dengan penggunaan

teknologi penginderaan jauh, misalnya dengan citra satelit ataupun dengan

pemodelan iklim. Dengan penginderaah jauh dan pemodelan iklim

memungkinkan mendapatkan data iklim pada wilayah-wilayah yang susah

dijangkau dengan menggunakan peralatan konvensional.

2.2 Model Iklim

Wigena (2006), mengatakan bahwa Global Circulation Model (GCM) dapat digunakan sebagai alat prediksi utama iklim dan cuaca secara numerik dan

sebagai sumber informasi primer untuk menilai perubahan iklim. Tetapi informasi

GCM masih berskala global dan tidak untuk skala yang lebih detil (lokal),

sehingga masih sulit untuk mendapatkan informasi skala lokal (Regional Climate Model, RCM) dari data GCM. Untuk memperoleh informasi skala lokal atau regional tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teknik

downscaling. Ada dua tipe downscaling yang biasa digunakan yaitu Dynamical Downscaling (DD) dan Empirical Statistical Downscaling (ESD).

Selain dengan teknik downscaling seperti yang tersebut di atas, untuk

meningkatkan resolusi model pada tingkatan lokal, dikembangkan suatu model

yang dinamakan Regional Climate Models (RCMs) (Giorgi,2009). RCMs lazim digunakan sebagai dynamical downscaling dan untuk meningkatkan informasi iklim regional yang sesuai dengan sirkulasi skala besar yang diberikan dari data

GCM atau data dari reanalysis pada batas-batas RCMs (Zanis et al, 2008)

Salah satu model dari RCMs adalah RegCM3. Model ini dikembangkan oleh ICTP (International Centre for Theoretical Physics), yang ada di Trieste, Italy. Dengan menggunakan RegCM3 dapat untuk mensimulasikan parameter-parameter iklim seperti curah hujan, suhu, tekanan udara, kelembapan udara, medan angin,

radiasi, kelembapan tanah, aliran permukaan, fraksi awan, dan lain sebagainya

dengan resolusi spasial yang tinggi (Elguindi et al, 2007).

RegCM3 memiliki banyak parameterisasi yang dapat dipilih guna mendapatkan hasil simulasi yang baik. Salah satunya adalah berupa skema

konvektif untuk curah hujan. Ada dua bentuk skema konvektif utama yang ada di

(22)

7

Grell merupakan skema konvektif yang mendasarkan bahwa awan terdapat dalam

dua kondisi tetap (steady state) sirkulasi yaitu updraft dan downdraft. Tidak ada pencampuran langsung antara uap air dan lingkungan kecuali pada bagian atas dan

bawah sirkulasi. Skema konvektif MIT-Emanuel merupakan skema konvektif terbaru yang ada di RegCM3. Model ideal dari gerakan udara updraft dan

downdraft dengan metode buoyancy sorting. Hal tersebut menentukan tingkat penambahan dan pengurangan parsel udara pada level tertentu untuk mendapatkan

potensi uap air yang cukup ( Elguindi et al, 2007)

Proses running RegCM3 diperlukan untuk mendapatkan data model iklim pada wilayah yang menjadi kajian penelitian. Proses running dari RegCM3 terdiri dari tiga kompoenen utama, yaitu Pre Processing, Processing dan Post Processing. Pada tahap Pre Processing ada dua hal pokok yang perlu dilakukan untuk menginput data yaitu Terrain dan ICBC. Beberapa hal penting yang perlu di input dalam Terrain ialah domain (latitude pusat dan longitude pusat dari wilayah kajian), grid interval (paling kecil 10 km x 10km), land use (default penggunaan lahan dari the Global Land Cover Characterization (GLCC) yang didapatkan dari 1 km Advance Very High Resolutions Radiometer dari April

1992 – Maret 1993), dan selanjutnya adalah elevasi dari USGS. Sedangkan input

pada ICBC ialah Sea Surface Temperature (SST) dan data set yang akan digunakan untuk mensimulasikan model data iklim (GCM atau reanalysis).

2.3 Koreksi Bias Data Luaran Model RegCM

RCM merupakan salah satu hasil dari downscaling yang termasuk dalam

kategori dynamical downscaling. RCM dapat memberikan struktur bidang meteorologi yang rinci baik dalam skala rung maupun waktu. Meskipun demikian,

data luaran dari RCM ini biasanya tidak dapat langsung kita gunakan untuk

analisis hidrologi, karena suatu analisis hidrologi membutuhkan akurasi yang

sangat tinggi, padahal luaran dari RCM masih mengandung bias (Tanaka et al, 2005). Koreksi bias didefinisikan sebagai proses menghitung kesalahan secara

sistematik dari luaran suatu model iklim (Teutschbein and Seibert, 2010). Jadi

prinsip dasar dari koreksi bias adalah untuk mengkoreksi data hasil luaran model

dengan data observasi. Oleh sebab itu penerapan koreksi bias sangat dianjurkan

(23)

8

data luaran dari suatu model iklim langsung digunakan tanpa adanya koreksi bias,

maka simulasi hidrologi yang dihasilkan akan menunjukkan fenomena yang tidak

realistik.

Teutschbein and Seibert (2010), mengemukakan beberapa metode koreksi

bias untuk diterapkan pada data luaran model iklim, khususnya untuk parameter

curah hujan dan suhu. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan skala, yaitu dengan menggunakan faktor koreksi bulanan, dimana

faktor bulanan ini didapatkan dari rasio antara nilai harian model dan nilai

harian observasi. Biasanya untuk parameter suhu dijumlahkan dengan hasil

faktor koreksi bulanan sedangkan untuk parameter curah hujan dikalikan

dengan faktor koreksi.

b. Transformasi linear, yaitu variabel meteorologi dari RCM dikoreksi dengan

transformasi linear persamaan yang mempertimbangkan perubahan dalam

mean dan varians.

c. Transfer distribusi, yaitu fungsi transfer didapatkan dari cumulative

distribution functions (CDFs) dari data historis observasi dan dari data model.

Biasanya untuk curah hujan menggunakan distribusi gamma, namun distribusi

Gaussian dan Beta juga bisa digiunakan.

