1
Hindarilah Prasangka, Tajassus dan Tahassus
Oleh: Muhsin Hariyanto
ADA sebuah kisah yang bisa menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi diri kita. Cerita tentang kehati-hatian Nabi ‘Isa a.s. ketika menelisih kesalahan seorang yang ‘terduga’ pencuri. Beliau pernah menyaksikan seseorang yang bergelagat ‘mencuri, dan ia pun menduga bahwa laki-laki yang dia awasi itu patut dicurigai telah melakukan aktivitas pencurian. Tetapi, dengan sangat bijak menanyakan terlebih dahulu untuk memastikannya, apakah benar orang itu (sedang) mencuri atau tidak. Sebagaimana penjelasan dari Rasulullah s.a.w. dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari: Abu Hurairah.
Dikisahkan, bahwa:
bahwa “Nabi Isa pernah melihat seseorang sedang mencuri. Lalu ia bertanya, “Apakah engkau benar-benar sedang mencuri?”. Ia pun menjawab, “Sekali-kali
tidak, demi Dzat Yang tiada Ilâh (Tuhan) yang patut disembah kecuali Dia”.
Berkatalah Isa a.s., “Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan diriku, dan di dalam satu riwayat (dinyatakan): “aku mendustakan penglihatanku.” (Hadits Riwayat al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz IV, hal. 204, Hadits no. 3444 dan
Shahîh Muslim, juz VII, hal. 97, Hadits no. 6288, dari Abu Hurairah radhiyallâhu
‘anhu)
2
Untuk memastikannya, beliau pun bertanya kepada orang itu, yang diilustrasikan dalam Hadits Rasulullah s.a.w. (tersebut di atas) dengan ungkapan pertanyaan sederhana: “apakah engkau tengah mencuri?” Namun ketika orang itu menyanggahnya dan bahkan bersumpah dengan nama Allah untuk menguatkan ucapannya, seketika itu pula Nabi Isa a.s. segera menarik persangkaannya, dan segera menyesali kecurigaannya, sehingga selamatlah si tersangka itu dari tuduhan tersebut. Andaikata sikap Nabi Isa a.s. yang tiba-tiba menarik persangkaannya itu bisa dinyatakan sebagai sebuah kesalahan, karena – sebenarnya -- orang itu benar-benar berniat untuk, dan bahkan tengah mencuri, dan oleh karenanya selamat dari hukuman dunia, tetapi tentu saja ia tidak akan pernah selamat dari azab Allah. Karena, pada saatnya Allah akan menunjukkan “yang benar adalah benar, dan salah adalah salah”. Kesabaran Nabi Isa a.s. tidak akan pernah sia-sia. Itulah keyakinan yang seharusnya ada pada setiap orang yang beriman.
Berbekal pada kisah di atas, kita pun bisa belajar lebih lanjut dari sabda Rasulullah s.a.w. yang lain. Karena, setelah Rasulullah s.a.w. mengingatkan unatnya untuk berprasangka, beliau pun memberikan peringatan kepada umatnya dengan sebuah ucapan lanjutan: “ …. janganlah kalian bertajassus dan bertahassus…”.
(Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Shahîh al-Bukhâriy, VII/24, Hadits no. 5143 dan Shahîh Muslim, VIII/10, Hadits no. 6701).
Para ulama – pada umumnya – menjelaskan bahwa tajassus (dengan huruf
jim, bermakna: “mencari-cari atau menyelidiki aib seseorang atau sekelompok orang”. Sedangkan tahassus (dengan huruf ha’), bermakna: “menyadap informasi terhadap orang yang diselidiki, padahal mereka (yang diselidiki dan disadap) tidak pernah rela untuk diperlakukan seperti itu”. Dua aktivitas tersebut – hingga kini -- sering dilakukan oleh setiap orang secara beriringan, dengatn satu maksus utama: “memata-matai”. Sehingga -- bisa diduga -- pelakunya berkeinginan kuat untuk mendapatkan informasi seakurat-akuratnya tentang orang yang menjadi objek aktivitasnya, sedang objeknya merasa terusik karena perbuatan orang yang melakukannya.
3
“Barangsiapa yang menyadap pembicaraan suatu kaum, sedangkan mereka (kaum itu) tidak menyukainya atau mereka berusaha menghindar darinya, (baginya) akan
dituangkan timah cair di telinganya pada hari kiamat”. [Hadits Riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas, Shahîh al-Bukhâriy, juz IX, hal. 54, Hadits no. 7042).
Beri’tibar dari kisah di atas, para ulama mengingatkan agar setiap orang Islam bersikap hati-hati untuk tidak terjebak ke dalam prasangka, tajassus dan
tahassus. Kalau pun harus terlibat dengan ketiga hal itu, maka niat, proses dan tujuannya harus benar-benar proporsional. Dan bahkan ketika berkesimpulan pun harus didasarkan pada data yang akurat dan bersikap objektif. Karena kehati-hatian dan objektivitas seseorang dalam memilih aktivitas itu sangat penting diperhatikan, dan bahkan sebelum bersikap, seorang muslim harus menghindari ketergesa-gesaan. Sebab sikap tergesa-gesa itu, menurut estimasi Rasulullah s.a.w. dalam sebuah sabdanya termasuk bagian dari perbuatan setan. Sebagaimana sabda beliau: “…
ketergesa-gesaan itu merupakan perbuatan setan ...” (Hadits Riwayat Abu Ya’la dari Anas bin Malik, Musnad AbîYa’lâ, VII/247, Hadits no. 4256). Dan yang perlu harus selamanya diwaspadai adalah: “setan di mana pun dan kapan pun tak akan pernah berputus asa untuk menggoda siapa pun dan selalu bertekad hendak menjerumuskan umat manusia ke dalam ‘kubangan maksiat’.
Oleh karena itu, mulai saat ini “berhati-hatilah dengan prasangka, tajassus
dan tahassus”, agar kita tak terperosok ke dalam kesalahan yang tidak perlu. Termasuk di dalamnya ketika kita berinteraksi dalam sebuah kontestasi politik -- di negeri kita tercinta -- yang sering diwarnai dengan sejumlah prasangka, tajassus dan
tahassus tanpa kendali iman dan akal sehat.
Fastabiqû al-Khairât.