• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Metode Inverse Distance dan Kriging dalam Pemetaan Fosfor Tanah Sawah Kabupaten Ngawi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Metode Inverse Distance dan Kriging dalam Pemetaan Fosfor Tanah Sawah Kabupaten Ngawi"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

CHICHI NOVIANTI. Perbandingan Metode Inverse Distance Dan Kriging Dalam Pemetaan Fosfor Tanah Sawah Kabupaten Ngawi. Dibimbing oleh MOHAMMAD MASJKUR dan MUHAMMAD NUR AIDI.

Teknik interpolasi yang umumnya digunakan dalam bidang pertanian adalah Inverse Distance dan Kriging. Kedua metode tersebut menduga nilai dari lokasi yang tidak diambil contoh tanahnya berdasarkan pada pengukuran dari lokasi sekitarnya dengan pembobot tertentu. Pemilihan pembobot yang optimal dapat diketahui dengan membandingkan nilai RMSE yang didapatkan. Tingkat keakuratan pendugaan dari kedua metode dapat diketahui dengan membandingkan nilai goodness of prediction statistics (G) yang diperoleh.

Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan pendugaan menggunakan Inverse Distance dan Kriging untuk mengetahui metode optimum bagi pemetaan nilai P (fosfor) tanah sawah di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan data survey hara P areal sawah Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Contoh tanah merupakan contoh komposit pada kedalaman 0-20cm terdiri dari 10-15 sub contoh. Data ini terbagi menjadi dua berdasarkan lokasinya, yaitu Ngawi 1 dan Ngawi 2 yang masing-masing n berukuran 43 dan 44.

(2)

PERBANDINGAN METODE

INVERSE DISTANCE

DAN

KRIGING

DALAM PEMETAAN FOSFOR TANAH SAWAH

KABUPATEN NGAWI

CHICHI NOVIANTI

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERBANDINGAN METODE

INVERSE DISTANCE

DAN

KRIGING

DALAM PEMETAAN FOSFOR TANAH SAWAH

KABUPATEN NGAWI

CHICHI NOVIANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

É

É

ΟŠ

Ï

m

§

9

$#

Ç

⎯≈

Η

u

÷

q

§

9

$#«!$#

Ο

ó

¡

Î

0

(5)

Judul Skripsi : PERBANDINGAN METODE

INVERSE DISTANCE

DAN

KRIGING

DALAM PEMETAAN FOSFOR TANAH

SAWAH KABUPATEN NGAWI

Nama

: Chichi Novianti

NRP

: G14103042

Menyetujui:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Ir. Mohammad Masjkur, MS

Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi, MS

NIP. 131578817

NIP.131842408

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. Hasim, DEA

NIP. 131578806

(6)

ABSTRAK

CHICHI NOVIANTI. Perbandingan Metode Inverse Distance Dan Kriging Dalam Pemetaan Fosfor Tanah Sawah Kabupaten Ngawi. Dibimbing oleh MOHAMMAD MASJKUR dan MUHAMMAD NUR AIDI.

Teknik interpolasi yang umumnya digunakan dalam bidang pertanian adalah Inverse Distance dan Kriging. Kedua metode tersebut menduga nilai dari lokasi yang tidak diambil contoh tanahnya berdasarkan pada pengukuran dari lokasi sekitarnya dengan pembobot tertentu. Pemilihan pembobot yang optimal dapat diketahui dengan membandingkan nilai RMSE yang didapatkan. Tingkat keakuratan pendugaan dari kedua metode dapat diketahui dengan membandingkan nilai goodness of prediction statistics (G) yang diperoleh.

Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan pendugaan menggunakan Inverse Distance dan Kriging untuk mengetahui metode optimum bagi pemetaan nilai P (fosfor) tanah sawah di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan data survey hara P areal sawah Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Contoh tanah merupakan contoh komposit pada kedalaman 0-20cm terdiri dari 10-15 sub contoh. Data ini terbagi menjadi dua berdasarkan lokasinya, yaitu Ngawi 1 dan Ngawi 2 yang masing-masing n berukuran 43 dan 44.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Balimbingan, Sumatra Utara pada tanggal 15 Nopember 1984. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Tahun 1997, penulis lulus Sekolah Dasar Negeri 091421 Kecamatan Sidamanik, kemudian dilanjutkan di MTs Dharma Pertiwi Emplasmen Bahbutong sampai tahun 2000. Penulis menamatkan pendidikan menengah lanjutan atas di SMU Plus PMS Pematang Raya tahun 2003, dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

(8)

PRAKATA

Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, puji dan syukur yang tak pernah habis saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul Perbandingan Metode Inverse Distance Dan Kriging Dalam Pemetaan Fosfor Tanah Sawah Kabupaten Ngawi. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya.

Secara khusus saya mengucapkan banyak sekali terima kasih kepada Bapak Ir. Mohammad Masjkur, MS dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi, MS atas segala bimbingan dan arahannya sehingga terselesaikannya karya ilmiah ini. Terima kasih juga saya ucapkan kepada seluruh dosen Departemen Statistika atas segala ilmu dan pengajarannya, dan kepada seluruh staf Departemen Statistika.

Kepada Christian Aditya Girsang, terima kasih karena telah membantu mencarikan software, terima kasih juga untuk Pak Jojon dari Balai Pusat Penelitian Tanah Laladon, Om dan Tante Ghani, Firdaus PS, Edo Muhammad Syuhada, Arta Yunita, Rina Hartini, Ari Lestari, Eka Yusnita, Anggoro Fajrin, Dian Rara, Ahmad Rasyid, Agus ‘Komti’, Ganda Purba, Elian Dohot Sidauruk, Andar Ebsani Girsang, Lismawaty Saragih, Rosida Siagian, Juliana PD, Roy Mardi Saragih, dan Sudiyanto Purba. Kepada teman-teman Statistika 40 dan teman-teman AF-O-FA, semoga persaudaraan kita tak lekang dimakan jarak dan waktu.

Mba Yoli, Teh Odonk, Mba Ambar, Indie, Mba Irma, Mba Dian, Risty, Mery, Asiah, Purna, dan semua teman yang pernah berbagi suka duka di NF, terima kasih atas kebersamaannya, dan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Saya menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam karya ilmiah ini. Namun saya yakin karya ilmiah ini akan membawa manfaat, karena ilmu sekecil apapun bisa membawa manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Juli 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 1

Interpolasi Spasial ... 1

Metode Inverse Distance... 1

Metode Kriging ... 2

Variogram... 2

Verifikasi ... 4

BAHAN DAN METODE ... 4

Bahan... 4

Metode... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4

Parameter Pembobot Inverse Distance Optimum... 5

Pemilihan Model Variogram ... 5

Perbandingan Inverse Distance dengan Kriging ...6

SIMPULAN ... 7

SARAN ... 7

DAFTAR PUSTAKA ... 7

(10)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Statistika deskriptif data... 4

2. Nilai rata-rata, ragam dugaan, dan ragam sisaandata Ngawi 1... 5

3. Nilai rata-rata, ragam dugaan, dan ragam sisaandata Ngawi 2... 5

4. Nilai RMSE Inverse Distance... 5

5. Nilai ragam galat dan RMSE data Ngawi 1 ... 6

6. Nilai ragam galat dan RMSE data Ngawi 2 ... 6

7. Parameter geostatistik model terpilih... 6

8. Hasil perbandingan nilai G (%)... 6

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Model Linear... 3

2. Model Eksponensial... 3

3. Model Spherical ... 3

4. Bentuk umum variogram ... 3

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Bentuk variogram data Ngawi 1 ... 8

2. Bentuk variogram data Ngawi 2 ... 9

3. Plot Surface Inverse Distance terpilih... 10

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan kesuburan tanah merupakan faktor penting dalam sistem pertanian, untuk meningkatkan produksi dan produktivitas lahan. Pengelolaan kesuburan merupakan upaya untuk mengelola unsur hara tanaman dalam jumlah cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman optimal. Dengan perkataan lain tidak ada unsur hara yang defisien atau toksik bagi pertumbuhan tanaman.

Kadar unsur hara dalam tanah biasanya ditentukan malalui uji tanah. Dengan demikian akan diketahui apakah unsur hara tersebut defisien, cukup, atau toksik bagi tanaman, sehingga langkah-langkah perbaikan tanah dapat dilakukan.

Salah satu unsur mineral yang sangat esensial bagi tanaman adalah fosfor (P). Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro karena dibutuhkan dalam jumlah banyak. Beberapa peranan fosfor yang penting antara lain dalam proses fotosintesis, perubahan-perubahan karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengannya, glikolisis, metabolisme asam-amino, metabolisme lemak, metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup. Dapat dikatakan bahwa fosfor benar-benarl merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy et al., 2003).

Beberapa cara dapat dilakukan bagi pemetaan sifat-sifat tanah, mulai dari rancangan pengambilan contoh tanah sampai dengan interpolasi sifat-sifat tanah dari lokasi yang tidak diambil contoh tanahnya (unsampled locations) (Mueller et al., 2004).

