• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

POLIGAMI PADA SUKU BANGSA KARO

( Kajian Kasus Tentang Perubahan Bentuk Perkawinan Poligami

ke Bentuk Monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe )

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Oleh :

Meri Sitorus

020905003

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

ABSTRAK

Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo (Merry Sitorus, 2007). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 105 halaman, 8 tabel, 23 daftar pustaka dan 3 lampiran, yang terdiri dari surat penelitian, peta desa dan daftar istilah.

Penelitian ini mengkaji tentang pergeseran bentuk perkawinan poligami ke bentuk perkawinan monogami di Desa Sukanalu. Sekitar tahun 1950-an tingkat perkawinan poligami di desa ini cukup tinggi yaitu sekitar 75% dari jumlah laki-laki yang telah berumah tangga. Karena tingginya tingkat poligami itulah maka munculah istilah bagi perempuan Sukanalu yaitu Lembut Sukanalu, tingginya tingkat poligami di desa ini karena tidak adanya larangan dari adat yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka, baik dalam perkawinan maupun aspek yang lain. Faktor lain yang dianggap cukup besar pengaruhnya adalah nilai perkawinan poligami yang dijunjung tinggi oleh masyarakat khususnya kaum lelaki. Bila seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu dianggap lebih unggul, lebih berwibawa serta lebih terhormat di mata masyarakat dan menjadi suatu kebanggaan, untuk itu setiap laki-laki akan berusaha untuk mencapainya.

Penelitian yang dilakukan di Desa Sukanalu ini bertujuan untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang pada saat ini telah mengalami pergeseran ke bentuk perkawiann monogami. Hal yang dikaji yaitu latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami dan faktor-faktor yang memicu terjadinya pergeseran tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif yang bersifat deskriptif, metode wawancara dan life history method.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pada masyarakat Karo perkawinan dilangsungkan secara bertahap, sesuai dengan ketentuan hukum adat dan berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal. Perkawinan pada masyarakat Karo menganut sisitem kekerabatan, dimana isteri masuk ke dalam klen kekuasaan suami. Pada perkawinan yang pertama biasanya diadakan dengan pesta yang cukup meriah dan dengan pemberian tukur yang telah ditentukan sebelumnya, namun pada perkawinan kedua dan seterusnya cukup diadakan dengan makan bersama di dalam rumah saja dan dengan jumlah tukur yang diberikan seadanya. Alasan yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami yaitu karena faktor ekonomi, perjudian, longgarnya hubungan suami dan isteri, prestise sosial dan penghindaran status janda.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena begitu

besar kasih karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi

ini berjudul “Poligami Pada Suku Bangsa Karo” suatu kajian antropologis tentang

pergeseran perkawinan poligami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu,

Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo.

Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen

Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan

guna memperoleh gelar Sarjana Sosial.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,

yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku dekan FISIP-USU Medan

2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku pambantu dekan I atas fasilitas yang telah

diberikan kepada penulis.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku ketua Departemen Antropologi

FISIP-USU.

4. Bapak Drs. Irfan Simatupang, Msi selaku sekretaris Departemen Antropologi

FISIP-USU Medan.

5. Ibu Dra. Mariana Makmur, MA selaki Dosen Wali sekaligus Dosen

Pembimbing yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan

dan dengan sabarnya memberikan motivasi, bimbingan dan arahannya

(5)

6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membekali

penulis dengan ilmu pengetahuan.

7. Informan penulis Bapak A. Sitepu (Kepala Desa Sukanalu), Bapak T. Bangun

(Sekretaris Desa Sukanalu), Bapak S. Sutepu (Ketua Adat Desa Sukanalu),

serta keluarga T. Ginting, keluarga S. Sembiring, dan keluarga J. Tarigan,

mereka telah banyak memberikan waktu dan informasi kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

8. Untuk kedua orang tuaku yang kucintai dan kusayangi, ayahanda Alm. J.

Sitorus dan Ibunda T. Sibarani, yang telah melahirkan, membesarkan,

mendidik dan mencurahkan kasih saying dan perhatian serta doa yang tulus

kepada penulis.

9. Untuk kakak-kakak dan adik-adikku yang berada di Jambi, walaupun

berjauhan tetap selalu setia mendoakan, memberikan motivasi dan memantau

setiap perkembangan skripsi penulis.

10. Teristimewa untuk orang terdekat penulis, E. T. Sinaga yang dengan segala

kesabaran membantu, memberikan motivasi dan pengarahan dalam

penyelesaian skripsi ini. Terima kasih buat cinta dan kasih sayangnya,

pengertian dan kesetiannya yang mampu membuat penulis bertahan di

saat-saat susah.

11. Untuk sahabat-sahabatku : Mila, Tere, Rudolf, Shintia, Dian, Susi, yang

selama ini banyak membantu penulis mulai dari awal perkuliahan sampai

sekarang. Terima kasih atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini,

(6)

12. Untuk teman-teman satu kontrakan rumah dengan penulis: Deli, Jona, Gibson,

Michael, Sinta, Kristo, terima kasih banyak ya atas kebersamaan dan

keceriaan selama ini. Serta pihak-pihak yang tidak dapat penulis ucapakan

satu persatu.

Dalam penulisan skipsi ini penulis menyadari masih banyak terdapat

kekurangan yang disebabkan keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis dalam

penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik

dan saran yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan penulisan

skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Medan,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena begitu

besar kasih karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi

ini berjudul “Poligami Pada Suku Bangsa Karo” suatu kajian antropologis tentang

pergeseran perkawinan poligami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu,

Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo.

Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen

Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan

guna memperoleh gelar Sarjana Sosial.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,

yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku dekan FISIP-USU Medan

2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku pambantu dekan I atas fasilitas yang telah

diberikan kepada penulis.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku ketua Departemen Antropologi

FISIP-USU.

4. Bapak Drs. Irfan Simatupang, Msi selaku sekretaris Departemen Antropologi

FISIP-USU Medan.

5. Ibu Dra. Mariana Makmur, MA selaki Dosen Wali sekaligus Dosen

Pembimbing yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan

dan dengan sabarnya memberikan motivasi, bimbingan dan arahannya

(8)

6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membekali

penulis dengan ilmu pengetahuan.

7. Informan penulis Bapak A. Sitepu (Kepala Desa Sukanalu), Bapak T. Bangun

(Sekretaris Desa Sukanalu), Bapak S. Sutepu (Ketua Adat Desa Sukanalu),

serta keluarga T. Ginting, keluarga S. Sembiring, dan keluarga J. Tarigan,

mereka telah banyak memberikan waktu dan informasi kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

8. Untuk kedua orang tuaku yang kucintai dan kusayangi, ayahanda Alm. J.

Sitorus dan Ibunda T. Sibarani, yang telah melahirkan, membesarkan,

mendidik dan mencurahkan kasih saying dan perhatian serta doa yang tulus

kepada penulis.

9. Untuk kakak-kakak dan adik-adikku yang berada di Jambi, walaupun

berjauhan tetap selalu setia mendoakan, memberikan motivasi dan memantau

setiap perkembangan skripsi penulis.

10. Teristimewa untuk orang terdekat penulis, E. T. Sinaga yang dengan segala

kesabaran membantu, memberikan motivasi dan pengarahan dalam

penyelesaian skripsi ini. Terima kasih buat cinta dan kasih sayangnya,

pengertian dan kesetiannya yang mampu membuat penulis bertahan di

saat-saat susah.

11. Untuk sahabat-sahabatku : Mila, Tere, Rudolf, Shintia, Dian, Susi, yang

selama ini banyak membantu penulis mulai dari awal perkuliahan sampai

sekarang. Terima kasih atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini,

(9)

12. Untuk teman-teman satu kontrakan rumah dengan penulis: Deli, Jona, Gibson,

Michael, Sinta, Kristo, terima kasih banyak ya atas kebersamaan dan

keceriaan selama ini. Serta pihak-pihak yang tidak dapat penulis ucapakan

satu persatu.

