BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Inflasi
2.1.1. Defenisi dan Pengertian Inflasi
Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga
secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja
tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan
kenaikan harga) pada barang lainnya. Banyak pengertian inflasi yang dapat kita
jumpai pada beberapa sumber, diantaranya:
Dornbusch dan Fischer (2001), menyebutkan bahwa inflasi merupakan
kejadian ekonomi yang sering terjadi meskipun kita tidak pernah menghendaki.
Inflasi ada dimana saja dan selalu merupakan fenomena moneter yang
mencerminkan adanya pertumbuhan moneter yang berlebihan dan tidak stabil.
Boediono (1980 : 105), mengemukakan bahwa defenisi inflasi adalah
kecendrungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila
kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar
dari harga-harga barang lain. Syarat adanya kecendrungan menaik yang
terus-menerus juga perlu diingat. Kenaikan harga-harga karena, misalnya musiman,
menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai
pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak
dianggap sebagai masalah atau “penyakit” ekonomi yang tidak memerlukan
Sedangkan Murni Asfia (2006 : 202), menyatakan bahwa inflasi adalah
suatu kejadian yang menunjukan kenaikan tingkat harga secara umum dan
berlangsung secara terus menerus.
Dari defenisi tersebut ada tiga kriteria yang perlu diamati untuk melihat
telah terjadinya inflasi, yaitu kenaikan harga, bersifat umum, dan terjadi terus
menerus dalam rentang waktu tertentu. Apabila terjadi kenaikan harga satu barang
yang tidak mempengaruhi harga barang lain, sehingga harga tidak naik secara
umum, kejadian seperti itu bukanlah inflasi. Kecuali bila yang naik itu seperti
harga BBM, ini berpengaruh terhadap harga-harga lain sehingga secara umum
semua produk hampir mengalami kenaikan harga. Bila kenaikan harga itu terjadi
sesaat kemudian turun lagi, itu pun belum bisa dikatakan inflasi, karena kenaikan
harga yang diperhitungkan dalam konteks inflasi mempunyai rentang waktu
minimal satu bulan.
2.1.2. Macam-Macam Inflasi
Ada berbagai cara untuk menggolongkan inflasi, dan penggolongan mana
yang kita pilih tergantung pada tujuan kita.
Boediono, dalam bukunya “Pengantar Ilmu Ekonomi” (1980 : 106),
menjabarkan bahwa ada beberapa cara untuk penggolongan inflasi, yakni,
Disini dapat dibedakan beberapa macam inflasi, yaitu:
1. Inflasi ringan (dibawah 10% pertahun)
2. Inflasi sedang (diantara 10-30% pertahun)
3. Inflasi berat (antara 30-100% pertahun)
4. Hiper inflasi (diatas 100% pertahun)
Lebih lanjut, Boediono (1980) memaparkan, Penentuan parah tidaknya
inflasi tentu saja sangat relatif dan tergantung pada “selera” kita untuk
menamakannya. Dan lagi sebetulnya kita tidak bisa menentukan parah tidaknya
suatu inflasi hanya dari sudut laju inflasi saja, tanpa mempertimbangkan
siapa-siapa yang menanggung beban atau yang memperoleh keuntungan dari inflasi
tersebut. Kalau seandainya laju inflasi adalah 20% dan semuanya berasal dari
kenaikan harga dari barang-barang yang dibeli oleh golongan yang berpenghasilan
rendah, maka seharusnya kita menamakannya inflasi yang parah.
Penggolongan yang kedua adalah atas dasar sebab awal dari inflasi. Atas
dasar ini dapat dibedakan dua macam inflasi, yaitu:
1. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang
terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand full inflation.
2. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost full
Gambar berikut ini akan menggaris bawahi perbedaan dari kedua macam inflasi
tersebut.
Gambar 2.1 demand full inflation Gambar 2.2 cost full inflation
Sumber: Pengantar Ilmu Ekonomi Sumber: Pengantar Ilmu Ekonomi
Gambar 2.1 menggambarkan suatu demand full inflation, karena
permintaan masyarakat akan barang-barang (aggregate demand) bertambah
(misalnya, karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan
pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang
ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang
murah), maka kurva aggregate demand bergeser dari Z1 ke Z2. Akibatnya,
tingkat harga umum naik pada P1 ke P2.
Pada gambar 2.2 kita lihat bahwa bila biaya produksi naik (misal, karena
kenaikan harga bahan bakar minyak) maka kurva penawaran masyarakat
(aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2.
Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output
(GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada
kecendrungan untuk output (GDP riil) naik bersama-sama dengan kenaikan harga
umum. Besar kecilnya kenaikan output ini tergantung kepada elastisitas kurva
aggregate supply; biasanya semakin mendekati output maksimum semakin tidak
elastis kurva tersebut. Sebaliknya, dalam kasus cost inflation, biasanya kenaikan
harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang (kelesuan
usaha).
Perbedaan lain dari kedua proses inflasi tersebut terletak pada urutan
kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output)
mendahului kenaikan barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah
dan sebagainya). Sebaliknya, dalam cost inflation kita melihat kenaikan harga
barang-barang akhir (otuput) mengikuti kenaikan harga barang-barang input/faktor
produksi.
Boediono (1980 : 109), menegaskan bahwa kedua macam inflasi tersebut
jarang sekali dijumpai pada prakteknya dalam bentuk yang murni. Pada
umumnya, inflasi yang terjadi diberbagai negara di dunia adalah kombinasi dari
kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu
Penggolongan yang ketiga adalah berdasarkan asal dari inflasi. Disini
dapat dibedakan menjadi dua (Boediono, 1980 : 110):
1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit
anggaran belanja yang dibiayai dengan percetakan uang baru, panen yang gagal,
dan sebagainya. Inflasi yang bersaal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul
karena kenaikan harga-haraga (yaitu, inflasi) di luar negeri atau negara-negara
langganan berdagang negara kita. Kenaikan harga barang-barang yang kita impor
mengakibatkan: (1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian
dari barang-barang yang tercakup didalamnya berasal dari impor, (2) secara tidak
langsung menaikan indeks harga melalui kenaikan ongkos produksi (dan
kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau
mesin-mesin yang harus di impor (cost inflation), (3) secara tidak langsung
menimbulkan kenaikan harga didalam negeri karena ada kemungkinan (tetapi ini
tidak harus demikian) kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan
kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan
harga impor tersebut (demand inflation).
