• Tidak ada hasil yang ditemukan

TA : Simbol-Simbol Budaya dalam Desain Keris Naga Kamardikan karya Mpu Pathor Rahman.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TA : Simbol-Simbol Budaya dalam Desain Keris Naga Kamardikan karya Mpu Pathor Rahman."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh:

Nama : RISKA AJENG ANGGRAINI

NIM : 10.42010.0039

Program Studi : Desain Komunikasi Visual

SEKOLAH TINGGI

MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER

SURABAYA

(2)

SIMBOL – SIMBOL BUDAYA DALAM DESAIN KERIS NAGA

KAMARDIKAN KAYA MPU PATHOR RAHMAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

Program Sarjana Desain

Oleh :

Nama : RISKA AJENG ANGGRAINI

NIM : 10.42010.0039

Program Studi : Desain Komunikasi Visual

SEKOLAH TINGGI

MANAJEMEN INFORMATIKA & TEKNIK KOMPUTER

SURABAYA

(3)

KAMARDIKAN KARYA MPU PATHOR RAHMAN

Riska Ajeng Anggraini1

(Achmad Yanu Alif Fianto, S.T., M.B.A. Pembimbing I, Abdullah Khoir Riqqoh,S.Sn. Pembimbing II)

1

Program Studi S1 Desain Komunikasi Visual, STIKOM

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak memiliki keragaman budaya yang mencakup Antropologi, Sosiologi dan Seni. Semua ragam budaya tersebut diwariskan nenek moyang secara turun temurun kepada generasi penerus bangsa. Salah satu karya seni budaya yang masih ada dan bertahan hingga saat ini adalah karya seni kriya berupa keris, dimana karya seni tersebut mempunyai syarat makna dan filosofi dari bentuk sampai kegunaannya. Dengan perkembangan zaman, keris ini berubah menjadi sebuah karya seni yang mempunyai banyak makna secara pengungkapan falsafah, penjabaran simbol dan harapan, dengan kata lain sebilah keris merupakan manifestasi dari doa dan harapan dari sipencipta maupun sipemakainya. Keris seperti ini sering disebut keris “Kamardikan”. Di masa inilah sang empu mulai bebas membuat bentuk keris, yang sudah tidak mengikuti pakem yang sudah baku.

Dengan menggunakan semotika Roland Barthes, maka keris naga kamardikan merupakan cerminan dari sikap pemimpin yang berwibawa, lembut dan bijaksana. Semua lambang kepemimpinan tersebut tersirat dalam bentuk mata naga yang tajam dan bulat sebagai transformasi dari bentuk mata elang, adanya sumping yang merupakan transformasi bentuk dari telinga manusia yang mencerminkan sikap pemimpin atau penguasa yang harus tajam pendengarannya. Secara menyeluruh, keris naga kamardikan ini memberikan kesan wibawa dan lembut bagi sang pemilik serta menciptakan sebuah image yang tinggi bagi sang pemilik dikarenakan ornamen sering kali menciptakan berbedaan kasta, ornamen pada keris naga ini menggunakan motif bunga melati yang mencerminkan sifat kepribadian yang lembut.

Kata Kunci : Keris, Semiotik Roland Barthes, Keris Kamardikan, Mpu Pathor Rahman

(4)

viii

KATA PENGANTAR……… vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL………. x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Batasan Masalah... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Sebagai Identitas ... 10

2.2 Makna dan Bentuk Keris dalam Budaya Nusantara ... 16

2.3 Keris Kamardikan sebagai Wujud Estetik Transformasi Budaya ... 21

2.4 Makna Warna sebagai Gambaran Budaya ... 26

2.5 Teori Semiotika ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian ... 37

3.2 Metode Semiotika ... 41

3.3 Unit Analisis ... 42

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 42

(5)

ix

4.2.1 Simbol Naga Sebagai Mitologi ... 46

4.2.2 Ornamen Sebagai Bentuk Visual ... 64

4.2.3 Warna Sebagai Simbol ... 68

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Simbol Naga Pada Bilah Keris ... 71

5.2 Ornamen Sebagai Bnetuk Estetis Budaya ... 76

5.3 Warna Merupakan Simbol Ekpresi ... 78

5.4 Hasil Penelitian ... 77

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 82

6.2 Saran …………. ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(6)

x

Tabel 2 Denotatif, Konotatif dan Mitos ... 73

(7)

xi

Gambar 2.2 Keris Kamardikan Bethoven ... 25

Gambar 2.3 Bagan Model Dua Tahap Signifikasi Barthes ... 34

Gambar 3.1 Bagian dari Bentuk Keris dan Ornamen ... 38

Gambar 3.2 Site of Image it self, mengarah pada visual meaning ... 39

Gambar 4.1 Bentuk Keris Naga Kamardikan secara Keseluruhan ... 45

Gambar 4.2 Jenis Naga Eropa dan Asia ... 46

Gambar 4.3 Bentuk dari Representasi Kepala Naga ... 48

Gambar 4.4 Penggunaan Naga ... 54

Gambar 4.5 Penempatan Simbol Naga Pada Keris ... 56

Gambar 4.6 Pengaplikasian Simbol Agama Dalam Mahkota ... 59

Gambar 4.7 Perubahan Bentuk Mahkota Ketopong Dalam Keris ... 60

Gambar 4.8 Perubahan Bentuk Telinga Menjadi Sumping ... 61

Gambar 4.9 Perubahan Bnetuk Mata Elang Pada Keris ... 61

Gambar 4.10 Bentuk Moncong Pada Keris ... 62

Gambar 4.11 Bentuk Ekor Mengudhup ... 64

Gambar 4.12 Meander Pada Pinggir Lemari dan Pinggir Awan Pada Yoni ... 67

Gambar 4.13 Warna Pada Keris Naga ... 69

Gambar 5.1 Bilah Keris Naga Kamardikan ... 71

Gambar 5.2 Perubahan Bentuk Mahkota Ketopong Dalam Keris ... 72

(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak memiliki keragaman budaya yang mencakup Antropologi, Sosiologi dan Seni. Semua kekayaan itu diwariskan nenek moyang secara turun temurun kepada generasi penerus bangsa. Khazanah kebudayaan yang ada di negeri ini sebagian telah terekam dalam naskah-naskah yang berupa buku-buku maupun kitab kuno dan tak jarang pula terekam sebagai tradisi lisan atau dari mulut ke mulut. Salah satu bentuk dari hasil budaya adalah keris, keris tidak hanya bentuk dari hasil budaya nusantara, namun keris merupakan bentuk senjata tikam. Selain itu keris memiliki bentuk yang sangat banyak, begitu banyaknya bentuk terkadang perwujutan keris disesuaikan dengan pemiliknya dengan mewakilkan pada simbol-simbol tertentu yang mewakili makna tertentu dari wujud keris itu sendiri.

(9)

Salah satu hasil karya seni budaya yang masih ada dan bertahan hingga saat ini adalah keris, dimana karya ini merupakan bentuk dari seni kriya, dikarenakan keris memiliki syarat akan makna dan filosofi dari bentuk sampai pada kegunaannya. Keris sampai saat ini masih dikenal sampai seluruh penjuru dunia sejak ditetapkannya sebagai warisan budaya non-bendawi manusia pada tahun 2005 oleh UNESCO. (Yuwono, 2011: 5).

Keris mulai muncul sejak masa Budha, terbukti pada lukisan gambar relief Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan keris.

Keris merupakan senjata tradisional yang banyak memiliki makna simbol dan manfaat bagi pemakainya, di kota Yogyakarta keris masih dianggap barang yang mempunyai nilai seni tinggi dari segi bentuk dan estetika pamor. Pamor merupakan bentuk yang muncul dari sebilah keris dari hasil pencampuran beberapa bahan metal yang di tempa menjadi bilah keris, bentuk visual abstrak muncul dari hasil tempa, sehingga pamor tidak bisa di tentukan dalam visualnya, sehingga pamor menjadi sangat bermakna, pamor dalam keris bagi sebagian orang jawa mempunyai tuah dan sebagai Piyandel yaitu sebuah keyakinan, seperti dalam bukunya Untoro (1978: 57-59) Kepercayaan bukan berisi tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang berwujud (wadag) yang berisi do’a, harapan dan tuntunan hidup (filosofi hidup) manusia jawa yang

(10)

manunggaling kawula Gusti”. Piwulang-piweling ini terformulasi dalam sebuah

benda buatan yang disebut keris.

