• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

CONTOH PRA DESAIN HUTAN KOTA DI KECAMATAN

BANYUWANGI, KABUPATEN BANYUWANGI

AGE KRIDALAKSANA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

CONTOH PRA DESAIN HUTAN KOTA DI KECAMATAN

BANYUWANGI, KABUPATEN BANYUWANGI

AGE KRIDALAKSANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

(4)

Nama : Age Kridalaksana NIM : E 34063106

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS. Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc. NIP.19501226 198003 1 002 NIP.19620316 198803 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP.19580915 198403 1 003

Tanggal Lulus :

(5)

KATA PENGANTAR

Allah SWT adalah sumber dari segala ilmu, penulis bersyukur atas setitik ilmu dan ridho yang dianugrahkan Allah SWT sehingga skripsi yang berjudul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi” dapat diselesaikan. Penulis hanya berharap bahwa ilmu yang diperoleh tersebut mampu memberikan manfaat kebaikan bagi banyak pihak. Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan dari karya ilmiah ini karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karena itu peneliti selalu berharap saran, kritik dan masukan dari pembaca agar peneliti mampu mengembangkan diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Bogor, Oktober 2011

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 25 Januari 1988. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Drs. AH Hadiyin dan Dra. Sri Supadmi, dan mempunyai satu saudara yaitu Amesti Dyah Prameswari.

Penulis memulai pendidikan formal di SDN Penganjuran V Banyuwangi pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan formal di SLTPN 1 Banyuwangi pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2003. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Glagah Banyuwangi pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006.

Tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di IPB (Institut Pertanian Bogor) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selain mengikuti perkuliahan di Fakultas Kehutanan, penulis juga melakukan kegiatan PPEH (Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan) di Pangandaran dan Gunung Sawal pada tahun 2009. Tahun 2010, penulis mengikuti kegiatan PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) di HPGW (Hutan Pendidikan Gunung Walat) IPB. Penulis juga mengikuti kegiatan PKLP (Praktek Kerja Lapang Profesi) di Taman Nasional Baluran pada tahun 2010.

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mamanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia yang tak terhingga yang dilimpahkan kepada penulis. Berbagai bantuan diterima penulis selama penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu, ibu, ibu (Dra. Sri Supadmi) dan bapak (Drs. AH. Hadiyin) atas kasih sayang, kebaikan dan segala sesuatu yang tidak mungkin bisa penulis hitung terlebih untuk membalasnya.

2. Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, pengetahuan dan meluangkan waktu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

3. Keluarga kedua penulis “OMDA Lare Blambangan Banyuwangi”, yang telah memberi wawasan, pengalaman, pengetahuan, kehangatan keluarga dan kasih sayang selama penulis menempuh ilmu di Bogor.

4. Teman – teman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata angkatan 43, bersama kalian waktu berjalan begitu cepat dan penulis baru menyadarinya saat satu persatu dari kalian mengucapkan perpisahan.

5. Teman – teman laboratorium analisis spasial lingkungan (kakak tingkat, adik tingkat, teman satu angkatan). Penulis tidak mampu menyebutkan setiap nama kalian satu persatu karena kalian semua sangat berarti bagi penulis dan penulis hanya mengingat bahwa penulis berhutang banyak hal dari kalian semua. 6. Marisha ARL 45, Atik ARL 45, Mita ARL 44, terima kasih atas bantuan

simbol pohon. Mungkin kalian akan melupakan penulis karena pertemuan kita begitu singkat, namun penulis tidak akan pernah melupakan sesuatu yang telah kalian berikan kepada penulis dan penulis berharap di lain kesempatan dapat melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan kalian.

7. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, pemerintah Kecamatan Banyuwangi, BAPPEDA Banyuwangi atas kesediannya memberi fasilitas kepada penulis untuk melakukan penelitian.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Hutan Kota ... 3

2.2 Sistem Informasi Geografis (GIS) ... 4

2.3 Pra Desain Lanskap ... 6

BAB III METODE PENELITIAN ... 9

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 9

3.2 Alat dan Bahan ... 9

3.3 Pengolahan Data... 10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Peta Tematik Kecamatan Banyuwangi ... 20

4.2 Penentuan Lokasi Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi ... 38

4.3 Pra Desain Hutan Kota ... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Alat dan bahan penelitian ... 9

2. Nilai Konstanta kalibrasi dari band thermal ... 13

3. Suhu permukaan Kecamatan Banyuwangi ... 21

4. Kelas kemiringan lereng Kecamatan Banyuwangi ... 25

5. Klasifikasi tutupan lahan SNI 7645:2010 ... 28

6. Klasifikasi tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi ... 29

7. Uji akurasi kelas tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi ... 29

8. Pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam ... 32

9. Jenis tanah berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi ... 42

10.Arti warna terhadap sifat tanah ... 42

11.Nilai untuk setiap kriteria penentuan lokasi hutan kota ... 43

12.Kelas prioritas lokasi untuk pembangunan kawasan hutan kota ... 43

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 7 ETM+ ... 11

2. Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ASTER GDEM ... 12

3. Bagan alur tahapan pembuatan peta distribusi suhu ... 14

4. Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng ... 15

5. Bagan alur tahapan pembuatan peta penutupan lahan ... 16

6. Bagan alur tahapan pembuatan peta jarak dari pemukiman ... 16

7. Bagan alur tahapan pembuatan peta jenis tanah ... 17

8. Bagan alur tahapan penentuan lokasi hutan kota ... 18

9. Peta Suhu Permukaan Kecamatan Banyuwangi ... 22

10.Peta Kontur Kecamatan Banyuwangi ... 26

11.Peta Kemiringan Lahan Kecamatan Banyuwangi ... 27

12.Peta Tutupan Lahan Kecamatan Banyuwangi ... 30

13.Peta Jarak dari Pemukiman Kecamatan Banyuwangi ... 33

14.Peta Jenis Tanah Kecamatan Banyuwangi ... 37

15.Peta Prioritas Lokasi Hutan Kota Kecamatan Banyuwangi ... 44

16.Peta Prioritas Lokasi Hutan Kota Kecamatan Banyuwangi ... 46

17.Kondisi Tapak Pantai Boom ... 52

18.Konsep pegembangan dan pembagian ruang ... 53

19.Konsep sirkulasi ... 54

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

(12)

1.1Latar Belakang

Kota merupakan pusat kegiatan manusia yang dicirikan dengan kegiatan perdagangan atau jasa dan sebagai pusat pemerintahan. Pembangunan kota cenderung diarahkan menuju pembangunan fisik kota yang identik dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk aktifitas manusia. Pembangunan kota yang lebih mengutamakan pembangunan fisik dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan kota, terutama dalam hal kenyamanan. Ilmu arsitektur mengenal paling sedikit empat macam kenyamanan, yaitu: kenyamanan ruang, kenyamanan penglihatan, kenyamanan pendengaran dan kenyamanan termis (Karyono 2001). Kenyamanan termis merupakan jenis kenyamanan yang sangat berkaitan dengan pembangunan fisik kota. Umumnya pembangunan fisik kota yang tidak diimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau perkotaan, sehingga mengakibatkan suhu perkotaan meningkat bahkan menyebabkan terjadinya fenomena heat island di perkotaan.

Fenomena kenaikan suhu memang sudah terjadi sejak abad dua puluh dan terjadi di seluruh kota di Indonesia tidak terkecuali Kecamatan Banyuwangi. Suhu udara rata-rata tahunan telah bertambah kira-kira 0.3oC sejak tahun 1900. Sementara itu tahun 1990 menjadi dekade terpanas abad ini. Tahun 1998 menjadi tahun terpanas hampir 1°C di atas rata-rata tahun 1961-1990. Rata-rata suhu udara di Indonesia mengalami peningkatan berkisar 0,2-1°C yang terjadi sejak tahun 1970 sampai tahun 2008 akibat adanya pemanasan global (Firman 2009).

(13)

Hutan kota merupakan suatu konsep yang dipercaya mampu untuk mengembalikan atau menstabilkan kondisi kenyamanan lingkungan perkotaan. Hutan kota dibangun dengan elemen lanskap utama berupa tegakan pohon. Kemampuan pohon untuk menyerap polusi, menghasilkan oksigen (O2) dari

proses fotosintesis, meningkatkan kenyamanan termal, meredam kebisingan, memberi naungan, memberi nilai estetika, dll adalah alasan yang memperkuat bahwa hutan kota mampu mengembalikan keseimbangan dan kenyamanan lingkungan perkotaan. Fungsi hutan kota semakin optimal apabila hutan kota dibangun pada lokasi yang tepat, oleh karena itu diperlukan klasifikasi dan penilaian lahan sebelum menentukan lokasi untuk pembangunan hutan kota.

Hutan kota merupakan suatu kawasan hutan yang berada pada perkotaan. Pengertian hutan kota tentunya perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat, karena kawasan hutan yang akan dibangun berada di perkotaan yang merupakan pusat aktivitas manusia. Pengertian hutan dan pengertian kota tersebut dapat disatukan dengan membuat suatu desain tertentu sehingga manfaat kawasan hutan dapat dirasakan secara optimal tanpa harus menggangu aktivitas manusia di kawasan perkotaan tersebut.