“Penularan” inflasi dari luar negeri ke dalam negeri bisa pula melalui
kenaikan harga barang-barang ekspor, dan saluran-salurannya hanya sedikit
berbeda dengan penularan lewat kenaikan harga barang-barang impor. (1) bila
akan naik pula sebab barang ini langsung masuk dalam daftar
barang-barang yang mencangkup dalam indeks harga. (2) bila harga barang-barang-barang-barang
ekspor (seperti kayu, karet timah dan sebagainya) naik, maka ongkos produksi
barang-barang yang menggunakan barang-barang tersebut dalam proses
produksinya (perumahan, sepatu, kaleng dan sebagainya) akan naik, dan
kemudian harga jualnya akan naik pual (cost inflation). (3) kenaikan harga
barang-barang ekspor berarti kenaikan penghasilan eksportir (dan juga para
produsen barang-barang ekspor tersebut). Kenaikan penghasilan ini kemudian
akan dibelanjakan untuk membeli barang-barang (baik dari dalam maupun luar
negeri). Bila jumlah barang yang tersedia dipasar tidak bertambah, maka
harga-harga barang lain akan naik pula (demand inflation).
Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri ini jelas lebih mudah
terjadi pada negara-negara yang perekonomiannya terbuka, yaitu dari sektor
pedagangan luar negerinya penting (seperti Indonesia, Korea, Taiwan, Singapura,
Malaysia dan sebagainya) namun beberapa jauh penularan tersebut terjadi juga
tergantung kepada kebijakan pemerintah yang diambil. Dengan
kebijakan-kebjakan moneter dan perpajakan tertentu pemerintah bisa menetralisir
kecendrungan inflasi yang berasal dari luar negeri tersebut.
2.1.3. Teori Teori Inflasi
Boediono (1980 : 112), menyebutkan bahwa secara garis besar ada 3 (tiga)
kelompok mengenai inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari
mencangkup semua aspek penting dari proses kenaikan harga ini. Untuk
menerapkannya kita harus menentukan aspek-aspek mana yang dalam
kenyataannya penting didalam proses inflasi di suatu negara, dan dengan
demikian teori mana (atau kombinasi teori-teori mana) yang lebih cocok.
1. Teori Kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini
(yang akhir-akhir ini mengalamai penyempurnaan-penyempurnaan oleh
kelompok ahli ekonomi Universitas Chicago) masih sangat berguna untuk
menerangkan proses inflasi di zaman modern ini, terutama di negara-negara
yang sendang berkembang. Teori ini menyoroti peranan dalam inflasi dari (a)
jumlah uang beredar, dan (b) ekspektasi (harapan) masyarakat mengenai
kenaikan harga-harga. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut:
a. Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume uang yang beredar
(apakah berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak
menjadi soal). Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian
seperti misalnya, kegagalan panen hanya akan menaikan harga-harga untuk
sementara waktu saja. Penambahan jumlah uang ibarat “bahan bakar” bagi
inflasi. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan
sendirinya, walau apapun sebab awal kenaikan harga tersebut.
b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan oleh jumlah uang yang beredar
dan oleh ekspektasi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di
masa mendatang. Ada 3 kemungkinan keadaan. Keadaan pertama adalah bila
masyarakat tidak (atau belum) mengharapakan harga-harga untuk naik pada
jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah
likuiditasnya (yaitu, memperbesar post kas dalam buku neraca para anggota
masyarakat). Ini berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan jumlah uang
tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Selanjutnya, ini berarti
bahwa tidak ada kenaikan permintaan yang berarti akan barang-barang, jadi
tidak ada kenaikan harga barang-barang (atau harga-harga mungkin naik
sedikit sekali). Dalam keadaan seperti ini, kenaikan jumlah uang yang beredar
sebesar 10% diikuti oleh kenaikan harga-haraga sebesar, misal 1%. Keadaan
ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi masih baru mulai dan masyarakat
masih belum sadar bahwa inflasi sedang berlangsung. Keadaan yang kedua
adalah dimana masyarakat (atas dasar pengalaman dibulan-bulan
sebelumnya) mulai sadar bahwa ada inflasi. Orang-orang mulai
mengharapkan kenaikan harga. Penambahan jumlah uang yang beredar tidak
lagi diterima oleh masyarakat untuk menambah pos kasnya, tetapi akan
digunakan untuk membeli barang-barang (memperbesar pos aktiva
barang-barang didalam neraca). Hali ini dilakukan karena orang-orang berusaha
untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka memegang uang
kas. Kenaikan harga (inflasi) tidak lain adalah suatu “pajak” atas saldo kas
yang dipegang masyarakat, karena uang semakin tidak berharga. Dan
orang-orang berusaha menghindari “pajak” ini dengan jalan menggunakan saldo
kasnya menjadi barang. Orang secara perseorangan bisa melakukan
penyesuaian dalam neracanya seperti ini, yaitu dengan jalan membelanjakan
naiknya harga barang-barang tersebut. Bila masyarakat mengharapkan
harga-harga untuk naik dimasa mendatang sebesar laju inflasi di bulan-bulan yang
lalu, maka kenaikan jumlah uang beredar akan sepenuhnya diterjemahkan
menjadi kenaikan permintaan akan barang-barang, dalam hal ini kenaikan
jumlah uang sebesar misalnya, 10%, akan diikuti dengan kenaikan harga
barang-barang sebesear 10% pula. Keadaan seperti ini biasanya dijumpai
pada waktu inflasi sudah berjalan cukup lama, dan orang-orang mempunyai
cukup waktu untuk menyesuaikan sikapnya terhadapa situasi yang baru.
Keadaan yang ketiga terjadi pada tahap inflasi yang lebih parah yaitu tahap
hiper inflasi.
Samuelson dan Nordhaus (2001 : 390), mengatakan bahwa dalam keadaan
ini orang-orang sudah kehilangan kepercayaannya terhadapa nilai mata uang.
Keenganan untuk memegangn uang kas dan keinginan membelanjankan untuk
membeli barang seperti uang kas tersebut diterima ditangan menjadi semakin
meluas di kalangan masyarakat. Orang-orang cenderung mengharapkan keadaan
semakin memburuk; laju inflasi untuk bulan-bulan mendatang diharapkan
menjadi semakin besar dibandingkan dengan laju inflasi dibulan-bulan
sebelumnya. Keadaan ini ditandai oleh makin cepatnya peredaran uang (velocity
of circulation yang naik). Dalam keadaan ini kenaikan jumlah uang yang beredar,
misalnya 20% akan mengakibatkan kenaikan harga-harga lebih besar dari 20%.
