• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON KOREA SELATAN TERHADAP JAPAN’S NEW SECURITY BILLS (South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RESPON KOREA SELATAN TERHADAP JAPAN’S NEW SECURITY BILLS (South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON KOREA SELATAN TERHADAP

JAPAN’S NEW SECURITY BILLS

(South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)

SKRIPSI

Disusun Oleh : DINI OKTAVIA

20130510103

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

i

HALAMAN JUDUL

RESPON KOREA SELATAN TERHADAP JAPAN’S NEW SECURITY BILLS

(South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan Studi pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : Dini Oktavia 20130510103

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(3)

iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi saya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 23 Desember 2016

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Respon Korea Selatan Terhadap Japan’s New Security Bills” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Strata-1 (S1) dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan sekaligus sebagai penerapan konsep dan teori yang telah penulis peroleh selama di bangku kuliah. Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini mengalami beberapa kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.Oleh karena itu dengan keikhlasan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Dr. Ali Muhammad, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

3. Ibu Dr. Nur Azizah, M.Si selaku Ketua Program Studi Hubungan Internasional.

4. Bapak Prof. Tulus Warsito, M.Si selaku Pembimbing Utama yang telah membimbing dan memberikan saran yang sangat membantu dalam proses penulisan skripsi ini.

(5)

v

6. Ibu Grace Lestariana W., S.Ip, M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah menguji dari Ujian Proposal hingga Ujian Pendadaran serta memberikan banyak sekali masukan yang sangat membantu dalam proses penulisan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Surwandono, M.Si selaku Dosen Penguji pada Ujian Proposal yang telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini, serta yang telah dengan sangat sabar mendengarkan setiap opini yang penulis sampaikan dari ketika proses belajar di bangku kuliah hingga penulisan skripsi.

8. Bapak Idham Badruzaman, M.A selaku Asisten Dosen yang telah memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan penuh motivasi selama semester empat di bangku kuliah.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmu yang bermanfaat.

10.Bapak Jumari, Pak Waluyo, Pak Ayub dan staff Prodi HI yang siap dan sabar melayani pertanyaan mahasiswa.

Terima kasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda. Amiin.

Yogyakarta, 23 Desember 2016

(6)

vi

MOTTO

I promise myself, I Won’t Use My Knowledges

Inhumanly

(7)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

This undergraduate thesis is dedicated to my beloved

and perfect parents,

(8)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

KATA PENGANTAR ...iv

MOTTO ...vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRACT ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Kerangka Dasar Pemikiran ... 8

Konsep Kepentingan Nasional ... 9

Teori Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri ... 11

D. Hipotesa ... 17

E. Tujuan Penelitian ... 17

F. Jangkauan Penelitian ... 17

G. Metode Penelitian ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II DINAMIKA MILITER JEPANG DAN JAPAN’S NEW SECURITY BILLS ... 21

A. Sejarah Militer Jepang ... 21

B. Perubahan Struktur Militer Jepang ... 24

C. Japan’s New Security Bills ... 29

BAB III POLITIK LUAR NEGERI KOREA SELATAN TERHADAP JEPANG DAN IMPLIKASI PEMBERLAKUAN JAPAN’S NEW SECURITY BILLS PADA HUBUNGAN BILATERAL JEPANG-KOREA SELATAN ... 47

A. Gambaran Umum Politik Luar Negeri Korea Selatan Terhadap Jepang ... 47

B. Hubungan Bilateral Jepang - Korea Selatan dan Bayangan Masa Lalu ... 50

(9)

ix

BAB IV RESPON KOREA SELATAN TERHADAP JAPAN’S NEW SECURITY

BILLS ... 60

A. Bentuk Respon Korea Selatan Terhadap Pemberlakuan Japan’s New Security Bills ... 61

B. Alasan Korea Selatan Merespon Negatif Pemberlakuan Japan’s New Security Bills ... 67

a. Kondisi Politik Domestik Korea Selatan Pada Masa Pemerintahan Presiden Park Geun-hye ... 68

b. Kondisi Ekonomi dan Militer Korea Selatan ... 75

c. Sengketa Pulau Dokdo/Takeshima Antara Jepang dan Korea Selatan... 82

BAB V KESIMPULAN ... 90

(10)
(11)

Respon Korea Selatan Terhadap Japan’s New Security Bills (South Korean’s Response Toward Japan’s New Security Bills)

Dini Oktavia

20130510103

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Email : oktavia.dini2710@gmail.com

ABSTRACT

Japan’s New Security Bills became a controversial policy during the reign of Prime

Minister Shinzo Abe. Abe administration claims that Japan's new security bills have

positive goals both for inside and outside the country. Nevertheless, the South

Korean government responded negatively the implementation of Japan's new

security bills. This study will explain why the South Korean government responded

negatively towards Japan's new security bills, using the concept of national interest

and theory of foreign policy decision-making in order to obtain better understanding

about the specific reason that prompted the policy. The preliminary results of the

research show that the South Korean government responded negatively toward

Japan's new security bills because they overshadowed deep trauma of the past

Japanese imperialism, in addition to the South Korean government regards the

implementation of Japan's new security bills will have implications on bilateral

relations, that the condition is quite susceptible. South Korean domestic political

conditions, economic conditions and military capabilities to territorial disputes

between Japan and South Korea became the most significant reason why South

Korea responded negatively Japan's New Security Bills.

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korea Selatan merupakan sebuah negara di Asia Timur yang secara geografis meliputi bagian selatan Semenanjung Korea, dengan ibu kota Seoul. Batas wilayah sebelah utara adalah Korea utara yang pernah menjadi satu negara hingga tahun 1948. Sebelah barat adalah Laut Kuning, kemudian berbatasan dengan Laut Jepang yang biasa disebut sebagai Laut Timur oleh orang-orang Korea. Korea Selatan adalah negara yang pernah menjadi objek imperialisme Jepang. Sejarah pendudukan Korea olah Jepang dimulai pada tahun 1905 setelah Perang antara Rusia dan Jepang. Pada tahun 1910, Tokyo secara resmi menganeksasi seluruh Semenanjung. Korea merdeka setelah Jepang menyerah kepada Amerika Serikat pada tahun 1945. Setelah Perang Dunia II, pemerintahan yang berdasarkan demokrasi-(Republik Korea, ROK) didirikan di bagian selatan Semenanjung Korea sementara pemerintah komunis diterapkan di utara (Republik Demokratik Rakyat Korea, DPRK). Selama Perang Korea (1950-1953), tentara AS dan pasukan PBB berjuang bersama tentara ROK untuk membela Korea Selatan dari invasi DPRK yang didukung oleh Cina dan Uni Soviet.1

Korea merupakan negara yang terus-menerus diperebutkan oleh Cina, Jepang dan Rusia, karena memiliki letak yang strategis. Perebutan wilayah itu berhenti setelah Jepang berhasil menguasai Korea (1910-1945). Ketika itu pula

1 EAST & SOUTHEAST ASIA- Korea, South “Introduction and Geography” The World

(13)

2

Kerajaan Choson dan kedaulatan bangsa Korea berakhir. Selama 35 tahun Korea menjadi jajahan Jepang. Pengakuan dunia internasional atas intervensinya ke Korea diperoleh Jepang melalui kemenangannya dalam perang melawan Cina (1894-1895) dan Rusia (1904-1905). Lebih jauh, Jepang memantapkan posisi pendudukannya di Korea di mata dunia internasional dengan membentuk aliansi Inggris-Jepang pada tahun 1902 dan menandatangani nota kesepakatan dengan Amerika dalam perjanjian Taft-Katsura pada tahun 1905.2

Korea mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah kepada Amerika Serikat. Pasca kemerdekaan hubungan Korea dan Jepang berlanjut pada hubungan diplomatik setelah pemisahan Korea, Jepang dan Republik Korea (ROK) menjalin hubungan diplomatik pada Desember 1965, dibawah Perjanjian tentang Hubungan-Hubungan Dasar antara Jepang dan Republik Korea, dengan Jepang mengakui Korea Selatan sebagai satu-satunya pemerintahan sah di semenanjung Korea.3

Hubungan bilateral Korea Selatan dan Jepang mencapai titik baru ketika pada tahun 1998 Presiden Korea Selatan Kim Dae-Jung dan Perdana Menteri Jepang Keizo Obuchi menandatangani The Joint Declaration on a New Japan-South Korea Partnership Towards the Twenty-First Century. Deklarasi bersama ini dibangun atas inisiatif untuk mengatasi kesenjangan persepsi sejarah dan memperluas hubungan ekonomi dan politik.4 Hubungan bilateral Korea Selatan

2 Yang Seung-Yoon dan Nur Aini Setiawati, (2003), Sejarah Korea Sejak Awal Abad Hingga

Masa Kontemporer, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 136

3The World FactBook Op.Cit.

