• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perhitungan Kerusakan Struktur Perkerasan Lentur Akibat Pengaruh Temperatur (Study Literatur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perhitungan Kerusakan Struktur Perkerasan Lentur Akibat Pengaruh Temperatur (Study Literatur)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PERHITUNGAN KERUSAKAN STRUKTUR PERKERASAN

LENTUR AKIBAT PENGARUH TEMPERATUR

(STUDY LITERATUR)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi syarat untuk Menempuh

Ujian Sarjana Teknik Sipil

Disusun Oleh

CHARLI P.HUTASOIT 050424006

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM PENDIDIKAN EKSTENSION UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunianya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Penulisan Tugas Akhir ini adalah suatu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Sipil pada Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara. Penulis berharapTugas Akhir ini dengan judul “ Perhitungan Kerusakan Struktur Perkerasan Lentur Akibat Pengaruh Temperatur (Study Literatur) ” ini dapat membantu mahasiswa dan pembaca dalam menghitung jumlah repetisi beban lalu lintas ijin.

Dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf jika dalam penulisan Tugas Akhir ini masih terdapat kekurangan dalam penulisan maupun perhitungan. Penulis sangat mengharapkan keringanan para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang dapat membangun dan menyempurnakan Tugas Akhir ini.

Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ing Johannes Tarigan selaku Ketua Jurusan Teknik

Sipil Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Ir. Faizal Ezeddin, M.Sc, selaku Koordinator Program Pendidikan Sarjana Ekstension Jurusan Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara; 3. Bapak Medis Surbakti,ST.MT , selaku Dosen Pembimbing dalam

menyusun Tugas Akhir ini;

(4)

5. Orang Tua tercinta beserta saudara-saudari penulis yang memberikan dukungan moril dan materil.

6. Direktur PT.Erdrant Rizki Utama, yang telah membantu memberi dukungan moril dan materil selama masih kuliah.

7. Rekan-rekan mahasiswa, serta semua pihak yang telah membantu sehingga penulisan Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.

Akhir kata, Penulis berharap semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Medan, November 2009 Penulis,

(5)

ABSTRAK

Masalah transportasi merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh semua, baik negara yang telah maju maupun juga oleh banyak negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Permasalahan umumnya terjadi baik dalam bidang transportasi perkotaan maupun bidang transportasi regional antarkota. Terciptanya sistem transportasi yang dapat menjamin pergerakan manusia dan/atau barang secara lancar, aman, cepat, murah, dan nyaman merupakan tujuan utama pembangunan dalam sektor transportasi.

Salah satu keunggulan dari pendekatan analitis dalam analisis struktur perkerasan adalah dapat melakukan analisis terhadap berbagai kondisi lapisan beraspal akibat pengaruh temperatur dalam setahun. Aplikasi perhitungan kerusakan struktur perkerasan retak lelah dan deformasi permanen dilakukan penulis dengan metode Nottingham (Brown & Brunton). Dalam memperoleh data study literatur penulis melakukan memilih study analisis dengan mengambil contoh variasi temperatur yang berbeda.

Dari hasil analisis mekanistik dengan variasi temperatur udara berbeda pada didapat jumlah repetisi beban roda kenderaan ijin kriteria retak lelah pada suhu 25OC adalah 1.452.419 lintasan roda , suhu 26OC adalah 1.451.238 lintasan roda , suhu 27OC adalah 1.450.034 lintasan roda, suhu 28OC adalah 1.448.803 lintasan roda, suhu 29OC adalah 1.447.544 lintasan roda, suhu 30OC adalah 1.446.252 lintasan roda

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR GRAFIK ... x

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1

I.2..Tujuan dan Manfaat ... 1

I.2.1. Tujuan ... 1

I.2.2. Manfaat ... 2

I.3.. Permasalahan ... 2

I.4..Pembatasan Masalah ... 2

I.5.. Metodologi Pembahasan dan Pengumpulan Data ... 2

I.6.. Sistematika Penulisan ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Perkerasan Lentur ... 4

II.1.1. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Lentur ... 5

II.1.1.1 Lapisan Permukaan (Surface Course) ... 6

II.1.1.2 Lapisan Pondasi Atas (Base Course) ... 9

(7)

II.1.1.4 Tanah Dasar (Subgrade) ... 10

II.2. Kriteria Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan ... 15

II.3. Mekanistik – Empiris Perencanaan Perkerasan ... 16

II.3.1 Manfaat Penggunaan Metoda Analitik-Mekanistik untuk perancangan perkerasan baru dan evaluasi perkerasan “eksisting”... 18

II.3.2 Model Lapisan Elastis ... 21

II.3.3 Metode Elemen Hingga (FEM) ... 30

II.3.4 Kriteria Keruntuhan Mekanistik-Empris Perkerasan Lentur ... 30

II.4. Pengaruh Temperatur Terhadap Perkerasan Lentur ... 37

II.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi temperatur perkerasan ... 46

II.6. Temperatur Kritis ... 49

II.7. Faktor-Faktor Yang Mendukung Keretakan Perkerasan... 50

BAB III METODOLOGI III.1. Pengumpulan Data ... 51

III.1. Analisis – Mekanistik Perkerasan Lentur ... 51

BAB IV APLIKASI/PEMBAHASAN III.1. Perhitungan Modulus Perkerasan ... 53

(8)

III.3 Perhitungan Jumlah Repetisi Lintasan Roda ijin menurut Metode Nottingham Kriteria retak lelah dan deformasi

permanen ... 67

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1. Kesimpulan ... 76 IV.2. Saran ... 77

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Respon perkerasan terhadap beban lalu-lintas ………5 Gambar 2.2 Penyebaran beban roda melalui lapisan perkerasan...……...………...6 Gambar 2.3 Susunan lapisan konstruksi perkerasan lentur……….6 Gambar 2.4 Skematik Desain Merkanistik Empiris…...……….6 Gambar 2.5 Tegangan - regangan keelastisan suatu bahan ………….…………..23 Gambar 2.6 Modulus elastisitas dengan Tegangan pada material padat tidak stabil (kiri) dan bahan lunak yang stabil (kanan....…..……….…….24 Gambar 2.7 Contoh Poison Ratio……….……..……..…..25 Gambar 2.8 Hubungan suatu model lapisan elastik suatu sistim perkerasan

jalan ...………..………..………..…..26 Gambar 2.9 Lokasi Analisis Kritis di suatu Struktur Perkerasan....………....…..28 Gambar 2.10 EverFlex 3-D yang menggambarkan pengaruh beban roda, retak dan slip ...……….……….……...30 Gambar 2.11 Regangan Horizontal yang terjadi dibawah permukaan aspal yang

mengakibatkan retak lelah...……….….…....33 Gambar 2.12 Regangan Vertikal yang terjadi diatas tanah dasar yang mengaki- batkan deformasi permanent.……….…..34 Gambar 2.13 Tegangan dan distribusi temperatur dalam perkerasan

lentur………...…..….43 Gambar 2.14 Keseimbangan energi dari perkerasan……….…....….48 Gambar 3.1 Bagan alir ...……..……….……...….51 Gambar 4.1 Model sistem struktur 3 lapisan dengan distribusi lintasan roda

(10)
(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Perbandingan Variasi Temperatur dengan hasil Modulus Elastisitas Perkerasan (E) ……….……....77 Grafik 4.2 Perbandingan Variasi Temperatur dengan hasil Regangan Horizontal

(

ε

hi)……….………77

Grafik 4.3 Perbandingan Variasi Temperatur dengan hasil Regangan Vertukal

(

ε

vi)………..……….………...78

Grafik 4.4 Perbandingan Variasi Temperatur dengan hasil Jumlah Repetisi Beban

Roda Kenderaan kriteria retak (

N

hi)...78

Grafik 4.5 Perbandingan Variasi Temperatur dengan hasil Jumlah Repetisi Beban

Roda Kenderaan kriteria Retak Lelah (

N

vi)...79

Grafik 4.6 Perbandingan Variasi Temperatur dengan hasil Jumlah Repetisi Beban

(12)

ABSTRAK

Masalah transportasi merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh semua, baik negara yang telah maju maupun juga oleh banyak negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Permasalahan umumnya terjadi baik dalam bidang transportasi perkotaan maupun bidang transportasi regional antarkota. Terciptanya sistem transportasi yang dapat menjamin pergerakan manusia dan/atau barang secara lancar, aman, cepat, murah, dan nyaman merupakan tujuan utama pembangunan dalam sektor transportasi.

Salah satu keunggulan dari pendekatan analitis dalam analisis struktur perkerasan adalah dapat melakukan analisis terhadap berbagai kondisi lapisan beraspal akibat pengaruh temperatur dalam setahun. Aplikasi perhitungan kerusakan struktur perkerasan retak lelah dan deformasi permanen dilakukan penulis dengan metode Nottingham (Brown & Brunton). Dalam memperoleh data study literatur penulis melakukan memilih study analisis dengan mengambil contoh variasi temperatur yang berbeda.