Hiper inflasi menghancurkan bukan hanya sendi-sendi ekonomi moneter tetapi
juga sendi-sendi sosial politik dari suatu masyarakat. Struktur masyarakat yang
2. Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan atas teori makronya. Teori ini
menyoroti aspek lain dari inflasi. Menurut teori ini, inflasi terjadi karena
suatu masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Proses
inflasi menurut pandangan ini tidak lain adalah proses perebutan bagian
rezeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang
lebih besar dari pada yang bisa disediakan oleh masyrakat tersebut. Proses
perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan
masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang
tersedia (timbulah apa yang disebut dengan inflationary gap). Inflationary
gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil
menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintan yang efektif akan
barang-brang. Dengan kata lain, mereka berhasil memperoleh dana untuk
mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang
didukung dengan dana.
Muana (2005 : 259), golongan masyarakat seperti ini mungkin adalah
pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih besar dari
output masyarakat dengan jalan menjalankan defisit dalam anggaran belanja yang
dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga
pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan utnuk melakukan
investasi-investsai baru dan memperoleh dana pembiayaan dari kredit bank. Golongan
tersebut bisa pula berupa serikat buruh yang berusaha memperoleh kenaikan gaji
bagi anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh. Bila jumlah dari
harga-harga yang berlaku melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang
bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap akan timbul. Karena
permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan
naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti bahwa sebagian dari rencana-rencana
pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bisa terpenuhi. Pada
priode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha untuk memperoleh
dana yang lebih besar lagi (dari percetakan uang baru atau kredit dari bank yang
lebih besar atau dari kenaikan gaji yang lebih besar).
Boediono (1980 : 117), berpendapat bahwa tentunya tidak semua golongan
tersebut berhasil memperoleh tambahan dana yang diinginkan. Golongan yang
bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh bagian dari output
yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh dana akan mendapat
bagian output yang lebih sedikit. Yang termasuk golongan yang “kalah" dalam
proses perebutan ini adalah golongan-golongan yang berpenghasilan tetap atau
yang penghasilannya tidak naik secepat laju inflasi (golongan-golongan ini antara
lain termasuk kaum pensiunan, pegawai negeri, para petani yang harus menjual
hasilnya pada harga yang dikenakan stabilitas harga, para karyawan perusahaan
yang tidak mempunyai serikat buruh atau tidak mempunyai saluran yang efektif
untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka). Proses inflasi akan terus
berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat
melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti
bila permintaan efektif total tidak melebihi pada harga-harga yang berlaku dan
Gambar 2.3 Inflationary Gap timbul
Sumber: Pengantar Ilmu Ekonomi
Gambar 2.3 menunjukan keadaan dimana inflationary gap tetap timbul.
Disini kita menganggap bahwa semua golongan masyarakat bisa memperoleh
dana yang cukup untuk membiayai, pada harga yang berlaku, rencana-rencana
pembelian mereka. Dengan timbulnya inflationary gap (misalnya, pemerintah
memperbesar pengeluarannya dengan jalan mencetak uang baru), kurva
permintaan efektif bergeser dari Z1 ke Z2. Inflationary gap sebesar Q1 Q2 timbul
dan harga naik dari P1 ke P2. Kenaikan harga ini mengakibatkan rencana-rencana
pembelian golongan masyarakat (termasuk pemerintah sendiri) tidak terpenuhi.
Karena jumlah barang-barang yang tersedia tidak bisa lebih besar daripada 0Q1,
maka yang terjadi hanyalah relokasi barang-barang yang tersedia dari
golongan-golongan lain dalam mayarakat kepada sektor pemerintah. Seandainya pada
dana untuk membiayai rencana-rencana pembeliannya yang lama dengan
harga-harga baru yang lebih tinggi, dan pemerintah tetap pula berusaha memperoleh
jumlah barang-barang seperti yang direncanakan pada priode sebelumnya dengan
harga-harga baru yang lebih tinggi (dan disini perlu lagi dicetak lagi uang baru),
maka inflationary gap sebesar Q1 Q2 akan timbul lagi. Harga akan naik lagi dari
P2 ke P3. Jika setiap golongan masyarakat tetap berusaha memperoleh jumlah
barang-barang yang sama dan mereka berhasil memperoleh dana untuk
membiayai rencana-renacana tersebut pada tingkat harga yang berlaku, maka
inflationary gap akan tetap timbul pada priode-priode selanjutnya. Dalam hal ini
harga-harga akan terus-menerus naik. Inflasi akan berhenti hanya bila salah satu
golongan masyarakat tidak lagi (atau tidak bisa lagi) memperoleh dana untuk
membiayai rencana pembelian barang-barang pada harga yang berlaku, sehingga
permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi jumlah
barang-barang yang tersedia (inflationary gap hilang). Perhatikan bahwa mereka
yang “menang” dalam perebutan ini adalah mereka yang paling mudah untuk
memperoleh dana tambahan untuk membiayai rencana pembelian mereka.
Mereka yang tidak bisa dengan mudah memperoleh dana untuk membiayai
rencana pembelian barang mereka dengan harga-harga yang baru (yang lebih
tinggi) terpaksa harus menerima bagian yang lebih kecil dari barang –barang yang
tersedia dari pada bagian mereka sebelum proses inflasi terjadi. Secara umum
mereka yang penghasilannya tidak naik secepat kenaikan harga-haraga akan terus
Gambar 2.4 Inflationary Gap hilang
Sumber: Pengantar Ilmu Ekonomi
Gambar 2.4 menunjukan proses inflasi yang akhirnya berhenti karena
inflationary gap semakin mengecil dan akhirnya hilang pada priode ke 5. Harga
menjadi stabil pada P5. Dibalik proses ini beberapa golongan masyarakat
menerima bagian output yang lebih kecil. Atau dengan kata lain, Inflasi selalu
diikut dengan terjadinya redistribusi pendapatan.