Keris banyak memilki kegunaan dilihat dari nilai estetika pamornya, pada masa Budha keris hanya memiliki satu warna hitam (keleng), hingga perkembangan teknik tempa dalam seni perkerisan sampai pada masa Hindhu banyak mengalami perkembangan sehingga memunculkan fenomena-fenomena bentuk pamor dan bentuk fisik hingga pada masa sekarang. Bentuk keris sangatlah beragam dan kesemuanya memiliki nilai-nilai simbolis dan makna tersendiri. Antara lain adalah bentuk keris Tinatah Lung Kamarogan, yang mana dalam bilah keris itu di ukir berbagai macam-macam binatang dalam mitologi jawa, selain itu juga terdapat beberapa aksen atau penghias emas atau kamarogan.

Keris merupakan karya seni bernilai estetika tinggi, karena pembuatan karya seni keris ini menggunakan teknik tempa yang cukup rumit. Kerumitan ini berada pada bentuk pamor yang indah, tidak dapat dibaca secara nalar manusia terdahulu. Sehingga ada yang beranggapan bahwa pembuatan keris ada campur tangan dari dewa, makhluk gaib dan lain sebagainya, oleh karena itu keris masi di anggap sesuatu yang memiliki nilai mistis sehingga keris sering kali dikramatkan.

(11)

berubah menjadi sebuah karya seni yang mempunyai banyak makna secara pengungkapan falsafah, penjabaran simbol dan harapan, dengan kata lain sebilah keris merupakan manifestasi dari doa dan harapan dari sipencipta maupun sipemakainya. Pembuatan keris dengan banyaknya aturan atau pakem

menyebabkan keris menjadi sesuatu benda yang sulit untuk dibuat oleh sembarang orang serta menjadi sesuatu yang masi dianggap mistis sehingga masi sedikit yang membahas keris dari sisi desainnya, namun dengan kemajuan zaman muncul bentuk keris dengan “Kamardikan”. Bentuk keris ini dibuat dengan tidak mengikuti pakem yang sudah baku, sehingga sang empu bebas untuk berekspresi dalam bentuk kerisnya, sampai dengan aksen atau hiasan (kamarogan) yang merupakan komponen utama dalam kebudayaan. Ekspresi merupakan sebuah simbol yang memiliki banyak makna antara lain berupa gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, serta pengalaman tertentu yang dapat dipahami bersama. Menurut Rohidi (2000: 30) dalam Yuwono (2011: 190) kesenian sama halnya dengan kebudayaan dapat diartikan sebagai sistem simbol. Sedangkan menurut Roland Barthes mengungkapkan;

“The simbolic consciousness an imagination of depth; it experiences the world as the relation of a superficial and a manysided, massive, powerful

(12)

Artinya Simbol menyiratkan suatu imajinasi yang dalam, simbol memberi makna suatu pengalaman kehidupan yang berhubungan suatu bentuk format yang sederhana dengan suatu bentuk sisi-sisi yang benar, kuat dan menggambarkan suatu dinamika yang sangat dalam. Dari penjelasan tersebut karya-karya seni (khusunya keris naga kamardikan), diartikan sebuah proses penciptaan sebagai pengejawantahan dari daya interpertasi manusia terhadap kualitas yang dikehendaki dapat berupa kekuatan maupun derajat tertentu.(Yuwono,2011: 191).

Nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian klasik orang jawa terdiri dari dua aspek yaitu aspek estetis dan aspek ajaran budaya atau falsafah. Hal ini dipertegas dengan pendapat Bagoes P. Wiryomartono mengenai aspek estetis, Dharsono dan Hj. Sunarmi juga menegaskan bahwa “berkarya bagi orang Jawa

erat kaitannya dengan pengertian kasampuraning urip (kehidupan yang sempurna) yaitu memayu hayuning bawono, artinya tidak ada maksud berkarya yang tidak menghaturkan untuk keindahan dunia”. Sedangkan, untuk aspek falsafah, karya

seni bagi masyarakat Jawa memiliki nilai dan citra simbolik yang menjadi sistem budaya pendukungnya. (Yuwono, 2011: 191).

(13)

untuk mengkaji tanda.tanda- tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini. Sedangkan menurut Barthes dalam bukunya Sobur (2006: 15) semiotika merupakan cara untuk memaknai hal-hal (thing), artinya memaknai yaitu bahwa suatu benda atau objek membawa informasi, serta bagaimana objek itu hendak dikomunikasikan.

Para peneliti tentang keris di Indonesia mayoritas tidak pernah menyebut-nyebut tentang nilai estetika keris yang dikaji melalui pendekatan semiotika. Para peneliti tersebut yang karyanya mempunyai bobot ilmiah antara lain, A.A. Djamadil (1977), Djomul (1985), Dwijosaputro (1997), Harsrinuksmo (2004), Koesmi (1979), Lumintu (1985), Martosedono, Amir (1987), Moebirman (1970), Pusposukadgo.M.L Fauzan (1984), Untoro, S.Suryo (1978), Wahyu Hidayat,( 2011). Hal tersebut juga merupakan bukti bahwa nilai estetika keris belum banyak dibahas oleh peneliti, sebab mereka lebih banyak membicarakan proses pembuatan, jenis bentuk dan nilai-nilai makna simbolis pamor-pamor yang bukan mengkaji nilai keris melalui pendekatan semiotika. Untuk mencari estetika dalam sebilah keris, penggunaan teori semiotika Roland Barthes yang lebih menekankan pada pembentukan mitos yang terbentuk dari sebuah estetis keris kamardikan, dengan melalui makna denotasi dan konotasinya. Pembacaan kode Barthes didasarkan pembentukan makna melaui lima kode makna.

(14)

lebih peduli dan mengerti tentang keris sebagai bagian dari budaya nusantara. Oleh karena itu penulis perlu mengkajinya dalam skripsi dengan judul :

Simbol – Simbol Budaya Dalam Desain Keris Naga Kamardikan Karya Mpu Pathor Rahman ”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian diatas, dapat ditentukan suatu rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana mendiskripsikan konotasi, denotasi sehingga membentuk mitos dalam estetika keris naga kamardikan karya Mpu Pathor Rahman?

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka batasan permasalahan sampai pada estetika keris naga melalui pendekatan semiotika Roland Barthes.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitan ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis

a. Untuk mengeksplorasi nilai estetika keris Naga.

(15)

2. Manfaat Teoritis

a. Dapat dijadikan referensi mengenai kajian nilai estetika keris bagi mahasiswa STIKOM khususnya prodi DKV.

b. Mampu dijadikan pembelajaran dan penambah wawasan dalam mengkaji nilai estetika sebuah keris dalam pendekatan semiotika.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka paradigma atau menambah wawasan pada generasi muda, khususnya dibidang pendidikan (mahasiswa DKV STIKOM) bahwasanya keris merupakan hasil karya seni yang mempunyai nilai estetika, simbolis bagi kehidupan dan bukan barang yang mistis, selain itu juga diharapkan mampu menambah khasanah dan perkembangan seni dan kebudayaan bangsa.

Hasil peneitian ini juga diaharapkan dapat mampu memperkaya khasanah referensi seni perkerisan di Indonesia. Penelitian-penelitian yang membahas masalah keris mayoritas hanya mengacu pada pembahasan teknik proses pembuatan, jenis – jenis pamor, nilai – nilai magis, serta perawatan keris, sedangkan mengkaji nilai estetika keris belum banyak dibicarkan dalam buku – buku keris yang ada di Indonesia, khususnya yang ditinjau dari aspek semiotika.

(16)
(17)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam penelitian yang berjudul Simbol – Simbol Budaya Dalam Desain Keris Naga Kamardikan Karya Mpu Pathor Rahman. Pada Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes.

2.1 Budaya sebagai identitas

Budaya bagi suatu bangsa merupakan sebuah harta yang tidak ternilai harganya, tanpa adanya budaya suatu bangsa akan dipandang rendah oleh bangsa lain. Kebudayaan pada kenyataannya adalah sebuah konsep yang amat luas sehingga lahir respon terhadap sebuah konsep kebudayaan. Istilah kebudayaan dihubungkan dengan kata-kata “adab” atau “peradaban”. Dimana suatu budaya akan mengalami perubahan mengikuti zamannya.

Secara historis, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu

(18)

Menurut Taylor (1897), kebudayaan mempunyai arti luas yang meliputi perasaan dari suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari para anggota atau bagian masyarakat (http://flpmaliki.blogspot.com). Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman

berbagi’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, seseorang dikatakan berasal dari

kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada tersebut saling membagi pengalaman yang sama, saling membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, serta saling berbagi konsep-konsep yang

sama.

(19)

bahwasanya ciri fisik atau lahiriyah lebih mengidentifikasi mereka sebagai suatu kelompok.