1.2Tujuan Penelitian

(14)

2.1 Hutan Kota

2.1.1 Pengertian

Hutan kota adalah komunitas tumbuh-tumbuhan berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis (Irwan 2007).

Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota menyatakan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak.

Dahlan (1992), ada dua pendekatan yang dipakai dalam membangun hutan kota. Pendekatan pertama, hutan kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu saja. Penentuan luasannya pun dapat berdasarkan: (1). Prosentase, yaitu luasan hutan kota ditentukan dengan menghitung dari luasan kota; (2). Perhitungan per kapita, yaitu luasan hutan kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya dan (3). Berdasarkan isu utama yang muncul. Pendekatan kedua, semua areal yang ada di suatu kota pada dasarnya adalah areal untuk hutan kota. Pada pendekatan ini komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan industri dipandang sebagai suatu enklave (bagian) yang ada dalam suatu hutan kota.

2.1.2 Manfaat Hutan Kota dalam Menurunkan Suhu

(15)

Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya suatu hutan sangat dipengaruhi oleh : panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang.

Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

a. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5 - 31,0° C dengan kelembaban 66 - 92%.

b. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7 - 33,1° C dengan kelembaban 62 - 78%.

c. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3 - 32,1° C dengan kelembaban 62 - 78%.

2.1.3 Tipe dan Bentuk Hutan Kota

Dahlan (1992) membagi hutan kota menjadi bebrapa tipe dan bentuk. Tipe hutan kota, antara lain: tipe pemukiman, tipe kawasan industri, tipe rekreasi dan keindahan, tipe pelestarian plasma nutfah, tipe perlindungan, tipe pengamanan. Bentuk hutan kota, antara lain: jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun raya, hutan raya, kebun binatang, hutan lindung, kuburan dan taman makam pahlawan.

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)

2.2.1 Aplikasi Sistem Informasi Geografis

Pengindraan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990).

(16)

suhu antara 17,9 sampai 34oC. Nilai suhu permukaan tertinggi yaitu 33-34oC pada lahan terbuka wilayah Kecamatan Denpasar Selatan (Kelurahan Sesetan). Nilai suhu permukaan terendah yaitu 17,9oC pada wilayah Kecamatan Denpasar yaitu tipe penutupan lahan mangrove.

Fajar (2010) menduga penutupan lahan dan distribusi suhu permukaan Kota Palembang dengan melakukan analisis estimasi Citra Landsat 7 ETM+. Hasil interpretasi dan analisis Citra Landsat 7 ETM+ pada tahun 2001 dan 2010 menunjukkan adanya perubahan tutupan lahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan non vegetasi yang cukup besar terjadi di pingguran Kota Palembang. Perubahan penggunaan lahan tersebut berakibat pada perubahan iklim mikro, diantaranya adalah peningkatan suhu permukaan, penurunan kelembaban relatif dan peningkatan indeks kenyaman. Sebaran suhu di Kota Palembang berkisar antara 27oC sampai 39oC. suhu pada ruang terbuka hijau berkisar antara 27oC sampai 32oC, sedangkan suhu pada area terbangun > 33oC. Nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dapat membantu dalam membedakan tutupan vegetasi dan non vegetasi dan memiliki kolerasi berupa hubungan berkebalikan dengan suhu permukaan, yaitu kenaikan suhu permukaan disertai dengan penurunan NDVI atau sebaliknya.

(17)

2.3 Pra Desain Lanskap

2.3.1 Pengertian

Desain lanskap adalah sebuah perluasan dari perencanaan tapak (Laurie 1986, diacu dalam Heryani 2008). Desain lanskap adalah proses yang membawa kualitas spesifik yang diberikan kepada ruang diagramatik rencana tapak dan merupakan level lain dimana arsitektur lanskap didiskusikan dan dikritik. Hasil dari proses desain adalah gambar kerja yang segera terwujud. Pra desain merupakan tahap persiapan desain. Hasil dari tahap ini adalah konsep perancangan site plan, denah, tapak, potongan dan perspektif (Anonim 2007).

2.3.2 Prinsip Desain

Pembuatan desain lanskap pada umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip desain agar menghasilkan desain yang berkualitas. Ried (1993) diacu dalam Heryani (2008) mengungkapkan prinsip desain meliputi : unity, harmony, interest, simplicity, emphasis, balance, scale dan proportion.

a. Kesatuan (Unity)

Unity adalah penyatuan dari beberapa elemen desain sehingga dari semua

komponen menghasilkan suatu kesatuan. Unity merupakan kualitas kesatuan dan perpaduan yang dicapai meliputi pengaturan berbagai elemen lanskap dengan keseluruhan pengaturan tema.

b. Keselarasan (Harmony)

Harmony merupakan unsur penyelaras. Harmony merupakan pernyataan

untuk kesesuaian antara elemen-elemen lanskap dengan lingkungan sekitarnya. Teknik untuk menunjukkan harmony yaitu dengan menunjukkan gambar yang akan direncanakan dalam bagian tertentu terhadap bentuk secara keseluruhan ide dan penyangga yang cukup antara elemen-elemen yang berbeda. Pada umumnya, aturannya adalah menghindari solusi yang memunculkan keanehan. Nilai keaslian dan fungsional akan menambah nilai harmony.

c. Menarik perhatian (Interest)

Interest bukanlah prinsip dasar dalam pengaturan, tetapi aspek yang sangat

(18)

d. Kesederhanaan (Simplicity)

Simplicity sebagai unsur kesederhanaan. Simplicity merupakan hasil dari

pengurangan elemen yang tidak penting, sehingga akan memiliki nilai ekonomis pada garis, bentuk, tekstur dan warna. Hal ini merupakan suatu dasar untuk membawa kemurnian dan tujuan desain. Simplicity akan membawa ke arah yang ekstrim, walaupun kesederhanaan menghilangkan kemonotonan

e. Aksentuasi (Emphasis)

Emphasis menitikberatkan pada elemen atau pola tertentu. Emphasis atau

dominan merupakan hal penting untuk diberikan pada suatu elemen lanskap. Elemen lanskap yang ada disekitarnya membutuhkan pengaturan dengan fokus terhadap atraksi, pengaruh dan kekuatan, dibatasi dengan menggunakan emphasis pada tempat istirahat untuk mata dan penolong orintasi. Seluruh gambar akan terasa menyenangkan ketika seseorang mudah untuk menemukan hal penting. Emphasis dapat dicapai dengan menentukan penggunaan yang kontras.

Emframement dan focalization merupakan prinsip pelengkap pada

emphasis. Hal tersebut merupakan teknik untuk menyesuaikan dan mendukung

lingkungan di sekitar lanskap. Focalization terjadi ketika elemen-elemen disekitarnya merupakan struktur yang dijadikan sebagai pemandangan utama, walaupun perhatiannya harus pasti terhadap daerah penting yang berguna bagi pengguna.

Ketika prinsip emphasis digunakan terhadap eleman lanskap berupa garis atau permukaan yang berpola, maka hasilnya adalah ritme. Ritme adalah emphasis yang sifatnya berulang dan beraturan. Istirahat, variasi dan getaran dapat mewujudkan perasaan yang bergerak pada lanskap.

f. Keseimbangan (Balance)

Balance merupakan perasaan yang menyatakan pada keseimbangan. Hal itu

(19)

g. Skala dan Proporsi (Scale dan Proportion)

Scale dan proportion, mengacu pada pembidangan relatif antara ketinggian,

panjang, luas, masa dan volume. Scale dan proportion menunjukkan perbandingan yang relatif dari tinggi, lebar, luas, jumlah dan volume. Perbandingan antara elemen dengan area yang ditempati. Proportion mengacu pada bagian dari suatu objek dalam hubungannya dengan sisa objek tersebut, sedangkan scale adalah perbandingan seluruh objek dalam hubungannya dengan objek yang lain.

(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 11 bulan dan dimulai pada bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian beserta fungsinya disajikakan pada Tabel 1.