Teknik interpolasi yang umumnya digunakan dalam bidang pertanian adalah

Inverse Distance dan Kriging. Kedua metode tersebut menduga nilai dari lokasi yang tidak diambil contoh tanahnya berdasarkan pada pengukuran dari lokasi sekitarnya dengan pembobot tertentu dari setiap pengukuran tersebut. Metode Inverse Distance lebih mudah

diterapkan, sedangkan Kriging lebih

membutuhkan waktu dan lebih sulit diterapkan,

namun demikian Kriging memberikan

gambaran lebih akurat dari struktur spasial data, dan memberikan informasi berharga dari sebaran galat pendugaan (Kravchenko and Bullock, 1999).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan pendugaan menggunakan

Inverse Distance dan Kriging untuk mengetahui metode optimum bagi pemetaan nilai P (fosfor) tanah sawah di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

TINJAUAN PUSTAKA

Interpolasi Spasial

Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang jarak (space) dan saling berhubungan secara spasial (Anderson dalam Christanto, 2006). Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitar lokasi pengamatan karena nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh. Metode yang sering digunakan untuk interpolasi spasial adalah metode Inverse Distance dan metode

Kriging (Christanto, 2006).

Metode Inverse Distance

Kriging dan Inverse Distance merupakan interpolator yang linear; penduga di setiap lokasi merupakan kombinasi linear terhadap data yang tersedia. Perbedaannya terletak pada pembobotannya (Gotway et al., 1996).

Metode interpolasi Inverse Distance akan memberikan pembobot secara kebalikan (inverse) terhadap sembarang parameter kuasa/ eksponen jarak yang proporsional.

i n

i n

i ip p i

i v

d d

v

= =

=

1 1

1 1

ˆ

dimana p adalah parameter kuasa, di adalah jarak antara titik dugaan dan contoh ke-i, dan vi adalah nilai contoh pada titik ke-i (Isaaks and Srivastava, 1989).

Semakin besar nilai parameter kuasa, maka kontribusi dari data yang letaknya jauh akan semakin kecil. Parameter kuasa yang biasanya digunakan adalah satu sampai tiga (Gotway et al., 1996).

Walaupun metode Inverse Distance

(12)

2

kemudahannya. Namun, metode ini hanya memperhatikan jarak saja dan belum memperhatikan efek pengelompokan data, sehingga data dengan jarak yang sama namun mempunyai pola sebaran yang berbeda masih akan memberikan hasil yang sama. Atau dengan kata lain metode ini belum memberikan korelasi ruang antara titik data dengan titik data yang lain (Haris, 2005).

Metode Kriging

Metode Kriging pada dasarnya adalah metode rataan terboboti dari setiap nilai contoh lokasi. Misalkan Z(x1), Z(x2), ... , Z(xN) adalah

nilai amatan contoh dengan posisi xi (i= 1,2,3,...,n), maka rataan bagi variabel Z atas titik A (Z(A)) dirumuskan sebagai (Cressie, 1993): ) ( ) ( ˆ 1 i n i i

i Z x

x Z

=

= λ

dengan;

λi = bobot dari contoh ke-i.

Metode Kriging sering diasosiasikan sebagai metode yang memberikan penduga tak bias terbaik (Best Linear Unbiased Estimator). Kriging linear karena merupakan penduga dengan bobot kombinasi linear dari data yang tersedia. Selain itu Kriging tidak bias (Unbiased) karena mempunyai mR (rata-rata

sisaan) sama dengan 0, terbaik (Best) karena

Kriging meminimasi ragam erornya. Hal inilah yang menjadi kelebihan Kriging dari metode interpolasi lainnya (Isaaks and Srivastava, 1989).

i. Zˆ linear dalam Z(x1),...,Z(xn).

=

= n i i i

i Z x

x Z 1 ) ( ) ( ˆ λ

ii. Zˆ tidak bias.

μ λ λ μ

= = = = n i i i n i

iE Z x

1 1 ) ( ( 1 1 =

= n i i λ

iii. Zˆ meminimasi ragam galat

Ragam galat yang minimum dapat diperoleh dengan tehnik pengganda Langrange

dengan kendala

= = n i i 1 1 )

(λ , sehingga bentuk

ragam galatnya menjadi:

∑∑

= = = = − + − + = n i i n j n i n i i ij i ij j i

R C C

1 1 1

2 2 ) 1 ( 2 ~ 2 ~ ~ ~ σ λλ λ μ λ σ .

Dengan menghitung turunan pertama tiap bagiannya terhadap λi sama dengan nol, maka diperoleh: 0 1 ~ ~ i ij n j

iC + =C

=

μ

λ i=1,...,n

Persamaan tersebut juga dapat dituliskan dalam notasi matriks seperti berikut:

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ 1 ~... ~ ... 0 1 ... 1 1 ~ ... ~... ... ... ... 1 ~ ... ~ 0 10 1 1 1 11 n n nn n n C C C C C C μ λ λ

(n+1)x(n+1) (n+1)x1 (n+1)x1

Matriks C adalah matriks kovariansi pada area data yang diamati, sedangkan matriks D adalah kovariansi pada data yang diamati terhadap data yang akan diduga, dan λ adalah matriks pembobot.

C.λ = D C-1.C. λ = C-1.D I. λ = C-1.D λ = C-1.D

Solusi ini akan memberikan penduga tak bias terbaik. Sedangkan ragam galat dari

Kriging menjadi:

D

R ~ .

~2 σ 2 λ

σ = − , atau

= + − = n i i i N C 1 0 2 2 ) ~ ( ( ~ ~ σ λ μ σ

Bobot λ tersebut secara langsung

berhubungan dengan variogram, karena kovarian mempunyai hubungan kebalikan dengan variogram. Dalam Isaaks and Srivastava (1989) dijelaskan hubungan antara kovarian dan variogram adalah seperti berikut:

) ( ) ( ) ( ) 0 ( ))} ( ). ( {( } { )} ( ). ( { } ) ( { 2 1 } ) ( { 2 1 ] )} ( ) ( [{ ) ( 2 2 2 2 2 h C h h C C x Z h x Z E Z E x Z h x Z E x Z E h x Z E x Z h x Z E h − = − = + − = + − + + = − + = σ γ γ

dimana γ(h) adalah variogram, C(0) adalah kovarian pada data amatan atau varian data, sedangkan C(h) adalah kovarian pada data yang terletak sejauh h dari data.

Variogram

Variogram merupakan suatu fungsi selisih kuadrat harapan antara pasangan contoh pada orientasi relatif yang dapat dituliskan sebagai berikut:

[

]

2

) ( ) ( E 2 1 )

(h = Z x+hZ x

(13)

3

dengan Z(x) adalah nilai pada lokasi x, dan Z(x+h) adalah nilai pada lokasi yang berjarak sejauh h dari x (Isaaks and Srivastava, 1989).

Selain itu persamaan umum variogram juga dapat dituliskan seperti berikut (Cressie, 1993):

∑ − = ⎜⎛ ⎟⎞ ) ( 2 ) ( ) ( ) ( 1 ) ( 2 h N j x Z i x Z h N h

γ ;i,j

N(h)

dengan N(h) adalah banyaknya pasangan lokasi (contoh) yang berjarak h, sedangkan h adalah jarak euklidius.

Selain kestasioneran, variogram juga harus memenuhi hipotesis intrinsik yang didefinisikan sebagai (Cressie, 1993):

1. E (Z(x+h)-Z(x))=0

2. Var (Z(x+h)-Z(x))=2γh dengan h adalah jarak antara dua lokasi yang terpisah.

Variogram memiliki beberapa model yaitu (Cressie, 1993; Golden Software, Inc., 2002): 1. Model Linear:

⎩ ⎨ ⎧ + = |, | , 0 ) ; ( h b c h l o θ γ , )' , (co bl =

θ dimana co ≥0dan bl≥0

Gambar 1. Model Linear

2. Model Eksponensial:

⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧ − − + = | |)}, exp( 1 { , 0 ) ; ( a h c c h o θ γ , )' , , (co c a =

θ dimana co ≥0,c ≥0, a ≥0

Gambar 2. Model Eksponensial

3. Model Spherikal:

⎪ ⎪ ⎩ ⎪ ⎪ ⎨ ⎧ + − + = , }, ) | | ( 5 . 0 ) | | ( 5 . 1 { , 0 ) ; ( 0 3 0 c c a h a h c c hθ γ )' , , (co c a =

θ , dimana co≥0,c≥0dan a≥0.

dengan:

C0 = nugget effect,

C = ambang semivariogram (sill), a = range,

h = jarak antara dua titik contoh yang terpisah.

