• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagaimana Orang Rote Mengakali Belanda dalam Pemerintahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bagaimana Orang Rote Mengakali Belanda dalam Pemerintahan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Bagaimana Orang Rote Mengakali Belanda 

dalam Pemerintahan

Added by satutimor.com on October 31, 2014. Saved under Sejarah

(2)

Raja Rote, Joel Simon Kedoh (1928-1948) dan permaisuri Regina Amalo di depan istana modern mereka yang bergaya art-nouveau di Baa, Rote sekitar tahun 1930. [sumber:

Koleksi Middelkoop pada KITLV]

Oleh Matheos Viktor Messakh

Rote memang pulau kecil. Justru karena kecil maka cara para penghuninya berinteraksi dengan dunia luar menjadi unik. Berbicara tentang kolonialisme orang sering bicara tentang penindasan dan eksploitasi orang Eropa tetapi jika kita masuk kepada detail sejarah, seringkali yang kita dapati adalah interaksi yang rumit dan saling mengeksploitasi antara pribumi dan para kolonialis. Dibanding pulau tetangga, Timor, misalnya jelas terlihat perbedaan bagaimana para penghuni kedua pulau ini beriteraksi dengan para pendatang Eropa yang mulai datang pada abad awal 17. Kalau Timor mempunyai daerah pedalaman yang cukup luas dan terpencil untuk menarik diri mundur jika ada serangan pihak asing, maka Rote tidak mempunyai keistimewaan itu. Determinasi geografis ini menjadi salah satu alasan mengapa para pemimpin di Timor cukup lama memilih jalan konfrontasi dan tarik mundur ke pedalaman,

sedangkan Rote yang luasnya hanya 1.255,39 Km2 ini tak mempunyai jalan lain selain bersekutu dan mengambil keuntungan dari orang Eropa.

Awalnya memang para penguasa Rote memilih jalan perang, namun sejak parohan kedua abad 18 tidak ada lagi perlawan senjata yang berarti di Rote. Sebagai gantinya mereka menerima Kekristenan dan pendidikan Eropa untuk mencari jalan keluar dari perburuan budak yang gencar dilakukan Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC

(Vereenigde Oostindische Compagnie), baru dihapuskan pada tahun 1818.[1] Namun selama tiga abad berhubungan dengan bangsa Eropa, orang Rote tetap bisa mempertahankan kebudayaannya termasuk salah satu yang terpenting, sistem pemerintahan aslinya. Antropolog James Fox yang meneliti Rote sejak tahun 1960-an menyimpulkan bahwa “selama tiga ratus tahun Rote mempunyai salah satu dari sistem gelar yang paling stabil di Indonesia.”[2]

Sistem pemerintahan asli Rote memang bertahan bukan saja sampai

kemerdekaan RI, namun sampai dua dekade setelah kemerdekaanpun (cq. 1968), system pemerintahan asli Rote masih diberlakukan. Termasuk dalam sistem itu adalah tata cara pemilihan raja yang menarik.

VOC, Pemerintah Kolonial dan Pemerintah Indonesia

(3)

kecurigaan bahwa raja-raja Rote bersekutu dengan pihak Portugis atau tidak menghormati kontrak yang telah dibuat.[3]

Kontak pertama dilakukan VOC dengan Rote terjadi pada tahun 1653 dan kemudian para pejabat VOC menandatangani berbagai traktat kontrak yang direvisi terus-menerus dengan para manek-manek Rote di berbagai domain. Kontrak-kontrak itu antara lain terjadi pada tahun 1662, 1691, 1700, dan 1756. [4]

Ciri utama hubungan Belanda-Rote ini adalah “penguasaan tidak langsung” yang berlangsung sejak kontrak pertama di abad 17 sampai dengan era kemerdekaan Indonesia. Dalam system ini VOC (dan kemudian Kerajaan

Belanda) hanya berhubungan dengan orang rote melalui sistem pemerintahan tidak langsung yang didasarkan pada struktur formal yang sama selama

berabad-abad.[5]

Dalam menandatangi kontrak dengan berbagai nusak yang berbeda, para pejabat VOC secara konsisten mengakui seorang penguasa utama yang mereka sebut sebagai Regent dan seorang pejabat tambahan yang mereka sebut

sebagai Regent Kedua (Tweede Regent). Belanda juga mengakui, namun tidak secara formal mengangkat, sejumlah ketua di setiap domain yang mereka beri gelar dalam bahasa Melayu, Temukun.[6] Orang Rote sendiri menyebut

penguasa utama sebagai ‘Manek’ dan penguasa kedua sebagai ‘Fetor’. Barulah pada abad 19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan istilah ‘Raja[7]’ untuk para manek dan istilah ‘Fetor’ untuk penguasa kedua, namun terus memakai istilah ‘Temukun’ untuk para tua-tua. Sistem formal dengan tiga level gelar ini dipertahankan dengan hanya sedikit perubahan selama lebih dari tiga abad. Sebagai nusak yang diakui, masing-masing manek di setiap nusak mempunyai sistem pengadilan independen tersendiri. Mirip cerita Alkitab, para manek di Rote juga adalah hakim pemutus perkara tertinggi di nusaknya masing-masing. Fungsi seorang manek adalah mendengarkan perkara, memeriksa dan

(4)

Raja Joel Simon Kedoh, raja untuk seluruh Rote (1928-1948) di depan istana di Baa. [sumber: koleksi Middelkop pada KITLV]

(5)

berhasil ditolak dan diselepekan. Inilah ironinya: pulau yang selama berabad sudah dipenetrasi oleh Belanda justru mampu mempertahankan sistem

pemerintahan aslinya, sementara pulau lain yang kurang mendapat penetrasi justru menjadi sasaran perubahan luar biasa di awal abad 20.

