PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN SELEKSI
KARAKTER AGRONOMI DAN KUALITAS SORGUM
DI LAHAN MASAM
WINDA PUSPITASARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pendugaan
Parameter Genetik dan Seleksi Karakter Agronomi dan Kualitas Sorgum di Lahan Masam adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
ABSTRACT
WINDA PUSPITASARI. Genetic Parameters Estimation of Agronomic and Quality Traits and Selection High Yielding Sorghum Lines in Acid Soil. Supervised by DESTA WIRNAS, SOERANTO HUMAN and TRIKOESOEMANINGTYAS.
Sorghum is a crop that has potential to be developed as an alternative food because sorghum is a source of carbohydrate and the content of protein, calcium and vitamin B1 is higher than corn and rice. Furthermore, sorghum has potency to be developed as raw material for bioethanol. The adaptation of sorghum in dry environment is suitable to be developed on dry land in Indonesia which is dominated by acid soil. The purpose of this study was to obtain genetic parameters of agronomic and quality traits of sorghum in acid soil and to obtain tolerant and high yielding sorghum lines. The study was divided into three experiments conducted at UPTD of Dry Land Tenjo. Genetic material used in experiments 1 and 3 was F4 and F5 generations from crosses between UPCA S1 (sensitive to acid soil) and Numbu (tolerant to acid soil). Genetic material used in the second trial was six mutant lines and four national varieties. The results showed that there was high variation on stem weight, biomass weight, grain weight/plant, total sugar content and harvest index. The variation of the content of amylose, amylopectin and protein was low, while the tannin content showed a wide variation. The result of selection based on grain weight/ plant and biomass weight could potentially generate 14 genotypes tolerant to acid soil and high yielding. Selection based on grain weight/plant and weight of biomass was effective in acid soil.
RINGKASAN
WINDA PUSPITASARI. Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Karakter Agronomi dan Kualitas Sorgum di Lahan Masam. Dibimbing oleh DESTA WIRNAS, SOERANTO HUMAN dan TRIKOESOEMANINGTYAS.
Sorgum merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pangan alternatif karena selain sebagai sumber karbohidrat, kandungan protein, kalsium dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibanding jagung dan beras. Selain itu, sorgum berpotensi dikembangkan untuk dikonversi menjadi bioetanol. Keunggulan daya adaptasinya terhadap lingkungan kering berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering di Indonesia yang didominasi lahan kering masam. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi parameter genetik karakter agronomi dan kualitas sorgum di lahan masam serta memperoleh galur-galur sorgum toleran lahan masam yang berdaya hasil tinggi serta berkualitas baik.
Penelitian dibagi menjadi tiga percobaan yang dilakukan di Lahan Percobaan UPTD Lahan Kering Tenjo. Materi genetik yang digunakan pada percobaan 1 dan 3 merupakan benih sorgum generasi F4 dan F5 hasil persilangan tetua UPCA S1 (peka lahan masam) dan Numbu (toleran lahan masam). Materi genetik pada percobaan dua digunakan 6 galur mutan sorgum generasi M9 dan 4 varietas nasional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat aksi gen aditif serta aksi gen epistasis pada karakter agronomi populasi F4 di lahan masam. Selain itu, terdapat keragaman yang tinggi pada populasi F4 terhadap karakter bobot batang, bobot biomasa, bobot biji/tanaman, kadar nira dan indeks panen. Keragaman karakter kualitas kandungan amilosa, amilopektin dan protein tergolong rendah, sedangkan kandungan tanin memiliki keragaman yang luas.
Hasil korelasi positif diperoleh antara karakter bobot biji/tanaman dengan karakter agronomi yang diamati kecuali karakter kadar nira. Terdapat korelasi negatif antara bobot biji/tanaman dengan kandungan protein biji sorgum. Kandungan tanin tidak berkorelasi dengan karakter agronomi maupun karakter kualitas lain yang diamati.
Hasil seleksi berdasarkan bobot biji/tanaman dan bobot biomasa menghasilkan 14 galur yang berpotensi toleran terhadap lahan masam dan berdaya hasil tinggi. Seleksi berdasarkan bobot biji/tanaman dan bobot biomasa cukup efektif untuk dilakukan di lahan masam yang ditunjukkan dengan dengan nilai realized heritability yang tinggi.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Judul Tesis : Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Karakter Agronomi dan Kualitas Galur-galur Sorgum di Lahan Masam Nama : Winda Puspitasari
NRP : A253090051
Program Studi : Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman (PBT)
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Desta Wirnas, SP, MSi
Ketua
Prof (R). Dr. Soeranto Human, MSc Anggota
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 2 Maret 1981. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari ayah Sugino dan ibu Tuti Sulastri. Penulis telah menikah dengan Emiel Afrans Titho, ST pada tahun 2004 dan telah dikaruniai dua orang putri bernama Aisyah Salma Hamidah dan Aliya Zakiya Zahra.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Pekayon 01 Jakarta Timur dan sekolah menengah pertama di SMPN 49 Jakarta. Pada tahun 1996,
penulis melanjutkan sekolah menengah atas di SMUN 14 Jakarta. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Jurusan Kimia Universitas Indonesia.
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Bagan alir penelitian Pendugaan Parameter Genetik Karakter
Agronomi dan Kualitas Galur-Galur Sorgum di Lahan Masam…... 5 2 Diagram biji sorgum yang terdiri dari pericarp, endosperm dan
embrio……… 7 3 Sebaran karakter tinggi tanaman sorgum populasi F4 di lahan
masam……… 40 4 Sebaran karakter diameter batang sorgum populasi F4 di lahan
masam……… 40 5 Sebaran karakter bobot batang sorgum populasi F4 di lahan
masam……… 40 6 Sebaran karakter bobot biomasa sorgum populasi F4 di lahan
masam……… 41 7 Sebaran karakter panjang malai sorgum populasi F4 di lahan
masam……… 41 8 Sebaran karakter bobot biji/tanaman sorgum populasi F4 di lahan
masam……… 41 9 Sebaran karakter kadar nira sorgum populasi F4 di lahan
masam……… 42 10 Sebaran karakter indeks panen sorgum populasi F4 di lahan
masam……… 42 11 Diagram lintas fenotipe beberapa karakter agronomi dengan
karakter bobot biji/tanaman sorgum populasi F4 (UPCA S1 x Numbu) di lahan masam………. 51 12 Keragaan warna spot daun sorgum, (a) coklat, (b) kuning…… 67 13 Keragaan malai sorgum Generasi F5 (UPCA S1 x Numbu) dan
tetuanya di lahan masam………. 73
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Kondisi Lahan Kering Masam Pada Lokasi Percobaan di Tenjo .. 94 2 Deskripsi varietas Numbu dan UPCA S1………... 95
PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN SELEKSI
KARAKTER AGRONOMI DAN KUALITAS SORGUM
DI LAHAN MASAM
WINDA PUSPITASARI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT semata yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini berjudul Pendugaan Parameter Genetik dan Seleksi Karakter Agronomi dan Kualitas Galur-galur Sorgum di Lahan Masam.
Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya yang disampaikan kepada:
1. Dr. Desta Wirnas, SP, MSi, Prof (R). Dr. Soeranto Human, MSc dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan arahan baik seputar akademis, penelitian maupun motivasi.
2. Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjipto, MS, selaku dosen penguji luar komisi pada ujian akhir tesis, serta dosen-dosen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama menempuh pendidikan di IPB.
3. KEMENRISTEK sebagai sponsor biaya pendidikan melalui Program Beasiswa Pascasarjana dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Program Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) 2009-2010 yang telah memberikan bantuan biaya penelitian.
4. Kepala dan staf UPTD Lahan Kering Tenjo, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor atas bantuannya selama penelitian.
5. Bapak dan ibu tercinta, Sugino dan Tuti Sulastri, serta Ayah dan ibu mertua, Awab Hakkie dan Fartiwi Somad, SPsi atas limpahan doa, semangat dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di IPB.
6. Suami tercinta, Emiel Afrans Titho, ST sertaanak-anak tersayang Aisyah Salma Hamidah dan Aliya Zakiya Zahra atas cinta dan kasih sayang yang diberikan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.
Bogor, Agustus 2011
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ……… xiv
DAFTAR GAMBAR ………... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ……… xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang ……… 1
Tujuan Penelitian ………. 4 Hipotesis Penelitian ………. 4
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sorgum ……… 6 Kualitas dan Pemanfaatan Sorgum ………. 8 Respon Tanaman di Lahan Masam ………. 12 Toleransi Tanaman Sorgum Terhadap Cekaman Lahan Masam ……… 14 Arah Pemuliaan Tanaman Sorgum ………. 15 Seleksi dan Parameter Genetik ……… 18
METODE PENELITIAN
I. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi Sorgum di lahan Masam
Bahan Tanaman ………... 22 Waktu dan Tempat ……….. 22 Metode ………. 23 II. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi dan Kualitas
Galur-Galur Mutan Sorgum Toleran Lahan Masam
Bahan Tanaman ………... 26 Waktu dan Tempat ……….. 26 Metode ………. 26 III. Seleksi Daya Hasil dan Kualitas Galur-Galur Sorgum di Lahan Masam
Bahan Tanaman ………... 32 Waktu dan Tempat ……….. 32 Metode ………. 32
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi Sorgum di lahan Masam
II. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi dan Kualitas Galur-Galur Mutan Sorgum Toleran Lahan Masam
Keragaan Karakter Agronomi Galur Mutan Sorgum di Lahan Masam .. 55 Keragaan Karakter Kualitas Galur Mutan Sorgum di Lahan Masam …. 58 Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi dan Kualitas Galur Mutan Sorgum di Lahan Masam …… 61 Hubungan Antar Karakter Agronomi dan Kualitas Galur Mutan Sorgum di Lahan Masam ………. 62 Keragaan Karakter Kualitatif Galur Mutan Sorgum di Lahan Masam ... 67 III. Seleksi Daya Hasil dan Kualitas Galur-Galur Sorgum di Lahan Masam
Keragaan Karakter Agronomi Galur F5 di Lahan Masam ……….. 69 Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi Sorgum Generasi F5 di Lahan Masam ……… 70 Seleksi Daya Hasil Galur-Galur F5 ……… 71 Keragaan Karakter Kualitatif Sorgum Generasi F5 ……… 72 Efektivitas Seleksi ………... 74
PEMBAHASAN UMUM ……… 77
KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 83
DAFTAR PUSTAKA ………. 84
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Sidik ragam karakter dengan rancangan acak kelompok …………... 30 2 Sidik ragam karakter berdasarkan augmented design………. 33 3 Keragaan tetua (UPCA dan Numbu) di lahan masam …... 36 4 Keragaan karakter agronomi populasi F4 dengan tetuanya di lahan
masam ……….……… 37 5 Skewness dan kurtosis pada sebaran kurva normal karakter
agronomi sorgum populasi F4 di lahan masam……..……...……….. 43 6 Pendugaan komponen ragam, koefisien keragaman genetik dan
heritabilitas arti luas karakter agronomi sorgum F4 di lahan masam. 46 7 Korelasi antar karakter agronomi sorgum populasi F4 di lahan
masam……….………. 47 8 Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi terhadap
hasil (bobot biji/tanaman) dari populasi F4 di lahan masam ………. 50 9 Diferensial seleksi berdasarkan karakter bobot biji/tanaman sorgum
populasi F4 di lahan masam ………..…………... 52 10 Diferensial seleksi berdasarkan karakter bobot biomasa sorgum
populasi F4 di lahan masam ………...……… 52 11 Diferensial seleksi berdasarkan karakter bobot biji/tanaman dan
bobot biomasa sorgum populasi F4 di lahan masam... 53 12 Rekapitulasi 10 galur terbaik hasil seleksi berdasarkan bobot
biji/batang, bobot biomasa serta bobot biji/batang dan bobot biomasa pada populasi F4 sorgum (UPCA S1 x Numbu) di lahan masam ………. 54 13 Hasil sidik ragam karakter agronomi genotipe sorgum toleran lahan
masam ……….………. 55 14 Nilai tengah dan kisaran karakter agronomi genotipe sorgum toleran
lahan masam ……….. 56 15 Keragaan beberapa karakter agronomi sorgum toleran lahan masam. 56 16 Rata-rata, kisaran dan hasil sidik ragam karakter kualitas genotipe
sorgum toleran lahan masam………... 58 17 Keragaan karakter kandungan amilosa, amilopektin, protein dan
tanin sorgum di lahan masam………. 59 18 Nilai duga ragam lingkungan, genotipe, fenotipe dan heritabilitas
arti luas………... 61 19 Keragaman genetik karakter agronomi dan kualitas genotipe
sorgum di lahan masam……….. 62 20 Korelasi antar karakter agronomi dan kualitas genotipe sorgum di
lahan masam………... 64 21 Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi dan
kualitas terhadap hasil dari genotipe sorgum di lahan masam………. 65 22 Keragaan karakter kualitatif dan kandungan tanin pada sorgum …... 68 23 Nilai tengah populasi F5 (UPCA S1 x Numbu) dan tetuanya dilahan
24 Nilai duga ragam genotipe, koefisien keragaman genetik dan heritabilitas arti luas………... 70 25 Keragaaan karakter agronomi 14 genotipe sorgum generasi F5
terbaik pada uji daya hasil pendahuluan di lahan masam………... 72 26 Keragaan warna spot daun, warna biji, kadar nira, bobot 100 biji,
bobot biji/tanaman dan produksi galur-galur terpilih generasi F5 .. 74 27 Respon seleksi berdasarkan seleksi bobot biomasa dan bobot
PENDAHULUAN
Latar BelakangKebutuhan pangan di Indonesia semakin meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk yang diperkirakan pada tahun 2020 akan mencapai 261 juta jiwa (BPS 2005). Saat ini beras sebagai makanan pokok dengan tingkat konsumsi mencapai 120.2 kg/kapita/tahun merupakan tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia (Muttaqin 2008). Dengan pola konsumsi yang hanya mengandalkan beras sebagai makanan pokok, diperkirakan pada tahun 2020 akan terjadi defisit beras sebesar 45 juta ton (Effendi 2006).
