• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengelolaan Pariwisata Pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengelolaan Pariwisata Pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur"

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR

DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI

JAWA TIMUR

MUHAMMAD ZIA UL HAQ

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Strategi Pengelolaan Pariwisata Pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2006

(3)

ABSTRAK

M. ZIA UL HAQ. Strategi Pengelolaan Pariwisata Pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, KIAGUS ABDUL AZIZ, dan ANI MARDIASTUTI.

Pembangunan pariwisata memerlukan kebijakan yang tepat sehingga mampu menjadi pedoman bagi tindakan strategis di masa mendatang, baik untuk kegiatan pariwisata itu sendiri maupun kegiatan di sektor lain. Wilayah pesisir dan laut Sendang Biru merupakan kawasan andalan Kabupaten Malang untuk pembangunan pariwisata. Kawasan pesisir ini memiliki beberapa potensi menarik sebagai kawasan pariwisata, seperti: pantai berpasir putih, hutan pantai, pemandangan indah, dan tradisi upacara bersih laut yang biasa di kenal dengan upacara petik laut serta didukung oleh adanya Cagar Alam Pulau Sempu yang khas. Apabila potensi ini dimanfaatkan secara optimal, tentu dapat diandalkan sebagai peluang kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat lokal.

Analisis SWOT digunakan dalam menentukan strategi pengelolaan pariwisata di kawasan ini, tetapi terlebih dahulu diadakan pengkajian potensi kawasan berdasarkan penilaian dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata yang dikeluarkan oleh Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Penelitian ini bertujuan: 1) mengkaji potensi kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang, dan 2) merumuskan strategi pengelolaan kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang. Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan penentuan strategi pengelolaan pariwisata pesisir dan laut Kabupaten Malang, terutama oleh pengambil kebijakan dalam memutuskan strategi pengelolaan yang dilakukan.

Objek wisata pesisir Sendang Biru layak dikembangkan berdasarkan keindahan dan keunikan daya tarik yang dimiliki. Selain daya tarik, kelayakan pengembangan objek wisata pesisir Sendang Biru juga didukung oleh: potensi pasar yang tersedia, mudahnya aksesibilitas, kesiapan lingkungan sosial ekonomi dan pelayanan masyarakat lokal, kondisi iklim, keberadaan akomodasi, kelengkapan sarana dan prasarana penunjang, ketersediaan air bersih, dan terjaminnya keamanan. Namun demikian, tingginya persaingan antar objek wisata di wilayah Kabupaten Malang, menuntut strategi pengelolaan yang baik dan berwawasan lingkungan.

(4)

JAWA TIMUR

MUHAMMAD ZIA UL HAQ

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

Nama Mahasiswa : Muhammad Zia Ul Haq

Nomer Pokok : C.251030211

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua

Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc Prof.Dr.Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

RIWAYAT HIDUP

(8)

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada alam semesta, Pencipta dan Pemilihara alam beserta isinya. Demikian halnya dalam penulisan tesis ini berkat pertolongan dan ridho-Nya dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

Strategi pengelolaan pariwisata pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur merupakan suatu kajian ilmiah tentang pengembangan strategi pengelolaan pariwisata pesisir untuk meningkatkan tingkat pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia tanpa meninggalkan adanya unsur ekosistem lestari dalam aplikasinya.

Penelitian ini di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing yang telah membimbing dan memberikan arahan selama penelitian berlangsung, semoga amal kebajikan dan kerelaan mendidik diberi pahala yang setimpal di sisi Allah Sang Penguasa alam.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, saran dan penyempurnaan dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga penelitian yang telah dilakukan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, instansi terkait maupun stakeholder yang berkecimpung langsung didalamnya.

Bogor, April 2006

(9)

DAFTAR ISI

(10)

Daya tarik ... 55

Potensi pasar ... 58

Kadar Hubungan/Aksesibilitas ... 60

Kondisi lingkungan sosial ekonomi dan pelayanan masyarakat ... 61

Kondisi iklim ... 64

Akomodasi... 65

Sarana dan prasarana penunjang... 66

Ketersediaan air bersih ... 67

Keamanan ... 68

Hubungan dengan objek wisata lain ... 69

Strategi Pengelolaan Pariwisata ... 70

Pengawasan kelestarian sumberdaya alam ... 70

Peningkatan kenyamanan terhadap wisatawan... 71

Peningkatan promosi produk wisata ... 73

Perbaikan mutu SDM penduduk setempat ... 74

Kebijakan pemodalan bagi penduduk lokal dalam mengembangkan usaha yang me ndukung pariwisata ... 74

Pengadaan transportasi yang berkesinambungan ... 75

Penyuluhan dan pembinaan bagi masyarakat lokal untuk terlibat secara langsung dalam pelayanan pariwisata dan pemeliharaan sumberdaya alam dan lingkungan ... 76

KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

Kesimpulan ... 78

Saran... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(11)

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR

DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI

JAWA TIMUR

MUHAMMAD ZIA UL HAQ

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Strategi Pengelolaan Pariwisata Pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2006

(13)

ABSTRAK

M. ZIA UL HAQ. Strategi Pengelolaan Pariwisata Pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, KIAGUS ABDUL AZIZ, dan ANI MARDIASTUTI.

Pembangunan pariwisata memerlukan kebijakan yang tepat sehingga mampu menjadi pedoman bagi tindakan strategis di masa mendatang, baik untuk kegiatan pariwisata itu sendiri maupun kegiatan di sektor lain. Wilayah pesisir dan laut Sendang Biru merupakan kawasan andalan Kabupaten Malang untuk pembangunan pariwisata. Kawasan pesisir ini memiliki beberapa potensi menarik sebagai kawasan pariwisata, seperti: pantai berpasir putih, hutan pantai, pemandangan indah, dan tradisi upacara bersih laut yang biasa di kenal dengan upacara petik laut serta didukung oleh adanya Cagar Alam Pulau Sempu yang khas. Apabila potensi ini dimanfaatkan secara optimal, tentu dapat diandalkan sebagai peluang kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat lokal.

Analisis SWOT digunakan dalam menentukan strategi pengelolaan pariwisata di kawasan ini, tetapi terlebih dahulu diadakan pengkajian potensi kawasan berdasarkan penilaian dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata yang dikeluarkan oleh Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Penelitian ini bertujuan: 1) mengkaji potensi kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang, dan 2) merumuskan strategi pengelolaan kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang. Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan penentuan strategi pengelolaan pariwisata pesisir dan laut Kabupaten Malang, terutama oleh pengambil kebijakan dalam memutuskan strategi pengelolaan yang dilakukan.

Objek wisata pesisir Sendang Biru layak dikembangkan berdasarkan keindahan dan keunikan daya tarik yang dimiliki. Selain daya tarik, kelayakan pengembangan objek wisata pesisir Sendang Biru juga didukung oleh: potensi pasar yang tersedia, mudahnya aksesibilitas, kesiapan lingkungan sosial ekonomi dan pelayanan masyarakat lokal, kondisi iklim, keberadaan akomodasi, kelengkapan sarana dan prasarana penunjang, ketersediaan air bersih, dan terjaminnya keamanan. Namun demikian, tingginya persaingan antar objek wisata di wilayah Kabupaten Malang, menuntut strategi pengelolaan yang baik dan berwawasan lingkungan.