3. Teori Strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas
pengalaman di negara-negara Amerika Latin. (Muana, 2005 : 263),
mengatakan bahwa teori ini memberi tekanan pada ketegaran (inflexibilities)
dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi
dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian (yang menurut
defenisi faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka
panjang), maka teori ini bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”. Dengan
kata lain, yang dicari disini adalah: faktor-faktor jangka panjang manakah
Menurut teori ini, ada 2 keterangan utama dalam perekonomian
negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu:
1. Keterangan yang pertama berupa “ketidak elastisan” dari penerimaan
ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan
dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Boediono (2001 : 99),
menjabarkan kelambanan ini disebabkan karena: (a) Harga dipasar dunia
dari barang-barang ekspor negara tersebut semakin tidak menguntungkan
(dibandingkan dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar),
atau sering disebut dengan istilah dasar penukaran (term of trade) yang
semakin memburuk. Sering dianggap bahwa harga barang-barang hasil
alam, yang merupakan ekspor dari negara-negara sedang berkembang,
dalam jangka panjang naik lebih lampat daripada harga barang-barang
industri, yang merupakan impor oleh negara-negara sedang berkembang.
(b) Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif
terhadap kenaikan harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis).
Kelambanana penerimaan ekspor ini berarti kelambanan pertumbuhan
kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan (untuk
konsumsi maupun untuk investasi). Akibatnya, negara tersebut (yang
berusaha sesuai dengan rencana pembangunannya, untuk mencapai target
pertumbuhan tertentu) terpaksa mengambil kebijakan pembanguan yang
menekan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang-barang
yang sebelumnya diimpor (import substitution strategy), meskipun
mengikuti kenaikan kebutuhan di dalam negeri menimbulkan tekanan
untuk mengimpor bahan makanan dan selanjutnya membuat masalah
neraca pembayaran semakin parah, dan selanjutnya mendorong
penekanan proses subtitusi impor yang berlebihan, dan selanjutnya
kenaikan harga-harga.
Boediono (2001 : 101), lebih lanjut menjelaskan mengenai teori struktural
ini ada 3 (tiga) hal yang perlu ditekankan, yaitu:
1. Teori ini menerangkan proses inflasi jangka panjang dinegara-negara
yang sedang berkembang.
2. Dibalik “cerita inflasi” ala strukturalis ini ada asumsi (yang tidak
disebutkan secara eksplisit) bahwa jumlah uang yang beredar
bertambah dan secara pasif mengikuti dan menampung kenaikan
harga-harga tersebut. Dengan kata lain, proses inflasi tersebut bisa
berlangsung terus hanya apabila jumlah uang yang beredar juga
bertambah terus. Tanpa kenaikan jumlah uang, proses tersebut akan
berhenti dengan sendirinya. Disini dan juga dalam teori inflasi Keynes,
ternyata teori kuantitas tetap berlak, meskipun hanya dibelakang layar.
3. Tidak jarang faktor-faktor “struktural” yang dikatakan sebagai sebab
yang paling dasar dari proses inflasi tersebut bukan 100% “struktural”.
Sering dijumpai bahwa keterangan-keterangan tersebut disebabkan
oleh kebijakan harga atau kebijakan moneter pemerintah sendiri.
Sebagai contoh, ketidak mampuan produksi bahan makanan dalam
bahan makanan di dalam negeri sehingga gairah produksi petani
menurun. Sering pula dijumpai bahwa ketidak mampuan produksi
barang-barang ekspor untuk tumbuh disebabkan karena kurs valuta
asing ditekan terlalu rendah dengan maksud diskusi yang lebih tinggi
(dan sering pula dengan kualitas yang lebih rendah) daripada
barang-barang yang sejenis yang diimpor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini
mengakibatkan harga yang lebih tinggi. Dan bila proses subtitusi
impor ini semakin meluas, kenaikan biaya produksi juga semakin
meluas ke berbagai barang (yang tandinya diimpor), sehingga semakin
banyak harga barang-barang yang naik. Dengan demikian inflasi
terjadi.
2. Keterangan yang kedua berkaitan dengan “ketidak elastisan” dari supply
atau produksi bahan makanan dalam negeri. Dikatakan bahwa produksi
bahan makanan dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan
penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga bahan makanan
didalam negeri cenderung untuk naik melebihi kenaikan harga
barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya tuntutan dari para
karyawan (di sektor industri) untuk memperoleh kenaikan upah/gaji.
Karena upah berarti kenaikan ongkos produksi, yang berarti pula
kenaikan harga dari barang tersebut. Kenaikan harga
barang-barang seterusnya mengakibatkan timbulnya tuntutan kenaikan upah lagi.
Kenaikan upah kemudian diiukuti dengan kenaikan harga-harga, dan
bahan makanan tidak terus naik. Tetapi oleh karena faktor struktural tadi,
harga bahan makanan akan terus naik, sehingga proses saling dorong
mendorong atau proses “spiral” antara harga dan upah tersebut terus
selalu mendapat “upah” baru dan tidak berhenti.
Proses inflasi yang timbul karena dua keterangan tersebut dalam
prakteknya jelas tidak berdiri sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling
berkaitan dan sering kali memperkuat satu sama lain. Misalnya, tidak bisanya
produksi bahan makanan dalam negeri untuk menekan inflasi. Sering pula ketidak
elastisan ini disebabkan oleh ada pungli-pungli, sehingga harga bahan-bahan
ekspor yang betul-betul diterima produsen rendah dan kurang cukup untuk
menggairahkan produksi. Apakah pungli-pungli ini kita sebut faktor “struktural”
atau bukan, itu masalah defenisi saja.
2.1.4. Pengelompokan Inflasi
Menurut Bank Indonesia (BI) (2013), Inflasi yang diukur dengan IHK di
Indonesia dapat dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan
the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
1. Kelompok Bahan Makanan
2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
3. Kelompok Perumahan
4. Kelompok Sandang
5. Kelompok Kesehatan
6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini
juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang
dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk
menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari
faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten
(persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh
faktor fundamental, seperti:
• Interaksi permintaan-penawaran
• Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi
mitra dagang
• Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya
karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti
terdiri dari :
• Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food), yaitu Inflasi yang dominan
dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti
panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan
• Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices),
yaitu Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa
kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik,
tarif angkutan, dll.
2.1.5. Dampak Inflasi
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung dari parah
atau tidaknya tingkat inflasi itu sendiri. Apabila inflasi itu ringan, justru
mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian
lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah
untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa
inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiper inflasi),
keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang
menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan
produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap
seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan
kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi
semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Murni Asfia (2006 : 206), mengatakan bahwa inflasi yang tinggi
tingkatnya tidak akan menggalakkan perkembangan ekonomi suatu negara.