Menurut Prabowo (2008: 9), identitas budaya merupakan cerminan dari adanya kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk sekelompok orang menjadi satu, walaupun dari luar mereka tampak berbeda. Proses klasifikasi identitas budaya dari teori Stuart Hall tergambar jelas dalam kehidupan masyarakat berkulit hitam di Amerika dan Eropa. Dibuktikan oleh Aimee Cesaire dan Leopold Senghor dalam puisinya yang berjudul Anthologie de la nouvelle posie negre er malgache, maka identitas budaya masyarakat kulit hitam dapat dihubungkan dengan tiga hal, yakni presence africaine, presence europeene, dan presence americain.

Menurut Rice (1990: 202) yang dikutip oleh Prabowo (2008: 10), “the sum total of group member’s feeling about those symbols, values, and common

histories that identify them as a dislinct group”. Artinya identitas budaya adalah jumlah keseluruhan dari perasaan seseorang atau anggota kelompok terhadap simbol-simbol, nilai-nilai dan sejarah umum yang membuat mereka dikenal sebagai kelompok yang berbeda.

Definisi lain dari identitas budaya juga diungkapkan oleh Phinney dalam Dacey dan Kenny (1997: 191) yang dikutip oleh Prabowo (2008: 11), “Cultural

identity is that of a person’s self concept that comes from the knowledge and

feelings about belonging to a pasticular cultural group”. Yang artinya identitas

(20)

pengetahuan dan perasaan seseorang yang menjadi bagian dari sebuah kelompok budaya tertentu.

Sedangkan menurut Dusek (1996: 162) seperti yang dikutip Prabowo (2008: 11), menyatakan bahwa “the degree to which one feels he or she belongs to a

particular ethnic group and how that influence one’s feeling’s, perception and

behavior”. Disini Dusek menjelaskan bahwa identitas budaya lebih menekankan

kepada seberapa besar seseorang merasa sebagai bagian dari sebuah kelompok budaya tertentu dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi perasaan, persepsi dan perilakunya. Sehingga dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa identitas budaya adalah timbulnya sebuah perasaan dari individu yang merasa sebagai bagian dari kelompok budaya tertentu.

Namun, jika ditinjau dari definisi yang diuraikan oleh Stuart Hall maka identitas budaya memiliki dua faktor yang menentukan dan saling berpengaruh dalam pembentukan dari identitas budaya itu sendiri, yaitu faktor eksternal yang berdasarkan fisik dari seseorang dan faktor internal yang berdasarkan hal-hal yang membuat seseorang mendekat satu sama lainnya dan secara tidak langsung membentuk identitas.

(21)

menekankan pada berbagai tema, interpretasi atau pengalaman hidup penciptanya dalam bentuk tanda secara verbal maupun visual.

Simbol sendiri dapat berupa gambar maupun teks dan nilai-nilai sejarah selalu memiliki makna yang berbeda serta saling berhubungan. Menurut C. Greertz (1973) dalam Saifuddin (2005: 289), mengemukakan bahwa definisi kebudayaan sebagai : (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, dimana makna dan simbol tersebut individu mendeinisikan dunia mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan mereka dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, dimana melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap lingkungan; (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan diinterpretasi.

(22)

Kebudayaan bangsa merupakan sebuah kebudayaan yang timbul sebagai identitas bangsa. Kebudayaan bangsa sendiri terdiri dari kebudayaan lama dan asli sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerah. Kebudayaan menjadi salah satu unsur pembentuk identitas nasional karena kebudayaan yang terjaga dan berkembang didalam lingkungan setiap suku bangsa berisi nilai-nilai dasar yang digunakan sebagai pedoman berfikir, bersikap dan bertindak sesuai lingkungan yang dihadapi saat itu. Aspek kebudayaan yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional meliputi 3 unsur, yakni akal budi, peradaban dan pengetahuan (http://takiyaazkah.blogspot.com).

Kebudayaan Nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah ‘puncak-puncak dari kebudayaan daerah’ yang artinya seluruh kebudayaan yang

ada di Indonesia disatukan dalam sebuah kebudayaan Nasional. (ISBD karangan dr.munandar sulaiman dalam http://flpmaliki.blogspot.com).

Budaya sebagai tonggak peradaban membentuk identitas sebuah bangsa. Identitas budaya ini menjadi landasan untuk mengokohkan karakter bangsa. Hal itu dikatakan Fadli Zon SS MSc, budayawan dan pemerhati seni yang tampil sebagai pembicara istimewa dalam Seminar Nasional “Jelajah Kreativitas Seni

dan Budaya” yang diselenggarakan Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia

(23)

diperkuat oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya yaitu, ‘Nation and Carakter

Building’. Dalam tulisannya Ibrahim datuk Tan Malaka melalui bukunya Madilog

beliau menuliskan betapa pentingnya penggalian jati diri bangsa ’self

determination’. Bentuk konkret dari karakter sebuah bangsa adalah sebuah

budaya, semakin kaya suatu bangsa akan budaya semakin kuat karakter dan pondasi bangsa tersebut. Sehingga budaya dapat dijadikan sebagai identitas suatu bangsa yang memiliki banyak makna dan filosofi yang terkandung didalamnya.

2.2 Makna dan Bentuk Keris dalam Budaya Nusantara

Menurut Haryoguritno dalam Yuwono (2011: 11), kata kris berarti menghunus. Keris sebagai benda artefak menurut Kusni dalam Yuwono (2011: 11) berasal dari kata ke = kekeran dan ris = aris. Kekeran sendiri berarti pagar, penghalang atau pengendalian. Aris berate tenang, lambat dan halus. Nama keris sendiri berasal dari proses jarwadosok yang kemudian menjadi bahasa Jawa ngoko.

Menurut Zoetmulder dan Robson dalam buku “Kamus Jawa Kuno

-Indonesia jilid 1” dikutip dari buku Keris Naga oleh Yuwono (2011: 11), bahwa kata aris atau haris berarti kelakuan atau tindakan yang tenang, sabar, lemah lembut dan halus. Sedangkan menurut G.P.H Hadiwidjojo (1950) dalam Yuwono (2011: 11), bahwa keris berasal dari bahasa Jawa Kuno yang tumbuh dari kata

(24)

sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak. Sesaji tersebut berupa

kres, wangkiul, tewek punukan, wesi penghantam (Hasrinuksmo, 2008: 24 dalam Yuwono, 2011: 11).

Dalam prasasti Tukmas tahun 748 Saka (842 Masehi) dan prasasti Humanding tahun 797 Saka (875 Masehi), berisi.

“[...] mas ma 4 wdihan ranga yu 4 wadun 1 rinmas 1 patuk 1 kres 1 lukai 1 twak punukan 1 landuk 1 lingis […]”.

Terjemahan

[…] emas ma pola rangga 4 yu, sebilah wedung, sebilah kapak penebang kayu, sebilah beliung, sebilah keris, sebilah parang, sebilah parang dengan kapak dibelakang bilahnya, sebuah cangkul dan sebilah linggis […] (Timbul Haryono, 2001 dalam Yuwono, 2011:12).

Ditemukan juga bahwa terdapat prasasti yang menceritakan tentang juru pande, prasasti tersebut adalah prasasti Sukawana A1 tahun 804 Saka 882 Masehi, prasasti Pura Kehen C tahun 1126 Saka 1204 Masehi, Prasasti Tambelingan 1 dan 2 tahun 1306 Saka dan 1320 Saka (1384 dan 1398 Masehi) (Neka dan Yuwono, 2010:38). Selain prasasti istilah keris juga terdapat pada karya sastra antara lain Kakawin Sumanasantaka dan Sutasoma, Kidung Harsa Wijaya, Kakawin Ranggalawe, Serat Pararaton, Babad Tanah Jawi, Kitab Mahabarata dan Ramayan, Babad Demak, Kitab Centini, Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian (Sunda), Kitab Slokantara Bangkung (Bugis, Sulawesi Selatan), Lontara Galigo (Bugis, Sulawesi Selatan), Babad Dalem (Bali). (Yuwono, 2011: 13)

(25)

keris purba telah digunakan antara abad ke-9 dan abad ke-14. Senjata keris ini terbagi atas tiga bagian, yaitu hulu, bilah dan warangka. Keris sering dikaitkan dengan kuasa mistik oleh masyarakat pada zaman dahulu. Antara lain, terdapat kepercayaan bahwasanya keris mempunyai kekuatan dahsyat bagi sang pemilik tersendiri. Namun, anggapan tersebut tidak benar dikarenakan keris merupakan benda mati yang tidak memiliki kekuatan apapun.

Keris merupakan senjata tikam pendek yang berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya, bentuknya memiliki keunikan tersendiri sehingga mudah dibedakan dengan senjata tajam yang lain. Kekhasan dari keris adalah bentuknya yang tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, bilahnya berkelok-kelok dan banyak memiliki pamor atau hiasan (damascene), yang terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada bilah. Keris telah digunakan selama lebih dari 600 tahun oleh bangsa Indonesia. Keris adalah benda seni yang meliputi seni tempa, seni ukir, seni pahat, seni bentuk, serta seni yang mengandung pralambang.

