• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilkadal Antara Sistem “Otonomi Yang Sentralistis” Dan Good Local Governance

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pilkadal Antara Sistem “Otonomi Yang Sentralistis” Dan Good Local Governance"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PILKADAL ANTARA SISTEM “OTONOMI YANG SENTRALISTIS” DAN GOOD LOCAL GOVERNANCE

Muryanto Amin

Abstract: efficacy of Indonesian nation in conducting election of president and his proxy

directly at 2004 breathing life into and optimism to carry out election of regent and governor as regional leader, along with his proxy directly also. Election of regional leader directly this election of direct regional leader (pilkadal) is presumably expected will improve the quality of our democracy. System democratize representative seems fail to gratify all combatants of democracy, because in the reality all members of DPR, either in state level, sub-province and province do not always stand up for elector people. Many places of money politic and abuse power of in general still uppermost, where all out for politicians maximize accomplishment of importance of them neglectfully making proper. This article question: is it true effective pilkadal to patch lacking of representative democracy? More than that, with autonomous scheme of sub-province and province under law governance of new area ( UU No.32/2004), is pilkadal will be able to educate governance good in both this governance level? To answer this question first of all will be expostulated by positive result and negative impact of UU No. 22/1999 concerning Governance of Area, then will be seen by citizen participation in relationship context center and area in UU No. 32/2004.

Keywords: direct election of regional leader, and centralization of local government.

PENDAHULUAN

Pemerintahan transisi Habibie menge-sahkan UU No. 22/1999 dan 25/1999 tentang Pe-merintahan Daerah yang dapat dikatakan sebagai revisi atas peraturan perundangan sebelumnya yaitu UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pe-merintahan di Daerah. UU yang mulai diterapkan pada Januari 2001 tersebut membuka sumbatan pada saluran demokrasi pada tingkat lokal. Un-dang-undang ini memberikan peluang kepada daerah untuk mengelola sumberdaya yang dimi-likinya dan menggunakannya untuk mengatasi permasalahan, memenuhi kebutuhan, dan menya-lurkan kepentingan publik/masyarakat lokal.

Banyak pihak yang menaruh harapan besar terhadap keberhasilan otonomi daerah terutama dalam mendorong terwujudnya good governance. Memang benar, jika otonomi daerah dilaksanakan dengan baik, peluang untuk mere-formasi praktik penyelenggaraan pemerintah di Indonesia akan terbuka lebar. Dengan dimiliki-nya kewenangan yang besar oleh kabupaten atau kota dalam penyelenggaraan pemerintahan serta penguatan fungsi dan peran legislatif di daerah diharapkan mampu memotivasi terjadinya perbai-kan kualitas proses kebijaperbai-kan, dari formulasi sampai dengan evaluasi kebijakan. Proses

kebija-kan menjadi lebih partisipatif, transparan, respon-sif, dan akuntabel terhadap semua stakeholders di daerah.

Kualitas tata pemerintahan dan keberha-silan pelaksanaan otonomi daerah diyakini mem-punyai hubungan yang resiprokal ataupun simet-ris. Pada satu sisi dan suatu saat kualitas tata pe-merintahan dapat berposisi sebagai variabel inde-penden yang mempengaruhi keberhasilan pelak-sanaan otonomi daerah. Sedangkan pada sisi dan saat yang lain kebijakan otonomi daerahlah yang menjadi faktor penyebab berhasil terwujudnya tata pemerintahan yang baik (Dwiyanto, 2003).

(2)

25/1999 mewujudkan atau setidaknya mendorong terwujudnya good local governance? Sebelum menjawab pertanyaan itu perlu diawali dengan menjawab pertanyaan: bagaimanakah kinerja kebijakan otonomi daerah? Apa hasil positif maupun negatif dari UU tersebut? Untuk itu beri-kut ini dipaparkan gambaran tentang beberapa as-pek pemerintahan, khususnya di kabupaten: ke-wenangan pemerintah daerah dan relasi antara kabupaten-provinsi-pusat, kekuasaan yang dimi-liki DPRD kabupaten, kepegawaian dan orga-nisasi, keuangan, kualitas pelayanan publik, dan partisipasi warga (Dwiyanto, 2003).

PEMBAHASAN

Kewengan Pemerintahan dan Relasi Kabupa-ten-Provinsi-Negara

UU No. 22/1999 memberikan kewena-ngan yang sangat besar kepada pemerintah kabu-paten/kota. Kebijakan atau program pembangu-nan beserta pembiaya-annya, penentuan struktur pemerintahan, sistem rekruitmen dan pengemba-ngan aparatur, serta jumlah kualitas sumberdaya aparatur, sepenuhnya menjadi kewenangan peme-rintahan kabupaten/kota. Kabupaten yang memi-liki kapasitas, kreativitas, dan daya inovasi yang cukup tinggi berlomba-lomba melakukan per-baikan kualitas kegiatan pemerintahan, khusus-nya dalam hal pelayanan publik dan pembangu-nan di daerah.

Namun demikian, ternyata tidak semua kewenangan yang dimiliki pemerintah kabupa-ten/kota digunakan untuk kesejah-teraan atau ke-pentingan publik pada umumnya, melainkan un-tuk kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan kalau tidak segera dilakukan perbaikan atas sis-tem kontrol oleh masyarakat, kewenangan besar yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota tersebut justru berpotensi merugikan masyarakat.

