i
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAS CITARUM DAN
DAMPAKNYA TERHADAP SUPLAI AIR IRIGASI
(Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009)
RUDOLF KRISTIAN TUKAYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perubahan Penggunaan Lahan
DAS Citarum dan Dampaknya terhadap Suplai Air Irigasi (Studi Kasus: Periode
Tahun 2002-2009) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Rudolf Kristian Tukayo
iii
ABSTRACT
RUDOLF KRISTIAN TUKAYO. Land Use Changes in Citarum Watersheed and Their Impact of Irrigation Water Supply (case study: the year period of 2002-2009). Under direction of SURIA DARMA TARIGAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO.
The research used secondary data between 2002 to 2009 in PJT II Jatiluhur and Citarum-Ciliwung watershed Management Agency. Generally, this research was done in Citarum watershed area, West Java province, from August to October 2010.The research aims to investigate: 1). Land use change in Citarum watershed area; 2). Effect of land use change on water yield; 3). Changes in water yield and its impact on irrigation needs; and 4). Effect of irrigation water supply to changes in rice acreage. According to the digital citra analysis, Citarum watershed area that located above Jatiluhur dams has changed land use (450.649 ha) between 2002 and 2008. In agriculture areas land use change significantly increased from 59.76% in 2002 to 70.52% in 2008. Changes in water results continue to demonstrate the value decreases with increasing area of agriculture following the equation ym = 2987.74-0.00766887x2 (x2 is an extensive agricultural area in ha; ym is the result of water in million m3/th). Decrease in water yield has not been an adverse impact on irrigation needs, seen from an index value of the use of water in the reservoir continues to decline, resulting in increased efficiency of reservoirs. Index decreased use of water reservoirs affected by the increase in annual precipitation, so as to reduce the effects of the decline that occurred in the water. Changes in area of rice fields terjadididuga because of land conversion to non-agricultural activities that are not triggered by lack of water.
iv
RINGKASAN
RUDOLF KRISTIAN TUKAYO. Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum dan Dampaknya terhadap Suplai Air Irigasi (Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009). Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.
Daerah aliran sungai yang tidak mempunyai waduk atau danau buatan untuk menampung aliran permukaan menunjukkan pengaruh yang nyata antara perubahan tata guna lahan pada daerah hulu dengan debit banjir pada daerah hilir maupun kondisi hidrologi pada saat musim kemarau. Hal ini tentu berbeda dengan DAS Citarum yang memiliki 3 waduk besar dan disusun secara seri dari hulu ke hilir. tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan evaluasi terhadap: 1). Perubahan penggunaan lahan DAS Citarum dari tahun 2002 sampai tahun 2008; 2). Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air (water yield) DAS Citarum; 3). Perubahan hasil air dan pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan irigasi untuk areal persawahan yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur. 4). Pengaruh penyediaan air irigasi terhadap perubahan luas areal persawahan.
Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d 2009.Secara umum penelitian ini dipusatkan pada DAS Citarum Provinsi Jawa Barat dan dilaksanakan dari bulan Agustus sampai Oktober 2010.
Perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002 sampai tahun 2008 dianalisis dengan cara overlay kedua peta tersebut menggunakan program Arcview 3.3 menghasilkan matriks perubahan tiap tipe penggunaan lahan, Curah Hujan Wilayah DAS Citarum Analisis Curah Hujan wilayah DAS dilakukan dengan Metode Poligon Thiessen. Hasil air DAS diperoleh dari data tercatat pada inlet waduk Jatiluhur. Hubungan yang terjadi antara curah hujan dan hasil air dievaluasi menggunakan pendekatan analisis korelasi dan uji t-student. dan disajikan dalam persamaan regresi linier sederhana. Analisis regresi linier berganda dilakukan untukj melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan DAS terhadap hasil air. Evaluasi Kemampuan DAS Citarum dalam Memenuhi Kebutuhan Air Irigasi menggunakan Indeks Penggunaan Air (IPA)., dan Kemampuan waduk dijelaskan dalam nilai efisiensi yang diperoleh dengan persamaan: E= 1-(defisit waduk/defisit DAS).
Analisis citra digital menunjukkan bahwa DAS Citarum di atas waduk jatiluhur yang memiliki luas 450,649 hektar telah terjadi perubahan penggunaan lahan sejak tahun 2002-2008 dengan nilai perubahan yang terjadi untuk tiap kawasan masing-masing: kawasan hutan pada tahun 2002 sebesar 26.94% namun mengalami penurunan menjadi 18.29% pada tahun 2006 (berkurang 8.65%), kawasan pertanian mendominasi penggunaan lahan pada tahun 2002 sebesar 59.76% dan terus meningkat menjadi 70.52% pada tahun 2006.
v
Perubahan hasil air terus menunjukkan nilai yag menurun dengan bertambahnya luas kawasan pertanian mengikuti persamaan ym =2987.74-0.00766887x2 (x2 merupakan luas kawasan pertanian dalam ha; ym adalah hasil air dalam juta m3/th).Penurunan hasil air belum berdampak buruk terhadap pemenuhan kebutuhan irigasi, terlihat dari nilai IPA waduk yang terus menurun sehingga mengakibatkan efisiensi waduk meningkat. Penurunan IPA waduk dipengaruhi oleh peningkatan curah hujan tahunan, sehingga dapat mengurangi efek penurunan yang terjadi pada hasil air.
Perubahan luas areal persawahan yang terjadi pada Tarum timur wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur, diduga karena alihfungsi lahan untuk kegiatan non pertanian yang tidak dipicu oleh kekurangan air.
Hal-hal penting lainnya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan DAS Citarum berkaitan dengan ketersediaan air adalah usaha tani berasaskan konservasi tanah dan air, rehabilitasi lahan-lahan kritis, memperbanyak bangunan-bangunan penyimpan air, meningkatkan kapasitas bendung-bendung yang sudah ada agar dapat menyimpan air dari sumber lokal, dan pengawasan terhadap jaringan irigasi yang ada agar tidak terjadi kebocoran.
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vii
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAS CITARUM DAN
DAMPAKNYA TERHADAP SUPLAI AIR IRIGASI
(Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009)
RUDOLF KRISTIAN TUKAYO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ix
Judul Tesis : Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum dan Dampaknyaterhadap Suplai Air Irigasi (Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009)
Nama : Rudolf Kristian Tukayo
NRP : A252030011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Daerah Alilran Sungai Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.sc.Agr.
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TUHAN, Allah yang Maha Esa atas segala kasih dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah dengan judul Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum dan Dampaknya terhadap Suplai Air Irigasi (Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009).
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS beserta seluruh staf pengajar pada Program Studi Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
2. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. dan Dr.Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan motivasi dan arahan dalam pelaksanaan penelitian sampai penulisan karya ilmiah ini.
3. Dr. Ir. Enni Dwi Wahyunie, M.Si., selaku penguji luar komisi pada ujian tesis atas saran-saran guna perbaikan penulisan tesis.
4. Bapak Andri Sewoko ST, MT yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian.
5. Pimpinan dan Staf Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung yang telah memberikan data-data yang sangat diperlukan dalam penelitian ini.
6. Komunitas Intelektual Biak Numfor, Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB asal Papua, Ikatan Mahasiswa Papua Bogor dan Forum Mahasiswa DAS IPB atas dukungan morilnya.
7. Anak-anak dan istriku, keluargaku dan teman-teman atas doa, kesabaran, kasih sayang, dan dukungannya selama ini.
Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juli 2011
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ayapo pada tanggal 6 Mei 1975 dari ayah bernama
Demianus Tukayo dan ibu bernama Suzana Pulanda.
Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Merauke-Papua, kemudian
melanjutkan studi S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih
Manokwari dan lulus tahun 2000. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan
strata 2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
1. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 3
1.3. Tujuan ... 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Daerah Aliran Sungai ... 7
2.2. Penggunaan Lahan ... 8
2.3. Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai ... 11
2.3.1. Monitoring dan Evaluasi Penggunaan Lahan DAS ... 12
2.3.2. Monev tata air DAS ... 13
2.4. Gambaran Umum DAS Citarum ... 14
2.4.1. Letak Geografis dan Luas ... 15
2.4.2. Morfologi ... 16
2.5. Fungsi Hutan dalam Daur Hidrologi ... 18
2.6. Kebutuhan Air ... 20
2.7. Irigasi ... 21
3. METODOLOGI PENELITIAN ... 23
3.1. Tempat dan Waktu ... 23
3.2. Bahan dan Alat ... 23
3.3. Metode Penelitian ... 24
3.4. Pelaksanaan penelitian ... 24
3.4.1. Tahap Pra Survei ... 24
3.4.2. Tahap Survei ... 24
3.4.3. Analisis data ... 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1. Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan ... 31
xi
4.2.1. Curah hujan ... 34
4.2.2. Curah Hujan dan hasil Air ... 36
4.2.3. Trend Perubahan Hasil Air Tahunan ... 39
4.3. Hubungan antara Hasil Air dan Suplai Air Irigasi ... 42
4.4. Perubahan Luas Areal Persawahan ... 52
4.5. Evaluasi umum ... 53
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55
5.1. Kesimpulan ... 55
5.2. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Luas Sub DAS pada DAS Citarum ... 15
2. Indeks Ratio Kebulatan DAS (circularity ratio) setiap sub
DAS di DAS Citarum ... 16
3. Summary Karakteristik Kelerengan DAS Citarum ... 17
4. Panjang Sungai dan Kepadatan Aliran tiap Wilayah DAS/sub
DAS dalam DAS Citarum ... 18
5. Klasifikasi nilai Indeks Penggunaan Air (IPA) ... 28
6. Hasil Analisis Penggunaan Lahan DAS Citarum di atas
Waduk Jatiluhur, tahun 2002 dantahun 2008 ... 33
7. Perubahan hasil air DAS Citarum dari tahun 2002-2009 ... 40
8. Nilai-nilai penting untuk analisis hubungan penggunaan
lahan dan parameter hasil air, tahun 2002-2008 ... 41
9. Kebutuhan Irigasi untuk Areal persawahan yang termasuk dalam wilayah Otorita Perum jasa Tirta II Jatiluhur, tahun
2002-2009 ... 43
10. Persentase Pemenuhan kebutuhan air dari sungai-sungai
lokal ... 44
11. Permintaan air untuk kebutuhan irigasi dari waduk Jatiluhur ... 45
12. Indeks Penggunaan Air (IPA) irigasi dengan sumber air
langsung dari DAS Citarum, tahun 2002-2009 ... 46
13. Surplus Air DAS Citarum, tahun 2002-2009 ... 46
14. Defisit air DAS Citarum, tahun 2002-2009 ... 47
15. Indeks Penggunaan Air (IPA) Irigasi dari Waduk Jatiluhur,
tahun 2002-2009 ... 48
16. Defisit air irigasi dari Waduk jatiluhur, tahun 2002-2009 ... 49
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Logika Kinerja Pengelolaan DAS ... 12
2. Peta Wilayah Penelitian, DAS Citarum Jawa Barat ... 23
3. Peta wilayah DAS Citarum di atas waduk Jatiluhur ... 25
4. Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum di atas Waduk
Jatiluhur, Tahun 2002 ... 31
5. Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum di atas Waduk
Jatiluhur, Tahun 2008 ... 32
6. Rata-rata curah hujan wilayah (juta m3/bln) dan hasil air
bulanan (juta m3/bln) dari tahun 2002-2009 ... 37
7. Curah hujan dan hasil air tahunan DAS Citarum dari tahun
2002-2009 ... 38
8. Koefisien varian curah hujan dan hasil air dari tahun
2002-2009 ... 39
9. Grafik kebutuhan air irigasi aktual dan ketersediaan air
pada DAS Citarum, tahun 2002-2009 ... 51
10. Total luas areal persawahan (ha) yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II dari tahun 2002 sampai
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Tipe dan luas Penutupan Lahan DAS Citarum tahun 2002 dan
tahun 2008 ... 61
2. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum, tahun
2002 dan tahun 2006 ... 62
3. Rerata bulanan Curah Hujan (mm) Wilayah DAS Citarum di
atas Waduk Jatiluhur, Tahun 2002-2009 ... 63
4. Rerata debit Air Bulanan (m3/detik) DAS Citarum dari Tahun
1994 sampai Tahun 2009 ... 64
5. Hasil Air Bulanan (m3/bulan) DAS Citarum dari Tahun 1994
sampai Tahun 2009 ... 65
7. Ketersediaan Air Irigasi pada Sumber setempat (sungai-sungai
lokal) ... 66
8. Pemenuhan Kebutuhan Irigasi dari Waduk Jatiluhur, tahun
2002-2009 ... 67
8. Perubahan Luas Areal Persawahan dari Tahun 2002 sampai
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan
budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi
tanah dan air seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan, yaitu
peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, dan
percepatan degradasi lahan (Dirjen RLPS, 2009). Hasil akhir perubahan ini tidak
hanya berdampak nyata secara biofisik berupa peningkatan luas lahan kritis dan
penurunan daya dukung lahan, namun juga secara sosial ekonomi menyebabkan
masyarakat menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk berusaha di
lahannya. Oleh karena itu, peningkatan fungsi kawasan budidaya memerlukan
perencanaan terpadu agar beberapa tujuan dan sasaran pengelolaan DAS
tercapai, seperti erosi tanah terkendali, hasil air optimal, dan produktivitas dan
daya dukung lahan terjaga, dengan demikian degradasi lahan dapat terkendali
dan kesejahteraan masyarakat dapat terjamin.
Menurut Asdak (2004) Pengelolaan DAS adalah suatu formulasi dan
implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam
dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat
produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan
tanah. Ia mempunyai arti sebagai pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di
daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan
nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Termasuk dalam
pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara daerah hulu dan hilir
suatu DAS. Pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial,
ekonomi, budaya, dan kelembagaan yang beroperasi di dalam dan di luar daerah
aliran sungai yang bersangkutan.
Suatu program pengelolaan DAS seringkali tidak dapat dilaksanakan dengan
baik karena berbenturan dengan kepentingan sepihak penggunaan lahan.
Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervesi (campur
tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik material maupun spiritual (Arsyad, 2006). Kebutuhan akan ruang seperti
untuk tempat tinggal, keinginan untuk meningkatkan produksi pangan, serta
melalui industri, peningkatan sarana jalan untuk transportasi, mengakibatkan
terjadinya alih fungsi lahan hutan ke lahan pertanian dan non pertanian.
Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak penting terhadap
berbagai aktivitas kehidupan manusia tidak hanya kelestarian lingkungan hidup
tetapi juga terhadap daya dukung alam dalam menopang pertambahan
penduduk dan peningkatan produksi pangan. Penggunaan lahan erat kaitannya
dengan luas penutupan lahan sehingga perubahan yang terjadi akan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap keadaan hidrologis suatu DAS..
Irianto (2003) mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk yang masih
tinggi dan terkonsentrasi pada wilayah tertentu menyebabkan alih fungsi lahan
pertanian (cultivated land) ke lahan bukan pertanian (non cultivated land) seperti
permukaan jalan sulit sekali dikendalikan, bahkan banyak ditemukan
penggunaan lahan melampaui daya dukungnya. Pembabatan hutan, budidaya
tanaman pangan pada lahan berlereng terjal tanpa konservasi tanah dan air yang
memadai merupakan beberapa ilustrasi penyebab rusaknya sistem hidrologi
DAS. Kerusakan tersebut ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS dalam
menyerap, menyimpan, dan mendistribusikan air hujan pada musim hujan.
Akibatnya, tambahan cadangan air tanah (recharging) pada musim hujan sangat
terbatas sehingga pasokan air pada musim kemarau menjadi rendah.