Gambar 3. Model Spherikal

Secara umum, ada beberapa informasi yang dapat diperoleh dari variogram, yaitu:

1. Nugget Effect

Nugget effect terdiri atas dua komponen yaitu ragam galat dan ragam mikro. Ragam galat adalah ragam yang muncul akibat dari pengulangan pengukuran data. Sedangkan ragam mikro muncul akibat pemisahan jarak yang lebih kecil dari contoh tetangga terdekat yang sejenis (Golden Software, Inc., 2002). Jika suatu variogram tidak berasal dari titik 0 (nol) berarti variogram tersebut mengandung

nugget effect. 2. Sill

Merupakan nilai pada saat variogram mencapai titik maksimum kemudian mendatar (plateu). Sill sama dengan nugget effect + skala. Setelah variogram mencapai sill, tidak ada lagi korelasi antar sampel.

3. Range

Jarak pada saat bertemu sill disebut range. Variogram linear tidak mempunyai sill maupun

range, tetapi mempunyai slope.

Gambar 4. Bentuk umum variogram h=0,

h≠0,

h=0,

h≠0,

h=0,

(14)

4

Verifikasi

Dalam pemilihan pembobot optimum pada metode Inverse Distance dan variogram terbaik untuk Kriging dilakukan analisis sisaan antara data amatan dan dugaan menggunakan kriteria

RMSE (Root Mean Square Error). RMSE

merupakan nilai akar dari MSE (Mean Square Error).

MSE = Accuracy + Precision

= (Bias)2 + (Ragam Sisaan)

= ∑

= n

i b n 1i 1

+ 2

1 1

) n

i (bi b n ∑= −

Karena pendugaan yang akurat tidak menghasilkan bias dan akan menghasilkan eror yang kecil, maka persamaan MSE akan menjadi seperti berikut:

MSE =

= n i i) (b n 1 2 1 ,

dimana bi merupakan perbedaan antara nilai dugaan dan amatan (Mueller et al., 2004).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan data survey hara P areal sawah Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Contoh tanah merupakan contoh komposit pada kedalaman 0-20cm terdiri dari 10-15 sub contoh. Jumlah contoh tanah komposit sebanyak 112 contoh masing-masing mewakili luasan areal sawah sekitar 625 ha (Sofyan et al., 2002).

Data ini terbagi menjadi dua berdasarkan lokasinya, yaitu Ngawi 1 dan Ngawi 2 yang masing-masing n berukuran 43 dan 44.

Metode

Secara umum ada empat langkah yang digunakan dalam metode ini, yaitu:

Pemilihan Parameter Pembobot Inverse Distance Optimum

Untuk menemukan pembobot yang dianggap paling optimum pada metode inverse distance dilakukan penghitungan nilai dugaan dengan menggunakan kombinasi parameter kuasa terhadap kedua data. Parameter kuasa yang digunakan terdiri dari 1, 1.5, 2, 2.5, dan 3. Penghitungan ini menggunakan perangkat lunak Surfer8 dari Golden Software.

Verifikasi data dilakukan dengan

menggunakan criteria RMSE (Root Mean

Square Error). Nilai RMSE yang paling minimum dianggap sebagai parameter terpilih, karena galatnya paling kecil.

Pemilihan Model Variogram

Untuk mencari pembobot yang optimal bagi Kriging, harus ditentukan terlebih dahulu model variogramnya. Variogram eksperimen dari kedua data (Ngawi 1 dan Ngawi 2) akan disesuaikan dengan model-model variogram Linear, Eksponensial, dan Spherikal. Perhitungan ini menggunakan perangkat lunak Surfer8 dari Golden Software.

Model variogram terpilih adalah yang menghasilkan ragam sisaan yang paling

minimum karena sifat Kriging adalah

meminimumkan ragam, dan yang mempunyai nilai kriteria verifikasi terbaik (RMSE paling kecil).

Perbandingan Inverse Distance dengan Kriging

Setelah didapatkan parameter terbaik masing-masing Inverse Distance dan Kriging, maka dilakukan perbandingan untuk mengetahui metode interpolasi yang dianggap paling sesuai dengan menggunakan efisiensi prediksi atau goodness of predictionstatistics:

100 ) )(

(MSE MSE MSE 1x

G= zizi − , atau

[

*( ) ( )

]

/

[

( )

]

100 1 1 2 1 2 x x Z Z x Z x Z G n i i m n i i i ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ =

= =

dimana Zm merupakan rataan contoh,

) ( * xi

Z adalah data dugaan, dan Z(xi)adalah

data amatan (Mueller et al., 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel berikut ini merupakan hasil dari statistika deskriptif masing-masing data Ngawi 1 dan 2.

Tabel 1. Statistika deskriptif data.

Ngawi 1 Ngawi 2

Minimum 36 36

Maksimum 185 153

Rata-rata 91.72 80.46

Koef. Keragaman 0.34 0.27

Uji Kenormalan >0.15 >0.15

(15)

masing-5

masing data. Nilai rata-rata pada tabel 1 mengindikasikan kandungan fosfor yang cukup tinggi dalam tanah. Menurut Leiwakabessy et al. (2003) kandungan fosfor yang tinggi bisa disebabkan oleh pemupukan. Selain itu jumlah fosfat yang tersedia di tanah-tanah pertanian biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada tanah-tanah yang tidak diusahakan. Hal ini diduga karena unsur ini tidak tercuci (residunya tinggi), sedangkan yang hilang melalui produksi tanaman sangat kecil.

Nilai koefisien keragaman untuk masing-masing data Ngawi 1 dan Ngawi 2 lebih dari 10%, mengindikasikan keragaman dalam lahan yang cukup besar (Yanai et al., 2000).

Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai-p yang lebih besar dari 0.15, oleh karena itu dapat disimpulkan kedua data telah mengikuti sebaran normal.

Parameter Pembobot Inverse Distance Optimum

a. Statistika deskriptif data dugaan dan sisaan

Hasil dari pendugaan data Ngawi 1 menggunakan metode Inverse Distance dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Nilai rata-rata, ragam dugaan, dan ragam sisaan data Ngawi 1.

i

zˆ Sisaan

p Mean Ragam Ragam

1 91.29 19.29 984.47

1.5 91.46 69.81 980.77

2 91.95 141.50 1007.09 2.5 92.56 212.27 1048.47

3 93.07 275.15 1093.99

Pada nilai rata-rata dugaan Ngawi 1 diatas, terlihat bahwa nilai rata-rata dugaan berada di sekitar nilai rata-rata amatan yaitu 91.72. Rataan yang paling mendekati rataan amatan adalah 91.95 yaitu pada saat p=2. Selain itu semakin besar nilai p, maka semakin besar pula nilai rata-rata dugaannya. Sedangkan ragam dugaan mempunyai nilai yang semakin besar seiring dengan peningkatan nilai p. Pada ragam sisaan, nilai yang paling minimum adalah ragam sisaan pada p=1.5 yaitu sebesar 980.77.

Tabel berikut memperlihatkan hasil pendugaan Inverse Distance terhadap data Ngawi 2.

Tabel 3. Nilai rata-rata, ragam dugaan, dan ragam sisaan data Ngawi 2.

i

zˆ Sisaan

p Mean Ragam Ragam

1 79.46 16.94 437.09 1.5 78.87 46.97 413.70

2 78.49 91.43 407.86 2.5 78.33 141.82 417.33

3 78.29 191.27 436.29

Hasil dugaan pada data Ngawi 2 ini, memperlihatkan nilai rataan yang semakin kecil berkebalikan dengan nilai ragam yang semakin membesar. Nilai rataan yang paling mendekati rata-rata amatan (80.46) adalah 79. 46, yaitu pada saat p=1. Nilai ragam sisaan yang paling minimum diperolah pada saat p=2, yaitu sebesar 407.86.

Ragam sisaan juga bisa dijadikan sebagai alat pertimbangan dalam melakukan pemilihan pembobot optimum selain RMSE. Karena penduga yang baik akan meminimumkan ragam galat atau sisaan.

b. Verifikasi data

Hasil dari verifikasi data menggunakan nilai RMSE ditampilkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4. Nilai RMSE Inverse Distance

p Ngawi 1 Ngawi 2

1 31.38 20.93

1.5 31.32 20.40

2 31.74 20.29

2.5 32.39 20.54 3 33.10 21.00

Penduga yang baik diharapkan akan menghasilkan galat yang minimum, sehingga data yang mempunyai nilai RMSE terkecil akan dipilih sebagai pembobot yang optimum. Pada tabel 4 terlihat bahwa nilai RMSE terkecil diperoleh pada p=1.5 untuk Ngawi 1 dan p=2 untuk Ngawi 2. Hasil ini juga sesuai dengan hasil ragam sisaan pada masing-masing data. Pada data Ngawi 1 misalnya, ragam sisaan minimum diperoleh pada saat p=1.5, sedang pada data Ngawi 2 ragam minimum diperoleh pada saat p=2, sesuai dengan yang diperoleh pada pemilihan menggunakan nilai RMSE.