Hal-hal yang mungkin timbul antara lain sebagai berikut:
1. Ketika biaya produksi naik akibat inflasi, hal ini akan sangat merugikan
yang kurang mendorong produk nasional, seperti tindakan para spekulan yang
ingin mencari keuntungan sesaat.
2. Pada saat kondisi harga tidak menentu (inflasi) para pemilik modal lebih
cenderung menanamkan modalnya pada bentuk pembelian tanah, rumah dan
bangunan. Pengalihan investasi seperti ini akan menyebabkan investasi
produktif berkurang dan kegiatan ekonomi menurun.
3. Inflasi menimbulkan efek yang buruk pada perdagangan dan mematikan
pengusaha dalam negeri. Hal ini dikarenakan kenaikan harga menyebabkan
produk-produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk negara
lain sehingga kegiatan ekspor turun dan impor meningkat.
4. Inflasi menimbulkan dampak yang buruk pula pada neraca pembayaran.
Karena menurunnya ekspor dan meningkatnya impor menyebakan ketidak
seimbangan terhadap aliran dana yang masuk dan keluar negeri, sehingga
kondisi neraca pembayaran akan memburuk.
Murni Asfia (2006 : 207), lebih lanjut menjabarkan bahwa selain yang
telah disebutkan diatas dampak buruk dari inflasi dapat pula ditinjau dari tingkat
kesejahteraan masyarakat, yakni sebagai berikut:
1. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil yang diterima masyarakat, dan ini
sangat merugikan orang-orang yang berpenghasilan tetap. Pada saat inflasi,
kenaikan tingkat upah tidak secepat kenaikan harga barang yang diperlukan
dan dijual dipasar.
2. Inflasi akan mengurangi kekayaan yang berbentuk uang. Seperti tabungan
3. Inflasi akan memperburuk pembagian kekayaan, karena bagi masyarakat
yang berpenghasilan tetap dan mempunyai kekayaan dalam bentuk uang
bisa-bisa jatuh miskin. Tetapi bagi masyarakat yang menyimpan kekayaan dalam
bentuk tanah dan rumah akan terjadi peningkatan kekayaan, baik secara riil
mapun secara nominal. Demikian pula bagi perdagangan, pendapatan riil
mereka akan dapat bertahan dan mungkin meningkat pada saat terjadi inflasi.
Meskipun inflasi banyak dampak buruknya, tetapi setiap kebijakan anti
inflasi bukan berarti bertujuan untuk menghilangkan inflasi sampai nol persen.
Apabila laju inflasi nol persen ini juga tidak memacu terjadinya pertumbuhan
ekonomi, tetapi akan menimbulkan stagnasi. Kebijakan akan sangat berarti bagi
kegiatan ekonomi, apabila bisa menjaga laju inflasi berada di tingkat yang sangat
rendah.
(Boediono (2001 : 155), Idealnya laju inflasi agar bisa meningkatkan
kegiatan ekonomi adalah sekitar dibawah 5%. Inflasi yang dapat memacu
pertumbuhan ekonomi adalah inflasi yang laju inflasinya relatif tetap dan bila ada
perubahan akan dapat diprediksi. Inflasi seperti ini disebut inflasi inersial (inertial
inflastion). Laju inflasi yang dapat diperkirakan seperti inflasi inersial dapat
digunakan untuk mengadakan kontrak jangka panjang dalam kegiatan
perekonomian. Misalnya dalam transaksi yang memerlukan tenggang waktu yang
cukup lama (pembelian barang-barang secara kredit untuk jangka panjang).
Laju inflasi inersial tidak akan bisa bertahan secara terus menerus, tetapi
waktunya untuk berubah secara drastis. Hal ini dikarenakan munculnya inflasi
dipengaruhi oleh banyak faktor, ada faktor ekonomi dan ada faktor di luar
ekonomi.
Sementara, Muana Nanga dalam bukunya “Ekonomi Makro” (2005 : 247),
menjabarkan bahwa inflasi yang terjadi di dalam suatu perekonomian memiliki
beberapa dampak atau akibat sebagai berikut:
Pertama, inflasi dapat mendorong terjadinya redistribusi pendapatan
diantara anggota masyarakat, dan inilah yang disebut dengan “efek redistribusi
dari inflasi” (redistribution effect of inflation). Hal ini akan mempengaruhi
kesejahteraan ekonomi dari anggota masyarakat, sebab redistribusi pendapatan
yang terjadi akan menyebabkan riil satu orang meningkat, tetapi pendapatan riil
orang lain jatuh. Namun parah atau tidaknya dampak inflasi terhadap redistribusi
pendapatan dan kekayaan tersebut adalah sangat tergantung pada apakah inflasi
tersebut dapat diantisipasi (anticipated) ataukah tidak dapat diantisipasi
sebelumnya (unanticipated). Inflasi yang tidak dapat diantisipasi sudah tentu
akan mempunyai dampak atau akibat yang jauh lebih serius terhadap redistribusi
pendapatan dan kekayaan, dibandingkan dengan inflasi yang dapat diantisipasi.
Kedua, inflasi yang menyebabkan penurunan dalam efesiensi ekonomi
(economic efficiency). Hal ini dapat terjadi karena inflasi dapat mengalahkan
sumberdaya dari investasi yang produktif (productive investment) ke investasi
yang tidak produktif (unproductive investment) sehingga mengurangi kapasitas
Ketiga, inflasi juga dapat menyebabkan perubahan-perubahan didalam
output dan kesempatan kerja (employment), dengan cara yang lebih langsung yaitu
dengan memotivasi perusahaan untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang
telah dilakukan, dan juga memotivasi orang untuk bekerja lebih atau kurang dari
yang telah dilakukan selama ini. Ini disebut “output and employment effect of
inflation”.
Keempat, inflasi dapat menciptakan suatu lingkungan yang tidak stabil
(unstable environment) bagi keputusan ekonomi. Jika sekiranya konsumen
memperkirakan bahwa tingkat inflasi di masa mendatang akan naik, maka akan
mendorong mereka untuk melakukan pembelian barang-barang dan jasa secara
besar-besaran pada saat sekarang ketimbang mereka menunggu dimana tingkat
harga sudah meningkat lagi. Begitu pula halnya dengan bank, atau lembaga
pinjaman (lenders) lainnya, jika sekiranya mereka menduga bahwa tingkat inflasi
akan naik dimasa mendatang, maka mereka akan mengenakan tingkat bunga yang
tinggi atas pinjaman yang diberikan sebagai langkah proteksi dalam menghadapi
penurunan pendapatan riil dan kekayaan (losses of real income and wealth)
(Bradley, 1985 : 95).