Dalam penulisan skipsi ini penulis menyadari masih banyak terdapat

kekurangan yang disebabkan keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis dalam

penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik

dan saran yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan penulisan

skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Medan,

(10)

DAFTAR ISI

1.3 Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian ... 10

1.4 Tujuan dan Manfaat Pnelitian ... 11

1.5 Tinjauan Pustaka ... 12

1.6 Perkawinan Menurut Hukum Adat Karo ... 15

1.7 Metodologi Penelitian ... 19

1.8 Kendala-Kendala di Lapangan ... 22

BAB II Gambaran Umum Desa Sukanalu ... 25

2.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah ... 25

2.2 Asal Usul dan Sejarah Terjadinya Desa ... 26

2.3 Pola Pemukiman ... 27

2.4 Sarana Transportasi ... 28

2.5 Sarana Kesehatan ... 29

2.6 Mata Pencaharian Penduduk ... 29

2.7 Keadaan Penduduk ... 31

BAB III Perkawinan Poligami Pada Masyarakat Karo ... 35

3.1 Pengertian Perkawinan ... 35

(11)

3.2.3 Tahapan Kegiatan Sesudah Perkawinan ... 49

3.3 Bentuk Perkawinan ... 53

3.4 Sahnya Perkawinan ... 57

3.5 Poligami Secara Umum Pada Masyarakat Karo ... 59

BAB IV Poligami di Desa Sukanalu ... 62

4.1 Kasus-kasus di Desa Sukanalu ... 63

4.1.1 Kasus I ... 63

4.1.2 Kasus II ... 65

4.1.3 Kasus III ... 67

4.1.4 Kasus IV ... 68

4.2. Data-Data Informan Pelaku Poligami ... 70

4.3 Perbandingan Perubahan Paradigma Berpikir Pelaku Poligami dan Pelaku Monogami ... 85

4.4 Dampak Poligami Terhadap Perempuan ... 90

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 93

5.1 Kesimpulan ... 93

5.2 Saran ... 97

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pengelolaan Alam di Desa Sukanalu ... 25

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 31

Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Umur ... 33

Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 34

Tabel 5. Pelaku Poligami dan Alasannya ... 71

Tabel 6. Pelaku Monogami dan Alasannya ... 77

Tabel 7. Perbandingan Alasan Pelaku Poligami dan Monogami ... 81

(13)

ABSTRAK

Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo (Merry Sitorus, 2007). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 105 halaman, 8 tabel, 23 daftar pustaka dan 3 lampiran, yang terdiri dari surat penelitian, peta desa dan daftar istilah.

Penelitian ini mengkaji tentang pergeseran bentuk perkawinan poligami ke bentuk perkawinan monogami di Desa Sukanalu. Sekitar tahun 1950-an tingkat perkawinan poligami di desa ini cukup tinggi yaitu sekitar 75% dari jumlah laki-laki yang telah berumah tangga. Karena tingginya tingkat poligami itulah maka munculah istilah bagi perempuan Sukanalu yaitu Lembut Sukanalu, tingginya tingkat poligami di desa ini karena tidak adanya larangan dari adat yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka, baik dalam perkawinan maupun aspek yang lain. Faktor lain yang dianggap cukup besar pengaruhnya adalah nilai perkawinan poligami yang dijunjung tinggi oleh masyarakat khususnya kaum lelaki. Bila seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu dianggap lebih unggul, lebih berwibawa serta lebih terhormat di mata masyarakat dan menjadi suatu kebanggaan, untuk itu setiap laki-laki akan berusaha untuk mencapainya.

Penelitian yang dilakukan di Desa Sukanalu ini bertujuan untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang pada saat ini telah mengalami pergeseran ke bentuk perkawiann monogami. Hal yang dikaji yaitu latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami dan faktor-faktor yang memicu terjadinya pergeseran tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif yang bersifat deskriptif, metode wawancara dan life history method.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pada masyarakat Karo perkawinan dilangsungkan secara bertahap, sesuai dengan ketentuan hukum adat dan berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal. Perkawinan pada masyarakat Karo menganut sisitem kekerabatan, dimana isteri masuk ke dalam klen kekuasaan suami. Pada perkawinan yang pertama biasanya diadakan dengan pesta yang cukup meriah dan dengan pemberian tukur yang telah ditentukan sebelumnya, namun pada perkawinan kedua dan seterusnya cukup diadakan dengan makan bersama di dalam rumah saja dan dengan jumlah tukur yang diberikan seadanya. Alasan yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami yaitu karena faktor ekonomi, perjudian, longgarnya hubungan suami dan isteri, prestise sosial dan penghindaran status janda.

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pengelolaan Alam di Desa Sukanalu ... 25

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 31

Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Umur ... 33

Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 34

Tabel 5. Pelaku Poligami dan Alasannya ... 71

Tabel 6. Pelaku Monogami dan Alasannya ... 77

Tabel 7. Perbandingan Alasan Pelaku Poligami dan Monogami ... 81

(15)

ABSTRAK

Poligami pada suku Bangsa Karo, studi antropologis tentang perubahan perkawinan pologami ke perkawinan monogami di Desa Sukanalu Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo (Merry Sitorus, 2007). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 105 halaman, 8 tabel, 23 daftar pustaka dan 3 lampiran, yang terdiri dari surat penelitian, peta desa dan daftar istilah.

Penelitian ini mengkaji tentang pergeseran bentuk perkawinan poligami ke bentuk perkawinan monogami di Desa Sukanalu. Sekitar tahun 1950-an tingkat perkawinan poligami di desa ini cukup tinggi yaitu sekitar 75% dari jumlah laki-laki yang telah berumah tangga. Karena tingginya tingkat poligami itulah maka munculah istilah bagi perempuan Sukanalu yaitu Lembut Sukanalu, tingginya tingkat poligami di desa ini karena tidak adanya larangan dari adat yang menjadi pedoman dalam kehidupan mereka, baik dalam perkawinan maupun aspek yang lain. Faktor lain yang dianggap cukup besar pengaruhnya adalah nilai perkawinan poligami yang dijunjung tinggi oleh masyarakat khususnya kaum lelaki. Bila seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu dianggap lebih unggul, lebih berwibawa serta lebih terhormat di mata masyarakat dan menjadi suatu kebanggaan, untuk itu setiap laki-laki akan berusaha untuk mencapainya.

Penelitian yang dilakukan di Desa Sukanalu ini bertujuan untuk mencari dan mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang pada saat ini telah mengalami pergeseran ke bentuk perkawiann monogami. Hal yang dikaji yaitu latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami dan faktor-faktor yang memicu terjadinya pergeseran tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif yang bersifat deskriptif, metode wawancara dan life history method.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa pada masyarakat Karo perkawinan dilangsungkan secara bertahap, sesuai dengan ketentuan hukum adat dan berdasarkan sistem kekerabatan patrilineal. Perkawinan pada masyarakat Karo menganut sisitem kekerabatan, dimana isteri masuk ke dalam klen kekuasaan suami. Pada perkawinan yang pertama biasanya diadakan dengan pesta yang cukup meriah dan dengan pemberian tukur yang telah ditentukan sebelumnya, namun pada perkawinan kedua dan seterusnya cukup diadakan dengan makan bersama di dalam rumah saja dan dengan jumlah tukur yang diberikan seadanya. Alasan yang memicu tingginya tingkat perkawinan poligami yaitu karena faktor ekonomi, perjudian, longgarnya hubungan suami dan isteri, prestise sosial dan penghindaran status janda.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Penelitian tentang poligami pada masyarakat Desa Sukanalu yang pernah

dilakukan sebelumnya oleh Kira1 membuat penulis tertarik untuk mengangkat kembali

topik yang sama di lokasi yang sama saat ini. Poligami bukanlah hal yang baru bagi

masyarakat Desa Sukanalu, bahkan pada tahun 1970-an, poligami menjadi tren yang

kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukanalu, namun seiring berjalannya waktu,

poligami surut dari masyarakat desa tersebut dan hal tersebut menjadi fokus dari

penelitian Kira Sembiring.

Adapun maksud penulis dengan mengangkat kembali topik yang sama dan

lokasi yang sama adalah untuk melihat dan memastikan apakah bentuk perubahan

perkawinan poligami ke monogami yang terjadi pada masa lalu masih sama pada saat

ini mengingat penelitian yang dilakukan 20 tahun yang lalu. Atau adakah hal-hal lain

yang mungkin terlewatkan dan penulis bermaksud untuk meneliti kembali masalah ini.