Hagemann and Haerter, 2010 juga menyebutkan beberapa metode yang

dapat digunakan untuk menenetukan koreksi bias. Metode tersebut adalah: delta

change approach, multiple linear regression, analogue methods, local intensity

scalling, quantile mapping. Dan yang terbaik untuk menentukan bias correction

pada RCM dengan wilayah penelitian di Alps menurut Themeβl et al. (dalam

Hagemann and Haerter ( 2010) adalah metode quantile mapping.

Bennett et al. (2012), juga melakukan koreksi bias dengan menggunakan quantile mapping untuk menghitung besarnya faktor koreksi bias sebelum data

hasil luaran dari RCM digunakan untuk analisis model hidrologi selanjutnya.

Adapun rumus dari faktor koreksi bias antara data observasi dan data model

(24)

9

Kekeringan selalu berkaitan dengan berkurangnya jumlah curah hujan

secara alamiah dalam jangka waktu yang lama. Tingkat bahaya kekeringan sangat

tergantung dari durasi, intensitas, luasan daerah yang terkena dampak kekeringan

dan yang paling utama adalah dampaknya terhadap aktivitas manusia, pertanian

dan lingkungan. Kompleksitas dari fenomena kekeringan menyebabkan definisi

dari kekeringan tidak ada yang baku (Caparrini, 2009), sehingga terdapat

beberapa definisi kekeringan yang berbeda.

Menurut Landsberg dalam WMO (1974), menyebutkan bahwa kekeringan

pada dasarnya adalah suatu kondisi kekurangan air. Kekurangan air disini

dimaksudkan untuk konteks secara umum, seperti pertanian, air permukaan , air

tanah, dan sebagainya. Biro Cuaca Amerika Serikat memberikan definisi bahwa

kekeringan adalah berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung

lama yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan pada suatu daerah

dan akan menyebabkan pula berkurangnya cadangan air untuk keperluan

sehari-hari maupun untuk kebutuhan tanaman dan terutama terjadi di daerah-daerah yang

biasanya curah hujannya cukup untuk tujuan semacam itu (Sudibyakto, 1985).

Borton dan Nicholds (1994), menggaris bawahi bahwa kekeringan sifatnya

sementara. Menurut mereka kekeringan adalah berkurangnya ketersediaan air atau

kelengasan di bawah kondisi normal yang sifatnya sementara secara signifikan.

Dalam hal ini perlu dibedakan antara “arid” dengan “drought”. Arid (kering) merupakan kondisi dimana suatu daerah memang secara meteorologis memiliki

curah hujan sangat rendah secara permanen, contohnya gurun. Sedangkan drought

(kekeringan) merupakan kondisi kekurangan air secara sementara, dimana pada

(25)

10

Balai Hidrologi (2003), mendefinisikan kekeringan adalah kekurangan

curah hujan dari biasanya atau kondisi normal yang berkepanjangan sampai

mencapai satu musim atau lebih panjang dan mengakibatkan ketidakmampuan

memenuhi kebutuhan air yang dicanangkan.

Beran dan Rodier dalam Nalbantis (2008), mengkategorikan kekeringan

berdasarkan variable-variabel yang terjadi di dalam proses hidrologi. Berdasarkan

proses hidrologinya kekeringan dapat dikategorikan menjadi kekeringan

meteorologi, kekeringan hidrologi dan kekeringan agronomi. Proses terjadinya

kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlah curah hujan dibawah normal

pada satu musim, kejadian ini adalah kekeringan meteorologis yang merupakan

tanda awal dari terjadinya kekeringan. Tahapan selanjutnya adalah berkurangnya

kondisi air tanah yang menyebabkan terjadinya stress pada tanaman (terjadinya

kekeringan pertanian), Tahapan selanjutnya terjadinya kekurangan pasokan air

permukaan dan air tanah yang ditandai menurunya tinggi muka air sungai ataupun

danau (terjadinya kekeringan hidrologis). Tahapan-tahapan proses kekeringan

tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

Berkurangnya hujan

(26)

11

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekeringan

Pada umumnya, kejadian kekeringan dapat teridentifikasi dari kondisi tanah,

tanaman dan air permukannya. Saat terjadi kekeringan, maka tanah menunjukkan

fisik yang kering, bahkan untuk tanah yang berliat kondisi ini terlihat dengan

jelas, yaitu adanya pecahan-pecahan atau rekahan di permukaan tanahnya.

Sedangkan untuk tanaman, ditunjukkan dengan adanya daun-daun yang layu dan

bahkan ada yang sampai meranggas. Hal ini disebabkan air tanah yang sudah

sangat berkurang sehingga tanaman sudah tidak bisa menyerap air. Dan untuk air

permukaan, saat kejadian kekeringan ditandai dengan menurunnya debit aliran

sungai.

Semua gambaran identifikasi dari adanya kejadian kekeringan di atas sangat

terkait dengan ketersediaan air. Ketersediaan air sendiri ditentukan oleh tiga hal,

yaitu curah hujan sebagai sumber air di bumi, kemudian karakteristik tanah

sebagai tempat penyimpanan air (aquifer) dan yang terakhir adalah jenis tanaman sebagai subjek yang memanfaatkan air.

2.5.1 Hujan

Terjadinya atau tidak terjadinya kekeringan di suatu daerah sangat

tergantung dari adanya hujan yang jatuh di daerah yang bersangkutan. Hujan

yang banyak dan sebarannya merata pada suatu daerah merupakan faktor penting

yang menentukan suatu daerah tersebut tidak akan mengalami kekeringan.

Meskipun hujan yang jatuh cukup banyak, namun sebarannya tidak merata, maka

hal ini dapat menyebabkan kekeringan. Apalagi kalau hujan yang jatuh sangat

rendah (di bawah kondisi normal) dan sebarannya tidak merata, maka akan

memperluas daerah yang mengalami kekeringan.

Besarnya curah hujan sangat tergantung dari posisi suatu wilayah terhadap

pegunungan ataupun lautan. Nieuwolt (1977) menyatakan bahwa curah hujan di

daerah tropis variasinya tergantung dengan ketinggian dan arah datangnya angin.

(27)

rata-12

rata curah hujan daerah yang ada di pesisir utara Jawa lebih rendah daripada

daerah yang ada di pesisir selatan Jawa.