Diversifikasi (penganekaragaman) pangan dengan mencari sumber makanan pokok yang memiliki kualitas setara dengan beras sudah lama digalakkan pemerintah. Beberapa komoditi serealia dan umbi-umbian dapat dijadikan
alternatif dalam pemenuhan kebutuhan pokok tersebut, salah satunya adalah tanaman sorgum. Sorgum merupakan tanaman pangan utama ke-5 di dunia setelah padi, gandum, jagung dan barley (Reddy et al. 2007a).
Tanaman sorgum sangat potensial sebagai bahan pangan utama karena selain sebagai sumber karbohidrat, sorgum memiliki kandungan protein, kalsium dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibanding beras dan jagung (DEPKES RI 1992). Di daerah Afrika, biji sorgum dikonsumsi dalam bentuk roti (unleavened breads), bubur (boiled porridge or gruel), minuman (malted beverages and beer), berondong (popped grain) dan keripik (Dicko et al. 2006a).
Selain dapat diolah sebagai pangan, tanaman sorgum dapat dikonversi menjadi bahan bakar karena batangnya mengandung gula yang dapat difermentasi menjadi bioetanol. Pengembangan sorgum sebagai sumber bahan bakar alternatif telah dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, India dan Cina (BATAN 2011). Produktivitas sorgum sebagai penghasil bioetanol lebih tinggi dibandingkan tanaman lain yang umum digunakan, seperti tebu, jagung dan gula bit (Almodares dan Hadi 2009; Reddy et al. 2007b).
Keunggulan lain dari sorgum adalah daya adaptasi yang baik pada berbagai agroekologi. Tanaman sorgum memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga sesuai untuk dikembangkan pada lahan kering di Indonesia. Luas lahan kering di Indonesia mencapai 148 juta ha, dimana 69,46% dari lahan kering tersebut merupakan lahan kering masam (Mulyani et al. 2009). Lahan kering masam dicirikan dengan pH dan kesuburan tanah yang rendah. Derajat kemasaman lahan kering masam berada di bawah 5,5 sehingga dapat melarutkan beberapa logam toksik bagi tanaman, seperti Al dan Mn. Kelarutan Al di dalam tanah merupakan salah satu masalah utama dalam produksi tanaman. Cekaman Al
menyebabkan pertumbuhan akar terhambat sehingga mengurangi efisiensi penyerapan air dan hara (Kochian et al. 2004). Tanaman yang tercekam Al biasanya diikuti juga dengan gejala defisiensi P, Ca, Mg, B, Zn, Mo, Cu, K dan Na (Samac dan Tesfaye 2003; Luchi et al. 2007).
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi lahan kering masam yaitu melalui pengapuran dan pemupukan, namun tidak efisien karena mahal dan tidak dapat mengatasi kemasaman pada lapisan tanah yang lebih dalam. Pendekatan melalui program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul toleran lahan masam diperkirakan lebih efektif untuk memperbaiki produktivitas tanaman di lahan masam (Samac dan Tesfaye 2003).
3
tanaman, akan memberikan kemajuan genetik yang tinggi jika karakter yang diseleksi mempunyai nilai heritabilitas tinggi. Seleksi pada toleransi terhadap lahan masam sangat mungkin dilakukan karena beberapa penelitian menunjukkan terdapat keragaman terhadap toleransi lahan masam pada beberapa spesies tanaman (Delhaize dan Ryan 1995). Seleksi untuk pengembangan varietas toleran terhadap suatu cekaman dilakukan di lingkungan bercekaman sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman tersebut (Dawson et al. 2008).
Pemuliaan tanaman sorgum saat ini mulai banyak dilakukan di Indonesia dengan tujuan memperoleh varietas berdaya hasil tinggi baik pada perolehan biji maupun kadar gula batang (BATAN 2011). Selain itu, pemuliaan sorgum juga diarahkan pada daya adaptasi terhadap cekaman kekeringan dan cekaman lahan masam (BATAN 2011, Trikoesoemaningtyas et al. 2007).
Kegiatan penelitian sorgum yang dilakukan di Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor sejauh ini meliputi pembentukan populasi sorgum, studi genetik untuk toleransi dan daya hasil terhadap cekaman lahan
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan informasi tentang parameter genetik karakter agronomi galur sorgum di lahan masam.
2. Mendapatkan informasi tentang parameter genetik karakter yang berkaitan dengan kualitas biji sorgum.
3. Memperoleh informasi hubungan antara karakter agronomi dengan karakter kualitas.
4. Memperoleh galur-galur sorgum toleran lahan masam berdaya hasil tinggi dengan kualitas biji baik.
Hipotesis
1. Karakter agronomi sorgum di lahan masam dikendalikan oleh aksi gen aditif. 2. Keragaman karakter yang berkaitan dengan kualitas biji sorgum dikendalikan
oleh faktor genetik.
3. Terdapat korelasi positif antara karakter agronomi dengan karakter kualitas
sorgum.
5
Gambar 1. Bagan alir penelitian Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi dan Kualitas Galur-Galur Sorgum di Lahan Masam
Materi Genetik Sorgum
Populasi F4 Galur mutan
Parameter genetik karakter agronomi
Karakter seleksi
Galur-galur berdaya hasil tinggi
Studi Genetik Karakter Agronomi Populasi F4 (Percobaan 1)
Parameter genetik karakter agronomi
dan kualitas
Karakter seleksi
Studi Genetik Karakter Agronomi dan Kualitas (Percobaan 2)
Seleksi Untuk Uji Daya Hasil dan Kualitas (Percobaan 3)
Galur-galur sorgum toleran lahan masam berdaya hasil tinggi dan berkualitas baik
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman SorgumSorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman pangan
penting kelima di dunia setelah padi, gandum, jagung dan barley (Reddy et al.
2007a). Daerah asal tanaman sorgum baik spesies liar maupun spesies budidaya
ditemukan di Afrika. Hingga saat ini 90% luas lahan pertanaman berada di
wilayah Afrika dan Asia (Acquaah 2007).
Sorgum merupakan tanaman sereal yang termasuk ke dalam famili
Poaceae dan genus Andropogon (Doggett 1988). Terdapat tiga spesies sorgum, yaitu S. halepense (2n = 4x = 40), S. propinquum (2n = 2x = 20) dan S. bicolor
(2n = 2x = 20). Tanaman sorgum yang dibudidayakan termasuk ke dalam S.
bicolor. Sorghum bicolor dibagi menjadi lima ras, yaitu kafir, caudatum, durra, guinea dan bicolor. Sorghum bicolor bicolor memiliki penampilan fenotipe yang sangat beragam, mulai dari tipe batang, tipe hijauan, tipe biji dan tipe sapu (Smith
dan Frederiksen 2000, Acquaah 2007).