Pemilihan Model Variogram

(16)

6

Linear, Eksponensial, dan Spherikal. Variogram eksperimen dari masing-masing data dapat dilihat pada Lampiran.

Variogram eksperimen data Ngawi 1 dan 2 yang disesuaikan dengan model-model variogram Linear, Eksponensial, dan Spherikal, menghasilkan nilai ragam dan nilai RMSE seperti yang terlihat pada tabel 5 dan 6. Nilai ragam minimum pada data Ngawi 1 diperoleh pada model Spherikal, yaitu sebesar 860.21. Begitu juga dengan nilai RMSE terbaik (minimum) diperoleh pada model Spherikal, yaitu sebesar 29.33. Sedangkan untuk data Ngawi 2, hasil ragam minimum diperoleh pada model Eksponensial, yaitu sebesar 384.34. Hasil ini juga sesuai dengan nilai RMSE minimum yang diperoleh, yaitu sebesar 19.61 pada model Eksponensial. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa untuk data Ngawi 1, model variogram yang terpilih adalah model Spherikal sedangkan untuk data Ngawi 2, model variogram yang terpilih adalah model Eksponensial.

Tabel 5. Nilai ragam galat dan RMSE data Ngawi 1

Model

Ragam

Galat RMSE

Linear 1017.86 31.94

Eksponensial 885.01 29.75

Spherikal 860.21 29.33

Tabel 6. Nilai ragam galat dan RMSE data Ngawi 2

Model

Ragam

Galat RMSE

Linear 388.76 19.72

Eksponensial 384.34 19.61

Spherikal 387.16 19.68

Dari model variogram yang terpilih dapat diperoleh informasi mengenai parameter-parameter geostatistiknya, seperti yang terlihat pada tabel 7. Dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2, variogram terpilih pada data Ngawi 1 dan 2 (Spherikal dan Eksponensial), mempunyai titik asal yang bukan nol (diskontinyu) yang mengindikasikan adanya

nugget effect. Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, nugget effect dapat terjadi karena adanya ragam galat dan ragam mikro. Ragam galat terjadi karena adanya kesalahan pengukuran oleh peneliti, atau dapat juga dikatakan galat yang timbul karena adanya

human error. Pada data Ngawi 1, nugget effect

yang timbul adalah sebesar 78.11, sedangkan

pada data Ngawi 2, nugget effect yang terjadi cukup besar yaitu sebesar 238.1.

Variogram pada Ngawi 1 mencapai jarak

Sill pada 0.046 dengan nilai Sill sebesar 1019.11. Sedangkan pada Ngawi 2, jarak untuk mencapai Sill adalah 0.079 dengan nilai Sill

sebesar 745.1. Setelah variogram mencapai nilai batas (Sill) tidak ada lagi korelasi antar contoh.

Tabel 7. Parameter geostatistik model terpilih

Ngawi 1 Ngawi 2

Model Spherikal Eksponensial

Nugget (N) 78.11 238.1

Sill (S) 1019.11 745.1

Range (R) 0.046 0.079

Perbandingan Inverse Distance dengan Kriging

Pada Inverse Distance, parameter pembobot yang terpilih adalah p=1.5 untuk data Ngawi 1, dan p=2 untuk data Ngawi 2 (tabel 4). Sedangkan pada Kriging, model variogram yang terpilih adalah Spherikal untuk data Ngawi 1 (Tabel 5), dan Eksponensial untuk data Ngawi 2 (Tabel 6). Parameter-parameter yang telah terpilih ini dibandingkan dengan menggunakan kriteria efisiensi prediksi atau

goodness of prediction statistics, G, untuk melihat metode mana yang dianggap paling optimum untuk pemetaan kandungan fosfor tanah.

Tabel 8. Hasil perbandingan nilai G (%)

Data

Inverse

Distance Kriging

Ngawi 1 0.28 12.54

Ngawi 2 14.89 20.54

Dari hasil yang didapatkan pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa metode

Kriging lebih baik daripada metode Inverse Distance dalam pendugaan dan pemetaan kandungan fosfor tanah, karena secara keseluruhan Kriging mempunyai nilai G yang jauh lebih besar daripada nilai G Inverse Distance. Seperti pada data Ngawi 1 misalnya, nilai G Kriging sebesar 12.54%, sedangkan

Inverse Distance memperoleh nilai sebesar 0.28%. Sedangkan pada data Ngawi 2, nilai G

Kriging yang diperoleh yaitu sebesar 20.54%, lebih besar dari nilai G yang diperoleh Inverse Distance, yaitu sebesar 14.89%.

(17)

7

penduga Kriging, begitu juga dengan nilai RMSE terkecil. Pada data Ngawi 1, ragam galat model variogram terpilih (Spherikal) mempunyai nilai sebesar 860.21, dan nilai RMSE sebesar 29.33 (Tabel 5). Sedangkan pada Inverse Distance (p=1.5) mempunyai nilai ragam galat sebesar 980.77 (Tabel 2) dan RMSE sebesar 31.32 (Tabel 4). Pada data Ngawi 2, ragam galat minimum juga diperoleh oleh Kriging (Eksponensial) yaitu sebesar 384.34, sedang nilai RMSE-nya sebesar 19.61 (Tabel 6). Pada Inverse Distance (p=2) ragam galat yang diperoleh yaitu sebesar 407.86 (Tabel 3), dan RMSE sebesar 20.29 (Tabel 4). Ragam galat minimum yang diperoleh Kriging

ini membuktikan sifat Kriging yang

meminimumkan ragam.

SIMPULAN

Pembobot optimum Inverse Distance

didapatkan pada saat p=1.5 untuk data Ngawi 1. Sedangkan untuk data Ngawi 2, pembobot

Inverse Distance optimum didapatkan pada saat p=2. Parameter ini terpilih karena menghasilkan sisaan yang paling kecil, dibuktikan dengan nilai RMSE-nya minimum. Begitu juga dengan hasil pemilihan model variogram untuk metode Kriging. Nilai RMSE yang paling minimum diperoleh pada saat model Spherikal untuk data Ngawi 1, dan Eksponensial untuk data Ngawi 2.

Perbandingan dari kedua metode ini menghasilkan nilai G yang lebih besar bagi metode Kriging daripada Inverse Distance, baik untuk daerah Ngawi 1 maupun Ngawi 2 . Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa metode yang paling optimum bagi pemetaan nilai fosfor areal sawah Kabupaten Ngawi adalah metode kriging dengan model variogram Spherikal untuk daerah Ngawi 1 dan model variogram Eksponensial untuk daerah Ngawi 2.

SARAN

Perbandingan metode Inverse Distance dan

Kriging dalam menduga dan memetakan nilai fosfor tanah areal sawah Kabupaten Ngawi pada penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa metode Kriging lebih baik dalam menduga nilai fosfor tanah sawah Kabupaten Ngawi daripada Inverse Distance berdasarkan nilai ragam galat paling minimum yang didapat dan nilai goodness of prediction statistics, G, yang lebih besar. Oleh karena itu disarankan untuk langsung menggunakan metode Kriging

pada para peneliti yang ingin melakukan pendugaan dan pemetaan nilai fosfor tanah sawah Kabupaten Ngawi dengan model variogram optimumnya Spherikal untuk daerah Ngawi 1 dan model Eksponensial untuk daerah Ngawi 2.

DAFTAR PUSTAKA

Christanto, Maulana. 2006. Aplikasi Metode

Inverse Distance dan Metode Kriging Pada Nilai Air Mampu Curah Data NOAA-TOVS. FMIPA, IPB, Bogor.

Cressie, N. A. C. 1993. Statistics for Spatial Data. John Willey & Sons, Inc. New York.

Golden Software. 2002. Surfer8 User’s Guide. Golden Software CO. 2002.

Gotway, C. A., R. B. Ferguson, G. W. Hergert, and T. A. Peterson. 1996.

Comparison of Kriging and Inverse Distance Methods for Mappig Soil Parameters. Soil Sci. Soc. Am. J. 60: 1237-1247.

Haris, W., Agus. 2005. TE-3231, Metode Perhitungan Cadangan. Modul Responsi. Departemen Teknik Pertambangan, Fakultas Ilmu Kebumian Dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. [16 April 2006].

Isaaks, E. H., and Srivastava, R. M. 1989.

Applied Geostatistics. Oxford University Press. New York.

Kravchenko, A. and D. G. Bullock. 1999. A Comparative Study of Interpolation Methods for Mapping Soil Properties. Agron. J. 91: 393 – 400.

Leiwakabessy, F. M., U. M. Wahjudin, Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

Mueller, T. G., N. B. Pusuluri, K. K. Mathias, P. L. Cornelius, and R. I. Barnhisel. 2004. Site-Specific Soil Fertility Management: A Model for Map Quality. Soil Sci. Soc. Am. J. 68: 2031 – 2041.

Sofyan, A., Diah S, Jojon S, dan E. Hidayat.