4James L. Schoff, Duyeon Kim, November 2015, CARNEGIE Endowment For International Peace, “Getting Japan-South Korea Relation Back On Track” dalam

(14)

3

dan Jepang terus dijaga keharmonisannya dengan melakukan berbagai kerjasama bilateral, baik dalam bidang ekonomi, politik hingga kebudayaan.

Sebagai dua negara terkuat di Asia dan paling maju demokrasinya, Korea Selatan dan Jepang dapat memainkan peran utama dalam membentuk kembali politik di kawasan itu. Persamaan umum ke dua negara yang sama-sama menerapkan nilai-nilai liberal, supremasi hukum, kebebasan pers, dan sejenisnya dapat membentuk pusat gravitasi baru di Asia. Dengan kepercayaan yang cukup dan dengan pengalaman yang terus tumbuh, Korea Selatan dan Jepang dapat bekerja sama dengan sekutu mereka yakni Amerika Serikat untuk menegakkan tatanan aturan yang berbasis di Asia, yang telah memberikan keamanan dan stabilitas selama beberapa dekade. Korea Selatan dan Jepang juga dapat membantu mendorong penerapan demokrasi di negara lainnya di Asia, seperti negara liberalisasi baru Myanmar, dan mendorong negara yang telah berpaling dari demokrasi, seperti Thailand, untuk kembali ke prinsip-prinsip liberal.5

Selain itu Korea Selatan dan Jepang sangat bergantung pada sistem perdagangan global yang handal dan terbuka untuk memberikan stabilitas keuangan dan sumber daya. Ke dua negara telah memperoleh manfaat besar dari lembaga regional dan internasional, dari perdagangan bilateral yang diperluas ($ 224.000.000 pada tahun 1965 menjadi $ 84 miliar 2014), dan dari perlindungan inovasi dan hak kekayaan intelektual teknologi, antara keuntungan lain dari tatanan aturan berbasis liberal. Ke dua negara juga berbagi kepentingan nasional dalam melindungi sumber daya dan lingkungan dari efek buruk globalisasi dan

5Michael Austin, Desember 2015, “A new era in South Korean–Japanese relations begins

(15)

4

modernisasi untuk mengarahkan ke arah pertumbuhan yang lebih berkelanjutan di masa depan. Kepentingan global yang memiliki tantangan besar dan juga resiko tinggi dan menyoroti nilai kerjasama bilateral serta kepemimpinan, isu-isu tersebut dapat membantu menangkal kecenderungan masing-masing negara untuk meremehkan nilai strategis ke dua negara.6

Selanjutnya berkaitan dengan isu Japan’s new security bills, pada tanggal 16 Juli 2015, majelis rendah Jepang menyetujui undang-undang keamanan yang didukung oleh Perdana Menteri Shinzo Abe, langkah menuju kodifikasi yang menjadi salah satu perubahan terbesar dalam postur keamanan Jepang sejak akhir Perang Dunia II. Terutama, undang-undang keamanan ini akan mengizinkan Pasukan Bela Diri Jepang untuk terlibat dalam collective self-defense. Bisa ditebak, undang-undang (yang masih harus disetujui oleh majelis tinggi Jepang) telah memicu reaksi keras dari tetangga regional Cina, yang sudah sangat waspada terhadap tanda-tanda bahwa Jepang berusaha untuk melakukan remilitarisasi.7 Hingga akhirnya Pada September 2015, Komite Parlemen Jepang telah mengesahkan undang-undang yang kontroversial mengenai Japan’s new security

bills tersebut. Pengesahan undang-undang ini memperbolehkan Jepang untuk memperluas peran militernya. Undang-undang ini disahkan meskipun terjadi beberapa bentrokan dalam parlemen.8

6CARNEGIE Endowment For International PeaceOp.Cit

7Justin McCurry, September 2015,“Japanese soldiers could fight abroad again after security bill

passed,” TheGuardian News dalam http://www.theguardian.com/world/2015/sep/18/japanese-soldiers-could-fight-abroad-again-after-security-bill-passed#. Diakses pada 05 April 2016

8Kim Min-ji, report September 19 2015, “PRIME TIME NEWS 22:00 Japan passes controversial

security bills as protests rage on,” ARIRANG TV NEWS dalam

(16)

5

Pemerintahan Shinzo Abe mengklaim pemberlakuan Japan’s New Security

Bills inimemiliki tujuan positif baik untuk di dalam maupun luar negeri. Tujuan dalam negeri yaitu untuk menjaga keamanan dan integritas Jepang, sementara tujuan luar negeri adalah untuk berkontribusi pada stabilitas keamanan dan perdamaian dunia. Kontribusi pada stabilitas keamanan dan perdamaian dunia merupakan pilar penting dari kebijakan luar negeri Jepang, dan Abe menghormati permintaan masyarakat internasional yang menginginkan Jepang untuk bisa lebih berkontribusi bagi keamanan dunia dengan mempromosikan kontribusi proaktif Jepang untuk perdamaian internasional melalui pemberlakuan Japan’s New

Security Bills. Dengan pemberlakuan Japan’s New Security Bills ini militer Jepang dapat berkontribusi salah satunya pada aktivitas peace keeping dan penyediaan dukungan logistik saat melakukan collective-defense untuk mengatasi situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional, berdasarkan resolusi PBB atau konsensus internasional lainnya.9

Amerika Serikat dan ahli keamanan barat sendiri menyambut dengan baik kebijakan baru Undang-undang keamanan Jepang yang memperbolehkan militer Jepang untuk lebih aktif berpartisipasi untuk keamanan regional, dan tentu saja dapat membantu mengawasi Cina dan militernya di Laut Cina Selatan dan mendorong Jepang untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam aliansi keamanan mereka. Ahli kajian strategi Asia, Keith Henry menganalogikan Jepang sebagai "anak berusia 42 tahun yang masih tinggal di ruang bawah tanah Amerika Serikat," dan mengatakan bahwa dengan mengadopsi undang-undang keamanan

9 Akiyama, Masahiro, August 08 2015, “The Objectives of Japan’s New Security Legislation,”

(17)

6

yang baru membuat Jepang akhirnya “tumbuh”dan bergerak di luar konsep

perdamaian dan demokrasi yang tidak lagi dipraktikan karena hasil yang diberikan perubahan cepat pada lanskap geopolitik saat ini. "Namun, anak-anak berusia 42 tahun cenderung tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik di "dunia nyata. " Jepang akan mengalami kesulitan memenuhi tanggung jawab baru yang dibawa oleh postur keamanan proaktif baru.

Disisi lain reinterpretasi undang-undang keamanan Jepang menimbulkan berbagai reaksi dari wilayah regional yaitu Korea Selatan dan Cina. Cina dengan terang-terangan menyebut gagasan reinterpretasi undang-undang keamanan Jepang sebagai sebuah skenario mimpi buruk dan noda gelap untuk Jepang.10

Sebagaimana yang disampaikan oleh juru bicara Kementrian Luar Negeri Cina Hua Chunying,

“Due to historical reasons, Japan’s moves in the military and security field

are closely watched by its Asian neighbors and the international community. The

approval of the new security bills by Japan’s House of Representatives is an

unprecedented move since the Second World War, and may lead to significant

changes in Japan’s military and security policies. It is fully justified to ask if

Japan is going to give up its exclusively defense-oriented policy or change the path of peaceful development that has been long pursued after the Second World War. We notice that there is also strong objection to the new security bills within Japan. This year marks the 70th anniversary of the victory of the Chinese

People’s War of Resistance Against Japanese Aggression and the World Anti-Fascist War. At such a moment when people around the world memorize history and hope for peace, we solemnly urge the Japanese side to draw hard lessons from history, stick to the path of peaceful development, respect the major security

10 Shannon Tiezzi, July 17 2015, “Cina: Japan Security Legislation a 'Nightmare Scenario',” The

(18)

7

concerns of its Asian neighbors, and refrain from jeopardizing Cina’s sovereignty

and security interests or crippling regional peace and stability.”11

Sejalan dengan Cina, Korea Selatan juga memiliki respon yang negatif terhadap pemberlakuan Japan’s new security bills. Pemerintah Korea Selatan merespon dengan cepat pemberlakuan Japan’s new security bills pada 19 September 2015, menekankan bahwa pemerintah Korea Selatan tidak akan mentolelir berbagai macam tindakan militer oleh Jepang di Semenanjung Korea tanpa persetujuan pemerintah Korea Selatan.