Untuk mempertahankan posisi mereka, para penguasa Rote hanya melakukan sebuah perubahan di permukaan. Pada 31 Oktober 1928, para manek Rote ramai-ramai menyerahkan hak mereka akan gelar ‘Radja’ dan menyetujui penunjukkan seorang bangsawan Rote dari turunan Fetor, Joel Simon Kedoh, sebagai seorang pejabat sementara “Radja Rote”. Inilah untuk pertama kalinya dan terakhir kalinya Rote mempunyai seorang “Radja” tunggal. Joel Simon Kedoh sebenarnya adalah seorang bintang pelajar Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar yang dianggap cakap untuk menjadi raja bagi seluruh pulau kecil ini.

Dengan melakukan ini sebenarnya mereka mengakali Belanda. Mereka tetap mempertahankan hak untuk memerintah domain mereka dengan gelar

“Manek” yang sebenarnya adalah synonym bahasa Rote untuk “radja. ” Bahkan orang Rote menyebut raja yang baru terpilih itu sebagai “manek kisek” yang merupakan pujian sekaligus ejekan.[10] Kata ‘Kisek’ dalam bahasa Rote bisa berarti ‘tunggal’ tetapi juga berarti ‘tersendiri’ atau ‘menyendiri’. Jadi dengan menyebut ‘manek kisek’ bisa berarti raja tunggal tetapi bisa juga berarti raja yang tersendiri atau raja yang menyendiri alias raja yang dicuekin.

Perubahan yang diprakarsai Belanda ini juga merupakan keuntungan bagi beberapa penguasa dari domain yang lebih kecil yang beberapa dekade sebelumnya telah digabungkan ke domain yang lebih besar, karena mereka memperoleh kembali posisi ‘tradisional’ mereka.

Dengan perubahan ini, walaupun ada seorang raja yang berkedudukan di Ba’a, Rote tetap terbagi menjadi 18 domain (nusak) dengan setiap nusak diperintah oleh seorang Manek, seorang Fetor, dan sejumlah Temukun. Dan di sini untuk pertama kalinya Temukun disebut dengan bahasa Rote “Maneleo”. Seluruh Raja-raja Rote tergabung dalam sebuah dewan yang di sebut Raad van Landshoofden[11] untuk membantu sang pejabat Raja Rote dalam memerintah.

Ketika sang Raja Rote meninggal saat Pendudukan Jepang ia tidak digantikan. Sistem tradisional ini berlanjut selama pendudukan Jepang dan setelah

(6)

Mengapa para Belanda masih ada di Rote sampai tahun 1949 dan mengapa para Raja masih berkuasa sampai tahun 1960-an?[12]

Anda tentu bertanya, mengapa Belanda masih bercokol di Rote sampai tahun 1949 dan mengapa para raja masih berkuasa di Rote sampai tahun 1960-an? Begini ceritanya: Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan untuk sementara wilayah Negara Repuplik Indonesia yang dibagi dalam 8 propinsi.[13] Setiap Propinsi dibagi lagi atas wilayah Keresidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Setiap gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Wilayah Swapraja Rote-Ndao dan Swapraja Sabu-Raijua yang dahulunya disatukan dalam Onder Afdeling Rote-Sabu berada dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil dan wilayah Keresidenan Timor dan daerah takluknya.

Kondisi terkini bekas Istana Raja Rote di Baa. [foto: Matheos Messakh]

Tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 23 Nopember 1945, Pemerintah RI menetapkan UU No. 1 Tahun 1945. UU ini mengatur antara lain wilayah kerja perangkat Pemerintah dimana sebuah propinsi dipimpin oleh seorang Gubernur, Keresidenan dipimpin oleh Residen, Kabupaten dipimpin oleh Bupati, Kotapraja dipimpin oleh Wali Kota,

Kewedanan dipimpin oleh Wedana dan Kecamatan (Onder Distrik) dipimpin oleh Asisten Wedana (Camat). Sayangnya UU ini hanya berlaku di Yokyakarta dan tidak berlaku di daerah lain yang masih diduduki oleh Belanda termasuk wilayah Rote-Sabu.

(7)

Rote, Joel Simon Kedoh pada tanggal 31 Agustus 1948. Pada tahun 1949 terjadilah penyerahan Kedaulatan kepada Pemerintan RI sebagai hasil

Konferensi Meja Bundar di Den Haag, secara de fakto penyerahan kedaulatan di daerah Timor terjadi pada tanggal 29 September 1949 antara Residen Ver Hoef dan H.A. Koroh sebagai kepala daerah Timor.

Pada tahun 1950 wilayah ex Onder Afdeling Rote-Sabu ditetapkan menjadi satu wilayah setingkat Kewedaan (Distrik) yang dipimpin oleh seorang Kepala

Pemerintahan Setempat (KPS). Zelf Bentuur Rote yang dibentuk berdasarkan ZBR 1938 dirubah namanya menjadi Swapraja Rote-Ndao mengalami

kekosongan kekuasaan karena meningalnya pejabat Raja Rote pada tahun 1948. Selanjutnya di Swapraja Rote-Ndao dibentuk suatu badan yang bersifat Kolegial yang disebut Dewan Pemerintahan Daerah Sementara Swapraja Rote-Ndao (DPS Swapraja Rote-Rote-Ndao) yang terdiri dari beberapa raja yang bertugas sejak 1948-1958.[14]

Berdasarkan UU No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II Kupang, wilayah Swapraja Rote-Ndao digabungkan dengan Swapraja Sabu-Raijua, Kota Kupang, Swapraja Kupang, Swapraja Amarasi, Swapraja Fatleu, Swapraja Amfoang menjadi daerah Swatantra Tingkat II Kupang dengan Ibukota Kupang.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur NTT[15] tertanggal 28 Februari 1962 dan tanggal 9 Juni 1962, Wilayah Swapraja Rote-Ndao dimekarkan menjadi tiga wilayah Kecamatan yaitu: Rote Timur, Rote Tengah dan Rote Barat.[16] Periode ini merupakan masa transisi yang sulit bagi orang Rote. Banyak orang belum mempercayai pemerintahan Indonesia, dan oleh karena walaupun sudah ada camat, raja-raja tetap memerintah. Perkara-perkara masih diputuskan oleh raja walaupun telah ada pengadilan negeri di Ba’a. Dalam periode inilah dikenal raja-raja terakhir dari Rote.[17] Karena sejumlah raja diangkat menjadi camat, maka penggati mereka segera juga diangkat. Karena ini merupakan masa transisi, para raja terakhir ini ada yang dipilih oleh rakyat, ada pula yang hanya dipilih oleh para temukun. Ini penjelasannya mengapa setelah Indonesia

merdekapun Belanda masih ada dan para Raja masih diakui dan berkuasa di Rote.