Sorgum banyak ditanam pada daerah semiarid tropis dan subtropis.
Tanaman sorgum merupakan tanaman hari pendek dan membutuhkan temperatur
tinggi untuk menghasilkan pertumbuhan terbaiknya. Kondisi yang optimum untuk
penanaman sorgum adalah daerah dengan suhu 20-30 oC dengan kelembaban
rendah dan curah hujan 400-600 mm (Dicko et al. 2006a). Sorgum dapat ditanam pada agroekologi yang luas, baik pada tanah masam, tanah salin, tanah alkalin,
maupun pada lahan kering (Doggett 1988).
Sorgum memiliki keragaman genetik yang luas dengan karakter utama
toleran terhadap panas dan kekeringan (Poehlman dan Sleper 1995). Tinggi
tanaman sorgum bervariasi antara 0,6-4.5 meter. Tinggi tanaman dipengaruhi oleh
jumlah buku, panjang ruas batang, panjang tangkai malai dan panjang malai.
Daun sorgum bervariasi dengan jumlah antara 7-24 helai, panjang berkisar 0,3-1,4
meter dan lebar berkisar 1-13 cm. Ukuran diameter batang juga bervariasi antara
0,5 sampai 5 cm (Dicko et al. 2006a, Acquaah 2007).
Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada
cabang malai paling atas ke bawah. Malai sorgum memiliki tangkai yang tegak
atau melengkung, berukuran panjang atau pendek dan berbentuk kompak sampai
terbuka (Poehlman dan Sleper 1995; Dicko et al. 2006a). Tanaman sorgum
merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan peluang menyerbuk silang sekitar
6%. (Poehlman dan Sleper 1995).
Biji sorgum berbentuk bulat, dengan ukuran 4-8 mm. Diantara kulit
(pericarp) dan endosperm dilapisi oleh lapisan testa dan aleuron (Gambar 2). Lapisan testa termasuk pada bagian perikarp dan lapisan aleuron termasuk pada
bagian dari endosperm. Komposisi bagian biji sorgum terdiri atas kulit luar 8%,
lembaga 10% dan endosperm 82%. Warna biji sorgum sangat bervariasi mulai
dari putih, kuning, merah, coklat dan ungu. Warna biji dipengaruhi oleh warna
dan ketebalan kulit (pericarp), terdapatnya testa serta tekstur dan warna
endosperm (Hahn dan Rooney 1985).
Gambar 2. Diagram biji sorgum yang terdiri atas pericarp, endosperm dan
embrio (Sumber: Rooney dan Miller (1982) dalam Waniska (2000))
Tanaman sorgum diketahui sangat efisien dalam penggunaan air karena
memiliki sistem perakaran yang dalam dan ekstensif (Dicko et al. 2006a). Sorgum dapat membentuk akar-akar sekunder dua kali sebagaimana halnya pada jagung
dan penetrasi yang cukup besar ke dalam tanah (Doggett 1988). Daun sorgum
memiliki lapisan lilin yang terdapat pada lapisan epidermisnya dan dapat
menggulung bila mengalami kekeringan. Adanya lapisan lilin tersebut berfungsi
untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari tanaman. Proses
8
membutuhkan air sekitar 84% dibandingkan dengan kebutuhan jagung untuk
menghasilkan sejumlah ekivalen bahan kering (Reddy et al. 2007b).
Seperti tanaman jagung dan tebu, sorgum merupakan tanaman C4 sehingga
efisien dalam fotosintesis. Tanaman C4 merupakan tanaman yang menghasilkan
senyawa empat karbon sebagai produk pengikatan CO2 dalam proses asimilasi
(Kennedy 1976). Tanaman C4 mampu berfotosintesis lebih cepat pada penyinaran
dan suhu tinggi sehingga mampu menghasilkan biomassa yang lebih banyak
dibandingkan tanaman C3 (Salisbury dan Ross 1992). Tanaman C4 memiliki dua
jenis sel fotosintetis, yaitu sel seludang berkas dan sel mesofil. Tanaman C4
memiliki sel seludang berkas yang lebih tebal dibandingkan dengan sel seludang
pada tanaman C3 serta mengandung lebih banyak kloroplas, mitokondria dan
organel penting lainnya dalam fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992; Taiz dan
Zeiger 2002).
Tanaman sorgum diketahui memiliki mekanisme pengendali ketahanan
hijau daun (stay green). Fenomena tersebut mampu memperlambat penuaan
(senescence) pada daun sorgum sehingga mampu mempertahankan kehijauan biomassa meskipun pasokan air sangat terbatas. Karakter stay green menyebabkan tanaman mempertahankan kehijauan daun selama fase pengisian biji sehingga
terjadi keseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan nitrogen. Oleh karenanya
karakter stay green berpengaruh terhadap potensi hasil biji secara kualitas maupun kuantitas (Borrel et al. 2003)
Kualitas dan Pemanfaatan Sorgum
Sorgum merupakan salah satu tanaman multifungsi yang dapat digunakan
sebagai sumber pangan, pakan, bioetanol dan bahan baku dalam industri
(pembuatan gula, kertas dan lain-lain) (Dicko et al. 2006a, Rajvanshi 1996). Hal tersebut menyebabkan sorgum sangat potensial dikembangkan karena tiap bagian
dari sorgum dapat dimanfaatkan.
Sorgum merupakan salah satu makanan pokok di banyak negara, khususnya
di Afrika. Sebagai sumber pangan, sorgum banyak dikonsumsi sebagai biji,
tepung, maupun produk olahan lain. Sorgum biasanya dikonsumsi dalam bentuk
beverages and beer), berondong (popped grain) dan keripik (Dicko et al. 2006a). Kandungan nutrisi pada sorgum meliputi 83% karbohidrat, 3,5 % lemak dan 11%
protein. Selain itu sorgum mengandung Ca, Fe, P dan vitamin B1 yang lebih
tinggi dibandingkan beras (Suarni 2004, DEPKES RI 1992).
Sorgum merupakan salah satu bahan pangan yang potensial untuk substitusi
terigu karena karakteristik mutu tepungnya (gizi, reologi dan sifat-sifat mekanis)
relatif lebih baik dibanding tepung umbi-umbian (Ahza 1998). Menurut
Mudjisihono dan Damardjati (1987), komposisi kimia dan zat gizi sorgum mirip
dengan gandum. Tepung sorgum diketahui tidak mengandung gluten sehingga
sangat sesuai dikonsumsi penderita penyakit celiac (alergi gluten) (Schober et al.
2007).