Respon diberikan oleh Perdana Menteri Korea Selatan Hwang Kyo-ahn yang mengatakan pasukan pertahanan diri Jepang hanya bisa maju atau memasuki semenanjung Korea setelah berkonsultasi dengan pemerintah Korea.

“Japan′s selfdefense forces will be able to enter the Korean Peninsula in

consultation with the Korean government.”

Perdana Menteri Korea Selatan Hwang Kyo-ahn saat sesi interpelasi pada hari Rabu 14 Oktober 2015 mengatakan militer Jepang bisa maju ke semenanjung Korea setelah berkonsultasi dengan pemerintah dalam kasus situasi tak terelakkan dan dalam batas-batas yang diperlukan.Hwang juga menekankan, bagaimanapun, sikap prinsip Korea Selatan adalah bahwa militer Jepang tidak diizinkan untuk memasuki semenanjung tanpa persetujuan pemerintah, serta tidak ada militer

11Cina Foreign Ministry Spokesperson Hua Chunying, July 2015, “Remarks on Japan's House of

Representatives Approving New Security Bills,”Ministry of Foreign Affairs of The People’s

Republic of Cina dalam

(19)

8

asing manapun bisa datang ke wilayah Korea tanpa izin pemerintah Korea Selatan.12

Dengan latar belakang hubungan bilateral Korea Selatan dan Jepang pasca pembentukan hubungan diplomatik tahun 1965 serta deklarasi tahun 1998 yang terus diperbaiki dan dijaga keharmornisannya, serta tujuan pemberlakuan Japan’s

New Security Bills yang memiliki dampak positif untuk keamanan dunia, memunculkan pertanyaan mengapa Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security Bills.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang terbentuk adalah “Mengapa Korea Selatan Merespon Negatif Japan’s New Security Bills?”

C. Kerangka Dasar Pemikiran

Untuk menganalisa permasalahan, penelitian ini membutuhkan sebuah

konsep dan teori. Mohtar Mas’oed menyatakan bahwa konsep merupakan

abstraksi yang mewakili suatu obyek, sifat suatu obyek, atau suatu fenomena

tertentu. Mohtar Mas’oed menyimpulkan bahwa suatu konsep sebenarnya adalah

sebuah kata yang melambangkan suatu gagasan serta dalam ilmu sosial konsep menunjuk pada sifat-sifat dari obyek yang dipelajarinya misalnya, orang, kelompok, negara, atau organisasi internasional yang relevan bagi studi

12Coonie Kim, report October 14 2015, “Japan′s selfdefense forces will be permitted to enter

Korean peninsula under consultation”ARIRANG TV NEWS dalam

(20)

9

tertentu.13Selanjutnya, teori menurut Mohtar Mas’oed bukanlah sebuah dugaan.

Teori adalah suatu bentuk pernyataan yang menjawab pertanyaan “mengapa.”

Artinya berteori adalah upaya memberi makna pada fenomena yang terjadi. Selain itu sebagai sarana eksplanasi, teori adalah yang paling efektif untuk digunakan, teori juga membantu dalam mengorganisasikan dan menata fakta yang diteliti. Untuk menganalisa permasalahan berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, penulis akan menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.

Konsep Kepentingan Nasional

Menjadi sebuah konsep yang penting dalam hubungan internasional, konsep kepentingan nasional memiliki banyak keterkaitan penting dengan kebijakan luar negeri. Menurut Reynolds,14

“Foreign policy consist of a range of actions taken by varying sections of

the government of a state. The actions are taken with reference to other bodies acting on the international stage, of which the most important are other states, but which include, as we have seen, international, supranational, and transnational

groups, and occasionally also individuals.”

Selanjutnya Reynolds menyatakan bahwa kepentingan nasional adalah basis dari pembentukan kebijakan luar negeri. Berbagai kebijakan luar negeri ini diambil dengan memiliki tujuan. Lebih jauh Reynolds mengelaborasi bahwa tingkah laku negara dalam lingkungan internasional seharusnya merupakan

13Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, 1990, Yogyakarta :

LP3ES, hal.93-94

14 Rumki Basu, International Politics : Concepts, Theories and Issues, 2012, India : SAGE

(21)

10

tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan tujuan-tujuan tersebut biasanya merupakan cerminan dari konsep kepentingan nasional.15

Dalam buku Mohtar Mas’oed yang berjudul Ilmu Hubungan Internasional ; Disiplin dan Metodologi, disebutkan bahwa konsep kepentingan nasional adalah konsep dasar untuk menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara. Buku ini juga menjelaskan pemikiran Hans J. Morgenthau mengenai pandangannya terhadap konsep kepentingan nasional. Menurut salah satu tokoh

realist ini kepentingan nasional harus menjadi dasar dalam strategi diplomasi untuk mencapai suatu tujuan negara, bukan pada alasan-alasan moral, legal dan ideologi yang dianggapnya utopis dan bahkan berbahaya. 16

Selanjutnya, Konsep kepentingan nasional oleh Jack C. Plano dan Roy Olton diberi batasan sebagai berikut:

“Tujuan mendasar serta faktor paling menentukan yang memandu para pembuat keputusan (Decision Making) dalam merumuskan politik luar negeri. Kepentingan nasional merupakan konsepsi yang sangat umum dan merupakan unsur yang menjadi kebutuhan yang sangat vital bagi Negara untuk mencakup kelangsungan hidup bangsa dan Negara, kemerdekaan, kemandirian, keutuhan wilayah,

keamanan militer dan kesejahteraan ekonomi”.17

Adapun elemen-elemen dari kepentingan nasional menurut Jack C. Plano dan Roy Olton mencakup pertahanan diri (self preservation), Kemandirian (Independence), integritas teritorial (territorial integrity), kemanan militer, dan kemakmuran ekonomi (economic wellbeing).

15Ibid, Hal. 57

16 Mohtar Mas’oed, Op. Cit. Hal. 139-141

17Jack C. Plano dan Roy Olton, (1969). International Relations Dictionary USA: Rinehart and

(22)

11

Dalam kasus Korea Selatan yang merespon negatif pemberlakuan Japan’s

New Security Bills, dapat dipastikan keputusan tersebut dipengaruhi oleh adanya kepentingan nasional Korea Selatan. Kepentingan nasional yang ingin dilindungi pemerintah Korea Selatan adalah kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer, hingga kesejahteraan ekonomi. Dengan kondisi politik domestik Korea Selatan yang kurang stabil pada masa pemerintahan Presiden Park Geun-Hye karena banyaknya skandal politik yang terjadi, mejadikan Korea Selatan khawatir instabilitas tersebut berdampak pada stabilitas negara Korea Selatan secara umum. Serta Korea Selatan masih memiliki trauma mendalam terhadap imperialisme Jepang, pemerintah Korea Selatan berusaha untuk selalu melindungi kemerdekaan yang telah diraih serta keutuhan wilayah, keamanan militer, hingga kesejahteraan ekonominya. Kepentingan nasional tersebut secara otomatis mempengaruhi proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri dalam isu Japan’s New Security

Bills.

Teori Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri

Dalam bukunya yang berjudul Introductions to International Politics, William D. Coplin mengatakan bahwa suatu negara pasti akan memutuskan kebijakan luar negerinya berdasarkan dengan apa yang menjadi kepentingan nasional negara tersebut. Terdapat beberapa aspek yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum suatu negara mengambil keputusan terhadap suatu isu.18 Dalam bukunya William D. Coplin menggunakan analisa pendekatan rasionalitas.

18 William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis [Introduction to

(23)

12

Pendekatan rasionalitas menekankan bahwa suatu negara adalah aktor untuk mencapai suatu kepentingan atau tujuan nasional. Untuk mencapai tujuan nasional itu negara harus mengkalkulasikan secara rasional setiap aspek dalam kancah politik global. Pada pendekatan ini, politik luar negeri yang dilakukan oleh sebuah negara merupakan respon terhadap apa yang dilakukan oleh negara lain. Pendekatan ini mencoba untuk menganalisa setiap respon apa saja yang akan dilakukan suatu negara sebagai bentuk dari perhitungan yang rasional.19 Menurut

Coplin setiap kebijakan luar negeri yang diberikan dapat dilihat sebagai hasil dari tiga kategori pertimbangan yang mempengaruhi kebijakan luar negri negara (negara pengambil keputusan). Yang pertama adalah politik dalam negeri dalam kebijakan negara- negara pengambil keputusan. Yang kedua adalah kemampuan ekonomi dan militer negara. Yang ketiga adalah konteks internasional, posisi tertentu di mana suatu negara menemukan jati dirinya khususnya mengenai hubungannya dengan negara lain dalam suatu sistem.