Wewenang pemerintah terkesan lebih banyak berada di tingkat kabupaten daripada di tingkat provinsi maupun negara. Jarak antara warga dengan perumus kebijakan menjadi lebih dekat, sehingga mereka dapat lebih mudah me-nilai rasionalitas suatu kebijakan dan bahkan ter-libat dalam proses pengambilan kebijakan mau-pun ikut mengontrol pelaksanaannya. Pelayanan peme-rintah kabupaten tentulah lebih sesuai de-ngan kondisi lokal dibandingkan jika pelayanan tersebut diberikan oleh pemerintah provinsi atau negara.

Namun tidak sedikit kabupaten yang tidak menyelenggarakan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ramah kepada warga. Jika pun ada pelayanan kepada publik tidak jarang terjadi perselisihan antar maupun antara kabupaten– provinsi–negara, khususnya jika menyangkut sumber pendapatan (pajak, perusahaan, perkebunan, pelabuhan, batas wilayah). Ketidakmampuan pemerintah mau-pun asosiasi pemerintah kabupaten maupun provinsi untuk mengompromikan kepentingan yang saling berta-brakan mengakibatkan semakin banyaknya kon-flik yang timbul antar warga maupun antar peme-rintah.

Kekuasaan DPR Kabupaten

DPR Kabupaten mempunyai wewenang yang lebih luas dibanding sebelum 1999. Ini ber-arti rakyat melalui wakilnya dapat merumuskan kebijakan-kebijakan (peraturan dan anggaran) de-mi kepentingan mereka sendiri. Mereka juga mempunyai kekuasaan yang lebih besar untuk mengontrol bupati, sejak pengangkatan hingga penyu-sunan program kerja dan pelaksana proyek, sehingga diharapkan kebijakan bupati selalu berorientasi kepada kepentingan warga.

Namun anggota DPR Kabupaten adalah kader partai. Mereka sering lebih banyak mem-perjuangkan kepentingan partai (pengurus partai, baik pusat, provinsi maupun kabupaten) dari pada kepentingan para pemilih mereka. Komitmen me-reka kepada para pemilih meme-reka sangat rendah. Di samping itu tidak sedikit anggota DPR Kabupaten yang berpendidikan rendah atau bahkan “kurang pendidikan”. Akibatnya ada DPR Kabupaten yang menjiplak perda dari kabupaten lain, ada DPR Kabupaten yang meminta uang sebelum menyetujui perda yang diusulkan oleh sebuah dinas, sering terdengar peraturan daerah yang bertentangan dengan akal sehat dan oleh publik dianggap bermasalah.

(3)

Kepegawaian dan Organisasi

Untuk merespon pelimpahan wewenang yang sangat banyak dari pemerintah pusat, tidak sedikit pemerintah kabupaten yang berusaha un-tuk meningkatkan profesionalisme pegawainya. Mereka mengirimkan pegawainya untuk mengi-kuti program S2 dan bahkan ada yang berkeinginan untuk memberi pegawai mereka beasiswa program S3. Beberapa pegawai lulusan D1 didorong untuk meneruskan ke D3. Ini semua dibarengi dengan ketentuan karir pegawai yang mensyaratkan tingkat pendidikan tertentu. Hasil dari investasi di bidang personal ini tentu saja be-lum dapat dilihat secara nyata dalam waktu dekat ini. Namun diharapkan bahwa dengan kualitas pegawai yang lebih baik, kinerja birokrasi akan menjadi lebih baik pula. Di samping itu, dengan kekuasaannya seorang bupati di Kalimantan Ti-mur, misalnya, mencopot sekretaris daerahnya (sekda) yang melakukan korupsi.

Sebaliknya tidak sedikit kabupaten yang tidak memperhatikan kompetensi dalam peng-angkatan pegawai. Hal ini tidak jarang menim-bulkan kontroversi yang berkepanjangan di kala-ngan birokrasi dan melibatkan kepentikala-ngan partai politik. Dalam hal ini “putra daerah” menjadi isu sentral di banyak provinsi, tidak saja dalam pemi-lihan gubernur/bupati melainkan juga pengangka-tan pejabat birokrasi. Nepotisme, feodalisme dan suap masih mewarnai proses rekruitmen personal di banyak kabupaten. Sebagai dampaknya adalah, misalnya, terjadinya ketimpangan distribusi tena-ga pentena-gajar, di sekolah di daerah terpencil mem-punyai sangat sedikit guru.

Banyak upaya yang dilakukan pemerin-tahan kabupaten/kota untuk memper-baiki kualitas kelembagaan. Mulai dari restrukturisasi birokrasi yang disesuaikan kebutuhan daerah, perumusan ulang susunan organisasi dan tata kerja (SOT) ke arah lean governance (birokrasi yang ramping), dan digunakannya mekanisme “fit and proper test” dalam penempatan pejabat baru.

Sayangnya, masih banyak juga kabupa-ten/kota yang masih melakukan proliferasi, yang semata-mata untuk meng-akomodasi karyawan yang ada, kepentingan menempatkan kroni dan simpatisan partai KKN. Kelambanan membuat SOT yang baru ditambah dengan belum siapnya unit-unit pelayanan tertentu karena pendelegasi-annya belum jelas menyebabkan pelayanan pub-lik tidak bisa diberikan secara optimal. Contoh-nya adalah puskesmas yang oleh Dinas

Keseha-tan tidak diajak serta dalam mengambil keputu-san di bidang pengadaan obat dan peralatan, penentuan biaya maupun penyusunan program. Sebagai unit pelayanan, puskesmas hanya men-jadi pelaksana, padahal seharusnya dia paling ta-hu kebutuhan masyarakat dan karena itu harus ikut menentukan kebijakan di bidang kesehatan. Dengan kata lain, ketika di satu pihak para elit kabupaten meminta agar negara (dan provinsi) mende-sentralisasikan kekuasaan pada mereka, di pihak lain pada mereka tidak mau mendesentrali-sasikan kekuasaan tersebut kepada birokrasi di bawahnya.