Dalam kaitannya dengan dampak atau akibat iflasi ini, McKinnon (1973)
mengemukakan bahwa inflasi cenderung memperendah tingkat bunga riil,
menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan di pasar modal. Hal ini akan
menyebabkan penawaran dana untuk investasi menurun, dan sebagai akibatnya,
investasi sektor swasta tertekan sampai kebawah tingkat keseimbangannya, yang
funds). Oleh karena itu, selama inflasi menurun kearah tingkat unga riil yang
rendah dan ketidak seimbangan pasar modal, maka inflasi tersebut akan
menurunkan investasi dan pertumbuhan. Apa yang dikemukakan oleh Mc Kinnon
ini sesunggunya merupakan tanggapan terhadap pendapat Robert Mundekk
seorang ekonom terkenal dari Universitas Columbia dan peraih nobel ekonomi,
yang mengatakan bahwa inflasi itu memiliki dampak yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
2.1.6. Ekspektasi Inflasi
Bank Indonesia (2013), menyebutkan bahwa Ekspektasi inflasi
dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan
ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi
tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking.
Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan
pedagang, terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran,
natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).
Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil
yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Meskipun ketersediaan barang secara
umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun
harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi
Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula
meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan
dalam mendorong peningkatan permintaan.
Sudirman Wayan (2011 : 135), mengatakan bahwa masyarakat selalu
melakukan ekspektasi terhadap perkembangan ekonomi dengan dasar beberapa
variabel seperti perkembangan tingkat bunga, tingkat harga, dan kurs valuta asing.
Setiap variabel tersebut memiliki kekuatan yang mempengaruhi variable lain
dalam perekonomian sehingga semua variabel dapat digunakan sebagai petunjuk
atas perkembangan ekonomi atau disebut sebagai indikator ekonomi. Sebagai
contoh, menurunnya cadangan devisa atau sering disebut neraca pembayaran
mengalami tekanan merupakan cerminan atau fenomena dari penurunan ekspor
dan penurunan capital inflow atau peningkatan impor dan peningkatan capital
outflow. Ekspektasi terjadinya gangguan terhadap neraca pembayaran
menyebabkan semakin berkurangnnya kepercayaan masyarakat terhadap mata
uang domestik dibanding dengan mata uang asing sehingga mendorong
masyarakat melakukan spekulasi di pasar valuta asing. Spekulasi ini akan
berdampak kepada lembaga keuangan bank yaitu sulitnya lembaga keuangan bank
dalam menghimpun dana masyarakat. Sebagaimana telah diuraikan diatas,
kesulitan itu juga menyebabkan berkurangnya kemampuan bank dalam
menyalurkan kredit ke masyarakat. Jika ekspektasi masyarakat yang dibenarkan
dengan kenyataan yang berkelanjutan secara pisikologis akan mendorong
masyarakat terus-menerus tidak percaya dengan mata uang domestik. Pisikologi
Laksomono (2000 : 124), menjelaskan bahwa ekspektasi masyarakat
terhadap infalsi dimasa yang akan datang antara lain dapat dilihat dari
perkembangan suku bunga nominal perbankan. Hal ini sejalan dengan sudut
pandang term structure theory yang mengatakan ekspektasi masyarakat terhadap
inflasi di masa yang akan datang dapat dilihat dari perkembangan suku bunga
nominal. Dengan demikian, perkembangan suku bunga nominal dapat digunakan
sebagai indikator ekspektasi inflasi masyarakat.
Lebih lanjut, Laksomono (2000 : 124), menjelaskan bahwa salah satu cara
melihat ekspektasi inflasi didalam suku bunga nominal adalah dengan
menggunakan yield curve. Yield curve merupakan hubungan antara pendapatan
atau suku bunga (rate of return) dengan jangka waktu (term of matury). Pada
dasarnya bentuk yield curve memiliki keterkaitan dengan mekanisme transmisi
kebijakan moneter. Secara konvensional, transmisi kebijakan moneter terjadi dari
suku bunga jangka pendek yang dikendalikan bank sentral ke suku bunga jangka
panjang. Suku bunga jangka panjang pada gilirannya akan mempengaruhi
aggregate. Bank sentral di negara yang menggunakan inflasi sebagai sasaran
akhir, dapat menggunakan suku bunga jangka panjang untuk menguji efektifitas
pencapaian dalam mengendalikan inflasi yang rendah.
2.2. Suku Bunga Deposito 2.2.1. Suku Bunga
Menurut Boediono (1996 : 76), suku bunga adalah harga yang harus
dibayar apabila terjadi pertukaran antara satu rupiah sekarang dan satu rupiah
menyulitkan dunia usaha untuk membayar beban bunga dan kewajiban, karena
suku bunga yang tinggi akan menambah beban bagi perusahaan sehingga secara
langsung akan mengurangi profit perusahaan.
Kasmir (2008 : 131), bunga bank adalah sebagai balas jasa yang diberikan
oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli
atau menjual produkanya. Bunga juga dapat diartikan harga yang harus dibayar
kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh
nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman). Berdasarkan
pengertian tersebut suku bunga terbagi dalam dua macam yaitu sebagai berikut :
1. Bunga simpanan yaitu bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas
jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Sebagai contoh jasa
giro, bunga tabungan, dan bunga deposito.
2. Bunga pinjaman yaitu bunga yang diberikan kepada para peminjam atau
harga. Sebagai contoh bunga deposito.
Weston dan Brigham (1990 : 84), menyebutkan bahwa suku bunga
mempengaruhi laba perusahaan dalam dua cara: (1) karena bunga merupakan
biaya, maka semakin tinggi tingkat suku bunga maka semakin rendah laba
perusahaan apabila hal-hal lain dianggap konstan; dan (2) suku bunga
mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi, karena itu mempengaruhi laba
perusahaan. Suku bunga tidak diragukan lagi mempengaruhi investasi portofolio
karena pengaruhnya terhadap laba, tetapi yang terpenting adalah suku bunga
Pohan (2008 : 53), mengatakan bahwa suku bunga yang tinggi di satu sisi
akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana
perbankan akan meningkat. Sementara itu, di sisi lain suku bunga yang tinggi
akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh dunia usaha sehingga
mengakibatkan penurunan kegiatan produksi di dalam negeri. Menurunnya
produksi pada gilirannya akan menurunkan pula kebutuhan dana oleh dunia usaha.