Berdasarkankan penelitian, alih fungsi lahan pertanian/betonisasi berdampak
terhadap, 1) penurunan volume air hujan yang dapat diserap tanah dari 15
persen sampai dibawah 9 persen, 2) peningkatan volume aliran permukaan dari
sekitar 30 persen menjadi 40-60 persen, 3) kecepatan aliran permukaan dari
kurang 0,7 meter per detik menjadi lebih dari 1,2 meter per detik (Irianto, 2003).
Rendahnya penambahan air tanah (recharge) melalui infiltrasi pada musim hujan
akan menyebabkan menurunnya pasokan air di musim kemarau, sementara itu
kebutuhan air irigasi pada musim kemarau justru meningkat. Dampaknya, selain
menurunnya luas daerah layanan irigasi, juga menurunnya intensitas tanam
bahkan sering diikuti meningkatnya risiko kekeringan. Kondisi demikian akan
berdampak terhadap penurunan produksi pangan secara nasional.
Daerah Aliran sungai Citarum merupakan salah satu DAS penting di
Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat karena terkait dengan masalah
ketahanan pangan dan ketahanan energi nasional. Luas wilayah DAS Citarum
tangkapan waduk, DAS Citarum dapat dikelompokkan menjadi 4 sub DAS, yaitu:
1) Citarum Hulu, terletak di sekitar Pacet, yang merupakan daerah tangkapan
waduk Saguling, 2). Daerah tangkapan dari waduk Cirata yang terletak di wilayah
Cianjur dan sekitarnya, 3). Daerah tangkapan waduk Jatiluhur di wilayah
Purwakarta dan sekitarnya, dan 4). Sub DAS Citarum Hilir yang merupakan areal
terluas terletak di bagian utara meliputi sebagian besar Kabupaten Karawang
hingga Pantura (LPPM IPB, 2006).
Menurut Perum Jasa Tirta II Jatiluhur (2001), Potensi sungai Citarum
mempunyai aliran rata-rata 5,5 miliar m3/tahun dengan debit rata-rata tahunan
175 m3/detik. Proyek pengairan Jatiluhur didasarkan pada pertimbangan
bahwa salah satu daerah produksi utama hasil agraris khususnya pangan untuk
kota-kota di provinsi Jawa Barat adalah dataran alluvial pantai utara Jawa Barat
yang terbentang dari Banten sampai Cirebon, maka timbullah gagasan untuk
mengendalikan dan memanfaatkan aliran Citarum untuk penyempurnaan irigasi
dan memperluas daerah pengairan pada dataran aluvial tersebut dalam rangka
peningkatan produksi pertanian khususnya pangan. Proyek Pengairan Jatiluhur
dibangun atas dasar rencana untuk memberi pengairan teknis pada sawah
seluas 240.000 Ha (Direktorat Pengairan Perum Otorita Jatiluhur, 1985).
1.2. Permasalahan
Tekanan penduduk mengakibatkan terjadinya konversi lahan dari hutan ke
pertanian maupun non pertanian. Konversi lahan tersebut akan berdampak pada
menurunnya infiltrasi dan resapan air, sehingga aliran permukaan meningkat
yang berakibat pada terjadinya banjir, pada DAS yang tidak mempunyai waduk
pengaruh perubahan lahan sangat terasa pada musim kemarau ketika simpanan
air berkurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan air untuk pertanian
maupun kebutuhan rumah tangga lainnya. Hal ini berbeda pada daerah yang
memiliki Waduk atau danau-danau buatan. Waduk berperan untuk mencegah
banjir dengan cara menampung aliran permukaan yang memiliki jumlah air
sangat besar terutama pada daerah yang telah mengalami konversi lahan secara
besar-besaran dari tahun ke tahun.
Air yang tersimpan dalam waduk, selanjutnya akan digunakan saat musim
kemarau untuk berbagai keperluan. Tetapi, keberadaan waduk tidak selamanya
dapat mengatasi dampak negatif dari perubahan lahan yang telah dan akan terus
kondisi hidrologis suatu DAS, suatu saat akan berpengaruh terhadap penurunan
suplai air irigasi sehingga akan berdampak pula pada berkurangnya luas areal
persawahan yang diairi.
Perubahan penggunaan lahan suatu DAS merupakan permasalahan
didalam pengelolaan DAS. Perubahan dalam tata guna lahan seperti
berkurangnya lahan hutan atau peningkatan lahan pemukiman di suatu DAS
akan mengakibatkan berkurangnya sumberdaya air pada DAS tersebut. Satu
kenyataan yang menarik dalam melihat fenomena alam pada suatu DAS adalah
bahwa setiap perubahan pada daerah hulu akan memberikan dampak secara
nyata pada bagian hilir.
Daerah aliran sungai yang tidak mempunyai waduk atau danau buatan untuk
menampung aliran permukaan menunjukkan pengaruh yang nyata antara
perubahan tata guna lahan pada daerah hulu dengan debit banjir pada daerah
hilir maupun kondisi hidrologi pada saat musim kemarau. Hal ini tentu berbeda
dengan DAS Citarum yang memiliki 3 waduk besar dan disusun secara seri dari
hulu ke hilir masing-masing: Waduk Saguling, waduk Cirata, dan Waduk
Jatiluhur. Waduk Saguling dan Cirata ditujukan terutama untuk pembangkit
tenaga listrik sedangkan waduk Jatiluhur merupakan waduk serba guna untuk
memenuhi berbagai keperluan di bagian hilir dengan salah satu manfaatnya
adalah sebagai penyedia air irigasi untuk areal persawahan seluas ± 240.000 ha
yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur, tersebar dari
Bekasi sampai Indramayu (Perum Jasa Tirta II, 2001).
Peningkatan produksi pertanian terutama padi sawah sangat bergantung
pada ketersediaan air selain faktor pendukung lainnya. Daerah Jawa Barat
bagian utara diharapkan dapat menjadi lumbung beras terutama dalam menjaga
kestabilan persediaan pangan nasional dan swasembada beras. Hal ini
memberikan suatu motivasi untuk terus memproduksi beras pada musim
kemarau, dengan demikian keberadaan air irigasi untuk mengairi areal
persawahan sangat dibutuhkan. Peranan DAS Citarum sangat besar untuk
menunjang ketersediaaan air irigasi guna mewujudkan tujuan ini.
Evaluasi mengenai keterkaitan antara hulu dan hilir DAS Citarum dilakukan
dengan melihat perubahan penggunaan lahan yang terjadi dan pengaruhnya
terhadap karakteristik hidrologi dan efek lanjutannya apakah memberikan
dampak positif atau negatif terhadap penyediaan air irigasi dan bagaimana
1.3. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka ditetapkan
tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan evaluasi terhadap:
1. Perubahan penggunaan lahan DAS Citarum dari tahun 2002 sampai tahun
2008.
2. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air (water yield) DAS
Citarum.
3. Perubahan hasil air dan pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan irigasi
untuk areal persawahan yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II
Jatiluhur.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai
Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Suripin (2002) adalah suatu
wilayah, yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau
gunung, maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang
turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet).
Menurut kamus Webster, DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah
topografi, yang menerima hujan, menampung, menyimpan dan mengalirkan ke
sungai dan seterusnya ke danau atau laut.
Apapun definisi yang dianut DAS merupakan suatu ekosistem dimana di
dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik, dan
manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke
dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi
berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen masukan
dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluaran terdiri dari debit
air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi,
tanah, dan saluran/sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor.
Program-program pengelolaan DAS yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas lahan di suatu DAS sebaiknya tidak mengabaikan perlunya
menerapkan praktek pengelolaan DAS yang berwawasan (Asdak, 2004)
terutama dengan menerapkan kaidah konservasi tanah dan air. Arsyad (2006)
mendefinisikan konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan
sebidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan
agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan konservasi air pada prinsipnya
adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien
mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan
terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Menurut Asdak (2004) sasaran
pengelolaan DAS untuk tujuan multiguna adalah mengelola sumberdaya pada
tingkat yang paling menguntungkan, baik jangka pendek maupun jangka
2.2. Penggunaan Lahan
FAO (1976) yang dikutip oleh Arsyad (2006) menyatakan bahwa Lahan
(land) diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,
dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya
terhadap potensi penggunaan lahan, termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan
manusia dimasa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan
vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti tanah yang tersalinisasi.