2.5.2 Jenis Tanah

Salah satu peranan tanah adalah sebagai tempat penyimpanan air,

tertahannya air oleh tanah disebabkan oleh proses adhesi antara air dan tanah serta

proses kohesi air. Tipe-tipe tanah memiliki perbedaan dalam kapasitas

menyimpan dan menahan kelengasan. Sebagai contohnya tanah yang bertekstur

pasir memiliki daya menyimpan air yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah

yang bertekstur liat (Borton dan Nicholds, 1994). Kemampuan menyimpan dan

menahan air pada tanah inilah yang turut mempengaruhi terjadinya kekeringan.

Semakin halus butir-butir tanah (semakin banyak butir liatnya), maka

semakin kuat tanah tersebut memegang air dan unsur hara. Namun tanah yang

kandungan liatnya terlalu tinggi akan sulit diolah, apalagi bila tanah tersebut

basah maka akan menjadi lengket. Tanah jenis ini akan sulit melewatkan air

sehingga bila tanahnya datar akan cenderung tergenang dan pada tanah berlereng

erosinya akan tinggi. Sedangkan tanah dengan butir-butir yang terlalu kasar

(pasir) tidak dapat menahan air dan unsur hara. Dengan demikian tanaman yang

tumbuh pada tanah jenis ini mudah mengalami kekeringan dan kekurangan hara

(Ruijter dan Agus, 2004)

Kemampuan tanah dalam menyimpan air dapat diinterpretasikan dari nilai

kapasitas air tersedia. Nilai kapasitas air tersedia merupakan selisih dari nilai

kapasitas lapang dan titik layu permanen. Tabel 1 berikut ini adalah pendugaan

nilai kapasitas lapang dan titik layu permanen ditinjau dari jenis tekstur tanahnya

(28)

13

Tabel 1. Nilai Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen pada beberapa Tekstur Tanah

Air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan

berbeda-beda tergantung dari umur dan jenis tanamannya. Meskipun jenis

tanamannya sama, akan berbeda dalam kebutuhan airnya jika fase nya berbeda,

sehingga sensivitas terhadap kekeringan berbeda pula.

Pugnaire dalam Sinaga (2008) mengklasifikasikan tanaman berdasarkan

responnya terhadap kekeringan menjadi dua, yaitu tanaman yang menghindari

kekeringan dan tanaman yang mentoleransi kekeringan. Tanaman yang

menghindari kekeringan membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia atau

akuisisi air maksimum antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan

modifikasi struktur dan posisi daun. Tanaman yang mentoleransi kekeringan

mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi dehidrasi.

2.6 Konsep Neraca Air

Pendekatan konsep neraca air memungkinkan untuk mengevaluasi sumber

daya air secara kuantitatif dan pada gilirannya dapat digunakan untuk mengetahui

jumlah ketersediaan air di suatu wilayah. Kekeringan erat kaitannya dengan

(29)

14

kekeringan atau tidak dapat dilihat dari ketersediaan air yang ada di wilayah yang

bersangkutan. Ogallo dan Gbeckor-Kove (1989) menyebutkan bahwa dengan

menggunakan konsep neraca air dapat digunakan untuk identifikasi kekeringan

dengan cukup baik.

Seyhan (1991), menyatakan bahwa persamaan neraca air merupakan

persamaan yang menggambarkan keseimbangan masukan air total pada selang

waktu dan ruang tertentu dengan keluaran air total ditambah perubahan bersih

cadangan air tanah.

Persamaan neraca air dari Thorthwaite and Mather (1955) sebagai berikut:

P = ETP +ΔS+Ro

keterangan:

P = presipitasi (hujan)

ETP = evapotranspirasi

ΔS = perubahan cadangan air

Ro = limpasan (termasuk perkolasi)

Persentase perubahan cadangan air dan limpasan dari air hujan yang jatuh di

permukaan bumi tidak tetap. Tergantung pada jenis tanah (khususnya tekstur

tanah), penggunaan lahan, dan kedalaman perakaran. Perubahan cadangan air

yang ada di dalam tanah akan menentukan kapasitas air tersedia (available water capacity). Kapasitas air tersedia merupakan air yang terikat antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Air tersedia ini berupa air yang dapat diabsorpsi

oleh tanaman. Gambar 2 menunjukkan skema air tersedia yang ada di dalam tanah

(30)

15

Gambar 2. Skema Kapasitas Air Tersedia (Ministry of Agriculture, Food and Fisheries 2002)

Konstanta lengas tanah yang biasa digunakan untuk pertanian adalah

sebagai berikut.

Kapasitas jenuh (saturation capacity). Jika semua pori tanah diisi air, maka disebut sebagai kapasitas jenuh atau maximum water holding capacity. Kapasitas lapang (field capacity) (KL), adalah kandungan lengas tanah sesudah drainase air secara gravitasi, menjadi sangat lambat dan lengas

tanah menjadi relatif stabil. Keadaan ini biasanya dicapai setelah 1 hari

sampai 3 hari sesudah pembasahan dengan air hujan atau irigasi.

Titik Layu permanen (wilting permanent) (TLP), yakni kondisi lengas tanah dimana tanaman tidak mampu lagi mengisap airtanah untuk memenuhi

transpirasi, dan tanaman akan tetap layu walaupun air diberikan.

Ultimate wilting point yakni kandungan lengas tanah dimana tanaman mati, biasanya tegangan airtanah sekitar 60 atm

2.7 Indeks Kekeringan

Penyederhanan dalam mengkuantifikasi suatu kondisi sering menggunakan

indeks. Demikian juga dalam mengkuantifikasi tingkat kekeringan. Keberadaan

indeks kekeringan sangat penting karena untuk menyederhanakan hubungan

(31)

16

memberikan penilaian secara kuantitatif dari anomali kondisi iklim (intensitas,

durasi, luasan), dan untuk aplikasi perencanaan dan desain.

Yang (2010), juga menyatakan pentingnya penggunaan indeks kekeringan.

Yang berpendapat bahwa indeks kekeringan berperan penting dalam memonitor

bahaya kekeringan, karena dengan indeks ini bisa digunakan untuk menentukan

awal dan akhir dari kejadian kekeringan, serta bisa digunakan untuk menentukan

kehebatan/tingkat kekeringan yang terjadi. Ada banyak indeks kekeringan yang

dapat digunakan untuk memonitor dan menganalisis karakteristik dari kekeringan,

baik dari intensitas, durasi dan luasan kekeringan yang ditumbulkannya.