(14)

JAWA TIMUR

MUHAMMAD ZIA UL HAQ

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(16)

Nama Mahasiswa : Muhammad Zia Ul Haq

Nomer Pokok : C.251030211

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua

Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc Prof.Dr.Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(17)

RIWAYAT HIDUP

(18)

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada alam semesta, Pencipta dan Pemilihara alam beserta isinya. Demikian halnya dalam penulisan tesis ini berkat pertolongan dan ridho-Nya dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

Strategi pengelolaan pariwisata pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur merupakan suatu kajian ilmiah tentang pengembangan strategi pengelolaan pariwisata pesisir untuk meningkatkan tingkat pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia tanpa meninggalkan adanya unsur ekosistem lestari dalam aplikasinya.

Penelitian ini di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing yang telah membimbing dan memberikan arahan selama penelitian berlangsung, semoga amal kebajikan dan kerelaan mendidik diberi pahala yang setimpal di sisi Allah Sang Penguasa alam.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, saran dan penyempurnaan dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga penelitian yang telah dilakukan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, instansi terkait maupun stakeholder yang berkecimpung langsung didalamnya.

Bogor, April 2006

(19)

DAFTAR ISI

(20)

Daya tarik ... 55

Potensi pasar ... 58

Kadar Hubungan/Aksesibilitas ... 60

Kondisi lingkungan sosial ekonomi dan pelayanan masyarakat ... 61

Kondisi iklim ... 64

Akomodasi... 65

Sarana dan prasarana penunjang... 66

Ketersediaan air bersih ... 67

Keamanan ... 68

Hubungan dengan objek wisata lain ... 69

Strategi Pengelolaan Pariwisata ... 70

Pengawasan kelestarian sumberdaya alam ... 70

Peningkatan kenyamanan terhadap wisatawan... 71

Peningkatan promosi produk wisata ... 73

Perbaikan mutu SDM penduduk setempat ... 74

Kebijakan pemodalan bagi penduduk lokal dalam mengembangkan usaha yang me ndukung pariwisata ... 74

Pengadaan transportasi yang berkesinambungan ... 75

Penyuluhan dan pembinaan bagi masyarakat lokal untuk terlibat secara langsung dalam pelayanan pariwisata dan pemeliharaan sumberdaya alam dan lingkungan ... 76

KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

Kesimpulan ... 78

Saran... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram kerangka pendekatan penelitian... 4

2 Tipologi jenis wisata... 23

3 Kategori kawasan konservasi di Indonesia... 26

4 Peta lokasi penelitian... 37

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Tipe wisatawan dan tingkat adaptasi terhadap alam sekitar... 24

2 Tujuan pengelolaan yang disesuaikan dengan kawasan konservasi... 24

3 Kriteria penilaian kelayakan pengembangan wisata... 39

4 Faktor strategi internal... 41

5 Faktor strategi eksternal... 41

6 Diagram matrik SWOT... 41

7 Tingkat kesuburan tanah di Desa Tambak Rejo... 44

8 Data oseanografi di perairan laut Kabupaten Malang... 45

9 Jumlah penduduk Sendang Biru berdasarkan tingkat pendidikan... 46

10 Sarana dan prasarana produksi dan perekonomian yang terdapat di Desa Tambakrejo... 47

11 Penilaian objek wisata kawasan pesisir Sendang Biru... 49

12 Faktor strategi internal pengelolaan pariwisata pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur... 50

13 Faktor startegi eksternal pengelolaan pariwisata pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur... 51

14 Matrik SWOT pengelolaan pariwisata pesisir di Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur... 52

15 Alternatif strategi dalam analisis SWOT pengelolaan pariwisata pesisir di Sendang Biru Malang Jawa Timur... 53

(22)

1 Kriteria penilaian dan daya tarik wisata alam... 85 2 Kriteria penilaian potensi wisata... 91 3 Kriteria pemilihan faktor internal dan eksternal... 92 4 Hasil pengkajian potensi kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru... 96 5 Panorama Pantai Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi

Jawa Timur... 102 6 Panorama dan suasana Telaga Lele di dalam area Cagar Alam

Pulau Sempu pada siang dan sore hari... 103 7 Pemandangan Segara Anakan di dalam area Cagar Alam Pulau Sempu 104 8 Beberapa lokasi wisata tidak sejenis yang terdapat di dalam

dan di luar Kabupaten Malang Jawa Timur (radius 75 km dari objek

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menyongsong era perdagangan bebas regional dan internasional yang penuh persaingan, selayaknya fundamental ekonomi harus diperkokoh melalui berbagai sektor pembangunan. Agar tidak tertinggal dalam persaingan global, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru harus segera dicari, memelihara dan meningkatkan kegiatan ekonomi yang ada, serta memperbaiki pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan pendapatan daerah dan dapat berkonstribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan selama ini tidak banyak mendapat perhatian oleh pembuat kebijakan, seperti kegiatan pariwisata pesisir. Kegiatan ini merupakan sektor yang secara langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dalam arti dapat menciptakan lapangan kerja dan memberi peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Selain itu, pariwisata secara tidak langsung dapat berperan dalam pelestarian sumberdaya pesisir dan laut.

Pembangunan pariwisata memerlukan strategi pengelolaan yang tepat sehingga mampu menjadi pedoman bagi tindakan strategis di masa mendatang, baik untuk kegiatan pariwisata itu sendiri maupun kegiatan di sektor lain. Kegiatan pariwisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya laut dapat dipadukan dengan kegiatan sektor lain seperti sektor kehutanan, perikanan, perhubungan, pemukiman, industri, maupun perkebunan, sehingga dengan pola keterpaduan, pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.

(24)

Selain faktor alamiah, beberapa kegiatan keagaman dan budaya masyarakat setempat yang dilakukan di pesisir Kabupaten Malang juga merupakan potensi pariwisata yang handal. Hampir di setiap daerah pemukiman pesisir Kabupaten Malang mempunyai budaya/tradisi untuk melakukan upacara bersih laut sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat yang diperoleh berupa hasil laut ya ng melimpah (Bappeprop Jatim 2001).

Wilayah pesisir dan laut Sendang Biru merupakan kawasan andalan untuk pembangunan pariwisata. Kawasan pesisir ini memiliki beberapa potensi menarik sebagai kawasan pariwisata, seperti: pasir putih, hutan pantai, pemandangan indah, dan tradisi upacara bersih laut yang biasa di kenal dengan upacara petik laut. Apabila potensi ini dimanfaatkan secara optimal, tentu dapat diandalkan sebagai peluang kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat lokal.

Pemanfaatan secara optimal dapat dilaksanakan apabila keragaman potensi sumberdaya alam didata dan dinilai lebih detail untuk mengetahui secara lebih jelas potensi yang terkandung di pesisir Sendang Biru guna mendukung kegiatan pariwisata, sehingga strategi pengelolaan bisa ditentukan berdasarkan hasil pengkajian potensi. Hasil akhir penelitian diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan penentuan strategi pengelolaan pariwisata pesisir dan laut Kabupaten Malang, terutama oleh pengambil kebijakan dalam memutuskan strategi pengelolaan.

Perumusan Masalah

(25)

3

Masalah- masalah yang ada perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk kepentingan pengelolaan kawasan pesisir yang memihak kepada masyarakat. Untuk mencapai strategi yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan objek wisata, maka perlu dianalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman di kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru, sehingga pengelolaan sumberdaya alam pesisir dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan bisa melindungi sumberdaya alam dari penurunan kualitas alam tersebut.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian:

1. Mengkaji potensi kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang.

2. Merumuskan strategi pengelolaan kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang.

Manfaat Penelitian:

Penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan masukan kepada pihak pengambil kebijakan dalam mengatur pemanfataan kawasan dan sumberdaya alam di kawasan pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang.