Tiga kategori pertimbangan yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara20 :

1. Situasi politik domestik, bahwa politik dalam negeri hanyalah seperangkat determinan yang bekerja dalam politik luar negeri negara-negara. Walaupun keterbukaan suatu sistem politik atau tingkat stabilitas dalam negeri yang dialami oleh sistem itu bisa membentuk aspek-aspek politik luar negeri tertentu.

19Ibid.

(24)

13

2. Situasi ekonomi dan militer, bahwa suatu negara harus memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk menopang politik luar negerinya. Termasuk faktor geografis yang selalu mendasari pertimbangan pertahanan dan keamanan. 3. Konteks Internasional, bahwa ada tiga elemen penting dalam membahas

dampak konteks internasional terhadap politik luar negeri suatu negara, yaitu geografis, ekonomis, dan politis. Lingkungan internasional setiap negara terdiri atas lokasi yang ditempatinya dalam kaitannya dengan negara-negara lain dalam suatu sistem, dan juga hubungan-hubungan ekonomi dan politik antara suatu negara dengan negara-negara lainnya.

Berikut penggambaran tiga kategori pertimbangan yang mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.

Bagan 1. Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri Menurut William D. Coplin21

21Ibid.

Domestic Politic

Decision Maker

Economic and Military Capability

Foreign Policy Action

International Context ( A Product of action by all other states, past, present and future possible or

(25)

14

Bagan diatas menggambarkan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara dapat dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri, khususnya politik dalam negeri. Kondisi politik domestik bisa hanya dipahami sebagai sistem pemerintahan yang diadopsi oleh negara bersangkutan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan kebijakan luar negeri adalah kemampuan ekonomi dan militer. Panjang perdebatan tentang mana yang lebih penting antara kemampuan ekonomi dan militer negara membuat kedua faktor berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Akhirnya, Coplin menyebutkan konteks internasional sebagai faktor ketiga yang harus dipertimbangkan oleh pelaku dan pengambil keputusan kebijakan luar negeri.22

Dalam permasalahan Korea Selatan yang merespon negatif Japan’s New

Security Bills, hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi politik domestik Korea Selatan yang mengalami instabilitas dalam hal demokrasi. Demokrasi menjadi tantangan terbesar Korea Selatan pada tahun 2015, sejak pemerintahan Park Geun-Hye yang dimulai pada Februari 2013 tingkat demokrasi politik memerlukan perhatian khusus dan dapat dikatakan bahwa demokrasi liberal Korea Selatan berada dibawah ancaman. Serangkaian skandal politik telah menimbulkan keraguan atas mandat demokratis Partai Saenuri dan kepresidenan Park Geun-Hye, seperti dugaan intervensi Badan Intelijen Nasional dalam pemilihan presiden 2012 dalam mendukung Park Geun-Hye. Sudah bukan rahasia di Korea Selatan bahwa pemerintah konservatif telah menggunakan masalah keamanan untuk tujuan politik dalam negeri. Ditambah beberapa prasangka tentang administrasi Park Geun-Hye menyalahgunakan agenda keamanan untuk menyamarkan kinerja

(26)

15

politik yang buruk. Dari awal masa jabatannya, banyak calon untuk posisi kunci pemerintah - termasuk perdana menteri - belum melewati proses dengar pendapat parlemen atau harus berhenti dari jabatan karena tersandung skandal seks maupun politik. Selain itu daftar tugas diplomatik termasuk hubungan yang lamban atau memburuk dengan Kim Jong-un (Korea Utara), hubungan memburuk dengan Shinzo Abe (Jepang) dan menghadapi dilema dinamika Cina-AS.23

Selanjutnya melihat ke faktor kondisi ekonomi dan militer, Korea Selatan merupakan negara dengan Ekonomi terbesar peringkat ke-13 di Dunia dengan PDB yang relatif tinggi per kapita. Memiliki ekonomi yang kuat, diversifikasi dan memiliki industri dan basis manufaktur yang sangat kompetitif secara internasional. Tetapi, pada akhir 2014 Korea Selatan menghadapi perlambatan ekonomi, populasi yang menua, memburuknya ketimpangan sosial-ekonomi, meningkatnya pengangguran kaum muda, banyaknya utang rumah tangga dan kemerosotan pasar real-estate.24

Serta dari segi militer berdasarkan analisa Global Firepower (GFP) kekuatan militer Korea Selatan masih lebih rendah dibandingkan dengan kekuatan militer Jepang, sehingga Korea Selatan mengkhawatirkan segala bentuk

collective-defense militer Jepang yang berpotensi dilakukan di wilayah semenanjung Korea. Dari konteks internasional, Korea Selatan pernah menjadi objek imperialisme Jepang dari tahun 1910 hingga tahun 1945 yang mengakibatkan trauma mendalam bagi Korea Selatan. Imperialisme Jepang di

23 Kim Keesok, January 14 2015, “Democracy is the biggest challenge for South Korea in 2015,”

East Asia Forum dalam http://www.eastasiaforum.org/2015/01/14/democracy-is-the-biggest-challenge-for-south-korea-in-2015/ Diakses pada 20 Novemnber 2016

24Alexandra Dumitru, March 18 2016, “Korea Still Going Strong,”RaboResearch Global

(27)

16

Korea Selatan berbuntut pada klaim wilayah yang dilakukan kedua negara. Saat ini Korea selatan dan Jepang masih memiliki isu perebutanklaim atas pulau yang disebut Takeshima di Jepang dan Dokdo di Korea Selatan. Pertengkaran mungkin tampak kecil, terutama yang melibatkan kontrol perairan nelayan, tetapi hal tersebut berpengaruh besar terhadap hubungan bilateral Korea Selatan dan Jepang.

Untuk lebih memudahkan dalam memahami pengaplikasian konsep diatas, penulis membuat bagan ilustrasi aplikasi proses pengambilan keputusan luar negeri Korea Selatan terhadap isu Japan’s New Security Bills, sebagai berikut.

Bagan II. Ilustrasi Aplikasi Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan Luar Negeri Korea Selatan Terhadap Isu Japan’s New Security Bills

(28)

17 D. Hipotesa

Dengan mengaitkan pokok permasalahan yakni pertanyaan mengenai mengapa Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security

Bills dengan dasar pemikiran diatas. Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New Security Bills Karena Korea Selatan mengalami instabilitas politik domestik terutama dalam hal demokrasi. Ketidakstabilan politik ini menimbulkan kekhawatiran terhadap pemberlakuan Japan’s New

Security Bills akan mempengaruhi National Security Korea Selatan. Serta akan mengakibatkan Jepang melakukan intervensi dan bersikap agresif pada setiap konflik di wilayah regional Asia Timur, termasuk didalmnya berpengaruh terhadap perebutan klaim pulau Takeshima/Dokdo oleh Jepang.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan atau faktor-faktor dominan yang mendorong Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s

New Security Bills. Disamping itu dengan penelitian ini penulis mengharapkan agar masyarakat internasional khususnya di wilayah Asia untuk lebih memperhatikan isu keamanan di Asia, sehingga nantinya masyarakat internasional khususnya di wilayah Asia akan lebih termotivasi untuk lebih berkontribusi pada perdamaian dan keamanan dunia.

F. Jangkauan Penelitian

(29)

18

dipengaruhi kondisi politik domestik, kemampuan ekonomi dan militer Korea Selatan hingga konteks internasional yang mempengaruhi perilaku Korea Selatan dalam memutuskan kebijakan luar negerinya yang akan dijelaskan melalui dinamika militer Jepang dan isu Japan’s New Security Bills, kondisi politik Korea Selatan yang dilengkapi hubungan bilateral Korea Selatan dan Jepang yang dipengaruhi sejarah masa lalu yaitu imperialisme Jepang di Semenanjung Korea, hingga respon Korea Selatan terhadap isu tersebut. Adapaun batasan waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dimulai dari sejak munculnya isu Japan’s

New Security Bills pada tahun 2014, kemudian kemunculan berbagai respon dari Korea Selatan hingga awal tahun 2016.

G. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode ekplanatif yang bertujuan untuk menjelaskan alasan Korea Selatan merespon negatif pemberlakuan Japan’s New

Security Bills. Metode ini merupakan pencarian fakta dengan tujuan membuat gambaran yang sistematis, aktual dan akurat dalam meneliti fenomena yang terjadi.

b. Sumber Data

Penulis mengambil sumber penelitian dari data sekunder. Data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari buku, jurnal, artikel, berita, dan website resmi.

c. Teknik Pengumpulan Data

(30)

19

literatur baik berupa buku, jurnal, dokumen, artikel, dan makalah. Selain itu penulis mengumpulkan data dari berbagai website resmi, dan berita yang berkaitan dengan isu yang diteliti.

d. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisa data, data-data sekunder yang penulis dapat digabungkan secara sistematis dan logis sesuai kebutuhan isu yang diteliti. Teknik analisa data yang penulis gunakan bersifat kualitatif, di mana data yang penulis dapatkan bukan berbentuk angka, melainkan melalui faktor-faktor yang relevan dengan topik penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari, Bab I yang berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka dasar pemikiran, hipotesa, tujuan penelitian, jangkauan penelitian, metode penilitian, dan sistematika penulisan. Kemudian Bab II, berisi penjelasan mengenai dinamika militer Jepang termasuk mengenai perubahaan struktur militer Jepang. Kemudian kebijakan Japan’s New

Security Bills, dimulai dari proses pengajuan hingga pengesahan di parlemen, faktor pendorong diberlakukannya Japan’s New Security Bills hingga respon nasional mengenai pemberlakuan Undang-undang ini.

(31)

20

Bab IV berisi penjelasan mengenai bentuk respon yang diberikan pemerintah Korea Selatan dan hal-hal yang menjadi alasan Korea Selatan merespon negatif Japan’s New Security Bills seperti kondisi politik domestik Korea Selatan yang mengalami instabilitas politik dalam hal demokrasi akibat banyaknya skandal politik dalam pemerintahan Presiden Park Geun-Hye. Kemampuan eknomi dan militer Korea Selatan yang masih dibawah Jepang. Serta masih terdapat national insecurity akibat trauma mendalam terhadap sejarah masa lalu imperialisme Jepang di semenanjung Korea, juga pengaruh Japan’s New

Security Bills pada persengketaan Pulau Dokdo/Takeshima.

(32)

21

BAB II

DINAMIKA MILITER JEPANG DAN JAPAN’S NEW

SECURITY BILLS

Militerisme Jepang atau Nihon gunkoku shugi memiliki arti yang merujuk pada ideologi dalam kekaisaran di Jepang, bahwa militerisme harus mendominasi kehidupan sosial dan politik negara. Serta berarti kekuatan militer setara dengan kekuatan sebuah negara. Berdasarkan ideologi tersebut, dapat dikatakan bahwa Jepang memiliki keterkaitan yang kuat dengan militerisme. Dalam bab ini penulis akan membahas sejarah militer Jepang, berikut dengan perubahan struktur militer Jepang hingga kebijakan Japan’s New Security Bills yang merupakan sebuah kebijakan kontroversial yang dibuat pada masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe.

A. Sejarah Militer Jepang

Jepang adalah salah satu negara di dunia yang mengalami perubahan drastis pada sistem pertahanan dan keamanan negaranya. Sejak masa sebelum Perang Dunia II, Jepang merupakan negara ekspansionis yang sering bersikap agresif dalam melakukan berbagai interaksi dengan negara-negara lain di dunia. Jepang sangat berupaya untuk mewujudkan mimpinya sebagai negara pemimpin Asia.1

1Vicki Puspita Wijaya, 2006, “Pengembangan Kekuatan Militer Jepang Ditengah Peningkatan

Kekuatan Militer Negara-Negara Asia Pasifik” Skripsi S1, Universitas Muhammadiyah

(33)

22

Ketika Jepang memasuki masa Restorasi Meiji, restorasi tersebut berdampak salah satunya pada militerisme Jepang. Pada masa pemerintahan Meiji, militer memiliki pengaruh yang kuat pada masyarakat Jepang. Hampir semua pemimpin di masyarakat Jepang selama periode Meiji (baik dalam militer, politik, atau bisnis) adalah mantan samurai atau keturunan samurai, dan mereka saling berbagi seperangkat nilai-nilai dan pandangan. Awal pemerintahan Meiji memandang Jepang sebagai sebuah negara yang terancam oleh imperialisme Barat, dan salah satu motivasi utama dalam melaksanakan kebijakan Fukoku Kyohei dalam pemerintahan Meiji adalah untuk memperkuat pondasi ekonomi dan industri Jepang, sehingga militer yang kuat dapat dibangun untuk membela Jepang dalam melawan kekuatan luar. Selain memperhatikan kekuatan-kekuatan dari luar yang berpotensi mengancam Jepang, pemerintahan Meiji juga memperhatikan isu-isu domestik yang mengancam keamanan Jepang. Isu-isu domestik seperti ancaman dari berbagai pemberontak internal, misalnya Pemberontakan Saga, Pemberontakan Satsuma, dan berbagai pemberontakan lain seperti pemberontakan petani pedesaan membuat Jepang membutuhkan kekuatan militer yang kuat.2

Dalam masa pemerintahan Meiji pun muncul wajib militer universal, diperkenalkan oleh Yamagata Aritomo pada tahun 1873, bersamaan dengan proklamasi reskrip Imperial terhadap Angkatan Darat dan Laut pada tahun 1882 yang memungkinkan militer untuk mengindoktrinasi ribuan orang dari berbagai latar belakang sosial dengan nilai-nilai militer-patriotik dan konsep kesetiaan yang tanpa ada pertanyaan maupun keraguan kepada Kaisar sebagai dasar negara

2Bern Martin, (1995), “Japan and Germany in the Modern World,” Berghahn Books, New York,

(34)

23

Jepang (Kokutai). Yamagata seperti kebanyakan orang Jepang sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mencolok Prussia (Kerajaan Jerman dimasa lalu) pada masa itu dalam mengubah dirinya dari sebuah negara pertanian untuk menjadi negara dengan kekuatan industri dan militer terkemuka dan modern. Ia menerima ide-ide politik Prusia, yang mendukung ekspansi militer luar negeri dan pemerintah otoriter di suatu negara. Model Prussia juga mendevaluasi gagasan kontrol sipil atas militer independen, yang berarti bahwa di Jepang, seperti di Jerman, militer bisa berkembang menjadi negara di dalam negara, sehingga mereka mempraktikan pengaruh yang lebih besar pada politik secara umum.3

Merupakan hal umum untuk menggambarkan masyarakat Jepang pada masa sebelum Perang Dunia II sebagai masyarakat yang militeristik. Sebuah kisah sejarah konvensional berjalan sebagai berikut; untuk bersaing dengan kekuatan Barat, pemerintah baru didirikan melalui Restorasi Meiji membangun tentara modern, memperkenalkan wajib militer universal, dan menuntut ketaatan secara total rakyatnya kepada negara. Militerisme di Jepang mencapai puncaknya pada era Total perang, dari akhir 1930-an, tetapi berakhir ketika pendudukan Amerika Serikat yang diikuti kekalahan dalam perang. Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II setelah dua buah bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Nagasaki dan Hirosima, sebuah tragedi yang memaksa Jepang untuk menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Kemudian, Jepang mulai pindah pada jalur demokrasi.4

3Ibid, hal. 31

4 Stewart Lone, (2010), “The Journal of Asian Studies : Provincial Life and the Military in

(35)

24

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II berdampak signifikan baik secara materi maupun psikologis. Dari segi materi, jelas bahwa kekalahan dalam Perang Dunia II telah membawa kerugian besar. Jepang harus membayar dan mengganti rugi berbagai kerusakan yang diakibatkan oleh perang, serta Jepang harus memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat perang, sehingga kebangkrutan mengancam ekonomi Jepang. Sementara dari sisi psikologis, kekalahan Jepang pada Perang Dunia II mengakibatkan trauma yang mendalam pada kengerian perang itu sendiri. Hal itu juga telah membawa negara Jepang kepada suatu kesadaran sekaligus pengakuan terhadap sebuah kegagalan sikap dan pandangan masa lalu yang terlalu berorientasi pada pembangunan dan pemanfaatan kekuatan militer semata. Jepang mengalami kehancuran total dalam Perang Dunia II, kehancuran tersebut menjadi bibit dari sikap anti-militer sebagian besar masyarakat Jepang.