Penggunaan lahan secara umum (major kinds of lan use) adalah
penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan,
pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2006). Penggunaan lahan secara umum
biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survey
tinjau (reconnaissance). Tipe penggunaan lahan (land utilization type) atau
penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe penggunaan lahan yang
diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan
fisik dan sosial ekonomi tertentu.
Penggunaan lahan secara terperinci (tipe penggunaan lahan) dapat terdiri
dari: (1) hanya satu jenis tanaman, dan (2) lebih dari satu jenis tanaman. Tipe
penggunaan lahan yang kedua ini dibedakan lagi menjadi: (a) tipe penggunaan
lahan ganda (multiple land utilization type), dan (b) tipe penggunaan lahan
majemuk (compound land utilization type).
Tipe penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis sekaligus, dimana
masing-masing jenis memerlukan input, syarat-syarat dan memberikan hasil
yang berbeda. Sebagai contoh, daerah hutan produksi yang sekaligus digunakan
untuk daerah rekreasi. Tipe penggunaan lahan majemuk adalah penggunaan
lahan dengan lebih dari satu jenis, tetapi untuk tujuan evaluasi dianggap sebagai
satu satuan.
Evaluasi pemanfaatan ruang aktual (eksisting) yang meliputi penggunaan
lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) diperlukan untuk
menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual. Informasi pemanfaatan
ruang aktual akan sangat membantu dalam analisis potensi fisik suatu wilayah
secara utuh (Rustiadi dkk., 2007). Pada wilayah perencanaan yang luas
(misalnya satu wilayah kabupaten), aktivitas evaluasi ini memerlukan alat bantu
yang mampu memberikan gambaran tutupan (coverage) wilayah secara luas dan
citra satelit, oleh karena itu evaluasi pemanfaatan ruang aktual biasanya
dilakukan dengan bantuan analisis citra satelit dan Sistem Informasi Geografis
(SIG).
Citra satelit dapat berasal dari berbagai sumber institusi. Interpretasi citra
satelit dapat dilakukan secara manual (visual) dan digital. Interpretasi secara
manual/visual dilakukan dengan delineasi citra hardcopy (citra yang tercetak)
atau delineasi secara langsung kenampakan citra yang ada di monitor computer
(screen digitizing). Sedangkan interpretasi secara digital dilakukan dengan
klasifikasi citra digital berdasarkan kecerahan nilai pixel, interpretasi dilakukan
guna mendapat peta tematik yang memberikan informasi mengenai batas
wilayah perencanaan, penggunaan lahan, ekosistem perairan, serta kondisi fisik
perairan.
Perubahan penggunaan lahan yang sifatnya negatif akan berdampak pada
degradasi lahan. Menurut Sinukaban (2008) bahwa degradasi lahan akan
mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis DAS yang terlihat dari penurunan
kapasitas infiltrasi DAS dan meningkatnya koefisien aliran permukaan.
Terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS tersebut
kemungkinan disebabkan beberapa faktor:
Pertama, penggunaan dan peruntukan lahan menyimpang dari Rencana Tata
Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang
diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian, hutan
produksi dialihfungsikan menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian
dialihfungsikan menjadi permukiman atau industri, dan sebagainya.
Kedua penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan.
Banyak lahan yang semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah
menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan
pertanian, bahkan permukiman. Banyak lahan yang kemiringan lerengnya
lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian yang intensif
atau jadi permukiman.
Ketiga, perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tersebut tidak memenuhi
syarat-syarat yang diperlukan oleh lahan atau tidak memenuhi kaidah-kaidah
konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak
memadai. Setiap penggunaan lahan (hutan, pertanian, industri, permukiman)
harus sesuai dengan syarat, yakni menerapkan teknik konservasi tanah dan
belum tentu memadai di lahan yang lain. Pemilihan teknik konservasi yang
memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh faktor bio-fisik (tanah,
topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim) lahan yang bersangkutan. Jenis
teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan
mulai dari yang paling ringan sampai berat, antara lain, penggunaan mulsa,
penanaman mengikuti kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan
tanah konservasi (tanpa olah tanah, pengolahan tanah minimum), pengaturan
jarak tanam, penanaman dalam strip (strip cropping), dan penanaman
berurutan (rotasi).
Keempat, tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang
mengharuskan masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air
secara memadai di setiap penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini
maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan teknik
konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat.
Faktor kelima, kurang memadainya kesungguhan pemerintah mencegah
degradasi lahan.Hal ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan
degradasi lahan atau penerapan teknik konservasi tanah dan air di setiap tipe
penggunaan lahan. Departemen yang berkaitan dengan penggunaan lahan,
seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam
Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan
penerapan teknologi konservasi tanah dan air.
Hal ini pun terindikasi dalam rancangan awal Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025. Dalam rancangan awal RPJPN tidak diindikasikan bahwa pencegahan degradasi lahan sebagai prioritas penting.
Apabila hal ini berjalan terus maka minat generasi muda untuk mempelajari dan
mendalami pencegahan degradasi sumber daya lahan akan memudar yang pada
gilirannya dapat mengakibatkan tidak ada lagi orang yang mengetahui teknologi
pencegahan degradasi lahan. Apabila ini terjadi maka malapetaka banjir, seperti
yang dialami oleh masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, akan semakin sering
terjadi.
Pencegahan dan penaggulangan degradasi lahan dapat dilakukan dengan
strategi berikut. Pertama, kaji ulang tata ruang nasional, wilayah, dan daerah
agar didasarkan pada kemampuan lahan. Kedua, penyimpangan tata ruang yang
sumber daya lahan harus diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya.
Keempat, penggunaan lahan harus didasarkan pada kemampuan lahan. Kelima,
teknologi konservasi tanah dan air yang memadai harus diterapkan di setiap tipe
penggunaan lahan. Keenam, penyusunan UU konservasi tanah dan air perlu
dipercepat.Ketujuh, departemen terkait harus memprogramkan pencegahan
degradasi lahan sebagai prioritas utama. Kedelapan, pemerintah perlu
memasukkan materi pencegahan degradasi lahan/penerapan teknologi
konservasi tanah dan air dalam kurikulum pendidikan.
2.3. Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai
Menurut acuan dari Dirjen RLPS (2009) Identifikasi berbagai komponen
biofisik hidrologis, sosial ekonomi dan kelembagaan DAS merupakan kunci
dalam program monitoring dan evaluasi (monev) kinerja DAS, yaitu dalam upaya
mengumpulkan dan menghimpun data dan informasi yang dibutuhkan untuk
tujuan evaluasi dalam rangka menjamin tercapainya tujuan dan sasaran
pengelolaan DAS. Pengumpulan data dan informasi tersebut harus dilakukan
secara berkala, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi instrumentasi,
informasi, dan komunikasi yang ada, misalnya dengan automatic data acquisition
system, logger, sistem telemetri, teknik penginderaan jauh terkini, dan internet
sedangkan untuk pengolahan dan analisis data secara spatial (keruangan) dan
temporal (waktu) serta penyajian hasil dari monev kinerja DAS maka teknologi
sistem informasi geografis (SIG) dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini.