Beberapa indeks kekeringan yang telah banyak digunakan adalah RDII

(Rainfall Deciles), SPI (Standardised Precipitation Index) dan RDI (Reconnaisance Drought Index), ketiga indeks kekeringan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan kekeringan meteorologis . Indeks kekeringan yang

lainnya adalah PDSI (Palmer Drought Severity Index), VHI (Vegetation Health Index), dan CMI (Crop Moisture Index.). Ketiga indeks ini digunakan untuk menentukan indeks kekeringan pertanian. Sedangkan untuk menentukan

kekeringan hidrologi biasanya digunakan Regional Streamflow Deficiency Index

(RSDI), Palmer Hydrological Drought Index (PHDI) dan Surface Water Supply Index (SWSI)

Indeks kekeringan di atas memiliki performa yang berbeda-beda dalam

menggambarkan karakteristik kekeringan, sehingga susah untuk menentukan

indeks mana yang memiliki performa paling baik. Pernyataan ini sesuai dengan

pendapat Yang (2010), yang menyatakan bahwa sangat susah untuk menentukan

indeks kekeringan yang memiliki performa terbaik untuk menggambarkan

kejadian kekeringan. Karena masing-masing indeks memiliki kemampuan yang

berbeda untuk menentukan jenis kekeringan, misalnya SPI akan memberikan hasil

pengukuran yang baik untuk menentukan kekeringan secara meteorologi

dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan PDSI akan memberikan hasil

perhitungan yang baik jika digunakan untuk menentukan kekeringan pertanian.

Karena PDSI selain memperhitungkan faktor meteorologi seperti curah hujan dan

(32)

17

Penelitian Nicholls (2004) mengenai kekeringan di Australia pada tahun

2003, menunjukkan bahwa kejadian kekeringan yang terjadi di Australia

dikarenakan suhu udara pada siang hari yang sangat tinggi meskipun curah hujan

saat itu tidak lebih kering dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sini dapat diketahui

bahwa dengan adanya suhu udara yang sangat tinggi akan menjadikan kekeringan

lebih hebat meskipun curah hujannya tidak lebih kering dari tahun sebelumnya.

Sehingga untuk menghitung indek kekeringan diperlukan juga unsur

suhu/evapotranspirasi selain curah hujan. Indeks kekeringan meteorologis yang

menggunakan data curah hujan dan data evapotranspirasi adalah RDI

(Reconaisance Drought Index) (Kirono et al, 2011). Hasil penelitian Nicholls menunjukkan perbedaan dengan Bazrafshan (2010) yang menunjukkan tidak ada

perbedaan yang nyata antara kekeringan menggunakan SPI dan RDI di Iran. Oleh

sebab itu dalam penelitian Bazrafshan meskipun hanya menggunakan data yang

minimal, tetapi SPI cukup bagus dalam memonitor kehebatan kekeringan

meteorologi yang ada di pesisir Iran (Bazrafshan et al,2010)

Liu et al. (2011) telah membandingkan tiga indeks kekeringan untuk menganalisis kekeringan yang terjadi di Blue River Basin, Oklahoma. Tiga indeks yang digunakan tersebut adalah Standardized Precipitation Index (SPI), Palmer

Drought Severity Index (PDSI) dan Standarized Runoff Index (SRI). Dari hasil kajiannya PDSI dan SRI menunjukkan performa yang sama karena keduanya

menggunakan faktor kelembapan tanah dan evapotranspirasi dalam

perhitungannya. Penelitian tersebut merekomendasikan untuk menggunakan

PDSI dan SRI dalam menganalisis kekeringan.

PDSI dalam perhitungannya berdasarkan pada “water supply and demand”,

dimana perhitungannya dengan konsep sistem neraca air yang memperhitungkan

data curah hujan dan suhu serta data karakteristik tanah di wilayah kajiannya.

Perhitungan-perhitungan tersebut melibatkan perhitungan evapotranspirasi

(33)

18

2.8 Penelitian Sebelumnya yang terkait dengan model iklim dan atau

kekeringan

Penelitian-penelitian tentang model iklim telah banyak dilakukan demikian

juga dengan kekeringan, namun penelitian yang menggabungkan antara model

iklim dengan kekeringan masih sangat terbatas, sehingga dalam penelitian ini

menggunakan data model iklim untuk studi kekeringan. Adapun

penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian-penelitian ini adalah sebagai berikut.

Sudibyakto (1985) melakukan penelitian kekeringan di daerah Kedu bagian

selatan dengan menggunakan Indeks Palmer. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa indeks kekeringan yang didasarkan atas data hujan titik akan menimbulkan

indeks yang terlalu basah atau kering. Apabila dikaitkan dengan penggunaan

lahan, daerah hutan akan mengakibatkan kemunduran waktu dari munculnya

kejadian kekeringan

Hay (2002) menggunakan data curah hujan dan suhu udara harian dari

RegCM2 untuk simulasi hidrologi pada empat basin yang ada di Amerika Serikat.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa data RegCM2 sebelum dikoreksi

menunjukkan performa yang rendah dalam mensimulasikan runoff pada keempat

basin. Namun setelah dilakukan koreksi bias performanya meningkat secara

signifikan.

Suseno (2008), melakukan penelitian kekeringan dengan interpretasi citra

NOAA yang diintegrasikan dengan data curah hujan, jenis tanah, dan penggunaan

tanah, penelitian ini mengungkapkan pola kekeringan pertanian di Pulau Jawa

tahun 2008. Analisis keruangan yang diperkuat analisis statistik terungkap bahwa

pola kekeringan pertanian di Pulau Jawa pada tahun 2008 bergerak atau bergeser

ke utara saat memasuki pertengahan musim kemarau dan kemudian bergerak ke

arah timur saat mendekati akhir musim kemarau sesuai dengan pola umum curah

hujan di Pulau Jawa. Kekeringan pertanian tidak berhubungan atau dipengaruhi

dengan jenis tanah dan penggunaan tanah pertanian namun berkaitan erat atau

sangat dipengaruhi oleh curah hujan.