(36)

25

konstitusi tahun 1947 yang salah satu peraturannya Jepang dibatasi dalam hal kepemilikan dan pengembangan kekuatan militer.5

B. Perubahan Struktur Militer Jepang

Dua minggu setelah perang pasifik berakhir, Jepang diduduki oleh pasukan sekutu dibawah Supreme Commander for The Allied Powers (SCAP) yang di kepalai Douglas MacArthur. Lebih dari 430.000 tentara ditempatkan di Jepang pada akhir tahun 1945. Semuanya di bawah kendali SCAP, semua publikasi dikenakan penyensoran ketat, dan percakapan telepon dari tokoh-tokoh kunci yang dianggap membahayakan pendudukan Amerika Serikat bahkan disadap. SCAP membangun pondasi pasca perang Jepang, dipandu oleh dua tujuan kebijakan pokok yaitu demiliterisasi dan demokratisasi. Kegiatan utama SCAP ini diselesaikan sekitar perlucutan senjata mesin perang Jepang, pembersihan politik, pembubaran zaibatsu, reformasi agricultur, dan yang paling penting, penyusunan dan pengumuman dari konstitusi baru, yang berlaku efektif pada tanggal 3 Mei 1947.6

Dengan mengacu pada kebijakan pertahanan, salah satu klausul yang paling signifikan dalam konstitusi baru tersebut, yaitu pasal sembilan yang berbunyi:

“Aspiring Sincerely to an international peace based on justice and order, the

Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the

threat or use of force as means of settling international disputes. In order to

accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well

5Vicki Puspita Wijaya,Loc.Cit.

6Inoguchi Takashi dan Purnendra Jain, (2000), Japanese Foreign Policy Today, PALGRAVETM,

(37)

26

as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the

state will not be recognized.”7

Pasal diatas berarti bahwa Jepang selamanya bercita-cita tulus untuk perdamaian internasional berdasarkan keadilan dan ketertiban, rakyat Jepang selamanya meninggalkan perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan pengancaman atau penggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perselisihan internasional. Untuk mencapai tujuan paragraf di atas, angkatan darat, laut, dan udara, serta potensi perang lainnya, tidak akan dikelola. Serta hak negara untuk menyatakan perang tidak akan diakui.

Pasal sembilan pada saat itu di interpretasi oleh pemerintah Jepang sebagai aturan bahwa Jepang tidak memiliki hak untuk melakukan collective self-defense. Ketentuan dalam konstitusi Jepang ini nantinya yang mendasari kontroversi kebijakan Japan’s New Security Bills. Konstitusi Pasifis yang memiliki dua paragraf ini ditafsirkan oleh pemerintah Jepang bahwa Jepang tidak dapat secara legal memiliki berbagai jenis kemampuan militer. Selain itu, partisipasi dalam perang baik secara defensif ataupun agresif tidak diperbolehkan. Pemerintah konservatif telah menafsirkan pasal yang berarti bahwa perang agresif dan perlengkapan persenjataan untuk tujuan perang tidak diperbolehkan, namun Jepang tetap memiliki hak untuk melaksanakan pelatihan kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan keberadaan negaranya. Sesuatu yang dianggap

(38)

27

sebagai "Potensi Perang" adalah setiap kemampuan militer yang melebihi ukuran minimum yang diperlukan untuk pertahanan diri.8

Dengan pemerintah konservatif membentuk sebagian besar dari pemerintahan pasca perang, interpretasi mereka mendominasi diskusi keamanan Jepang. Meskipun perdebatan awal atas penciptaan dan peran Cadangan Perdamaian Nasional selama Perang Korea, pada tahun 1954 Jepang mendirikan

Self-Defense Force (SDF) untuk tujuan pertahanan diri. Untuk itu, pemerintah menetapkan tiga kondisi di mana Self-Defense Force ini dapat berlaku, yaitu; 1) ketika Jepang sedang menghadapi keadaan darurat dan agresi yang ilegal; 2) tidak ada cara lain untuk melawan ancaman tersebut; dan 3) ketika penggunaan kekuatan untuk membela diri terbatas pada tingkat minimum yang diperlukan.

Pemerintah Jepang menganggap bahwa Individual Self-Defense tidak dianggap bermasalah, tetapi menganggap bermasalah Collective Self-Defense. Jepang mengakui bahwa, sebagai anggota PBB, ia memiliki hak untuk melakukan

Collective Self-Defense, namun pemerintah Jepang secara berturut-turut telah mentafsirkan Pasal sembilan sebagai halangan pelaksanaan hak untuk melakukan

Collective Self-Defense. Dengan demikian, ini berarti Jepang tidak pernah dalam posisi untuk membela sekutunya yaitu Amerika Serikat dari serangan, dan sebaliknya Amerika Serikat menjanjikan pertahanan Jepang.9

Semasa Perang Dingin, mulai timbul keinginan dari pasukan pendudukan Amerika Serikat agar Jepang dapat mengambil peran militer yang lebih aktif

8Sayuri Umeda, 2015, “Japan: Interpretations of Article 9 of the Constitution” Library Of

Congress dalam https://www.loc.gov/law/help/japan-constitution/interpretations-article9.php#National. Diakses pada 23 November 2016

(39)

28

dalam perjuangan melawan komunisme. Menyusul pecahnya Perang Korea pada tahun 1950, Divisi Infanteri ke-24 Amerika Serikat ditarik keluar Jepang dan dikirimkan bertempur di garis depan Korea, sehingga menyebabkan Jepang tidak memiliki perlindungan bersenjata.

MacArthur kemudian memerintahkan pembentukan Polisi Cadangan Nasional (Keisatsu Yobitai, National Police Reserve) berkekuatan 75.000 orang untuk menjaga ketertiban umum di Jepang dan menangkal setiap peluang serangan dari luar. Pembentukannya dilakukan di bawah pimpinan Kolonel Frank Kowalski dari Angkatan Darat Amerika Serikat (belakangan ia menjadi anggota Kongres AS) dengan menggunakan surplus peralatan Angkatan Darat. Untuk menghindari kemungkinan pelanggaran konstitusional, barang-barang militer diberi nama sipil: tank, misalnya, diberi nama "kendaraan khusus".Shigesaburo Suzuki, seorang pemimpin Partai Sosialis Jepang (JSP), mengajukan tuntutan di Mahkamah Agung Jepang untuk menyatakan pembentukan Polisi Cadangan Nasional sebagai tindakan yang inkonstitusional, namun kasusnya ditolak oleh majelis besar karena dianggap kurang relevan.

(40)

29

Menteri Shinzo Abe menandai ulang tahun ke-60 Konstitusi Jepang pada tahun 2007 dengan seruannya untuk melakuan peninjauan kembali secara berani terhadap dokumen tersebut, sehingga dapat mengizinkan negara untuk mengambil peran yang lebih besar dalam keamanan global serta membangkitkan kembali kebanggaan nasional.10

C. Japan’s New Security Bills

Dinamika militer Jepang terus bergerak, dari keadaan masyarakat Jepang yang militeristik pada masa sebelum Perang Dunia II, hingga Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II dan memaksa Jepang untuk akhirnya memberlakukan konstitusi tahun 1947 pasal sembilan yang dibentuk Amerika Serikat. Belakangan di tahun 2015, Jepang kembali mengangkat isu militerisme dengan pemerintahan Shinzo Abe yang mereinterpretasi pasal sembilan dalam konstitusi tahun 1947.