Sistem Pemerintahan Rote, Bukan Monarki Absolut

Pulau Rote terbagi dalam 18 domain otonom yang disebut Nusak[18] yang dikuasai oleh seorang pemimpin yang disebut Manek[19] yang tugas utamanya adalah mendengarkan perkara dan memberikan putusan dalam system

pengadilan yang otonom di nusaknya sendiri.[20] Setiap nusak

(8)

Setiap Nusak terdiri dari sejumlah klan (leo) yang membentuk unit politik tradisionalnya.[21] Klan itu terbatas pada satu nusak, tidak ada system klan yang berlaku untuk seluruh pulau itu. Setiap klan dikepalai oleh seorang kepala klan yang disebut maneleo yang mewakili klannya dalam pengadilan kerajaan dan membantu manek dalam memberikan keputusan. Walaupun jumlah klan dalam setiap nusak tidak selalu berjumlah Sembilan, struktur klan-klan yang rumit ini secara keseluruhan biasa dirujuk sebagai kelompok

‘sembilan’ (sio), yaitu angka yang menunjukkan totalitas. Karena itu setiap kepala klan disebut juga manesio (manek Sembilan). Dalam sejumlah nusak, salah satu kepala klan disebut juga manedope (manek pisau) yang berfungsi mengumunkan dan melaksanakan keputusan sang raja.

Rakyat dibagi dalam dua kelas, bangsawan dan rakyat biasa. Para bangsawan ada dalam dua klan, klan manek dan klan fetor.[22] Walaupun gelar Fetor ini terdapat di beberapa tempat di Timor dan kemungkinan besar berasal dari bahasa Portugis, etymologi tradisional Rote mengatakan bahwa gelar Fetor ini berasal dari bahasa Rote ‘feto’ yang dalam konteks tertentu berarti

‘perempuan’. Gelar Manek sendiri berasal dari kata “mane” yang berarti jantan atau laki-laki. Orang Rote melihat hubungan antara klan Manek dan klan Fetor sebagai polaritas sexual simbolik. Dalam banyak nusak, kedua klan ini bersatu dalam alliansi affinal saling menguntungkan.

Semua klan yang lainnya selain klan Manek dan klan Fetor adalah klan rakyat biasa.[23] Orang kebanyakan (laus dari kata laus yang bisa berarti ‘busuk’, ‘rakus’, ‘jelek’, ‘penyakit’, ‘tidak beruntung’ dan membentuk sebuah kata kerja yang berarti ‘melakukan kerja kasar’. [24] Salah satu klan jelata dalam setiap nusak adalah klan Kepala Bumi (Dae Langak). Dae Langak ini mempunyai kuasa spiritual atas seluruh nusak, termasuk terhadap klan Manek. Ia

mempunyai hak, dalam kondisi tertentu, untuk menyanggah keputusan raja dan mempunyai sejumlah hak ritual menyangkut bumi.

Kemenangan para manek melawan pemerintah Kolonial ini juga membawa konsekwensi bahwa mereka tetap mengatur mekanisme rekruitmen politik mereka berdasarkan sistem yang sudah berabad, bukan berdasarkan sistem penunjukkan oleh pejabat Kolonial. Walaupun seorang raja untuk seluruh Rote ditunjuk oleh Belanda, tapi manek-manek tetap dipilih oleh rakyat mereka. Naiknya seseorang menjadi manek bukanlah berdasarkan keturuan namun berdasarkan pemilihan. Walaupun para kandidat adalah terbatas pada klan manek, namun manek haruslah dipilih oleh rakyat melalui pemilihan langsung. Jadi tidak otomatis seorang Raja anaknya akan menjadi raja berikutnya, karena setiap pergantian raja haruslah melalui pemilihan.

(9)

Meskipun Thie (sekarang menjadi kecamatan Rote Barat Daya) dalam surat-surat VOC tertanggal 22 November 1660, nusak ini tidak secara formal diakui dalam kontrak VOC hingga 1690. Dinasty yang sama yang menggunakan nama marga Mesak (seringkali ditulis dengan gaya Belanda kuno ‘Messakh’) telah menguasai Thie sejak pengakuan oleh VOC ini.[25] Fox menyebut dua orang raja Thielah yang telah melakukan inovasi yang kemudian merubah seluruh Rote. Di tahun 1729, raja Mbura Mesa masuk Kristen dan anaknya Foe Mbura (atau Benjamin Messakh) yang menggantikannya setelah itu mendeklarasikan Thie sebagai negara Kristen dan mendirikan sekolah lokal berbahasa Melayu pertama di Rote.

Nusak Thie terbagi dalam 26 klan, 14 tergabung dalam moety manek yaitu disebut Sabarai, 12 klan tergabung dalam moiety Taratu yaitu moety Fetor. Klan-klan ini, baik yang tergabung dalam Sabarai atau Taratu, masih dibedakan lagi menjadi Leo Inak (klan besar), dan Leo Anak (klan kecil).