Hal ini berakibat permintaan terhadap kredit perbankan juga menurun sehingga
dalam kondisi suku bunga yang tinggi, yang menjadi persoalan adalah kemana
dana itu akan disalurkan. Sedangkan menurut Tandelilin (2001 : 213), suku bunga
yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai sekarang aliran kas perusahaan,
sehingga kesempatan-kesempatan investasi yang ada tidak akan menarik lagi.
Suku bunga yang tinggi juga akan meningkatkan biaya modal yang akan
ditanggung oleh perusahaan. Disamping itu, suku bunga yang tinggi juga akan
menyebabkan return yang diisyaratkan investor dari suatu investasi akan
meningkat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin rendahnya suku bunga
maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena intensitas aliran dana
yang akan meningkat. Dengan demikian suku bunga dan keuntungan yang
diisyaratkan merupakan variabel penting yang sangat berpengaruh terhadap
keputusan para investor, dimana berdampak terhadap keinginan investor untuk
melalukan investasi portofolio di pasar modal dengan suku bunga yang rendah.
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank
menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar
kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh
nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).
Tandelilin (2001 : 213), menjabarkan dalam kegiatan perbankan sehari-hari
ada 2 macam bunga yang diberikan kepada nasabahnya yaitu:
1. Bunga Simpanan
Bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang
menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus
dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan dan
bunga deposito.
2. Bunga Pinjaman
Adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang harus
dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai cotoh bunga kredit.
Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan
pendapatan bagi bank konvensional. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang
harus dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan
pendapatan yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga
pinjaman masing-masing saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai contoh
seandainya bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga
terpengaruh ikut naik da demikian pula sebaliknya.
Edward dan Khan (1985), mengatakan bahwa faktor penentu suku bunga
tcrbagi alas 2 (dua) faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi
faktor eksternalnya adalah penjumlahan suku bunga luar negeri dan tingkat
Ekspektasi perubahan nilai tukar valuta asing. Seperti halnya dalam setiap analisis
keseimbangan ekonomi, pembicaraan mengenai keseimbangan di pasar uang juga
akan melibatkan unsur utamanya, yaitu permintaan dan penawaran uang. Bila
mekanisme pasar dapat berjalan tanpa hambatan maka pada prinsipnya
keseimbangan di pasar uang dapat terjadi, dan merupakan wujud kekuatan tarik
menarik antara permintaan dan penawaran uang.
2.2.2. Bunga Deposito
Menurut Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Perbankan Indonesia “Deposito adalah simpanan pihak ketiga kepada bank yang
penarikannya hanya dapat dilakukan dengan jangka waktu tertentu menurut
perjanjian antara pihak ketiga dengan bank yang bersangkutan.”
Menurut Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia
“Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu
tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.”
Ada berbagai jenis deposito yang ditawarkan dengan menyesuaikan cara
mengelola gaji bagi karyawan yang banyak dilakukan.Misalnya, jenis deposito
bisa saja berbeda diberbagai negara, namun di Indonesia sendiri terdapat
penggolongan jenis deposito seperti berikut ini :
1. Deposito Berjangka (Time Deposit)
Triandaru dan Budisantoso (2006 : 97), menyebutkan bahwa Deposito
Berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu
simpanan hanya dapat dicairkan pada saat jatuh tempo oleh pihak yang namanya
tercantum dalam bilyet deposito sesuai tanggal jatuh temponya, maka deposito
berjangka ini merupakan simpanan atas nama dan bukan atas unjuk. Apabila
deposan menghendaki agar deposito berjangkanya diperpanjang secara otomatis,
maka pihak bank dapat memberikan fasilitas perpanjangan otomatis (automatic
roll over-ARO).
Untuk menarik minat masyarakat, pihak bank dapat memberikan berbagai
insentif seperti hadiah atau ransangan. Insentif biasanya diberikan untuk jumlah
nominal yang besar baik berupa bunga khusus maupun insentif seperti hadiah atau
cendera mata lainnya. Insentif juga dapat diberikan kepada nasabah yang loyal
terhadap bank tersebut. Artinya deposito berjangka dengan nominal besar dan
terus dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif lama.
2. Deposito Automatic Roll Over
Deposito automatic roll over adalah suatu bentuk lain dari deposito
berjangka dimana simpanan masyarakat (dalam bentuk deposito) yang telah jatuh
tempo sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan, namun pihak deposan
belum mengambilnya maka secara otomatis terhadap simpanan tadi dilakukan
perpanjangan waktu tanpa menunggu persetujuan dari deposan.
3. Sertifikat Deposito
Sertifikat deposito merupakan hasil pengembangan dari deposito
berjangka. Sertifikat deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya
dapat diperjualbelikan. Agar simpanan ini dapat diperjualbelikan dengan mudah
siapapun yang memegang bukti simpanan tersebut dapat menguangkannya pada
saat jatuh tempo.
Hal lain yang menjadi ciri dari sertifikat deposito adalah dalam hal
pembayaran bunganya. Apabila deposito berjangka bunga dibayarkan setelah dana
mengendap, maka bunga sertifikat deposito ini dibayarkan dimuka yaitu pada saat
nasabah menempatkan dananya dalam bentuk deposito.
4. Deposit on Call
Deposit on call adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
dengan pemberitahuan lebih dahulu dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah. Deposit on call biasanya
digunakan oleh nasabah yang tidak setiap saat perlu menarik dananya dan
keperluan penarikan dana itu dapat diprediksi oleh nasabah dalam jangka waktu
tertentu.
2.2.3. Fungsi Suku Bunga
Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah :
a. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih
untuk diinvestasikan.
b. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka
mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam
suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan
suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari
industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi
c. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah
uang beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang
dalam suatu perekonomian.
2.3. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro,
yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter
dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan
moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian
ditransfer pada sektor riil.
Boediono (2001 : 96), menyebutkan Kebijakan moneter adalah semua
kebijakan pemerintah ( Bank Sentral ) yang mengatur jumlah uang yang beredar
di masyarakat untuk menjaga kestabilan nilai uang yang ada. Secara umum,
kebijakan moneter adalah tindakan pemerintah untuk mempengaruhi situasi
makro melalui pasar uang. Sedangkan secara khusus, kebijakan moneter adalah
tindakan makro pemerintah dengan cara mempengaruhi proses penciptaan uang.