Keuangan

Sejak diberlakukannya UU No. 22 dan 25/99 sebagian provinsi dan kabupaten memiliki sumber penerimaan keuangan yang lebih banyak. Pemerintah provinsi maupun kabupten/kota lebih bersemangat untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam menggali sumber-sumber pe-nerimaan non-pajak. Inovasi positif juga ditandai dengan terdapatnya sejumlah daerah yang meng-alokasikan anggarannya pada sektor sosial secara signifikan, seperti untuk anak-anak cacat, pendi-dikan, dan kesehatan. Dengan dana yang melim-pah pemerintah suatu kabupaten, misalnya, mem-buat kebijakan subsidi sekolah (penghapusan uang sekolah dan pemberian beasiswa), bantuan untuk orang-orang lanjut usia (lansia), bantuan desa hingga Rp 2 miliar desa per tahun (2002) dan pengembangan usaha kecil dan menengah. Selain itu, karena ketersediaan dana maka DPRD mengoptimalkan peninjauan lapangan dan perte-muan dengan warga sebagai upaya menyerap as-pirasi dalam menyusun APBD sebagai tambahan atas sarana konvensional seperti Musbangdes, UDKP, ataupun Rakorbang.

Namun wewenang untuk mengelola pajak kadang-kadang disalahgunakan oleh tidak sedikit kabupaten untuk menambah obyek pajak sebanyak-banyaknya dan menaikkan nilai pajak setinggi-tingginya. Misalnya ikan laut dikenai 3-4 kali retribusi, sehingga harganya di tangan kon-sumen naik sangat tinggi. Di sisi lain dana yang diperoleh pemerintah provinsi/kabupaten tidak selalu dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (lihat bagian “wewenang” di atas). Tidak jarang proyek pembangunan fisik terbengkalai. Tidak adanya rencana strategis mengakibatkan suatu proyek dihentikan mengi-kuti pergantian pejabat.

(4)

Kualitas Pelayanan Publik

Banyak kabupaten yang berusaha meningkatkan kualitas pelayanan dengan mengembangkan unit pelayanan terpadu, misalnya dalam perizinan, atau mendelegasikannya pada kecamatan sehingga proses perizinan lebih cepat dan mudah. Namun demikian, masih banyak juga fenomena seperti perpustakaan dan laboratorium yang kondisinya masih jauh dari kelayakan, penurunan kualitas alokasi anggaran kesehatan, ketidakpastian pe-layanan baik dalam hal biaya, waktu, dan cara pelayanan sehingga masih banyak dijumpai prak-tik pungutan liar dan diskriminasi pelayanan.

Pada umumnya kualitas pelayanan publik belum bertambah baik sejak 1999. Dalam hal sekolah misalnya, perpustakaan dan laboratorium tetap belum memadai, gaji guru tetap rendah. Di bidang kesehatan juga belum dijumpai peningka-tan kualitas pelayanannya. Di Sumatera Utara mi-salnya, alokasi anggaran kesehatan malah menu-run. Di samping itu masih ada birokrasi yang melakukan pemerasan kepada warga. “Jika ada uang segala urusan lancar” masih menjadi adagium di banyak tempat. Paralel dengan persoalan nepotisme dalam bidang kepe-gawaian (lihat atas), dalam pelayanan publik masih dijumpai diskriminasi pelayanan karena faktor afiliasi politik maupun etnis.

Forum Warga

Di banyak tempat telah dibentuk forum-forum pertemuan antara elite politik/ birokrasi dengan warga. Misalnya berupa jumatan keliling, forum rebosn, forum memlikuran, jalan pagi, sepeda santai, tasyakuran dan coffee morning. Forum-forum ini merupakan sarana untuk menso-sialisasikan program pemerintah di satu pihak menyerap aspirasi warga di pihak lain. Ini dilaku-kan secara rutin dan bersifat lebih bebas dibandingkan forum-forum sejenis pada zaman Orba. Selain itu bermunculan banyak sekali media massa lokal, yakni lebih dari 500 di seluruh Indonesia pada tahun 2001, yang rajin memberitakan tema-tema otonomi dan good governance dan karena itu menjadi salah satu menjadi instrumen demokrasi.

Namun di tempat lain tidak jarang warga mengeluh atas kebijakan-kebijakan pemerintah dan mereka tidak menemukan saluran yang efektif untuk mengubah atau setidaknya mempe-ngaruhi isi kebijakan-kebijakan tersebut. Ini teru-tama menyangkut peraturan pajak dan retribusi

(lihat bagian ”keuangan” di atas). Kecuali itu proses penyusunan, isi dan laporan anggaran tidak jarang dirahasiakan oleh para elite politik/birokrasi. Sekalipun telah ada gubernur dan bupati yang mempublikasikan laporan tahunannya lewat media massa.