Monitoring pengelolaan DAS adalah proses pengamatan data dan fakta
yang pelaksanaannya dilakukan secara periodik dan terus menerus terhadap
masalah: (1) jalannya kegiatan, (2) penggunaan input, (3) hasil akibat kegiatan
yang dilaksanakan (output), dan (4) faktor luar atau kendala yang
mempengaruhinya. Evaluasi pengelolaan DAS adalah proses pengamatan dan
analisis data dan fakta, yang pelaksanaannya dilakukan menurut kepentingannya
mulai dari penyusunan rencana program, pelaksanaan program dan
pengembangan program pengelolaan DAS. Monitoring dan evaluasi DAS
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai
perkembangan keragaan DAS, yang ditekankan pada aspek penggunaan lahan,
tata air, sosial ekonomi dan kelembagaan. Kerangka logika kinerja Pengelolaan
DAS didasarkan pada prinsip, kriteria, dan indikator kinerja DAS yang disajikan
Prinsip
Kriteria
Indikator
Gambar 1. Kerangka Logika Kinerja Pengelolaan DAS
Monev kinerja DAS adalah kegiatan pengamatan dan analisis data dan fakta
yang dilakukan secara sederhana, praktis, terukur, dan mudah dipahami
terhadap kriteria dan indikator kinerja DAS dari aspek/kriteria pengelolaan lahan,
tata air, sosial, ekonomi, dan kelembagaan, sehingga “status” atau “tingkat kesehatan” suatu DAS dapat ditentukan.
2.3.1. Monitoring dan Evaluasi Penggunaan Lahan DAS
Monev penggunaan lahan dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
mengenai perubahan jenis, pengunaan, pengelolaan lahan, tingkat kesesuaian
penggunaan lahan dan erosi pada suatu DAS/Sub DAS, yang bertujuan untuk
mengetahui perubahan kondisi lahan terutama menyangkut kecenderungan
degradasi lahan.
Pada awal kegiatan, monev penggunaan lahan dilakukan pada seluruh
parameter lahan, baik yang alami maupun parameter yang mudah
dikelola.Namun untuk tahap selanjutnya, monitoring parameter alami, seperti
topografi/fisiografi lahan, tidak perlu dilakukan setiap waktu karena bersifat relatif
Tujuan: Kelestarian Pengelolaan
Kelestarian Lingkungan Kelestarian Sosial ekonomi Kelembagaan
Penggunaan Lahan Tata Air Sosial Ekonomi Kelembagaan
tidak banyak berubah. Sedangkan monev parameter-parameter yang dinamis
dan dapat dikelola pada suatu DAS/Sub DAS, meliputi: indeks penutupan lahan
oleh vegetasi (IPL), kesesuaian penggunaan lahan (KPL), indeks erosi (IE),
pengelolaan lahan (PL) dan kerentanan tanah longsor (KTL) perlu dilakukan
secara periodik. Data yang dikumpulkan dalam monev penggunaan lahan adalah
data dari hasil observasi di lapangan yang ditunjang dengan data dari sistim
penginderaan jauh dan data sekunder. Tujuan monev penggunaan lahan adalah
untuk mengetahui perubahan kondisi lahan di DAS terkait ada tidak adanya
kecenderungan lahan tersebut terdegradasi dari waktu ke waktu.
Monev penggunaan lahan terhadap indikator bentuk erosi yang lain yang
berupa gerak masa tanah, seperti tanah longsor, perlu dilakukan tersendiri
karena dari pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tanah longsor memiliki
dampak baik di tempat kejadiannya (on site) maupun di hilirnya (off site), yang
dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar baik materiil maupun jiwa.
Ancaman bencana gerak masa tanah berupa tingkat kerentanan tanah longsor
(KTL) di DAS harus dideteksi/dimonitor secara dini, sehingga kemungkinan
kerugian akibat bencana yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin.
Data yang diperlukan untuk mendukung monitoring kriteria penggunaan
lahan DAS meliputi indikator-indikator:
a. Indeks penutupan lahan oleh vegetasi (IPL)
b. Kesesuaian penggunaan lahan (KPL)
c. Tingkat Erosi-Indeks Erosi (IE)
d. Pengelolaan lahan (PL)
e. Kerawanan tanah longsor (KTL).
2.3.2. Monev tata air DAS
Monitoring tata air DAS dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi
tentang aliran air (hasil air) yang keluar dari daerah tangkapan air (DTA) secara
terukur, baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran airnya.Untuk mengetahui
hubungan antara masukan dan luaran di DAS perlu juga dilakukan monitoring
data hujan yang berada di dalam dan di luar DTA atau DAS/Sub DAS
bersangkutan.
Evaluasi tata air DAS dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan nilai
dilaksanakan di dalam DAS, yaitu kondisi kuantitas, kualitas, dan kontinuitas
hasil air dari DAS/Sub DAS bersangkutan.
a. Indikator terkait kuantitas hasil air, yaitu debit air sungai (Q) dengan
parameter nilai koefisien rejim sungai (KRS), indeks penggunaan air (IPA),
dan koefisien limpasan (C).
b. Indikator terkait kontinuitas hasil air berupa nilai variasi debit tahunan (CV).
c. Indikator terkait kualitas hasil air yaitu tingkat muatan bahan yang terkandung
dalam aliran air, baik yang terlarut maupuan tersuspensi, nilai SDR (nisbah
hantar sedimen), dan kandungan pencemar (polutan).
Analisis terhadap kuantitas hasil air dilakukan melalui parameter jumlah air
mengalir yang keluar dari DAS/Sub DAS pada setiap periode waktu
tertentu.Muatan sedimen (sediment load) pada aliran sungai merupakan refleksi
hasil erosi yang terjadi di DTA-nya. Demikian juga bahan pencemar yang terlarut
dalam aliran air dapat digunakan sebagai indikator asal sumber pencemarnya,
apakah dampak dari penggunaan pupuk, obat-obatan pertanian, dan atau dari
limbah rumah tangga dan pabrik/industri.
Selanjutnya kondisi hasil air dari DAS yang bersangkutan dapat diketahui
secara time series melalui evaluasi nilai perubahan/kecenderungan
parameter-parameternya dari tahun ke tahun. Pengumpulan data dilakukan untuk
mendapatkan data dan fakta tentang gambaran kondisi tata air DAS sesuai
indikator-indikator yang ada pada SK Menteri Kehutanan No 52 /Kpts-II/2001
tentang Penyelenggaraan Pengelolaan DAS, yaitu:
a. Kuantitas air - debit aliran air sungai (Q, KRS=Qmaks/Qmin, IPA, dan
koefisien limpasan C)
b. Kontinuitas air (nilai CV)
c. Kualitas air - kandungan sedimen, SDR dan kandungan pencemar (fisik:
warna, TDS/total dissolved solid, kekeruhan; kimia: pH, DHL/daya hantar
listrik, nitrat, sulfat, phospat, potasium, natrium, calsium; dan biologi:
BOD/biological oxygen demand, COD/chemical oxygen demand). 2.4. Gambaran Umum DAS Citarum
Daerah Aliran Sungai Citarum merupakan DAS utama di Jawa Barat yang
memiliki luas 6.080 km2, dengan sungai Citarum yang panjangnya sekitar 300 km
(LPPM IPB, 2006). Sungai utama Citarum memiliki anak sungai berjumlah 36
dan Juanda (Jatiluhur). Dalam bentang perjalanannya sungai Citarum yang
berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung dan bermuara di laut Jawa,
melewati 7 kabupaten yakni Bandung, Sumedang, Cianjur, Bogor, Bekasi,
Purwakarta, dan Karawang, serta 2 kotamadya yakni Bandung dan Cimahi yang
kesemuanya berada dalam Provinsi Jawa Barat. Kartiwa B., dkk (2007)
menambahkan bahwa DAS Citarum memainkan peranan penting dalam
memenuhi kebutuhan air untuk pertanian, aktivitas industri, pembangkit listrik,
serta kebutuhan domestik di beberapa daerah di Jawa Barat.
Uraian mengenai karakteristik wilayah DAS Citarum, terbagi dalam 2 pokok
uraian yang meliputi:1). Letak geografis dan Luas; dan 2). Morfologi- informasi
ini diperoleh dari kantor BPDAS Citarum-Ciliwung.