Selanjutnya pada Bab IV penulis akan menuliskan kasus-kasus poligami yang penulis

dapatkan di lapangan, juga alasan-alasan dari key informan penulis melakukan poligami dan yang tidak melakukan perkawinan poligami pada dewasa ini. Selanjutnya untuk

semakin mempermudah pembaca untuk membacanya peneliti juga akan

memperbandingkan perubahan paradigma berfikir dari pelaku poligami dan pelaku

(17)

Apakah setelah puluhan tahun sejak maraknya poligami di desa itu, terjadi

perubahan atas pola perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakatnya atau tetap tidak

berubah sama sekali atau hanya terdapat modifikasi atas pola yang telah ada. Dalam

penelitiannya, Kira telah memaparkan secara rinci bagaimana pola perkawinan yang

kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Sukanalu, apakah yang menjadi latar belakang

masyarakat Desa Sukanalu kerap melaksanakan perkawinan dengan pola poligami, serta

faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan berpoligami berkurang seiring

berjalannya waktu. Penulis saat ini juga akan turut membahas hal-hal tersebut, hanya

saja informan yang akan dijadikan sumber informasi adalah masyarakat yang saat ini

tinggal di Desa Sukanalu yang memiliki pola pikir yang diduga telah berbeda dengan

masyarakat masa lalu, karena adanya perkembangan zaman serta informan kunci yang

memang pelaku poligami dari masa lalu.

Adanya perbedaan pola pikir tentunya akan memberikan penjelasan yang

berbeda atas sikap terhadap fenomena poligami di Desa Sukanalu. Selain itu ada

Beberapa hal yang membedakan antara penelitian yang dilakukan oleh Kira Sembiring

dengan yang peneliti saat ini lakukan, antara lain penelitian yang dilakukan Kira

Sembiring tidak menampilkan informan kunci yang merupakan pelaku poligami pada

masa lalu dan informan lainnya sebagai sumber informasi, sedangkan peneliti saat ini

menampilkan informan kunci yang merupakan pelaku poligami pada masa lalu dan

pelaku poligami pada saat sekarang ini, serta pelaku monogami.

Penelitian yang dilakukan oleh Kira Sembiring secara langsung menampilkan

faktor-faktor yang menjadi penyebab perkawinan poligami masyarakat Desa Sukanalu

(18)

munculnya poligami yang kemudian dikelompokan menjadi faktor-faktor yang

menyebabkan timbulnya poligami

Kontroversial antara golongan yang pro dan kontra terhadap poligami kerap

memenuhi media informasi baik cetak maupun elektronik. Bahkan tak jarang

perseteruan terbuka terjadi untuk mendukung atau menolak poligami. Sekalipun orang

yang mendukung tersebut adalah orang terpandang, namun mereka tidak segan untuk

mengakui tindakan poligami yang telah dilakukannya dalam perkawinan. Saat ini topik

poligami juga kerap disajikan kepada masyarakat lewat berbagai bentuk, seperti talk

show, humor, seminar, bahkan film layar lebar. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat

ketertarikan masyarakat akan hal tersebut.

Poligami sebenarnya bukan lah isu yang baru dalam kehidupan sosial

masyarakat tertentu. Puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, sejarah telah

mencatat praktik poligami dalam kehidupan seseorang. Sebut saja raja-raja China yang

memiliki isteri serta selir-selirnya. Hal tersebut juga merupakan praktek poligami di

masa lampau meskipun cara dan tujuan berpoligami itu berbeda. Begitu juga hal nya

dengan kasus poligami yang terjadi di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe,

Kabupaten Karo.

Desa ini memiliki imej poligami pada masa lampau. Begitu banyak nya kasus

masa lalu tentang poligami membuat desa ini menjadi terkenal di Kabupaten Karo.

Namun saat ini kasus-kasus serupa sudah semakin jarang ditemui, yang tinggal kasus

lama dan sejumlah kecil kasus baru. Seiring waktu, imej poligami yang melekat pada

masa lalu luntur. Berbicara mengenai poligami tentu erat kaitannya dengan perkawinan.

(19)

paling penting dalam lingkaran hidup semua manusia di dunia adalah peralihan dari

tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga ialah perkawinan. Di pandang dari

sudut kebudayaan tertentu, perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang

bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, yaitu kelakuan-kelakuan seks terutama

dalam persetubuan sebagai kebutuhan biologis (Koentjaraningrat, 1997:90). Berkenaan

dengan hal itu perkawinan dapat dilakukan antara satu orang laki-laki dengan satu orang

perempuan (monogami), atau antara satu orang laki-laki dengan beberapa orang

perempuan (poligini) ataupun sebaliknya antara satu orang perempuan dengan beberapa

orang laki-laki (poliandri) yang sering dikenal dengan perkawinan poligami.

Perkawinan yang mencakup adat dan upacara merupakan unsur kebudayaan

yang dihayati dari masa ke masa dan akan ada dalam masyarakat yang berbudaya,

walau dalam batas ruang dan waktu akan mengalami perubahan-perubahan. Dalam adat

dan upacara perkawinan ini juga terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang sangat

luas dan kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam

masyarakat dan juga mengatur dan mengukuhkan suatu bentuk hubungan yang sangat

esensial antara manusia yang berlainan jenis.

Upacara perkawinan yang ada dalam kehidupan suatu masyarakat akan

berlangsung pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupannya. Tahap-tahap pertumbuhan

sepanjang hidup induvidu akan mempengaruhi dan membawa perubahan-perubahan

terhadap individu itu sendiri, baik biologi, sosial budaya maupun jiwanya. Oleh karena

itu tiap tingkat pertumbuhan yang membawa setiap individu memasuki tingkat dan

lingkungan sosial yang baru yang lebih merupakan saat-saat yang penuh bahagia dan

(20)

Meskipun perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang tidak dapat dilepaskan

dari ketentuan Tuhan, tiap individu mempunyai tujuan dan alasan yang berbeda-beda

untuk melaksanakan suatu perkawinan yaitu sebagai pengatur hubungan seks, memberi

status sosial dalam kehidupan kerabat, memberi hak milik akan anak-anak, gengsi, dan

memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat (Keesing, 1981:152).

Sehubungan dengan hal itu Pasurdi suparlan (1981:171) juga mengemukakan

bahwa perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki dan perempuan yang

diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan, dan tentu saja berdasarkan atas

peraturan perkawinan yang berlaku. Suatu perkawinan bukan hanya mewujudkan

adanya keluarga dan memberikan keabsahan atas status kelahiran anak-anak mereka

saja, tetapi yang melibatkan hubungan di antara kerabat-kerabat masing-masing

pasangan tersebut.

Sebenarnya praktik poligami bukanlah persoalan teks, ataupun berkah,

melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat

dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi

agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan

pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah lewat poligami akan diperoleh tenaga

kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun struktur

masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priyayi, poligami tak lain dari

bentuk pembenda matian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang

berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial laki-laki.

Masalah poligami dipandang cukup krusial dalam pandangan feminis. Menurut

(21)

dikhianati cintanya oleh orang yang disayangi. Belum lagi bila suami bersikap tidak adil

dan lebih cenderung kepada isteri lainnya, menyebabkan perempuan (isteri pertamanya)

ditelantarkan begitu pun anak-anaknya. Alasan inilah yang digunakan untuk menolak

hukum kebolehan poligami. Kaum feminis mengingkari kebolehan poligami dan

mencoba mengharamkannya. Keputusan haram lahir dari fakta yang menunjukkan

bahwa pelaku poligami umumnya berlaku tidak adil dan menyebabkan perempuan

teraniaya. Dengan demikian poligami harus dilarang karena ekses yang ditimbulkannya

berupa ketidakadilan bagi isteri dan anak-anak.

Selanjutnya ketidakadilan poligami dinilai dari tidak etisnya alasan

ketidakmampuan isteri untuk bisa memperoleh keturunan yang sering dijadikan alasan

mengajukan poligami. Keadaan isteri yang mandul harus dibuktikan secara medis bukan

hanya klaim suami saja. Kalaupun isteri terbukti mandul, bukankah akan sangat

menyakitkan hatinya jika kekurangan fisik yang telah diberikan oleh sang Pencipta itu

dijadikan dalih agar suami bisa kawin lagi.

Dalam fakta lain menunjukkan tidak sedikit isteri yang mendorong suaminya

kawin lagi agar ia mempunyai keturunan. Fakta menunjukkan ada banyak keluarga yang

melakukan poligami, mereka hidup rukun dan damai, harmonis dan saling membantu.

Jadi, masalah yang seringkali muncul sebenarnya bukan karena poligami itu

sendiri, melainkan karena pelaku poligami dalam hal ini seorang suami tidak

menjalankan konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Saat ia memutuskan untuk

berpoligami, seharusnya ia memahami dan menjalankan konsekuensinya. Ia harus

mampu menghidupi lebih dari satu keluarga. Orang-orang yang berada di bawah

(22)

memenuhi konsekuensi dari berpoligami dan berbuat tidak adil seperti menelantarkan

isteri pertama dan anak-anaknya, yang disalahkan bukan hukum kebolehan poligami.