Dari hasil analisis mekanistik dengan variasi temperatur udara berbeda pada didapat jumlah repetisi beban roda kenderaan ijin kriteria retak lelah pada suhu 25OC adalah 1.452.419 lintasan roda , suhu 26OC adalah 1.451.238 lintasan roda , suhu 27OC adalah 1.450.034 lintasan roda, suhu 28OC adalah 1.448.803 lintasan roda, suhu 29OC adalah 1.447.544 lintasan roda, suhu 30OC adalah 1.446.252 lintasan roda

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Perkerasan lentur merupakan lapisan teratas pada konstruksi jalan yang berfungsi menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan bawahnya. Dari segi kegunaanya memberikan rasa aman dan nyaman kepada sipemakai jalan selama masa pelayanan jalan tersebut.Wujud perkerasan dan fungsi pelayanan tersebut memberikan pelayaan satu kesatuan yang dapat digambarkan dengan kenyamanan mengemudi .

Perkerasan lentur pada umumnya bersifat elastis yang menjadikan karakteristik lapisan beraspal sangat sensitif terhadap temperatur dan beban lalu lintas. Seiring perkembangan Ilmu perancangan tebal lapisan perkerasan perlu mengetahui penggunaan metode analitis mekanistik, pengetahuan mengenai modulus elastisitas dan hubungannya dengan temperatur untuk mengetahui regangan dan hasil batas beban repetisi yang dijinkan (umur kelelahan).

Meningkatnya temperatur maka nilai modulus elastisitas lapisan beraspal akan menurun dengan yang disebabkan oleh sifat visco-elastic dari material aspal yang kemudian mempengaruhi karakteristik dari lapisan beraspal .

I.2 Tujuan dan Manfaat

I.2.1 Tujuan

(14)

1. Untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap modulus elastisitas perkerasan lentur .

2. Pengaruh temperatur terhadap nilai regangan perkerasan. 3. Mengetahui batas beban repetisi yang diijinkan

I.2.2 Manfaat

Manfaat dari penulisan Tugas akhir ini adalah menambah pengetahuan bagi penyusun untuk menjelaskan pengaruh suhu terhadap kerusakan struktur perkerasan lentur dan menghitung umur kelelahan perkerasan jalan atau batas repetisi roda lalu lintas.

I.3 Permasalahan

Adapun pokok permasalahan yang terdapat pada laporan ini menganalisis hasil perhitungan kerusakan perkerasan lentur dengan batas repetisi beban roda kenderaan yang diijinkan. Adapun permasalahan yang terdapat pada study literatur ini adalah material yang dipergunakan, dan uji kelelahan material perkerasan.

I.4 Pembatasan Masalah

Data yang ada menunjukkan data hasil analisis ataupun data pendekatan yang diambil dari hasil tulisan ilmiah yang ada atau nilai yang karakteristik material yang umum digunakan di Indonesia.

I.5 Metodologi Pembahasan dan Pengumpulan Data

(15)

Data-data yang digunakan dalam perhitungan ini umumnya sama dengan yang digunakan oleh pihak peneliti dari berbagai Jurnal Jalan dan Jembatan.

Dalam penulisan tugas akhir ini dilakukan beberapa cara untuk dapat mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk mendukung agar tugas ini dapat diselesaikan. Seluruh data merupakan data primer dari pihak Departemen Pekerjaan Umum dan sekunder yang didapat dari literatur seperti jurnal, teksbook dan internet.

I.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang dibuat oleh penyusun adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Meliputi : Latar belakang, manfaat, permasalahan, pembatasan masalah, metode pengumpulan data dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Meliputi : Perkerasan lentur jalan, jenis dan fungsi perkerasan lentur, Klasifikasi agregat, Analisis Mekanistik perkerasan lentur.

BAB III METODOLOGI

Meliputi : Prosedur perhitungan kerusakan struktur perkerasan lentur secara analitis.

BAB IV APLIKASI ATAU PERHITUNGAN

Meliputi : Perhitungan Modulus Elastisitas Perkerasan Aspal, Regangan pada perkerasan aspal, dan batas repetisi beban lalu lintas.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Perkerasan Lentur

Perkerasan lentur memiliki sifat lentur atau elastis, namun akibat pelayanan lalu lintas atau akibat beban lalu lintas berulang akan menimbulkan tegangan elastis dan plastis. Tegangan elastis terjadi pada perkerasan pada perkerasan akibat dibebani akan kembali kebentuk semula. Sedangkan tegangan plastis adalah perkerasan beton aspal apabila diberi beban tidak seutuhnya kembali kebentuk semula.

Gambar 2.1 Respon perkerasan terhadap beban lalu-lintas

Respon terhadap beban kenderaan pada lapis beraspal adalah dicerminkan dengan regangan horizontal (Єh) dan pada tanah dasar dengan regangan vertikal (Єv). Tegangan atau regangan tarik horizontal ijin lapisan beraspal sangat tergantung dari karakteristik campuran yang didesain.

ЄH

ЄV

Lapis permukaan Lapis Pondasi Atas Lapis Pondasi Bawah

(17)

II.1.1 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Lentur

Kontruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke Lapisan dibawahnya. Beban kenderaan dilimpahkan keperkerasan jalan melalui bidang kontak roda berupa beban terbagi rata. Beban tersebut diterima oleh lapisan permukaan dan disebarkan ketanah dasar yang lebih kecil dari daya dukung tanah dasar, seperti yang ditujukkkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Penyebaran beban roda melalui lapisan perkerasan

Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 :

Surface Base Course

Subbase Course

Subgrade

(18)

Sedangkan beban lalu lintas yang bekerja diatas kostruksi perkerasan dapat dibedakan atas :

1. Muatan kenderaan berupa gaya vertikal. 2. Gaya rem kenderaan berupa gaya horizontal. 3. Pukulan roda kenderaan berupa getaran-getaran.

Oleh karena sifat penyebaran gaya maka muatan yang diterima oleh masing- masing lapisan berbeda dan semakin kebawah semakin kecil. Lapisan permukaan harus mampu menerima seluruh jenis gaya yang bekerja, lapis pondasi atas menerima gaya vertikal dan getaran, sedangkan tanah dasar dianggap hanya menerima gaya vertikal saja.

II.1.1.1 Lapisan Permukaan (Surface Course)

Lapisan yang terletak paling atas adalah lapis permukaan , berfungsi antara lain sebagai berikut :

1. Lapis perkerasan penahan beban roda, dengan persyratan harus mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayaan.

2. Lapisan kedap air , sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap kelapisan dibawahnya dan melemahkan lapisan tersebut.

3. Lapis aus (wearing course), lapisan yang lansung menderita gesekan akibat rem kenderaan sehingga mudah menjadi aus

(19)

Guna dapat memenuhi fungsi tersebut diatas, pada umumnya lapisan permukaan dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama.

Jenis lapisan permukaan yang umum dipergunakan di Indonesia antara lain : 1. Lapisan bersifat non sruktural, berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air

antara lain:

a. Burtu (Laburan aspal satu lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi seragam, dengan tebal maksimum 2 cm.

b. Burda (Laburan aspal dua lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal ditaburi agregat yang ditaburi dua kali secara berturutan dengan tebal maksimum 3,5 cm.

c. Latasir (Lapis tipis aspal pasir), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat 1-2 cm.

d. Latasbun (lapis tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan tertentu yang dicampur secara dingin dengan tebal padat maksimum 1 cm

e. Lataston (Lapis tipis aspal beton), dikenal dengan nama hot roller sheet (HRS), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran

(20)

dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan dalam keadaan panas. Tebal padat antara 2 – 3,5 cm. Lataston umumnya terdiri dari dua janis yaitu : lataston lapis pondasi (HRS-Base) dan lataston lapis permukaan (HRS-Wearing coarse).

Jenis lapisan permukaan tersebut diatas walaupun bersifat nonstruktural, dapat menambah daya tahan perkerasan terhadap penurunan mutu, sehingga secara keseluruhan menambah masa pelayanan dari konstruksi perkerasan. Jenis perkerasan ini terutama digunakan untuk pemeliharaan jalan.

2. Lapisan bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan menyebarkan beban roda.

a. Penetrasi Macadam (Lapen), merupakan lapis perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka dan seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan diatasnya dan dipadatkan lapis demi lapis. Diatas lapen ini biasanya diberi laburan aspal dengan dengan agregat penutup . Tebal lapisan satu lapis dapat bervariasi dari 4 cm – 10 cm.

b. Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri dari campuran antara agregat, asbuton dan bahan pelunak yang diaduk, dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal lapisan padat antara 3 – 5 cm.

(21)

pada suhu tertentu. Laston terdiri atas tiga macam campuran, Laston Lapis Aus (AC-WC), Laston Lapis Pengikat (AC-BC) dan Laston Lapis Pondasi (AC-Base). Ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm, 25 mm dan 37,5 mm. Bilamana campuran aspal yang dihampar lebih dari satu lapis, seluruh campuran aspal tidak boleh kurang dari toleransi masing-masing campuran dan tebal nominal rancangan.

II.1.1.2 Lapisan Pondasi Atas (Base Course)

Lapisan perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi bawah (atau dengan tanah dasar bila tidak menggunakan lapis pondasi bawah) dan lapis permukaaan dinamakan lapis pondasi atas (base course)

Fungsi lapisan pondasi atas ini antara lain :

1. Bagian perkerasan yang menahan beban roda dan menyebarkan beban kelapisan bawahnya.

2. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah. 3. Bantalan terhadap lapisan permukaan.