2.4.1. Letak Geografis dan Luas
Wilayah DAS Citarum berada pada koordinat 106051′36′′ – 107051′BT dan 7019′-6024′LS memanjang dari bagian hulu di selatan Kabupaten Bandung ke hilir menuju utara pantai Jakarta. Luas keseluruhan wilayah DAS Citarum adalah
718,269 hektar, dari luas tersebut seluas 454,340 ha berada di atas Waduk
Jatiluhur yang kedudukannya sangat strategis dalam rangka pengamanan
proyek-proyek besar seperti Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Luas per Sub DAS
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Sub DAS pada DAS Citarum
No. SUB DAS LUAS (Ha)
1. Cibeet 106,372.31
2. Cikapundung 40,491.79
3. Cikaso 51,531.83
4. Cikundul 26,325.38
5. Cimeta 37,951.56
6. Ciminyak 32,459.65
7. Cirasea 38,004.43
8. Cisangkuy 31,009.94
9. Cisokan 118,160.61
10. Citarik 46,793.67
11. Citarum Hilir 161,704.71
2.4.2. Morfologi a. Bentuk DAS
Bentuk tiap sub DAS dalam DAS Citarum diukur dengan Index Circularity
Ratio menurut metode MILLER. Index ini menggambarkan seberapa bulat bentuk
fisik unit DAS. Secara matematis bentuk DAS dengan indeks = 1.0 berarti bulat
seperti sebuah lingkaran. Hasil perhitungan seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Indeks Ratio Kebulatan DAS (circularity ratio) setiap sub DAS di DAS Citarum
No. Sub DAS Luas Sub DAS Luas Lingkaran Index Circularit y Ratio 1. Cibeet 106,372.31 153,654.00 0.7
2. Cikapundung 40,491.79 120,908.25 0.3 3. Cikaso 51,531.83 323,738.60 0.2 4. Cikundul 26,325.38 137,385.32 0.2 5. Cimeta 37,951.56 223,365.55 0.2 6. Ciminyak 32,459.65 117,691.52 0.3 7. Cirasea 38,004.43 95,276.71 0.4 8. Cisangkuy 31,009.94 93,632.69 0.3 9. Cisokan 118,160.61 228,374.09 0.5 10. Citarik 46,793.67 108,801.03 0.4 11. Citarum Hilir 161,704.71 264,915.04 0.6 12. Ciwidey 27,462.65 94,828.62 0.3 Jumlah 718,263.53 1,962,571.42 0.4
Berdasarkan perhitungan ICR untuk DAS Citarum diperoleh nilai 0.4 bentuk
memanjang. Dari 13 sub DAS tidak ada satupun yang indeksnya 1 (bulat), 10
sub DAS bentuk DAS memanjang dengan indeks di bawah 0.5, 1 sub DAS (sub
DAS Cibeet) dengan indeks 0.7 bentuk membulat.
b. Kelerengan Wilayah DAS
Kelerengan lapangan sub DAS dalam DAS Citarum, dan kabupaten/kota
dianalisa dan hasilnya sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Indikasi lebih lanjut terhadap kelerengan lahan DAS Citarum adalah
mengelompokkan seluruh sub DAS dalam DAS Citarum dengan melihat
kelerengan datar-landai (0-15%) dan kelerangan curam-sangat curam (>25%),
3. Sub DAS yang luas lahannya 35-50 % berlereng <25% dikategorikan dalam
tipe morfologi lereng landai.
Identifikasi menghasilkan pengelompokkan sub DAS dalam DAS Citarum
sebagai berikut:
1. Sub DAS Cikaso, Cimeta, Ciminyak dan Ciwidey: tipe morfologi lereng berat.
2. Sub DAS Cibeet, Cicalengka, Cikundul, Cirasea, Cisangkuy, Cisokan, Citarik,
dan Citarum Hulu: tipe morfologi lereng sedang.
3. Sub DAS Cikapundung dan Citarum Hilir: tipe morfologi lereng landai.
Secara keseluruhan DAS Citarum bertipe morfologi lereng sedang, seluas
33,28% dari luas lahannya kelerengannya <25% dan 39.49% dari luas lahannya
berlereng di atas 25%.
Tabel 3. Summary Karakteristik Kelerengan DAS Citarum
No. Sub DAS % Luas
Tabel 4. Panjang Sungai dan Kepadatan Aliran tiap Wilayah DAS/sub DAS
2.5. Fungsi Hutan dalam Daur Hidrologi
Hutan memegang peranan penting dalam meredusir volume aliran air dan
besarnya debit sungai pada saat banjir. Menurut Arif (2001) Ada tiga pengaruh
hutan yang penting, yakni sebagai berikut:
1. Hutan menahan tanah ditempatnya.
Akar-akar dan perdu berfungsi sebagai pengikat tanah pada tanah-tanah yang
miring dan mencegah longsor sesudah terjadi hujan lebat atau kebakaran
besar.
2. Tanah hutan menyimpan air tanah lebih banyak.
Evapotranspirasi hutan cukup besar, terutama pada tipe-tipe tumbuhan
penutup tanah sehingga lapisan tanah (soil mantle) dibawah tegakannya
hutan acapkali mengandung air lebih sedikit. Bila terjadi hujan lebat, maka
bagian terbesar dari aliran permukaan akan ditahan dalam bentuk air tanah
sehingga volume aliran langsung mengalir di bawah tegakan hutan akan
berkurang. Akibatnya, tinggi air banjir di hilir sungai akan jauh berkurang.
3. Hutan menyebabkan tingginya laju infiltrasi.
Perakaran pepohonan dan vegetasi hutan akan ikut menjaga porositas tanah
Keberadaan hutan di suatu Daerah Aliran Sungai mempunyai fungsi dan
peranan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara
ekologis, pengaruh keberadaan hutan yang dikelola dengan baik terhadap siklus
hidrologi dan erosi/degradasi tanah, antara lain sebagai berikut:
1. Hutan barangkali tidak berpengaruh terhadap total presipitasi, tetapi jumlah
air hujan yang mencapai permukaan tanah sangat dikurangi oleh proses
intersepsi vegetasi hutan. Daya erosi hujan pada umumnya tidak terlalu
banyak diturunkan oleh vegetasi pepohonan, bahkan dalam beberapa hal
tertentu mengalami penurunan.
2. Hutan umumnya tidak mampu mempengaruhi kapasitas cadangan air bumi
dan tampaknya tidak banyak perpengaruh terhadap perkolasi air dalam dan
aliran air bumi. Faktor-faktor yang sangat penting bagi aliran sungai
semata-mata ditentukan oleh faktor fisik tanah, batuan induk, dan geologi.
3. Hutan berpengaruh terhadap eksesibilitas cadangan air bumi karena hutan
mampu menyebabkan tanah mempunyai kondisi hidrologi yang lebih baik
sehingga memungkinkan infiltrasi lebih banyak dan juga perkolasi air dalam
tanah. Oleh karena itu, daerah hutan biasanya menyediakan aliran sungai
yang berkesinambungan dari sumber air bumi, terutama selama musim
kemarau.
4. Kondisi hidrologi yang baik pada tanah-tanah hutan yang ditandai oleh
kapasitas infiltrasi yang besar dan kapasitas simpanan depresi yang cukup
besar mampu menghambat terjadinya banjir di daerah yang tidak berhutan.
Akan tetapi, aliran permukaan di daerah yang tidak berhutan dapat
menimbulkan aliran air yang cukup besar pada musim hujan.
5. Meskipun hutan mampu menyebabkan tanah mempunyai karateristik
hidrologi yang baik, namun hutan tidak mampu mengubah sifat hidrologi yang
buruk, seperti solum yang dangkal/tipis. Disamping itu, hutan dapat
kehilangan sifat hidrologis yang baik apabila periode hujannya panjang dan
lebat, serta kondisi tanahnya tidak stabil. Tetapi, pada tanah-tanah yang
berkarakteristik hidrologi kurang bagus ternyata hutan dapat memperbaiki
situasu lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang kondisinya telah
baik.
