48 12 - 24 RABIULAWAL 1432 H
S
ejarah penerbitan surat kabar Islam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa. Berawal dari penemuan Johann Gutenberg (1400-1468), budaya cetak mengalami perkembangan pesat setelah ilmuwan dari Jerman ini menemukan mesin cetak (Michael H. Hart, 1982). Sekalipun mesin cetak manual, kertas, dan tinta sudah dikenal oleh bangsa China dan Arab sejak abad ke 8 M, tetapi penemuan Gutenberg ini mampu memroduksi barang cetakan dalam kapasitas besar sehingga mengalahkan sistem cetak manual. Penemuan Gutenberg telah mengubah peradaban Barat dan mengawali budaya baru penerbitan surat kabar.Muhammad Ali Pasha menjadi penguasa tunggal di Mesir setelah berhasil mengenyahkan pasukan Perancis dari Mesir pada 1801. Ambisinya begitu besar untuk menjadi penguasa Mesir, menggeser kekuasaan Sultan Salim III, sehingga pada tahun 1811 dia menjadi penguasa tunggal di Negeri Piramid tersebut. Tidak hanya dikenal sebagai panglima perang, Muhammad Ali juga seorang terpelajar. Pada tahun 1828, penguasa Mesir ini menerbitkan surat kabar organ pemerintahannya bernama al-Waqai’ul Mishriyyah. Pada tahun pertama, surat kabar ini terbit tidak teratur. Memasuki masa kepemimpinan Khadevi Taufiq, surat kabar ini mengalami perubahan setelah Jamaluddin al-Afghani dipercaya sebagai pemimpin redaksi. Namun, al-Afghani tidak bertahan lama memimpin surat kabar organ pemerintah ini. Kritik dan gagasan al-Afghani selalu dianggap merongrong kewibawaan pemerintah sehingga dia diberhentikan dari jabatan pemimpin redaksi dan diasingkan ke Heyderabad.
Dari pengasingan di India (Heyderabad), pada 23 September 1883, al-Afghani pergi ke London (Inggris). Tetapi di Inggris pun al-Afghani tidak betah sehingga dia memutuskan pergi ke Paris (Perancis). Di Paris, al-Afghani menemukan suasana yang memungkinkan dirinya melanjutkan perjuangan. Rencana perjuangan baru telah disiapkan setelah dia mengirim surat kepada Muhammad Abduh, muridnya yang setia di Mesir, untuk segera pergi ke Paris. Di kota Paris yang penduduknya mayoritas non Muslim inilah, al-Afghani menerbitkan majalah al-‘Urwatul Wustqa
(Tali yang Kokoh). Pemberian nama ini terinspirasi dari surat Al-Baqarah ayat 256. Al-Afghani mengajak Muhammad Abduh duduk di jajaran redaksi. Dibantu oleh Mirza Muhammad Baqir, seorang editor bahasa yang handal, al-Afghani menerbitkan surat kabar ini sebagai majalah mingguan. Nomor perdana majalah mingguan
al-‘Urwatul Wustqa terbit pada 5 Jumadil Awwal 1301 H bertepatan dengan 12 Maret 1884 M.
Mingguan al-‘Urwatul Wustqa mengusung misi persatuan dan menanamkan ajaran Islam demi kesejahteraan seluruh manusia. Selain tema keagamaan, pemikiran politik al-Afghani sangat kritis sehingga mendapat sorotan dari negara-negara Islam dan Eropa. Puncak pemikiran politik al-Afghani adalah Pan-Islamisme, yaitu gagasan yang menghendaki persatuan umat Islam di seluruh dunia dalam rangka mengimbangi kemajuan negara-negara Eropa.