Material yang digunakan untuk lapis pondasi atas adalah material yang cukup kuat. Untuk lapis pondasi atas tanpa bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR > 50 % dan plastisitas indeks < 4 %. Bahan-bahan alam seperti batu pecah, kerikil pecah, stabilisasi tanah dengan semen dan kapur dapat digunakan sebagai lapis pondasi atas.

(22)

1. Agregat bergradasi baik yang dibedakan atas : batu pecah kelas A, batu pecah kelas B, batu pecah kelas C. Batu pecah kelas A bergradasi lebih baik dari batu pecah kelas B dan batu pecah kelas B lebih baik dari batu pecah kelas C. Kriteria dari masing-masing jenis lapisan diatas dapat diperoleh dari spesifikasi yang diberikan

2. Pondasi Macadam 3. Pondasi Tellford

4. Penetrasi Macadam (Lapen)

5. Asphalt beton pondasi (Asphalt Concrete Base/Asphalt Treated Base) 6. Stabilisasi yang terdiri dari :

a. Stabilisasi agregat dengan semen b. Stabilisasi agregat dengan kapur c. Stabilisasi agregat dengan asphal

II.1.1.3 Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)

Lapis pondasi bawah adalah lapis perkerasan yang terletak antara lapis pondasi atas dan tanah dasar. Lapis pondasi bawah berfungsi sebagai :

1. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ketanah dasar. Lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR 20 % dan Plastisitas Indeks ≤ 10 %

2. Efesiensi penggunaan material. Material pondasi bawah relatif murah dibandingkan dengan lapisan perkerasan diatasnya.

(23)

5. Lapisan pertama, agar pekerjaan dapat lancar.

6. Lapisan untuk mencegah partikel-partikel tanah halus dari tanah dasar kepermukaan lapis pondasi atas.

Jenis lapis pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia antara lain : 1. Agregat bergradasi baik, dibedakan atas :

a. Sirtu/pitrun kelas A b. Sirtu/pitrun kelas B c. Sirtu/pitrun kelas C

Sirtu kelas A bergradasi lebih kasar dari sirtu kelas B, yang masing-masing dapat dilihat pada spesifikasi yang diberikan.

2. Stabilisasi

a. Stabilisai agregat dengan semen (Cement Treated Subbase) b. Stabilisasi agregat dengan kapur (Lime Treated Subbase) c. Stabilisasi tanah dengan semen (Soil Cement Subbase) d. Stabilisasi tanah dengan kapur (Soil Lime Stabilization)

II.1.1.4 Tanah Dasar (Subgrade)

(24)

yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Sifat masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur, kepadatan, kadar air, kondisi lingkungan, dan lain sebagainya.

Kekuatan dan keawetan dari konstruksi perkerasan jalan sangat bergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dapat dimaklumi bahwa penentuan daya dukung tanah dasar permukaan berdasarkan evaluasi pengujian laboratorium tidak dapat mencakup segala detail sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar tempat demi tempat tertentu sepanjang suatu bagian jalan. Koreksi-koreksi semacam itu akan diberikan pada gambar rencana atau telah tersebut dalam spesifikasi pelaksanaan.

Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut: 1. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu

akibat beban lalu lintas;

2. Sifat mengembang dari jenis tanah tertentu akibat perubahan kadar air; 3. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti

pada daerah dengan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya;

4. Lendutan (defleksi) dan pengembangan yang besar selama dan sesudah pembebanan lalu lintas dari jenis tanah tertentu;

(25)

Untuk sedapat mungkin mencegah timbulnya persoalan diatas maka beberapa hal perlu diperhatikan antara lain :

1. Tanah-tanah dasar tanpa kohesi ( Cohessionless Subgrade )

Tanah dasar tanpa kohesi harus dipadatkan tidak boleh kurang dari pada 100%. Kepadatan kering maksimum yang ditentukan dari hasil test dan tebal kepadatan tanah dasar tersebut minimum 15 cm. Lapisan bawahnya minimum 15 cm dipadatkan sampai 90% kepadatan kering maksimum. Tanah dasar dari tanah asli, galian dipadatkan minimum 100% dari kepadatan kering maksimum sampai dengan kedalaman 30 cm dibawah permukaan tanah dasar.

2. Tanah-tanah dasar berkohesi

a. Untuk tanah-tanah dasar berkohesi dan dengan indeks plastis kurang dari 25 tebal minimum 15 cm bagian atas, harus dipadatkan supaya mencapai 95% dari kepadatan maksimum. Untuk tanah dasar dan tanah asli galian dianjurkan memadatkannya hingga mencapai 100% kepadatan kering maksimum. Selama pemadatan hendaknya dijaga agar kadar air tidak berbeda lebih dari 20% dari kadar air optimum.

b. Untuk tanah-tanah dasar berkohesi dan dengan indeks sama atau lebih besar dari 25 harus dilakukan satu diantara beberapa tindakan dibawah ini: 1. Berusaha menurunkan indeks plastis dengan cara mencampur tanah

dasar dengan kapur (lime stabilization) atau bahan lain yang sesuai (ditentukan berdasarkan penyelidikan laboratorium).

(26)

3. Usaha-usaha lain yang ditetapkan oleh seseorang ahli tentang tanah. Pada setiap keadaan sebelum menempatkan tanah campuran atau tanah pengganti, tanah asli harus terlebih dahulu dipadatkan pada kadar air yang disesuaikan dengan hasil penuyelidikan laboratorium agar mengurangi kemungkinan pengembangan volume.

3. Tanah-tanah dengan sifat mengembang yang besar

Apabila pertimbangan biaya dan pelaksanaan memungkinkan, tanah dengan sifat demikian harus dibuang dan diganti dengan tanah yang lain lebih baik. Apabila tidak, maka harus diselidiki sifat pengembangan tersebut agar dapat ditentukan langkah-langkah pengamanannya antara lain :

a.Mengusahakan subdrain yang cukup baik dan efektif agar kadar air tanah dasar tetap berada dibawah harga yang dianggap berbahaya ( penyelidikan laboratorium) sehubungan dengan sifat mengembang tanah tersebut.

b.Memberikan beban statis permukaan (surcharge) berupa urugan atau lapis tambahan dengan tebal tertentu sedemikian rupa sehingga bila diperhitungkan beratnya akan cukup mencegah tanah dasar mengembang melebihi batas-batas yang dianggap berbahaya (ditentukan berdasarkan percobaan laboratorium).

4. Mengusahakan daya dukung tanah dasar yang merata.

(27)

berjalan secara miring dan rata. Dianjurkan untuk mengadakan jarak transisi 10 meter terhitung dari perbatasan perubahan daya dukung tanah ke arah daya dukung tanah dasar yang lebih baik.

5. Perbaikan tanah dasar untuk keperluan mendukung beban roda alat-alat besar. Dalam hal dimana kasus daya dukung tanah dasar tidak mendukung untuk lewatnya alat-alat besar, harus diadakan cara-cara yang tepat sesuai dengan keadaan setempat agar beban roda alat-alat besar dapat ditahan oleh tanah dasar. Perbaikan tanah dasar ini dapat berupa tambahan lapis pondasi bawah diluar dari yang diperhitungkan untuk tebal perkerasan yang diperlukan. Daya dukung tanah dasar dapat diperkirakan dengan mempergunakan hasil pemeriksaan CBR.

II.2.2 Kriteria Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan

Agar dapat memberikan rasa aman dan nyaman kepada pemakai jalan, maka konstruksi perkerasan jalan haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :

1. Syarat-syarat berlalu lintas

Konstruksi perkerasan lentur dipandang dari segi keamanan dan kenyamanan berlalu lintas haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.Permukaan yang rata, tidak bergelombang, dan tidak berlubang.

b.Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat beban yang bekerja diatasnya;

(28)

d.Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika terkena sinar matahari. 2. Syarat-syarat struktural atau kekuatan

Konstruksi perkerasan jalan dipandang dari segi kemampuan memikul dan menyebarkan beban, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban muatan ketanah dasar;

b. Kedap air, sehingga tidak mudah meresap kelapisan bawahnya;

c. Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya dapat dengan cepat dialirkan;

d. Kekakuan memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi yang signifikan.

II.3 Mekanistik – Empiris Perencanaan Perkerasan

(29)

kerusakan perkerasan jalan dan fenomena fisik diuraikan oleh persamaan-persamaan dengan pengalaman diperoleh dengan menghitung banyaknya beban berulang.