Pati sorgum memiliki karakteristik yang mirip dengan pati jagung, dengan
ukuran granul 10-16 mikron. Pati sorgum memiliki suhu gelatinisasi tertinggi di
antara jenis pati lainnya, mencapai 68-78 oC (Taylor 2005). Hal ini diduga
disebabkan oleh panjangnya rantai amilopektin ”a” yang saling berikatan satu
sama lain. Tingginya suhu gelatinisasi menyebabkan dibutuhkannya waktu yang
lebih lama dan energi panas yang lebih tinggi untuk memasak. Pati sorgum
mengandung 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin. Perbandingan amilosa
dan amilopektin berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi, viskositas pasta pati dan
pencernaan α-amilase (Sang et al. 2008).
Kandungan protein sorgum dapat mencapai 11%, namun di antara tanaman
sereal biji sorgum memiliki daya cerna protein terendah (Wong et al. 2009). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor meliputi interaksi antara protein dengan
polifenol, asam fitat, pati dan lemak, maupun interaksi antara senyawa penyusun
protein (Duodu et al. 2003). Protein sorgum terdiri atas albumin, globulin, kafirin (prolamin), kafirin berikatan silang dan glutelin. Kafirin terkandung sekitar 70%
dari protein total biji (Hamaker dan Bagusu 2003).
Dibandingkan dengan protein hewani, protein tanaman sereal umumnya
mengandung lisin dalam jumlah yang rendah (Salisbury dan Ross 1992). Awal
dari upaya perbaikan genetik terhadap kualitas asam amino dipicu oleh penemuan
gen-gen opaque (buram) dan floury yang dilaporkan mengandung lisin dan
10
diketahui memiliki kandungan lisin dalam jumlah yang relatif tinggi (Waniska
2000). Kandungan lisin pada endosperm biji ditandai dengan sifat lunak dan
berkapur. Biji yang lunak dan berkapur umumnya rentan terhadap hama dan
penyakit. Karakter tersebut juga mempersulit proses pengolahan biji sorgum lebih
lanjut (Tesso et al. 2006).
Salah satu faktor yang menyebabkan sorgum belum dapat dikonsumsi
secara langsung adalah karena kandungan tanin di dalam biji sorgum. Kandungan
tanin menyebabkan rasa pahit sehingga tidak nyaman untuk dapat dikonsumsi
baik secara langsung (beras sorgum) maupun dalam bentuk olahan dari tepung
sorgum. Namun demikian, masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan
penyosohan untuk mengikis kulit dan lapisan testa, yang memiliki kandungan
tanin (Onggo et al. 2008).
Tanin (proanthocyanidin) merupakan senyawa fenol yang diperkirakan
sebagai senyawa anti nutrisi, namun di sisi lain telah diketahui pula peranan tanin
sebagai anti oksidan (Hahn dan Rooney 1985, Awika dan Rooney 2004, Dicko et al. 2006b). Tanin pada tanaman sorgum berfungsi melindungi biji dari jamur, serangga dan burung sebelum masa panen sehingga dapat menguntungkan secara
ekonomis.
Kandungan tanin berkaitan dengan proses pencernaan di dalam tubuh,
khususnya pada pencernaan pati. Semakin tinggi kandungan tanin sorgum, maka
kemampuan pencernaan pati akan semakin menurun (Siller 2006). Tanin dapat
berikatan dengan protein dan karbohidrat membentuk senyawa komplek tak larut
yang sulit dipecahkan oleh enzim pencernaan. Tanin diduga pula dapat berikatan
dengan enzim pencernaan, seperti sukrase, amilase, tripsin dan lipase sehingga
menghambat aktivitas enzim tersebut (Awika dan Rooney 2004). Menurunnya
kemampuan pencernaan di dalam tubuh menyebabkan rendahnya indeks glikemik
sehingga sesuai bagi diet pada penderita penyakit diabetes (Siller 2006).
Kandungan tanin sorgum berkisar 2-4% tergolong tinggi dan dapat menyebabkan
ikatan dengan protein (Duodu et al. 2003).
Di antara tanaman sereal, sorgum mengandung senyawa fenol tertinggi yang
nilainya mencapai 6%. Hampir semua kelas dalam senyawa fenolik terkandung
bermanfaat bagi kesehatan. Senyawa flavan-4-ol diketahui memiliki aktivitas anti
tumor, senyawa procyanidin diketahui dapat menghambat perkembangan
beberapa virus (termasuk virus HIV), beberapa senyawa fenolik lain diketahui
mempunyai aktivitas penangkap radikal bebas sehingga berfungsi sebagai anti
oksidan (Dicko et al. 2006b).
Berdasarkan analisis kimia dan genetiknya, sorgum dibagi menjadi tiga
macam. Tipe I merupakan sorgum yang tidak memiliki testa berpigmen sehingga
mengandung fenol dalam konsentrasi rendah dan tidak mengandung tanin. Tipe I
dikontrol oleh gen b1b1B1_, B2_b2b2 dan b1b1b2b2. Tipe II dan III memiliki testa berpigmen dan mengandung tanin. Tanin sorgum tipe II (B1_B2_ss) dapat diekstrak dengan methanol yang mengandung asam (1% HCl dalam methanol),
sedangkan tanin tipe III (B1_B2_S_) dapat diekstrak baik dengan methanol asam maupun methanol saja pada analisis dengan metode analisis dengan vanillin
(Rooney dan Miller 1982). Tanin tipe II terletak pada vesicle dalam lapisan testa, sedangkan tanin tipe III terletak pada dinding sel testa dan beberapa terdapat pula
pada pericarp (Earp et al. 2004).
Sorgum memiliki kandungan gula pada batang sehingga niranya dapat
difermentasi menjadi bioetanol. Kandungan gula pada batang sorgum meliputi
sukrosa dan gula invert (glukosa, fruktosa, maltosa dan xilosa) (Almodares et al.
2008). Secara teori, juice dari batang sorgum dapat dikonversi menjadi etanol dengan efisiensi 85% (Almodares dan Hadi 2009). Selain itu, kandungan gula
pada biji sorgum juga dapat dikonversi menjadi bioetanol. Kandungan gula pada
biji sorgum meliputi glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa dan rafinosa (Almodares
dan Hadi 2009). Dibandingkan dengan tebu, etanol yang dihasilkan sorgum lebih
bersih dan tanpa endapan (Reddy et al. 2007b).
Selain dapat difermentasi menjadi etanol, kandungan gula pada batang
sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Bahkan sisa ekstraksi juice
batang juga dapat digunakan sebagai pakan ternak karena kaya akan nutrisi mikro
dan mineral (Reddy et al. 2007b). Daun dan batang segar sorgum sesuai pula digunakan sebagai hijauan pakan ternak, dengan potensi daun 14-16 % dari bobot
batang segar. Nutrisi daun sorgum setara dengan rumput gajah dan pucuk tebu
12
Biji sorgum dapat diberikan secara langsung pada ternak maupun diolah terlebih
dahulu dengan dicampur bahan lain.