Dalam mempengaruhi proses penciptaan uang, pemerintah bisa
mempengaruhi jumlah uang beredar. Dengan mempengaruhi jumlah uang beredar
tingkat bunga pemerintah bisa mempengaruhi pengeluaran investasi (I), dan
selanjutnya permintaan agregat (Z) dan akhirnya tingkat harga (P) dan GDP rill
(Q). inilah matarantai kebijakan moneter menurut Keynes: Kebijakan Moneter →
Ms → r → I → Z → P,Q
Kebijakan moneter dibagi menjadi dua golongan yaitu kebijakan moneter
kuantitatif dan kebijakan moneter kualitatif.
3. Kebijakan Moneter Kuantitatif.
Kebijakan moneter kuantitatif adalah kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah ( Bank Sentral ) untuk mempengaruhi jumlah penawaran uang dan
suku bunga dalam perekonomian. Langkah penawaran uang yang ditambah akan
menurunkan suku bunga dan akibatnya terjadi perkembangan kegiatan ekonomi
sehingga tingkat kesempatan kerja menjadi lebih tinggi dan penganggguran pun
akan berkurang. Selain penawaran uang yang perlu ditambah, pengeluaran
agregat perlulah dikurangi sehingga terdapat keseimbangan antara pengeluaran
dalam ekonomi dengan jumlah penawaran barang-barang.
Kebijakan moneter kuantitatif dibedakan menjadi tiga tindakan, yaitu:
a. Operasi Pasar Terbuka.
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan
menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Agar
operasi terbuka ini menjadi sukses, haruslah ada dua keadaan dalam
perekonomian. Keadaan-keadaan tersebut adalah:
- Bank-bank perdagangan tidak memiliki kelebihan cadangan.
b. Fasilitas Diskonto (Discount Rate).
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan
memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum
kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral.
Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga
bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang
beredar berkurang.
c. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio).
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan
memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada
pemerintah. Jadi, apabila bank sentral melihat jumlah uang yang beredar sudah
terlalu banyak, bank sentral akan menaikkan ketentuan cadangan wajib.
Akibatnya, dana yang akan dipinjamkan berjurang sehingga jumlah uang beredar
berkurang.
4. Kebijakan Moneter Kualitatif.
Kebijakan moneter kualitatif adalah kebijakan pemerintah ( Bank Sentral )
yang bertujuan mengawasi bentuk-bentuk pinjaman dan investasi yang
dilakukanoleh bank-bank perdagangan. Tujuan utama kebijakan ini bukanlah
untuk mengawasi perkembangan penawaran uang, tetapi untuk mempengaruhi
jenis-jenis pinjaman yang diberikan institusi keuangan. Ini memungkinkan bank
Kebijakan moneter kualitatif biasanya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Pengawasan Pinjaman Secara Terpilih.
Bank sentral melakukan pengawasan agar pinjaman dan investasi yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan dan keinginan pemerintah. Hal ini dilakukan
terutama untuk mengendalikan dan mengawasi corak pinjaman dan investasi yang
dilakukan oleh bank-bank.
b. Imbauan Moral.
Imbauan moral yang dilakukan oleh bank sentral adalah dengan menganjurkan
bank-bank untuk melakukan penyesuaian dalam mengalokasikan dananya.
Dengan demikian, keadaan yang diharapkan pemerintah dapat tercapai.
2.4. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini
adalah antara lain yang dilakukan oleh:
Neny Erawati (2002), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Pergerakan Suku Bunga Dan Laju Ekspektasi Inflasi Untuk Menentukan
Kebijakan Moneter di Indonesia”. Hasil penelitian mengatakan bahwa dari dua
pengujian dalam penelitian tersebut, yaitu dalam jangka pendek dan panjang yang
dilakukan terhadap spread inflasi dengan spread suku bunga maka hasil yang
diperoleh untuk jangka pendek, spread yang mampu menjelaskan ekspektasi
inflasi adalah spread suku bunga deposito 12-1 bulan; spread deposito 12-3 bulan;
spread deposito 12-6 bulan; spread deposito 6-1 bulan dan 6-3 bulan. Sedangkan
untuk jangka panjang hanya ada satu spread deposito yang dapat menjelaskan
Hutabarat (2005), dengan menggunakan model makroekonomi SSMX
(Small Scale Macroeconomic model extended) menemukan bahwa ekspektasi
inflasi masyarakat Indonesia pada periode 1999-2004 sangat mendominasi
pembentukan Inflasi dibandingkan variable ekonomi lainnya seperti output gap,
administered price, supply shocks, dan nilai tukar. Selain itu, berdasarkan
dekomposisi inflasi di Indonesiapada tahun 2007, Bank Indonesia (2008)
mendapati bahwa ekspektasi inflasi memilikiporsi 56,8%. Angka ini jauh di atas
persentase variable volatile foods, output gap, supply shocks, dan nilai tukar. Jadi,
tidaklah mengherankan apabila ekspektasi inflasimenjadi bagian yang penting
untuk diperhitungkan dalam memperkirakan inflasimendatang.
Didy Laksomono R (2000), dalam penelitiannya yang berjudul “Suku
Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi Inflasi”. Hasil penelitian
menyatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, yield curve yang
dibentuk dari suku bunga deposito perbankan Indonesia cenderung memiliki
bentuk yang berganti-ganti antara upward dan downward sloping. Berbeda
dengan yield curve di Amerika Serikat yang cenderung upward. Pengamatan
bentuk yield curve di Indonesia dan kemampuannya dalam menjelaskan inflasi
dilakukan dalam beberapa priode waktu tertentu.
Hasil analisa menunjukan sejak Januari 1990 – Juli 1990 yield curve di
Indonesia berbentuk upward sloping. Berdasarkan teori ekspektasi, suku bunga
jangka pendek (kurang dari 12 bulan) dimasa yang akan datang akan mengalami
kenaikan akibat peningkatan didalam ekspektasi inflasi. Indikasi adanya
priode berikutnya (Agustus 90 – Juli 1991) menunjukan peningkatan dibanding
priode sebelumnya (dari rata-rata 6,44% menjadi rata-rata 9,46%). hal ini
memberikan indikasi bahwa bentuk yield curve dapat menjelaskan perubahan