Tabel 1 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan Bahan Fungsi

A. Alat

1. Kamera Mengambil gambar di lokasi penelitian

2. GPS (Global Positioning System) Untuk menandai dan mengambil posisi koordinat geografi lapangan

3. Alat tulis Mencatat hasil penelitian 4. Software ERDAS 9.1 Mengolah data spasial 5. Software ArcGIS 9.3 Mengolah data spasial 6. Software Corel Draw X3 Membuat desain hutan kota 7. Software Photoshop CS4 Membuat desain hutan kota

8. Komputer Menjalankan software yang digunakan dalam penelitian

B. Bahan

1. Citra Landsat 7 ETM Bahan untuk estimasi suhu permukaan bumi, bahan untuk membuat peta penutupan lahan dan peta jarak dari pemukiman

2. Citra ASTER GDEM Bahan untuk mendapatkan data kelerengan lahan dan data kontur di lokasi penelitian 3. Peta Rupa Bumi Bahan untuk melakukan proses koreksi

geometrik pada citra

4. Peta Tanah Salah satu parameter untuk menentukan lokasi hutan kota

5. Peta rencana tata ruang wilayah Kabupaten Banyuwangi

(21)

3.3 Pengolahan Data

3.3.1 Pengolahan Awal Data

Penelitian dilakukan dengan menggunakan data dasar berupa peta dan citra satelit (Lansat 7 ETM+ dan ASTER GDEM). Setiap data memiliki format yang berbeda-beda. Data tersebut perlu diolah terlebih dahulu agar data memiliki format yang sama antara satu data dengan data yang lainnya sehingga data tersebut mudah untuk dianalisis. Kegiatan pengolahan awal data, antara lain : a. Import data

Import data merupakan kegiatan menyesuaikan format data yang dimiliki

sehingga data sesuai dengan data yang diminta oleh software yang akan digunakan.

b. Layer stacking

Layer stacking merupakan proses penggabungan band pada citra satelit.

Layer stacking dilakukan apabila citra satelit memiliki lebih dari satu band,

misalnya Citra Landsat 7 ETM+ yang memiliki delapan band. Sedangkan citra yang hanya memiliki satu band (misal : Citra ASTER GDEM), proses layer stacking tidak dilakukan

c. Koreksi geometrik

(22)

d. Pemotongan peta dan citra satelit

Pemotongan peta dilakukan dengan tujuan untuk memperjelas batasan wilayah penelitian (wilayah studi). Hasil dari pemotongan peta adalah peta kerja.

Gambar 1 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 7 ETM+. Citra Landsat 7 ETM+

Citra Terkoreksi

Pemotongan Citra Koreksi Geometrik

Layer Stacking

 

Import Data

Citra sesuai wilayah studi

(23)

Gambar 2 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ATER GDEM.

3.3.2 Pengolahan Band 6 untuk Estimasi Suhu Permukaan

Pengolahan band 6 pada Citra Landsat 7 ETM dilakukan untuk menghasilkan peta distribusi suhu permukaan. Estimasi nilai suhu permukaan dilakukan dengan mengunakan software ERDAS imagine 9.1, proses dilakukan dengan membuat model pada menu Model Maker ERDAS imagine 9.1 yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 7 ETM band 6. DN (Digital Number) merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan konversi menjadi nilai radiansi. Konversi nilai digital number menjadi nilai radiansi dilakukan dengan rumus sebagai berikut (USGS 2002):

Radiansi = gain x DN (digital number) + offset

Dengan nilai gain sebesar 0.05518, digital number adalah band 6 dari Citra Landsat 7 ETM dan nilai offset sebesar 1.2378.

Citra ASTER GDEM

Citra Terkoreksi

Pemotongan Citra Koreksi Geometrik

Import Data

Citra sesuai wilayah studi

(24)

Suhu permukaan didapatkan setelah dilakukan proses konversi Radian Spektral (Spectral Radiance) menjadi temperatur. Citra band thermal (band 6) dapat dikonversi menjadi peubah fisik dengan asumsi bahwa emisinya adalah satu. Persamaan konversi radian spektral menjadi temperatur adalah sebagai berikut:

Keterangan :

T : Suhu efektif (K)

K2 : Konstanta Kalibrasi 2 (Tabel 2) K1 : Konstanta Kalibrasi 1 (Tabel 2)

L : Spectral radiance in watts/(meter squared * ster * µm)

Konstanta K1 dan K2 untuk Landsat 5/TM dan Landsat 7/ETM dapat ditunjukkan dalam Tabel 2 dibawah ini :

Tabel 2 Nilai Konstanta kalibrasi dari Band Thermal

Satelit K1 (W/(m2*ster*μm)) K2 (Kelvin)

Landsat 5/TM 607.76 1260.56

Landsat 7/ETM 666.09 1282.71

(25)

Gambar 3 Bagan alur tahapan pembuatan peta distribusi suhu.

3.3.3 Pembuatan Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng

Penelitian dilakukan dengan melakukan proses analisis Citra ASTER GDEM untuk memperoleh data ketinggian tempat dan kemiringan lereng di Kecamatan Banyuwangi dan proses analisis Citra ASTER GDEM dilakukan dengan mengunakan software ArcGIS 9.3. Data spasial lereng merupakan data yang memberi infomasi kemiringan suatu lahan yang mempunyai nilai satuan persen (%) berdasarkan derajat sudut kemiringan derajat (°). Lereng dengan nilai 100 % = 45° sudut kemiringan. Data spasial lereng dapat dibangun dengan melakukan proses analisis lereng pada data DEM (Digital Elevation Modeling), kemudian data tersebut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kecuraman suatu kawasan (klasifikasi lereng).

Citra sesuai wilayah studi

Band 6

Konversi Citra

Estimasi Band 6 Klasifikasi Suhu

(26)

Gambar 4 Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng.

3.3.4 Analisis Penutupan Lahan

Data tutupan lahan diperoleh dari hasil analisis interprestasi citra satelit (Citra Landsat 7 ETM+) dengan mengunakan software ERDAS Imagine 9.1. Berikut adalah tahapan untuk mengolah citra satelit sehingga citra satelit dapat diinterpretasikan:

a. koreksi citra satelit (koreksi radiometri dan koreksi geometri), b. penyusunan citra komposit warna,

c. fusi citra satelit, d. filter prosesing.

Penentuan dan pembuatan kelas penutupan lahan didasarkan atas interpretasi warna pixel – pixel Citra Landsat 7 ETM. Hasil interpretasi tersebut kemudian dicocokkan dengan data survey lapangan untuk menentukan tingkat akurasi pembuatan kelas tutupan lahan tersebut. Analisis penutupan lahan tersebut

Citra ASTER GDEM

Surface Analyst (slope) TIN (Triangulated Irregular Network)

3D Analyst (Create TIN From Feature)

Peta Kemiringan lereng Peta Ketinggian

(27)

bertujuan untuk mengetahui lokasi-lokasi yang tidak termaanfaatkan yang nantinya dapat dijadikan sebagai lokasi untuk pembangunan hutan kota.

Gambar 5 Bagan alur tahapan pembuatan peta penutupan lahan.

3.3.5 Pembuatan Peta Jarak dari Pemukiman (Peta Buffer Pemukiman)

Peta jarak dari pemukiman merupakan proses lanjutan dari tahapan analisis penututupan lahan. Klasifikasi tutupan lahan berupa areal terbangun/pemukiman dijadikan dasar untuk membuat peta jarak dari pemukiman. Peta jarak dari pemukiman yaitu peta yang menunjukkan selang jarak tertentu dari pemukiman penduduk. Proses pembuatan peta jarak dari pemukiman dilakukan dengan bantuan software ArcGIS 9.3.

Gambar 6 Bagan alur tahapan pembuatan peta jarak dari pemukiman. Citra sesuai

wilayah studi

Analisis Penutupan lahan

Peta penutupan lahan

Pengecekan Lapangan Klasifikasi

sementara

Klasifikasi areal pemukiman

Peta jarak pemukiman

(28)

3.3.6 Pembuatan Peta Jenis Tanah

Peta jenis tanah didapatkan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Banyuwangi yang berupa peta analog. Penelitian membutuhkan peta digital untuk melakukan proses analisis, oleh karena itu peta analog tersebut diubah menjadi peta digital dengan melakukan proses digitasi. Proses digitasi peta dilakukan dengan bantuan software ArcGIS 9.3 dan mengunakan metode digitasi on screen.

Gambar 7 Bagan alur tahapan pembuatan peta jenis tanah.

3.3.7 Penentuan Prioritas Lokasi Hutan Kota

Mekanisme penentuan lokasi untuk pembangunan hutan kota dilakukan dengan cara skoring. Setiap kriteria yang digunakan (peta suhu permukaan, peta kemiringan lahan, peta tutupan lahan, peta jarak dari pemukiman dan peta tanah) di klasifikasikan kemudian diberi nilai yang berbeda-beda. Skor total merupakan penjumlahan nilai dari peta suhu permukaan, peta kemiringan lahan, peta tutupan lahan, peta jarak dari pemukiman dan peta tanah). Kombinasi penjumlahan dari kelima kriteria tersebut akan menghasilkan nilai maksimal dan nilai minimal. Berdasarkan nilai maksimal dan minimal tersebut, dibuatlah selang prioritas lahan untuk penentuan lokasi hutan kota.

Penentuan tapak untuk contoh pra desain hutan kota Kecamatan Banyuwangi mengacu pada peta prioritas lokasi hutan kota yang telah dibuat, namun karena hanya akan dipilih satu lokasi sebagai contoh hutan kota di Kecamatan Banyuwangi maka tapak yang dipilih harus memiliki nilai lebih dibandingkan tapak lainnya. Nilai lebih dari suatu tapak dapat berupa nilai

Peta Jenis Tanah (analog)

Digitasi on screen

(29)

sejarah, nilai budaya, nilai sosial, dll. Nilai lebih dari suatu tapak dapat dilihat dan ditentukan setelah melakukan kegiatan verifikasi hasil (peta prioritas lokasi hutan kota) di lapang. Verifikasi lapang menghasilkan tapak yang terpilih sebagai contoh pra desain hutan kota di Kecamatan Banyuwngi.