Respon Tanaman di Lahan Masam
Lahan masam umumnya ditandai dengan derajat kemasaman (pH) di bawah
5,5. Derajat kemasaman tanah mengindikasikan konsentrasi ion hidrogen (proton,
H+) yang terkandung dalam tanah. Semakin rendah pH tanah, semakin besar ion
hidrogen yang terkandung dalam tanah. Kemasaman tanah menyebabkan larutnya
beberapa mineral yang dapat bersifat toksik bagi tanaman seperti Al, Mn dan Fe.
Selain itu, umumnya lahan masam mengalami kekahatan (defisiensi) unsur hara
makro dan mikro penting seperti N, P, Ca, Mg, B, Zn, Mo, Cu, K dan Na (Samac
dan Tesfaye 2003; Luchi et al. 2007).
Tanah masam ditandai pula dengan kandungan bahan organik yang rendah,
kapasitas tukar kation tanah yang rendah dan kejenuhan basa yang rendah hingga
sedang. Kapasitas tukar kation yang rendah menyebabkan tanah kurang kuat
mempertahankan hara sehingga hara mudah tercuci keluar lingkungan tanah.
Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan jumlah kation basa dengan jumlah
seluruh kation yang terikat pada kation tanah. Penurunan kejenuhan basa
diakibatkan menurunnya kandungan kation basa di dalam tanah, seperti Ca, Mg,
K, Na, yang selanjutnya akan diganti oleh kation hidrogen dan aluminium
(Nugroho 2006).
Cekaman Al merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan
penurunan produktivitas tanaman di lahan masam. Al dapat dijumpai pada semua
jenis tanah dalam bentuk alumino-silikat dan aluminium-oksida yang tidak larut
dan tidak toksik (Vitorello et al. 2005), namun pada kondisi pH rendah Al
menjadi terlarut dan berpotensi menjadi toksik bagi tanaman (Rout et al. 2001). Al terlarut membentuk senyawa Al(OH)2+, Al(OH)2+, Al(H2O)3+ dan Al(H2O)63+
pada pH di bawah 5 (Samac dan Tesfaye 2003, Kochian et al. 2005). Toksisitas Al ditandai dengan kejenuhan Al kapasitas penukar kation > 60% (Rodrigues et al. 2005).
Secara alami, Al tidak dibutuhkan oleh organisme apapun di bumi. Sistem
dapat tereduksi. Al merupakan logam yang reaktif sehingga dapat berikatan
dengan protein, fosfat anorganik, nukleotida, RNA, DNA, asam karboksilat,
fosfolipid, flavonoid dan antosianin (Delhaize dan Ryan 1995). Paparan Al pada
tanaman dapat menghambat pembelahan sel pada akar sehingga menghambat
pertumbuhan akar dalam waktu 6-24 jam (Ciamporova 2002, Samac dan Tesfaye
2003). Paparan yang semakin lama akan menyebabkan terganggunya pembelahan
sel (Silva et al. 2000). Toksisitas Al menjadikan akar sebagai sasaran utama, yang ditandai dengan gejala akar yang pendek dan berwarna kecoklatan, serta cabang
dan rambut akar yang tereduksi. Toksisitas Al juga berpengaruh pada
berkurangnya pembukaan stomata, penurunan aktivitas fotosintetik, klorosis dan
nekrosis sehingga pada akhirnya dapat menurunkan total biomassa (Vitorello et al. 2005). Tingkat kerusakan akibat cekaman Al tergantung pada jenis tanaman, lingkungan tumbuh, konsentrasi Al dan lamanya paparan (Kochian et al. 2005).
Selain toksisitas logam, defisiensi fosfor (P) merupakan kendala penting
pada tanah dengan pH yang rendah (Kochian et al. 2004). Ketersediaan hara P menjadi rendah karena difiksasi oleh hara-hara lain, terutama Al yang mampu
berikatan membentuk Al-fosfat. Unsur P pada tanaman memiliki peranan yang
sangat penting karena tidak dapat digantikan keberadaannya oleh unsur lain.
Fosfor berperan dalam transfer energi yang terdapat dalam molekul ATP dan
ADP. Fosfor merupakan penyusun material genetik makhluk hidup yang akan
diwariskan pada generasi selanjutnya. Beberapa faktor pertumbuhan lain yang
membutuhkan peranan fosfor adalah merangsang pertumbuhan akar, memperkuat
batang dan percabangannya, memperbaiki pertumbuhan bunga dan produksi biji,
merangsang percepatan kematangan buah, serta meningkatkan pertahanan
tanaman terhadap serangan penyakit (Salisbury dan Ross 1992, Maschner 1995).
Gejala umum yang timbul pada tanaman akibat defisiensi P adalah
pengurangan jumlah daun, reduksi luas permukaan daun, warna daun keunguan
dan penurunan pertumbuhan akar (Kochian et al. 2004; Camacho et al. 2002). Kekurangan P juga menyebabkan penurunan laju pembentukan karbohidrat pada
proses fotosintesis. Keseluruhan gejala yang ditunjukkan tanaman akibat
14
Toleransi Tanaman Sorgum Terhadap Cekaman Lahan Masam
Secara umum terdapat dua mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman
Al, yaitu mekanisme secara internal dan eksternal. Secara internal, Al dapat
terakumulasi di dalam tanaman dan tanaman dapat tetap tumbuh dan berkembang,
sedangkan mekanisme secara eksternal yaitu mekanisme tanaman dalam
mempertahankan tidak terserapnya Al ke dalam tanaman (Kochian et al. 2004). Mekanisme eksternal yang banyak dilaporkan adalah eksudasi anion asam
organik yang dapat mengkelat Al sehingga tidak dapat masuk pada tudung akar.
Asam-asam organik yang dapat mengkelat Al tersebut antara lain asam malat,
asam oksalat dan asam sitrat (Ma et al. 2001). Studi fisiologi pada genotipe toleran Al menunjukkan bahwa mekanisme sekresi asam organik diinduksi oleh
paparan Al. Asam organik pada sitoplasma pada pH 7 akan mengalami
deprotonisasi menjadi anion akibat induksi Al, yang selanjutnya akan melepaskan
anion asam organik. Mekanisme lain pada eksklusi Al adalah melalui sekresi
protein (Basu et al. 1999), permeabilitas selektif membran plasma sebagai
penghalang bagi Al untuk masuk ke dalam sitoplasma sel (Archambault et al.
1997) dan induksi pH di rizosfer atau apoplas akar (Luchi et al. 2007). Pada sorgum dijumpai peningkatan sekresi asam sitrat sebagai respon terhadap
cekaman lahan masam (Magalhaes et al. 2004)
Mekanisme toleransi secara internal masih belum banyak dipelajari.
Tanaman sensitif maupun toleran dapat mengakumulasi Al pada tanah masam.
Tanaman mengakumulasi Al dengan membentuk ikatan dengan ligan organik
seperti katekin, asam-asam fenolik dan asam organik pada sel tertentu, seperti sel
epidermis daun (Samac dan Tesfaye 2003). Pada tanaman jagung ditemukan
akumulasi Al pada vakuola sel akar (Vasques et al. 1999).