(26)

upacara peringatan satu sura di keraton Yogyakarta, ada ritual mengkirabkan senjata tajam seperti tombak pusaka, pisau besar (bendho), termasuk juga keris. Dalam upacara ini senjata unggulan keraton diarak mengelilingi keraton sambil memusatkan pikiran dan perasaan untuk memuji dan memohon kepada pencipta semesta alam, agar diberikan kesejahteraan,kebahagiaan dan perlindungan.

Keris juga disebut sebagai benda pusaka yang diakui keagungannya oleh bangsa rumpun Melayu terutama bangsa Indonesia. Keris berkembang dari waktu ke waktu, bertahan dan dipercaya oleh masyarakat. Hal ini bukan sebuah mitos. Para empu pembuat keris di zaman dahulu sangat memperhatikan detail pembuatan keris dari bentuk, model, ukiran hingga ke hal-hal kecil seperti hiasan atau ornament. Setiap detail pada keris memilki makna masing-masing sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan oleh sang mpu pembuat keris. Seorang mpu menciptakan keris dengan ketekunan, kesungguhan dan cipta rasa yang tinggi sehingga tak heran jika keris memiliki estetika tinggi hingga mendapat pengakuan dari UNESCO. Keris sebenarnya diciptakan untuk menumbuhkan wibawa dan rasa percaya diri bukan untuk membunuh atau sengaja untuk melukai orang lain.

(27)

mampu meningkatkan harkat derajat manusia. Padahal, keris hanyalah benda mati yang membawa pesan moral yang amat mulia, bersatunya senjata dengan warangka keris bermakna hubungan akrab untuk menciptakan hidup yang harmonis dimana terjadi persatuan antar raja dan abdinya, rakyat dan pemimpinnya, insan kamil dan Tuhannya.

Keris merupakan karya agung yang harus dilestarikan. Karena jika dilihat dari kacamata desain, sebuah keris memiliki berbagai keunikan yang sangat spesifik. Terbukti dengan penamaan setiap lekuk yang begitu detail disetiap bagiannya. Jika ditinjau dari segi makna yang terkandung pada sebilah keris, tercermin kearifan lokal terutama masyarakat jawa yang menjadikan keris sebagai simbol kekuatan sekaligus mewakili karakter yang memilikinya. Desain keris mempunyai kekuatan tersendiri dalam membentuk kearifan lokal yang selanjutnya bisa menjadi indikator kebudayaan di suatu tempat. Sehingga keris tiap daerah memiliki karakter atau cirri khas yang berbeda-beda.

(28)

Berdasarkan penelitian terdahulu, menurut Hidayat (2011: 71-72), Keris sebagai bentuk budaya nusantara yang mengandung nilai-nilai seni tinggi yang dapat dikaitkan dengan ajaran yang luhur, serta menempati posisi yang penting dalam pemantapan dan pelestarian budaya nasional, yang sangat berguna bagi keberhasilan pembangunan nasional, khususnya pembangunan dibidang pelestarian karya seni budaya.

2.3 Keris Kamardikan sebagai Wujud Estetik Transformasi Budaya

Berlandaskan pandangan Daszko dan Sheinbergh (2005), Jorgensen (2003) maupun Lubis (1988) dalam Rita Mulyartini, transformasi dapat dimaknai sebagai perubahan mindset yang terjadi karena keinginan untuk tetap survive. Sedangkangkan menurut Dazko dan Sheinberg (2005) mengatakan bahwa wujud transformasi merupakan kreasi dan perubahan dalam keseluruhan bentuk, fungsi atau struktur. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, ada dua bentuk transformasi yakni transformasi yang teramati secara fisik, dan transformasi yang terjadi di dalam diri individu sebagai penggerak dari proses transformasi.

(29)

Menurut Jorgensen (2003) dalam Rita Mulyartini, menjelaskan sembilan wujud transformasi yakni: modifikasi, akomodasi, integrasi, assimilasi, inversi, sintesis, transfigurasi, konversi dan renewal. Berdasarkan dua konsep transformasi dari Dazko &Sheinberg (2005) serta Jorgensen (2003) ini, maka wujud transformasi dalam konteks “perubahan” secara fungsi, bentuk atau

struktur tidak memiliki batasan yang tegas dan pasti. Artinya bisa saja terjadi perubahan struktur sekaligus bentuk seperti yang dikatakan oleh Jorgensen sebagai modifikasi yakni suatu proses reorganisasi beberapa elemen dari suatu kondisi atau fungsi sesuatu, tanpa mengubah esensinya, atau akomodasi yakni kompromi atau penyesuaian dengan yang lain, seperti seekor bunglon yang menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Modifikasi dan akomodasi juga bisa bersifat dialektis, misalnya suatu modifikasi terjadi karena mengakomodasi situasi eksternal yang berubah. Sehingga transformasi dapat disimpulkan sebagai suatu perubahan mindset atau pemikiran dalam diri individu yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam bentuk, fungsi atau struktur, tetapi tidak menghilangkan ciri adanya sebelumnya.

(30)

Transformasi nilai dapat terjadi jika nilai-nilai yang terdahulu dapat kita pahami secara menyeluruh, dengan demikian nilai-nilai yang telah terkandung didalamnya tetap menjadi dasar dalam nilai-nilai yang baru sehingga nilai sejarah tetap tersimpan. Percampuran atau antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru inilah yang akan menciptakan terjadinya perubahan-perubahan yang membawa perkembangan. Seperti halnya dengan keris kamardikan yang lahir akibat adanya transformasi budaya, memadukan nilai-nilai terdahulu dengan nilai-nilai baru tanpa menghilangkan nilai sejarah dan estetik dari keris tersebut dengan tujuan untuk pelestarian budaya.

Gambar 2.1 Jenis Kamardikan yang Berkonsep Bebas Sumber: Dokumen Peneliti, 2014

(31)

yang khas dari setiap kerajaan-kerajaan di Nusantara. "Keris Kamardikan” memiliki dua makna yaitu : (Gambar 2.1)

1. Untuk menyebut keris-keris yang dibuat pada zaman setelah Indonesia merdeka,

2. Sebagai keris-keris yang diciptakan menuruti konsep baru yang bebas oleh para senimannya. (dikutip dari Katalog Pameran ”Keris

Kamardikan Award 2008”).

Keris kamardikan hadir akibat adanya transformasi budaya ini tetap mampu berkembang di zaman modern seperti saat ini dengan konsep yang bebas. Hal ini merupakan strategi bagi sang Mpu untuk tetap menjaga keris sebagai karya seni yang memiliki estetika tinggi. Keris kamardikan merupakan jenis tangguh atau masa pembuatannya adalah setelah masa kemerdekaan. Dimana masa ini masyarakat khususnya masyarakat Jawa mengalami kemajuan menjadi masyarakat modern, sikap dan cara berfikir mulai mengarah ke modernisasi, sehingga keris menjadi karya seni rupa yang banyak memiliki makna falsafah, penjabaran simbol dan harapan dari sang empu. Keris dimasa ini tidak lagi mengikuti pakem yang telah baku, namun sang empu mulai bebas dalam membuat sebilah keris.

(32)

meneliti ciri khas atau gaya pada rancang bangun keris, jenis besi keris dan pamornya. Tangguh merupakan seni yang digandrungi oleh komunitas pecinta keris, karena disini terletak suatu karya seni dalam nilai kemampuan, semacam uji kemampuan dari sesama penggemar keris. Tangguh juga menjadi sebuah nilai pada harga sebilah keris. Dengan kata lain mengikuti trend dari masa ke masa (perkembangan zaman). Tangguh dalam kamus bahasa Jawa (S. Prawiroatmodjo) diartikan sebagai ’boleh dipercaya’, ’tenggang’, ’waktu yang baik’, ’sangka’,

’persangkaan’, ’gaya’, ’lembaga’, ’macam’ (keris). (catatan ini diambil dari beberapa notasi diantaranya dari Forum Diskusi Keris Yahoo Grup).

Dengan adanya transformasi budaya ini membuat sang Mpu lebih kreatif dalam mengolah dan membuat kerisnya. Seperti halnya keris yang dahulunya hanya menggunakan bentuk simbol hewan mitologi (naga, kijang dan lain-lain) sekarang merambah pada bentuk manusia, seperti gambar dibawah ini.