Kerangka Pendekatan Penelitian

Berkaitan dengan tujuan penelitian yang sudah ditentukan, maka hal- hal dibawah ini digunakan sebagai kerangka pendekatan penelitian: a) mengkaji potensi kawasan pariwisata berdasarkan kondisi objek, dan b) merumuskan strategi pengelolaan pembangunan kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru.

(26)

b Merumuskan kebijakan pengelolaan pembangunan kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru. Perumusan kebijakan pengelolaan akan di analisis menggunakan SWOT (Rangkuti 2004) berdasarkan kriteria penilaian yang telah dilakukan pada tujuan penelitian pertama.

Secara skematik kerangka pendekatan penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 1 berikut:

Gambar 1 Diagram kerangka pendekatan penelitian Penilaian Tingkat

Kesesuaian Kawasan KAWASAN PARIWISATA PESISIR

SENDANG BIRU

Perumusan Strategi Pengelolaan Kawasan Pariwisata Pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang Potensi

penawaran

Potensi permintaan

1 Daya tarik

2 Aksesibilitas

3 Kondisi Iklim

4 Akomodasi

5 Sarana dan prasarana

penunjang

6 Ketersediaan air bersih

7 Keamanan

8 Hubungan objek

dengan objek wisata lain

1 Potensi pasar

2 Kondisi sosial

ekonomi dan

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Wilayah Pesisir

Untuk mengelola wilayah pesisir, sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah pesisir dipertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan termasuk didalamnya faktor hidrologi, ekologis, sosial, maupun administratif. Penentuan batas dimulai dengan memperhatikan ciri-ciri alami, jangkauan perairan pesisir, dan keperluan administrasi, setelah itu ditetapkan batas daratan pantai ke arah darat, kemudian dari daratan ke pantai. Hal ini diperlukan untuk memperoleh suatu interaksi antar komponen darat dan laut bagi wilayah pesisir yang hendak dikelola.

Lawrence (1998) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara darat dengan laut yang mencakup perairan pantai, daerah pasang surut (pantai diantara batas pasang surut dan pasang naik), dan tanah daratan dimana habitat dan jenis binatangnya beradaptasi secara khusus terhadap lingkungan yang unik.

Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo, atau batas wilayah pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, dan batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah Timur (Dahuri et.al 1996).

(28)

Berdasarkan batas tersebut beberapa ekosistem wilayah pesisir yang khas seperti estuaria, delta, goba, terumbu karang, hutan bakau, hutan rawa dan bukit pasir tercakup dalam wilayah tersebut. Penentuan wilayah pesisir seringkali ditekankan untuk maksud hukum dan administratif. Akibatnya proses lingkungan yang menjalin komponen daratan dan lautan sering terabaikan.

Sumberdaya Wilayah Pesisir

Sumberdaya pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia, dimana 30% hutan bakau dunia ada di Indonesia; 30% terumbu karang dunia ada di Indonesia, 60% konsumsi protein berasal dari sumberdaya ikan, 90 persen ikan berasal dari perairan pesisir dalam radius 12 mil laut dari garis pantai. Ekosistem pesisir dapat mengurangi dampak bencana alam seperti tsunami, banjir dan erosi pantai. Sumberdaya pesisir penting bagi budaya dan tradisi masyarakat lokal serta media pertahanan keamanan (DKP 2003).

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih, (2) sumberdaya tak dapat pulih, dan (3) jasa-jasa lingkungan. Adapun sumberdaya yang dapat pulih kembali meliputi:

a. Hutan mangrove

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat-obatan.

(29)

7

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam sebagai tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya dan antara mahluk hidup itu sendiri. Terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Alikodra 2000).

Segenap kegunaan ini telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar masyarakat pesisir di tanah air. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal, adalah kawasan wisata alam. Padahal negara lain, seperti Malaysia dan Australia, wisata alam mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan (Dahuri et.al 1996).

Mangrove tumbuh subur di daerah tropis dekat ekuator. Namun demikian mereka juga dapat tumbuh di daerah subtropis, yaitu sampai pada sekitar 350 LU di Asia dan sekitar 350 LS di Afrika, Australia, dan Selandia Baru. Di tingkat Asean, jumlah area hutan mangrove yang terbesar adalah di Indonesia, diikuti oleh Malasyia, Thailand, Filipina dan Singapura. Sedangkan area mangrove yang terluas di Indonesia tercatat di Irian Jaya (Supriharyono 2000).

b. Terumbu karang

Indonesia memiliki kurang lebih 50 000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan (Dahuri et.al 1996). Terumbu karang mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota. Terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis hasil perikanan, dan sebagai bahan konstruksi. Dari segi estetika, terumbu karang dapat menampilkan pemandangan yang sangat indah.

(30)

dalam pembentukan fisik terumbu karang ialah karang lunak atau lebih dikenal sebagai Alcyonaria corals.

Secara umum terlihat jelas adanya perbedaan antara karang lunak dan karang batu, terutama pada jumlah tentakel, kekenyalan tubuh, dan kerangka yang menyusunnya. Tetapi dalam hal fisiologisnya terutama mekanisme pengaturan organ-organ dalam tubuh untuk mengambil makanan dalam air, dan mengelua rkan zat-zat yang tidak terpakai ke luar tubuh, juga proses respirasi pada prinsipnya sama dengan karang batu (Manuputty 2002).

Menurut Sukmara et.al (2002) ada empat fungsi pokok dari terumbu karang, yaitu: 1) fungsi pariwisata; keindahan karang, kekayaan biologi dan kejernihan airnya membuat kawasan terumbu karang terkenal sebagai tempat rekreasi, 2) fungsi prikanan; sebagai tempat ikan- ikan karang yang harganya mahal sehingga nelayan banyak menangkap di kawasan ini, 3) fungsi perlindungan pantai; terumbu karang tepi dan penghalang adalah pemecah gelombang alami yang melindungi pantai dari abrasi, banjir pantai, dan peristiwa perusakan lainnya yang diakibatkan oleh fenomena air laut, dan 4) fungsi keanekaragaman hayati; ekosistem ini mempunyai produktivitas dan keanekaragaman dan jenis biota yang tinggi. Keanekaragaman hayati yang hidup di ekosistem terumbu karang per unit area sebanding atau lebih besar dibandingkan dengan hal yang sama di hutan tropis.

(31)

9

c. Rumput laut

Potensi rumput laut (algae) di perairan Indonesia mencakup areal seluas 26 700 ha dengan potensi produksi sebesar 482 400 ton/tahun. Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama pada senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya karaginan, agar, dan algin. Melihat besarnya potensi pemanfaatan algae, terutama untuk ekspor, maka saat ini telah diupayakan untuk dibudidayakan. Misalnya budidaya Euchema sp telah dicoba di Kepulauan Seribu (Jakarta), Bali, Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah), Pulau Telang (Riau), dan Teluk Lampung (Dahuri et.al 1996).