Pola pewarisan sifat dan genetik dari toleransi terhadap Al banyak
dipelajari pada tanaman sereal (Vitorello et al. 2005). Dari beberapa studi diketahui bahwa gen yang mengendalikan sifat pada gandum, sorgum dan rye
dikendalikan oleh satu atau beberapa gen. Sementara studi pada jagung dan padi
menemukan bahwa gen pengendali toleransi Al merupakan multigenik dan
beberapa spesies tanaman yang memungkinkan pemulia tanaman untuk
memperoleh tanaman toleran Al. Sebagai contoh, pada tanaman gandum diperoleh
genotipe toleran Al yang bervariasi dengan perbedaan tingkat toleransi hingga 10
kali lipat (Delhaize dan Ryan 1995).
Beberapa gen telah berhasil diidentifikasi dari beberapa spesies, seperti
gandum, jagung, sorgum, rye, padi, barley dan Arabidopsis yang diketahui
berkontribusi terhadap toleransi dan resistensi terhadap cekaman Al dan beberapa
kandidat gen telah berhasil diidentifikasi (Ryan et al. 2010). Pada tanaman sorgum telah ditemukan gen yang berhubungan dengan toleransi Al yaitu gen
SbMATE (Magalhaes et al. 2007) yang merupakan gen family MATE (multidrug and toxic compound exudation) dan merupakan gen yang berkaitan dengan eksudasi asam sitrat pada tanaman sorgum. Telah berhasil pula dipetakan gen
pengkode toleransi Al pada sorgum, yaitu AltSB yang terletak pada bagian terminal
kromosom 3 (Magalhaes et al. 2004). Diketahui pula bahwa gen tersebut
merupakan gen mayor yang mengendalikan 80% keragaman fenotipe terhadap
toleransi Al pada sorgum.
Arah Pemuliaan Tanaman Sorgum
Salah satu tujuan pemuliaan tanaman sorgum diarahkan kepada perolehan
varietas sorgum yang sesuai untuk pangan berkaitan dengan program diversifikasi
pangan di Indonesia. Sorgum berpotensi untuk dapat memenuhi persyaratan gizi
sebagai salah satu alternatif bahan pangan sehingga dapat berperan dalam
perbaikan gizi masyarakat. Program pemuliaan berupaya melakukan perbaikan
baik dari produktivitas maupun kualitas terhadap plasma nutfah sorgum.
Penentuan ideotype tanaman dalam pemuliaan sangat diperlukan untuk
meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi
karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000).
Secara umum tanaman sorgum untuk pangan yang diinginkan adalah
tanaman sorgum yang memiliki karakter (1) produktivitas tinggi, (2) stabilitas
produksi pada kondisi lingkungan yang bervariasi, (3) berstruktur pendek
sehingga mempermudah proses panen, (4) berumur genjah, (5) tahan terhadap
16
sensitif terhadap fotoperiodik, (6) tahan terhadap hama dan penyakit, serta (7)
kualitas biji yang baik, seperti kandungan nutrisi pada endosperm dan kandungan
tanin yang rendah (Acquaah 2007).
Selain ditujukan sebagai sumber pangan pokok alternatif, sorgum
merupakan salah satu tanaman yang potensial dikembangkan sebagai sumber
energi terbarukan (biofuel). Di beberapa negara, pemuliaan sorgum lebih
ditujukan kepada perolehan sorgum sebagai bahan baku bioetanol. Saat ini
produsen bioetanol masih didominasi oleh Amerika Serikat, Cina, Afrika Selatan
dan India (Dirjen Tanaman Pangan 2007). Bahan baku bioetanol memanfaatkan
nira batang sorgum dan hasil fermentasi pati biji sorgum. Oleh karenanya arah
pemuliaan sorgum untuk produksi bioetanol ditujukan kepada perbaikan karakter
yang berkaitan dengan batang dan biji.
Di beberapa negara digunakan varietas hibrida untuk menghasilkan sorgum
yang unggul pada karakter yang berkaitan dengan produksi bioetanol, seperti
tinggi tanaman, lingkar batang, total padatan terlarut, batang yang dapat diperas
dan produksi nira. Karakter-karakter tersebut diketahui memiliki keragaman yang
cukup tinggi sehingga berpotensi untuk dilakukan perbaikan genetik untuk
menghasilkan produksi batang sorgum manis yang tinggi. Telah diketahui pula
bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen non aditif yang menunjukkan
pentingnya pemuliaan melalui persilangan (hibrida) untuk memunculkan heterosis
(Reddy et al. 2005).
Sorgum juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, baik dalam bentuk
ransum pakan maupun hijauannya. Ransum pakan ternak bersifat suplemen
dengan mencampur biji sorgum dengan jagung. Sebagai pakan hijauan dapat
diperoleh sekitar 3 ton/ha bobot segar (Sirappa 2003). Kandungan lemak pada
hijauan relatif tinggi sehingga berpotensi untuk meningkatkan bobot ternak.
Program pemuliaan sorgum untuk pakan ditujukan kepada perbaikan
karakter yang berhubungan dengan hijauan (daun dan biomasa) serta biji.
Tanaman sorgum memiliki efisiensi fotosintesis yang tinggi dengan efisiensi
fotosintesis maksimum pada beberapa jam tertentu dalam siklus harian mencapai
produksi biomasa. Selain itu karakter stay green yang dimiliki sorgum berpotensi diperolehnya hijauan yang memadai walaupun pada saat panen biji.
Sorgum bukanlah tanaman asli Indonesia sehingga budidaya, penelitian dan
pengembangan tanaman sorgum masih terbatas (Human 2007). Salah satu
penyebab keterbatasan tersebut adalah tidak tersedianya varietas unggul. Hal ini
juga menyebabkan keragaman genetik sorgum terbatas. Pemuliaan tanaman
sorgum untuk meningkatkan keragaman genetik dapat dilakukan melalui
introduksi, hibridisasi, mutasi, bioteknologi, maupun kombinasi di antara
metode-metode tersebut.
Saat ini Indonesia telah memiliki beberapa varietas unggul yang merupakan
hasil introduksi dari ICRISAT (International Crop Research Institut for Semi-Arid Tropics), India, Filipina dan Cina. Varietas hasil introduksi tersebut adalah UPCA S1, Keris, Mandau, Higari, Numbu, Kawali, Badik, Gadam dan Sangkur
(Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2003). Belum lama bearselang juga telah
dilepas varietas hasil mutasi yang diberi nama Pahat (BATAN 2011). Dengan
beberapa varietas yang telah ada tersebut diharapkan peningkatan keragaman
untuk perbaikan karakter tanaman sorgum semakin berkembang.