Gambar 2.4 Skematik Desain Mekanistik Empiris

Keuntungan dasar dari satu metode empirik mekanistis perkerasan jalan adalah : a. Kedua-duanya dapat digunakan untuk peningkatan perkerasan jalan dan

konstruksi jalan baru

b. Untuk mengakomodasi perubahan tipe beban c. Dapat mempertimbangkan jenis jenis material:

(30)

d. Menyediakan data lebih akurat

e. Menggambarkan peran dari konstruksi

f. Mengakomodasi lingkungan dan efek penuaan material

Manfaat dari satu pendekatan empiris dan mekanistis adalah kemampuannya untuk meneliti material (termasuk tanah dasar dan struktur perkerasan ada) dengan menggunakan alat FWD untuk mengukur lendutan di suatu struktur perkerasan dalam peningkatan perkerasan. Pengukuran-pengukuran ini kemudian dimasukan ke dalam persamaan untuk menentukan perkerasan lentur dengan dukungan struktural (backcalculation). Dan mempertimbangkan satu desain lebih realistis dengan kondisi yang ada.

Ada sejumlah jenis model yang ada pada saat ini yaitu viskoelastis dan dinamis ada bagian model lapisan elastik dan Model Elemen Hingga (FEM), ketika contoh-contoh tipe-tipe dari model-model digunakan. Kedua-duanya dari model-model ini dapat diprogram dengan mudah dengan komputer dan hanya memerlukan data yang realistis .

II.3.1 Manfaat Penggunaan Metoda Analitik-Mekanistik untuk perancangan

perkerasan baru dan evaluasi perkerasan “eksisting”.

a. Perkerasan baru ( New Pavement )

(31)

perkerasan, antara lain : Metoda AASHO 1972 (AASHO,1972), metoda Asphalt Institute (TAI,1970), Metoda Road Note 29 dan Road Note 31, dan metoda Analisa Komponen 1987 (SNI,2002), yang telah digunakan sejak lama di Indonesia untuk merencanakan tebal perkerasan lentur. Mulai akhir tahun 70-an, bersamaan dengan diselenggarakannya Konferensi ISAP di Ann Harbour, Michigan Amerika Serikat, diperkenalkan beberapa Metoda Analitis-Mekanistik oleh beberapa peneliti dan universitas terkemuka didunia, yaitu : metoda SHELL dari Belanda (Claessen et al.,1977), metoda ASPHALT INSTITUTE dari Amerika Serikat (TAI,1983) dan metoda NOTTINGHAM dari University of Nottingham di Inggris (Brown et al.,1977). Metoda yang diperkenalkan tersebut, mengubah secara total asumsi-asumsi yang digunakan pada metoda empiris, yaitu yang semula mengandalkan kepada hasil pengamatan “full scale test”, menjadi suatu metoda yang mengembangkan kaidah-kaidah teoritis dari karakteristik material perkerasan, dilengkapi dengan perhitungan secara eksak terhadap respons struktur perkerasan terhadap beban sumbu kendaraan. Metoda yang dikembangkan ini, secara umum dinamakan metoda Analitis. Sedangkan metoda AASHO yang semula hanya mengacu kepada metoda empiris, berupaya pula mengembangkan metoda baru yang disebut sebagai metoda Empiris-Analitis dan dinamakan metoda AASHTO 1993 (AASHTO,1993).

(32)

hal ini dianggap sebagai beban statis merata, maka akan timbul tegangan (stress) dan regangan (strain) pada struktur tersebut. Lokasi tempat bekerjanya tegangan/regangan maksimum akan menjadi kriteria perancangan tebal struktur perkerasan. Metoda perancangan tebal perkerasan lentur secara Analitis untuk kondisi Indonesia, sampai saat ini belum ada satupun yang telah diterima secara resmi oleh semua pihak. Beberapa usulan pernah diberikan, misalnya mengadopsi metoda AASHTO 1993 yang masih bersifat “semi analytical” atau mengacu kepada program “finite element” yang dinamakan program KENPAVE ( Huang ,1993 ), (Subagio, 2007a ) tetapi belum satupun yang dapat diterima sebagai metoda spesifik untuk Indonesia.

b. Evaluasi perkerasan “eksisting”.

(33)

perkerasan “existing” juga dilakukan mengacu kepada prinsip-prinsip dasar metoda tersebut. Prinsip pengukuran lendutan masih tetap digunakan, tetapi tidak cukup hanya satu titik saja tetapi beberapa titik secara bersamaan. Alat untuk mengukurnya dinamakan “Falling Weight Deflectometer”, yang bekerja dengan prinsip beban tumbukan ( impuls ) yang dijatuhkan diatas permukaan perkerasan dan reaksi baliknya ditangkap oleh 7 ( tujuh ) buah deflector, yang terpasang dengan jarak tertentu ( Ullidtz, 1987 ). Sejalan dengan prinsip metoda Analitis-Mekanistik, beban yang bekerja pada struktur perkerasan eksisting akan menimbulkan lendutan (deflection), dimana nilai ini akan di iterasi sehingga akan diperoleh nilai-nilai modulus yang mewakili struktur perkerasan tersebut. Pada umumnya nilai nilai ini akan lebih rendah dari nilai awalnya, sehingga tegangan/regangan yang terjadi akibat beban akan melebihi nilai batasnya, oleh karenanya diperlukan lapis tambahan (overlay) yang dapat menurunkan nilai-nilai tegangan/regangan tersebut, agar tetap memenuhi persyaratan nilai batas.

(34)

Aplikasi metoda Analitis-Mekanistik menggunakan program ELMOD dan ELCON terhadap beberapa ruas jalan di Indonesia telah dilakukan, misalnya terhadap ruas jalan tol Jakarta- Cikampek (Subagio,2005a), yang merupakan perkerasan lentur, dan terhadap ruas jalan tol Padalarang-Cileunyi (Sutrisna, I., 2005) yang merupakan perkerasan kaku.

II.3.2 Model Lapisan Elastis

Model Lapisan Elastis dapat menghitung tekanan, lendutan dan regangan pada suatu titik dalam suatu struktur perkerasan .Model Lapisan Elastis berasumsi bahwa masing-masing lapisan perkerasan adalah homogen, isotropis, dan linier elastik. Dengan kata lain, akan kembali kebentuk aslinya ketika beban berpindah. Asal dari teori Lapisan Elastis pertama kali ditemukan V.J. Boussinesq (1885). Hari ini, temuan Boussinesq secara luas digunakan di dalam perhitungan pondasi dan mekanika tanah. Model Lapisan Elastis memerlukan jumlah data input untuk mengetahui struktur perkerasan dan respon terhadap beban. Parameternya adalah: a. Jenis respon pembebanan material dari setiap lapisan

1. Modulus Elastisitas Perkerasan

Koefisien kaku disebut Modulus setelah Thomas Young yang membuat konsep baru pada tahun 1807. Modulus Elastisitas (E) dipakai untuk bahan padat dan membandingkan regangan dan tegangan.

E = Tegangan (σ) Regangan (ε)

(35)

elastis dengan beban yang diberikan dan tidak mengubah bentuk untuk selamanya. Dengan begitu, keelastisan suatu struktur atau benda tergantung pada koefisien kakunya dan bentuk geometris.

[image:35.595.141.452.528.716.2]

Modulus Elastisitas untuk satu bahan adalah pada dasarnya mempunyai batas regangan dan tegangan elastisitasnya (seperti pada Gambar 2.12. Gambar 2.12 menandakan batas tegangan melawan regangan pada baja. Bagian garis lurus awal lengkung adalah daerah elastis baja. Jika baja dengan nilai dari tegangan di sebagian lengkung, itu akan kembali ke bentuk asli nya. Dengan begitu, modulus elastisitas adalah kemiringan dari bagian dari lengkung dan sama dengan sekitar 207,000 MPa (30,000,000 psi) untuk baja. Adalah penting untuk diingat bahwa ukuran dari modulus elastisitas bahan adalah tidak sama ukurannya dengan kekuatan. Kekuatan adalah tegangan yang diperlukan untuk pecah atau patah satu bahan (seperti yang digambarkan di dalam Gambar 1), sedangkan elastisitas adalah satu ukuran dari seberapa baik satu bahan kembali ke ukuran dan bentuk asli nya.

(36)

Tabel 2.1 Nilai-nilai Modulus Elastisitas untuk berbagai

bahan-bahan.