Usaha budidaya rumput laut telah banyak dilakukan dan masih bisa ditingkatkan. Keterlibatan semua pihak dalam teknologi pembudidayaan dan pemasaran merupakan faktor yang mene ntukan dalam menggairahkan masyarakat untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Peranan pemerintah dalam penentuan daerah budidaya, bantuan dari badan-badan peneliti untuk memperbaiki mutu produksi serta jaminan harga yang baik dari pembeli/eksportir rumput laut sangat menentukan kesinambungan usaha budidaya komoditi ini.

d. Perikanan tangkap

Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat dengan menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha dan pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan racun.

e. Bahan mineral

(32)

Sedangkan potensi jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.

Pulau-Pulau Kecil

Dengan perbandingan luas wilayah lautan dan daratan tiga berbanding dua, memberikan wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam sumberdaya alam. Teristimewa sumberdaya alam yang dapat pulih kembali seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan sebagainya. Masih ada sumberdaya alam lain dan jasa lingkungan yang belum diusahakan, ataupun kalau sudah, masih berada pada taraf yang masih rendah dan perlu dikembangkan secara lebih baik untuk kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir yang selama ini lebih banyak merupakan objek dari kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikaruniai potensi kelautan berupa pulau-pulau besar dan kecil denga n jumlah mencapai lebih dari 17000 pulau. Potensi pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi, antara lain ekonomi, sosial, ekologi, keamanan, dan navigasi. Selama ini potensi pemanfaatan tersebut belum dikelola secara optimal, mengingat ada berbagai kendala yang dihadapi. Selain itu berbagai kepentingan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil menjadikannya cukup sensitif (Fauzi dan Anna 2005).

(33)

11

Sampai saat ini masih belum ada batasan yang tetap tentang pengertian pulau kecil baik di tingkat nasional maupun internasional, akan tetapi terdapat suatu kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular.

Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau serta dapat membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam tanah. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri 1998a).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka ada 3 hal yang dapat dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria tambahan lain yang dapat dipakai adalah derajat ketergantungan penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada lain atau pulau induknya maka pulau tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil.

(34)

eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia.

Ekosistem Pantai

Ekosistem pantai terletak antara garis air surut terendah dan air pasang tertinggi. Ekosistem ini berkisar pada daerah dimana ditemukan substrat berbatu dan berkerikil (yang mendukung sejumlah terbatas flora dan fauna sesil) hingga daerah berpasir aktif (dimana ditemukan populasi bakteri, protozoa, metazoa) dan daerah bersubstrat liat dan lumpur (dimana ditemukan sejumlah besar komunitas infauna) (Bengen 2002).

Lebih lanjut Bengen (2002) menyebutkan bahwa ada tiga tipe pantai yang perlu diketahui, yaitu: (1) pantai berbatu, (2) pantai berlumpur, dan (3) pantai berpasir. Pantai berbatu merupakan satu dari lingkungan pesisir dan laut yang subur. Kombinasi substrat keras untuk penempelan, seringnya aksi gelombang, dan perairan yang jernih menciptakan suatu habitat yang menguntungkan bagi biota laut. Biota pada zonasi pantai berbatu: (a) supralitoral: siput Littorina,

Cyanobakteri calothrix, kadang-kadang alga merah Porphyra atau alga coklat

Fucus, (b) eulitoral: kerang/teritip (barnacle) Balanus & Chthamalus, kerang (mussel) Mytilus dan alga coklat Fucus (bersama-sama), siput gastropoda (gastropodsnail) limpet, kepiting Carcinus, dan bulu babi.

Pantai berlumpur merupakan rangkaian kesatuan dengan pantai berpasir, lebih terlindung dari gerakan omb ak, berbutiran sedimen lebih halus dan mengakumulasi lebih banyak bahan organik. Dijumpai di teluk tertutup, gobah, estuaria. Dengan ciri-ciri: pergerakan air lambat, kemiringan sangat landai (datar), kandungan oksigen rendah. Pantai berpasir mempunyai kombinasi ukuran partikel yang berbeda dan variasi faktor lingkungan menciptakan suatu kisaran habitat pantai berpasir yang khas.

(35)

13

atau detritivora. Kelimpahan bakteri secara proporsional berbanding terbalik dengan ukuran sedimen. Nilai utama dari bakteri adalah dekomposer materi organik.

Perubahan bentuk pantai dipengaruhi oleh adanya proses pengendapan dan proses pengikisan didaerah pesisir. Bahan-bahan yang terangkut sungai ke lautan dalam bentuk padatan tersuspensi, seperti debu dan tanah liat, menyebabkan perairan menjadi keruh dan berwarna coklat, sedangkan bahan angkutan dalam bentuk butiran yang berukuran lebih besar dan lebih berat, seperti pasir, akan mengendap di mulut muara dan sekitarnya, sehingga akan tebentuk perubahan kontur daratan pantai yang baru (Kartahadimadja 1994).

Kegiatan vulkanik terkadang menjadikan topografi berbukit-bukit dan sering terjadi peremajaan tanah dan membentuk tanah muda yang biasa disebut regosol. Tanah regosol yang terjadi di sepanjang pantai disebut sebagai bukit pasir, ini terbentuk terbentuk dari pasir di pantai yang berasal dari abu vulkanik oleh gaya angin yang bersifat deflasi dan akumulasi. Gaya ombak laut memilih pasir ringan dilempar jauh dari daratan dan pasir berat berwarna hitam tertinggal dipantai yang landai. Pasir yang kering kemudian tertiup angin ke arah daratan dan diendapkan pada tempat yang bervegetasi sebagai penumpu (biasanya

Xerophyta dan Halophyta), sehingga terbentuk deretan bukit pasir. Di Irian Jaya pernah ditemukan 15 deretan bukit pasir pada pantai berjarak 15 km dari tepi laut (Darmawijaya 1997).

Prinsip Dasar Pengelolaan Pesisir Terpadu

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir pesisir dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh, merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.

(36)

a. Keterpaduan wilayah/ekologis

Secara spasial dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada kawasan pesisir merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagaimya. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri, pertanian, dan rumah tangga, serta sedimentasi tidak dapat dilakukan hanya di kawasan pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya.

b. Keterpaduan sektor

Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan pesisir adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Akibatnya seringkali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir antar sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka dalam perencanaan dan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini meliputi keterpaduan secara horizontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya.

c. Keterpaduan disiplin ilmu

(37)

15

budaya masyarakat pesisir. Dengan dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula seperti hidro-oseanografi, biologi laut, dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara umum, keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir adalah ilmu- ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum, budaya, dan sosiologi.

d. Keterpaduan stakeholders

Segenap keterpaduan diatas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan atau pengelola pembangunan di kawasan pesisir. Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan dan pengelola sumberdaya alam pesisir antara lain terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir.

Sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.10/MEN/2002 Tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, bahwa prinsip dasar pengelolaan pesisir terpadu meliputi: i) keterpaduan; ii) desentralisasi pengelolaan; iii) pembangunan berkelanjutan; iv) keterbukaan dan peranserta masyarakat; dan v) kepastian hukum (DKP 2002), dengan uraian sebagai berikut:

i. Keterpaduan

a. Keterpaduan perencanaan sektor secara horisontal dan vertikal

(38)

b. Keterpaduan ekosistem darat dan laut

Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis, misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah administratif Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai basis perencanaan; sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir.

c. Keterpaduan sains dan manajemen

Pengelolaan pesisir terpadu perlu didasarkan pada masukan data dan informasi ilmiah yang absah untuk memberikan berbagai alternatif dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi, karakteristik sosial-ekonomi-budaya, kelembagaan dan biogeofisik lingkungan setempat.

d. Keterpaduan antar negara

Pengelolaan pesisir di wilayah perbatasan dengan negara tetangga perlu diintegrasikan kedalam kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumberdaya pesisir masing- masing negara tersebut. Keterpaduan kebijakan ataupun perencanaan antar negara antara lain mengendalikan faktor- faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir yang bersifat lintas negara, misalnya di pesisir antar Pulau Batam dengan Singapura.

ii. Desentralisasi pengelolaan

Sejalan dengan otonomi daerah, maka kewenangan pengelolaan pesisir telah didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan dalam pasal 10 UU NO.22/1999. Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan tersebut meliputi bidang eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, tata ruang dan administrasi serta penegakan hukum di laut. Untuk itu perlu diperkuat kemampuan kelembagaan perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

iii. Pembangunan berkelanjutan

(39)

17

pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya pesisir yang akan datang.

Untuk itu, laju pemanfaatan sumberdaya pesisir harus dilakukan kurang atau sama dengan laju regenerasi sumberdaya hayati atau laju inovasi untuk menemukan substitusi sumberdaya nir-hayati di pesisir. Dalam hal ketidakmampuan manusia mengantisipasi dampak lingkungan di pesisir akibat berbagai aktivitas, maka setiap pemanfaatan harus dilakukan dengan hati-hati, sambil mengantisipasi dampak negatifnya.

iv. Keterbukaan dan peranserta masyarakat

Adanya keterbukaan di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memahami bahwasanya perencanaan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya untuk kepentingan masyarakat, selain itu juga memberikan kesempatan kepada masyarakat berperanserta dalam menyusun perencanaan, melaksanakan, dan turut serta melakukan pemanfaatan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaannya.

Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan, karena pada dasarnya sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumberdaya alam dan lingkungan akan menyebabkan kemandekan pembangunan itu sendiri (Fauzi 2004).

(40)

lingkungan sehingga menghilangkan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati layanan yang sama.

Kedua, menyangkut alasan ekologis. Keanekaragaman hayati, misalnya memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada hal yang mengancam fungsi ekologi tersebut.

Faktor ketiga yang menjadi alasan perlunya memperhatikan aspek keberlanjutan adalah alasan ekonomi. Alasan dari sisi ekonomi memang masih menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah aktivitas ekonomi selama ini sudah atau belum memenuhi kriteria berkelanjutan. Dimensi keberlanjutan ekonomi sangat komplek, sehingga sering aspek keberlanjutan dari sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada pengukuran kesejahteraan antar generasi.

Banyaknya tantangan, peluang dan potensi yang dimiliki oleh kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil serta tuntutan adanya peningkatan kesadaran akan keberlanjutan pengelolaannya, maka Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Ditjen P3K) (2003) merumuskan visinya sebagai berikut:

“Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sumber penghidupan lestari”. Sedangkan misi dalam mencapai visi pembangunan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah:

“Mendorong pembangunan ekonomi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan melalui pemberdayaan masyarakat, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya dan ruang dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi”.

Untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan, maka disusun lima strategi implementasi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai berik ut (Ditjen P3K 2003):

1 Pemberdayaan masyarakat pesisir

2 Penataan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil 3 Peningkatan kualitas sumberdaya pesisir

4 Pemberdayaan pulau-pulau kecil 5 Pengelolaan konservasi pesisir dan laut

Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut

(41)

19

yang secara vertikal ada di bawahnya atau kepada lembaga lokal dari pemerintah pusat ke pemerintah propinsi pada kasus negara kesatuan. Selanjutnya, kepada pemerintah daerah atau lokal atau bahkan kepada organisasi masyarakat. Oleh karena itu, otonomi lokal atau otonomi daerah merupakan hal yang terpenting dalam proses desentralisasi (Nikijuluw 2002).

Adanya UU Nomor 22 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, telah menggeser kewenangan pengelolaan wilayah laut, termasuk kawasan pesisir dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Disebutkan dalam UU tersebut, bahwa propinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil garis pantai (Pasal 10), sedangkan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengelola wilayah laut sejauh sepertiga dari batas kewenangan bagi Pemda untuk mengelola sumberdaya pesisir secara lestari (Amanah 2004).

Dasar desentralisasi pembangunan, khususnya wilayah pesisir dan laut adalah UU 22/99 tentang Pemerintah Daerah. Pada pasal 2 dan 3 UU tersebut dikatakan bahwa wilayah NKRI dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom. Pada pasal 10 UU 22/99 dikatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut meliputi:

a eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut

b pengaturan kepentingan administratif c pengaturan tata ruang

d penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah dan dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat, dan

e bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara

Uraian lebih jauh mengenai UU 22/99 ini dijabarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. PP 25/00 pada intinya membagi secara sedikit lebih rinci antara tugas dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Wewenang desentralisasi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dirinci pada pasal 3 ayat 2 PP 25/00 sebagai berikut:

(42)

b eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan propinsi

c konservasi dan pengelolaan plasma nutfah, spesifik lokasi, dan suaka perikanan di wilayah laut kewenangan propinsi

d pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah laut kewenangan propinsi

e pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah kewenangan propinsi Dengan adanya UU 22/99 dan PP 25/00, Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten, atau Kota memiliki pegangan yang jelas dan pasti dalam melaksanakan pembangunan wilayah pesisir dan laut di daerah masing- masing (Nikijuluw 2002).

Pariwisata

Secara etimologi, kata “pariwisata” berasal dari bahasa Sansekerta, dan bukan berarti “tourisme” (bahasa Belanda) atau “tourism” (bahasa Inggris). Kata “pariwisata” dalam pengertian ini terdiri dari dua suku kata yaitu masing- masing kata “pari’ dan “wisata”. “Pari” berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar, dan lengkap, sedangkan “wisata’ berarti perjalanan, bepergian yang dalam hal ini sinonim dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris (Yoeti 1996)

(43)

21

Batasan Pa riwisata

Keinginan manusia untuk menikmati keaslian alam harus diakui sebagai salah satu faktor yang mendorong pesatnya perkembangan bisnis pariwisata, yang secara umum bisa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu pariwisata yang berbasis daratan dan pariwisata berbasis maritim. Umumnya pengelolaan pariwisata bahari masih sangat parsial, apabila cara pengelolaan parsial ini tetap dipertahankan, pengembangan wisata bahari tidak akan mencapai hasil maksimum (Kamaluddin 2002).

Pertumbuhan pariwisata telah mampu memberikan berbagai keuntungan ekonomi pada wilayah pesisir. Menurut Pendit dalam Murahman (2000) menyatakan bahwa pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, serta menstimulasi sektor-sektor ekonomi lainnya. Selanjutnya sebagai sektor yang kompleks juga meliputi industri- industri seperti kerajinan, cinderamata, penginapan, dan transportasi secara ekonomi.

Wisata terjadi karena adanya keterpaduan antara berbagai fasilitas yang saling mendukung dan berkesinambungan. Setiap fasilitas memiliki peran yang sama pentingnya dalam mewujudkan wisata tersebut. Fasilitas- fasilitas yang dilibatkan dalam penyelenggaraan wisata itu lazim disebut sebagai komponen wisata (Suyitno 2001), yang antara lain meliputi hal- hal berikut:

1 Sarana transportasi, berkaitan erat dengan mobilisasi wisatawan. Dalam perkembangan pariwisata dewasa ini alat transportasi tidak hanya dipakai sebagai sarana untuk membawa wisatawan dari satu tempat ke tempat lain saja, namun juga digunakan sebagai atraksi wisata yang menarik.