6. Umumnya hutan mempunyai evapotranspirasi lebih tinggi dibandingkan
dengan bentuk vegetasi lainnya. Oleh karena itu, total aliran sungai dari
memiliki curah hujan rendah, dimana debit air sungai minim, dapat turun lagi
karena tingginya evapotranspirasi, sehingga berdampak buruk.
7. Dampak yang baik dari hutan terhadap kondisi hidrologi disebabkan oleh
hubungan yang baik antara hutan dan faktor-faktor tanah. Hal ini terlihat pada
pengaruh yang baik terhadap erosi karena vegetasi hutan menyediakan
serasah lantai hutan yang mampu mengurangi erosi.
2.6. Kebutuhan Air
Menurut Kodoatie dan Roestam S. (2008) kebutuhan air yang dimaksud
adalah kebutuhan air yang digunakan untuk menunjang segala kegiatan
manusia, meliputi air bersih domestik dan non domestik, air irigasi baik pertanian
maupun perikanan, dan air untuk penggelontoran kota. Air bersih digunakan
untuk memenuhi kebutuhan:
a. Kebutuhan air tujuan sosial: keperluan rumah tangga.
b. Kebutuhan air non sosial: pariwisata, tempat ibadah, serta tempat-tempat
komersil atau tempat umum lainnya.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air memberikan
gambaran bahwa penyediaan air untuk kebutuhan masyarakat sangat penting
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menunjang peningkatan
pembangunan suatu daerah. Kekurangan air dapat mengakibatkan suatu daerah
tidak dapat berkembang karena pembangunan tidak dapat ditingkatkan bila tidak
tersedianya air pada daerah tersebut. Penyediaan air sangat terkait erat dengan
berapa sebenarnya potensi/ketersediaan sumberdaya air yang tersedia pada
suatu daerah.
Ketersediaan air dapat dibedakan antara ketersediaan air di waduk dan
ketersediaan air di sungai. Ketersediaan air di sungai atau yang lebih umum
disebut debit andalan (dependable flow, expected discharge,reliable discharge)
adalah ketersediaan air sungai yang melampaui atau sama dengan suatu nilai
yang keberadaannya dikaitkan dengan prosentasi waktu atau kemungkinan
terjadinya. Debit andalan merupakan salah satu data yang diperlukan pada studi
awal untuk menetapkan perlu tidaknya bendungan dibangun pada suatu sungai
untuk menunjang kebutuhan air baku bagi kesejahteraan masyarakat. Bila dari
kebutuhan, maka perlu adanya tampungan tambahan misalnya dengan
membangun bendungan atau embung.
2.7. Irigasi
Irigasi adalah pemberian air ke dalam tanah untuk menunjang curah hujan
yang tidak cukup agar tersedia lengas bagi pertumbuhan tanaman (Linsley R.K.,
dan Joseph B. Franzini, 1995). Maryono (2005) mengemukakan bahwa dalam
perencanaan bangunan irigasi teknis, sungai yang ada dapat dipakai sebagai
saluran irigasi teknis, jika dari segi teknis memungkinkan.Kehilangan air di
saluran dengan menggunakan sungai kecil lebih kecil daripada menggunakan
saluran tanah buatan, karena pada umumnya porositas sungai relatif rendah
mengingat adanya kandungan lumpur dan sedimen gradasi kecil yang relatif
tinggi.
Kaitannya dengan ekologi, perlu dipertimbangkan besarnya debit suplai air
sungai. Sejauh mungkin tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan
flora dan fauna sungai yang bersangkutan. Jika pada pengambilan air dengan
menggunakan bendung harus diperhitungkan jumlah debit air minimum yang
harus tersedia di sungai bagian hilir bendung agar kehidupan ekologi sungai
masih dapat berlangsung, demikian pula pada penggunaan sungai untuk saluran
irigasi harus dipertimbangkan besarnya debit tambahan maksimum yang masih
dapat ditolerir, baik bagi hidraulik maupun ekologi sungai tersebut.
Salah satu fungsi DAS yang dapat terganggu adalah kemampuannya dalam
memberikan kontribusi terhadap air irigasi. Kebutuhan air untuk irigasi biasanya
bersifat musiman, dengan jumlah maksimum selama musim panas (kemarau)
yang kering dengan kebutuhan yang kecil sekali atau sama sekali tidak ada
selama musim dingin (musim hujan). Karena tampungan irigasi merupakan
jaminan terhadap kekeringan, maka diharapkan untuk memelihara jumlah
tampungan sebesar mungkin sesuai dengan kebutuhan yang berjalan (Linsley
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa
Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d
2009. Penelitian dilaksanakan pada DAS Citarum Provinsi Jawa Barat,
berlangsung dari Bulan Agustus sampai Oktober 2010. Secara geografis, DAS
Citarum terletak pada 106051’36’’–107051 BT dan 7019’– 6024’ LS. Wilayah DAS memanjang dari bagian hulu di selatan Kabupaten Bandung ke hilir menuju utara
pantai Jakarta. Peta Lokasi Penelitian seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta Wilayah Penelitian, DAS Citarum Jawa Barat.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi:
1. Peta digital penutupan lahan DAS Citarum hulu tahun 2002 dan tahun 2008.
2. Data bulanan debit input DAS Citarum ke Waduk Jatiluhur dari tahun 2002– 2009 dan data bulanan Debit irigasi Jatiluhur dari tahun 2002-2009 yang
Alat yang digunakan meliputi perangkat computer jenis PC dengan software
Arcview 3.3 untuk digitasi dan pengolahan peta, serta Microsoft Excel 2007 untuk
pengolahan data statistik.
3.3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode survei dengan
pendekatan pemanfaatan data sekunder untuk mengetahui nilai keberadaaan
dari setiap variabel yang diteliti yakni analisis peta penggunaan lahan tahun
2002 dan 2008, serta deskripsi data debit air dan areal tanam.
3.4. Pelaksanaan penelitian
Penelitian dilakukan dalam 3 dua tahap:
1. Tahap pra survei.
2. Tahap Survei.
3. Tahap analisis data.
3.4.1. Tahap Pra Survei
Tahapan ini ditujukan untuk pengumpulan informasi mengenai penggunaan
lahan pada DAS Citarum Hulu pada tahun 2002 dan 2008. Data yang diperlukan
merupakan data sekunder diperoleh dari BPDAS Citarum-Ciliwung.
3.4.2. Tahap Survei
Survei dilakukan untuk melihat keadaan sumberdaya air yang ada pada DAS
Citarum. Berkaitan dengan maksud ini maka penelitian dipusatkan pada salah
satu sumberdaya air yang ada pada DAS Citarum yakni Waduk Jatiluhur. Data
yang akan dikumpulkan merupakan data bulanan, meliputi:
a. Rerata debit bulanan hasil air DAS Citarum ke Waduk Jatiluhur, dari tahun
2002 sampai 2009 diperoleh dari Perum Jasa Tirta II Jatiluhur (berdasarkan
neraca air pada inlet waduk Jatiluhur).
b. Curah hujan Tahunan DAS Citarum untuk tahun 2002 sampai tahun 2009
dari 8 stasiun hujan pada DAS Citarum, yakni stasiun Cicalengka, Paseh,
Montaya, Cisondari, Dago, Darangdan, Purwakarta, dan Wanayasa.
c. Luas Areal Persawahan yang diairi oleh Jaringan Irigasi jatiluhur, dari tahun
d. kebutuhan air irigasi 15 harian dari aral persawahan yang berada pada
wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur.
e. Suplai air irigasi yang berasal dari sumber setempat (sungai-sungai lokal)
yang diperoleh dari Bendung-bendung pada wilayah Tarum Timur, dan
Tarum Barat.
f. Suplai irigasi yang berasal dari waduk Jatiluhur.