(33)

Jika diamati keris kamardikan tersebut secara fisik mengalami transformasi budaya, dengan menggunakan dhapur seorang tokoh namun tetap terlihat estetikanya dan bahkan jauh lebih tinggi estetika yang terkandung didalamnya. Padahal sebelum terjadi transformasi budaya dhapur keris tidak dapat diubah-ubah, harus sesuai dengan aturan pembuatan keris yang sebenarnya. Transformasi ini dilakukan sang mpu dengan sengaja dikarenakan berkembangan zaman yang mengubah midset sang mpu untuk mencoba keluar dari pakem yang baku dengan tujuan agar keris tidak hilang tergerus oleh zaman. Akibatnya keris menjadi lebih terkenal secara meluas dan diakui sebagai mahakarya seni asli Indonesia oleh UNESCO.

2.4 Makna Warna sebagai Gambaran Budaya

Warna secara artistic digunakan sebagai alat ekspresi manusia dalam berkarya. Warna telah digunakan masyarakat terdahulu tepatnya zaman primitif untuk melukis pada dinding-dinding gua. Pada zaman primitif warna sudah banyak digunakan, warna zaman dahulu terbuat dari bahan biji-bijian, tanah liat atau darah binatang.

(34)

kegunaannya. Sehingga masyarakat saat initelah mengetahui fungsi warna dengan baik dan tepat.

Warna merupakan sebuah objek yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Contohnya saja dalam bidang psikologi, warna dianggap berpengaruh terhadap otak manusia dalam hal cara otak menerima dan menginterpretasikan warna, warna juga berpengaruh terhadap emosi sesorang karena warna menggambarkan suasana hati manusia. Hal ini diperkuat oleh Marian L. David dalam bukunya Visual Design in Dress (1987: 119), penggolongan warna menjadi dua yaitu warna eksternal dan internal. Warna eksternal merupakan warna yang bersifat fisika dan faali, sedangkan warna internal adalah anggapan warna sebagai persepsi manusia, cara manusia melihat warna kemudian mengolahnya di otak dan cara mengekspresikannya.

Pada zaman Byzantine, Majapahit, Mataram, Louis XIV penentuan warna untuk bangunan interior sangat berbeda, dikarenakan warna dalam bangunan interior masyarakat terdahulu merupakan ungkapan kehidupan suasana dari sang penghuni dan masyarakat terdahulu menganggap warna sebagai ungkapan ekspresi individu yang terpenting sehingga fungsi warna tidak diterapkan. Padahal setiap warna memiliki karakteristis dan fungsi tersendiri. Dan bahkan warna memiliki makna atau arti simbolis yang terkadang berbau mistik. Contohnya, ungkapan keseharian kita yang seringkali melibatkan warna, misalnya hari minggu yang ‘kelabu’. Kelabu dalam pengertian tersebut bukanlah warna yang

(35)

perbedaan budaya, misalnya blue Monday. Dalam bangsa barat warna biru (blue) sama dengan warna abu-abu yang ada di Indonesia, di bangsa barat blue juga dapat diartikan sedih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap warna memiliki makna tersendiri dan makna tersebut tergantung dari budaya serta daerah yang ditempati saat ini. (Darmaprawira, 2002: 38).

Warna pada karya seni terdahulu bersifat simbolis dan sering kali warna memiliki suatu makna yang luas serta melambangkan sesuatu yang diartikan sebagai kejahatan atau bencana. Lambang menurut kamus Wojowasito yang dikutip dalam buku Warna oleh Dharmaprawira (2002: 41) menyatakan bahwa, tanda atau yang menyatakan suatu hal atau mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya keadilan dilambangkan dengan gambar neraca, kesucian dilambangkan dengan warna putih dan sebagainya. Setiap warna selalu mempengaruhi makna sebuah karya seni karena setiap setiap karya seni memiliki masa pembuatan yang berbeda. Pada masa prasejarah segala sesuatunya yang ada disekitar selalu dilambangkan, misalnya matahari sebagai lambang kebaikan yang menguasai bumi dan langit, matahari di Mesir di ibaratkan sebagai Osiris.

Bagi masyarakat mesir warna kuning dan emas adalah simbol matahari, merah lambang pria, hijau lambang keabadian, ungu warna dari tanah, biru lambang akhirat dan keabadian. Sedangkan warna biru seringkali digunakan pendeta sebagai simbol kesucian dalam keadilan hokum. Osiris bapak dari Tritunggal Mesir Kuno dilambangkan dengan warna hijau, Horus dilambangkan warna putih, Set dewa kejahatan dilambangkan warna hitam, Shu dewa

(36)

dengan warna biru. Dan warna-warna tersebut telah menjadi pedoman bahkan budaya bagi masyarakat mesir. (Dharmaprawira, 2002: 42)

Warna yang dijadikan lambang tidak hanya terjadi pada karya seni, namun warna sebagai lambang juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tak jarang lambang-lambang tersebut dijadikan sebagai budaya yang terus berkembang. Warna merah dalam budaya warga Cina memiliki makna kebahagiaan, dan warna gold dalam warga Cina memiliki makna keberuntungan. Sehingga tak jarang jika dalam perayaan, masyarakat Cina menggunakan warna merah dan gold. Dan warna tersebut menjadi ciri khas dari masyarakat Cina hingga saat ini.

(37)

pengetahuan warnanya dan dapat dikatakan asli (batikkunst, h.296). Dan warna yang beliau dapat selama belajar warna di Indonesia yaitu, abang atau bang (merah), biru, dadu (merah jambu), deragen (coklat), ijo (hijau), ireng (hitam), kuning, putih, wilis (hijau kebiruan), jingga, wulung (ungu, indigo).

Dr. G.B. Rouffaer dan Dr. H.H. Juynboll yang dikutip oleh Darmaprawira (2002: 158), menyatakan kekaguman atas pengetahuan masyarakat Jawa terhadap warna dan mereka mengakui kelebihan tersebut dibandingkan pengetahuan masyarakat Eropa tentang warna pada waktu itu. Nama-nama warna yang mereka dapat seperti yang telah disebutkan diatas, sebagian merupakan lambang yang diakui oleh masyarakat Jawa, warna tersebut tersusun dalam table dibawah ini.

Tabel 1 Warna Dalam Lambang Masyarakat Jawa

Sumber tabel: Darmaprawira, 2002: 159 dalam buku Warna

Warna kuning dalam kebudayaan masyarakat Jawa merupakan lambang dari keraton atau sultan, yang disimbolkan pada warna payung kebesaran yaitu warna kuning mas. Biasanya jika raja atau sultan tidak berada di kraton, bendera kuning atau payung kuning tersebut dipancangkan dihalaman istana.

(38)

Warna-warna yang sering muncul dalam karya seni masyarakat Jawa antara lain, pada batik tradisional: warna hitam, coklat, putih atau biru tua, pada pertunjukan wayang kulit: warna merah dan putih simbol dari arena pertunjukan. Sedangkan pada keris menggunakan warna dasar hitam dan warna kuning. Dimana hitam merupakan unsur dari besi dan warna kuning merupakan unsur dari emas.

2.5 Teori Semiotika

Semiotik atau semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik

dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.(Sobur, 2004: 95). Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Zoest, 1993: 1).

(39)

Roland Barthes dalam Fiske (2007: 60-61), semiotika adalah ilmu yang memeprlajri tanda dan hubungan structural antara penanda atau signifier

(ungkapan, kata, tulisan dan gambar) sebagai tema pertama dan petanda atau

signified (konsep atau makna) sebagai tema kedua, serta tanda/sign yang merupakan totalitas dari kedua tema yang pertama. Dalam teorinya Barthes tetap menggunakan teori Saussure sebagai dasarnya. Barthes (2007) dalam karyanya (1957) menggunakan pengembangan teori tanda de Saussure yaitu signifier and signified sebagai upaya menjelaskan bagaimana kita dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi (Hoed 2011: 5).

Konotasi merupakan pengembangan dari petanda (makna atau isi tanda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya. Sehingga konotasi dalam masyarakat dapat menjadi mitos. Seperti yang dilakukan Barthes, beliau mencoba menjabarkan kejadian keseharian kita dalam kebudayaan yang ‘wajar’, padahal

semua itu merupakan konotasi yang berubah menjadi sebuah mitos akibat adanya pengaruh dari masyarakat yang terlalu bersikap lebih. Salah satu contoh nyatanya adalah ‘olahraga’ gulat di prancis. Menurut Barthes dalam Hoed (2011: 5), gulat

(40)

Menurut Roland Barthes (2007: 16), bahasa adalah sebuah sistem tanda yang menggambarkan asumsi-asumsi atau pemikiran dari suatu masyarkat tertentu dari waktu tertentu. Bahasa kemudian dijadikan sebuah tanda yang menggambarkan situai atau mengenalkan suatu produk tertentu dengan model tertentu sebagai daya tarik, serta dibangun dan diciptakan berdasarkan konsep asumsi yang berkembang di masyarakat dalam kurun waktu tertentu pula. Yang artinya, sebuah tanda atau sign merupakan alat bantu manusia dalam mengenali lingkungannya, tanda-tanda mengirimkan pesan verbal dan non verbal sehingga bersifat komunikatif, sehingga memunculkan proses pemaknaan antara penerima tanda dengan pengirim tanda, tetapi tanda tidak bersifat abadi, tanda dapat berubah-ubah sesuai dengan masa dan perkembangan zaman.