2002. Penelitian Identifikasi Kendala Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian.

Yanai, J., C. K. Lee, M. Umeda, and T. Kosaki. 2000. Spatial Variability of Soil Chemical Properties in a Paddy Field. Soil

(18)

8

Lampiran 1. Bentuk variogram data Ngawi 1

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045 Lag Distance

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

V

a

ri

o

g

ra

m

Direction: 0.0 Tolerance: 90.0 Linear

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045

Lag Distance 0

200 400 600 800 1000 1200 1400

V

ar

iogr

am

Direction: 0.0 Tolerance: 90.0 Eksponensial

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045

Lag Distance 0

200 400 600 800 1000 1200 1400

V

a

ri

o

g

ra

m

(19)

9

Lampiran 2. Bentuk variogram data Ngawi 2

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045 Lag Distance

0 100 200 300 400 500 600 700 800

V

a

ri

o

g

ra

m

Direction: 0.0 Tolerance: 90.0 Linear

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045 0.05

Lag Distance 0

100 200 300 400 500 600 700

V

a

ri

o

g

ra

m

Direction: 0.0 Tolerance: 90.0 Eksponensial

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045

Lag Distance 0

100 200 300 400 500 600 700 800

V

ar

iogr

am

(20)

10

30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190

30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 Lampiran 3. Plot Surface Inverse Distance terpilih

p=1.5 (Ngawi 1)

(21)

11

30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190

30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 Lampiran 4. Plot Surface Kriging terpilih

Spherikal (Ngawi 1)

(22)

PERBANDINGAN METODE

INVERSE DISTANCE

DAN

KRIGING

DALAM PEMETAAN FOSFOR TANAH SAWAH

KABUPATEN NGAWI

CHICHI NOVIANTI

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan kesuburan tanah merupakan faktor penting dalam sistem pertanian, untuk meningkatkan produksi dan produktivitas lahan. Pengelolaan kesuburan merupakan upaya untuk mengelola unsur hara tanaman dalam jumlah cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman optimal. Dengan perkataan lain tidak ada unsur hara yang defisien atau toksik bagi pertumbuhan tanaman.

Kadar unsur hara dalam tanah biasanya ditentukan malalui uji tanah. Dengan demikian akan diketahui apakah unsur hara tersebut defisien, cukup, atau toksik bagi tanaman, sehingga langkah-langkah perbaikan tanah dapat dilakukan.

Salah satu unsur mineral yang sangat esensial bagi tanaman adalah fosfor (P). Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro karena dibutuhkan dalam jumlah banyak. Beberapa peranan fosfor yang penting antara lain dalam proses fotosintesis, perubahan-perubahan karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengannya, glikolisis, metabolisme asam-amino, metabolisme lemak, metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup. Dapat dikatakan bahwa fosfor benar-benarl merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy et al., 2003).

Beberapa cara dapat dilakukan bagi pemetaan sifat-sifat tanah, mulai dari rancangan pengambilan contoh tanah sampai dengan interpolasi sifat-sifat tanah dari lokasi yang tidak diambil contoh tanahnya (unsampled locations) (Mueller et al., 2004).

Teknik interpolasi yang umumnya digunakan dalam bidang pertanian adalah

Inverse Distance dan Kriging. Kedua metode tersebut menduga nilai dari lokasi yang tidak diambil contoh tanahnya berdasarkan pada pengukuran dari lokasi sekitarnya dengan pembobot tertentu dari setiap pengukuran tersebut. Metode Inverse Distance lebih mudah

diterapkan, sedangkan Kriging lebih

membutuhkan waktu dan lebih sulit diterapkan,

namun demikian Kriging memberikan

gambaran lebih akurat dari struktur spasial data, dan memberikan informasi berharga dari sebaran galat pendugaan (Kravchenko and Bullock, 1999).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan pendugaan menggunakan

Inverse Distance dan Kriging untuk mengetahui metode optimum bagi pemetaan nilai P (fosfor) tanah sawah di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

TINJAUAN PUSTAKA

Interpolasi Spasial

Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang jarak (space) dan saling berhubungan secara spasial (Anderson dalam Christanto, 2006). Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitar lokasi pengamatan karena nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh. Metode yang sering digunakan untuk interpolasi spasial adalah metode Inverse Distance dan metode

Kriging (Christanto, 2006).

Metode Inverse Distance

Kriging dan Inverse Distance merupakan interpolator yang linear; penduga di setiap lokasi merupakan kombinasi linear terhadap data yang tersedia. Perbedaannya terletak pada pembobotannya (Gotway et al., 1996).

Metode interpolasi Inverse Distance akan memberikan pembobot secara kebalikan (inverse) terhadap sembarang parameter kuasa/ eksponen jarak yang proporsional.

i n

i n

i ip p i

i v

d d

v

= =

=

1 1

1 1

ˆ

dimana p adalah parameter kuasa, di adalah jarak antara titik dugaan dan contoh ke-i, dan vi adalah nilai contoh pada titik ke-i (Isaaks and Srivastava, 1989).

Semakin besar nilai parameter kuasa, maka kontribusi dari data yang letaknya jauh akan semakin kecil. Parameter kuasa yang biasanya digunakan adalah satu sampai tiga (Gotway et al., 1996).

Walaupun metode Inverse Distance

(24)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan kesuburan tanah merupakan faktor penting dalam sistem pertanian, untuk meningkatkan produksi dan produktivitas lahan. Pengelolaan kesuburan merupakan upaya untuk mengelola unsur hara tanaman dalam jumlah cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman optimal. Dengan perkataan lain tidak ada unsur hara yang defisien atau toksik bagi pertumbuhan tanaman.

Kadar unsur hara dalam tanah biasanya ditentukan malalui uji tanah. Dengan demikian akan diketahui apakah unsur hara tersebut defisien, cukup, atau toksik bagi tanaman, sehingga langkah-langkah perbaikan tanah dapat dilakukan.

Salah satu unsur mineral yang sangat esensial bagi tanaman adalah fosfor (P). Fosfor merupakan salah satu unsur hara makro karena dibutuhkan dalam jumlah banyak. Beberapa peranan fosfor yang penting antara lain dalam proses fotosintesis, perubahan-perubahan karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengannya, glikolisis, metabolisme asam-amino, metabolisme lemak, metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup. Dapat dikatakan bahwa fosfor benar-benarl merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy et al., 2003).

Beberapa cara dapat dilakukan bagi pemetaan sifat-sifat tanah, mulai dari rancangan pengambilan contoh tanah sampai dengan interpolasi sifat-sifat tanah dari lokasi yang tidak diambil contoh tanahnya (unsampled locations) (Mueller et al., 2004).

Teknik interpolasi yang umumnya digunakan dalam bidang pertanian adalah

Inverse Distance dan Kriging. Kedua metode tersebut menduga nilai dari lokasi yang tidak diambil contoh tanahnya berdasarkan pada pengukuran dari lokasi sekitarnya dengan pembobot tertentu dari setiap pengukuran tersebut. Metode Inverse Distance lebih mudah

diterapkan, sedangkan Kriging lebih

membutuhkan waktu dan lebih sulit diterapkan,

namun demikian Kriging memberikan

gambaran lebih akurat dari struktur spasial data, dan memberikan informasi berharga dari sebaran galat pendugaan (Kravchenko and Bullock, 1999).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan pendugaan menggunakan

Inverse Distance dan Kriging untuk mengetahui metode optimum bagi pemetaan nilai P (fosfor) tanah sawah di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

TINJAUAN PUSTAKA

Interpolasi Spasial

Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematis untuk menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang jarak (space) dan saling berhubungan secara spasial (Anderson dalam Christanto, 2006). Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitar lokasi pengamatan karena nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh. Metode yang sering digunakan untuk interpolasi spasial adalah metode Inverse Distance dan metode

Kriging (Christanto, 2006).

Metode Inverse Distance

Kriging dan Inverse Distance merupakan interpolator yang linear; penduga di setiap lokasi merupakan kombinasi linear terhadap data yang tersedia. Perbedaannya terletak pada pembobotannya (Gotway et al., 1996).

Metode interpolasi Inverse Distance akan memberikan pembobot secara kebalikan (inverse) terhadap sembarang parameter kuasa/ eksponen jarak yang proporsional.

i n

i n

i ip p i

i v

d d

v

= =

=

1 1

1 1

ˆ

dimana p adalah parameter kuasa, di adalah jarak antara titik dugaan dan contoh ke-i, dan vi adalah nilai contoh pada titik ke-i (Isaaks and Srivastava, 1989).

Semakin besar nilai parameter kuasa, maka kontribusi dari data yang letaknya jauh akan semakin kecil. Parameter kuasa yang biasanya digunakan adalah satu sampai tiga (Gotway et al., 1996).

Walaupun metode Inverse Distance

(25)

2

kemudahannya. Namun, metode ini hanya memperhatikan jarak saja dan belum memperhatikan efek pengelompokan data, sehingga data dengan jarak yang sama namun mempunyai pola sebaran yang berbeda masih akan memberikan hasil yang sama. Atau dengan kata lain metode ini belum memberikan korelasi ruang antara titik data dengan titik data yang lain (Haris, 2005).