Gambar 8 Bagan alur tahapan penentuan lokasi hutan kota. Peta Prioritas untuk pembangunan

hutan kota Peta Distribusi

Suhu

Peta penutupan lahan

Peta kemiringan

overlay

Pemilihan tapak Peta jenis tanah

Peta jarak dari pemukiman

Skor total

(30)

3.3.8 Tahapan Pra Desain Lanskap

Tahapan-tahapan untuk mendesain lanskap dengan menggunakan Metode Gold (1980), yaitu :

a. Persiapan awal

Penetapan tujuan desain dan informasi tentang program serta instansi terkait. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan model (desain) hutan kota, dengan mengunakan informasi dasar berupa data kesesuaian lahan hasil analisis Citra Landsat yang telah diolah sebelumnya dengan menggunakan pendekatan SIG (Sistem Informasi Geografis).

b. Inventarisasi

Tahapan pengecekan lapang secara langsung untuk mengetahui karakteristik tapak, elemen-elemen lanskap yang ada dan melakukan penghayatan tapak.

c. Analisis

Data hasil inventarisasi yang didapat, selanjutnya dilakukan proses analisis untuk mengetahui potensi tapak baik secara spasial maupun non-spasial dari berbagai aspek dan faktor yang ada di lapangan.

d. Sintesis

Hasil yang diperoleh dari tahap analisis dikembangkan sebagai suatu masukan untuk mendapatkan hasil sintesis yang sesuai dengan tujuan desain. Hal-hal yang negatif dicarikan jalan keluarnya melalui berbagai alternatif yang terbaik, sedangkan hal-hal yang positif dikembangkan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperoleh berupa suatu konsep perencanaan serta alternatif pengembangan.

e. Master plan

Master plan merupakan kesimpulan dari keseluruhan tahap inventarisasi,

(31)

4.1 Peta Tematik Kecamatan Banyuwangi

4.1.1 Peta Suhu Permukaan

Hutan kota memliki fungsi untuk menurunkan dan menstabilkan suhu di perkotaan sehingga suhu kota menjadi nyaman. Parameter suhu permukaan digunakan dalam penelitian sebagai bahan pertimbangan untuk perencanaan hutan kota, terutama untuk menentukan lokasi hutan kota supaya hutan kota yang akan dibangun berfungsi optimal. Mom & Wiesebron (1940) diacu dalam Mannan (2007) menyatakan bahwa tingkatan kenyamanan termal dibagi mulai dari dingin tidak nyaman, sejuk nyaman, nyaman atau optimal nyaman, hangat nyaman, sampai panas tidak nyaman. Kondisi termal sejuk nyaman adalah antara 20,5oC sampai 22,8oC, nyaman optimal adalah antara 22,8oC sampai 25,8oC, dan panas nyaman adalah antara 25,8oC sampai 27,1oC. SNI 03-6572-2001 menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal orang ada tiga, yaitu: temperatur udara kering, kelembaban udara relatif dan pergerakan udara. Kenyamanan termal untuk daerah tropis dibagi menjadi tiga, antara lain: sejuk nyaman (temperatur efektif 20,5oC-22,8oC), nyaman optimal (temperatur efektif 22,8oC-25,8oC) dan hangat nyaman (temperatur efektif 25,8oC – 27,1oC). Kelembaban udara relatif untuk daerah tropis yang dianjurkan 40%-50% tetapi untuk ruangan yang jumlah orangnya padat seperti ruang pertemuan, kelembaban udara relatif masih diperbolehkan berkisar antara 55% sampai 60%. Kondisi nyaman termal dipertahankan oleh kecepatan udara yang jatuh ke atas kepala tidak boleh lebih besar dari 0,25m/detik dan sebaiknya lebih kecil dari 0,15m/detik. Indonesia juga biasa menggunakan standar kenyamanan termal yang berpedoman pada standar Amerika [ANSI/ASHRAE 55-1992] dan merekomendasikan suhu nyaman 22.5o-26oC, atau disederhanakan menjadi 24o C ± 2o C, atau rentang antara 22o C hingga 26o C.

Pendugaan suhu permukaan bumi dapat dilakukan dengan teknologi remote sensing yaitu dengan melakukan analisis Citra Landsat 7 ETM+. Landsat 7

(32)

dilengkapi oleh sensor thermal IR yang terdapat pada band 6. Suhu permukaan diperoleh dengan mengkonversi DN (digital number) band 6 menjadi radian spectral (spectral radiance), radian spectral kemudian dikonversi menjadi temperatur.

Pembuatan peta suhu permukaan Kecamatan Banyuwangi dilakukan dengan mengolah band 6 dari Citra Landsat 7 ETM + path 117; row 066, tanggal pengambilan citra 15 Maret 2010. Kelas suhu nyaman yang digunakan untuk pembuatan peta suhu permukaan mengacu pada standar suhu nyaman yang dipakai oleh Indonesia (standar ANSI/ASHRAE 55-1992) sehingga tingkatan kenyamanan suhu di Kecamatan Banyuwangi dikalsifikasikan menjadi 3 kelas, antara lain: dibawah nyaman (< 22oC), nyaman (22oC-26oC) dan diatas nyaman (> 26oC). Hasil pengolahan band 6 menjadi temperatur disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Suhu permukaan Kecamatan Banyuwangi

No. Kelas suhu ( oC ) Luas area (hektar) Persentase (%)

1. < 22oC 518,206 9,383 %

2. 22oC-26oC 4.402,800 79,716 %

3. > 26oC 602,100 10,901 %

Total 5.523,106 100%

Hasil yang diperoleh dari analisis band 6 menunjukkan bahwa 79,716% wilayah di Kecamatan Banyuwangi berada dalam rentang suhu yang nyaman dan hanya 20,284% wilayah Kecamatan Banyuwangi yang memiliki suhu tidak nyaman. Namun, apabila peta suhu permukaan tersebut di overlay (ditumpang tindihkan) dengan peta tutupan lahan maka dapat diketahui bahwa sebagian besar distribusi suhu nyaman dan dibawah nyaman tersebut berada pada daerah persawahan, badan air dan perkebunan sedangkan wilayah pemukiman atau areal terbagun yang terdapat di pusat kota memiliki suhu permukaan diatas nyaman. Fenomena tersebut biasa disebut heat island, heat island adalah suatu keadaan dimana suhu perkotaan lebih tinggi jika dibandingkan suhu lingkungan sekitarnya. Fenomena tersebut juga membuktikan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) dapat membuat suhu lingkungan menjadi lebih nyaman.

(33)
(34)

4.1.2 Peta Ketinggian Tempat dan Peta Kemiringan Lereng

Ketinggian tempat dan kemiringan lereng merupakan hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan peruntukan kawasan dalam perencanaan suatu wilayah. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan pemerintah yang ditetapkan berdasarkan ketinggian tempat dan kemiringan lahan, sebagai contoh :

a. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa kriteria hutan lindung antara lain : kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan atau kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih,

b. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriterian Teknis Kawasan Budi Daya menyatakan bahwa salah satu kriteria teknis kawasan peruntukan pemukiman adalah topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%), sedangkan salah satu kriteria teknis kawasan peruntukan pariwisata adalah memiliki kemiringan lahan yang memungkinkan dibangun tanpa memberikan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan.

Parameter ketinggian tempat dan kemiringan lereng perlu diperhitungkan dalam penentuan lokasi hutan kota karena berkaitan dengan tujuan pengembangan hutan kota dan tingkat kesulitan pengolahan lanskap hutan kota.

Sistem informasi geografis (SIG) memberikan kemudahan dalam melakukan analisis mengenai ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Penelitian dilakukan dengan mengaplikasikan SIG untuk memperoleh data mengenai ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data citra satelit yang bernama Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) Global Digital Elevation Model

(35)

ketelitian 30 meter. Data ASTER GDEM selanjutnya dianalisis dengan software ArcGIS 9.3 untuk mendapatkan peta kontur dan peta kemiringan lereng.

Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai ketinggian yang sama terhadap bidang referensi yang digunakan. Kemiringan dari suatu lahan dapat ditentukan dengan adanya interval kontur dan jarak antara dua kontur, sedangkan jarak horizontal antara dua garis kontur dapat ditentukan dengan cara interpolasi.

Kemiringan lereng adalah besaran yang dinyatakan dalam derajat/persen (%) yang menunjukkan sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi tempat. Kemiringan lahan dapat digolongkan dalam 7 (tujuh) golongan sebagai berikut (Deptan 2008):

a. Datar : kemiringan lahan antara 0-3% .

b. Landai/ berombak : kemiringan lahan antara 3-8%. c. Bergelombang : kemiringan lahan antara 8-15%. d. Berbukit : kemiringan lahan antara 15-30%. e. Agak Curam : kemiringan lahan antara 30-45%. f. Curam : kemiringan lahan antara 45-65%. g. Sangat Curam : kemiringan lahan > 65%.