Melainkan pelaku poligami itu sendiri.

Hal yang mencolok dari dampak poligami itu sendiri di Desa Sukanalu adalah

persaingan antara isteri tua dengan isteri muda dalam mencari perhatian suami, yang

sering berujung pada pertengkaran dalam rumah tangga. Isteri yang lebih muda

biasanya akan memenangkan pertikaian dan memperoleh perhatian lebih dari suami.

Kebanyakkan isteri yang lebih muda menganggap dirinya lebih unggul tentang segala

hal yang dapat menimbulkan rasa bangga serta tidak mau perduli dengan pandangan

keluarga serta penduduk disekitarnya. Walaupun pandangan masyarakat terhadap isteri

kedua atau ketiga adalah suatu perbuatan yang memalukan terutama bagi orang tua serta

sering dipergunjingkan masyarakat. Sementara isteri pertama merasa sebagai manusia

lemah, penuh kekurangan dan tidak mampu dalam mengurus rumah tangga

Perkawinan poligami di desa ini biasanya tidak mendapat restu dari orang tua

khususnya orang tua pihak perempuan. Sering terjadi orang tua pihak perempuan secara

terpaksa harus menerima uang jujur dengan jumlah ala kadarnya saja (sesuai dengan

keinginan pihak laki-laki) yang tanpa lebih dulu dimusyawarahkan. Perkawinan seperti

ini jarang dilaksanakan dengan meriah, cukup dengan makan bersama dalam rumah

saja.

Perkawinan dalam masyarakat tidak selalu sama akan tetapi dapat dijumpai

perbedaan-perbedaan dalam tata cara pelaksanaan, namun demikian makna dan

tujuannya sama. Pada masyarakat Karo (Darwan Prinst 2004 :7), proses perkawinan ada

(23)

1. Arah Adat (menurut adat), yaitu suatu proses perkawinan dimana peranan orang tua lebih dominan, artinya pihak orang tualah yang lebih mengusahakan

agar pekawinan itu dapat dilaksanakan. Peranan orang tua di sini mulai dari

petandaken atau perkenalan calon mempelai, mbaba belo selambar atau pertunangan/ peminangan dan sampai upacara perkawinan.

2. Arah Ture (dengan persetujuan kedua mempelai saja), yaitu perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan kehendak kedua belah pihak calon mempelai dan

orang tua tidak mempunyai peran dari awal tetapi orangtua selalu mengikuti

pembicaraan mereka sehingga pada akhirnya orangtua menyelenggarakan

perkawinan mereka.

Menurut Darwan Prinst (2004), fungsi perkawinan pada masyarakat Karo adalah

Melanjutkan hubungan kekeluargaan, menjalin hubungan kekeluargaan apabila

sebelumnya belum ada hubungan kekeluargaan, melanjutkan keturunan dengan lahirnya

anak laki – laki dan perempuan, menjaga kemurnian dari suatu keturunan, menghindari

berpindahnya harta kekayaan pada keluarga lain, mempertahankan dan memperluas

hubungan kekeluargaan.

1.2. Perumusan Masalah

Seperti telah diuraikan di atas bahwa tujuan utama dari perkawinan bagi

masyarakat Karo adalah mendapatkan keturunan. Hal ini sangatlah penting dalam

mempertahankan garis keturunan berupa merga. Oleh karena itu, bagi suku bangsa Karo yang menganut sisitem patrilineal, anak laki-laki sangatlah penting. Yang menjadi

(24)

yang notabene sebagai penerus merga? Apakah hal ini layak menjadi sebuah dalih untuk

melangsungkan perkawinan poligami? Pertanyaan lain, mengapa seorang perempuan

bersedia di jadikan isteri muda dalam sebuah rumah tangga? Dan secara global masalah

penelitian ini akan mengkaji sebab-sebab terjadinya perubahan perkawinan dari

poligami ke perkawinan monogami.

1.3 Ruang Lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Latar belakang tingginya jumlah perkawinan poligami di Desa Sukanalu pada

masa lalu. Apakah ada hal-hal yang istimewa yang memicu tingginya tingkat

perkawinan poligami dalam kehidupan bermasyarakat di desa itu?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkawinan poligami tersebut?

Apakah ada faktor yang berasal dari dalam desa atau dari luar desa?

3. Bagaimana pandangan masyarakat tentang perkawinan poligami dan pelaku

perkawinan poligami? Mungkin akan timbul pro dan kontra namun bagaimana

pandangan masyarakat secara umum?

4. Bagaimana perkawinan poligami itu di langsungkan, apakah akan dilangsungkan

seperti perkawinan pertama?

5. Apa yang menjadi motivasi perempuan sehingga mau dipoligami atau dijadikan

isteri kedua atau isteri muda?

(25)

7. Faktor-faktor yang memicu pergeseran bentuk perkawinan poligami ke

perkawinan monogami di desa tersebut pada masa sekarang?

Lokasi penelitin ini dilakukan di Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe,

Kabupaten Karo. Desa ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini

mempunyai tingkat poligami yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa

tetangganya. Di Desa Sukanalu sendiri kurang lebih 75% dari rumah tangga

melakukan poligami khususnya poligini, sedangkan di desa-desa tetangganya hanya

sekitar 10%. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikkan tersendiri desa tersebut

bila di bandingkan dengan desa-desa lainnya. Namun seiring dengan perkembangan

zaman serta perubahan pandangan perempuan-perempuan di desa tersebut akan

makna perkawinan, perilaku ini mengalami pergeseran ke perkawinan monogami.

Karena itulah peneliti tertarik dan memutuskan Desa Sukanalu sebagai lokasi

penelitian.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya suatu perubahan

dalam kehidupan suatu masyarakat, khususnya untuk mencari dan mendeskripsikan

sebab-sebab terjadinya kecenderungan berpoligami yang telah mengalami perubahan

pada masyarakat Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe.

Secara umum penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam memperkaya

literatur dan khasanah pengetahuan tentang konsep perkawinan yang berlaku dalam

(26)

1.5 Tinjauan Pustaka

Suku bangsa Karo sebagaimana suku bangsa lain mempunyai tata cara

perkawinan yang khas. Namun pada prinsipnya adalah sama saja yaitu diawali dengan

pengenalan, pacaran, pertunangan, meminang, pengesahan (Perkawinan) dan upacara

pensakralan.

Ada beberapa sarjana hukum adat berpendapat bahwa suku Karo digolongkan

pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Namun bila

memperhatikan hal tersebut dengan merujuk pada perkembangan hukum sekarang

khususnya pada bidang perkawinan, maka suku Karo tidak hanya memperhatikan

garis keturunan dari bapak saja, tetapi juga garis keturunan dari ibu, sebagaimana

telah disebutkan Sempa Sitepu bahwa “Suku Karo sudah merupakan berkerabatan

parental dan bilateral, artinya tidak hanya menghitung dari garis keturunan ayah saja

tetapi juga garis keturunan sang ibu sehingga diberi gelar bebere. Dalam hubungan kekeluargaan pada masyarakat Karo, Hilam Hadikusuma mengatakan bahwa “ …yang

selalu dituakan dan dihormati adalah merga pemberi anak dara, karena dianggap

sebagai dibata idah ( dewa yang nampak )”

Pengaruh sistem kekerabatan terhadap keluarga dan anak-anak

( Soerjono Soekanto, 2003 ) adalah :

Perkawinan dalam sistem ini akan mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi

warga masyarakat dari pihak suaminya. Sebagaimana konsekuensinya dan

keadaan itu maka anak – anak yang akan lahir dalam suatu perkawinan akan

menarik garis keturunan pihak ayahnya dan akan menjadi anggota masyarakat

(27)

Mengenai sistem kekerabatan ini, Harahap (1995: 154-155) mengatakan

bahwa “Sistem kekeluargaan sekarang sudah mengarah kepada sistem kekeluargaan

parental, meskipun dalam kehidupan sehari hari stelsel kekeluargaan patrilineal atau

matrilineal masih diakui eksistensinya, namun sepanjang masalah warisan telah terjadi

pergeseran dan stelsel patrilineal kearah parental “masyarakat Karo menganut sistem

kemasyarakatan patriarchat yaitu masyarakat yang diperintah secara kekeluargaan”. Hal mana terlihat dari kedudukan atau jabatan adat dalam masyarakat yang memiliki

keunikkan tersendiri bila dibandingkan dengan kedudukan atau jabatan pada

masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia.