Material

Modulus Elastisitas

MPa psi

Permata 1,200,000 170,000,000

Baja 200,000 30,000,000

Aluminum 70,000 10,000,000

Kayu 7,000 - 14,000 1,000,000 - 2,000,000

Batu 150-300 20,000 - 40,000

Tanah 35-150 5,000 - 20,000

Karet 7 1,000

Lambang dan tatanama AASHTO 1993 sebagai panduan secara umum digunakan di dalam modulus perkerasan aspal adalah :

EAC = modulus elastisitas aspal beton E BS = modulus elastisitas pondasi ESB = modulus elastisitas tanah dasar MR (ESG) = modulus elastisitas tanah dasar 2. Sensivitas Tegangan Modulus

[image:36.595.142.485.135.396.2]
(37)
[image:37.595.183.415.77.427.2]

Gambar 2.6 Modulus elastisitas dengan Tegangan pada material padat

tidak stabil (kiri) dan bahan lunak yang stabil (kanan)

3. Rasio Poison

(38)
[image:38.595.177.501.108.702.2]

Tabel 2.2 Rasio Poison pada berbagai material

Material Poisson's Ratio

Baja 0.25 - 0.30

Aluminum 0.33

PCC 0.15 - 0.20

Perkerasan Lentur

Asphalt Concrete 0.35 (±) Batu pecah 0.40 (±) Tanah (gradasi

baik) 0.45 (±)

(39)

b. Ketebalan lapisan perkerasan c. Kondisi Beban

Data ini terdiri dari data beban roda, P (KN/Lbs) , tekanan ban , q (Kpa / Psi) dan khusus untuk sumbu roda belakang , jarak antara roda ganda , d (mm/inch). Nilai q dan nilai d pada prinsipnya dapat ditentukan sesuai dengan data spesifikasi teknis dari kenderaan yang digunakan .Sedangkan nilai P dipengaruhi oleh barang yang diangkut oleh kenderaan. Nilai P pada sumbu roda belakang dan pada sumbu roda depan juga berbeda. Dengan metode analitis kedua beban sumbu roda depan dan sumbu roda belakang dapat dianalisis secara bersamaan.Analisis structural perkerasan yang akan dilakukan pada langkah selanjutnya juga memerlukan jari jari bidang kontak ,a (mm,inch) antara roda bus dan permukaan perkerasan yang dianggap berbentuk lingkaran.

q x P a

14 , 3

=

dimana :

a = Jari-jari bidang kontak P = Beban kenderaan

(40)
[image:40.595.158.426.117.315.2]

Gambar 2.8 Hubungan suatu model lapisan elastik suatu sistim

perkerasan jalan.

Hasil dari satu model lapisan elastis adalah regangan, tegangan, dan lendutan di dalam perkerasan lentur:

1. Tegangan. Intensitas internal di dalam struktur perkerasan pada berbagai titik. Tegangan satuan gaya per daerah satuan (N/m2, Pa atau psi).

2. Regangan, pada umumnya menyatakan sebagai rasio perubahan bentuk dari bentuk asli (mm/mm atau in/in). Karena regangan di dalam perkerasan adalah sangat kecil, dinyatakan dalam microstrain (10-6).

3. Defleksi/lendutan. Perubahan linier dalam suatu bentuk. Defleksi dinyatakan di dalam satuan panjang (µ m atau inchi atau mm).

(41)
[image:41.595.122.510.117.668.2]

Tabel 2. 3 Analisis dalam perkerasan jalan

Lokasi Respons Alasan digunakan

Permukaan

perkerasan Lendutan

Yang digunakan di dalam pembatasan-pembatasan beban selama musim semi dan desain lapisan overlay (sebagai contoh)

Lapisan pondasi Tegangan tarik

Yang digunakan untuk mengetahui kelelahan di lapisan perkerasan lentur

Bagian antara lapisan Base dan Subbase

Regangan Vertikal

Yang digunakan untuk memprediksi kelelahan di lapisan Base dan Subbase

Diatas tanah dasar Regangan Vertikal

Yang digunakan untuk memprediksi kelelahan di lapisan tanah dasar

(42)

Regangan horizontal dibawah lapisan perkerasan aspal dan regangan vertikal diatas lapisan tanah dasar dipakai untuk mengetahui retak lelah dan dan deformasi permanen. Untuk menentukan regangan horizontal dan regangan vertikal dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

) 346352 , 1 )( 999999 , 0 )( ,93637 0,259421(0

t = TasphaltxLogEasphalt Easphalt/LogEaspahalt Tasphalt

ε ) 996338 , 0 )( 22101 , 0 )( 059582 , 1 )( (1,004334

Tpreasure Wload LogEbase Tbase

) 999987 , 0 )( 992823 , 0 )( ,9997936 0,005897(0

v = Esubgrade/LogEsubgrade Tbase Esubbase

ε ) 09869 , 1 )( 990023 , 0 )( 0004 , 1 )( (0,969754

LogEasphalt x Tasphalt Esubgrade Tsubbase Wload

Dimana:

ε

t = Regangan horizontal yang terjadi dibawah permukaan aspal

ε

v = Regangan vertikall yang terjadi diatas permukaan tanah dasar

Tasphalt = Tebal perkerasan aspal (cm)

Easpal = Modulus elastisitas perkerasan aspal (Psi)

Tbase = Tebal base (cm)

Ebase = Modulus elastisitas base (Psi)

Tsubbase = Tebal subbase (cm)

Esubbase = Modulus elastisitas subbase (Psi)

Esubgrade= Modulus elastisitas tanah dasar (Psi)

Tpreasure = Tekanan roda ban kendaraan 8.2 , 10 dan 13 ton (Psi)

(43)

II.3.3 Metode Elemen Hingga (FEM)

Metode Elemen Hingga (FEM) adalah satu teknik analisis numeris untuk memperoleh penyelesaian suatu permasalahan desain yang luas. Walaupun pertama kali dikembangkan untuk mempelajari tegangan di dalam struktur, sejak itu telah diperluas dan diberlakukan bagi medan luas/lebar dari mekanika kontinum (Huebner., 2001). Dalam suatu variabel secara umum tidak terbatas nilai fungsi dari tiap titik gerak. Sebagai contoh, tegangan dalam suatu perkerasan lentur tidak bisa dipecahkan dengan satu persamaan sederhana sebab fungsi yang menguraikannya adalah penempatan spesifiknya. Bagaimanapun, metode elemen hingga dapat digunakan untuk membagi satu rangkaian ke dalam sejumlah volume-volume kecil untuk tujuan memperoleh satu pendekatan penyelesaian numeris untuk masing-masing volume tersendiri dibanding satu eksakta yang tertutup solusi bentuk untuk keseluruhan perkerasan jalan.

Di dalam FEM analisis dari satu perkerasan jalan, daerah perkerasan jalan dan tanah dasar)memasukkan sejumlah unsur beban roda (Gambar 2.17). Elemen hingga ini meluas secara horisontal dan tegak lurus dari pengaruh roda.

Gambar 2.10. EverFlex 3-D yang menggambarkan pengaruh beban roda,

[image:43.595.167.390.521.681.2]
(44)

FEM mendekati model matematika lebih rumit dibanding pendekatan lapisan elastik buatan. Program komputer yang dikembangkan oleh Hongyu Wu dan George Turkiyyah pada University Washington (Wu, 2001), EverFlex, menggunakan satu elemen 6-noded untuk model Winkler. Program ini juga menggunakan batasan di empat model perkerasan lentur. Apalagi, pilihan dari geometri elemen (bentuk dan ukuran) seperti juga fungsi sisipan akan mempengaruhi keseluruhan kemampuan model.

II.3.4 Kriteria Keruntuhan Mekanistik-Empris Perkerasan Lentur

Bagian-bagian proses utama empiris dari bentuk empiris mekanistis adalah persamaan-persamaan yang digunakan untuk menghitung banyaknya beban bergerak dalam kegagalan. Persamaan-persamaan ini berasal dengan pengamatan kinerja dari perkerasan dan berhubungan dengan tipe dan luas. Sekarang ini, dua tipe dari ukuran-ukuran kegagalan secara luas dikenal, pertama dengan retak lelah dan retak alur di dalam subgrade atau tanah dasar. Ukuran berbasis lendutan berguna di dalam penerapan-penerapan khusus karena ukuran kegagalan ini dengan bentuk pengalaman, dan harus dikalibrasi kepada kondisi lokal yang spesifik dan secara umum bukan yang bisa diterapkan di suatu skala yang nasional. Kriteria kegagalan mekanistik-empris perkerasan lentur adalah sebagai berikut :

1. Kriteria Retak Lelah / Fatique

(45)

Pembebanan ulang yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan material menjadi “lelah” dan dapat menimbulkan “cracking” walaupun tegangan yang terjadi masih dibawah batas "ultimate”-nya. Untuk material perkerasan, beban berulang disini berasal dari lintasan beban (as) kendaraan yang terjadi secara terus menerus, dengan intensitas yang berbeda-beda dan bergantung kepada jenis kendaraan dan terjadi secara random. Guna mempelajari fenomena fatigue yang terjadi, dilakukan percobaan fatigue di laboratorium dengan memakai alat yang dapat memberikan beban siklik hingga keruntuhan material terjadi. Percobaan fatigue untuk campuran beraspal yang sering dilakukan di Indonesia adalah percobaan “three-point bending test” menggunakan alat DARTEC, pada 3 (tiga) tingkat tegangan (stress level) yang berbeda, sehingga dapat dibuat “fatigue curve” berupa garis linier dalam skala log-log. Selain melakukan uji eksperimental di laboratorium, dikenal juga beberapa persamaan fatigue dari campuran beraspal, yang telah banyak dilakukan dinegara lain. Banyak persamaan-persamaan telah dikembangkan untuk mengetahui banyaknya pengulangan kepada kegagalan di dalam modus kelelahan untuk perkerasan aspal. Kebanyakan dari regangan tarik horisontal pada dasar lapisan aspal dan modulus elastisitas perkerasan aspal. Ukuran ini dikembangkan oleh metode Nottingham (Brown dan Brunton, 1977) adalah:

LogNhi = 15,8 x log εhi – 46,1 – {5,13 x log (εhi) – 14,39} x log (Vb)

- {8,63 x log (εhi) – 24,2 } x log (SPi)

Dimana :

Nhi = Jumlah repetisi lintasan roda (mill.pases)

(46)

Vb = Kadar aspal (%)

SPi = Titik lembek aspal awal (0C)

Gambar 2.11. Regangan Horizontal yang terjadi dibawah permukaan

aspal yang mengakibatkan retak lelah

Retak “fatigue” dimulai dari titik terbawah dari lapis beraspal, kemudian merambat keatas, sejalan dengan bertambahnya perulangan beban, sehingga akhirnya mencapai permukaan berupa retak yang tersebar merata pada suatu lokasi yang terlemah dan dikatakan bahwa perkerasan telah mencapai “rupture”

2. Retak Alur / Deformasi Permanen

[image:46.595.128.509.108.269.2]
(47)

Metoda Analitis-Mekanistik, untuk menyatakan keruntuhan struktur perkerasan akibat beban berulang. Nilai “rutting” maksimum harus dibatasi, agar tidak membahayakan bagi pengendara saat melalui lokasi “rutting” tersebut, terutama pada kecepatan tinggi.