Pembedaan ini tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota klan melainkan lebih kepada pembedaan antara “bangsawan” dan “orang biasa”. Walaupun semua klan di Thie …klan-klan besar dalams setiap moiety mengakui hubungan geneologis yang lebih dekat satu sama lain. Namun di antara setiap kelompok klan besar ini terdapat pembagian lebih kecil lagi yang mempunyai signifikansi politik. Lima dari delapan klan besar dalam grupSabarai membentuk grup yang disebut Pandi-Anan (Anak-anak Pandi) sementara enam dari delapan klan besar dalam grup Taratu membentuk kelompok yang disebut sebagai Moi-Anan (Anak-anak Moi) dan empat dari enam klan dalam Moi-Anan ini membentuk sebuah kelompok lain yang disebut Boru-Anan (Anak-anak Boru).

Menurut tradisi, anggota-anggota Boru Anan (Leo Nalle Feo, Mesa Feo, Tode Feo dan Ndana Feo) mempunyai hak untuk memilih atau setidaknya

meratifikasi pemilihan seorang Manekbaru dan para anggota Pandi-Anan mempunyai hak yang sama untuk memilih seorang Fetorbaru. Selain itu akan dipilih tiga orang saksi dari leo-leo lain secara acak. Paling sering saksi dipilih dari klan Keka Dulu yang dianggap netral. Sejak terbentuknya Swapraja Rote-Ndao di tahun 1945, pemerintah swapraja juga mengirimkan seorang

pengamat dari Ba’a pada saat pemilihan raja.

Manek dipilih dari klan Mbura Lae, atau keluarga Messakh yang berdiam di tiga wilayah di Nusak Thie yaitu dari Ngoro Dulu (Keluarga Messakh di

Oebatu), Ngoro Muri (keluarga Messakh di Oebafok) dan Ngoro Kona (keluarga Messakh di Batutua).

(10)

Karena diadakan secara terbuka, sang pemilih tentu harus menyingkirkan segala kekhawatiran dan rasa sungkan untuk memilih calon yang ia sukai. Kebiasaan berbeda pendapat dan berperkara di kalangan orang Rote turut membentuk kepribadian mereka dimana mereka tidak akan takut berbeda walaupun dengan kerabat sendiri. Misalnya, walaupun paman seorang pemilih adalah kandidat raja, namun ia belum tentu memilih pamannya. Dan itu kadang dilakukan secara terbuka. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat kedewasaan politik yang dibutuhkan dalam pemilu seperti ini.

Memasuki abad 20, pemilihan sudah diadakan dengan sistem kartu dan cap jempol dimana tiga orang calon diberi nomor dalam sebuah daftar, kemudian para pemilih akan membubuhkan cap jempol mereka pada kolom calon yang mereka pilih.

Sayangnya, di era Orde Baru, pemilu ini dikebiri. Rakyat masih boleh memilih secara langsung anggota DPR mereka namun pemilihan para pejabat eksekutif dilakukan oleh DPR. Kemudian di Era Reformasi muncul kembali harapan dimana pemilihan umum legislative maupun eksekutif dilakukan oleh rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia baru saja melakukan kebodohan yang bahkan tidak dilakukan masyarakat tradisional Indonesia dari pulau terpencil di sebelah selatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pertarungan di parlemen pasca terpilihnya Joko Widodo dan Yusuf Kalla, sebernarnya baik Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat bisa menerapkan politik ala Rote ini, namun nampaknya mereka menyukai bermain kasar dan tanpa malu-malu. [S]

Referensi

James Fox, (1971) ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock, hal.37-77.

James Fox,(1980) ‘Obligation and Alliance: State Structure and Moiety

Organization in Thie, Roti’ dalam Fox (ed.), The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia, Harvard University Press, hal. 98-133.

James Fox,(1983) ‘For Good and Sufficient Reasons: An Examination of Early Dutch EastIindia Company Ordinances on Slave and Slavery’ dalam Anthony Reid (ed.), Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia, NY: St. Martin’s Press, hal. 246-262.

James Fox, (2007), Traditional Justice and ‘Court System’ of the island of Roti, The Asia Pasific Journal of Anthropology, 8:1, hal. 59-73.

(11)

CATATAN KAKI

[1] Pada tahun 1770 sebuah ordonansi budak dikeluarkan oleh VOC yang melarang perbudakan terhadap orang Kristen. Namun Ordonansi perbudakan pertama kali dikeluarkan VOC pada 4 Mei 1622 yang menurut Fox telah

berkontribusi terhadap pembentukan kelas Kristen pribumi yang terpisah dari orang Eropa yaitu para mardijkers dan juga berimplikasi pada aturan-aturan mengenai hubungan dengan kerajaan-kerajaan pribumi di Indonesia timur termasuk dengan Rote. Dalam hukum Belanda, rakyat dari “penguasa Kristen” pertama di Rote tidak boleh dijadikan budak oleh kerajaan-kerjaan tetangga yang melakukan perburuan budak. Lihat James Fox, ‘For Good and Sufficient Reasons: An Examination of Early Dutch EastIndia Company Ordinances on Slave and Slavery’ dalam Anthony Reid (ed.), Slavery, Bondage and

Dependency in Southeast Asia, NY: St. Martin’s Press, hal. 253. [2]James Fox, ‘Obligation and Alliance: State Structure and Moiety

Organization in Thie, Roti’ dalam Fox (ed.), The Flow of Life: Essays on Eastern Indonesia, Harvard University Press, h. 106; Fox (2007), Traditional Justice and ‘Court System’ of the island of Roti, The Asia Pasific Journal of Anthropology, 8:1, hal. 60.

[3] James Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock, 1971. hal. 58.

[4]Ibid: 40.

[5] Fox, ‘Obligation and Alliance’ h. 104; Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy: Structure and Event’ dalam The Translation of Culture, T.O. Beidelman (ed), London: Tavistock, 1971. h 40.

[6] Temukun berasal dari bahasa Jawa, ‘Tumenggung’.