3.4.3. Analisis data
a. Penutupan lahan dan penggunaan lahan DAS Citarum
Analisis luas penutupan lahan dilakukan dengan bantuan program Arcview
3.3. Peta wilayah kajian diperoleh dengan menggabungkan peta dasar dari 10
sub DAS yang berada di atas waduk Jatiluhur, yakni sub DAS Cikaso, sub DAS
Cikundul, sub DAS Cimeta, sub DAS Cisokan, sub DAS Cikapundung, sub DAS
Ciminyak, sub DAS Ciwidey, sub DAS Cisangkuy, sub DAS Citarik, dan sub DAS
Cirasea. Peta penutupan lahan DAS Citarum dan peta wilayah tiap sub DAS
diperoleh dari BPDAS Citarum-Ciliwung. Peta Wilayah kajian seperti pada
Gambar 3.
Setelah pemotongan peta penutupan lahan untuk wilayah penelitian, dengan
bantuan program Arcview 3.3 dilakukan operasi tumpang tindih antara peta tahun
2002 dan tahun 2008 untuk melihat perubahan yang terjadi. Pengaruh waktu
pengambilan citra akan menpengaruhi keberadaan dari penutupan lahan yang
ada, sehingga hasil indentifikasi tersebut dikelompokkan menjadi 4 kawasan
penggunaan lahan berkaitan dengan penutupan vegetasi dan kemungkinan
alihfungsi lahan karena pengaruh kekurangan air, keempat kawasan tersebut
yaitu:
1. Kawasan bervetasi permanen, meliputi: hutan lahan kering primer, hutan
lahan kering sekunder, hutan tanaman, dan perkebunan.
2. Kawasan Pertanian, meliputi: pertanian lahan kering, pertanian lahan kering
campuran, dan sawah.
3. Kawasan terbangun, berupa perumahan.
4. Kawasan terbuka, meliputi: semak/belukar, tanah terbuka, dan lain-lain.
b. Pengaruh Perubahan penggunaan Lahan terhadap Hasil Air DAS
Curah hujan merupakan pemasok utama air pada DAS yang akan mengikuti
siklus hidrologi pada sistem DAS dan secara cepat atau lambat akan keluar pada
bagian hilir sebagai hasil air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Sebelum melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air,
terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara curah
hujan dan hasil air. Analisis Curah Hujan wilayah DAS dilakukan dengan Metode
Poligon Thiessen. Data curah hujan yang digunakan adalah curah hujan dari
tahun 2002 sampai tahun 2009 dari 8 stasiun yang berada pada DAS Citarum
yakni stasiun stasiun Wanayasa, stasiun Darangdan, stasiun Purwakarta, stasiun
Dago, stasiun Cisondari, stasiun Montaya, stasiun Paseh, dan stasiun
Cicalengka. Hasil air DAS diperoleh dari data tercatat pada inlet waduk Jatiluhur.
Data yang diperoleh adalah data rerata bulanan debit air masuk ke Waduk
Jatiluhur dalam satuan m3/detik. Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh nilai
hasil air bulanan (m3/bulan) dan hasil air tahunan (m3/tahun).
Persamaan yang digunakan untuk memperoleh hasil air bulanan dan
Vbln = ^Qbln x nh x 86400
menggunakan pendekatan analisis korelasi dan uji t-student. Parameter yang
dievaluasi adalah total air tahunan dan koefisen variansi. Setelah diketahui
hubungan antara curah hujan dan hasil air dilakukan tabulasi sederhana untuk
memperoleh nilai perubahan hasil air. Langkah-langkah yang dilakukan untuk
menentukan perubahan hasil air adalah:
1. Hasil curah hujan dikurangi hasil air tahunan untuk memperoleh nilai selisih
H-A. data pertama nilai H-A yakni untuk tahun 2002 ditetapkan sebagai nilai
normal, diharapkan bahwa pada kondisi penggunaan lahan yang tetap atau
tidak berbuah, nilai C-A akan selalu tetap dan jika terjadi penyimpangan maka
nilai ini disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan.
2. Trend perubahan hasil air dilakukan menggunakan asumsi bahwa terjadi
perubahan secara linier.
Berdasarkan analisis trend untuk hasil air kemudian dilakukan analisis
regresi linier berganda untuk melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan
DAS terhadap hasil air.
c. Pengaruh perubahan hasil air terhadap suplai air irigasi
Irigasi Jatiluhur dimaksudkan untuk mengairi areal persawahan seluas ±
242.000 ha di bagian Utara Jawa Barat. Berkaitan dengan luasan tersebut, telah
dilakukan perencanaan kebutuhan air irigasi. Pemenuhan air untuk kebutuhan
irigasi berasal dari 2 sumber yaitu air dari DAS Citarum dan air dari sumber
Lokal, sehingga untuk memperoleh nilai kebutuhan irigasi yang harus dipenuhi
dari waduk Jatiluhur, kebutuhan irigasi dikurangi dahulu dengan pemenuhan dari
sumber setempat.
Air yang keluar dari waduk Jatiluhur secara umum dimanfaatkan untuk 3
kebutuhan, yakni kebutuhan Irigasi, Industri, dan domestik. Secara umum dari 3
kebutuhan tersebut 90% air dari waduk Jatiluhur digunakan untuk memenuhi
hasil air terhadap pemenuhan kebutuhan air irigasi adalah berdasarkan nilai
Indeks Penggunaan Air (IPA). Klasifikasi Indeks Penggunaan Air (IPA) suatu
DAS disajikan pada Tabel 5, sedangkan persamaan untuk menghitung IPA
adalah sebagai berikut:
IPA tahunan = Kebutuhan tahunan Persediaan tahunan
Keterangan:
Kebutuhan air ( m3) = Rencana kebutuhan air irigasi dikurangi jumlah air yang
telah dipenuhi dari sumber setempat
Persediaan air (m3) = suplai air irigasi dari Waduk Jatiluhur.
Tabel 5. Klasifikasi nilai Indeks Penggunaan Air (IPA)
No Nilai IPA Kelas
1. ≤ 0,5 Baik
2 . 0,6 – 0,9 Sedang
3 . ≥ 1,0 Jelek
Nilai IPA suatu DAS dikatakan baik jika jumlah air yang digunakan di DAS
masih lebih sedikit dari pada potensinya sehingga DAS masih menghasilkan air
yang keluar dari DAS untuk wilayah hilirnya, sebaliknya dikatakan jelek jika
jumlah air yang digunakan lebih besar dari potensinya sehingga volume air yang
dihasilkan dari DAS untuk wilayah hilirnya sedikit atau tidak ada. Indikator IPA
dalam pengelolaan tata air DAS sangat penting kaitannya dengan mitigasi
bencana kekeringan tahunan di DAS.
Kemampuan waduk dalam mengatasi perubahan hasil air dijelaskan dengan
nilai efisiensi waduk yang diperoleh dengan persamaan:
E= 1-(defisit waduk/defisit DAS)
Defisit waduk dan DAS terjadi pada musim hujan ketika suplai air dari waduk
lebih rendah dari kebutuhan air irigasi. Sedangkan defisit DAS terjadi ketika hasil
air DAS lebih rendah dari kebutuhan air irigasi. Asumsi yang digunakan adalah
defisit air pada skala waduk pasti lebih rendah dari defisit air DAS. Perhitungan
defisit DAS dimaksudkan untuk melihat bagaimana kondisi penyediaan air dari
DAS jika tidak ada waduk, sehingga dapat diketahui seberapa besar peranan
berkaitan dengan fluktuasi saat musim hujan dan musim kemarau yang cukup
tinggi.
d. Perubahan luas Areal persawahan
Informasi mengenai perubahan luas aral persawahan diperoleh dari Perum
jasa Tirta II Jatiluhur, berdasarkan luas areal pada Tarum barat, Tarum timur,
dan Tarum utara. Perubahan luas areal yang terjadi kemudian dibandingkan
antar Tarum, dengan asumsi bahwa jika terjadi kekurangan air pada waduk
Jatiluhur maka penurunan luas areal persawahan akan terjadi secara serempak
pada semua tarum, jika perubahan hanya terjadi pada satu tarum maka diduga