Perbaikan Skema Otonomi Melalui UU No. 32/2004

Dari paparan di atas diakui bahwa UU No. 22 dan 25/1999 memang memiliki semangat yang seratus delapan puluh derajat berbeda da-ngan perundada-ngan sebelumnya. Namun, melihat praktiknya di atas, keberadaan perundangan ter-sebut belum sepenuhnya menimbulkan dampak yang positif bagi perbaikan tata pemerintahan (daerah) di Indonesia, sehingga dirasakan oleh sebagian kalangan perlunya dilakukan revisi undang-undang. Wacana untuk merevisi kedua undang-undang memang terus berlangsung seca-ra damai sepanjang pemerintahan Megawati, dan berakhir dengan dibuatnya oleh DPR sebuah un-dang-undang yang baru di penghujung masa pemerin-tahannya.

Jika implementasi kedua undang-undang tersebut banyak menghasilkan dampak negatif, seberapa relevankah revisi atas keduanya, khu-susnya atas UU No.22/1999, yang terwujud se-bagai UU No. 32/2004? Apakah hasil positif dari undang-undang yang lama masih akan tetap dira-sakan di bawah pengaturan undang-undang yang baru, sebaliknya dampak negatifnya dapat dieli-minir?

Di mata publik UU No. 32/2004 terkenal dengan model pemilihan gubernur dan bupati/-walikota beserta wakil mereka secara langsung, sebagai mana telah dilakukan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Namun di samping itu ada beberapa gagasan penting lain yang diaju-kan oleh undang-undang revisi ini, yang seper-tinya tidak terlalu dipedulikan oleh publik.

Kewenangan Pemerintahan dan Relasi Kabu-paten – Provinsi – Negara

(5)

kabupaten, sedangkan wewenang provinsi adalah hal-hal yang bersifat lintas kabupaten (lihat pasal 11 dan pasal 9) undang-undang yang baru mene-gaskan wewenang provinsi maupun kabupaten sejumlah 14 buah, mulai dari perencanaan pem-bangunan hingga pengembangan kope-rasi, plus pelayanan dasar lain (lihat pasal 13 dan pasal 14). Jadi wewenang provinsi dan kabupaten adalah dalam bidang-bidang yang sama persis. Dan karena bupati berada di bawah kontrol gubernur (nyaris sepenuhnya), maka tidak bisa tidak bupati akan mengalah terhadap (nyaris) semua kemauan gubernur.

Gubernur adalah wakil pemerintah di wilayah provinsi, memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerin-tahan daerah kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan urusan pemerin-tah serta pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota (pasal 38). Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan kabupaten untuk menolak kehadiran gubernur terkait tugas-tugas di atas. Mekanisme pengawasan kepada gubernur maupun bupati semakin galak, sehingga presiden tanpa melalui usulan DPR dapat memberhentikan sementara kepala daerah yang didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme dan makar (pasal 30 dan pasal 31).

Jika semula dinyatakan bahwa “Wilayah NKRI dibagi dalam daerah provinsi, daerah ka-bupaten, dan daerah kota yang bersifat otonomi,” daerah-daerah tersebut masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain, kini dinyatakan bahwa “NKRI di-bagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah pro-vinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerin-tahan dae-rah” (pasal 2). Memang tidak dinyatakan bahwa secara hierarkis kabupaten adalah bawahan pro-vinsi. Namun peng-ulangan kata “tidak mempu-nyai hubungan hierarki” sudah dengan sendirinya menunjuk pada pengertian bahwa hierarki itu ada (atau lebih tepatnya: dikembalikan keberadaan-nya, sebagaimana UU No. 5/1974). Ini intinya otonomi kabupaten menjadi lebih sedikit/kecil, terutama bahwa karena kabupaten menjadi dapat dan bahkan selalu dikontrol oleh provinsi yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat, sekalipun pada gilirannya provinsi selalu dikontrol oleh negara. Pengawasan dari provinsi dan negara terhadap kabupaten yang semula lebih bersifat represif (ex post) menjadi lebih bersifat

preventif (ex ante). Termasuk dalam hal ini ada-lah pengawasan preventif terhadap anggaran, di-mulai dari penyusunannya.

Jadi kesan sentralistis dapat dihindari, setidaknya terjadi pergeseran “letak otonomi” da-ri kabupaten/kota ke provinsi. Memang dinyata-kan, bahwa pembagian wewenang antara provinsi dan kabupaten (juga pemerintah) harus dida-sarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, namun kiranya akan sulit dihindari bahwa mereka yang di atas akan dapat mendikte mereka yang di bawah. Terhadap perubahan ini dapat diajukan beberapa pertanyaan: Apakah struktur seperti ini tidak mematikan kreativitas dan invasi yang selama ini telah berkembang di banyak kabupaten? Di pihak lain, apakah penyelewengan yang terjadi di beberapa kabupaten dapat diminimalkan? Masih besarkah ruang yang terbuka bagi publik untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, monitoring dan evaluasi kebijakan-kebijakan kabupaten?