(36)

Tabel 4 Kelas kemiringan lereng Kecamatan Banyuwangi.

No. Kelas Kemiringan lahan Luas area (Ha) Persen area (%)

1 Datar 3060,912 55,420

2 Landai/Berombak 1850,338 33,502

3 Bergelombang 554,588 10,041

4 Berbukit 53,557 0,969

5 Agak Curam 3,711 0,068

(37)
(38)
(39)

4.1.3 Peta Tutupan Lahan

Peta tutupan lahan adalah peta yang memberikan informasi mengenai objek-objek yang tampak di permukaan bumi (Campbel 1987). Informasi mengenai tutupan lahan memberikan kemudahan dalam melakukan analisis perencanaan dan pengembangan suatu wilayah. Tutupan lahan suatu daerah dapat diduga dan dipetakan dengan menggunakan teknologi remote sensing (pengindraan jauh). Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan teknologi remote sensing dalam kegiatan pembuatan peta tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi.

Teknologi remote sensing dipilih dalam penelitian karena teknologi tersebut memiliki keuntungan yaitu dapat menduga tutupan lahan dengan cepat pada wilayah yang luas.

Satellite image berupa Citra Landsat 7 ETM+, path 117; row 066, tanggal

pengambilan 15 Maret 2010 merupakan data yang diolah untuk mendapatkan peta tutupan lahan di Kecamatan Banyuwangi. Landsat 7 ETM+ digolongkan sebagai pasif remote sensing, terdiri dari 8 band dan memiliki resolusi spasial 30 m x 30 m (kecuali band 6 yang memiliki resolusi spasial 60 m x 60 m dan band 8 yang memiliki resolusi spasial 15 m x 15 m).

Pembuatan peta tutupan lahan dilakukan dengan cara menginterpretasikan pixel-pixel dari Citra Landsat 7 ETM+ menjadi kelas tutupan lahan tertentu. Kelas tutupan lahan yang telah dibuat kemudian diuji tingkat keakurasiannya dengan data survey lapangan (berupa titik GPS). Klasifikasi tutupan lahan dibuat dengan mengacu pada ketentuan SNI 7645:2010. Klasifikasi tutupan lahan menurut SNI 7645:2010 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi tutupan lahan SNI 7645:2010

Kelas penutup lahan Deskripsi

1. Daerah bervegetasi Daerah dengan liputan vegetasi (minimal 4%) sedikitnya selama 2 bulan, atau dengan liputan

Lichens/Mosses lebih dari 25% jika tidak terdapat vegetasi lain.

1.1 Daerah pertanian Areal yang diusahakan untuk budi daya tanaman pangan dan holtikultura. Vegetasi alamiah telah dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti dengan tanaman anthropogenik dan memerlukan campur tangan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Antar masa tanam, area ini sering kali tanpa tutupan vegetasi. Seluruh vegetasi yang ditanam dengan tujuan untuk dipanen, termasuk dalam kelas ini.

(40)

Kelas penutup lahan Deskripsi

2. Daerah tak bervegetasi Daerah dengan total liputan vegetasi kurang dari 4% selama lebih dari 10 bulan, atau daerah dengan liputan

Lichens/Mosses kurang dari 25% (jika tidak terdapat vegetasi berkayu atau herba).

2.1 Lahan terbuka Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semialamiah, maupun artifisial. Menurut karakteristik permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi

consolidated dan unconsolidated surface.

2.2 Pemukiman dan lahan bukan pertanian yang berkaitan

Lahan terbangun dicirikan oleh adanya subtitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semialami oleh penutup lahan yang bersifat artifisial dan kadang-kadang kedap air.

2.3 Perairan Semua kenampakan perairan, termasuk laut, waduk, terumbu karang, dan padang lamun.

Penelitian dilakukan dengan membagi Kecamatan Banyuwangi menjadi 5 kelas tutupan lahan, yaitu: areal terbangun/pemukiman, persawahan, perkebunan, lahan terbuka dan tambak sedangkan awan merupakan kelas yang tidak memiliki data. Data kelas tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Klasifikasi tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi

No. Kelas tutupan lahan Luas area (Ha) Persen area (%)

1 Areal terbangun/pemukiman 1.380,130 24,988

2 Persawahan 2.940,800 53,245

3 Perkebunan 606,668 10,985

4 Lahan terbuka 251,550 4,555

5 Tambak 314,730 5,698

6 awan 29,228 0,529

Total 5.523,106 100%

Klasifikasi tutupan lahan yang telah dibuat kemudian diuji tingkat akurasinya dengan menggunakan data survey lapangan berupa 45 titik koordinat GPS (Global Positioning System) yang mewakili tiap kelas lahan. Hasil dari uji akurasi

menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian antara data survey lapangan dengan kelas tutupan lahan yang dibuat adalah sebesar 95,74%, data hasil uji akurasi di sajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Uji akurasi kelas tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi No. Kelas tutupan lahan Reference

totals

(41)
(42)

4.1.4 Peta Jarak dari Pemukiman (Peta Buffer Pemukiman)

Manusia merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan hutan kota karena hutan kota dibangun di areal perkotaan yang memiliki interaksi tinggi dengan aktivitas manusia, jadi tinggi-rendahnya tingkat pemanfaatan hutan kota oleh manusia akan memberikan gambaran besarnya kebutuan manusia dan tingkat kepuasan manusia terhadap keberadaan hutan kota. Fungsi hutan kota yang berkaitan dengan manusia akan optimal apabila hutan kota yang dibangun mampu mengakomodasi dan menunjang berbagai aktivitas manusia. Fungsi hutan kota yang berkaitan dengan manusia misalnya hutan kota sebagai tempat rekreasi warga perkotaan, sebagai tempat masyarakat bertemu, sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi bagi masyarakat kota, hutan kota juga dapat berfungsi sebagai identitas dan kebanggan kota. Secara garis besar pembangunan hutan kota diharapkan dapat menjadi suatu wahana sosial yang dapat menyatukan seluruh anggota masyarakat perkotaan dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai aktivitas yang dapat dilakukan didalamnya.

(43)

Tabel 8 Pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam

Unit Jenis Ruang Terbuka Hijau hijau bagian wilayah kota

4 Ruang Terbuka Hijau Kota (Town Greenspace)

a. Luas = 20-200 Ha

b. Dapat berfungsi sebagai daerah rekreasi c. Standar : 9-12,8 m2/ penduduk

(44)
(45)

4.1.5 Peta Jenis Tanah

Tanah merupakan salah satu kriteria yang selalu menjadi pertimbangan dalam melakukan kegiatan perencanaan peruntukan wilayah, tidak terkecuali dalam perencanaan pembangunan hutan kota. Tanah diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yang masing-masing diantaranya memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda. Tanah merupakan substrat (media tumbuh) pohon atau tanaman yang akan ditanam pada hutan kota. Peta jenis tanah diperlukan untuk mengetahui sebaran jenis tanah dimasing-masing lokasi sehingga desain hutan kota yang akan dibangun dapat disesuaikan dengan kondisi tanah di lokasi tersebut.

Faktor tanah merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi hutan kota, oleh karena itu penelitian memasukkan kriteria jenis tanah sebagai salah satu pertimbangan dalam penentuan lokasi hutan kota di Kecamatan Banyuwangi. Data tanah dan persebarannya didapatkan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Banyuwangi berupa peta jenis tanah Kecamatan Banyuwangi. Peta jenis tanah Kecamatan Banyuwangi memberikan informasi bahwa di Kecamatan Banyuwangi terdapat 4 jenis tanah, antara lain : asosiasi aluvial, asosiasi latosol, latosol coklat kemerahan dan (kompleks brown forest soil, litosol mediteran).

Rachim dan Suwardi (2002) klasifikasi tanah adalah penggolongan tanah berdasarkan ciri-ciri tertentu secara bertingkat-tingkat dan disusun secara sistematik dan berikut adalah beberapa penjelasan mengenai jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Banyuwangi :

(46)

menampakkan ciri morfologi berlapis-lapis yang bukan horison karena bukan hasil perkembangan tanah. Sifat tanah aluvial dipengaruhi langsung oleh sumber bahan asal, sehingga kesuburannya pun ditentukan sifat bahan asalnya. Sebagian besar tanah aluvial disepanjang aliran besar merupakan campuran yang mengandung cukup banyak hara tanaman, sehingga umumnya dianggap tanah subur.

b. Entisol yang duduk diatas batuan induk dalam sistem PPT (Pusat Penelitian Tanah) dinamakan litosol. Jenis tanah ini merupakan tanah yang dianggap paling muda, sehingga bahan induknya sering kali dangkal (kurang dari 45 cm) atau tampak tanah sebagai batuan padat yang padu. Dengan demikian maka profilnya belum memperlihatkan horison-horison dengan sifat-sifat dan ciri-ciri batuan induknya. Tanah ini belum lama mengalami perkembangan tanah, akibat pengaruh iklim yang lemah, letusan volkan, atau topografi yang terlalu miring atau bergelombang. Tanah ini harus diusahakan agar dipercepat pembentukan tanahnya, antara lain dengan penghutanan atau tindakan lain untuk mempercepat proses pelapukan.

c. Tanah latosol adalah tanah yang kaya seskuioksida, miskin unsur-unsur kimia dengan sifat kimia yang baik. Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1 dari golongan kaolinit, dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation rendah, kejenuhan kation rendah (kurang dari 35%) dan kadar bahan terlarut juga rendah karena adanya proses pelapukan dan pelindian yang telah berjalan lanjut (Buringh 1983 & Darmawijaya 1980, diacu dalam Notohadiningrat et al. 1993). Tanah latosol termasuk dalam order Oxisol, adalah tanah yang kaya

akan seskuioksida telah mengalami pelapukan lanjut. Oxisol banyak digunakan untuk perladangan, pertanian subsisten, penggembalaan dengan intensitas rendah dan perkebunan yang intensif seperti perkebunan tebu, nanas, pisang dan kopi.