Metode Kriging

Metode Kriging pada dasarnya adalah metode rataan terboboti dari setiap nilai contoh lokasi. Misalkan Z(x1), Z(x2), ... , Z(xN) adalah

nilai amatan contoh dengan posisi xi (i= 1,2,3,...,n), maka rataan bagi variabel Z atas titik A (Z(A)) dirumuskan sebagai (Cressie, 1993): ) ( ) ( ˆ 1 i n i i

i Z x

x Z

=

= λ

dengan;

λi = bobot dari contoh ke-i.

Metode Kriging sering diasosiasikan sebagai metode yang memberikan penduga tak bias terbaik (Best Linear Unbiased Estimator). Kriging linear karena merupakan penduga dengan bobot kombinasi linear dari data yang tersedia. Selain itu Kriging tidak bias (Unbiased) karena mempunyai mR (rata-rata

sisaan) sama dengan 0, terbaik (Best) karena

Kriging meminimasi ragam erornya. Hal inilah yang menjadi kelebihan Kriging dari metode interpolasi lainnya (Isaaks and Srivastava, 1989).

i. Zˆ linear dalam Z(x1),...,Z(xn).

=

= n i i i

i Z x

x Z 1 ) ( ) ( ˆ λ

ii. Zˆ tidak bias.

μ λ λ μ

= = = = n i i i n i

iE Z x

1 1 ) ( ( 1 1 =

= n i i λ

iii. Zˆ meminimasi ragam galat

Ragam galat yang minimum dapat diperoleh dengan tehnik pengganda Langrange

dengan kendala

= = n i i 1 1 )

(λ , sehingga bentuk

ragam galatnya menjadi:

∑∑

= = = = − + − + = n i i n j n i n i i ij i ij j i

R C C

1 1 1

2 2 ) 1 ( 2 ~ 2 ~ ~ ~ σ λλ λ μ λ σ .

Dengan menghitung turunan pertama tiap bagiannya terhadap λi sama dengan nol, maka diperoleh: 0 1 ~ ~ i ij n j

iC + =C

=

μ

λ i=1,...,n

Persamaan tersebut juga dapat dituliskan dalam notasi matriks seperti berikut:

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ 1 ~... ~ ... 0 1 ... 1 1 ~ ... ~... ... ... ... 1 ~ ... ~ 0 10 1 1 1 11 n n nn n n C C C C C C μ λ λ

(n+1)x(n+1) (n+1)x1 (n+1)x1

Matriks C adalah matriks kovariansi pada area data yang diamati, sedangkan matriks D adalah kovariansi pada data yang diamati terhadap data yang akan diduga, dan λ adalah matriks pembobot.

C.λ = D C-1.C. λ = C-1.D I. λ = C-1.D λ = C-1.D

Solusi ini akan memberikan penduga tak bias terbaik. Sedangkan ragam galat dari

Kriging menjadi:

D

R ~ .

~2 σ 2 λ

σ = − , atau

= + − = n i i i N C 1 0 2 2 ) ~ ( ( ~ ~ σ λ μ σ

Bobot λ tersebut secara langsung

berhubungan dengan variogram, karena kovarian mempunyai hubungan kebalikan dengan variogram. Dalam Isaaks and Srivastava (1989) dijelaskan hubungan antara kovarian dan variogram adalah seperti berikut:

) ( ) ( ) ( ) 0 ( ))} ( ). ( {( } { )} ( ). ( { } ) ( { 2 1 } ) ( { 2 1 ] )} ( ) ( [{ ) ( 2 2 2 2 2 h C h h C C x Z h x Z E Z E x Z h x Z E x Z E h x Z E x Z h x Z E h − = − = + − = + − + + = − + = σ γ γ

dimana γ(h) adalah variogram, C(0) adalah kovarian pada data amatan atau varian data, sedangkan C(h) adalah kovarian pada data yang terletak sejauh h dari data.

Variogram

Variogram merupakan suatu fungsi selisih kuadrat harapan antara pasangan contoh pada orientasi relatif yang dapat dituliskan sebagai berikut:

[

]

2

) ( ) ( E 2 1 )

(h = Z x+hZ x

(26)

3

dengan Z(x) adalah nilai pada lokasi x, dan Z(x+h) adalah nilai pada lokasi yang berjarak sejauh h dari x (Isaaks and Srivastava, 1989).

Selain itu persamaan umum variogram juga dapat dituliskan seperti berikut (Cressie, 1993):

∑ − = ⎜⎛ ⎟⎞ ) ( 2 ) ( ) ( ) ( 1 ) ( 2 h N j x Z i x Z h N h

γ ;i,j

N(h)

dengan N(h) adalah banyaknya pasangan lokasi (contoh) yang berjarak h, sedangkan h adalah jarak euklidius.

Selain kestasioneran, variogram juga harus memenuhi hipotesis intrinsik yang didefinisikan sebagai (Cressie, 1993):

1. E (Z(x+h)-Z(x))=0

2. Var (Z(x+h)-Z(x))=2γh dengan h adalah jarak antara dua lokasi yang terpisah.

Variogram memiliki beberapa model yaitu (Cressie, 1993; Golden Software, Inc., 2002): 1. Model Linear:

⎩ ⎨ ⎧ + = |, | , 0 ) ; ( h b c h l o θ γ , )' , (co bl =

θ dimana co ≥0dan bl≥0

Gambar 1. Model Linear

2. Model Eksponensial:

⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧ − − + = | |)}, exp( 1 { , 0 ) ; ( a h c c h o θ γ , )' , , (co c a =

θ dimana co ≥0,c ≥0, a ≥0

Gambar 2. Model Eksponensial

3. Model Spherikal:

⎪ ⎪ ⎩ ⎪ ⎪ ⎨ ⎧ + − + = , }, ) | | ( 5 . 0 ) | | ( 5 . 1 { , 0 ) ; ( 0 3 0 c c a h a h c c hθ γ )' , , (co c a =

θ , dimana co≥0,c≥0dan a≥0.

dengan:

C0 = nugget effect,

C = ambang semivariogram (sill), a = range,

h = jarak antara dua titik contoh yang terpisah.

Gambar 3. Model Spherikal

Secara umum, ada beberapa informasi yang dapat diperoleh dari variogram, yaitu:

1. Nugget Effect

Nugget effect terdiri atas dua komponen yaitu ragam galat dan ragam mikro. Ragam galat adalah ragam yang muncul akibat dari pengulangan pengukuran data. Sedangkan ragam mikro muncul akibat pemisahan jarak yang lebih kecil dari contoh tetangga terdekat yang sejenis (Golden Software, Inc., 2002). Jika suatu variogram tidak berasal dari titik 0 (nol) berarti variogram tersebut mengandung

nugget effect. 2. Sill

Merupakan nilai pada saat variogram mencapai titik maksimum kemudian mendatar (plateu). Sill sama dengan nugget effect + skala. Setelah variogram mencapai sill, tidak ada lagi korelasi antar sampel.

3. Range

Jarak pada saat bertemu sill disebut range. Variogram linear tidak mempunyai sill maupun

range, tetapi mempunyai slope.

Gambar 4. Bentuk umum variogram h=0,

h≠0,

h=0,

h≠0,

h=0,

(27)

4

Verifikasi

Dalam pemilihan pembobot optimum pada metode Inverse Distance dan variogram terbaik untuk Kriging dilakukan analisis sisaan antara data amatan dan dugaan menggunakan kriteria

RMSE (Root Mean Square Error). RMSE

merupakan nilai akar dari MSE (Mean Square Error).

MSE = Accuracy + Precision

= (Bias)2 + (Ragam Sisaan)

= ∑

= n

i b n 1i 1

+ 2

1 1

) n

i (bi b n ∑= −

Karena pendugaan yang akurat tidak menghasilkan bias dan akan menghasilkan eror yang kecil, maka persamaan MSE akan menjadi seperti berikut:

MSE =

= n i i) (b n 1 2 1 ,

dimana bi merupakan perbedaan antara nilai dugaan dan amatan (Mueller et al., 2004).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan data survey hara P areal sawah Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Contoh tanah merupakan contoh komposit pada kedalaman 0-20cm terdiri dari 10-15 sub contoh. Jumlah contoh tanah komposit sebanyak 112 contoh masing-masing mewakili luasan areal sawah sekitar 625 ha (Sofyan et al., 2002).

Data ini terbagi menjadi dua berdasarkan lokasinya, yaitu Ngawi 1 dan Ngawi 2 yang masing-masing n berukuran 43 dan 44.