Menanggapi peningkatan kekuatan militer Cina, pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe meningkatkan dan menyusun ulang anggaran pertahanan. Selanjutnya, dalam rangka untuk memperkuat aliansi dengan Amerika Serikat, pemerintah menyetujui pembentukan Dewan Keamanan Nasional dengan gaya Amerika Serikat, meluluskan undang-undang keamanan yang baru yang bertujuan untuk mencabut larangan yang dikenakan Jepang pada melaksanakan

hak collective self-defense. Di bawah bendera "pasifisme proaktif", kabinet Abe merebut momentum yang disebabkan oleh dinamika kekuatan regional yang

10The Assosiated Press, May 2007, “Abe calls for a 'bold review' of Japanese Constitution,”

International Herald Tribune dalam

(41)

30

berubah untuk lebih dekat ke arah "melepaskan diri dari rezim pasca perang". Sebuah usulan revisi konstitusi Jepang, yang tidak berubah sejak tahun 1947, melambangkan tujuan Partai Liberal Demokrat yang berkuasa untuk membawa peran yang lebih otonom untuk Jepang baik dalam aliansi keamanan dengan Amerika Serikat maupun sebagai sebagai aktor internasional.11

Pemerintahan Shinzo Abe, dalam keputusan Kabinet yang dibuat pada hari yang juga bertepatan dengan 60 tahun berdirinya Angkatan Self Defense Forces

merubah interpretasi lama pemerintah terhadap Konstitusi 1947 sehingga Jepang dapat menggunakan hak Collective Self-Defense. Collective Self-Defense sendiri merupakan hak kolektif membela diri yang diabadikan dalam Pasal 51 UUD 1945 Piagam PBB. Hal ini mengacu pada hak semua negara PBB untuk menggunakan kekuatan militer untuk membela negara anggota lainnya dari serangan. Ini telah memberikan dasar untuk semua operasi militer PBB resmi, dari Perang Korea dan seterusnya.12

Keputusan Kabinet, menunggu perubahan yang berkaitan dengan hukum yang relevan, membuka jalan bagi Self Defense Forces untuk menggunakan kekuatan di luar negeri untuk membela sekutu Jepang bahkan jika Jepang sendiri tidak dalam posisi diserang. Dengan kata lain, hal itu memungkinkan Jepang untuk mengambil bagian dalam konflik di luar negeri, dan berpotensi menempatkan anggota Self Defense Forces dalam bahaya.

11Bruce Klingner, “Japanese Defense Reform Supports Allied Security Objectives” Alliances

dalam http://www.heritage.org/research/reports/2016/01/japanese-defense-reform-supports-allied-security-objectives. Diakses pada 4 Desember 2016

12Sasakawa Peace Foundation, Oktober 2015, “Collective Self-Defense” Sasakawa USA dalam

(42)

31

Reinterpretasi pemerintahan Abe terhadap konstitusi tersebut juga tidak mengesampingkan partisipasi Jepang dalam operasi collective self-defense yang dipimpin PBB, yang terutama ditujukan untuk negara-negara yang melanggar perdamaian internasional. Hal tersebut menunjukkan adanya konsep menghukum, konsep yang berbeda dari pertahanan diri. Ini bertentangan dengan apa yang Perdana Menteri Shinzo Abe nyatakan pada konferensi pers menyusul keputusan Kabinet Selasa: "Jepang tidak akan mengambil bagian dalam pertempuran seperti telah terjadi dalam Perang Teluk atau Perang Irak." Meninggalkan posisi

tradisional “defense-only defense” menjadi langkah pemerintah menandai

perpindahan yang jelas dari postur pertahanan dasar pasca perang Jepang.13

Pada tanggal 16 Juli 2015, majelis rendah Jepang menyetujui undang-undang keamanan yang didukung oleh Perdana Menteri Shinzo Abe, langkah menuju kodifikasi yang menjadi salah satu perubahan terbesar dalam postur keamanan Jepang sejak akhir Perang Dunia II. Terutama, undang-undang keamanan ini akan mengizinkan Pasukan Bela Diri Jepang untuk terlibat dalam

collective self-defense.14 Pada September 2015, Komite Parlemen Jepang telah mengesahkan undang-undang yang kontroversial mengenai Japan’s new security

bills tersebut. Pengesahan undang-undang ini memperbolehkan Jepang untuk memperluas peran militernya. Undang-undang ini disahkan meskipun terjadi

13Editorials, July 2014, “Abe guts Article 9” The Japan Times dalam

http://www.japantimes.co.jp/opinion/2014/07/02/editorials/abe-guts-article-9/#.WDS9yTw2u00. Diakses pada 19 November 2016

14Justin McCurry, September 2015, “Japanese soldiers could fight abroad again after security

(43)

32

beberapa bentrokan dalam parlemen.15Japan’s new security bills adalah bagian dari tujuan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk memungkinkan tentara Jepang untuk berperang di luar negeri untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia kedua. Pendukung pengesahan Undang-undang mengatakan Jepang harus mampu untuk mempertahankan diri dari ancaman potensial dari Cina dan Korea Utara, serta menjadikan Jepang seimbang baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan militernya. Hukum baru secara efektif mengurangi pembatasan konstitusional terhadap pasukan negara Jepang untuk memungkinkan mereka berpartisipasi untuk melakukan Collective Self-Defense, atau memberikan bantuan kepada sekutu terutama Amerika Serikat, bahkan ketika Jepang bukan pihak yang langsung terlibat dalam konflik maupun bukan pihak yang terancam.16

Langkah reinterpretasi Undang-undang ini adalah pergeseran terbesar dalam postur pertahanan negara Jepang sejak kekalahan perang pada Agustus 1945. Pada saat itu, lima partai oposisi, yang dipimpin oleh partai Demokrat Jepang, mengajukan serangkaian mosi tidak percaya yang ditujukan kepada perdana menteri Shinzo Abe, dan tokoh-tokoh partai Liberal Demokrat senior lainnya dalam upaya untuk menunda pemungutan suara. LDP (Liberal Democratic Party) dan sekutunya hanya menunggu waktu sebelum menggunakan suara mayoritas mereka di majelis tinggi untuk meluluskan undang-undang meskipun ribuan orang berdemonstrasi di luar gedung parlemen.17

15Kim Min-ji, report September 19 2015, “PRIME TIME NEWS 22:00 Japan passes controversial

security bills as protests rage on,” ARIRANG TV NEWS dalam

https://www.youtube.com/watch?v=qkrROONM6hc. Diakses pada 3 April 2016

16 Justin McCurry, Loc.,Cit.

(44)

33

Perdana Menteri Shinzo Abe percaya, Jepang harus lebih siap untuk menanggapi lingkungan keamanan baru dan tidak pasti yang mencakup perilaku agresif Cina baik dalam permasalahan laut Cina Selatan maupun di dekat pulau Senkaku/Diaoyu, nuklir Korea Utara dan terorisme internasional terutama semenjak dua warga negara Jepang diculik dan dibunuh oleh teroris Negara Islam (ISIS), masyarakat dengan cepat menyalahkan Abe untuk apa yang mereka lihat sebagai sebuah campur tangan yang tidak perlu dalam urusan keamanan internasional. Abe telah berjanji memberikan bantuan non-militer sebanyak $200 juta ke negara-negara yang memerangi ISIS, dan isyarat simbolis nya bertemu dengan konsekuensi konkret. Meskipun Japan Self Defense Forces akan jauh terlibat dalam misi lebih berbahaya di bawah Japan’s New Security Bills, dengan itu pihak oposisi memperingatkan bahwa Jepang dengan undang-undang keamanan yang baru bisa saja diseret kedalam konflik yang merusak di luar negeri atas perintah dari sekutu utamanya, Amerika Serikat.18

Secara umum Japan’s New Security Bills akan memberikan fleksibilitas yang lebih besar, responsif, dan interoperabilitas untuk pelatihan, latihan, dan perencanaan pada spektrum yang lebih luas dari isu-isu keamanan dengan mengurangi pembatasan pada operasi Self Defense Forces, termasuk kemampuan untuk praktik collective self-defense. Undang-undang ini akan memberdayakan Jepang untuk melindungi daerah sekitarnya dan lebih proaktif memberikan kontribusi untuk menjaga stabilitas regional.

18 Tom Le, Oktober 2015,“Japan’s Security Bills: Overpromising and Under-Delivering,” The

(45)

34

Undang-undang pertahanan baru akan memungkin tindakan-tindakan sebagai berikut :

1. Menghilangkan kendala geografis dengan menggantikan ambang situasional (situasi yang "serius mempengaruhi perdamaian dan stabilitas Jepang") daripada membatasi dukungan kepada "Situasi di Daerah Sekitar Jepang." 2. Kewenangan dukungan untuk tentara non-Amerika Serikat. Ini memungkinkan

Jepang untuk memberikan dukungan logistik yang lebih besar untuk negara-negara sahabat untuk bersama mengatasi situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional meskipun tidak kegiatan tempur sedang dilakukan. 3. Memperluas jangkauan dukungan logistik yang diijinkan, seperti pengisian bahan bakar pesawat tempur dan mengangkut amunisi untuk Amerika Serikat dan pasukan militer asing lainnya dalam operasi multinasional.

4. Memungkinkan interaksi sekutu dalam skenario abu-zona antara konflik bersenjata dan damai tindakan penegakan hukum, di mana respon cepat dan kuat diperlukan untuk mengamankan perdamaian dan keamanan Jepang bahkan ketika serangan bersenjata terhadap Jepang tidak terlibat. Sebuah contoh penting akan serbuan non-militer Cina ke wilayah perairan Jepang dan wilayah udara.