(47)

e. Tanah brown forest ditampilkan dalam bentuk komplek rensina, latosol dan brown forest soil. Tanah ini berasal dari bahan induk kapur dengan fisiografi bukit lipatan. Jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang dipengaruhi oleh fluktuasi besar, sehingga pencucuian tanah tergantung musim. Jenis tanah ini mengalami 2 proses yaitu sebagai tanah yang kearah podsolisasi dan pihak lain kearah proses laterisasi, sehingga jenis tanah sama dengan tanah podsolisasi yaitu telah mengalami pencucian, bereaksi dengan asam dan relatif miskin akan hara tanaman. Tanah jenis ini sesuai untuk jenis tanaman semusim (Somardjo et al. 1997).

(48)
(49)

4.2 Penentuan Lokasi Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi

4.2.1 Kriteria Pemilihan Lokasi Hutan Kota

Kawasan hutan kota yang ada di Indonesia saat ini sebagian besar tidak

dibangun dari “nol” melainkan dengan mekanisme penunjukan suatu kawasan

tertentu yang telah memiliki tegakan pohon. Hal tersebut dikarenakan hutan kota

merupakan ilmu yang baru di Indonesia sehingga panduan teknis untuk

pembangunan hutan kota masih belum ada di Indonesia. Dasar kebijakan yang

berkaitan dengan hutan kota sebenarnya sudah dimuat dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002, namun dalam peraturan pemerintah tersebut

tidak terdapat ketentuan teknis untuk membangun kawasan/lokasi hutan kota. Hal

tersebut berbeda, misalnya dalam penentuan kawasan pemukiman, kawasan

industri, kawasan pariwisata, pertanian, kawasan pertambangan, kawasan

perdagangan & jasa dan kawasan hutan produksi dimana kriteria teknisnya telah

diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007 tentang

Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya atau seperti dalam Keppres Nomor

32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung yang memuat kriteria teknis

penentuan kawasan lindung.

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Banyuwangi mengasumsikan

bahwa di daerah tersebut belum terdapat/dibangun hutan kota dan daerah tersebut

ingin membangun suatu hutan kota dari “nol” yang diawali dengan penentuan

lokasi hutan kota. Kriteria penentuan lokasi hutan kota dibuat dari turunan

fungsi-fungsi yang dihasilkan oleh hutan kota sehingga nantinya manfaat dari hutan kota

dapat dirasakan secara optimal. Penelitian mengasumsikan bahwa hutan kota

merupakan suatu kawasan hutan yang berada pada suatu kawasan perkotaan,

artinya hutan kota akan memiliki interaksi yang intensif dengan keberadaan

manusia. Pembangunan hutan kota sebaiknya menampilkan fungsi yang dapat

dirasakan oleh manusia atau fungsi yang dilihat dari sudut pandang manusia

sedangkan fungsi ekologi merupakan fungsi ikutan yang melekat pada hutan kota.

PP No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota menyatakan bahwa “rencana

pembangunan hutan kota disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis,

(50)

Penelitian dilakukan dengan menetapkan beberapa kriteria untuk

menentukan lokasi hutan kota di Kecamatan Banyuwangi, antara lain : suhu

permukaan, jenis tanah, kemiringan lahan (slope) dan jarak dari pemukiman

(buffer pemukiman). Setiap kriteria tersebut nantinya akan dibagi lagi menjadi

beberapa kelas dan setiap kelas nantinya akan diberi bobot skor tertentu.

Kombinasi dari beberapa kelas akan menghasilkan nilai maksimal dan nilai

minimal, nilai tersebut nantinya akan digunakan untuk menentukan lokasi hutan

kota di Kecamatan Banyuwangi.

4.2.1.1 Suhu Permukaan

Salah satu fungsi hutan kota adalah menstabilkan suhu permukaan bumi

sehingga suhu permukaan bumi menjadi nyaman. Pengertian suhu nyaman yang

digunakan dalam penelitian adalah standar suhu nyaman bagi manusia. Oleh

karena itu, penelitian mengklasifikasikan suhu permukaan Kecamatan

Banyuwangi sesuai dengan standar yang digunakan Indonesia (standar

ANSI/ASHRAE 55-1992) yang merekomendasikan suhu nyaman 22.5o-26oC,

atau disederhanakan menjadi 24o C ± 2o C, atau rentang 22o C-26o C.

Standar suhu nyaman yang berkisar antara 22o C hingga 26o C tersebut

dijadikan acuan dalam menentukan lokasi hutan kota. Analisis Citra Landsat 7

ETM di Kecamatan Banyuwangi mengkalsifikasikan suhu permukaan menjadi 3

kelas, antara lain: dibawah nyaman (< 22oC), nyaman (22oC-26oC) dan diatas

nyaman (> 26oC). Dalam penentuan lokasi hutan kota, areal yang memiliki suhu

tidak nyaman (< 22oC atau > 26oC) merupakan areal yang lebih diutamakan untuk

dikembangkan menjadi kawasan hutan kota dibandingkan areal yang telah

memiliki suhu yang nyaman (22oC-26oC). Asumsi penentuan lokasi tersebut

adalah kawasan hutan kota diharapkan mampu merubah area yang memiliki suhu

tidak nyaman menjadi area yang memiliki suhu yang nyaman.

4.2.1.2Kemiringan Lereng (Slope)

Setiap peruntukan kawasan memiliki kriteria teknis tertentu yang berkaitan

dengan kemiringan lereng. Kriteria kemiringan lereng tersebut berbeda antara satu

kawasan dengan kawasan lain, biasanya tergantung dari fungsi yang ingin

(51)

hutan lindung menurut Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40%

atau lebih. Kriteria kelerengan lahan untuk kawasan hutan lindung tersebut

berbeda apabila kawasan tersebut diperuntukkan sebagai kawasan terbangun,

Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) menyatakan bahwa kesesuaian kemiringan

lereng untuk bangunan diklasifikasikan menjadi 3, yaitu : baik (0-8%), sedang

(8-15%) dan buruk (>15%).

Hutan kota merupakan suatu kawasan hutan yang berada di wilayah

perkotaan. Fungsi konservasi dan fungsi lindung merupakan fungsi yang ingin

didapatkan dari pembangunan hutan kota, tetapi karena lokasi hutan kota berada

di perkotaan maka kesesuaian, kemudahan pembangunan serta fungsi yang

berkaitan dengan manusia juga harus dipertimbangkan. Kriteria kemiringan lereng

untuk penentuan lokasi hutan kota yang digunakan dalam melakukan penelitian

di Kecamatan Banyuwangi didasarkan atas penyesuaian antara kriteria

kemirinagan lereng untuk kawasan lindung dan kriteria kemiringan lereng untuk

bangunan. Penyesuaian kriteria kemiringan lereng tersebut bertujuan agar tapak

mudah untuk diolah (dimanipulasi) namun tapak tetap memiliki fungsi lindung

Klasifikasi kemiringan lereng untuk membangun hutan kota di Kecamatan

Banyuwangi dibagi menjadi tiga, antara lain : lokasi dengan kemiringan lereng

> 15% merupakan lokasi yang sangat direkomendasikan untuk dibangun hutan

kota, lokasi dengan kemiringan lereng 8-15% merupakan prioritas kedua dalam

pembangunan hutan kota dan lokasi dengan kemiringan lereng 0-8% merupakan

lokasi yang kurang direkomendasikan untuk dibangun hutan kota.