Kekuasaan DPR Provinsi dan Kabupaten

UU No. 22/1999 memberikan kekuasaan yang luar-biasa besarnya kepada DPR Provinsi dan Kabupaten. Mereka dapat mengangkat dan memecat gubernur maupun bupati secara sangat leluasa. Di provinsi dan kabupaten telah berlang-sung parliament government. Hal ini mungkin bagus dalam perspektif demokrasi atau partisipa-si, namun pada kenyataannya telah menghasilkan implikasi negatif sebagaimana diterangkan di atas. UU No. 32/2004 mencoba mengembalikan hubungan kerja eksekutif dan legislatif menjadi setara dan bersifat kemitaraan, dengan konsekuensi tentu saja kesan dikebirinya peran DPRD. Parlemen provinsi dan kabupaten ini ti-dak lagi memilih gubernur maupun bupati, kare-na hal ini kini dilakukan oleh rakyat (baca: war-ga, konstituen) secara langsung (pasal 24). Di pihak lain gubernur dan bupati kini melaporkan penyelenggaraan pemerintahan-nya kepada pemerintah pusat, sedangkan DPRD cukup diberi “keterangan laporan pertanggungjawaban” (pasal 27 ayat 2-5 dan pasal 42 ayat huruf h).

(6)

perun-dang-undangan yang lebih tinggi (pasal 185 s/d 191), dan penyelenggaraan pemerintah daerah harus mengacu pada sistem perencanaan pemba-ngunan dan sistem keuangan negara yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat (pasal 150-154). Memang bisa dipahami, bahwa mekanisme evaluasi tersebut dimaksudkan untuk mengatasi merebaknya praktik KKN melalui persekong-ko-lan antara DPRD dengan eksekutif, merebaknya pengembangan/ pembentukan wilayah baru yang hanya didasarkan semangat primordialisme, serta overlapping dalam pembangunan yang sering ter-jadi sebelumnya. Tetapi kiranya tidak dapat di-hindari, bahwa mekanisme ini berbau resentrali-sasi, yang tentunya patut dikhawatirkan menyim-pan kelemahan pula. DPRD kembali berposisi se-perti bahwa skema UU No. 5/1974: tukang stem-pel dari setiap kebijakan bupati “Kedaulatan Rak-yat” di bawah skema ini patut dipersoalkan.

Kepegawaian dan Organisasi

Semula daerah memiliki kewenangan be-sar dalam mengelola pegawai, yang menjadikan di beberapa tempat bupati dengan sangat leluasa mengangkat dan memindahkan pegawainya. UU No. 32/2004 menentukan lain, yakni bahwa pega-wai dikelola secara unified maupun separated system. Artinya ada bagian yang menjadi wewe-nang provinsi dan kabupaten (lihat penjelasan umum tentang kepegawaian daerah). Pemerintah melakukan pembinaan manajemen PNS daerah yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban maupun pengembangan kompetensi dan pengendalian jumlah (pasal 129).

Menurut hemat penulis, resentralisasi di bidang kepegawaian sangat tepat, setidak-nya di-kehendaki oleh banyak pegawai provinsi maupun kabupaten. Dalam beberapa kesempatan berdia-log dengan mereka, penulis menemukan bahwa mereka merasa lebih aman dan nyaman jika lang-sung dikelola oleh pemerintah pusat, sehingga tidak dapat diutak atik (diganggu, dicopot dengan tanpa alasan yang benar) oleh gubernur atau bupati.

Di bawah undang-undang yang lama pemerintah provinsi maupun kabupaten menen-tukan sendiri bentuk organisasinya, sehingga ke-cenderungan yang terjadi adalah pembengkakan organisasi atau proliferasi. UU No. 32/2004 me-nentukan, bahwa “Pengen-dalian organisasi

pe-rangkat daerah dilakukan oleh Pemerintah untuk provinsi dan oleh Gubernur untuk kabupaten/kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah” (pasal 128 ayat 2). Dengan demikian daerah tidak bisa seenaknya lagi membentuk dinas atau lem-baga teknis baru. Sebenarnya di bawah undang-undang yang lain ada PP No. 8/2003 yang mem-batasi volume organisasi pemerintah provinsi dan kabupaten, tetapi tampaknya ketentuan ini belum sempat direalisasikan (jika bukannya terlambat dibuat).

Keuangan

Seperti telah disebutkan di atas pengawa-san oleh negara kepada provinsi dan provinsi ke-pada kabupaten kini bersifat preventif, tenden-sinya lebih ketat. Jika sebelumnya APBD yang sudah disahkan cukup diberitahukan kepada gu-bernur bagi kabupaten dan presiden bagi pro-vinsi, kini RAPBD maupun rancangan penjaba-rannya harus disetujui terlebih dahulu oleh pemerintah atasan itu sebelum dapat disahkan (pasal 185 ayat 1–4 dan pasal 186 ayat 1–4). Lebih dari itu APBD (dan perda lainnya) yang sudah berjalan yang ditengarai “tidak sesuai dengan kepentingan umum dan perundangan yang lebih tinggi” dapat dibatalkan oleh pemerintah atasan (pasal 185 ayat 5 dan pasal 186 ayat 6). Konsisten dengan ini, perda tentang pajak dan retribusi “harus dikoordinasikan” ter-lebih dahulu dengan Menteri Keuangan (pasal 189).

(7)

Partisipasi Warga

Resentralisasi sebagaimana diterang-kan di atas pada hakekatnya adalah juga pengebirian hak warga untuk berpartisipasi secara langsung (secara tidak langsung). Karena bupati harus ber-tanggung jawab kepada gubernur, maka kini war-ga tidak dapat mengontrolnya secara langsung maupun tidak langsung maupun melalui wakil mereka di DPR Kabupaten, melainkan harus me-lewati DPR Provinsi. Itupun tidak efektif, karena kewenangan DPR Provinsi untuk mengontrol gu-bernur sudah berkurang. Jalur partisipasi, dengan demikian, menjadi lebih panjang. Kekurangan inilah kiranya yang hendak diimbangi dengan hak mereka untuk memilih lansung bupati dan gubernur, dari yang sebelumnya dilakukan oleh wakil mereka di DPRD.