Deformasi plastis pada campuran beraspal, akibat pembebanan berulang, dapat diukur dilaboratorium menggunakan beberapa macam alat, misalnya (OECD,1975): creep test, split tensile test, triaxial rupture test, atau wheel tracking test. Sedangkan “total rutting” harus dihitung untuk seluruh struktur perkerasan, mulai dari lapis permukaan, lapis pondasi samapi lapis tanah tanah dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65% dari “total rutting” diakibatkan oleh penurunan (settlement) yang terjadi pada tanah dasar (Yoder & Witczak, 1975), sehingga critical value kedua dalam Metoda Analitis-Mekanistik adalah “compression strain” yang terjadi pada titik teratas dari lapis tanah dasar. Deformasi permanen dapat diketahui setiap lapisan dari struktur, membuat lebih sulit untuk memprediksi dibanding retak lelah. Ukuran-ukuran kegagalan yang ada dimaksudkan untuk alur bahwa dapat ditujukan kebanyakan pada suatu struktur perkerasan yang lemah. Ini adalah pada umumnya dinyatakan dalam kaitannya dengan menggunakan istilah

regangan vertikal (εv ) yang berada di atas dari lapisan tanah dasar :

LogNvi = log (fr) + 9,4771 – 3,57 x log (εvi)

Dimana : Nvi = Jumlah repetisi lintasan roda (mill.pases)

εv = Regangan tekan vertikal diatas lapisan tanah dasar

(48)

Gambar 2.12. Regangan Vertikal yang terjadi diatas tanah dasar yang

mengakibatkan deformasi permanen

3. Kriteria Kegagalan Lendutan

Sejumlah lendutan berdasarkan kriteria yang telah dikembangkan oleh berbagai para agensi 40 tahun terakhir. AASHO Road Test dan Roads and Transportation Association Canada (RTAC), kedua kriteria ini dikembangkan berdasarkan pada lendutan. sebagai berikut :

a. Kriteria AASHO Road Test

AASHO Road Test digunakan untuk mengembangkan hubungannya dengan Higway Research Board,, (1962) adalah :

Dimana : Log W25 = Jumlah beban gandar L1 dengan indeks pelayanan perkerasan 2.5

L1 = Beban gandar tunggal (kips)

[image:48.595.127.502.98.224.2]
(49)

Kriteria ini didasarkan pada data dari Loops 2 sampai 6 dan beban gandar tunggal 6, 12, 18, 24, dan 30 kips (1 kips =1,000 lbs). Persamaan yang berikut diperoleh jika L1 =18,000 lbs (standar ESAL) adalah :

logW2.5 =11,06−3,25Logdsn

b. Kriteria Roads and Transportation Association of Canada (RTAC)

Kriteria RTAC dapat dihitung sebagai berikut (setelah RTAC (1977) dan Haas (1994) adalah :

BB=10[0,40824−0,30103(logESAL)]

Dimana :

BB = lendutan balik maksimum (inch) (menggambarkan lendutan balik kembali rata-rata standar deviasi ) pada suhu standar dari 210C

[image:49.595.173.451.561.696.2]

= 0.1 inch untuk ESAL ≤ 47.651 = 0.02 inch untuk ESAL > 10.000.000 ESAL = 80 KN (18.000 Lbs) beban gandar tunggal

Tabel 2.4 Batas Lendutan AASHO Road Test dan RTAC

Kegagalan akibat beban

Batas lendutan (inch) AASHO

RoadTest RTAC

10,000 0.148 0.10

100,000 0.072 0.08

1,000,000 0.036 0.04

(50)

II . 4 Pengaruh Temperatur Terhadap Perkerasan Lentur

Temperatur adalah salah satu faktor-faktor yang paling penting mempengaruhi desain dan kinerja dari perekerasan lentur. Perubah-perubahan suhu di dalam struktur perkerasan membuat kerusakan. Pengetahuan tentang efek suhu adalah penting bagi penentuan desain dan syarat pemeliharaan . Efek kondisi lingkungan terhadap perkerasan aspal telah diketahui dengan baik. Variasi temperatur merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhitungkan dalam desain struktur perkerasan modern karena pada kenyataannya modulus lapis aspal di lapangan sangat dipengaruhi oleh temperatur.

Implikasi gradien temperatur terukur bagi desain perkerasan dianalisa dengan menilai modulus lapis aspal efektif. Secara definisi, modulus aspal efektif adalah modulus yang jika diterapkan bagi seluruh lapis aspal akan mengakibatkan tingkat kerusakan lapis dasar perkerasan atau tingkat kelelahan lapis aspal yang sama seperti bila gradien modulus lapis aspal turut diperhitungkan.

(51)

Ada dua pendekatan yang dapat diikuti untuk memperhitungkan pengaruh temperatur dalam proses desain struktur perkerasan lentur secara analitis, yaitu pendekatan desain praktis yang menggunakan faktor temperatur desain, dan pendekatan desain sistematis berdasarkan teori Miner. Pendekatan desain praktis atau pendekatan desain rata-rata menawarkan kemudahan dalam prosesnya tetapi memerlukan standar desain untuk penentuan faktor temperatur desain yang diperlukan. Sayangnya, standar desain struktur perkerasan lentur secara analitis belum resmi diberlakukan di Indonesia. Sedangkan, pendekatan desain sistematis memerlukan data yang cenderung lebih rinci dan secara umum memerlukan program aplikasi komputer yang relatif lebih rumit.

Dalam hal ini, modulus lapisan campuran beraspal dapat bervariasi mengikuti perubahan temperatur perkerasan dalam sehari, dan modulus tanah dasar dapat bervariasi mengikuti perubahan musim dalam setahun. Sedangkan, variasi beban lalu lintas dalam sehari umumnya dapat dianggap tipikal sepanjang tahun

Prosedur desain struktur perkerasan secara analitis yang dilakukan dalam penelitian. Ada beberapa komponen utama dari proses desain ini, yaitu data struktur perkerasan, data spektrum beban lalu lintas dan data temperatur udara rata-rata tahunan.

Penentuan faktor temperatur desain yang dilakukan secara iteratif, baik untuk desain struktur perkerasan yang didasarkan pada kriteria retak lelah, maupun kriteria deformasi permanen. Agar kedua kriteria desain dapat dianalisis di sini, struktur perkerasan hipotetikal perlu disertakan dalam analisis dengan mengatur tebal lapisan campuran beraspal (D1) dan tebal lapisan agregat (D2)

(52)

hipotetikal adalah sama. Secara umum, desain struktur perkerasan dengan lapisan agregat yang tebal akan ditentukan oleh kerusakan retak lelah. Sebaliknya, desain struktur perkerasan dengan lapisan agregat yang tipis akan ditentukan oleh kerusakan deformasi permanen.

Perhitungan modulus elastisitas perkerasan pendekatan desain rata-rata mempunyai parameter yang mempengaruhi modulus perkerasan antara lain :

a. VMA (Void in the mineral agregat)

Sifat volumetrik dari campuran beton aspal yang telah dipadatkan dilaboratorium maupun dilapangan .Salah satu parameter yang digunakan adalah volume pori diantara butir agregat campuran, dalam beton aspal ,termasuk yang terisi oleh aspal .VMA adalah volume pori didalam beton aspal padat jika seluruh selimut aspal ditiadakan.Tidak termasuk didalam VMA volume poring didalam masing masing butir agregat.VMA akan meningkat jika selimut aspal lebih tebal, atau agregat yang digunakan bergradasi terbuka.

b. Frekwensi Pembebanan (LF)

Disamping karena pengaruh temperatur (T), sifat visko-elastis material aspal juga dipengaruhi oleh pembebanan (t). Parameter ini berhubungan dengan frekuensi pembebanan yang akan menentukan ketahanan terhadap kelelahan akibat retak. Frekuensi dan waktu pembebanan dihubungkan dengan rumus sebagai berikut :

t f

π

2 1 =

Dimana :

(53)

Menurut Brown (1973) perhitungan pembebanan yang terjadi pada bagian bawah lapis aspal dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :

Log (t) = 5 x 10-4h - 0,94 log (v) Dimana :

t = waktu pembebanan, detik h = ketebalan lapisan, mm

v = kecepatan kenderaan, km/jam]

untuk ketebalan lapisan aspal antara 150 mm sampai 300 mm, Brown dan Brunton (1980) menyarankan waktu pembebanan dapat dihitung dengan hubungan linear terhadap kecepatan, yaitu :

t = t / v dimana :

t = waktu pembebanan, detik v = kecepatan, km/jam

The asphalt institute dan TRRL mendasar frekuensi pembebanan pada 10 Hz dan 5 Hz yang kira kira samna dengan waktu pembebanan 0,016 detik dan 0,032 detik. SHRP-A-90-011 (1990) memberikan indikasi bahwa waktu pembebanan antara 0,004 sampai 0,1 detik relatif sesuai digunakan untuk pengujian kelelahan (Simangunsong, 2001).Frekuensi pembebanan 10 Hz dapat diperkirakan sama dengan kecepatan antara 24 sampai 48 km/jam didalam perkerasan (Strategic Highway Research Program, 1994).