4.2.1.3Jarak dari Pemukiman

Indonesia sebenarnya tidak memiliki standar untuk menentukan lokasi hutan

kota berdasarkan jarak dari pemukiman. Atas berbagai pertimbangan yang telah

dijelaskan sebelumnya pada pembuatan peta jarak dari pemukiman, maka parameter

jarak dari pemukiman digunakan untuk menentukan lokasi hutan kota di Kecamatan

Banyuwangi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian dilakuakan dengan

mengkalsifikasikan jarak dari pemukiman di Kecamatan Banyuwangi menjadi 3

kelas, yaitu : jarak 0-400 m dari pemukiman, jarak 400-800 m dari pemukiman

(52)

masyarakat perkotaan dengan hutan kota kemungkinan akan tinggi apabila lokasi

hutan kota yang dibangun mudah dijangkau atau diakses oleh masyarakat

perkotaan atau dengan kata lain, semakin dekat jarak hutan kota dengan

pemukiman maka manfaat hutan kota akan semakin dirasakan oleh masyarakat

perkotaan. Lokasi yang memiliki jarak 0-400 m dari pemukiman merupakan

lokasi yang menjadi prioritas utama untuk pembangunan hutan kota di Kecamatan

Banyuwangi. Lokasi yang memiliki jarak 400-800 m dari pemukiman merupakan

prioritas kedua untuk pembangunan hutan kota di Kecamatan Banyuwangi,

sedangkan lokasi yang memiliki jarak > 800 m dari pemukiman merupakan

prioritas terakhir untuk pembangunan hutan kota di Kecamatan Banyuwangi.

4.2.1.4Jenis Tanah

Hutan kota adalah sebuah kawasan hutan yang berada di wilayah

perkotaan, sehingga fungsi konservasi dan fungsi lindung merupakan fungsi yang

ingin didapatkan dari pembangunan hutan kota. Keppres Nomor 32 Tahun 1990

tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa kawasan hutan lindung

adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan

perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata

air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.

Berdasarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1990, maka salah satu fungsi lindung

tersebut berkaitan dengan jenis tanah. Jenis tanah merupakan salah satu parameter yang

digunakan dalam penelitian untuk menentukan lokasi hutan kota terutama yang berkaitan

dengan sifat tanah. Sifat tanah yang dipertimbangkan dalam penelitian yang dilakukan di

Kecamatan Banyuwangi adalah sifat tanah yang berkaitan dengan kestabilan tanah

terhadap erosi dan kemampuan drainase tanah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

Nomor: 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriterian Teknis Kawasan Budi Daya

mengelompokkan jenis tanah berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi menjadi 5

kelas tanah, disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Jenis tanah berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi Kelas

tanah

Kelompok jenis tanah Kepekaan

terhadap erosi 1 Aluvial, tanah glei, planossol, hidromorf kelabu, literite air tanah Tidak peka

2 Latosol Agak peka

3 Brown forest soil, non calcic Kurang peka

4 Andosol, laterictic gromusol, podsolik Peka

(53)

Sedangkan kemampuan drainase tanah dapat dilihat dari warna tanah. Tabel 10

menjelaskan beberapa arti warna tanah terhadap sifat tanah (Rachim & Suwardi

2002).

Tabel 10 Arti warna terhadap sifat tanah

Warna Tanah Sifat Tanah

Putih Ca-karbonat, gypsum, garam, turunan bahan induk marl/batuan

putih lain

Kelabu Putih Kuarsa, kaolin, karbonat, gypsum, garam, besi fero

Kelabu pucat Besi dan bahan organik rendah; tanah pasir cenderung kuarsa Kelabu

kebiruan/kehijauan Gleisasi, drainase buruk-sangat buruk, air tergenang, besi fero

Kelabu Jenuh air dominan, drainase buruk, besi fero

Coklat-coklat

pucat-coklat hitam Variasi proporsi bahan organik dan besi oksida, drainase baik Kuning Besi oksida hidrat, Al oksida, kelambaban relative tinggi, lereng

agak cembung, drainase baik,fisiografi pengangkatan baru

Merah

Besi oksida anhidrat, kelembaban relative rendah, drainase dan aerasi baik, lereng relatif cembung, bahan induk basik-ultra basik, fisiografi pengangkatan tua

Merah gelap

Bahan induk ultrabasik, besi oksida anhidrat (hematite dan magnetit), drainase dan aerasi baik, struktur granular, kesuburan sangat rendah

Gelap-hitam Bahan organik tinggi, senyawa Mn, magnetit, arang, struktur granular, relative subur

Penelitian mengasumsikan bahwa pembangunan hutan kota dapat

meningkatkan kualitas tanah di kawasan tersebut sehingga tanah menjadi lebih

tahan terhadap erosi dan kemampuan tanah dalam menyerap air meningkat

(meningkatkan kemampuan drainase tanah). Jika kestabilan tanah terhadap erosi dan

kemampuan drainase tanah merupakan pertimbangan utama dalam menentukan lokasi

hutan kota, maka kawasan yang memiliki jenis tanah yang mudah tererosi dan memliki

drainase buruk merupakan kawasan yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan

hutan kota karena diharapkan dengan adanya hutan kota maka kondisi tanah di daerah

tersebut lebih stabil. Kecamatan Banyuwangi memiliki 4 jenis tanah, antara lain

:asosiasi aluvial, asosiasi latosol, latosol coklat kemerahan dan (kompleks brown

forest soil, litosol mediteran). Kawasan yang memiliki jenis tanah Komplek brown

forest soil ,litosol mediteran merupakan kawasan yang paling diutamakan dalam

pembangunan hutan kota di Kecamatan Banyuwangi karena jenis tanah tersebut memiliki

kemampuan drainase yang buruk dan lebih mudah tererosi apabila dibandingkan dengan

jenis tanah lainnya (asosiasi aluvial, asosiasi latosol dan latosol coklat kemerahan).

4.2.2 Skoring untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota

Skoring merupakan kegiatan pemberian nilai tertentu terhadap kriteria

(54)

yang dibuat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya. Skoring

merupakan tahapan sebelum melakukan proses overlay. Proses overlay akan

menghasilkan prioritas lokasi untuk pembangunan hutan kota di Kecamatan

Banyuwangi. Nilai dari setiap kriteria disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Nilai untuk setiap kriteria penentuan lokasi hutan kota

No. Kriteria Kelas Skor

4. Jenis tanah Kompleks brown forest soil, litosol mediteran 4

Asosiasi latosol 3

Latosol coklat kemerahan 2

Asosiasi alluvial 1

Kombinasi dari kelima kriteria tersebut akan menghasikan skor maksimal sebesar 13 dan

skor minimal sebesar 4. Nilai maksimal dan minimal akan dibagi menjadi 3 selang, yaitu

: antara skor ≥ 4 sampai skor < 7, antara skor ≥ 7 sampai < 10 dan antara skor ≥ 10

sampai skor 13.

Skor tersebut dijadikan acuan untuk menentukan lokasi hutan kota di Kecamatan

Banyuwangi. Berdasarkan tingkat prioritas lokasi untuk pembangunan area hutan kota,

Kecamatan Banyuwangi akan dibagi menjadi tiga kelas tingkat prioritas lokasi, yaitu:

prioritas pertama (area dengan skor antara ≥ 10 sampai 13), prioritas kedua (area dengan

skor antara ≥ 7 sampai < 10), dan prioritas ketiga (area dengan skor antara ≥ 4 sampai

< 7). Hasil proses overlay peta menunjukkan bahwa 5,494% wilayah Kecamatan

Banyuwangi memiliki kelas prioritas pertama untuk dikembangkan menjadi kawasan

hutan kota. Proses overlay peta menghasilkan data yang disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Kelas prioritas lokasi untuk pengembangan kawasan hutan kota

No. Kelas Kesesuaian Lahan Luas area (Ha) Persen area (%)

1 Prioritas pertama 303,466 5,494

2 Prioritas kedua 2.527,465 45,762

3 Prioritas ketiga 2.692,175 48,744

(55)
(56)

4.2.3 Kriteria Tambahan untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian dilakukan dengan mengkalsifikasikan penutupan lahan di Kecamatan Banyuwangi menjadi 5 kelas tutupan lahan, yaitu: areal terbangun/pemukiman, persawahan, perkebunan, lahan terbuka dan tambak. Areal tidak terbangun merupakan lokasi yang lebih direkomendasikan untuk membangun hutan kota dibandingkan areal terbangun. Lahan terbuka merupakan kelas tutupan lahan yang paling direkomendasikan untuk pembangunan hutan kota. Pemilihan areal tidak terbangun sebagai lokasi yang direkomendasikan sebagai areal pembangunan hutan kota didasarkan atas pertimbangan bahwa jika ingin membangun hutan kota dari “nol” maka areal terbangun membutuhkan manipulasi lanskap (misalnya menghilangkan bangunan yang telah ada) sehingga memerlukan biaya ekstra bila dibandingkan dengan areal tidak terbangun.

(57)
(58)

4.3 Pra Desain Hutan Kota

4.3.1 Pemilihan Tapak Hutan Kota Kecamatan Banyuwangi

Hasil dari proses overlay peta menunjukkan bahwa Kecamatan Banyuwangi memiliki beberapa lokasi yang sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi areal hutan kota. Selain membuat peta prioritas lokasi untuk hutan kota, penelitian juga akan membuat satu contoh pra desain hutan kota di Kecamatan Banyuwangi.