2 Sarana akomodasi, sepintas lalu sarana akomodasi berfungsi sebagai tempat istirahat sementara selama menunggu kegiatan wisata yang utama, namun ada juga wisatawan tertentu yang menghabiskan waktu wisatanya hanya dengan berdiam diri di hotel untuk sekedar santai, membaca, berenang, atau kegiatan lain.

(44)

4 Objek dan atraksi wisata, kedua hal ini dapat dibedakan atas dasar asal-usulnya yang menjadi karakteristik objek atau atraksi tersebut, yaitu: objek atau atraksi wisata yang bersifat alami, buatan manusia, atau perpaduan antara buatan manusia dan keadaan alami.

5 Sarana hiburan, merupakan salah satu bentuk atraksi wisata. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memasukkan hiburan sebagai komponen wisata antara lain: daya tarik, kapasitas, fasilitas, lokasi, dan biaya.

6 Toko cinderamata, komponen wisata ini erat kaitannya dengan oleh-oleh atau kenang-kenangan dalam bentuk barang tertentu. Barang-barang yang dijual biasanya memiliki ciri khusus sesuai dengan kondisi daerah setempat.

7 Pramuwisata dan pengatur wisata, kedua-duanya merupakan petugas purna jual yang bertindak sebagai wakil perusahaan yang mengelola wisata, untuk membawa, memimpin, memberi informasi, dan layanan lain kepada wisatawan sesuai dengan acara yang telah disepakati.

Kegiatan pariwisata merupakan kegiatan jasa pelayanan, maka dalam mewujudkan produk untuk mendukung pelayanan pariwisata akan sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya. Aset utama dalam menciptakan produk pariwisata adalah sumberdaya fisik, sumberdaya buatan, dan sumberdaya budaya.

Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan apa yang tercantum di dalam pasal 1 UU RI no 9 tahun 1995 tentang Kepariwisataan. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, pengusaha objek, dan daya tarik wisata, serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

Sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing- masing kawasan dan lokasi pariwisata, maka muncullah beragam jenis pariwisata yang dikembangkan sebagai kegiatan. Menurut Yoeti (1996), pengelolaan kepariwisataan perlu dibedakan antara pariwisata satu dengan jenis pariwisata lainnya, sehingga kebijakan spesifik dapat diambil guna perencanaan dan pengembangan selanjutnya. Lebih lanjut lagi, Yoeti (1996) mengemukakan beberapa jenis pariwisata yang ada, yaitu:

(45)

23

WISATA BUDAYA

WISATA SEJ ARAH WISATA ETNIK

EKOWISATA

WISATA ALAM

pariwisata regional, lebih luas lingkupnya dibandingkan pariwisata lokal, contoh, kepariwisataan Sumatera Barat, atau Bali, c) pariwisata nasional, d) pariwisata regional- internasional, dan e) pariwisata internasional.

2 Menurut pengaruhnya terhadap neraca pembayaran, a) pariwisata aktif, ditandai dengan masuknya wisatawan asing ke suatu negara tertentu secara aktif, karena hal tersebut menambah neraca pemasukan devisa bagi negara yang dikunjungi, dan b) pariwisata pasif, ditandai dengan gejala keluarnya warga negara negara sendiri keluar negeri, sehingga aliran devisa mengalir ke negara lain.

3 Menurut tujuan perjalanan, a) pariwisata bisnis, b) pariwisata liburan, dan c) pariwisata pendidikan.

4 Menurut waktu kunjungan, a) seasonal tourism (pariwisata yang dilakukan berdasarkan musim) dan b) occasional tourism (pariwisata yang didasarkan pada adanya kejadian)

5 Menurut objeknya, a) pariwisata budaya, b) pariwisata alam c) pariwisata kesehatan, d) pariwisata perdagangan, e) pariwisata olahraga, f) pariwisata politik, g) pariwisata sosial, dan h) pariwisata rohani.

Sedangkan menurut Smith (1989) dalam Nuryanti (2001), tipe pariwisata dan interaksinya sebagai suatu dasar pijakan terbagi kedalam dua pembagian, yaitu wisata alam dan wisata budaya (Gambar 2).

(46)

Selanjutnya Nuryanti (2001) membagi tipe wisatawan dan tingkat adaptasinya terhadap alam sekitar menjadi tiga bagian (Tabel 1).

Tabel 1 Tipe wisatawan dan tingkat adaptasi terhadap alam sekitar

Tipe wisatawan Jumlah Tingkat adaptasi

• explorer (penjelajahan dan petualang) • minat khusus

Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) (1994) kawasan dilindungi (protected area) adalah suatu areal, baik darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya- upaya efektif lainnya. IUCN mengelompokan kawasan dilindungi terdiri atas 6 kategori dan dari masing- masing kategori tersebut dapat diketahui tujuan pengelolaannnya (Tabel 2).

Tabel 2 Tujuan pengelolaan yang disesuaikan dengan kategori kawasan konservasi (IUCN 1994).

Kategori Kawasan

Perlindungan sumberdaya alam sepesifik dan perkembangan budaya

Keterangan kategori kawasan:

I. :strict nature reserve/wilderness area

ia = strict nature reserve ib = wilderness area

II. :national park

III. :natural monument

IV. :habitat/species management area

V. :protected landscape/seascape

(47)

25

Tujuan pengelolaan: 1 = tujuan primer 2 = tujuan sekunder

3 = berpotensi untuk menjadi sebuah tujuan, dan - = tidak relevan

(48)

Kawasan Konservasi (Protected Area)

Kawasan Suaka Alam (Strict Reserve)

Kawasan Pelestarian Alam (Conservation Reserve)

Kawasan Taman Buru

Gambar 3 Kategori kawasan konservasi di Indonesia (Setiawan dan Alikodra 2001)

Setiap kategori kawasan konservasi memiliki fungsi, karakteristik, dan manajemen yang berbeda karena memiliki tujuan penetapan dan pengelolaan yang berbeda. Akan tetapi semua KK mempunyai fungsi pokok yang sama yaitu pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Pengertian kategori kawasan konservasi menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

a) kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan

(49)

27

c) suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya d) kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di

darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

e) taman national adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi

f) taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi, dan g) taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama

dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

Kawasan Konservasi dan Permasalahannya

Pembangunan kawasan konservasi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai gangguan dan ancaman yang menyebabkan kerusakan sehingga kawasan konservasi belum dapat berfungsi secara optimal. Berbagai bentuk gangguan dan ancaman terhadap kawasan konservasi adalah: pencurian dan penebangan liar, perambahan, peredaran dan perdagangan flora dan fauna secara illegal, perburuan liar, penangkapan melebihi kuota, dan penyelundupan flora dan fauna langka dan dilindungi (Sukiran 2000).

(50)

keuntungan lestari bagi masyarakat. Pelestarian memegang peranan penting dalam pembangunan sosial ekonomi di lingkungan pedesaan serta turut mengembangkan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat penghuni pedesaan tersebut (MacKinnon et.al 1993).