[7] Istilah ‘radja’ baru terapkan oleh Belanda dalam dokumen-dokumen

resminya pada awal abad 19, dan istilah yang diambil dari bahasa Melayu yang berasal dari India ini cukup mempengaruhi konsep tentang para pemimpin tradisional di Indonesia sampai sekarang. Menurut hemat penulis, dalam

membahas tentang para pemimpin-peminpin tradisional di Indonesia sebaiknya digunakan istilah asli dipakai penduduk mengingat keunikan konsep dan

(12)

[8] Fox, ‘Obligation and Alliance’, hal. 104. [9] 1968: hal. 64.

[10] Wawancara dengan Benjamin Messakh, BA. (alm).

[11] Secara harfiah dapat diterjemahkan dengan ‘Dewan Para Kepala Negeri’, namun lebih populer diterjemahkan dengan ‘Dewan Raja-raja’.

[12] Saya berhutang pada bagian ini sebagian besar dari tulisan Benjamin Messakh yang belum diterbitkan: Rote Dalam Jangkauan Zaman.

[13] Kedepan Propinsi itu adalah: Jawa Barat dengan Ibukota Bandung, Jawa Tengah dengan Ibukota Semarang, Jawa Timur dengan Ibukota Surabaya, Sumetera dengan Ibukota Bukit Tinggi, Borneo dengan Ibukota Banjarmasin, Sulawesi dengan Ibukota Makasar, Sunda Kecil dengan Ibukota Singaraja, Maluku dengan Ibukota Ambon.

[14] DPS Swapraja Rote-Ndao adalah sebagai berikut:

Tahun 1948-1952: Raja Korbaffo, Ch. P. Manubulu (ketua) dengan anggota-anggota: J. W. Messakh (Raja Thie) dan dua orang lagi yang belum diketahui oleh penulis.

Tahun 1952-1954: Raja Talae, Mesak Mesah Saudale (ketua) dengan anggota-Anggota: Nehemia Daud (Raja Ringgou), Marthen Lenggu (Raja Bilba), dan seorang lagi yang belum diketahui.

Tahun 1954-1955: Raja Ringgou Nehemia Daud (Ketua), Ishak Dae Panie (Raja Ba’a ), Hendrik Hanok Lenggu (Raja Oenale) dan seorang lagi yang belum diketahui.

Tahun 1956-1957: Raja Korbaffo, Ch. P. Manublu (Ketua), Marthen Lenggu (Raja Bilba), Ishak Dae Panie ( Raja Ba’a ), dan seorang lagi yang belum diketahui.

Tahun 1957-1958: Raja Korbaffo, Ch. P. Manublu (Ketua), Nehemia Daud (Raja Ringgou), W. St. Mbate Mooy (Wakil Raja Thie), Jacobus Lasarus, dan Albert Dillak.

[15] Keputusan Kepala Daerah Tingkat-I Nusa Tenggara Timur No. Pem.66 / 1/2 Tanggal 28 Februari 1962 dan No. Pem. 6 /1/33 tanggal 9 Juni 1962.

(13)

Thie, Dengka, Delha, Oenale, dan Ndao dengan Ibukota Oelaba dengan camat pertama Yacobus Arnoldus Messakh.

[17] Di Nusak Ringgou/Rikou, Raja Nehemia Daud yang berkuasa sejak tahun 1926, diangkat menjadi anggota dan ketua DPDS Swapraja Rote Ndao pada tahun 1962, sehingga ia digantikan sebagai raja oleh Samuel Daud yang

berkuasa tahun 1962-1972; di Nusak Oepao, Zakarias Sjion adalah raja tekahir yang berkuasa tahun 1964-1969; Di Nusak Landu, raja terkahir adalah

Marthen Matheos Johannis (1959-1972); di Nusak Bilba, Raja Marten Lenggu yang berkuasa sejak tahun 1948 diangkat menjadi anggota DPS Rote pada tahun 1960 dan digantikan oleh Arnoldus They (1960-1972); Raja terkahir Nusak Diu adalah Paulus Albert Manafe (1960-1972); Raja terakhir Nusak Korbafo adalah Christian Paulus Manubullu (1926-1972); Raja terakhir Lelenuk adalah Josepus Daud Daik (1965-1972); Di Nusak Termanu Raja Ernest Johanis Jermias Michel Amalo (1946-1962) diangkat menjadi Camat Rote Tengah dan digantikan Wakil Raja Frans Bire Doko, (1962-1964) dan dari tahun 1969-1972 diangkat Raja terakhir Jhon Fritz Amalo; Raja

terakhir Nusak Keka adalah Thobias Malelak (1927-1974) dan sejak tahun 1962 tugas Raja dilaksanakan oleh Welhelmus Malelak sebagai wakil raja; Raja terakhir Nusak Talae adalah Mesak Mesah Saudale (1922-1972); Raja terakhir Nusak Bokai adalah Herman Dupe (1962-1972); Raja terkahir Nusak Lole adalah Salmun Paulus Suido Dillak (1938-1972); Raja terakhir Nusak Ba’a adalah Abia Zakarias Mandala (1966-1972); Raja terakhir Nusak Lelain adalah Junus Bessie (1966-1972); Raja terkahir Nusak Dengka adalah Kristofel

Aleksander Tungga (1957-1962); Raja terakhir Nusak Thie adalah Thobias Arnoldus Messakh (1962-1972); Raja terkahir Nusak Oenale adalah Th. Dethan (1961-1972); Raja terakhir Nusak Delha adalah Abner Ndun (1935-1972); Raja terakhir Nusak Ndao adalah Ferdinand Baun (1945 – 1968). Lihat Benjamin Messakh, Rote dalam Jangkauan Jaman [belum diterbitkan].

[18] James Fox menggunakan dua istilah yang bergantian untuk nusak yaitu “domain” dan “state.” Nusak-nusak itu adalah: Delha, Oenale, Thie, Dengka, Lole, Lelain, Ba’a, Termanu, Keka, Talae, Bokai, Lelenuk, Diu, Korbafo, Bilba, Oepao, Ringgou dan Landu.

[19] Fox menggunakan istilah “Lord” untuk Manek.