Majalah al-‘Urwatul Wustqa beredar menggunakan jalur organisasi kaum terpelajar yang meliputi Mesir, Iran, Afghanistan, Turki, dan India. Surat kabar Islam modernis pertama ini juga dibaca oleh masyarakat di London. Di ibukota Inggris ini, al-‘Urwatul Wustqa begitu populer sehingga sebuah penerbit lokal terinspirasi untuk menerbitkan surat kabar sejenisnya. Al-Afghani sempat diajak oleh sebuah penerbit di London untuk menerbitkan majalah bulanan Dliyaul Khaifain. Karena terbit mengandalkan idealisme dan berperan sebagai organ perjuangan politik Islam, al-‘Urwatul Wustqa tidak mampu bertahan setelah Jamaluddin al-Afghani meninggal dunia (5 Syawal 1314 H/9 Maret 1897 M).
Patah tumbuh hilang berganti. Pasca meninggal Jamaluddin al-Afghani dengan al-‘Urwatul Wustqa-nya, Muhammad Abduh datang dengan al-Mannar-nya. Sebenarnya, penggagas penerbitan al-Mannar adalah Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh. Berawal dari materi kuliah Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar, Rasyid Ridha yang aktif mengikuti kuliah tersebut merasa perlu memublikasikan seluruh materi ceramah gurunya. Pada tahun 1315 H, Rasyid Ridha sebagai pemimpin redaksi dibantu Amir Syakib Arslan sebagai redaktur menerbitkan nomor perdana majalah al-Mannar (Mercu Suar).
Jika majalah al-‘Urwatul Wustqa berorientasi politik, maka al-Mannar lebih mengedepankan ijtihad dan rasionalisasi ajaran Islam. Rubrik-rubrik al-Mannar juga lebih lengkap, meliputi: Tafsir Al-Qur’an, berita seputar pergerakan dalam dunia Islam, tanya jawab agama, biografi pemimpin-pemimpin Islam, pembahasan agama-agama lain, tasawuf, akhlak dan persoalan ekonomi, sosial, serta politik menurut pandangan Islam. Khusus pada rubrik tafsir Al-Qur’an memuat materi kuliah Muhammad Abduh yang kemudian disunting oleh Rasyid Ridha menjadi 35 jilid kitab yang dikenal dengan Tafsir Al-Mannar. Rubrik tanya jawab agama diasuh langsung oleh Rasyid Ridha selaku pemimpin redaksi.
H A D L A R A H
127 Tahun Pers Islam
Dari Al-‘Urwatul Wutsqa
Hingga Al-Mannar
MU’ARIF
De
m
o (Vi
si
t ht
tp:
//www.pdfspl
itm
erge
r.c
om
49 SUARA MUHAMMADIYAH 04 / 96 | 16 - 28 FEBRUARI 2011
Peta distribusi majalah al-Mannar sangat luas, dari Eropa sampai Asia Tenggara. Di samping tersebar lewat para jamaah haji, jaringan distribusi majalah ini menggunakan organisasi Islam yang sehaluan dengan gerakan pembaruan di Mesir. Di Asia Tenggara, majalah al-Mannar tersebar di Semenanjung Malaya dan Hindia Timur.
Pengaruh majalah al-Mannar di Semenanjung Malaya dapat dilacak pada awal abad 20 ketika Syaikh Thaher Jalaluddin al-Azhari menerbitkan majalah al-Imam di Singapura. Majalah ini terbit pertama kali pada 1906. Pendirinya, Thaher Jalaluddin, sepupu Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, yang pernah menimba ilmu di al-Azhar. Dalam menulis artikel, Thaher Jalal-uddin tidak menggunakan referensi kitab kuning, tetapi bersumber buku-buku keilmuan modern. Sekalipun terbit di Singapura, majalah al-Imam telah menginspirasi para tokoh Muslim di Minangkabau (Deliar Noer, 1980: 41-42). Para pembaca al-Imam
sering dikonotasikan sebagai “kaum al-Mannar” yang meng-indikasikan begitu kuatnya pengaruh al-Mannar terhadap majalah ini (Burhanuddin Daya, 1995: 118).