Memang kualitas demokrasi dari pemili-han langsung bupati dan gubernur tersebut jelas lebih baik. Namun tidak berarti pemimpin yang terpilih secara otomatis akan terjamin keberpiha-kannya terhadap aspirasi rakyat yang telah memi-lihnya melalui kebijakan-kebijakan yang diambil-nya. Pilkadal dapat kehilangan makna, bila ruang bagi warga untuk ikut merumuskan kebijakan publik justru menyempit dengan adanya resentra-lisasi seperti dijelaskan di atas. Meskipun pilkada langsung menghasilkan bupati dan gubernur yang mengantongi legitimasi yang kuat dari masyara-kat, namun sepertinya tidak ada keharusan bagi-nya untuk mendengarkan aspirasi masyarakat, karena dia akan banyak menjadi implementator kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. Adanya kesempatan warga untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam rangka penyi-apan atau pembahasan rancangan perda (pasal 139 ayat 1) kiranya hanya akan menjadi pemanis bibir belaka.

Pengurangan peran warga juga terjadi di tingkat desa. Badan Perwakilan Desa (BPD) dikebiri kekuasaannya. Semula anggota BPD dipilih langsung oleh warga, kini diisi ketua RW, pemangku adat dan tokoh masyarakat lain, yang ditetapkan secara “musyawarah dan mufakat”. BPD kini adalah Badan Permusyawaratan Desa (pasal 200 dan pasal 201). Sekalipun dinyatakan bahwa fungsinya adalah menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat (pasal 209), pe-rubahan cara pembentukannya ini sudah barang tentu membawa konsekuensi sangat besar ter-hadap rasa keterwakilan warga dan “keterdenga-ran” suara mereka. Apalagi fungsi pengawasan

BPD sebagaimana diatur oleh undang-undang la-ma tidak lagi disebut. Mela-mang dinyatakan bah-wa “kepala desa bertanggung jabah-wab kepada rak-yat”, tetapi pertanggungjawaban tersebut disam-paikan pada bupati/walikota melalui camat, per-sis seperti bupati dan gubernur dihadapan parlemen mereka, kepala desa “memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban” kepada BPD. Sedangkan kepada masyarakat hanya disampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawaban, meskipun tetap diberi peluang melalui BPD untuk meminta keterangan lebih lanjut (penjelasan umum tentang desa).

Analisis

Secara umum dapatlah dinilai, bahwa selain pilkadal (pemilihan kepala daera lansung) UU No. 32/2004 merupakan reaksi-keras terha-dap UU No. 22/1999. Struktur kenegaraan yang diciptakannya adalah (re)sentralisasi, dari yang sebelum desentralisasi. UU No. 32/2004 ini pada dasarnya melakukan resentralisasi kekuasaan. Kekuasaan terhadap kabupaten disentra-lisasikan kepada provinsi, dan pada gilirannya kekuasaan terhadap provinsi dicerabut dari tangan warga propinsi untuk dipegang oleh (dikembalikan?) negara. Proses formulasi dan evaluasi kebija-kannya bersifat top-down elitis, dari yang sebe-lumnya bottom-up partisipatif. Memang jika di-lihat implikasi dari UU No. 22/1999, bupati merasa “berdaulat” terhadap Provinsi dan Ne-gara, dan provinsi merasa “independen” terhadap negara sehingga mereka semua tidak mungkin dikoordinasi, disatupadukan programnya yang menjadikan Indonesia seperti stateless country, resentralisasi kiranya dapat dipahami.

(8)

siste-matis. Ringkasnya: Apakah apa yang dapat di-pahami harus diterima?

Pilkadal dan Good Local Governance dalam Skema “Otonomi yang Sentralis”

(Pilkadal telah penulis singgung dalam diskusi tentang partisipasi warga dalam skema otonomi yang baru. Bagian ini mendiskusikannya secara lebih rinci). Ide pilkadal dapat dilihat se-bagai wujud dari akumulasi kekecewaan terhadap praktik demokrasi perwakilan yang telah banyak diselewengkan. DPRD telah terbukti tidak selalu identik dengan aspirasi warga, termasuk dan atau terutama ketika mereka memilih kepala daerah dan mengutak-atik anggaran. DPRD begitu mu-dah terjebak ke dalam permainan politik uang. Elit politik (kepala daerah dan DPR serta pejabat birokrasi di sekitar mereka) telah berkolaborasi untuk menangguk keuntungan sebanyak-banyak-nya dari sumberdaya publik yang mereka kelola. Kolaborasi itu sedemikian kuatnya, sehingga dak ada pemisahan atau pembagian kekuasaan, ti-dak ada merasa ada pihak yang dikontrol maupun yang mengontrol. Ringkasnya: tidak ada checks and balances, tidak ada demokrasi. Kepentingan publik hanya disebut sebagai pemanis, untuk me-nipu atau membodohi warga. Pilkadal adalah metode untuk mengurangi (pasti bukan menghi-langkan) kelemahan-kelemahan demo-krasi perwakilan tersebut.

Dengan pilkadal diharapkan bupati atau gubernur yang terpilih dikehendaki oleh (mayo-ritas) warga, sehingga sikap pelayanan publiknya akan jauh lebih baik dibandingkan dengan jika dia dipilih oleh DPRD (apalagi melalui suap). Namun, sebagaimana mekanisme pemilihan yang direvisinya, mekanisme pilkadal tidak luput dari kritik. Berikut beberapa di antaranya.