Menurut Barthes (2007), denotasi adalah sebuah bahasa yang menghadirkan konvensi atau kode-kode social yang bersifat eksplisit, yaitu kode-kode yang disetiap tandanya tersimpan makna tersembunyi. Sedangkan menurut Berger (2000), denotasi sebagai term refers to the literal meaning of term or object. It is basically descriptive. Artinya, denotasi merupakan istilah yang paling dasar dari suatu objek. Seperti kata ‘kursi’, kursi jika tidak dihubungkan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan status social, maka secara fungsional ‘kursi’ berfungsi

sebagai tempat duduk. Sedangkan ‘kursi’ yang dihubungkan dengan status social,

(41)

Menurut Berger, konotasi sebagai term deals with the cultural meanings that become attached to a term. Konotasi selalu diidentikkan dengan ideology yang disebut mitos, dan berfungsi sebagai pengungkap dan pembenaran nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai dominan tersebut merupakan sebuah ideologi yang tersembunyi. Sedangkan menurut Barthes, makna yang tersembunyi merupakan kawasan dari ideology atau mitos. Maka tanda berdasarkan teori Barthes adalah pandangan yang bersifat structural, bahwasanya semua tanda denotatif pada akhrinya mengandung makna-makna ideologi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebuah tanda memiliki makna konotasi dan makna tersebut dapat berubah menjadi denotasi yang kemudian beralih menjadi sebuah mitos.

Tahap Pertama Tahap Kedua

Realitas Tanda Budaya

Gambar 2.3 Bagan Model Dua Tahap Signifikasi Barthes. Sumber: Barthes dalam Fiske

Denotasi

Penanda

Petanda

Konotasi

(42)

Dalam bagan diatas, Barthes dalam Fiske menjelaskan bahwa tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebut sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari sebuah tanda.

Konotasi adalah sebuah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Sehingga menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi pada dasarnya mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak inter subjektif. Pemilihan kata-kata terkadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata ‘kursi terdakwa’ berubah makna menjadi

‘tersangka’. Sehingga dapat disimpulkan bahwa denotasi merupakan makna yang

sebenarnya dari sebuah objek sedangkan konotasi merupakan makna tidak sebenarnya dari sebuah objek.

Penggabungan konotasi dan metabahasa memberikan peluang untuk menghadirkan sebuah system atau petanda ketiga yang secara alami dilengkapi oleh sebuah kode ekstra-linguistik. Kode sebagai sistem makna yang ketiga (makna luar) yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda (Barthes, 1974: 18-20) yang terdiri dari lima jenis kode, diantaranya :

Hermeneutik

Dalam kode hermeneutik, terdapat banyak istilah yang berupa sebuah teka-teki

dibedakan menjadi, diduga, diformulasikan, dipertahankan dan akhirnya

(43)

Proairetik

Merupakan tidakan naratif dasar yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam

berbagai situasi yang mungkin dindikasikan. Kode seperti ini disebut sebagai

suara empirik.

Budaya

Sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Biasanya

masyarakat mengindikasikan kepada tipe pengetahuan (fisika, fisiologi,

psikologi, sejarah serta arsitektur). Serta mencoba untuk mengkonstruksikan

sebuah budaya yang berlangsung pada satu kurun waktu tertentu yang berusaha

untuk diekspresikan. Kode ini disebut sebagai suara ilmu.

Semik

Merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic code) yang

merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek yang petandanya adalah sebuah

karakter (sifat, atribut, predikat).

Simbolik

tema merupakan sesuatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan

dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang yang

(44)

37

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, kita menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang diambil dari pendapat orang-orang serta perilakunya yang menghasilkan data deskriptif baik berupa kata-kata tertulis maupun lisan. (Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong, M. A. (2007)). Menurut Krisyantono (2006) dalam Diah (2011), penelitian ini memiliki suatu tujuan untuk menjelaskan suatu fenomena dengan cara melakukan pengumpulan data secara mendasar tetapi tidak menekankan pada pengambilan data secara teknik sampling (banyaknya populasi). Sedangkan menurut William (1995) dalam Moleong, M.A (2007), menyatakan bahwa penelitian kualitatif ini merupakan teknik pengumpulan data pada objek data yang alamiah, menggunakan metode yang alamiah serta peneliti pun tertarik dengan hal-hal yang bernuansa alamiah. Dengan demikian metode yang digunakan adalah wawancara dan observasi.

(45)

 Simbol naga pada Keris naga kamardikan karya Mpu Pathor Rahman

sebagai objek penelitian yang didokumentasikan dan diamati.

Gambar 3.1 Bagian Dari Bentuk Keris (kiri), Ornamen (kanan) Sumber: Dokumen Peneliti

 Bagian yang akan diamati dan dianalisis adalah bentuk keris, ornamen dan

warna dengan metode Semiotika Roland Barthes. (Gambar 3.1)

 Keris naga kamardikan ini akan diamati dan di analisis menggunakan

(46)

 Metode menganalisanya menggunakan metodologi visual, metode ini

dipilih setelah menelaah dalam penelitian visual, penelitian visual di bagi menjadi tiga sudut pandang area yang dapat diambil oleh peneliti, seperti yang ditulis oleh Gillian Rose. Ketiga posisi tersebut adalah the site of the production of an image, the site of image it self dan site where it is seen by various audiences.

(47)

bagian yang terbentuk dan di lekatkan kepada obyek gambar visual yang ada, seperti yang diungkapkan oleh Rose (2001) bahwa penulis budaya visual tidak hanya perhatian dengan bagaimana gambar itu tampak, tetapi bagaimana gambar itu dilihat. Hal terpenting dalam gambar-gambar tersebut bukanlah gambar-gambar itu sendiri, melainkan bagaimana gambar itu dilihat oleh audiens tertentu dan dengan cara tertentu pula. Penelitian visual, merupakan penelitian menggunakan tool discourse untuk menganalisa objek yang diteliti. Menurut Ida (2011: 60), penelitian discourse tidak menyediakan jawban konkret atau jawaban yang tampak terhadap persoalan-persoalan pada penelitian ilmiah, namun penelitian discourse memberikan perangkat untuk dapat mengetahui asumsi-asumsi epistemology (dasar filosofinya, keahlamiahan) dan

(48)

Menurut Ida (2011: 65), menyatakan bahwa perangkat analisis

discourse atau the tools of discourse analysis yang digunakan dalam penelitian akan berbeda, tergantung pada disiplin ilmu yang ditekuni oleh peneliti. Sedangkan teknik-teknik gambar visual, ikon atau image, indek atau simbol merupakan perangkat analisis discourse-nya.

3.2 Metode Semiotika

Mengkaji pemaknaan visual merupakan kajian yang tidak hanya membahas kontekstual saja, melainkan mendefinisikan sebuah pemaknaan yang terlihat maupun tidak terlihat. Dengan semiotika ini mampu menggali hal-hal yang bersifat subtansial dari penggunaan bahasa maupun visual tentang seperangkat nilai atau bahkan ideology yang tersembunyi. Metode semiotika ini bersifat kualitatif-interpretatif, yaitu sebuah metode yang memfokuskan pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda dan teks tersebut (Piliang 2003: 261)

Nilai-nilai social yang terdapat dalam masyarakat ini mendorong peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes untuk membaca dan menganalisa Keris Naga Kamardikan karya Mpu Pathor Rahman yang berada di kabupaten Sumenep, Madura.

(49)

tertentu. Dalam mitos atau ideologi sendiri terbagi menjadi 3 dimensi, yaitu penanda (signifier), petanda dan tanda. (Barthes, 2007: 300)

Dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk menggambarkan dan memaknai simbol naga pada keris naga kamardikan, pada tiap gambar visual yang berupa simbol naga secara semiotika terutama yang berkaitan dengan mitos atau ideologi. Keris naga kamardikan sebagai objek yang diteliti memiliki beberapa tanda atau simbol-simbol yang dibentuk maupun dilekatkan serta digunakan dengan tujuan tertentu dalam gambar visualnya.