(54)

a. Full sine wave (sinusoidal wave), pola ini pada bagian serat yang paling ekstrim dari benda uji aspal mengalami pembalikan tegangan secara penuh pada setiap siklus beban.

b. Half sine wave, hampir sama dengan diatas tetapi tidak ada pembalikan tegangan.

c. Haversine wave with delay. d. Block loading.

Secara umum pada pengujian di laboratorium , kurva kelelehan tegangan dan regangan untuk benda uji berbentuk balok yang dipadatkan menunjukkan bahwa benda uji dengan pembalikan tegangan memiliki umur kelelahan yang lebih pendek dari pada benda uji tanpa pembalikan tegangan (Irwin & Gallaway, 1974). Rantetoding (1988) meneliti bahwa pola sinusoidal (full sine) lebih mewakili pola pembebanan akibat beban kenderaan yang bekerja pada bagian atas lapis permukaan.

c. Penetrasi aspal awal (Pi)

Kepekaan terhadap temperatur akan menjadi dasar perbedaan umur aspal untuk menjadi retak /mengeras. Parameter pengukur kepekaan aspal terhadap temperatur adalah indeks penetrasi (penetration index).

Nilai PI antara -1 dan +1 adalah nilai PI yang umum yang dimiliki oleh aspal yang digunakan untuk material pekerasan jalan.

d. Volume Aspal (Vb)

(55)

perbandingan antara berat aspal dalam beton campuran dengan berat jenis aspal.

e. Titik Lembek Aspal Awal

Pemeriksaan kepekaan aspal terhadap temperatur dilakukan dengan melalui pemeriksaan titik lembek.Titik lembek adalah temperatur dimana pada saat aspal mulai lembek.Titik lembek aspal bervariasi antara 30oC sampai 200oC.Dua aspal yang mempunyai penetrasi yang sama belum tentu mempunyai titik lembek yang sama.Aspal dengan titik lembek yang lebih tinggi kurang peka terhadap perubahan temperatur dan lebih baik untuk bahan pengikat konstruksi perkerasan.

f. Faktor temperatur Desain (ft)

(56)

g. Modulus Elastisitas kekakuan aspal

Aspal adalah material yang bersifat visco-elastis dan deformasi yang timbul adanya tegangan merupakan fungsi dari temperatur dan waktu pembebanan. Pada temperatur dan waktu pembebanan yang panjang berperilaku viscous– liquid dan pada suhu yang rendah atau waktu pembebanan yang pendek (seketika) bersifat solid – elastic (brittle).

Berapa konsep modulus kekakuan adalah :

• Van der Poel (1954) memperkenalkan konsep modulus kekakuan aspal

(stiffness modulus of bitumen) sebagai parameter dasar untuk menjelaskan

sifat sifat mekanisme aspal. Pada saaat awal ( t = 0) tegangan tarik (σ)

yang diberikan pada material visko- elastis tersebut menyebabkan

regangan tarik (ε t) namun tidak bertambah secara proporsional terhadap

waktu pembebanan, sehingga modulus kekakuan aspal yang terjadi tergantung pada waktu atau lamanya pembebanan. Karena bersifat visco-elastis, modulus kekakuan aspal juga tergantung pada temperatur.

Gambar 2.13 Tegangan dan distribusi temperatur dalam perkerasan

[image:56.595.148.491.505.681.2]
(57)

• Shell mengidentifikasikan bahwa modulus beton aspal sangat bergantung

pada modulus kekakuan aspal (Sbit), volume agregat (VG) dan aspal (VB) Sbit = 1.157 x 10-7 x t -0.368 x 2.718 – PI (TR&B – T)5

Tegangan dan regangan pada perkerasan lentur umumnya memprediksi moda kelelahan didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis. Solusi analitis untuk menyatakan hubungan tegangan dan regangan didasarkan atas berupa asumsi berikut (Yoder & Witczak, 1975) :

1. Sifat sifat untuk setiap lapis adalah homogen dan isotropis,

2. Setiap lapis pada arah lateral mempunyai ketebalan tertentu kecuali pada lapis paling bawah (tanah dasar , subgrade),

3. Geser penuh terjadi diantara lapis perkerasan (interface),

4. Tidak ada kekuatan geser yang timbul pada bagian atas dari lapis permukaan,

5. Solusi tegangan berhubungan dengan 2 (dua ) parameter sifat material

yakni Poisson’s ratio (μ) dan modulus kekakuan (E).

Pada gambar diberikan diagram tegangan yang terjadi pada perkerasan lentur. Tegangan dan regangan kritis terjadi pada bagian bawah lapis permukaan dan dipermukaan tanah dasar. Umumnya regangan yang terjadi pada bagian

bawah lapis permukaan (

ε

hi) adalah regangan tarik (tensile strain) sebaliknya

pada permukaan tanah dasar regangan yang terjadi adalah regangan tekan (compressive strain). Umunya teori yang digunakan adalah memprediksi moda kelelahan didasarkan pada konsep sistem elastis multilapis .

(58)

n PI b VMA x n VMA x x S E r       − − + = − ) 3 ( 5 . 2 5 . 257 1 718 . 2 ' 1

(

)

5

368 . 0 18 ' 2 10 07355 . 7

r u t

b x SP T x f

LF x S −     = − π

SPr =98.4−26.35xlog

(

0.65xPi

)

82 . 232 log 35 . 76 65 . 21 log 00 . 27 −− = i i r P x P x PI    

= PIr

b x S x x n 718 . 2 10 4 log 83 . 0 ' 4 dimana:

E = Modulus Elastisitas perkerasan Lentur (MPa) Sb = Modulus Elastisitas aspal

VMA = Rongga dalam mineral agregat (%) LF = Frekwensi pembebanan (Hz)

Tu = Temperatur udara (oC)

ft = Faktor temperatur desain (1) Pi = Penetrasi aspal awal (0.1 mm) Vb = Volume aspal (%)

SPi = Titik lembek aspal awal (oC)

Perkiraan masa layan sisa struktur perkerasan yang didasarkan pada dua regangan kritis yang terjadi di dalam struktur perkerasan. Regangan tarik horizontal (ε t) di bawah lapisan campuran beraspal akan menentukan kerusakan

(59)

kerusakan deformasi permanen. Kemudian, masa layan sisa ditentukan dari model desain struktur perkerasan.

II.5 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Temperatur di Perkerasan

Lentur

Penampilan dari jalan aspal adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang paling penting mempengaruhi mekanika perkerasan adalah temperatur. Jadi dengan demikian, prediksi yang akurat distribusi suhu di dalam struktur perkerasan itu adalah penting .Profil temperatur perkerasan terdiri dari temperatur udara, kelembaban, kecepatan angin dan radiasi matahari pada sel-sel material perkerasan. Kandungan campuran aspal berubah secara drastis dipengaruhi temperatur. Aspal perkerasan yang keras, rentan pecah pada suhu rendah dan cenderung mengalami deformasi permanen pada temperatur-temperatur yang tinggi. Pengukuran temperatur dapat membantu para ahli di dalam melaksanakan backcalculations aspal mendapatkan modulus dan estimate lendutan perkerasan. Temperatur perkerasan adalah sangat penting di dalam mengevaluasi aksi beku dan di dalam pemilihan kadar aspal struktur perkerasan.

(60)

Temperatur merupakan faktor-faktor yang paling penting mempengaruhi dari perkerasan-perkerasan kaku dan lentur. Perubahan suhu di dalam struktur perkerasan menyebabkan kegagalan struktur sebelum umur rencana. Pengetahuan tentang efek suhu adalah penting bagi penentuan desain dan syarat pemeliharaan terutama di dalam iklim-iklim panas seperti kebanyakan lingkungan daerah beriklim panas. Perubahan suhu di dalam struktur perkerasan sangat berperan pada kegagalan struktur perkerasan. Sehari-hari dan keragaman musiman maksimum, minimum, rata-rata dan gradient kedalaman perkerasan yang harus dipertimbangkan di dalam menentukan tegangan dan menghitung parameter-parameter desain dari perkerasan kaku dan perkerasan lentur. Kondisi panas, dapat menjurus kepada permasalahan penting, termasuk (Andersen, 1992):

1. Retak disebabkan oleh diferensial-diferensial temperatur yang besar antara bagian dalam dari beton dan lingkungan eksternal.