Sutikno (2008) melakukan penelitian mengenai pemodelan statistical

downscaling GCM untuk menentukan hubungan curah hujan luaran model GCM

dengan curah hujan stasiun (observasi). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

(34)

19

Lokasi stasiun di dekat laut/pantai, luas grid (12 x 12) menghasilkan dugaan yang

baik, sebaliknya untuk lokasi yang semakin jauh dari laut, dengan topografi datar

(flat), luas grid 12x12 kurang memuaskan hasil dugaannya.

Faqih et al. (2011) melakukan kajian tentang RegCM3 mengenai skema konvektif untuk hujan. Dalam penelitiannya, skema konvektif hujan yang

dianalisis adalah skema Grell dan MIT Emanuel. Hasil analisis kajian

sensitivitasnya menunjukkan bahwa skema hujan MIT Emanuel dapat

memberikan hasil yang lebih baik mendekati pola musiman data observasi di

wilayah kajian. Walaupun terdapat kecenderungan nilai yang dihasilkan dari

model selalu melampaui curah hujan observasi. Bias antara data observasi dan

model ini dapat dikoreksi dengan memperhitungkan faktor koreksi.

Kirono et al. (2011), mensimulasikan kekeringan dari data GCM dengan menggunakan indeks kekeringan RDI untuk proyeksi pada masa yang akan

datang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara umum di Benua Australia

mengalami peningkatan luasan daerah yang mengalami kekeringan dan juga

frekuensi kejadian kekeringan pada masa yang akan datang akibat dari adanya

(35)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Sub DAS Seluna Jawa Tengah, yang mencakup 10

kabupaten dan kota yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah (Gambar 3).

Adapun persentase luas kabupaten/kota yang masuk ke dalam Sub DAS Seluna

disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Persentase Luasan Kabupaten/Kota di Sub DAS Seluna

No Kabupaten/Kota Luas Seluruhnya

(km2)

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Curah hujan harian (1998-2010), dengan stastiun-stasiun yang ada dalam sub

DAS Seluna dan juga yang ada di sekitarnya. (Lampiran 1 dan Lampiran 3)

2. Data suhu udara rataan bulanan (1990-1997) yang diambil dari stasiun yang

ada di sekitar Sub DAS Seluna. (Lampiran 2 dan Lampiran 3)

3. Data jenis tanah, sebaran jenis tanah di daerah penelitian ditunjukkan pada

Gambar 4. Peta tanah ini bersumber dari Bakosurtanal (Kompilasi citra radar,

foto udara, dan peta topografi) dan Departemen Transmigrasi 1989.

4. Data penggunaan lahan bersumber dari RBI (Bakosurtanal), jenis penggunaan

lahan di daerah penelitian ditunjukkan pada Gambar 5 (untuk penggunaan

(36)

21

5. Data hasil luaran model RegCM3 (1990-2010). (Lampiran 9 Contoh data luaran RegCM3)

6. Peralatan yang digunakan untuk menunjang dalam penelitian ini meliputi: seperangkat computer dengan sistem operasi Linux Fedora 12 untuk aplikasi

(37)

22

(38)

23

(39)

24

(40)

25

(41)

26

3.3 Metode Analisis

(42)

27

Penelitian dilakukan melalui dua tahapan. Pertama merekonstruksi data

iklim historis dan kedua menganalisis tingkat resiko kekeringan. Diagram alir

dari kedua tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 7. Pada tahap pertama,

analisis utama yang dilakukan ialah proses penyusunan faktor koreksi model

RegCM3 dan uji kehandalan data luaran RegCM3. :

3.3.1 Faktor Koreksi RegCM3

Hasil dari luaran model RegCM3 adalah berupa grid-grid dengan resolusi spasial 10 km x 10 km, sedangkan data observasi adalah beruapa titik (stasiun).

Untuk memudahkan dalam menentukan faktor koreksi, data dari observasi di

gridding mengikuti ukuran grid RegCM3. Proses gridding dilakukan dengan Matlab (Lampiran 8). Faktor koreksi dihitung dengan menggunakan formula

Bennett et al (2012) yang dimodifikasi. Formula Bennett memperhitungkan

quantile pada rasio nilai observasi dengan nilai model, sedangkan pada formula Bennett yang dimodifikasi memperhitungkan rasio nilai observasi dengan nilai

model periode bulanan. Rasio nilai observasi dengan nilai model bulanan ini

kemudian digunakan sebagai faktor koreksi data harian dari nilai model.

Model RegCM3terkoreksi = faktor koreksi x Model RegCM3awal

3.3.2 Uji Kehandalan Model RegCM3

Maidment dalam Hidayah (2010), menyatakan bahwa nilai parameter

rata-rata dari simulasi dan observasi pada periode yang sama dapat digunakan untuk

menguji keakuratan antara data simulasi dengan data observasi. Parameter

(43)

28

Keterangan : Zsim adalah nilai dari hasil simulasi model, Zobs adalah nilai dari

pengukuran/observasi.

Model dikatakan akurat jika nilai errornya kecil dan korelasinya tinggi.

Selain dengan parameter tersebut, digunakan juga Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE). NSE menunjukkan keeratan hubungan antara data observasi dengan data simulasi

(model). Suatu model yang sempurna akan sama dengan observasi dan

kesempurnaan ini ditunjukkan dengan nilai NSE = 1.

Rumus untuk menghitung nilai NSE adalah sebagai berikut (Moriasi et al, 2007)

keterangan :Yiobs =nilai observasi ke i, Yisim = nilai simulasi ke i, Ymean =

rata-rata nilai observasi dengan jumlah data n, dan n=jumlah pasangan data.

Tahap kedua merupakan proses perhitungan neraca air serta uji kehandalan

model kekeringan. Informasi penting yang dibutuhkan untuk perhitungan neraca

air diantaranya adalah adalah penentuan jenis tekstur tanah (untuk menduga

kapasitas lapang dan titik layu permanen) dan perhitungan evapotranspirasi

potensial. Selanjutnya uji kehandalan model kekeringan dengan menggunakan

(44)

29

3.3.3 Penentuan Kelas Tekstur Tanah dan Pendugaan Kapasitas Lapang dan

Titik Layu Permanen

Kelas tekstur tanah diadopsi dari peta tanah pada Gambar 3. Dari peta

tersebut belum diketahui kelas tekstur tanahnya. Untuk mengetahuinya perlu

disesuaikan dengan Legenda Sistem Lahan Jawa dan Bali (Lampiran 5). Kelas

tekstur tanah hasil penyesuaian antara peta tanah dengan Legenda Sistem Lahan

Jawa Bali bisa diketahui kelas tekstur halus hingga kasar, tetapi belum diketahui

jenis teksturnya, oleh karena itu perlu disesuaikan lagi dengan Tabel 3.