3.3 Unit Analisis

Unit analisis penelitian ini mengambil dari bagian-bagian dari beberapa aspek visual gambar naga, yakni bentuk mahkota, bentuk mata, bentuk moncong, ekor naga, bentuk ornamen dan warna dari bilah keris. Karya-karya yang berupa simbol naga menjadi pilihan peneliti dikarenakan objek utama penelitian ini adalah simbol naga dari keris naga kamardikan, sehingga dapat dianalisis menurut sistem pengkodean berdasarkan kajian konotasi, denotasi dan mitos semiotika Roland Barthes.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

(50)

a. Data primer diperoleh berupa gambar visual yang dianggap oleh peneliti terdapat unsur tanda-tanda berupa simbol, indeks dan ikon.

b. Data sekunder diperoleh melalui pustaka (library research), dengan cara mempelajari dan mengkaji literatur yang berhubungan dengan permasalahan, untuk mendukung dan memperkuat asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dibahas yakni berkenaan dengan semiotika terutama denotatif, konotatif serta mitos.

3.5 Teknik Analisis Data

Data berupa gambar simbol naga pada keris naga Kamardikan dengan teori-teori yang menggunakan image base research, yakni :

a. Data yang terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan kerangka teoritis metodologi visual, aspek visual meanings melalui still image,

dengan mengedepankan cara menjabarkan atau menjelaskan visualnya menggunakan site of self, dimana peneliti akan menganalisis dari visual berdasarkan bentuk serta warna yang dianggap penting sehingga mampu menciptakan serta merepresentasikan sesuatu. Sedangkan dari sisi wilayah dimana keris naga kamardikan itu dibuat juga menjadi bagian yang dianalisis.

(51)
(52)

45

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

4.1 Data Penelitian

Gambar 4.1 Bentuk Keris Naga Kamardikan Secara Keseluruhan. Sumber: Dokumen Peneliti

(53)

Bentuk naga berada pada bagian bawah keris, apabila kita memegang ataupun melihat keris akan terlihat jelas bentuk naga pada sisi bagian kanan bawah dimana bentuk ekornya akan mengisi seluruh bagian bilah keris. Dalam penelitian ini di bagi dalam tiga bagian sample, dikarenakan bentuk naga yang panjang mengikuti bentuk bilah keris. Tiga bagian tersebut yakni, bagian bentuk naga sampai bentuk ekor, warna dan ornamen, dengan di ambil semua data sebagai bahasan, diharapkan mendapatkan makna secara keseluruhan dari keris naga kamardikan tersebut.

4.2 Analisa Data

4.2.1 Simbol Naga sebagai Mitologi

Gambar 4.2 Jenis Naga Eropa (kiri), Jenis Naga Asia (kanan) Sumber: http://wtmlbro.blogspot.com (kiri), http://ei-ezra.blogspot.com (kanan)

Naga merupakan makhluk mitologi paling terkenal di seluruh dunia. Istilah

Naga menurut I.W. Mabbet dalam Munoz, adalah sebagai berikut “Naga adalah

sebuah kata dari bahasa India pra-Arya, kesamaan katanya dalam bahasa Sanskrit

(54)

memuja ular, air dan bumi yang menjadi kepercayaan di India dan Asia

Tenggara”(Munos,2006: 55 dalam Yuwono,2011: 22).

Menurut Stanlay Hendrawijaya melalui artikelnya di majalah pamor (2009) yaitu

“Terdapat dua jenis naga yang diketahui di dunia, yaitu naga eropa dan naga

oriental (yang berasal dari Cina atau Asia). Naga dalam bahasa Inggris disebut Dragon, bahasa Yunani adalah drakon artinya ular raksasa, kata ular

raksasa ini merupakan kata kerja derkomai yang artinya ‘pandangan yang

tajam’. Naga tersebut banyak menggambarkan tentang kekuatan magis

sehingga secara umum binatang tersebut dimasukkan dalam golongan binatang mithologi. Menurut pandangan masyarakat naga tersebut digambarkan sebagai sosok monster dengan punggung yang berduri dan memiliki sayap seperti kelelawar. Naga dengan ciri tersebut banyak disebut sebagai naga yang berada di Eropa, sedangkan naga Asia atau Oriental hanya digambarkan sebagai sosok ular besar” (2009: 13-17). (Gambar 4.2).

(55)

naga ini merupakan bentuk adopsi dari binatang-binatang yang ada, seperti kepala naga yang mengambil bentuk kepala singa (Gambar 4.3), bentuk mata naga diambil dari bentuk mata elang yang tajam, siripnya diambil dari bentuk sirip ikan arwana, kakinya diambil dari bentuk kaki singa.(Hari Genduk, wawancara, 2009 dalam Yuwono, 2011: 24).

Gambar 4.3 Bentuk Dari Representasi Kepala Naga

Sumber: http://www.4shared.com (kiri), http://anisacomputer.wordpress.com (kanan)

Menurut pakar keris, Toni Junus Kartiko 2009, bahwa naga merupakan bentuk makhluk suci yang menyerupai ular tetapi setiap daerah atau Negara atau bahkan benua memiliki ciri-ciri yang berbeda sehingga ular atau naga tersebut memiliki karakter dan identitas budaya sendiri-sendiri. Di Korea naga disebut dengan ‘Yong’ sebagai sebutan untuk naga langit sedangkan naga laut disebut

‘Imoogi’. Di Vietnam disebut ‘Rong’ atau ‘Long’, di Thailand disebut ‘Makara’,

di Jepang disebut ‘Ryu’, Filiphina disebut ‘Bakunawa’ dan di Kamboja disebut

‘Neak’ (2009: 13-17).

(56)

‘Naga’ merupakan bahasa Sansekerta berarti ‘ular jantan’, sedangkan ular

betina disebut nagagini. Dalam bahasa Kawi disebut ‘ular’(Wojowasito,

1977: 174 dalam Yuwono, 2011: 23).

Menurut Prawiraatmodjo dalam buku kamus ‘Bau Sastra-Jawa Indonesia

menerangkan bahwa

‘Dalam bahasa Jawa, naga artinya ular besar atau ular dalam ukuran besar.

Naga ini dianggap keramat dan dipercaya memiliki kekuatan magis. Naga sering dikisahkan sebagai binatang penjaga kiblat pada perubahan tahun, bulan, hari dan digunakan sebagai petungan’(1981: 335). (Yuwono, 2011: 23).

(57)

lainnya memiliki karakter Yin (Negatif). Naga Cina memiliki tiga atau empat cakar di masing-masing kaki. Namun kerajaan Cina menggunakan lambang naga dengan lima cakar untuk menunjukkan sang Kaisar bukan naga biasa. Lambang ini kemudian menjadi lambang ekslusif yang hanya boleh digunakan oleh sang kaisar.

Dalam literatur Cina, ditemukan lebih dari 100 nama naga yang berbeda-beda. Namun, naga Cina secara umum digolongkan ke dalam empat jenis, yaitu

Tien Lung atau Naga Langit yang bertugas menjaga istana para dewa, Shen Lung

(58)

sebagai lambang Kekaisaran dan digunakan sebagai lambang – lambang pada ritual ataupun perayaan besar masyarakat Cina.

Naga dianggap sebagai penjelmaan roh dari orang suci yang dianggap belum masuk surga. Biasanya roh orang suci menjelma dalam bentuk naga kecil dan menyusup ke dalam bumi untuk menjalani tidur dalam waktu lama. Setelah tubuhnya membesar, ia bangun dan terbang menuju surga. Naga dalam masyarakat Cina sering dijadikan simbol shio yang memiliki arti kebenaran, perlindungan dan keperkasaan. Biasanya, shio naga terdapat pada tahun 2012,2000, 1988, 1876, 1964, 1952, 1940. Shio dengan lambang atau simbol naga ini dipercaya memiliki kemampuan mulut yang baik, namun juga sering membuatnya celaka. Dari data-data yang ditemukan oleh masyarakat Cina, menyebabkan masyarakat Cina percaya bahwasanya naga menjadi hewan yang tidak hanya ada dalam imajinasi saja, namun dalam kehidupan nyata tetap ada. Sehingga bagi masyarakat Cina, naga merupakan simbol kekaisaran sebagai penghormatan terhadap naga, dan juga naga dianggap sebagai dewa.

(59)

Naga juga dianggap makhluk langit, memiliki dua alasan, yang pertama adalah segala yang berhubungan dengan air seperti ikan dan buaya kemudian dihubungkan dengan darat seperti babi, kuda, sapi, dan rusa serta langit seperti petir, pelangi, dan burung – burung yang digabungkan menjadi satu. Dan yang kedua adalah karena kerterbatasan manusia maka memerlukan sesuatu yang melebihi daya pemikiran sendiri seperti agama sehingga manusia dapat melepaskan penderitaan dan memohon atas segala keinginannya melalui bentuk naga inilah masayarakat percaya bahwa naga akan menyampaikan permohonan dan penderitaan kepada sang pencipta. Sehingga membuat naga sering digunakan untuk acara – acara kekaisaran dan makhluk mistis. (http://journal.fsrd.itb.ac.id).