Menurut McNeely (1995) permasalahan-permasalahan umum yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan konservasi termasuk;

1 lemahnya konsititusi national 2 konflik dengan penduduk lokal

3 konflik antar instansi pemerintah (Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Irigasi dan Pertambangan)

4 ketidakmampuan dalam mengelola, dan

5 ketidakmantapan dan ketidakmampuan dalam pendanaan.

Selanjutnya ole h Schweithelm et.al (1998) dalam Soekmadi (2002) menjelaskan bahwa terdapat tujuh masalah konservasi di dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, yaitu;

1 pengelolaan kawasan yang kurang komprehensif

2 kurangnya pengertian dan dukungan konservasi dari berbagai sektor di masyarakat umum, pemerintah dan pihak swasta

3 lemahnya sumberdaya manusia, kemampuan yang tepat, insentif dan dukungan politik untuk Direktorat Jenderal PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) di dalam melaksanakan fungsi pengelolaan kawasan konservasi

4 kurangnya insentif bagi pemerintah lokal, masyarakat di sekitar kawasan dan polisi hutan untuk membantu di dalam perlindungan kawasan konservasi 5 lemahnya pengelolaan di dalam unit pengelolaan kawasan konservasi

6 investasi yang diperole h dari donatur tidak efektif diterapkan untuk pengamanan kawasan

7 sangat sedikit sektor yang memiliki keahlian dan kapabilitas dalam ilmu konservasi biologi dan yang terkait lainnya, dan

(51)

29

Dephutbun (2000) menyebutkan beberapa masalah yang menyebabkan gangguan terhadap kawasan konservasi adalah:

1 Indonesia belum mampu mengubah potensi ekologis yang dimiliki menjadi potensi ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara optimal

2 pendidikan, motivasi, dedikasi dan etos kerja serta tingkat kesejahteraan pegawai yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi umumnya masih rendah

3 kelembagaan sebagai alat menajemen belum efektif

4 kesenjangan antara permintaan dengan pasokan (khususnya permintaan akan kayu)

5 tekanan masyarakat terhadap kawasan yang semakin meningkat 6 konflik dengan sektor lain

7 rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan

8 tuntutan masyarakat terhadap nilai ekonomi langsung dari kawasan konservasi masih tinggi, dan

9 kesadaran masyarakat di sekitar kawasan konservasi akan konservasi sumberdaya hutan masih rendah.

Masalah- masalah tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi satu sama lain saling berkaitan dan penanggulangannya memerlukan kebijakan yang komprehensif melalui koordinasi antar instansi terkait. Dalam merespon berbagai masalah-masalah yang telah diuraikan, pemerintah, LSM, dan kalangan bisnis harus mencari berbagai inovasi baru untuk kawasan ya ng dilindungi, memperbaiki pengelolaan kawasan yang ada, dan membangun kerjasama yang positif dengan masyarakat tinggal di dalam dan di sekitar kawasan yang dilindungi. Pendekatan-pendekatan baru dalam kerjasama untuk memperbaiki pengelolaan dari pembangunan kawasan yang dilindungi terdiri atas 10 prinsip (McNeely 1995) yaitu:

(52)

masyarakatnya, insentif terbesar untuk mereka untuk melindungi sumber daya dan rendahnya biaya pemerintah yang dikeluarkan.

2 Memenuhi kebutuhan-kebutuhan lokal. Legislasi, kebijakan pengelola, dan pelaksanaan praktis untuk kawasan yang dilindungi harus memfasilitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lokal dan tujuan dari konservasi keanekaragaman hayati.

3 Perencanaan yang holistik. Pengelolaan kawasan yang dilindungi dan kawasan-kawasan berdekatan/berbatasan harus direncanakan bersama.

4 Perencanaan kawasan yang dilindungi sebagai suatu sistem. Kawasan yang dilindungi perlu disusun dan dikelola sebagai suatu sistem yang ditujukan untuk tujuan-tujuan nasional dan internasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan.

5 Mendefinisikan atau menetapkan tujuan-tujuan pengelolaan. Banyak perbedaan pendekatan administratif untuk mengelola konservasi alam daratan dan lautan yang memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan yang ditentukan oleh tujuan-tujuan pengelolaan.

6 Perencanaan tempat pengelolaan secara individual, hubungannya dengan suatu sistem. Setiap kawasan yang dilindungi berbeda dalam spesies dan habitat, populasi masyarakat lokal, sejarah, iklim dan berbagai faktor lainnya. Oleh karena itu pengelolaan kebutuhan masyarakat dan kelompok yang berkepentingan harus mendapat perhatian khusus dan dimasukkan kedalam rencana pengelolaan.

7 Mengelola secara adaptif. Kondisi-kondisi yang berubah secara cepat dari setiap rencana pengelolaan untuk suatu kawasan memerlukan masukan kapasitas adaptif dengan perubahan-perubahan kondisi iklim, ekonomi, populasi, dan pengembangan.

(53)

31

9 Membentuk jaringan kerja dengan dukungan institusi- institusi. Pemerintah pusat tidak dapat bertanggungjawab sendiri terhadap keseluruhan kegiatan konservasi alam, untuk itu diperlukan dukungan dan institusi lain yang dapat berkontribusi untuk tujuan konservasi nasional.

10 Membangun dukungan publik. Upaya- upaya terbaik yang dilakukan adalah membutuhkan dukungan dari berbagai sektor untuk menjamin informasi tentang bagaimana kawasan yang dilindungi memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti dukungan media massa, universitas, museum, kebun binatang, aquaria, dan kebun botanik.

Manfaat Pembangunan Pariwisata

Pertumbuhan pariwisata telah mampu memberikan berbagai keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan pada berbagai wilayah pesisir. Kecenderungan wisatawan untuk menikmati wisata di wilayah pesisir telah mendorong pertumbuhan di wilayah tersebut, mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat terlibat dalam kegiatan pariwisata seperti peningkatan fasilitas dan aksesibilitas.

Menurut Suwantoro (1997), manfaat pembangunan pariwisata adalah sebagai berikut:

1 Bidang ekonomi

• meningkatakan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak lansung.

• sebagai penghasil devisa, pariwisata dapat mendukung kelanjutan pembangunan di sektor lain.

• meningkatkan dan memeratakan pendapatan masyarakat melalui belanja wisatawan, baik langsung maupun tidak langsung.

• meningkatkan penjualan barang-barang lokal.

• menunjang pembangunan daerah, karena pembangunan pariwisata cenderung tidak terpusat di kota melainkan tersebar terutama di daerah pesisir.

2 Bidang sosial budaya

(54)

mampu melestarikan dan mengembangkan budaya yang ada agar pariwisata lebih berkembang.

3 Bidang lingkungan hidup

Pada dasarnya pengembangan pariwisata pesisir adalah memanfaatkan kondisi lingkungan yang menarik, dengan demikian pengembangan wisata alam senantiasa dalam keadaan baik dan tentu harus terhindar dari kerusakan. Perencanaan pariwisata yang baik, teratur dan terarah secara tidak langsung akan menjaga lingkungan dan ekosistem yang ada.

Keberhasilan suatu pembangunan sangat ditentukan oleh keberhasilan di dalam membangun sumberdaya manusia yang erat hubungannya dengan pembangunan pendidikan secara menyeluruh, terarah, dan terpadu, sehingga kualitas sumberdaya manusia itu sendiri dapat diselaraskan dengan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sektor pembangunan (Depdikbud 1995 dalam Suryani et.al

2004). Manfaat optimal pembangunan pariwisata dapat diraih apabila didukung oleh SDM yang handal dan berkualitas melalui peningkatan pendidikan formal, nonformal, maupun informal.