Metode

Secara umum ada empat langkah yang digunakan dalam metode ini, yaitu:

Pemilihan Parameter Pembobot Inverse Distance Optimum

Untuk menemukan pembobot yang dianggap paling optimum pada metode inverse distance dilakukan penghitungan nilai dugaan dengan menggunakan kombinasi parameter kuasa terhadap kedua data. Parameter kuasa yang digunakan terdiri dari 1, 1.5, 2, 2.5, dan 3. Penghitungan ini menggunakan perangkat lunak Surfer8 dari Golden Software.

Verifikasi data dilakukan dengan

menggunakan criteria RMSE (Root Mean

Square Error). Nilai RMSE yang paling minimum dianggap sebagai parameter terpilih, karena galatnya paling kecil.

Pemilihan Model Variogram

Untuk mencari pembobot yang optimal bagi Kriging, harus ditentukan terlebih dahulu model variogramnya. Variogram eksperimen dari kedua data (Ngawi 1 dan Ngawi 2) akan disesuaikan dengan model-model variogram Linear, Eksponensial, dan Spherikal. Perhitungan ini menggunakan perangkat lunak Surfer8 dari Golden Software.

Model variogram terpilih adalah yang menghasilkan ragam sisaan yang paling

minimum karena sifat Kriging adalah

meminimumkan ragam, dan yang mempunyai nilai kriteria verifikasi terbaik (RMSE paling kecil).

Perbandingan Inverse Distance dengan Kriging

Setelah didapatkan parameter terbaik masing-masing Inverse Distance dan Kriging, maka dilakukan perbandingan untuk mengetahui metode interpolasi yang dianggap paling sesuai dengan menggunakan efisiensi prediksi atau goodness of predictionstatistics:

100 ) )(

(MSE MSE MSE 1x

G= zizi − , atau

[

*( ) ( )

]

/

[

( )

]

100 1 1 2 1 2 x x Z Z x Z x Z G n i i m n i i i ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ =

= =

dimana Zm merupakan rataan contoh,

) ( * xi

Z adalah data dugaan, dan Z(xi)adalah

data amatan (Mueller et al., 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel berikut ini merupakan hasil dari statistika deskriptif masing-masing data Ngawi 1 dan 2.

Tabel 1. Statistika deskriptif data.

Ngawi 1 Ngawi 2

Minimum 36 36

Maksimum 185 153

Rata-rata 91.72 80.46

Koef. Keragaman 0.34 0.27

Uji Kenormalan >0.15 >0.15

(28)

masing-4

Verifikasi

Dalam pemilihan pembobot optimum pada metode Inverse Distance dan variogram terbaik untuk Kriging dilakukan analisis sisaan antara data amatan dan dugaan menggunakan kriteria

RMSE (Root Mean Square Error). RMSE

merupakan nilai akar dari MSE (Mean Square Error).

MSE = Accuracy + Precision

= (Bias)2 + (Ragam Sisaan)

= ∑

= n

i b n 1i 1

+ 2

1 1

) n

i (bi b n ∑= −

Karena pendugaan yang akurat tidak menghasilkan bias dan akan menghasilkan eror yang kecil, maka persamaan MSE akan menjadi seperti berikut:

MSE =

= n i i) (b n 1 2 1 ,

dimana bi merupakan perbedaan antara nilai dugaan dan amatan (Mueller et al., 2004).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan data survey hara P areal sawah Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Contoh tanah merupakan contoh komposit pada kedalaman 0-20cm terdiri dari 10-15 sub contoh. Jumlah contoh tanah komposit sebanyak 112 contoh masing-masing mewakili luasan areal sawah sekitar 625 ha (Sofyan et al., 2002).

Data ini terbagi menjadi dua berdasarkan lokasinya, yaitu Ngawi 1 dan Ngawi 2 yang masing-masing n berukuran 43 dan 44.

Metode

Secara umum ada empat langkah yang digunakan dalam metode ini, yaitu:

Pemilihan Parameter Pembobot Inverse Distance Optimum

Untuk menemukan pembobot yang dianggap paling optimum pada metode inverse distance dilakukan penghitungan nilai dugaan dengan menggunakan kombinasi parameter kuasa terhadap kedua data. Parameter kuasa yang digunakan terdiri dari 1, 1.5, 2, 2.5, dan 3. Penghitungan ini menggunakan perangkat lunak Surfer8 dari Golden Software.

Verifikasi data dilakukan dengan

menggunakan criteria RMSE (Root Mean

Square Error). Nilai RMSE yang paling minimum dianggap sebagai parameter terpilih, karena galatnya paling kecil.

Pemilihan Model Variogram

Untuk mencari pembobot yang optimal bagi Kriging, harus ditentukan terlebih dahulu model variogramnya. Variogram eksperimen dari kedua data (Ngawi 1 dan Ngawi 2) akan disesuaikan dengan model-model variogram Linear, Eksponensial, dan Spherikal. Perhitungan ini menggunakan perangkat lunak Surfer8 dari Golden Software.

Model variogram terpilih adalah yang menghasilkan ragam sisaan yang paling

minimum karena sifat Kriging adalah

meminimumkan ragam, dan yang mempunyai nilai kriteria verifikasi terbaik (RMSE paling kecil).

Perbandingan Inverse Distance dengan Kriging

Setelah didapatkan parameter terbaik masing-masing Inverse Distance dan Kriging, maka dilakukan perbandingan untuk mengetahui metode interpolasi yang dianggap paling sesuai dengan menggunakan efisiensi prediksi atau goodness of predictionstatistics:

100 ) )(

(MSE MSE MSE 1x

G= zizi − , atau

[

*( ) ( )

]

/

[

( )

]

100 1 1 2 1 2 x x Z Z x Z x Z G n i i m n i i i ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ =

= =

dimana Zm merupakan rataan contoh,

) ( * xi

Z adalah data dugaan, dan Z(xi)adalah

data amatan (Mueller et al., 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel berikut ini merupakan hasil dari statistika deskriptif masing-masing data Ngawi 1 dan 2.

Tabel 1. Statistika deskriptif data.

Ngawi 1 Ngawi 2

Minimum 36 36

Maksimum 185 153

Rata-rata 91.72 80.46

Koef. Keragaman 0.34 0.27

Uji Kenormalan >0.15 >0.15

(29)

masing-4

Verifikasi

Dalam pemilihan pembobot optimum pada metode Inverse Distance dan variogram terbaik untuk Kriging dilakukan analisis sisaan antara data amatan dan dugaan menggunakan kriteria

RMSE (Root Mean Square Error). RMSE

merupakan nilai akar dari MSE (Mean Square Error).

MSE = Accuracy + Precision

= (Bias)2 + (Ragam Sisaan)

= ∑

= n

i b n 1i 1

+ 2

1 1

) n

i (bi b n ∑= −

Karena pendugaan yang akurat tidak menghasilkan bias dan akan menghasilkan eror yang kecil, maka persamaan MSE akan menjadi seperti berikut:

MSE =

= n i i) (b n 1 2 1 ,

dimana bi merupakan perbedaan antara nilai dugaan dan amatan (Mueller et al., 2004).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Penelitian ini menggunakan data survey hara P areal sawah Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Contoh tanah merupakan contoh komposit pada kedalaman 0-20cm terdiri dari 10-15 sub contoh. Jumlah contoh tanah komposit sebanyak 112 contoh masing-masing mewakili luasan areal sawah sekitar 625 ha (Sofyan et al., 2002).

Data ini terbagi menjadi dua berdasarkan lokasinya, yaitu Ngawi 1 dan Ngawi 2 yang masing-masing n berukuran 43 dan 44.

Metode

Secara umum ada empat langkah yang digunakan dalam metode ini, yaitu:

Pemilihan Parameter Pembobot Inverse Distance Optimum

Untuk menemukan pembobot yang dianggap paling optimum pada metode inverse distance dilakukan penghitungan nilai dugaan dengan menggunakan kombinasi parameter kuasa terhadap kedua data. Parameter kuasa yang digunakan terdiri dari 1, 1.5, 2, 2.5, dan 3. Penghitungan ini menggunakan perangkat lunak Surfer8 dari Golden Software.

Verifikasi data dilakukan dengan

menggunakan criteria RMSE (Root Mean

Square Error). Nilai RMSE yang paling minimum dianggap sebagai parameter terpilih, karena galatnya paling kecil.

Pemilihan Model Variogram

Untuk mencari pembobot yang optimal bagi Kriging, harus ditentukan terlebih dahulu model variogramnya. Variogram eksperimen dari kedua data (Ngawi 1 dan Ngawi 2) akan disesuaikan dengan model-model variogram Linear, Eksponensial, dan Spherikal. Perhitungan ini menggunakan perangkat lunak Surfer8 dari Golden Software.

Model variogram terpilih adalah yang menghasilkan ragam sisaan yang paling

minimum karena sifat Kriging adalah

meminimumkan ragam, dan yang mempunyai nilai kriteria verifikasi terbaik (RMSE paling kecil).