2. Kekuatan berkurang disebabkan oleh pembekuan sebelum mencapai cukup kekuatan,

3. Kekuatan berkurang disebabkan oleh temperatur-temperatur yang internal di dalam massa beton

(61)

temperatur, berubah di dalam kelembapan, dan volumetrik berubah di dalam subgrade atau tanah dasar.

Distribusi suhu perkerasan-perkerasan yang lentur adalah secara langsung dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan. Perpindahan panas antara permukaan dari perkerasan dan lingkungan disebabkan oleh pengaruh radiasi matahari, panas dan sinaran gelombang panjang antara permukaan dan lingkungan, perpindahan panas antara butiran perkerasan permukaan dan udara atau air.

[image:61.595.154.453.413.540.2]

Kecepatan angin adalah suatu faktor mempengaruhi temperatur perkerasan dan perubahan menerus perpindahan kalor / panas. Sebagai contoh, suatu secara relatif percepatan angin kencang menghasilkan suatu pendinginan permukaan.

Gambar 2.14 Keseimbangan energi dari perkerasan

(62)

pada kurang 20°C dan di bawah 0ºC. Ia menyimpulkan bahwa aspal dapat mengalami deformasi .

II. 6 Temperatur Kritis Pada Perkerasan Lentur

Fromm dan Phang membuat temperatur kritis itu untuk mengukur aliran jenis dari beton aspal. Temperatur kritis itu adalah temperatur di mana aliran viscous di bawah beban rangkak dalam satu jam sama dengan penyusutan temperatur dalam satu jam. Pada temperatur-temperatur yang lebih tinggi dibanding temperatur kritis, bahwa aliran viscous dari bahan itu cukup tinggi membebaskan tegangan karena penyusutan. Dan sebaliknya, pada temperatur-temperatur di bawah temperatur-temperatur kritis, thermal tegangan mengembang lebih cepat dari aliran vicous mengalami relaksasi dan retak.

Untuk menentukan temperatur kritis, Fromm dan Phang menggunakan dua metoda pengujian . Pertama-tama, mereka membuat pengujian untuk menentukan koefisien kontraksi thermal.Berikutnya, satu jam menguji rangkak untuk ukuran, aliran viscous pada temperature yang berbeda. Hasil-hasil dari menguji rangkak adalah yang direncanakan untuk menentukan aliran viscous dengan temperatur. Temperatur kritis ditentukan dengan suatu penurunan temperatur jam (∆T),

dikalikan dengan α dan menentukan temperatur yang sesuai di kurva rangkak.

(63)

II. 7 Faktor-Faktor Yang Mendukung Keretakan Perkerasan Lentur

(64)

Menurut Myers dan Roque bahwa tegangan kontak ban di dalam perkerasan lentur, tegangan cukup besar untuk membuat keretakan permukaan perkerasan. Mun menunjukkan kontak perkerasan ban yang tidak seragam , bahwa tegangan dapat meningkatkan kerusakan permukaan dalam perkerasan lentur. Kontak perkerasan ban, tegangan menyebar sangat cepat di dalam perkerasan, maka permukaan retak meluas ke dalam perkerasan.

Faktor lingkungan yang utama yang mendukung atas retak adalah: thermal tegangan, pengerasan presipitasi dan kerusakan akibat kelembapan. pengerasan presipitasi yang keras di permukaan perkerasan ,sehingga retak top down terjadi Pengerasan presipitasi ini, pada umumnya, menyebabkan kerusakan kekurusan dan secara relatif kulit perkerasan getas terbentuk dipermukaan perkerasan, yang berpotensi membuat tegangan besar dan permukaan retak.

(65)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian berbentuk deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan untuk menguraikan sifat–sifat dan

karekteristik dari suatu objek penelitian. Penelitian deskriptif tidak

dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang sesuatu variabel, gejala atau keadaan. Penulis

mengumpulkan data-data penelitian yang diperoleh dari objek penelitian dan literatur-literatur lainnya, kemudian diuraikan secara rinci uantuk mengetahui permasalahan penelitian dan mencari penyelesaiannya.

III.2 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari: data primer dan data sekunder. a. Data Primer

Data yang diperoleh dari objek penelitian yang memerlukan pengolahan lebih lanjut dan dikembangkan sendiri oleh penulis. b. Data Sekunder

(66)

III.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: a. Wawancara yakni melakukan tanya jawab secara langsung dengan

pihak–pihak yang berhubungan dengan data untuk penelitian.

b. Dokumentasi yakni dengan melakukan pencatatan dan fotokopi terhadap dokumen–dokumen buku pustaka yang mendukung keperluan penelitian.

III.4 Metode Analisis Data

(67)

Mulai

Studi Pustaka

Pengambilan Data

Pengolahan Data

Perhitungan Modulus Elastisitas Perkerasan

Analisa Regangan Horizontal

Analisa Regangan Vertikal

Analisis Jumlah Repetisi Lintasan Roda Ijin Kriteria Retak Lelah

Analisis Jumlah Repetisi Lintasan Roda Ijin Kriteria Deformasi Permanen

Kesimpulan dan Saran

[image:67.595.151.543.183.692.2]

Selesai

(68)

BAB IV

APLIKASI/PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis menyajikan aplikasi suatu model perhitungan analisis konstruksi jalan raya dengan variasi temperatur udara yang digunakan untuk menghitung jumlah beban repetisi roda ijin dalam kriteria retak lelah dan deformasi permanen. Desain struktur secara analitis terdapat komponen komponen utama dari proses desain, yaitu data tebal lapisan perkerasan, beban gandar sumbu standar kenderaan dan variasi temperatur udara .

Untuk menghitung modulus perkerasan aspal maka dicantumkan data data yang karakteristik material campuran beraspal yang umum digunakan di Indonesia diperlukan adalah :

1. Data pengujian aspal keras (Asphalt Test Report) Jenis/ Type Pen.60/70 dengan nilai penetrasi pada 250C adalah 60 (0.1 mm)

2. Nilai Void in Mix Agregat (VMA) adalah 15 % 3. Nilai Kadar aspal (Vb) adalah 11 %

4. Data variasi temperatur udara adalah 250C, 260C, 270C, 280C, 29 0C, dan 300C 5. Frekuensi Pembebanan (LF) : 10 Hz

(69)

III.1 Perhitungan Modulus Elastisitas Perkerasan

Perhitungan modulus elastisitas perkerasan dengan pendekatan desain rata-rata, modulus elastisitas lapisan campuran beraspal (E) dihitung dengan kondisi temperatur Udara yang berbeda adalah sebagai berikut :

a. Modulus Elastisitas Perkerasan (E1) dengan temperatur udara 250C ● Penetrasi Aspal Awal (0,1 mm)

65 , 21 35 , 76 65 , 21 00 , 27 − − = xLogPI xLogPI PI 65 , 21 60 35 , 76 65 , 21 60 log 00 , 27 − − = xLog x 97,058 -26.360 = -0,271 =

● Titik Lembek Aspal Awal (SPr)

(

i

)

r x xP

SP =98.4−26.35 log 0.65

= 98.4-26.35 x Log (0.65 x 60) = 98.4-26.35 x Log (1.59) = 56.47 0C

● Modulus Kekakuan Material Aspal (Sb)

(

)

5

368 . 0 18 ' 2 10 07355 . 7

r u t

b x SP T xf

LF x S −     = − π

(

)

5

368 . 0 18 1 25 47 , 56 10 2 10 07355 . 7 x x x −     = − π

(70)

  

= PIr

bx S x x n 718 . 2 10 4 log 83 . 0 ' 4    

= 0,271

4 718 . 2 98 , 21 10 4 log 83 , 0 x x x

=2,713

● Modulus Elastisitas Perkerasan Aspal (E1)

n PI b VMA nx xVMA x S E r     − − + = − ) 3 ( 5 . 2 5 . 257 1 718 . 2 ' 1 713 , 2 271 , 0 ) 3 15 ( 713 , 2 15 5 . 2 5 . 257 1 718 . 2 4 , 16     − − + = − x x x

= 5.582,97 Mpa

b. Modulus Elastisitas Perkerasan (E2) dengan temperatur udara 260C

● Penetrasi Aspal Awal (0,1 mm)

65 , 21 35 , 76 65 , 21 00 , 27 − − = xLogPI xLogPI PI 65 , 21 60 35 , 76 65 , 21 60 log 00 , 27 − − = xLog x 97,058 -26.360 = -0,271 =

● Titik Lembek Aspal Awal (SPr)

(

i

)

r x xP

SP =98.4−26.35 log 0.65

(71)

● Modulus Kekakuan Material Aspal (Sb)

(

)

5

368 . 0 18 ' 2 10 07355

Gambar

Gambar 2.2  Penyebaran beban roda melalui lapisan perkerasan
Gambar 2.4 Skematik Desain Mekanistik Empiris
Gambar 2.5  Tegangan - regangan keelastisan suatu bahan.
Tabel 2.1 Nilai-nilai Modulus Elastisitas untuk berbagai bahan-
+7

Referensi

Dokumen terkait