Arah Pengembangan Pembangunan Pariwisata Nasional

Dalam pengembangan pariwisata sangat diperlukan visi dan misi untuk memberikan latar belakang sekaligus sebagai tanggapan menghadapi tantangan masa depan sehingga dapat memberikan araha n tahap demi tahap pelaksanaan pembangunan. Pada skala nasional tertuang visi dan misi rencana induk pengembangan pariwisata nasional 1997 (Anonim 1997). Visi pengembangan pariwisata nasional adalah:

• pembangunan ekonomi dilaksanakan seiring dengan peningkatan SDM • pembangunan ekonomi dilaksanakan dengan mengacu prinsip demokrasi

ekonomi, kemandirian, dan peningkatan pemerataan kemakmuran rakyat • prinsip demokrasi ekonomi dan kemandirian mengandung arti bahwa

(55)

33

• azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi diwujudkan dalam kemitraan usaha yang kokoh antar koperasi, negara, dan swasta.

Sedangkan misi pengembangan pariwisata nasional adalah sebagai berikut:

• peningkatan perolehan devisa dan pendapatan yang diperoleh dari pengeluaran wisatawan dan efek bergandanya

• peningkatan kualitas SDM di semua tingkat dan semua bidang sebagai ujung tombak untuk meningkatkan posisi kompetitif

• keberpihakan kepada pengusaha menengah ke bawah serta masyarakat lokal • peningkatan peranan sektor pariwisata dalam mengurangi kesenjangan

pertumbuhan dan perkembangan antara wilayah barat dan wilayah timur Indonesia serta antar propinsi

• peningkatan kemitraan antar berbagai departemen teknis, antar industri, swasta dan masyarakat

• peningkatan kerjasama dengan negara lain atas dasar komplementaritas untuk mencapai keuntungan bersama

• peningkatan porsi keuntungan yang diperoleh dari investasi asing untuk tinggal di Indonesia

• peningkatan pemilihan dan operasi oleh pengusaha nasional

• peningkatan peranan iptek di dalam pembangunan pariwisata sebagai suatu

knowledge based dan bukan sekedar resources based industry

• peningkatan pembangunan pariwisata yang berwawasan lingkungan dan pelestarian lingkungan yang berwawasan pariwisata.

Pengelolaan Pesisir Terpadu Untuk Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

(56)

Pengelolaan pesisir terpadu dimaksudkan untuk mengoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor. Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi: pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan pengawasan (Sorensen dan Mc Creary dalam Dahuri et.al 1996). Pencapaian pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT), hal ini berdasarkan 4 alasan pokok, yaitu:

a terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antar kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas

b terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan

c terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki ketrampilan, keahlian, kesenangan, dan bidang pekerjaan secara berbeda

d secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan secara monokultur sangat rentan terhadap perubahan internal dan eksternal yang menjurus kepada kegagalan usaha.

Dalam pengembangan konsep terpadu diharapkan semua kegiatan di wilayah pesisir dapat berkesinambungan. Berkesinambungan merupakan suatu konsep nilai yang meliputi tanggung jawab generasi saat ini terhadap generasi yang akan datang tanpa harus mengorbankan peluang generasi sekarang untuk tumbuh dan berkembang.

Anonim (1997) menyatakan bahwa pendekatan pengembangan pariwisata berkelanjutan menghendaki ketaatan azas-azas perencanaan sebagai berikut:

• prinsip pengembangan pariwisata yang berpijak pada aspek pelestarian dan berorientasi ke depan

• penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal • prinsip pengelolaan aset sumberdaya yang tidak merusak tapi lestari

(57)

35

• keselarasan ya ng sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup masyarakat lokal dengan bermuara pada apresiasi warisan budaya, lingkungan hidup dan jati diri bangsa dan agama

• antisipasi dan monitoring terhadap perubahan yang terjadi akibat program pariwisata, dan berorientasi pada potensi lokal dan kemampuan masyarakat sekitar.

Dalam pemenuhan hidup, disatu sisi seringkali sumberdaya alam dianggap sebagai sumberdaya milik umum yang dapat dimanfaatkan sekehendak hati tanpa memperhatikan kelestariannya, sehingga keadaan sumberdaya alam tersebut akan semakin menipis dan kemampuan dalam menyediakan jenis-jenis lingkungan keperluan pembangunan dan kehidupan manusia akan semakin menurun. Disisi lain kelangsungan ekonomi yang terus berkembang membuat sumberdaya alam menjadi alternatif eksploitasi, oleh sebab itu diperlukan perimbangan yang saling menguntungkan dalam memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya alam (Husni

(58)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di wilayah pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur (Gambar 4). Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, tahap pertama: sebelum ke lapangan dilakukan pengumpulan data dan informasi tentang kondisi kawasan melalui studi literatur, seperti laporan penelitian dan studi-studi terdahulu yang terkait. Tahap kedua: dilakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan metode pengumpulan data. Tahap ketiga: pengumpulan data lapangan. Ketiga tahap tersebut dilaksanakan dalam kurun waktu selama empat bulan, yaitu dari bulan April-Juli 2005.

Pengumpulan Data

Data potensi yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan wawancara mendalam dengan masyarakat dan instansi yang terkait, sedangkan data sekunder diperoleh dari pengumpulan data yang sudah ada pada instansi pemerintah maupun swasta. Data potensi yang dikumpulkan adalah:

a Data primer

Data primer meliputi: daya tarik kawasan, kadar hubungan (kondisi jalan darat dan air, frekwensi kendaraan umum dari pusat penyebaran wisata), kondisi iklim, pelayanan masyarakat, ketersediaan air bersih, dan prasarana dan sarana penunjang.

b Data sekunder

Data sekunder meliputi: potensi pasar, kadar hubungan (jarak jalan darat dan air, jumlah kendaraan bermotor/perahu yang berada di lokasi), kondisi lingkungan sosial ekonomi, akomodasi, keamanan, dan hubungan dengan objek wisata lain.

(59)

37

Gambar

Gambar 2 Tipologi jenis wisata
Tabel 1 Tipe wisatawan dan tingkat adaptasi terhadap alam sekitar
Gambar 3 Kategori kawasan konservasi di Indonesia (Setiawan dan Alikodra 2001)
Gambar 4 Lokasi penelitian kawasan pariwisata pesisir Sendang Biru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jurnal Perpajakan (JEJAK)| Vol. Tahun 2014 jumlah realisasi penerimaan pajak reklame sebesar Rp. Jumlah kontribusi yang diberikan kepada Pemerintah Kota Malang sebesar

Media audio visual diam ; sound slide, film rangkai bisu.. Audio semi gerak ; tulisan jauh

protein hewani dari ikan tersebut diperlukan sumberdaya perikanan perairan umum ini suatu penelitian yang dapat menggambarkan merupakan penghasil ikan air tawar utama

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini menimbulkan pengaruh terhadap seluruh aktivitas yang dilakukan oleh setiap instansi, baik

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efek Pembagian Wilayah Kerja Kader

[r]

penilaian dalam hal ini tidak lagi terpadu melalui tema, melainkan sudah terpisah-pisah sesuai dengan Kompetensi Dasar dan Indikator mata pelajaran.  Nilai akhir pada

Powered by