Selanjutnya pendugaan nilai kapasitas lapang dan titik layu permanen, didasarkan

pada jenis tekstur tanah seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 3. Hubungan Kelas Tekstur dan Jenis Tekstur Tanah

(45)

30

3.3.4 Perhitungan Evapotranspirasi Potensial

Perhitungan evapotranspirasi potensial harian pada penelitian ini

menggunakan metode Thornthwaite and Mather yang sudah dimodifikasi (Pereira and Pruitt, 2004). Adapun rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung nilai

Etp harian adalah sebagai berikut.

a. Persamaan untuk suhu udara rata-rata (t ≤ 26,5 °C)

b. Persamaan untuk suhu udara rata-rata (t > 26,5 °C)

Dimana : ETP harian = evapotranspirasi harian (mm)

T = suhu udara harian (o C)

I = Indeks panas

N = panjang hari (Jam) (besarnya panjang hari

berdasarkan letak lingtang). Untuk Indonesia

bagian belahan bumi selatan, rata-rata nilai N

(46)

31

3.3.5 Pendugaan Kekeringan dengan Metode Neraca Air

Risiko kekeringan diduga dengan menggunakan analisis neraca air tanah

secara umum dengan model pendekatan yang dikembangkan oleh Thornthwaite

and Mather (1955). Hasil perhitungan neraca air ini adalah jumlah air tersedia

pada tiap-tiap satuan waktu (harian). Untuk mengetahui suatu waktu kondisinya

kering atau tidak berdasarkan persentase kapasitas lapang. Nilai persentase

kapasitas lapang didapat dengan menggunakan persamaan:

Semakin kecil persentase kapasitas lapang, maka kondisi kelengasan tanah

akan semakin mendekati kekeringan. Untuk mengetahui batas terjadinya

kekeringan dilakukan dengan uji coba membandingkan kondisi beberpa nilai

persen kapasitas lapang (0% KL – 50% KL) dengan kondisi kekeringan aktual di

lapangan. Nilai korelasi antara persentase kapasitas lapang dengan kondisi

kekeringan aktual yang terbesar akan dijadikan ambang batas (threshold) mulai terjadinya cekaman kekeringan. Selain itu didukung juga dengan berbagai studi

pustaka yang menyatakan ambang batas tanaman pertanian tertentu mulai

mengalami cekaman kekeringan berdasarkan parameter persentase kapasitas

lapangnya.

3.3.6 Uji Kehandalan Kekeringan Model

Model kekeringan dikatakan handal apabila korelasi yang dihasilkan antara

kekeringan model dan kekeringan aktual memiliki korelasi yang erat dan dapat

dipercaya (reliabel). Data memberikan informasi yang reliabel apabila nilai

(47)

32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Koreksi Bias Data Curah Hujan dan Suhu Luaran Model

RegCM3

Data luaran RegCM3 merupakan hasil simulasi kondisi iklim yang memiliki resolusi spasial yang cukup tinggi. Namun seperti telah disampaikan di depan

bahwa luaran dari RegCM3 masih mengandung bias. Oleh sebab itu diperlukan koreksi agar data dari luaran RegCM3 bisa mendekati kondisi aktual (data observasi). Berikut disajikan pola curah hujan dan suhu udara antara data luaran

RegCM3(sebelum dan sesudah dikoreksi) dengan data observasi.

Data curah hujan yang digunakan untuk menentukan faktor koreksi pada

penelitian ini adalah data curah hujan harian dari 1 Januari 1998 sampai dengan

31 Desember 2010. Gambar 8 berikut ini adalah grafik yang menunjukkan pola

hubungan curah hujan rata-rata harian antara data observasi dengan data luaran

RegCM3.

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 8 menunjukkan pola curah hujan harian rata-rata antara data model

(sebelum dan sesudah koreksi) dengan data observasi. Data curah hujan model

Grafik Pola Hubungan Rata-rata CH Harian (Obs dan RegCM3)

RegCM3

RegCM3 terkoreksi

(48)

33

hampir sama dari hari ke hari. Bahkan tidak bisa menggambarkan adanya

pengaruh musim hujan dan musim kemarau, karena dari hari ke hari nilainya

hampir sama, yaitu berkisar 2-7 mm/hari. Sedangkan untuk curah hujan observasi

(garis hijau) sangat fluktuatif, yaitu kisarannnya antara 0 -17 mm/hari dan terlihat

jelas dari adanya pengaruh musim. Dari gambaran itu menunjukkan bahwa curah

hujan model sebelum dikoreksi tidak bisa menggambarkan kondisi aktual

(observasi). Namun setelah dilakukan koreksi bias, data curah hujan model

terkoreksi (garis merah) polanya sangat mirip dengan pola yang ditunjukkan oleh

curah hujan observasi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya koreksi bias,

data curah hujan model RegCM3 memiliki karakteristik yang sama dengan data curah hujan observasi (besaran curah hujan dan pola temporalnya). Sehingga

secara grafis, model RegCM3 yang telah dikoreksi ini dapat dikatakan sudah handal untuk digunakan analisis lebih lanjut.