Di kawasan Hindia Timur, pada tahun 1911, Haji Abdullah Ahmad menerbitkan majalah al-Munir di Padang. Abdullah Ahmad adalah koresponden majalah al-Imam. Selain pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy, Abdullah Ahmad
H A D L A R A H
juga telah menimba ilmu di al-Azhar, sehingga pemikirannya sehaluan dengan gagasan pembaruan Islam di Mesir. Sedangkan di tanah Jawa, pada tahun 1915, terbit majalah Suara Muhamma-diyah yang digagas oleh Haji Fachrodin. Pengaruh al-Mannar me-mang tidak tampak dari segi nama majalah ini. Akan tetapi, desain rubrik dan isi majalah seluruhnya terpengaruh oleh model majalah
al-Mannar. Komposisi rubrik Suara Muhammadiyah meliputi: Tafsir Al-Qur’an, Dunia Islam, Tanya Jawab Agama, Kisah Pemimpin-pemimpin Islam, Pembahasan Kristologi, Akhlak, dan Persoalan Ekonomi, Sosial, serta Politik menurut pandangan Islam (lihat
Soewara Moehammadijah no. 1 Tahun 1922). Isi majalah juga lebih mengedepankan pada aspek ijtihad agama dan pemberdayaan umat, tidak merambah politik praktis. Majalah Suara Muhammadiyah lebih identik dengan al-Mannar ketimbang al-‘Urwatul Wutsqa. Suara Muhammadiyah adalah organ resmi Persyarikatan Muhammadiyah yang secara ideologis sehaluan dengan gerakan pembaruan Islam di Mesir.
Pasang surut penerbitan surat kabar Islam sejak terbit al-‘Urwa-tul Wutsqa (Prancis), al-Mannar (Mesir), al-Imam (Singapura),
al-Munir (Padang), dan Suara Muhammadiyah (Jawa) sudah me-masuki 127 tahun. Semua surat kabar corong pembaruan Islam tersebut sudah berhenti terbit kecuali majalah Suara Muhamma-diyah yang hingga kini masih tetap lestari.l
bagai hujjah.
Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar, menegaskan bahwa ayat tersebut (106 Al-Ma’idah) tidak dinasakh oleh ayat mana pun dan mengompromikan kedua ayat itu lebih baik daripada menghilangkan salah satunya, sebab sebenarnya surat Al-Ma’idah itu diturunkan lebih akhir daripada surat At-Talaaq. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Aisyah, Amr ibnu Syurahbil dan segolongan ulama bahwa surat Al-Ma’idah itu muhkamah. ((Rasyid Ridha, al-Manar,
1373 H., hlm. 232).
13. Ayat 65 Al-Anfal [8]:
“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan
DARI HAL. 23
BUKTI KETIADAAN...
seribu orang kafir”.
Menurut as-Siyutiy, ayat tersebut dinasakh oleh ayat 66 Al-Anfal [8]:
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bah-wa dirimu ada kelemahan. Maka, jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang. Dan jika di antaramu ada se-ribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah”.
Abu Muslim al-Asfahaniy memberikan komentar bahwa ayat yang pertama (65 Al-Anfal), adalah muhkamah, tidak dina-sakh. Mengenai perintah yang terkandung dalam ayat pertama, yaitu dua puluh orang harus bertahan melawan dua ratus orang musuh, adalah apabila memenuhi syarat kesabaran. Selanjutnya ia menegaskan bahwa yang kedua (66 Al-Anfal),
mem-berikan pengertian; apabila syarat kesa-baran dapat terpenuhi, maka hukum ayat tersebut tetap berjalan, dan memberikan pengertian juga bahwa syarat tersebut sudah tidak ada lagi pada waktu itu, maka pantaslah jika hukumnya berubah. Dengan pertimbangan inilah dia berpendapat, tidak terjadi nasakh sama sekali pada ayat tersebut. (ar-Raziy, t.t. IV: 566).l