Perbandingan Inverse Distance dengan Kriging

Setelah didapatkan parameter terbaik masing-masing Inverse Distance dan Kriging, maka dilakukan perbandingan untuk mengetahui metode interpolasi yang dianggap paling sesuai dengan menggunakan efisiensi prediksi atau goodness of predictionstatistics:

100 ) )(

(MSE MSE MSE 1x

G= zizi − , atau

[

*( ) ( )

]

/

[

( )

]

100 1 1 2 1 2 x x Z Z x Z x Z G n i i m n i i i ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ =

= =

dimana Zm merupakan rataan contoh,

) ( * xi

Z adalah data dugaan, dan Z(xi)adalah

data amatan (Mueller et al., 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel berikut ini merupakan hasil dari statistika deskriptif masing-masing data Ngawi 1 dan 2.

Tabel 1. Statistika deskriptif data.

Ngawi 1 Ngawi 2

Minimum 36 36

Maksimum 185 153

Rata-rata 91.72 80.46

Koef. Keragaman 0.34 0.27

Uji Kenormalan >0.15 >0.15

(30)

masing-5

masing data. Nilai rata-rata pada tabel 1 mengindikasikan kandungan fosfor yang cukup tinggi dalam tanah. Menurut Leiwakabessy et al. (2003) kandungan fosfor yang tinggi bisa disebabkan oleh pemupukan. Selain itu jumlah fosfat yang tersedia di tanah-tanah pertanian biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada tanah-tanah yang tidak diusahakan. Hal ini diduga karena unsur ini tidak tercuci (residunya tinggi), sedangkan yang hilang melalui produksi tanaman sangat kecil.

Nilai koefisien keragaman untuk masing-masing data Ngawi 1 dan Ngawi 2 lebih dari 10%, mengindikasikan keragaman dalam lahan yang cukup besar (Yanai et al., 2000).

Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai-p yang lebih besar dari 0.15, oleh karena itu dapat disimpulkan kedua data telah mengikuti sebaran normal.

Parameter Pembobot Inverse Distance Optimum

a. Statistika deskriptif data dugaan dan sisaan

[image:30.595.320.509.73.181.2]

Hasil dari pendugaan data Ngawi 1 menggunakan metode Inverse Distance dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Nilai rata-rata, ragam dugaan, dan ragam sisaan data Ngawi 1.

i

zˆ Sisaan

p Mean Ragam Ragam

1 91.29 19.29 984.47

1.5 91.46 69.81 980.77

2 91.95 141.50 1007.09 2.5 92.56 212.27 1048.47

3 93.07 275.15 1093.99

Pada nilai rata-rata dugaan Ngawi 1 diatas, terlihat bahwa nilai rata-rata dugaan berada di sekitar nilai rata-rata amatan yaitu 91.72. Rataan yang paling mendekati rataan amatan adalah 91.95 yaitu pada saat p=2. Selain itu semakin besar nilai p, maka semakin besar pula nilai rata-rata dugaannya. Sedangkan ragam dugaan mempunyai nilai yang semakin besar seiring dengan peningkatan nilai p. Pada ragam sisaan, nilai yang paling minimum adalah ragam sisaan pada p=1.5 yaitu sebesar 980.77.

Tabel berikut memperlihatkan hasil pendugaan Inverse Distance terhadap data Ngawi 2.

Tabel 3. Nilai rata-rata, ragam dugaan, dan ragam sisaan data Ngawi 2.

i

zˆ Sisaan

p Mean Ragam Ragam

1 79.46 16.94 437.09 1.5 78.87 46.97 413.70

2 78.49 91.43 407.86 2.5 78.33 141.82 417.33

3 78.29 191.27 436.29

Hasil dugaan pada data Ngawi 2 ini, memperlihatkan nilai rataan yang semakin kecil berkebalikan dengan nilai ragam yang semakin membesar. Nilai rataan yang paling mendekati rata-rata amatan (80.46) adalah 79. 46, yaitu pada saat p=1. Nilai ragam sisaan yang paling minimum diperolah pada saat p=2, yaitu sebesar 407.86.

Ragam sisaan juga bisa dijadikan sebagai alat pertimbangan dalam melakukan pemilihan pembobot optimum selain RMSE. Karena penduga yang baik akan meminimumkan ragam galat atau sisaan.

b. Verifikasi data

Hasil dari verifikasi data menggunakan nilai RMSE ditampilkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4. Nilai RMSE Inverse Distance

p Ngawi 1 Ngawi 2

1 31.38 20.93

1.5 31.32 20.40

2 31.74 20.29

2.5 32.39 20.54 3 33.10 21.00

Penduga yang baik diharapkan akan menghasilkan galat yang minimum, sehingga data yang mempunyai nilai RMSE terkecil akan dipilih sebagai pembobot yang optimum. Pada tabel 4 terlihat bahwa nilai RMSE terkecil diperoleh pada p=1.5 untuk Ngawi 1 dan p=2 untuk Ngawi 2. Hasil ini juga sesuai dengan hasil ragam sisaan pada masing-masing data. Pada data Ngawi 1 misalnya, ragam sisaan minimum diperoleh pada saat p=1.5, sedang pada data Ngawi 2 ragam minimum diperoleh pada saat p=2, sesuai dengan yang diperoleh pada pemilihan menggunakan nilai RMSE.

Pemilihan Model Variogram

[image:30.595.319.473.418.499.2]
(31)

6

Linear, Eksponensial, dan Spherikal. Variogram eksperimen dari masing-masing data dapat dilihat pada Lampiran.

Variogram eksperimen data Ngawi 1 dan 2 yang disesuaikan dengan model-model variogram Linear, Eksponensial, dan Spherikal, menghasilkan nilai ragam dan nilai RMSE seperti yang terlihat pada tabel 5 dan 6. Nilai ragam minimum pada data Ngawi 1 diperoleh pada model Spherikal, yaitu sebesar 860.21. Begitu juga dengan nilai RMSE terbaik (minimum) diperoleh pada model Spherikal, yaitu sebesar 29.33. Sedangkan untuk data Ngawi 2, hasil ragam minimum diperoleh pada model Eksponensial, yaitu sebesar 384.34. Hasil ini juga sesuai dengan nilai RMSE minimum yang diperoleh, yaitu sebesar 19.61 pada model Eksponensial. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa untuk data Ngawi 1, model variogram yang terpilih adalah model Spherikal sedangkan untuk data Ngawi 2, model variogram yang terpilih adalah model Eksponensial.

Tabel 5. Nilai ragam galat dan RMSE data Ngawi 1

Model

Ragam

Galat RMSE

Linear 1017.86 31.94

Eksponensial 885.01 29.75

Spherikal 860.21 29.33

Tabel 6. Nilai ragam galat dan RMSE data Ngawi 2

Model

Ragam

Galat RMSE

Linear 388.76 19.72

Eksponensial 384.34 19.61

Spherikal 387.16 19.68

Dari model variogram yang terpilih dapat diperoleh informasi mengenai parameter-parameter geostatistiknya, seperti yang terlihat pada tabel 7. Dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2, variogram terpilih pada data Ngawi 1 dan 2 (Spherikal dan Eksponensial), mempunyai titik asal yang bukan nol (diskontinyu) yang mengindikasikan adanya

nugget effect. Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, nugget effect dapat terjadi karena adanya ragam galat dan ragam mikro. Ragam galat terjadi karena adanya kesalahan pengukuran oleh peneliti, atau dapat juga dika

Gambar

Gambar 3. Model Spherikal
Tabel 1. Statistika deskriptif data.   Ngawi 1
Tabel 4. Nilai RMSE Inverse Distance
Tabel 8. Hasil perbandingan nilai G (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Agar program ini berjalan lancar dan transparan maka perlu dilakukan monitoring secara efektif dan terpadu. Bentuk kegiatan monitoring adalah melakukan

Rekapitulasi penggunaan Dana BOS yang diperoleh dari Tim Manajemen BOS Sekolah dengan menggunakan Formulir BOS-K8 sebagaimana dijelaskan pada Petunjuk Teknis Laporan

satuan pendidikan dan password sebagaimana yang biasa digunakan oleh satuan pendidikan untuk login ke dalam sistem Dapodikdasmen. Setelah berhasil, maka pada layar komputer

Buku Kas Umum harus diisi tiap transaksi (segera setelah transaksi tersebut terjadi dan tidak menunggu terkumpul satu minggu/bulan) dan transaksi yang dicatat

Untuk itu diharapkan para pelatih mempunyai kemampuan analisis gerak dari sudut pandang biomekanika yang diharapkan mampu memberikan informasi teknik yang benar dan melakukan

Pengembangan aplikasi tata cara wudhu dan shalat merupakan aplikasi berbasis android, yang bisa saja digunakan kapanpun dan oleh siapapun karena dengan perkembangan

bahwa sehubungan maksud huruf a tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan dari pasal 20 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional

Untuk karakteristik jalur pejalan kaki, lebar jalur pejalan kaki yang ada tidak sesuai dengan lebar minimal yang ditetapkan, dan banyaknya pedagang kaki lima yang menggunakan