[20] Untuk system pengadilan Rote lihat James Fox, “Traditional Justice and the ‘Court System’ of the Island of Rote” hal. 59-73

[21] Uraian tentang system klan ini dasarkan pada Fox, ‘A Rotenese Dynastic Genealogy’, hal. 40-42.

(14)

nusak kecil lainnya, Talae, Fetor telah menggantikan sang Manek dan mengusai nusak itu –sebagai Fetor—secara permanen.

[23] Contoh klan manek dan klan fetor bisa di lihat di dua nusak besar yaitu Termanu dan Thie. Di Termanu, klan manek adalah Masa-Huk dan klan fetor adalah Kota-Deak. Klan lain yaitu Meno, Sui, Kiu-Kanak, Ingu-Beuk, Nggofa Laik, Dou-Dangga, Ingu-Fao, Ulu-Anak dan Ingu-Nai adalah klan rakyat kebanyakan. Klan Meno adalah klan para Dae-Langak.

[24] Op.cit. 41

[25] Fox, ‘Obligation and Alliance: State Structure: 121

(15)

Added by satutimor.com on July 14, 2014. Saved under Sejarah

Pertemuan para manek Rote tahun 1930-an. Dari kiri ke kanan: Thobias Malelak dari Keka (ketiga dari kiri, meninggal 1966), Christian Paul Manubulu dari Korbafo (keempat,

1926-1989), DL Detaq dari Baa (kelima, meninggal 1938), tidak diketahui (keenam), Yusuf William Johannis dari Landu (ketujuh, 1916-1961). Matheos Yusuf William Johannis ini adalah keturuan dari raja-raja Landu yang terlibat pertikaian di tahun 1756 yang berakhir dengan pembantaian oleh VOC. [sumber: dipersembahkan oelh Middelkoop kepada KITLV]

Oleh Matheos Messakh

DALAM pertarungan politik kontemporer di pulau Rote, negeri (Nusak) Landu jarang diperhitungkan karena walaupun wilayahnya cukup luas namun jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dibanding nusak-nusak lain di Rote. Pengabaian politis ini menjadi lebih kuat terutama ketika demokrasi elektoral era

Reformasi bertemu dengan kharakterisitik pemilih yang masih sangat primordialis.

(16)

Kurangnya jumlah penduduk ini juga mempengaruhi pilihan ekologis dan pertanian di negeri yang berada paling ujung timur pulau Rote dan paling dekat dengan pulau Timor ini. Perbedaan pola pertanian dan peternakan ini dibahas oleh James Fox dalam Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia. (1977).

Namun, jangan dikira populasi pulau Rote bagian timur, terutama Landu yang sedikit karena persoalan ekologi dan migrasi semata. Jangan dikira karena Landu dekat dengan Kupang, jadi sebagian besar orang-orangnya bermigrasi ke Kupang dan sekitarnya.

Ada peristiwa sejarah yang cukup signifikan yang telah membuat Landu menjadi nusak dengan penduduk paling sedikit di Rote dan kemudian hal itu berpengaruh pada pola pertanian dan peternakan di Rote bagian timur. Landu termasuk diantara nusak yang paling awal membuat perjanjian kerja sama dengan VOC yaitu pada tahun 1653.[2] Pada saat itu Landu adalah negeri paling padat di Rote. Pada tahun 1750 populasinya diperkirakan 4,000 atau 23 orang per kilometer persegi. Namun pada tahun 1756 telah terjadi sebuah peristiwa yang menjadikan Landu daerah tak bertuan.

Menurut laporan Komisaris VOC, Johannes Andreas Paravicini, telah terjadi sebuah pertikaian di Lando yang sebenarnya sudah terjadi lama antara pejabat sementara ‘regent’[3] dan putera almarhum regent. [4] Ini terjadi karena

(17)

Peta Onderafdeeling Rote yang dibuat tahun 1910. Nampak nusak Landu di bagian paling timur pulau Rote hampir merupakan bagian yang terpisah sendiri. [sumber: KITLV]

Masing-masing pihak bersihkeras mempertahankan kebenarannya. Kedua kelompok ini masing-masing dipimpin oleh dua orang ‘temukung’.[5] Mereka mengutus seorang bernama Nai Laffa ke Kupang untuk

bertemu opperhoofd atau kepala pemerintahan VOC di Kupang. Namun menurut Paravicini, sang opperhoofd yang penakut ini [baca juga: Korupsi Pejabat VOC di Kupang tahun 1750-an] tidak mampu menyelesaikan masalah ini dan hanya menjanjikan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik. Ia

menyuruh Nai Laffa kembali ke Rote, maka meletuslah pemberontakan di Landu.

Komisaris VOC Paravicini yang kebetulan berada di Kupang menangani kasus ini. Ia mengadakan sebuah pertemuan besar di mana semua pemimpin pribumi dihadirkan. Dalam siding itu terbukti bahwa pejabat sementara regent dan putranya memerintah dengan sangat jelek. Mereka banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Paravicini menyuruh menangkap mereka dan dibuang ke Batavia.

Sesudah pertemuan itu, Paravicini menjanjikan perlindungan VOC seumur hidup kepada pewaris tahta yang bernama Bani[6] itu apabila ia melepaskan diri dari pengaruh para temukung yang nota bene menentang kepentingan VOC.

(18)

berdamai dengan pihak yang semula melawannya. Hal ini tidak diterima baik oleh Paravicini. Dikirimlah kapal De Vrijheid(Kebebasan/Kemerdekaan)

dibawah pimpinan Ringholm dan Wegener bersama 50 tentara Eropa, 50 orang Bali dan juga orang-orang Sabu, Rote dan Solor untuk ‘menggasak dan menghancurkan Landu sekali dan untuk selamanya, untuk menangkap setiap orang sebagai tawanan perang, dan tidak membiarkan seorangpun

berkeliaran.’ [7] Penumpasan ini dimaksudkan agar Landu kemudian

dibagikan-bagikan kepada orang Rote yang bersekutu dengan VOC dan juga menjadi peringatan agar penduduk pulau Rote yang lain tidak mengikuti cara Landu.