Status Hukum Pengaturan Pilkadal

Meskipun sama-sama bersifat langsung, pemilihan kepala daerah berbeda dengan pemili-han anggota DPR/DPRD/DPD maupun presiden dan wakil presiden. Pemilihan yang lain diatur oleh undang-undang tersendiri (UU No.12/2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden), sedangkan pilkadal hanya diatur oleh beberapa pasal dalam UU No. 32/-2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan hukum tidak terelakkan menimbulkan kesan bah-wa proses pilkadal hanyalah bagian dari tugas pe-merintah (Mendagri), dan pilkadal sebagai suatu

bentuk demokrasi disubordinasikan di bawah kegiatan pemerintahan. Pemerintah membuat atu-ran (PP No.6/2005) untuk meng-operasionalkan pasal-pasal undang-undang tersebut, dan ini da-pat dianggap melukai nilai demokrasi, karena pe-milu seharusnya diatur oleh rakyat sendiri mela-lui suatu lembaga yang tidak berafiliasi kepada pemerintah. Tampaknya semangat resentralisasi yang mewarnai UU No. 32/2004 ditemui pula da-lam pengaturan pilkadal, sekalipun pelaksanaan-nya dilakukan oleh KPUD.

Calon Independen

Dalam pilkadal ini calon bupati atau gu-bernur harus dicalonkan oleh partai, itupun partai atau kumpulan partai yang memiliki 15 persen kursi di DPRD (pasal 59). Tanpa melalui partai, seseorang (calon independen) tidak boleh berta-rung dalam pemilihan. Memang dalam proses penetapan kandidat bupati atau gubernur partai wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat, tetapi kewajiban tidak berarti apa-apa, karena pada akhirnya partailah yang menen-tukan siapa kandidat yang mereka ajukan. Mengi-ngat hal ini, dapatlah dikatakan bahwa partisipasi publik hanyalah terbatas pada pemberian suara di TPS. Untuk selanjutnya, seperti telah disebut di -atas, warga juga tidak memiliki ruang partisipasi yang memadai untuk ikut merumuskan kebijakan publik dan mengawasi implementasinya.

Tidak diakomodasinya calon inde-penden kiranya mengurangi kemungkinan tampilnya pemimpin terbaik suatu daerah. Memang partai ataupun gabungan partai wajib membuka kesempatan bagi kandidat independen atau nonpartai (pasal 50 ayat 3) untuk mereka calonkan, namun pastilah tanpa komitmen tertentu kepada partai yang bersangkutan. Calon independen hanyalah akan menjadi pelengkap dalam proses penjaringan, sekedar untuk mengesankan bahwa partai bersikap demokratis dan terbuka. Ringkasnya, akan terjadi oligarki partai dalam sistem demokrasi kita.

Memang oligarki partai dapat dieliminir, jika proses pengambilan keputusan di dalam partai itu juga demokratis. Tetapi rasanya belum ada peraturan yang mengharuskan demokrasi di dalam setiap partai. Setiap partai sepertinya boleh menentukan cara sendiri melalui konvensi, konferensi atau sekadar kesepakatan di antara para pengurusnya.

(9)

gubernur yang akan diusung oleh suatu partai se-harusnya ditentukan oleh semua anggota partai itu dalam suatu muktamar atau kongres di tingkat kabupaten atau provinsi, tentu saja tanpa campur-tangan dari pengurus partai di tingkat nasional. Di atas semua itu bagaimanapun, sebaiknya calon independen memang diperbolehkan untuk ikut pilkadal.

Persekongkolan dan Money Politic

Sebagaimana dalam pemilu pada umum-nya, kemandirian dan netralitas KPUD sebagai penyelenggara pilkadal di perta-ruhkan. KPUD diberi wewenang membuat tata cara pilkadal, mempertanggungjawabkan penggunaan dan ke-pada DPRD, Panwas dibentuk oleh DPRD, dan pemerintah daerah membantu pendistribusian alat kelengkapan (pasal 47 PP No. 6/2005). Karena peran sentralnya, KPUD rentan terhadap penga-ruh dan intervensi dari semua kandidat kepala da-erah baik melalui hubungan famili, uang maupun tekanan atau teror psikis maupun fisik. Kerawa-nan ini semestinya dapat dikurangi, seandainya KPU sebagai atasan KPUD dilibatkan juga dalam pelaksanaan. Jika KPUD ditenggarai telah “ter-beli” oleh seseorang, KPU dapat menganulir hasil pilkadal. Tetapi ini menjadikan pilkadal terkesan sentralistis juga, jika akhir dari pilkadal itu berada di tangan pihak yang berada di luar ko-munitas poltik yang bersangkutan. Oleh karena itu pengawasan oleh Panwas yang dibentuk oleh DPRD harus benar-benar ditegakkan, di samping tentunya pengawasan oleh masyarakat sendiri maupun pengamat independen dari luar komunitas. Jadi kuncinya adalah DPRD, karena memang hasil pilkadal hanya sah jika ditetapkan oleh DPRD (pasal 109 ayat 3 dan 4). Dalam hal ini dapat muncul kecemasan, bahwa DPRD akan menunda penetapan hasil pilkadal dalam rangka mempengaruhi hasil pilkadal itu sendiri. Namun, sepanjang mekanisme pengambilan keputusan di dalam DPRD demokratis dan transparan, penundaan seperti itu adalah absah dan tidak perlu ditakutkan.