Kedudukan atau jabatan dalam masyarakat Karo terdiri dari kalimbubu, senina, atau sembuyak dan anak beru yang biasanya disebut dengan sangkep sitelu. Kedudukan atau jabatan ini memilii fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya yaitu

kalimbubu adalah pihak yang menyerahkan anak dara untuk dinikahkan dan sebagai pihak yang mengesahkan utusan dalam pertemuan–pertemuan (runggun) keluarga atau

kerabat. Jadi, kalimbubu ini dapat dibagi atas beberapa golongan yaitu: kalimbubu banana/kalimbubu tanah (ketururunan dari orang yang dianggap sebagi pembuka kampung atau manteki kuta) puang kalimbubu (Kalimbubu dari kalimbubu). Sementara senina atau sada ninina adalah orang yang satu keturunan yang timbul dari merga atau bebere yang sama. Senina ini terdiri dari siperemen dan sipengalon serta sendalanen.

Anak beru adalah pihak yang bertindak sebagai penerima anak dara yang berfungsi sebagai perantara pembicaraan dalam pertemuan–pertemuan adat yang

(28)

dari anak beru tua, anak beru menteri (anak beru dari anak beru), anak beru singerana, anak beru ncekuh baka tutup, anak beru iangkip, dan anak beru taneh.

Jabatan atau kedudukan adat sebagaimana tersebut diatas dapat melekat secara

seluruhnya maupun sebagian saja pada satu orang. Sebagaimana disebutkan Sempa

Sitepu bahwa “sebab pada orat tutur pada masyarakat Karo sering ada pergantian”, misal pada suatu ketika si A menjadi kalimbubu, tetapi pada pesta adat yang lain si A dapat menjadi anak beru. Disinilah terlihat keunikkan kedudukan atau jabatan yang

dimiliki oleh masyarakat adat Karo tersebut.

Kedudukan atau jabatan bagaimana orang bersikap dan bertindak terhadap orang

lain dan juga menentukan dimana seseorang itu mengambil tempat dalam melaksanakan

upacara adat maupun runggun. Artinya kedudukan atau jabatan adat tersebut tidak

menunjukan hubungan kekerabatan diantara anggota masyarakat. Dengan demikian

maka pada masyrakat Karo tidak ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi,

karena masing masing pribadi duduk pada kelompoknya masing masing seperti

kalimbubu, senina, anak beru semuanya duduk ditengah tengah kelompok masing masing.

Berpijak dari uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dapat dibayangkan

begitu pentingnya struktur merga dalam kehidupan masyarakat Karo dan setiap anggota

keluarga atau keturunan dari suatu marga selalu memakai marga sebagai identitas yang

dibubuhkan setelah nama kecil anggota keluarga tersebut dan yang diperhitungkan

melalui garis bapak. Hal ini menandakan bahwa kelompok orang orang tersebut

(29)

Sehubungan dengan itu Sitepu mengatakan bahwa “marga itu merupakan suatu

pertanda bahwa orang-orang yang menggunakannnya masih mempunyai kakek

bersama”. Mungkin secara nyata tidak dapat lagi dirinci rentetan bersama akan tetapi

ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama

sudah terjalin hubungan darah sehingga dimuat menjadi suatu persyaratan kawin bagi

masyarakat Karo yaitu dengan adanya larangan kawin bagi laki laki dan perempuan.

Menurut pergaulan hidup masyarakat Karo memperlihatkan bahwa setiap orang

Karo dianggap sebagai kerabat karena laki-laki dan perempuan menempatkan seseorang

ke dalam satu diantara kategori yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Karo,

yaitu Kalimbubu, anak beru, senina. Ketiga kategori ini merupakan satu kesatuan yang selalu diwujudkan sebagai ketiga yang lengkap dengan istilah sangkep sitelu atau rakut sitelu. Menurut hukum adat pada masyarakat Karo, kesatuan sangkep sitelu atau rakut sitelu inilah yang merupakan syarat bagi kehidupan bersama manusia, karena ikatan kekerabatan ini tidak bersifat perorangan tetapi mencakup golongan yang berkerabat

secara luas sehingga masyarakat Karo dapat menghubungkan dirinya satu sama lainya

dalam sistem kekerabatan.

1.6 Perkawinan menurut hukum adat Karo

Menurut adat Karo perkawinan yang ideal ialah perkawinan yang eksogami, tetapi

masyarakat Karo di sana masih banyak menginginkan perkawinan impal, yaitu antara

mereka yang mempunyai hubungan keluarga saling silang baik impal kandung maupun

(30)

Seiring dengan itu, Sitepu mengatakan bahwa perkawinan jujur adalah suatu

bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang–barang magis

atau sejumlah uang dari keluarga laki-laki kepada pihak perempuan, dimana hal ini

menurut beliau adalah berfungsi untuk pengganti atau sebagai pembeli (tukur) atas

berpindahnya si perempuan ke dalam klen si laki-laki dan untuk mempetahankan

susunan kekeluargaan berhukum kebapakan (patrilineal). Lebih jauh dikatakan bahwa

apabila dalam suatu perkawinan, jujurnya tidak dibayar, maka perkawinan itu dianggap

tidak sah secara adat.

Sitepu mengatakan bahwa proses pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Karo

berlangsung dalam beberapa tahap yaitu,:

1. Mbaba belo selambar, mulai dilaksanakan musyawarah adat (runggun) atau sangkep sitelu pihak calon pengantin perempuan (sinereh) dan pada acara ini disampaikan lamaran yang dilanjutkan dengan pembicaraan yang disebut dengan ringgit-ringgit gantang tumba atau ersinget–ersinget. Setelah itu menurut Sitepu akan dilanjutkan dengan melakukan pemberian penindih puduh atau pemeberian tanda pengikat oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Sehingga dengan demikian, apabila

pihak perempuan yang ingkar maka akibat hukumnya adalah pihak perempuan harus

membayar dua kali lipat uang penindih puduh tersebut kepada pihak laki laki. Pada acara ini juga perlu dilakukan sijalapen, yaitu pengumuman dari anak beru kedua belah pihak tentang nama kedua calon mempelai, nama kedua orang tua, nama anak beru tertua, termasuk tanggal dan waktu pelaksanaan nganting manuk.

(31)

tentang cara pelaksanaan peresmian perkawinan. Disini para sangkep sitelu dari kedua pihak bermusyawarah tentang kewajiban-kewajiban adat (hutang adat) yang

menyangkut besarnya uang jujur. Besarnya acara pesta, tempat diadakannya pesta,

menentukan orang–orang yang bertindak sebagai pengundang dan lain-lain. Setelah

itu disepakati maka dibuatlah janji untuk menentukan hari dan tanggal pelaksanaan

pesta.

3. Pesta atau erdemu bayu, yaitu pelaksanaan pesta perkawinan. Dalam pesta

perkawinan tersebut diadakan adat pembayaran jujur (unjuken) yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai kelompok penerima jujur dengan dihadiri

oleh seluruh kaum kerabat yang kedudukanya masing masing dikelompokan dalam

kategori senina, anak beru dan kalimbubu

4. Mukul, setelah selesai pesta perkawinan maka pengantin perempuan dibawa oleh kerabat laki–laki atau kesuatu rumah yang dihunjuk pengantin laki-laki, maka pada

malam hari diadakan acara mukul atau memecahkan tinaro (memecahkan telur) atau pengrebun, yaitu menetapkan kelompok yang dilarang berbicara langsung. Dalam beberapa hari kemudian, setelah pengantin perempuan tinggal dirumah pengantin

laki–laki, maka kedua pengantin di antar oleh orang tua pengantin perempuan,

dengan tujuan untuk mengambil pakaian atau barang-barang pengantin yang masih

tinggal di rumah orang tuanya.

. Pelamaran atau peminangan pada masyarakat patrilineal, pihak yang

mengajukan adalah pihak keluarga laki-laki yang dijalankan oleh seseorang atau

(32)

adalah orang- orang yang sekerabat dengan pihak keluarga laki-laki dan bahkan yang

sering terjadi untuk melakukan pelamaran adalah orangtuanya sendiri.

Bertalian dengan hal tersebut diatas, maka pada prinsipnya tujuan perkawinan

menurut adat, sebagaimana dikemukakan oleh Wila Chandrawila Supriadi (2002),

adalah “memperoleh keturunan dan dengan demikian tiba pada pembentukan keluarga”.

Oleh karena itu dapat di ketahui bahwa prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum adat

adalah sebagai berikut:

• Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga

hubungan kekerabatan yang rukun dan damai serta bahagia dan kekal

• Perkawinan tidak saja harus dilaksanakan menurut hukum agama dan atau

kepercayaannya, tetapi harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat

menurut hukum adat.

• Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang laki-laki dengan beberapa

perempuan sebagai isteri yang kedudukannya msing-masing ditentukan

menurut hukum adat, dalam arti menganut azas poligami.

• Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat, karena

masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui

masyarkat adat.

• Perkawinan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum cukup

umur atau yang masih dengan usia anak, tetapi perkawinan itu harus mendapat

izin dari orang tua dan keluarga.

• Keseimbangan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan adat yang hidup

(33)

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat dskriptif yang

menggambarkan kecenderungan perubahan bentuk perkawinan dari poligami ke

monogami pada masyarakat desa Sukanalu. Sebagaimana yang dikemukakan

Koentjaraningrat (1983:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala dan adanya

hubungan tertentu antara gejala yang satu dengan yang lain.

Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dipergunakan untuk

mendapatkan gambaran yang mendalam tentang bagaimana kecenderungan perubahan

bemtuk perkawinan itu terjadi pada suku bangsa Karo di Desa Sukanalu. Pengumpulan

data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara.

Metode wawancara atau interview method, mencangkup cara yang dipergunakan

kalau seseorang untuk suatu tujuan atau tugas tertentu mencoba mendapatkan

keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan atau responden, dengan

bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu (Koentjaraningrat, 1990).

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengumpulkan

keterangan tentang segala hal yang berkaitan dengan realitas poligami di Desa Sukanalu

serta untuk memperoleh sebanyak mungkin data-data tentang budaya serta perilaku

suku bangsa Karo di Desa Sukanalu.

Wawancara ini dilakukan terhadap informan pangkal, informan kunci, dan

informan biasa. Dalam penelitian ini peneliti memilih kepala Desa Sukanalu yakni

Bapak I. Sitepu (46 tahun) dan ketua adat Bapak T. Bangun (67 tahun) sebagai informan

(34)

sangat mengerti tentang permasalahan yang ingin diteliti. Oleh sebab itu, informan

pangkal hendaklah memenuhi kriteria tertentu, seperti memiliki wawasan yang luas

mengenai keadaan Desa Sukanalu, di kenal baik oleh warga penduduk, mampu

mengintroduksikan peneliti dngan informan-informan lainnya dan yang juga cukup

penting adalah bahwa informan pangkal bukan merupakan orang yang dibenci oleh

sebagian besar masyarakat Desa Sukanalu.

Sementara itu, informan kunci merupakan orang-orang yang paham sehingga

diharapkan dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang diteliti, yakni

perilaku poligami di Desa Sukanalu. Informan kunci adalah orang-orang/keluarga yang

melakukan perkawinan poligami atau orang-orang yang mengetahui tentang seluk beluk

terjadinya poligami di Desa Sukanalu. Dalam hal ini peneliti telah mendapat data-data

dari: Bapak J. Tarigan (67 tahun), Bapak M. Sembiring (72 tahun), Bapak S. Sembiring

(74 tahun), T. Ginting (69 ahun), P. Karo-karo (64 tahun), sebagai suami yang

melakukan poligami. Serta Ibu S. br. Ginting (60 tahun), Ibu M. br. Pinem (66tahun),

Ibu J. br. Manalu (68 tahun), Ibu R. br. Barus (64 tahun), Ibu M. br. Sitepu (59 tahun)

yang merupakan isteri tua dari pelaku poligami yang telah disebutkan sebelumnya.

Terhadap mereka dikumpulkan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam

dan metode life history method.

Sedangkan informan biasa adalah orang-orang yang diwawancarai untuk

melengkapi keterangan dari informan kunci. Dalam penelitian ini, informan biasa yang

diwawancarai adalah orang-orang yang mengetahui tentang poligami yang terjadi di

desa ini. Dalam hal ini peneliti memperoleh data-data dari: T. Perangin-angin (38

(35)

Sementara K. Br. Pinem (34 tahun), dan M. Br. Kaban (30 tahun) berasal dari desa

tetangga yaitu Desa Tiga Panah. Dipilih sebagai informan biasa karena masing-masing

mereka merupakan anak dari isteri kedua dan terhadap mereka peneliti mengumpulkan

data dengan menggunakan wawancara biasa.

Life history method merupakan salah satu metode yang digunakan dalam

penelitian di bidang Antropologi Budaya, yang memiliki keunikkan tersendiri dalam

memperdalam pengertian terhadap masyarakat tertentu. Metode ini dapat dilakukan

dengan observasi, dan wawancara yang dilakukan terhadap individu yang menjadi

informan ataupun menjadi objek dari suatu penelitian. Tentu saja hal ini bersifat

subjektif dan belum tentu sesuai dengan keadaan masyarakat yang menjadi topik

penelitian. Namun sesuai dengan keunikkan metode ini, yang memang bukan untuk

memberikan keterangan detail mengenai suatu realitas yang terjadi dalam masyarakat

yang diteliti. Tetapi justru memberikan keterangan atas bagian dari realitas itu sendiri

(Koentjaraningrat. 1990).

Pokok-pokok pertanyaan yang diajukan peneliti kepada informan pangkal adalah

seputar latar belakang berdirinya desa serta awal terjadinya poligami di desa tersebut.

Sedangkan kepada informan kunci, pokok pertanyaan yang diajukan adalah tentang

bagaimana pengalaman informan sebagai pelaku poligami, atau sebagai isteri yang di

poligami, apa yang menjadi motivasi pelaku poligami dalam memutuskan untuk

poligami di dalam rumah tangganya, motivasi isteri sehingga mau menerima diri

mereka untuk dipoligami serta dampaknya terhadap diri mereka sendiri. Sedangkan

(36)

poligami dalam rumah tangganya dan pengetahuan tentang poligami yang mereka

ketahui di Desa Sukanalu ini.

1.8 Kendala-kendala di Lapangan

Hal pertama dan utama yang menjadi kendala penulis di lapangan yaitu bahasa.

Penulis tidak tahu bahasa Karo, sementara penduduk di sana lebih menyukai bahasa

Karo sebagai bahasa sehari-harinya, sementara penggunaan bahasa Indonesia mereka

tidak selancar bahasa Karo, karena itu penggunaan bahasa Indonesia untuk komunikasi

sehari-hari sesama mereka tidak pernah dilakukan. Untuk mengantisipasi hal tersebut

maka penulis selalu membawa guide yaitu teman penulis sendiri yang sangat mengerti

bahasa Karo sebagai perantaraan penulis dengan orang-orang yang ingin penulis

jumpai. Dari keadaan yang seperti itu tampak bahwa orang-orang yang penulis jumpai

lebih merespon teman penulis dari pada penulis sendiri. Hal ini membuat penulis sedih.

Tapi hal itu merupakan awal dimana penulis harus bisa mengatasi kesulitan itu dengan

cara tetap melakukan komunikasi walaupun harus menggunakan bahasa Indonesia agar

penulis tidak kelihatan canggung di hadapan mereka.

Selanjutnya yang menjadi kendala yaitu para informan kunci yang usianya diatas

80-an yang juga merupakan pelaku poligami sudah sangat jarang ditemukan, karena

mereka sudah meninggal. Dan keluarganya sangat tertutup sekali dengan kehadiran

orang asing seperti penulis yang hendak melakukan penelitian. Untuk itu penulis

mencari laki-laki yang berpoligami yang usianya sekitar 50-an keatas yang ditunjukkan

(37)

Hal lain yang bisa membuat penulis tersenyum sendiri yaitu tentang Kepala Desa

sebagai pemimpin formal dan informal dimana beliau sama sekali tidak mengetahui asal

usul terjadinya desa, dan masalah poligami yang dulunya marak dilakukan, sampai

keadaan penduduk di desa ini sangat sedikit yang beliau ketahui. Informasi mengenai

desa ini banyak penulis dapatkan dari penduduk yang telah berusia lanjut, sampai

penduduk yang berada di luar lokasi penelitian. Namun penulis harus tetap bisa

menghargai dan memandangnya sebagai kepala desa yang dipercayai oleh warganya.

Karena bagaimanapun peran kepala desa cukup mempunyai andil sebagai akses penulis

untuk bisa bertemu dengan calon-calon informan yang sesuai dengan kriteria yang

penulis tetapkan.

Dalam melakukan penelitian tak jarang penulis mengalami kesulitan-kesulitan,

yaitu berupa sikap diacuhkan, pengusiran secara halus, sampai pembatalan janji

wawancara yang dilakukan sepihak oleh informan yang telah penulis hubungi terlebih

dahulu. Biasanya penulis melakukan penelitian ke Desa Sukanalu yaitu pada waktu sore

sampai malam hari. Karena pada waktu-waktu itulah, rata-rata penduduk desa yang

bekerja sebagai petani sudah ada di rumahnya setelah dari pagi hingga siang hari

bekerja ke sawah atau ladang.