Dalam pertempuran antara pasukan VOC dan penduduk Landu, para penduduk melarikan diri dan berlindung di sebuah benteng yang terletak satu jam

perjalanan dari ‘kampong Lando’[8]. Setelah melalui perlawanan sengit dan berlangsung kira-kira empat jam orang-orang Landu akhirnya kalah. Mereka lari meninggalkan benteng itu dan bertahan di tebing-tebing serta gua-gua.[9] Banyak yang berhasil melarikan diri tetapi lebih dari 100 orang laki-laki, perempuan dan anak-anak membunuh dirinya dan juga dibunuh. Tidak saja penduduk Landu tetapi penduduk di kampong sekitar yang terletak dua sampai lima jam jauhnya juga dirusakkan.

Mereka yang mengungsi terdiri lebih dari 1400 orang. Mereka memanjat

(19)

Interior dari sebuah rumah Manek Matheos Yoesoef Johannis (kiri) dari Landu, di Rote sekitar tahun 1925. [sumber:KITLV]

Tak lama kemudian ada utusan dari Landu menuju Kupang untuk bertemu Paravicini. Kepadanya dibawakan sebuah kalung emas untuk memohon maaf, namun sang Komisaris menolak pemberian tersebut. Mereka berkata bahwa mereka tidak menentang ‘Kompeni’[10] tetapi menentang seorang penindas yang memeras mereka dengan cara berlebihan. Paravicini menjawab bahwa suatu bangsa yang telah melawan Kompeni harus dihukum sebagai

pemberontak. Namun sebagai akibat dari segala penderitaan yang dialami dan sebagai tanda belas kasihan terhadap para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban, mereka diberikan pengampunan dengan syarat bahwa segala senjata diserahkan dan para penduduk wajib menyerahkan diri dan dikirimkan ke Kupang.

Rupanya pesan Paravicini ini hanya tipu muslihat saja. Ketika para pembawa pesan kembali ke Landu, penduduk yang masih tersisa menerima pesan itu dan dengan sukarela mereka berlayar ke Kupang dalam keadaan lapar yang luar biasa. “Sangat menyedihkan melihat anak-anak kecil yang menderita

kelaparan. Setibanya di Kupang, mereka dijadikan budak.

(20)

Demikianlah Landu yang jumlah penduduknya pada tahun 1756 berjumlah sekitar 4000 orang itu berakhir dengan menyedihkan.

Paravicini sendiri khawatir bahwa caranya menangani masalah ini sangat keras dan kejam karena itu ia berusaha untuk membela tindakannya. Dalam sebuah pertemuan beberapa hari kemudian antara Paravicini dan para penguasa Rote dan Sabu, ia memerintahkan agar kampung-kampung yang sudah dirusak direhabilitasi dan penduduk Landu yang terserak ke seluruh Rote dikumpulkan kembali. Pangeran Bani kembali memerintah dan para terpenjara dikirim ke Batavia.

Di Batavia, Pemerintah Tertinggi Hindia Belanda (Gubernur Jendral dan Dewan) meneliti tindakan Paravicini dan menemukan bahwa ia telah sangat merugikan Negara-negara Eropa lain dalam kontrak-kontrak yang ia buat, dengan menggunakan terminologi-terminologi yang sama sekali tidak layak untuk sebuah dokumen diplomatik. Mereka juga mengkritisi pembantaian di Landu, namun di bulan Mei 1757, sebanyak 777 tawanan dari Landu dijual ke pasar budak dan menghasilkan sebanyak 50.012 guilders.[12]

Pertanyaannya sekarang, mungkinkah bisa ditelusuri di mana orang-orang itu ditempatkan datau diperjualbelikan sebagai budak dan di manakah keturunan mereka sekarang? Ilmu genetika modern mungkin bisa membantu menemukan keturunan orang-orang Landu yang diperjualbelikan sebagai budak di Batavia berabad lalu.

Itulah cerita mengapa nusak Landu jarang penduduknya hingga kini. [S]

Catatan akhir:

[1] Kurangnya jumlah penduduk ini menyebabkan nusak ini harus digabung dengan nusak lain untuk dapat menjadi sebuah kecamatan. Saat terjadi perubahan ketatanegaraan pada tahun 1962, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur NTT No Pem. 66/1/2 tanggal 28 Januari 1962 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I NTT No. Pem 66/1/3 tanggal 5 Juni 1962, wilayah Nusak Landu digabungkan dengan Nusak Ringgou, Oepao, Bilba, Diu, dan Korbaffo ditetapkan menjadi Kecamatan Rote Timur dengan ibukota

Kecamatan di E’ahun. Lihat Benjamin Messakh, Sejarah Rote-Ndao, belum dipublikasikan.

(21)

hubungan politik dengan para petugas VOC di Kupang tahun 1653 namun penguasa nusak Landu baru menandatangani kontrak pendek (Korte Verklaring) dengan penguasa VOC pada tahun 1690. Menurut Benjamin Messakh, dari beberapa silsilah lisan para manek serta beberapa dokumen resmi VOC diperkirakan bahwa Manek Landu yang mengadakan hubungan politik pada tahun 1653 bernama Bane Dai Lafa sedangakan Manek Landu yang menandatangani kontrak politik 1690 bernama Ba Bane. Lihat Benjamin Messakh, Sejarah Rote-Ndao, belum diterbitkan; Hans Hagerdal, Lords of the Land, Lords of the Sea: Conflict and Adaptation in 1600-1800. Leiden: KITLV Press, 2012, hal. 221.