Selain itu, pembelian suara warga oleh kandidat tentu saja berpotensi untuk terjadi, se-perti dalam pemilu yang lain. Sebagaimana de-sentralisasi sejak 2001 yang memperluas korupsi ke hampir seluruh kabupaten dan provinsi di In-donesia, demikian juga pilkadal akan “mendesen-tralisasikan“ pembelian suara dari gedung DPRD ke seantero kabupaten dan provinsi. Ini adalah masalah klasik, yang pemecahannya telah sering

diucapkan maupun dilakukan orang: pendidikan politik dan transparansi.

PENUTUP

Harapan akan tumbuhnya demokrasi (termasuk di dalamnya partisipasi, transparansi dan clean governance) serta perbaikan kualitas pelayanan publik dengan dirombaknya struktur pemerintahan negara yang otoriter dan sentralistis menjadi demokratis dan desentralistis melalui UU No. 22/1999 ternyata tidak dapat direalisasi-kan dengan memuasdirealisasi-kan. Namun revisi terhadap undang-undang ini melalui UU No. 32/2004 dite-ngarai terlalu berlebihan, sehingga struktur peme-rintahan kita telah berbalik kembali bersifat sen-tralistis, tidak jauh berbeda dengan skema UU No. 5/1974 yang berlaku hingga Desember 2000. Hanya dalam pemilihan bupati dan gubernurlah sentralisme itu tidak terjadi, meskipun pengatu-rannya berpotensi menimbulkan permasalahan.

Demokrasi dalam sentralisasi, menurut penulis, tidak banyak maknanya. Pilkadal baru akan berarti, jika warga juga turut serta dalam proses pembuatan formulasi kabijakan-kebijakan maupun implementasi serta pengawasan dan eva-luasinya. Jika ternyata persyaratan ini tidak dipe-nuhi, kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa pilkadal hanyalah “perangkap” untuk mengkamuflase semangat resentralisasi yang mewarnai UU No. 32/2004 tentang Pemerin-ta-han Daerah. Dengan lepasnya atau menjadi sa-ngat sempitnya partisipasi warga dalam formu-lasi, implementasi dan evaluasi kebijakan publik yang disahkan dan dijalankan oleh para pemim-pin mereka sendiri, sulit dibayangkan bahwa good local governance akan terwujud.

Mengingat itu semua, tak ada pilihan lain kecuali segera merevisi UU No. 32/2004. Namun bahwa implementasi UU No. 22/1999 yang sa-ngat desentralistis ternyata telah terbukti menim-bulkan negatifnya sendiri, kiranya perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

(10)

2. Jika ternyata bahwa desentralisasilah yang menyebabkan semua itu, apakah memang ne-geri kita cocok (dalam arti apa?) diurus seca-ra sentseca-ralisasi oleh Jakarta? Atau setidaknya. 3. Apakah negeri kita paling baik dikelola seca-ra campuseca-ran: ya desentseca-ralistis, ya sentseca-ralistis; ya demokratis, ya otoriter? Atau dengan per-spektif yang berbeda, “tidak desentralistis, ti-dak sentralistis”?

Sambil memikirkan jawaban atas perta-nyaan-pertanyaan tersebut, dan sambil menunggu

kajian yang sistematis untuk merevisi UU No. 32/2004, menurut hemat penulis pemerintah perlu segera membuat PP atau merancang UU tentang referendum: bahwa kebijakan bupati atau gubernur yang tidak disukai oleh 4% dari jumlah pemilih harus ditunda pemberlakuannya sebelum penyelenggaraan referendum mengundang selu-ruh pemilih untuk memberikan suara ya atau tidak terhadap kebijakan itu. Sebagaimana mereka dulu dipilih oleh seluruh warga, sebagaimana itu pula kebijakan mereka harus diputuskan.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah Yogyakarta, PSKK UGM.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003. Teladan dan Pantangan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta, PSKK UGM.

Peraturan & Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Referensi

Dokumen terkait

Artinya kepala sekolah di Taman Kanak-kanak se-Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru cukup mampu mengarahkan dan mempengaruhi seluruh sumber daya manusia untuk melakukan

Awalnya mereka melihat, kemudian mereka akan mulai meniru apa yang diperbuat, mengikuti kebiasaan tersebut sperti ketika lania melakukan kegiatan posyandu lansia

Berdasarkan rumusan masalah tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis dan mengkaji; (1) tingkat kelayakan isi Buku Sekolah Elektronik (BSE) Penjasorkes SD Kelas 4 yang

Tunjangan  jabatan  fungsional  adalah  tunjangan  jabatan  yang  diberikan  kepada  pegawai  negeri  yang  menduduki  jabatan  fungsional  sesuai  dengan 

Tuhan semesta alam yang berkat rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan laporan akhir yang berjudul “Perhitungan Drop Tegangan Pada Jaringan Distribusi Primer 20 kV

Dalam rangka mendukung pencapaian prioritas nasional sebagaimana telah ditetapkan dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang dijabarkan dalam RPJMN periode

Dari pengujian uji t komparatif didapat nilai thitung = -3,76 dan ttabel = 2,02, dimana nilai thitung lebih kecil dari dari -ttabel dan berada di daerah penolakan H0,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dalam yang berjudul “Peningkatan Akurasi