Penulis sama sekali tidak pernah tinggal dirumah sekretaris desa, walaupun telah

mendapat ijin sebelumnya dari pihak yang bersangkutan. Karena penulis merasa takut

akan cerita-cerita mistik yang ada di desa tersebut. Yaitu bahwa warga laki-lakinya mau

mengguna-gunai orang asing yang datang ketempat itu. Setiap kali selesai melakukan

penelitian penulis langsung pergi untuk menginap ke rumah keluarganya teman penulis

(38)

Selama berada di Desa Sukanalu penulis selalu berusaha sesopan mungkin dan

seramah mungkin agar tidak ada pihak-pihak merasa kecawa atas kehadirann penulis.

Walaupun kadang-kadang penulis merasa bahwa banyak sekali mata-mata yang

memandang sinis dan tajam kepada penulis, khususnya laki-laki yang masih berusia

muda atau sebaya dengan penulis. karena menurut informasi yang penulis dengar bahwa

(39)

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.I Identifikasi Wilayah

2.1.1 Lokasi Desa Sukanalu

Desa Sukanalu termasuk dalam wilayah kecamatan Barus Jahe, kabupaten Karo,

propinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Sukanalu adalah 724,2 Ha, berada pada

ketinggian kurang lebih 1200 m di atas permukaan laut. Dengan suhu minimum 180 C

dan suhu maksimum 320 C, serta kurang lebih 960 - 850 Bujur timur, dan antara 30 4’

dan 30 25’ Lintang Utara. Luas daerah tersebut telah termasuk di dalamnya hutan,

perumahan serta lahan pertanian yang terdapat di desa tersebut Desa Sukanalu terdiri

atas empat dusun, 8 RW dan 17 RT.

Jarak dari Desa Sukanalu ke ibukota Kecamatan Barus Jahe sekitar 5 kilometer,

sedangkan ke ibukota Kabupaten Karo yaitu Kaban Jahe sekitar 12 kilometer dan jarak

ke kota Medan yang merupakan ibukota propinsi sekitar 88 kilometer. Kaban Jahe

merupakan pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan, sedangkan pusat kegiatan

ekonomi dan pemerintahan kecamatan adalah Tiga Jumpa yang berjarak lebih kurang 2

kilometer dari Desa Sukanalu.

Batas-batas Desa Sukanalu adalah sebagai berikut;

• Sebelah barat berbatasan dengan kota Sebaraya dan Desa Tiga Panah

• Sebelah timur berbatasan dengan Desa Barus Jahe

• Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kubucolia dan Desa Kubu

(40)

Perincian tentang pengelolaan alam Desa Sukanalu dengan masing-masing

luasnya dapat kita lihat dalam tabel II-1:

Tabel II-1

Pengelolaan alam Desa Sukanalu

No Fungsi tanah Luas lahan ( Ha ) %

1 Perumahan/ bangunan 10,7 1,48

2 Pertanian 692 95,55

3 Pekuburan 1,5 0,21

4 Tanah kosong 20 2,76

jumlah 724,2 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Sukanalu tahun 2006

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa sebagian besar Desa Sukanalu merupakan

lahan pertanian atau perladangan dan daerah persawahan. Tanahnya yang subur

sehingga menguntungkan bagi masyarakat dapat kita lihat bahwa sebagian besar

Sukanalu merupakan lahan pertanian atau perladangan dan daerah persawahan.

Tanahnya yang subur sehingga menguntungkan masyarakat.

2.1.2 Sejarah Desa Sukanalu

Desa Sukanalu didirikan tahun 1210 oleh seorang pemuda bermarga Sitepu.

Pemuda ini berasal dari Desa Sukanalu Teran, Kecamatan Simpang Empat, yang

(41)

seorang pemuda yang sudah cukup umur namun belum membina rumah tanga tidak

diperbolehkan untuk tinggal di rumah.

Sang pemuda yang harus menaati adat yang berlaku melakukan perjalanan

panjang selama berhari-hari dihutan luar Desa Sukanalu Teran tersebut. Tanpa sengaja

sang pemuda menemukan tempat yang mirip dengan desanya itu dan kemudian

mendirikan desa baru. Desa baru tersebut dinamakan Desa Sukanalu di kemudian hari.

Hal tersebut dikarenakan lingkungan fisik seperti tanah, tanaman-tanaman yang ada di

desa baru tersebut mirip dengan yang ada di Desa Sukanalu Teran.

Setelah pemuda tersebut menemukan desa baru itu, sang pemuda kembali ke

desa asalnya yaitu Desa Sukanalu Teran dan mengajak beberapa saudaranya yang

bermarga Sitepu untuk mendirikan desa baru di tempat yang baru ditemukan pemuda

bermarga Sitepu tersebut. Setelah desa tersebut dibangun, marga-marga lain pun

berdatangan untuk mencari tempat tinggal yang cukup berpotensi menghidupi mereka.

Marga –marga tersebut antaraq lain adalah marga Tarigan, Ginting dan Barus. Mereka

datang dari Desa Sukanalu Teran dan ada pula yang dari desa – desa lainya.

Marga Sitepu yang dianggap sebagai penemu dan pendiri desa ini, kemudian

(42)

2.2. Tata Pemukiman

Pola pemukiman masyarakat desa ini adalah mengelompok padat dimana

sebagian besar masyarakat terkonsentrasi tinggal pada suatu bagian desa sedangkan

bagian lainnya digunakan sebagai lahan pertanian dan untuk aktivitas kehidupan lainya.

Pada saat ini, desa ini sudah tertata dengan cukup teratur, dimana hampir setiap kegiatan

dilakukan ditempat yang sama sehingga dapat dilakukan dengan lebih efisien, bahkan

desa ini telah dijadikan desa percontohan bagi desa-desa lainnya di Kabupaten Karo.

Untuk sumber airnya sendiri, sebagian besar masyarakat di desa ini sudah dapat

memanfaatkan air bersih dari PDAM sepanjang tahun. Sebagian besar rumah warga

juga sudah memiliki WC dan kamar mandi sendiri, namun masih ada juga sebagian

kecil yang memanfaatkan air hujan dan air sungai pada kemarau panjang.

2.3. Mata Pencaharian Penduduk

Kesuburan tanah Desa Sukanalu menjadikan mayoritas penduduk desa ini

kedalam tipe masyarakat agraris. Penduduk Desa Sukanalu sebagian besar hidup dengan

bertani. Lebih spesifik lagi, penduduk sebagian besar bertani ladang dengan komoditas

tanaman hortikultur seperti sayur-sayuaran, buah-buahan.

Pada umumnya petani didesa ini akan mengikutsertakan keluarganya untuk turut

bekerja diladang. Meskipun pada kenyataannya anak yang masih kecil tidak terlalu

membantu, namun dengan berada diladang dan mengambil sebagian kecil pekerjaan

tentunya hal tersebut telah membantu petani. Selain itu, dengan membantu orang

(43)

Pada umumnya pekerjaan disektor pertanian, tidak terus menerus membutuhkan

perhatian dan tenaga. Ada saat dimana petani dan keluarganya tidak mempunyai sesuatu

untuk dikerjakan, misalnya pada saat petani menunggu panen, maka petani biasanya

akan mengambil pekerjaan lain seperti menjadi buruh tani diladang orang lain (aron).

Meskipun pada awalnya aron berarti gotong royong, namun pada saat ini kata tersebut

labih bermakna sebagai tenaga upahan. Dengan melakukan pekerjaan ini, petani

mempunyai tambahan penghasilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari sebelum masa panen datang.

Selain bertani, penduduk desa ini juga ada yang bekerja sebagai pegawai

pemerintahan, pegawai swasta, bahkan berwiraswasta. Namun, meskipun mereka

mempunyai pekerjaan, terkadang mereka juga memiliki ladang yang dikerjakan sendiri

untuk menambah penghasilan atau sekedar menyalurkan hobi saja. Biasanya yang

mereka lakukan tidak seserius yang dilakukan oleh petani asli, dan tentu saja hasilnya

untuk dikonsumsi sendiri.