Data curah hujan harian di atas apabila disederhanakan menjadi data

bulanan, akan tampak seperti gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Bulanan RegCM3 (Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Gambar 9 memperlihatkan pola curah hujan rata-rata bulanan dari data

model dan data observasi. Seperti halnya dengan pola curah hujan rata-rata harian 0

Grafik Pola Hubungan Rata2 CH Bulanan Obs dan RegCM3

RegCM3

RegCM3 Terkoreksi

(49)

34

pada Gambar 8, data dari model RegCM3 sebelum dikoreksi (garis biru) polanya tidak begitu fluktuatif sehingga kurang jelas dalam menggambarkan pengaruh

musim yang terjadi. Setelah data model RegCM3 dikoreksi polanya sangat sesuai dengan data observasinya. Hal ini ditunjukkan dengan garis merah (model

RegCM3 terkoreksi) dan garis hijau ( observasi) yang berimpit pada setiap bulannnya. Dari Gambar 9 tersebut dapat kita ketahui juga bahwa tipe hujan di

daerah penelitian adalah monsunal. Tipe hujan monsunal ditandai dengan bentuk

pola hujan yang bersifat unimodal, yaitu memiliki satu puncak musim hujan

(sekitar bulan Desember-Februari) dan satu puncak musim kemarau. Dalam pola

hujan ini terdapat perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau

dimana biasanya terjadi masing-masing selama enam bulan (Boerema dalam

Boer 2003).

Bulan yang paling basah adalah pada bulan Januari, dengan curah hujan

rata-rata nya adalah 350 mm/bulan dan bulan paling kering adalah pada bulan

Agustus dengan curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm/bulan.

Selain curah hujan, pada penelitian ini juga dilakukan koreksi bias suhu

udara. Data yang digunakan untuk menentukan faktor koreksi suhu udara pada

penelitian ini adalah data suhu udara bulanan mulai bulan Januari 1990 sampai

dengan bulan Desember 1997. Gambar 10 menunjukkan grafik pola hubungan

suhu udara bulanan antara data observasi dengan data luaran RegCM3.

Pola rata-rata suhu udara bulanan yang ditunjukkan pada Gambar 10

memperlihatkan bahwa antara data model dengan data observasi sangat mirip

sekali, dimana suhu udara rata-rata bulanan maksimum terjadi pada bulan Oktober

baik untuk data model maupun data observasi dan suhu rata-rata bulanan

minimum terjadi pada bulan Juli. Namun data model RegCM3 sebelum dikoreksi masih menunjukkan perbedaan nilai dengan data observasi. Hal ini terlihat jelas

dari garis biru (RegCM3 sebelum dikoreksi) masih berada di bawah garis hijau (observasi). Setelah dilakukan koreksi, data RegCM3 menunjukkan kesamaan dengan data observasinya, hal ini ditunjukkan dengan garis merah (RegCM3

(50)

35

Gambar 10. Pola Hubungan Suhu Rata-rata Bulanan RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Kesamaan pola dari data suhu udara model RegCM3 terkoreksi dengan suhu udara observasi pada Gambar 10 di atas mengindikasikan bahwa data suhu udara

dari luaran model RegCM3 terkoreksi secara grafis bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut. Gambar 10 di atas juga menginformasikan bahwa suhu udara

rata-rata bulanan di daerah penelitian berkisar antara 24,7o C – 26oC. Suhu udara

tertinggi terjadi pada Februari , Mei dan Oktober , yaitu sekitar 260C dan

terendah terjadi pada Juli dengan suhu 24,7oC.

4.2 Evaluasi Kehandalan Data Model Luaran RegCM3

Data luaran model RegCM3 setelah dilakukan koreksi bias perlu diuji kehandalannya secara statistik untuk mengetahui apakah data luaran model

RegCM3 bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut atau tidak. Data model bisa digunakan atau dikatakan handal untuk analisis lanjutan apabila memenuhi

kriteria seperti yang telah disebutkan di BAB III, yaitu dilihat dari nilai error,

Grafik Pola Hubungan Rata2 Suhu Bulanan RCM dan Obs

RegCM3

RegCM3 Terkoreksi

(51)

36

Tabel 4 berikut merupakan hasil perhitungan statistik data model sebelum

dikoreksi dan setelah dikoreksi untuk mengetahui apakah data luaran model

RegCM3 handal dan bisa digunakan untuk analisis lebih lanjut atau tidak.

Tabel 4. Nilai R2, Error,dan NSE (Sebelum dan Setelah Koreksi Bias)

Parameter Sebelum Koreksi

R2 MSE NSE

Curah Hujan Harian 0.4160 19.5724 -0.1921

Bulanan 0.4740 495.4142 -0.2452

Suhu Bulanan 0.7710 0.0930 0.3020

Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai R2 dan NSE untuk parameter curah hujan

bulanan dan suhu bulanan setelah dikoreksi bernilai 1 dan mendekati 1. Hal ini

berarti bahwa antara model dan observasi menunjukkan kesamaan. Sedangkan

untuk parameter curah hujan harian setelah dikoreksi nilai R2=0.8530 dan NSE=

0.7024. Nilai tersebut meskipun belum mendekati sempurna, tetapi secara

statistik sudah sangat layak digunakan untuk analisis lebih lanjut karena nilai R2

dan NSE mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

Indikator nilai error (MSE) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa

perbandingan nilai error antara data RegCM3 sebelum dan sesudah dikoreksi mengalami penurunan yang signifikan, terutama untuk parameter curah hujan

bulanan dan suhu bulanan. Nilai error untuk kedua parameter tersebut mendekati

nol.

Berdasarkan uji kehandalan tersebut, dapat dikatakan bahwa data luaran

model RegCM3 setelah dikoreksi mampu merekonstruksi dan menggambarkan kondisi iklim lokal yang mendekati kondisi lapangan. Oleh sebab itu data luaran

(52)

37

runoff di Amerika Serikat dengan menggunakan data luaran RegCM2

menunjukkan hasil yang signifikan dengan runoff observasi. RegCM3 merupakan hasil downscaling dinamik dari model iklim yang resolusi spasialnya lebih besar,

seperti GCM. Dengan adanya downscaling ini menjadikan performa RegCM3

menjadi akurat jika diterapkan untuk analisis hidrolologi pada skala lokal.

4.3 Keadaan Curah Hujan Berdasarkan Data Luaran RegCM3

Besarnya curah hujan di suatu daerah tergantung dari posisi daerah tersebut

terhadap laut dan pegunungan. Atau dengan kata lain besarnya curah hujan sangat

tergantung dari topografi. Kecenderungan yang ada bahwa semakin tinggi suatu

tempat maka curah hujan akan semkin tinggi. Gambar 11 menunjukkan hubungan

ketinggian tempat dengan besarnya curah hujan di daerah penelitian berdasarkan

data luaran model RegCM3 terkoreksi.