Pembuatan contoh pra desain hutan kota diawali dengan tahapan penentuan tapak. Tapak untuk pengembangan hutan kota dapat dilihat dari peta prioritas lokasi hutan kota yang merupakan hasil dari proses overlay peta, namun penelitian hanya akan memilih satu tapak untuk dijadikan contoh pra desain hutan kota di Kecamatan Banyuwangi. Pantai Boom merupakan tapak yang dipilih oleh peneliti sebagai lokasi untuk contoh pra desain hutan kota. Pemilihan Pantai Boom didasarkan atas beberapa alasan yang ditemukan oleh peneliti setelah melakukan kegiatan verifikasi lapangan dari hasil peta kesesuain lahan hutan kota. Alasan yang menguatkan pemilihan Pantai Boom sebagai satu contoh pra desain hutan kota di Kecamatan Banyuwangi, antara lain:

a. Pantai Boom dikenal dengan nama lain THR (taman hiburan rakyat), artinya masyarakat Banyuwangi menganggap Pantai Boom sebagai sarana untuk rekreasi,

b. Pantai Boom memiliki dua monumen peringatan (monumen peringatan INKAI dan Wisma Raga Satria Laut Pasukan ALRI 0032), artinya Pantai Boom memiliki nilai sejarah.

4.3.2 Konsep Desain

Desain hutan kota yang akan dikembangkan di Pantai Boom bersifat minimalis, mempertahankan nilai sejarah dan dapat mengakomodasi berbagai aktifitas manusia dengan elemen lanskap utama berupa tegakan pohon. Pengembangan konsep dibagi ke dalam tiga konsep utama diantaranya konsep pengembangan dan pembagian ruang, konsep pemilihan tanaman, dan konsep sirkulasi.

(59)

taman minimalis biasanya memakai sedikit jenis tanaman. Desain taman minimalis juga melibatkan elemen-elemen simbolik seperti batu dan air. Unsur air sering dipakai untuk dikontraskan terhadap elemen taman lain yang keras dan berbentuk kaku. Selain itu, taman minimalis dapat menonjolkan aksen natural dengan menyelaraskan desainnya terhadap kondisi alam dan permukaan / kontur tanah yang sudah ada, misalkan gunung, lembah, sungai, jalan setapak, kontur tanah yang tidak rata, dan ragam tanaman yang tumbuh di habitatnya (Endi 2008, diacu dalam Handayani 2008).

4.3.2.1 Konsep Pengembangan dan Pembagian Ruang

Konsep pengembangan dan pembagian ruang Pantai Boom adalah memisahkan dan mengelompokkan area berdasarkan aktivitas yang akan dilakukan di area tersebut. Konsep pengembangan dan pembagian ruang di desain agar tetap mempertahankan aktivitas utama yang telah ada di Pantai Boom, yaitu : aktivitas rekreasi, olah raga dan sejarah. Peneliti juga menambahkan ruang khusus untuk tegakan pohon karena peneliti ingin menyesuaikan desain tapak dengan tema yang dibuat yaitu hutan kota. Konsep pengembangan dan pembagian ruang dilakukan dengan melakukan pengelompokan ulang area yang telah ada sehingga pengguna dapat mengetahui dengan jelas jenis aktivitas yang dapat dilakukan di area dimana pengguna tersebut berada.

Konsep pengembangan dan pembagian ruang dibuat dengan membagi tapak Pantai Boom menjadi tujuh area, yaitu : area sejarah dan budaya, area olah raga dan seni, area display dan rekreasi, area memancing, area hutan mangrove, area hutan campuran dan area parkir. Konsep pengembangan dan pembagian ruang tersebut dijelaskan sebagai berikut :

(60)

b. Area Olah Raga dan Seni, Pantai Boom memiliki beberapa fasilitas olah raga (lapangan sepak bola, lapangan tenis dan bilyard) namun kondisi fasilitas olah raga teresbut kurang diperhatikan dan letaknya terpisah antara satu fasilitas dengan fasilitas lainnya. Konsep pengembangan area olah raga dan seni bertujuan untuk mengelompokkan berbagai kegiatan olah raga dan seni dalam satu kesatuan area sehingga pengguna mengetahui dengan pasti aktivitas yang dapat dilakukan jika pengguna tersebut berada di area tersebut. Area olah raga dan seni dibagi menjadi area indoor dan outdoor. Desain untuk fasilitas olah raga, yaitu : membangun beberapa fasilitas olah raga (tenis, futsal, basket, volley dan bulutangkis) dalam satu gedung (area indoor) dan membangun fasilitas lapangan sepak bola (area outdoor). Sedangkan desain untuk fasilitas seni adalah dengan membangun suatu panggung di atas air dengan dilengkapi tribun penonton yang menghadap ke panggung tersebut.

c. Area Display dan Rekreasi, merupakan area yang dikembangkan untuk tujuan menampung berbagai aktivitas manusia yang lebih bersifat santai dengan interaksi manusia yang tinggi. Konsep pengembangan area ini adalah dengan menyediakan ruang terbuka yang lebih luas untuk interaksi manusia dibandingkan dengan area lain. Ruang terbuka yang dikembangkan dalam bentuk taman. Desain taman pada area ini dikembangkan dengan gaya geometris dan formal.

d. Area Memancing, area ini merupakan area tambahan yang di desain oleh peneliti. Peniliti beranggapan bahwa pantai atau laut identik dengan aktivitas nelayan, sehingga pengembangan area memancing di Pantai Boom dapat mewakili kegiatan nelayan dan diharapkan dapat menjadi salah satu identitas tapak di Pantai Boom. Konsep pengembangan area pemancingan adalah dengan membuat suatu “kerambah raksasa” sebagai tempat budidaya ikan. Hasil budidaya ikan tersebut nantinya dijadikan komoditi wisata pemancingan.

(61)

bisa dikatakan sebagai hutan mangrove karena hanya terdapat beberapa tegakan pohon saja. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang dapat mencirikan dan memperkuat identitas dari tapak berupa pantai, karena hutan mangrove hanya bisa hidup di pantai sehingga keberadaan hutan mangrove di Pantai Boom harus dipertahankan dan dikembangkan. Konsep pengembangan di area ini hanya mempertahankan, menanam dan memelihara hutan mangrove yang ada sehingga kondisi hutan mangrove tetap terjaga dengan baik.

f. Area Hutan Campuran, merupakan area yang dikembangkan untuk memperkuat kesan hutan pada tapak Pantai Boom. Desain lanskap pada area ini yaitu dengan memperbanyak jenis pohon yang ditanam di tapak Pantai Boom.

g. Area parkir, area ini merupakan area tambahan yang dikembangkan dengan tujuan menciptakan kondisi tapak yang lebih tertata. Desain lanskap pada area ini mengoptimalkan penggunaan pohon peneduh.

4.3.2.2 Konsep Sirkulasi

Konsep sirkulasi pada tapak dibagi menjadi dua, yaitu: sirkulasi utama dan sirkulasi untuk pejalan kaki. Sirkulasi utama merupakan jalur jalan untuk kendaraan bermotor dan alat transportasi lainnya. Sirkulasi utama dikembangkan dengan konsep desain kuldesak, yaitu dengan menyatukan akses keluar dan masuk tapak melalui satu gerbang utama. Selain itu, sistem sirkulasi satu arah merupakan sistem yang didesain untuk sirkulasi utama tapak Pantai Boom. Konstruksi jalan untuk sirkulasi utama berupa aspal dilengkapi jalur pedestrian disamping badan jalan dengan mengunakan kontruksi paving blok.

Sirkulasi untuk pejalan kaki merupakan detail jalur untuk memasuki setiap objek yang terdapat pada tapak Pantai Boom (hutan kota). Sistem sirkulasi dua arah merupakan sistem yang didesain untuk jalur pelajan kaki. Konstruksi jalan untuk sirkulasi pejalan kaki berupa paving blok.

4.3.2.3 Konsep Pemilihan Tanaman

Gambar

Tabel 1  Alat dan Bahan Penelitian
Gambar 1   Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 7 ETM+.
Gambar 2   Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ATER GDEM.
Tabel 2  Nilai Konstanta kalibrasi dari Band Thermal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat sekitar, mayoritas masyarakat merasakan merasakan adanya dampak sesudah 62 dicanangkannya desa wisata, dampak yang

Dari kegiatan program kerja yang dilakukan pada Tim PKM tahun 2020 dengan tema “Bersama, Bersatu Melawan Covid-19 Kita Pasti Bisa, selama 2 bulan dapat disimpulkan sangat membantu

Base WO &lt;F6&gt; otvara prozor u kojem je moguće podešavanje osnovne nul točke.. Radno područje

Sedangkan jika siswa yang memiliki sikap demokrasi rendah diberikan model pembelajaran konvensional yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru, siswa akan lebih senang

Hal ini berkaitan dengan faktor pendorong yang berasal dari dalam diri petani untuk berusaha di luar sektor pertanian karena tidak/kurang mampunya sektor ini (on farm dan off farm)

(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat, tanggal Pemotongan atau Pemungutan sebagaimana dimaksud pada

Apabila jaminan sosialnya mencukupi, maka akan menimbulkan kesenangan bekerja sehingga mendorong pemanfaatan kemampuan yang dimiliki untuk meningkatkan produktivitas