[3] Ada bermacam-macam istilah yang digunakan dalam dokumen-dokumen VOC untuk para pemimpin lokal. Lebih sering digunakan istilah yang diambil dari Jawa yang mempunyai pengaruh India yang kuat seperti, ‘raja’, kadang digunakan ‘bupati’, kadang pula digunakan ‘regent’. Pengaruh sebutan ini masih kuat sampai sekarang terutama istilah ‘raja’ yang sering digunakan tanpa memikirkan maknanya. Demi kepentingan konsistensi definisi dan isi kami mengajurkan sebaiknya dipakai istilah sesuai sebutan penduduk lokal, misalnya di Rote digunakan istilah ‘manek’ tanpa harus diterjemahkan atau di Timor digunakan istilah ‘usif’.

[4] J. A. van der Chijs ‘Koepang omstreeks 1750’ (1872) Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en volkenkunde 18, hal. 209-27.

[5] Istilah ‘temukung’ sendiri telah dianggap sebagai sebutan asli orang Rote namun sebenarnya istilah ini berasal dari Bahasa Jawa ‘Tumenggung.’

[6] Sejahrawan Rote Benjamin Messakh berhasil mengumpulkan silsilah dinasti nusak Landu berdasarkan tuturan lisan orang Landu dan beberapa dokumen VOC, Pemerintah Hindia Belanda dan Repuplik Indonesia sebagai berikut:

1. Meno Balo 2. Balokama Meno

3. Keolima Balokama (1550-1574) 4. Bane Keolima (1574-1594) 5. Sura Bane (1595-1613) 6. Dailafa Sura (1613-1670) 7. Bane Dailafa (1670-1690)

8. Ba Bane/Paulus Johannis (1690-1697) 9. Lete Ba/Soleman Johannis (1697-1725) 10. Dailafa lete/Abraham Johannis (1725-1745) 11. Keo Lima Ba/Christofel Johannis (1745-1778) 12. Lete Ba/ Willem Johannis (1778-1804)

13. Tetelai Ba/ Johanis Willem Johannis (1804-1832) 14. Dale Lete/Jusuf Willem Johannis (1832-1859) 15. Daud Willem Johannis (1859-1885)

(22)

17. Lasarus Yusuf Willem Johannis (1912-1923) 18. Matheos Yusuf Willem Johannis (1923-1959) 19. Marthen Matheos Johannis (1959-1972)

Jika dilihat dari kemiripan nama dan memperhitungkan tahun kejadian, kemungkinan utusan yang dikirim ke Kupang yang disebut ‘Nai Laffa’ adalah Dailaffa Lete atau Abbraham Johanis yang berkuasa dari 1725-1745. Namun agak sulit dipastikan siapakah pewaris tahta yang bernama ‘Bani’ karena ada sejumlah penguasa sebelumnya bernama “Bane”. Kemungkina ‘Bani’ yang dimaksud dalam laporan Paravicini yang dikutip Van der Chijs adalah anak dari salah satu ‘Bane’ yang berkuasa sebelumnya. Hal ini sangat mungkin

mengingat pemberian nama orang Rote sebelum orang Rote menggunakan nama Kristen adalah nama depan ayah menjadi nama belakang anak. Jadi kemungkinan ‘Bani’ yang dimaksud adalah anak dari Bane Dailafa

( memerintah 1670-1690) atau Ba Bane/Paulus Johannis (memerintah 1690-1697).

[7] van der Chrijs, 1872:222

[8] Definisi ‘Kampong Lando’ di sini terlalu luas sebab Landu mempunyai sejumlah kampong. Kemungkinan besar yang dimaksud ‘kampong Lando’ adalah pusat pemerintahan di mana pemimpin seluruh nusak ini berada. Ini bisa saja Daeurandale atau Oendui.

[9] Topografi Landu memang mempunyai banyak tebing, jurang dan gua. Apabila orang Rote berbicara dalam bahasa syair maka mereka menyebut nusak Landu dengan Pia heu do faka ndoro dan Soti mori do bola tena. Pia heu do faka ndoro berasal dari kata Piak yang berarti tebing, heu berarti

pagar, faka berasal dari kata fakak artinya jurang, Ndoro berarti keliling, jadi secara harafiah berarti ‘Negeri yang dipagari tebing dan dikelilingi jurang.’ Lihat Benjamin Messakh, Sejarah Rote-Ndao, belum diterbitkan.

[10] Sebutkan lazim pribumi terhadap VOC.

[11] Van der Chijs 1872:220-6; Menurut dokumen VOC yang dikutip Hagerdal (VOC 2941 (1756), ff. 603-4, 627-8, 674, 677, 715-46), jumlah orang Landu yang dikirim sebagai budak ke Batavia berjumlah 1.060 orang.

[12] Hagerdal, Lords of the Land, hal. 381 mengutip Leupe 1877; s’Jacob 2007:527.

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara untuk meningkatkan volume penjualan dan mempertahankan para langganan serta menarik langganan-langganan baru, untuk itu PT. Suka Fajar Ltd,

Convolutional code dengan batas panjang ( constraint length ) nA terdiri dari m tingkat shift register , n penjumlah modulus dua dan multiplekser untuk

Dalam wawancara ini peneliti bertanya langsung pada narasumber yaitu cucu dari Raden Ono Lesmana Kartadikusumah, Raden Widawati Noer Lesmana S.Sen yang berkaitan

Pengembangan profesionalitas dosen dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya peningkatan kompetensi, antara lain meliputi: (a) penguasaan bidang keahlian yang

Pada akhirnya, tidak semua yang kita rencanakan berjalan sesuai dengan harapan, namun demikian dengan adanya LKIP ini kami harapkan dapat memperoleh umpan balik

f) menerapkan tindakan yang perlu untuk mencapai hasil yang direncanakan dan peningkatan berkelanjutan dari proses tersebut. Proses-proses itu harus dikelola oleh

Sensitivitas kulit dapat diperiksa dengan membandingkan area nyeri dengan daerah kontralateralnya atau daerah di dekatnya yang tidak terasa nyeri untuk adanya alodinia dan

Karena dengan melihat penjelasan yang telah peneliti paparkan sebelumnya bahwa adanya sorotan dari fraksi Golkar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Solok mengenai