Berbeda halnya dengan petani yang memang pekerjaan utamanya adalah bertani,

mereka menjual hasil taninya keluar kota atau untuk memudahkan mereka kerap

menjualya langsung ke pedagang pengumpul yang datang ke ladang mereka

masing-masing. Tetapi ada juga sebagian yang menjualnya langsung kepada konsumen di

ibukota kabupaten. Lebih jelasnya dapat kita lihat data penduduk sesuai dengan mata

(44)

Tabel II-2

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) %

1 Pegawai Negeri Sipil 55 1,78

2 Pensiunan 15 0,49

3 Wiraswasta 250 8,11

4 Buruh 55 1,78

5 Bertani 154 50,71

6 Tidak Bekerja 1145 37,13

Jumlah 3084 100

Sumber: Kantor kepala Desa Sukanalu tahun 2006

2.4 Sarana dan Prasarana Serta Infra Sruktur Sosial

2.4.1. Sarana Transportasi

Sarana transportasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat Desa Sukanalu. Hal ini dikarenakan hasil – hasil pertanian yang diproduksi

oleh masyarakat Sukanalu sebagian besar dijual kepada konsumen yang berada diluar

desa Sukanalu bahkan sampai ke Kota Medan yang Jauh dari Desa Sukanalu.

Tanpa adanya sarana transportasi yang layak tentu saja pemasaran hasil-hasil

pertanian tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Selain tu sarana transportasi

juga sangat menentukan perkembangan desa itu sendiri. Dengan adanya sarana

transportasi yang baik tentu saja akses dari luar menjadi lebih mudah sehingga dapat

(45)

memiliki sarana transportasi berupa jalan beraspal sepanjang 5 km yang berada ditengah

desa yang merupakan jalan lintas dari ibukota Kecamatan Barus Jahe hingga keluar

Desa Sukanalu, 4 km jalan berbatu, 30 km jalan bertanah serta 1 buah jembatan.

Kondisi dari semua jalan tersebut secara keseluruhan baik dan dapat digunakan

dengan baik, meskipun ada sedikit yang berlubang. Masyarakat desa juga menyadari

akan pentingnya jalan bagi kehidupan, sehingga mereka terkadang sring melakukan

perawatan terhadap jalan seperti dengan menimbun jalan yang berlubang,

membersihkan pinggir jalan dari rerumputan dan lain sebagainya.

2.4.2. Sarana Kesehatan

Beberapa sarana kesehatan yang terdapat di Desa Sukanalu antara lain adalah

Puskesmas, klinik bersalin dan BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) yang

masing-masing berjumlah satu buah. Sarana kesehatan tersebut dalam keadaan baik, fisiknya

serta pelayanannya meskipun tenaga ahlinya masih belum mencukupi. Berdasarkan

pengamatan penulis, sarana kesehatan di Desa Sukanalu sudah cukup memadai karena

hanya ada satu orang bidan dan di bantu oleh beberapa perawat yang bertugas di

dalamnya.

Pada hari-hari biasa, Puskesmas dan BKIA mulai dibuka pada pukul 08.00-14.00

WIB, sedangkan pada hari-haru besar tutup. Namun terkadang bila terdapat situasi yang

cukup darurat maka petugas akan bersedia melayani apakah itu di puskesmas sendiri

bahkan untuk dipanggil ke rumah pasien.

(46)

2.5 Keadaan Penduduk

Penduduk Desa Sukanalu pada tahun 2006 berjumlah 3084 jiwa dan terdiri dari

955 kepala keluarga. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin terdapat selisih

yang cukup tajam yakni dengan jumlah laki-laku sebanyak 1359 jiwa dan perempuan

sebanyak 1725 jiwa.

Penduduk Desa Sukanalu termasuk tipe yang heterogen, dimana terdapat begitu

banyak karakter yang membedakan penduduk secara keseluruhan. Perbedaan tersebut

meliputi suku, agama. Suku mayoritas di Desa Sukanalu ini adalah suku Batak Karo,

yang sisanya yang berjumlah tidak banyak seperti suku Batak Toba, Simalungun, Jawa.

Meskipun perbedaan tersebut ada ditengah-tengah masyarakat, namun penduduk dapat

menjalin hubungan yang harmonis. Hal ini terjadi dikarenakan penduduk pendatang

yang bukan suku Batak Karo mampu beradaptasi dengan penduduk yang Suku batak

Karo. Wujud-wujud adaptasi ini dapat dilihat dengan bahasa yang digunakan

sehari-hari. Meskipun bukan suku batak Karo namun mereka dapat berbahasa Karo dengan

fasih. Selain itu, suku Batak Toba ataupun Simalungun juga terkadang merubah

marganya menjadi marga Karo yang memang disamakan dengan marganya.

Komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianutnya, menunjukan bahwa

sebagian besar penduduk Desa Sukanalu menganut agama Kristen Protestan yang

berjumlah 1493 jiwa dan kemudian dilanjuti dengan Kristen Katolik sebanyak 1418

jiwa dan yang terakhir adalah agama Islam sebanyak 153 jiwa. Namun ada juga yang

mengaku tidak menganut agama apapun yakni sebanyak 20 jiwa.

Untuk melaksanakan ibadah masing-masing, di desa ini terdapat rumah-rumah

(47)

buah gereja GPDI, 1 buah gereja Pantekosta. Sedangkan bagi pemeluk agama Islam ada

1 buah Musholah.

Secara umum bila ditinjau berdasarkan usia dan jenis kelamin jumlah penduduk

yang terbanyak terdapat pada penduduk yang berusia produktif yaitu yang berumur

20-35 tahun dan 20-35 -49 tahun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel yang tersedia:

Tabel II-3

Komposisi Penduduk Menurut Umur

No Umur ( Tahun ) Jumlah ( jiwa ) %

1 0-1 105 3,41

2 1-3 95 3,08

3 3-5 165 5,36

4 5-15 399 12,94

5 15-20 381 12,35

6 20-35 751 24,33

7 35-49 582 18,87

8 50-60 456 14,79

9 60 keatas 150 4,87

Jumlah 3084 100

Komposisi penduduk desa berdasarkan tingkat pendidikannya menunjukan

bahwa sebagian besar penduduk Desa Sukanalu sudah mengenyam pendidikan. Mulai

(48)

tingkat perguruan tinggi. Namun tetap saja masih ada yang belum pernah mengenyam

pendidikan apapun yang menyebabkan mereka masih buta huruf saat ini. Biasanya

mereka yang buta huruf adalah mereka yang sudah terlalu tua yang sudah sulit untuk

mengikuti proses belajar lagi. Untuk lebih jelasnya, komposisi penduduk berdasarkan

tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel II-4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Jenis Pendidikan Jumlah ( Jiwa ) %

1 Sekolah Dasar 1053 34,14

2 SLTP 337 10,93

3 SLTA 637 20,65

4 Akademi 53 1,72

5 Perguruan Tinggii 45 1,46

6 Kejar paket A 150 4,86

7 Buta Huruf 444 14,40

8 Belum sekolah 364 11,80

9 SLB 1 0,04

(49)

BAB III

PERKAWINAN POLIGAMI PADA MASYARAKAT KARO

3.1 Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan pada masyarakat Karo yaitu adanya ikatan antara

seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) selain itu juga mempunyai arti yang luas karena perkawinan itu bukan

hanya masalah antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki tetapi menjadi masalah

kedua keluarga besar kedua belah pihak tersebut. Dengan kata lain bahwa apabila

seorang laki-laki akan kawin, di dalam menentukan siapa yang akan menjadi calon

isterinya, bukan hanya si laki-laki tersebut, tetapi yang menentukan ikut juga keluarga

atau orang tua si laki-laki tersebut. Demikian juga dengan seorang perempuan di dalam

menentukan siapa yang akan menjadi calon suaminya, bukan hanya terserah kepada

perempuan tersebut, tetapi keluarga dan orang tua juga ikut menentukan. Malah

kadang-kadang suatu perkawinan bisa tidak jadi dilaksanakan apabila salah satu orang tua dari

pihak-pihak yang mau kawin tidak setuju. Hal ini di sebabkan salah satu tujuan dari

perkawinan adalah untuk memperluas kekeluargaan (pebelang kade-kade).

Selain itu perkawinan juga mempunyai tujuan melanjutkan/meneruskan

keturunan generasi laki-laki/marga, karena hanya anak laki-laki saja yang dapat

mneruskan garis marga. Fenomena sosial, nilai-nilai serta adat kebiasaan di dalam

masyarakat telah melegitimasi bahwa kedudukan dari anak laki-laki berada pada level

yang lebih tinggi dari anak perempuan. Berbagai kedudukan sosial serta pemaknaan

Gambar

Tabel II-1
Tabel II-2
Tabel II-3
Tabel II-4
+4

Referensi

Dokumen terkait