Naga dalam masyarakat Jawa diartikan sebagai makhluk imajinatif atau makhluk mitologis. Naga hadir dikarenakan imajinasi manusia dalam ruang

(60)

dijadikan budaya jawa, misalnya terdapat pada gamelan, pintu candi dan gapura yang melambangkan sebagai lambang penjaga. Kemudian masyarakat Dayak juga menggambarkan Naga sebagai penguasa dunia bawah, dan Burung Enggang sebagai penguasa dunia atas.

Naga atau Ular menurut masyarakat Indonesia dianggap sebagai lambang dunia bawah. Sebelum Zaman Hindu (Neolithicum), di Indonesia terdapat pemikiran bahwasanya dunia ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu dunia bawah dan dunia atas, dimana masing-masing mempunyai sifat-sifat yang saling bertentangan. Dunia bawah antara lain dilambangkan dengan bumi, bulan, gelap, air, ular, kura-kura, buaya. Sedangkan dunia atas dilambangkan dengan matahari, terang, atas, kuda, rajawali. Dalam cerita Mahabarata atau pemikiran masyarakat Indonesia sendiri sebelum Zaman Hindu, naga atau ular selalu berhubungan dengan air, sehingga disebut-sebut naga adalah dewa penjaga air.

(61)

diukir dengan bentuk gambar kepala ular Naga. Selain pada seni dekorasi, simbol naga juga digunakan pada beberapa relief candi. Naga di candi ini dinamakan

Naga Taksaka yang bertugas menjaga candi. Umumnya ular naga dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik ataupun bentuk makara dengan naga yang menganga dengan seekor singa di dalam mulutnya. Hiasan semacam ini umum didapati di candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sering pula wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Fungsi naga pada bangunan candi atau pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan terhadap sebuah bangunan.

Gambar 4.4 Penggunaan Naga. Simbol Naga Sebagai Penjaga(kanan), Simbol Naga Sebagai Seni Dekorasi Gamelan (kiri).

(62)

Sedangkan dalam ilmu paduwungan atau perkerisan, keris yang disebut

‘naga’ sebenarnya belum tentu keris dalam keris tersebut terdapat motif naganya.

Penggunaan kata naga dalam keris memiliki pengertian, tergantung pada fungsinya antara lain terdapat pada :

a. Secara fisik, bilah keris disebut sebagai bentuk stilisasi seekor naga atau ular yang sakti berdasarkan bayangan imajinatis masyarakat Jawa Istilah naga banyak digunakan untuk menyebut jenis keris naga tapa (bertapa) atau sarpo tapa (ular bertapa). Istilah tersebut digunakan untuk menyebut bilah keris yang berbentuk lurus, tanpa melihat nama dhapur-nya. Istilah naga atau sarpo lumaku (ular berjalan) digunakan untuk sebutan jenis bilah keris luk, dimana lekukannya menyerupai ular berjalan. Istilah naga juga digunakan untuk jenis keris yang disebut naga atau sarpo nglangi untuk keris berluk, dimana luknya menyerupai bentuk ular berenang. Sedangkan bilah keris yang berluk dengan lekukan lebih dalam dengan sudut yang menyempit disebut bilah keris naga atau sarpo nyander

(menerkam).

b. Sebutan naga berguna untuk menyebut bilah keris yang bermotif naga baik itu berluk ataupun tidak.

c. Sebutan naga juga berguna untuk menyebut motif pamor. Misalnya pamor naga rangsang, dimana motif pamor ini seperti bentuk pamor

(63)

tergolong pamor rekan, yaitu motif pamor yang saat pembuatannya telah

direka atau dirancang oleh sang empu.

d. Sebutan naga juga berguna untuk menyebut tuah atau kekuatan gaib yang terdapat pada bilah keris berupa naga.

e. Melalui kosakata perkerisan, naga juga dikenal sebagai nama dhapur

keris sesuai dengan kelengkapan rinciannya. Nama-nama dhapur keris yang termasuk kelompok naga yaitu dhapur nagasari, dhapur nagabongkokan, dhapur nagakeras, dhapur nagasasra, dhapur nagagini, dhapur nagasiluman, dhapur nagaliman, dhapur nagalare, dhapur nagateantin.

Gambar 4.5 Penempatan Simbol Naga Pada Keris Sumber: Dokumen Peneliti

(64)

dan tidak memiliki kaki. Melainkan bentuk naga ini lebih terlihat ramping, terlihat lebih terkesan berwibawa, kebijaksanaan dengan menggunakan mahkota beserta atribut layaknya seorang raja atau pemimpin.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum naga merupakan jenis hewan, yang divisualkan dengan bentuk ular besar dan bentuk tubuhnya merupakan adopsi dari beberapa hewan lainnya seperti yang telah dijelaskan pada gambar 4.3. Secara konotasi simbol naga memiliki banyak makna misalnya pada kebudayaan Cina naga dijadikan sebagai shio yang membawa keberuntungan, dijadikan simbol kekaisaran Cina, kebijaksanaan dan keagungan. Dalam Negara barat atau Eropa lebih diibaratkan sebagai monster, memiliki sifat penghancur dan lambang kegelapan. Sedangkan dalam masyarakat Jawa dijadikan sebagai simbol penjagaan pada sebuah bangunan, sebagai seni dekorasi pada gamelan, sebagai lambang penjaga dunia bawah (air), sedangkan dalam keris dijadikan sebagai lambang kebijaksanaan, kewibawaan, kebesaran, kekuasaan, kekuatan bagi pemakai keris dikarenakan naga dianggap sebagai dewa dan memiliki kekuatan magis sehingga memunculkan pemikiran bahwa keris dengan simbol naga membawa kekuatan bagi pemilik dan lambang kekuasaan, hal ini juga ditinjau dari bentuk visual naga yang menggunakan mahkota. Dimana mahkota merupakan lambang dari seorang raja.

(65)

seseorang berarti orang tersebut memiliki kekuasaan, tahta atau kedudukan, pemimpin.

Mahkota merupakan simbol yang dikenakan oleh seorang Raja. Mahkota digambarkan sebagai simbol kekuasaan dan otoritas atau tanda kemenangan. Dalam street art, penempatan mahkota pada sebuah gambar menandakan pencapaian. Seseorang yang menandai gambarnya dengan mahkota biasanya disebut King, dengan kata lain orang tersebut memiliki posisi.

Mahkota banyak sekali macam dan bentuknya, misalnya mahkota Kebawah Duli Yang Maha Mulia Sultan ialah mahkota kebesaran raja-raja Terengganu. Yang terbuat dari emas bertatahkan permata berlian. Di bagian tengah mahkota ini terdapat lambang bulan sabit dan bintang pecah lima yang bertatahkan permata. Yang melambangkan kemakmuran kerajaan yang dipimpin. Di bahagian bawahnya pula terdapat kain baldu berwarna kuning. (http://www.istana.terengganu.gov.my/mahkota_duli.php).

(66)

Gambar 4.6 Pengaplikasian Simbol Agama dalam Mahkota Sumber: http://newtonguee.blogspot.com

Bentuk mahkota nusantara secara visual adalah topi (kopiah) tinggi yg keras dan kaku yang berlapis emas. Mahkota tersebut biasa disebut sebagai ‘mahkota

ketopong’ (Gambar 4.6), Mahkota ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Sulaiman (1845-1899) dibuat oleh seniman lokal dan tukang emas dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Mahkota yang berbentuk Brunjungan ini merupakan salah satu simbol paling penting dari keberadaan kerajaan. Sebagai simbol kerajaan terbesar. Pembuatan mahkota ini membutuhkan hampir dua kilogram emas dan batu.

(67)

(68)

Gambar 4.8 Perubahan Bentuk Telinga Menjadi Sumping Pada Keris Sumber: Dokumen Pribadi

Bentuk visual pada naga nusantara ini juga menggunakan ‘sumping’ atau

disebut sebagai hiasan di telingga. Bentuk dari sumping ini seperti telinga manusia (gambar 4.8). Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi atau mengenal suara dan juga berperan dalam keseimbangan dan posisi tubuh. Makna konotatif dari sumping ini dimaknai sebagai seorang pemimpin harus memiliki ketajaman pendengaran dan memilah dari apa yang ia dengar. Sehingga sumping ini tidak hanya digunakan sebagai penghias telinga saja namun pencitraan dari ketajaman pendengaran seorang raja dalam memimpin.

Gambar

Tabel 2 Denotatif, Konotatif dan Mitos  ..................................................
Gambar 2.1 Jenis Kamardikan yang Berkonsep Bebas  Sumber: Dokumen Peneliti, 2014
Gambar 2.2 Keris kamardikan Bethoven. Sumber: Dokumen Peneliti
Tabel 1 Warna Dalam Lambang Masyarakat Jawa
+7

Referensi

Dokumen terkait