Gambar 11. Hubungan ketinggian tempat dengan curah hujan

Gambar 11 tersebut menunjukkan bahwa di daerah penelitian, besarnya

curah hujan model tidak selalu tergantung dengan ketinggian tempatnya. Hal ini

ditujukkan oleh garis kecenderungan yang relatif datar. Ada tempat dengan

elevasi yang rendah tetapi curah hujannya lebih tinggi dibandingkan pada tempat

yang elevasinya lebih tinggi. Misalnya pada lokasi dengan ketinggian 5 m dpal

curah hujan tahunannya 2.235 mm/tahun sedangkan daerah yang paling tinggi ,

yaitu 3.000 m dpal curah hujannya 1.950 mm/tahun.

0

(53)

38

Fenomena besarnya curah hujan seperti disebutkan di atas bisa disebabkan

pengaruh daerah bayang-bayang hujan. Yaitu suatu lereng pegunungan yang

sangat kecil menerima curah hujan karena curah hujan telah jatuh di lereng

pegunungan sebaliknya. Daerah bayang-bayang hujan identik dengan curah hujan

yang kecil karena angin yang berhembus tidak membawa uap air.

Hubungan ketinggian dengan curah hujan di atas, akan nampak lebih jelas

lagi dengan adanya peta sebaran curah hujan di daerah penelitian. Gambar 12

memperlihatkan sebaran rata-rata curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna

berdasarkan data luaran model RegCM3 terkoreksi. Gambar tersebut

menunjukkan bahwa di daerah dataran rendah yang dekat pantai (Pati dan

Rembang), curah hujan tahunannya paling rendah dengan rata-rata kurang dari

1.700 mm/tahun. Fakta ini seusai dengan penelitian yang dilakukan oleh Turyanti

(1995) dan Jadmiko (2011). Turyanti dan Jadmiko dalam penelitiannya

menyatakan bahwa curah hujan daerah di pantai utara pulau Jawa lebih rendah

dibandingkan dengan curah hujan di daerah pantai selatan pulau Jawa. Semakin

ke atas curah hujan akan semakin besar. Ke arah utara, yaitu ada Gunung Muria

yang ada di Kabupaten Kudus, curah hujan semakin meningkat. Begitu juga ke

arah Barat Daya ada Gunung Merapi. Daerah di lereng Gunung Merapi, seperti

Boyolali dan Salatiga curah hujan juga mengalami peningkatan.

Meskipun sama-sama di lereng gunung, antara daerah yang ada di lereng

Gunung Muria dengan dareah yang ada di lereng Gunung Merapi menunjukkan

besaran rata-rata curah hujan tahunan yang berbeda. Sebagai contohnya daerah

Boyolali yang ada di lereng Gunung Merapi curah hujannya lebih rendah

dibandingkan daerah Kudus yang ada di lereng Gunung Muria. Hal ini

dimungkinkan di lereng timur laut dari Gunung Merapi merupakan daerah

bayang-bayang hujan, sehingga meskipun ketinggiannya hampir sama dengan

lereng Gunung Muria, tetapi curah hujan di daerah lereng Gunung Merapi ini

lebih kecil. Gambar 12 juga menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Sub

DAS Seluna curah hujan rata-rata tahunannya sebesar 1.701 – 2.200 mm/tahun.

Daerah-daerah tersebut meliputi sebagian besar Kabupaten Grobogan, Kudus,

(54)

39

(55)

40

Curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna dari tahun ke tahun

kecenderungannya mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan IPCC Projected

Climate Change, dalam Lavinson (2009), yang menyatakan bahwa total presipitasi

dari tahun ke tahun di prediksikan akan mengalami peningkatan. Kecenderungan

curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna dari tahun 1990 – 2010 digambarkan

pada Gambar 13 .

Gambar 13. Kecenderungan Curah Hujan Tahunan (1990 – 2010)

Gambar 13 di atas selain menunjukkan kecenderungan curah hujan tahunan

dari tahun ke tahun yang mengalami peningkatan juga dapat diketahui bahwa

curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna memiliki pola 2 puncak dan 2 lembah

dalam kurun waktu 21 tahun (1990-2010). Tahun-tahun paling kering dalam

kurun waktu tersebut terjadi pada tahun 1991 dan 2004 dan tahun-tahun paling

basah terjadi pada tahun 1998 dan 2010. Berdasarkan www.ggweather.com tahun

1991 dan 2004 merupakan tahun kejadian El Nino dan tahun 1998 dan 2010

merupakan tahun La Nina. Bahkan pada tahun 2010 merupakan kejadian La Nina

kuat, hal ini sesuai dengan Gambar 13 di atas, bahwa pada tahun 2010 merupakan

tahun paling basah. Fakta tersebut menunjukkan bahwa data luaran model

Gambar

Gambar 2. Skema Kapasitas Air Tersedia
Gambar 3. Sub DAS Seluna dan Kabupaten/Kota yang masuk di dalam Sub DAS 22
Gambar 4. Jenis Tanah Sub DAS Seluna 23
Gambar 5. Penggunaan Lahan tahun 1994 Sub DAS Seluna 24
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tindak pidana penyerobotan tanah jika dilihat dari segi waktunya dibedakan menjadi dua, yaitu pada waktu perolehan dan pada waktu mengakui tanpa hak. Sehubungan dengan

Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan variabel bebas (independen) adalah Ukuran Perusahaan ( Size ), Return on Asset

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perbedaan lama pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) menurut keluhan

The analysis of variance for the breast diameter and the height of the tree (Table 2), as well as for the width and height of the crown (Table 3), showed that at 95 % confidence

Hasil penelitian menunjukkan berat badan awal ternak babi bali jantan lepas sapih yang diberikan ransum dengan ME (kkal/kg)/CP (%) yaitu 2800/16 dengan imbangan energi dan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengumpulan data di lapangan mengenai pemetaan dan deskripsi potensi objek wisata yang terdapat di wilayah Kabupaten Lampung Barat

Subang (21/10) --- Anggota DPR RI Fraksi PKS Dapil Subang, Majalengka Sumedang, Nurhasan Zaidi, bertemu dengan segenap Pimpinan Daerah Kabupaten Subang di Rumah Dinas Bupati