(46)

35

meskipun masing-masing penyebaran masih akan memerlukan persetujuan parlemen terlebih dahulu.

6. Menciptakan aturan yang tidak membatasi keterlibatan. Dulu pasukan SDF dihalangi dari menggunakan senjata mereka ketika menyelamatkan warga Jepang yang telah disandera di luar negeri. Tetapi aturan baru mengenai keterlibatan pasukan SDF menjadi lebih baik dan sesuai dengan U.N. standar saat ini, yang juga digunakan oleh negara-negara lain.

7. Memungkinkan SDF untuk melindungi aset militer negara-negara sahabat. SDF sekarang dapat mempertahankan aset militer, termasuk kapal perang dari Amerika Serikat dan "negara asing dalam hubungan dekat dengan Jepang" jika tiga kondisi baru terpenuhi: serangan mengancam hak konstitusional masyarakat Jepang atas kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan; tidak ada cara lain yang tersedia untuk mengusir serangan; dan penggunaan kekuatan terbatas sesuai minimum yang ditetapkan.19

Pada awal masa jabatan kedua sebagai Perdana Menteri, Shinzo Abe menugaskan sebuah kelompok untuk mempelajari implikasi dari interpretasi pasal sembilan di kontinjensi tertentu. Komisi tersebut mengeluarkan laporan pada tanggal 15 Mei, 2014. Laporan tersebut merekomendasikan, reinterpretasi konstitusi 1947 pasal sembilan yang akan memungkinkan praktik collective self-defense tanpa hambatan. Pada tanggal 1 Juli 2014, menyusul tawar-menawar antara Partai Demokrat Liberal (LDP) dan mitra koalisinya, New Komeito, pihak Partai Buddha yang memegang prinsip pandangan pasifis (perdamaian), kabinet Perdana Menteri Shinzo Abe menyetujui reinterpretasi pasal sembilan. Meskipun

(47)

36

pada dasarnya mempertahankan tiga kondisi mengenai praktik self-defense, reinterpretasi termasuk kemampuan Jepang untuk membantu negara-negara lain.

Berikut hasil reinterpretasi pasal sembilan :

“The Government has reached a conclusion that not only when an armed

attack against Japan occurs but also when an armed attack against a foreign country that is in a close relationship with Japan occurs and as a result threatens

Japan’s survival and poses a clear danger to fundamentally overturn people’s

right to life, liberty and pursuit of happiness, and when there is no other appropriate means available to repel the attack and ensure Japan’s survival and protect its people, use of force to the minimum extent necessary should be interpreted to be permitted under the Constitution as measures for self-defense in accordance with the basic logic of the Government’s view to date.”

Pemerintah telah mencapai kesimpulan bahwa tidak hanya ketika serangan bersenjata terhadap Jepang terjadi tetapi juga ketika serangan bersenjata terhadap negara asing yang ada hubungan dekat dengan Jepang terjadi dan sebagai hasilnya mengancam kelangsungan hidup Jepang dan menimbulkan bahaya yang jelas untuk secara mendasar membatalkan hak rakyat untuk hidup, kebebasan dan mengejar kebahagiaan, dan ketika tidak ada cara lain yang sesuai tersedia untuk mengusir serangan dan menjamin kelangsungan hidup Jepang dan melindungi rakyatnya, penggunaan kekuatan sejauh minimum yang diperlukan harus ditafsirkan akan diizinkan di bawah konstitusi sebagai langkah untuk pertahanan diri sesuai dengan logika dasar dari pandangan Pemerintah sampai saat ini.20

Terdapat batasan pemahaman terhadap Self Defense Forces dalam pemahaman pemerintah Jepang. Interpretasi pemerintah terhadap pasal sembilan Konstitusi 1947, mengandung dua keterbatasan aktivitas pada Self Defense Forces

(48)

37

yang dikirim ke luar negeri atau bekerja sama dengan pasukan militer asing. Salah satunya adalah dengan adanya penolakan masyarakat Jepang terhadap "penggunaan kekuatan" berdasarkan pasal sembilan. Dengan demikian, sesuai dengan pasal sembilan, Self Defense Forces tidak dapat menggunakan kekuatan. Keterbatasan lainnya adalah mengenai hak collective self-defense, di mana Jepang hanya diperbolehkan untuk mempertahankan diri.

Pemerintah telah menjelaskan bahwa "penggunaan kekuatan" berdasarkan pasal sembilan ayat 1 dalam konstitusi berarti tindakan tempur oleh sebuah organisasi yang terdiri dari orang Jepang dilakukan dengan bahan-bahan yang disediakan oleh Jepang dan merupakan bagian dari konflik bersenjata internasional. Penjelasan ini diberikan selama perdebatan legislatif dalam kaitannya dengan penggunaan senjata api dan senjata kecil oleh anggota Self Defense Forces. Masalah kemampuan Jepang untuk berpartisipasi dalam sistem pertahanan kolektif menjadi semakin penting sebagai kerjasama Jepang dengan Amerika Serikat di bidang peningkatan keamanan. Pertahanan kolektif belum dibahas ketika Konstitusi Jepang diberlakukan. Pemerintah pada awalnya mengambil pandangan bahwa bahkan hak membela diri individu akan dibatasi di bawah artikel 9. Pelaksanaan hak pertahanan kolektif karena itu keluar dari pertanyaan. Pertahanan kolektif diperdebatkan ketika Perjanjian Perdamaian dan Perjanjian kerjasama keamanan antara Amerika Serikat dan Jepang diserahkan ke parlemen untuk diratifikasi. Perjanjian Perdamaian mengakui hak Jepang dalam

(49)

38

Perjanjian Perdamaian mengakui bahwa Jepang sebagai bangsa yang berdaulat memiliki hak untuk masuk ke dalam pengaturan keamanan kolektif, dan selanjutnya, Piagam PBB mengakui bahwa semua bangsa memiliki hak yang melekat yakni Individual Self-Defense maupun Collective Self-Defense. Dalam pelaksanaan hak-hak tersebut, Jepang berkeinginan, sebagai pengaturan sementara untuk pertahanan, bahwa Amerika Serikat harus mengelola angkatan bersenjatanya sendiri dan di Jepang untuk mencegah serangan bersenjata terhadap Jepang.

Selanjutnya mengenai posisi pemerintah tentang Collective Self-Defense

yang telah berlangsung hampir 60 tahun, berubah pada tahun 2014. NSC bertindak sebagai koordinator antara Departemen Pertahanan (MOD), Departemen Luar Negeri (Deplu), dan partai yang berkuasa mengenai hal ini. Kabinet mengadopsi resolusi yang memungkinkan Self Defense Forces untuk mengambil tindakan dalam mendukung sekutu yang telah diserang musuh. Pembukaan resolusi menyatakan sebagai berikut:

“Tidak ada negara dapat menjamin perdamaian sendiri hanya dengan sendirinya,

dan masyarakat internasional juga mengharapkan Jepang untuk memainkan peran yang lebih proaktif untuk perdamaian dan stabilitas di dunia, dengan cara yang

sepadan dengan kemampuan nasional.”

Referensi

Dokumen terkait

Penulis menemukan permasalahan bahwa PT Asuransi Adira Dinamika Outlet Jambi melakukan kesalahan perhitungan PPh Pasal 21 yang disebabkan kesalahan dalam perkalian tarif

Najis yang UMUM ada 21 macam, yang apabila terkena tubuh atau pakaian untuk shalat dan thafaw dll, wajib dicuci bersih, yaitu :.. Wadi, yaitu cairan kental yang keluar dari

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suhu air yang paling baik bagi sintasan dan pertumbuhan benih ikan betutu yang dipelihara dengan sistem resirkulasi adalah kondisi suhu

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena bahwa siswa telah menanamkan asumsi negatif tentang Matematika, sehingga membuat siswa tersebut susah untuk

In 2016, unprocessed cheese recorded a 48% value share of total cheese, which was an increase on its share from the previous year due to strong performances from portion and

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah sesuai dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas,

Manfaat yang diperoleh daripenetapan kadar glukosa dan sukrosa pada madu adalah agar dapat mengetahui bahwa madu hutan dan madu sachet yang dipasarkan memenuhi persyaratan kadar

Hero Supermarket sebagai perusahaan retail, saat ini cukup bersaing ketat dengan perusahaan lain sehingga penulis ingin mengetahui bagaimana tingkat kepuasan konsumen pada segi