Secara umum pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri seperti sorgum
diarahkan pada pembentukan galur murni (Chahal dan Gosal 2003). Pembentukan
galur murni pada tanaman menyerbuk sendiri memiliki dasar genetik yaitu selfing
(penyerbukan sendiri) pada tanaman homozigot akan menghasilkan genotipe
homozigot, sedangkan selfing pada tanaman heterozigot akan menghasilkan
segregasi yang akan meningkatkan proporsi genotipe homozigot dan menurunkan
proporsi heterozigot. Hasil selfing sampai generasi lanjut akan menyebabkan terkumpulnya gen-gen aditif yang homozigot dan menurunkan aksi gen epistasis
(Roy 2000).
Teknik persilangan buatan (hibridisasi) pada sorgum dapat menyebabkan
terjadinya kombinasi alela-alela yang dapat meningkatkan keragaman genetik.
Penentuan tetua merupakan tahap yang sangat penting karena akan menentukan
keberhasilan dari tujuan perolehan karakter yang diinginkan. Tetua yang
18
adaptasi yang baik (Syukur et al. 2005). Jarak kekerabatan tetua yang jauh dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi pada turunannya (Allard 1960).
Jika keragaman yang dikehendaki tidak tersedia dalam koleksi plasma
nutfah, maka keragaman dapat diupayakan melalui mutasi induksi. Mutasi induksi
merupakan perubahan materi genetik yang terjadi secara spontan dan bersifat
permanen akibat perlakuan radiasi atau bahan kimia (Aisyah 2006). Peningkatan
keragaman lain yang dapat dilakukan adalah melalui bioteknologi, antara lain
dengan cara manipulasi kromosom pada gen dan sitoplasma, maupun transformasi
genetik.
Seleksi dan Parameter Genetik
Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman.
Seleksi adalah prosedur memilih sejumlah individu dari suatu populasi dan
membiarkannya membentuk generasi baru. Pada dasarnya, seleksi merupakan
salah satu upaya merubah frekuensi gen dengan mengambil yang diinginkan dan
membuang yang tidak diinginkan (Falconer dan Mackay 1996). Kegiatan seleksi
tidak menciptakan keragaman baru, tetapi bertindak atas keragaman yang ada
(Allard 1960). Seleksi akan efektif jika sifat yang dikehendaki dapat diwariskan.
Efisensi seleksi sangat ditentukan oleh karakter seleksi yang digunakan sehingga
sebelum melakukan seleksi perlu terlebih dahulu ditentukan kriteria seleksi (Roy
2000, Chahal dan Gosal 2003). Seleksi dapat dilakukan berdasarkan satu karakter
(seleksi tandem) atau berdasarkan beberapa karakter (seleksi indeks dan
independent culling level) (Roy 2000).
Seleksi pada tanaman menyerbuk sendiri dapat dibagi menjadi beberapa
metode, yaitu seleksi massa, seleksi galur murni, seleksi silsilah (pedigree), seleksi bulk dan seleksi turunan biji tunggal (single seed descent, SSD) (Syukur et al. 2009). Metode pedigree biasanya dipakai untuk seleksi pada karakter kualitatif atau karakter kuantitatif yang memiliki heritabilitas yang tinggi dan biasanya
dlakukan pada generasi awal. Metode bulk dan SSD umum dipakai untuk seleksi terhadap karakter kuantitatif atau karakter yang memiliki heritabilitas rendah
sampai sedang. Seleksi pada dua metode ini dilakukan pada generasi lanjut. (Roy
Tujuan dari metode pedigree adalah untuk mendapatkan varietas baru
dengan mengkombinasikan gen-gen yang diinginkan. Seleksi metode pedigree
mulai dilakukan pada generasi F2 secara individu tanaman karena pada generasi
tersebut terjadi segregasi alel yang maksimum. Pada generasi selanjutnya
dilakukan seleksi individu terbaik dari galur-galur yang ada, hingga akhirnya
dilakukan seleksi galur untuk dikembangkan lebih lanjut. Menurut Fehr (1987)
dalam Asadi (2004), seleksi pedigree memiliki keunggulan yaitu 1) seleksi lebih
efektif karena sejak generasi awal genotipe yang tidak diinginkan sudah dibuang,
(2) pengamatan karakter genetik setiap galur dapat dilakukan semenjak awal
seleksi, sehingga akan memaksimumkan keragaman genetik di antara galur-galur
selama seleksi. Di sisi lain kerugian seleksi pedigree adalah (1) seleksi tidak bisa
digunakan pada lingkungan tertentu bila keragaman genetik untuk
karakter-karater yang diinginkan tidak terekspresi, (2) perlu ketelitian dalam pencatatan
karena jumlahnya yang banyak, (3) memerlukan keterampilan dalam menseleksi
sifat-sifat yang diinginkan, dan (4) memerlukan lebih banyak tenaga kerja
dibanding metode seleksi lainnya.
Faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan seleksi adalah
keragaman genetik dan heritabilitas. Efektivitas seleksi untuk memperoleh
genotipe unggul ditentukan oleh keragaman genetik pada suatu populasi dan
seberapa besar sifat unggul yang diinginkan dapat diturunkan pada generasi
selanjutnya (Poehlman dan Sleper 1996). Keragaman suatu populasi dapat dilihat
dari keragaman fenotipe dan keragaman genotipenya. Keragaman fenotipe
merupakan keragaman yang dapat diukur atau dilihat langsung pada karakter yang
diamati. Keragaman genotipe tidak dapat dilihat atau diukur secara langsung,
melainkan dapat diduga melalui analisis ragam. Suatu populasi yang memiliki
keragaman fenotipe yang luas belum tentu memiliki keragaman genotipe yang
luas karena dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Roy 2000).
Nilai heritabilitas menunjukkan besarnya proporsi ragam genetik suatu
karakter terhadap ragam fenotipenya (Allard 1960). Heritabilitas merupakan salah
satu parameter genetik yang digunakan untuk menduga kemajuan dalam
perbaikan suatu karakter tanaman. Heritabilitas dapat digolongkan menjadi dua
20
2009). Heritabilitas arti luas merupakan hubungan total ragam genetik dengan
lingkungan. Sedangkan heritabilitas arti sempit hanya mempertimbangkan
keragaman yang disebabkan oleh peranan gen aditif sebagai bagian dari
keragaman genetik total. Secara umum, heritabilitas arti sempit mendapat
perhatian khusus karena pewarisan sifat dari tetua kepada keturunannya
merupakan pengaruh aditif dari gen sehingga fenotipe tidak tergantung dari
adanya interaksi antar alel.
Nilai duga heritabilitas memiliki beberapa kegunaan, di antaranya adalah
untuk mengetahui respon karakter yang diinginkan terhadap tekanan seleksi dan
untuk mengetahui prediksi respon seleksi. Semakin tinggi nilai heritabilitas,
makin tinggi pula respon seleksi yang menunjukkan semakin efektifnya seleksi.
Heritabilitas berfungsi untuk menentukan besarnya populasi yang dibutuhkan agar
dapat dilakukan suatu seleksi dan menentukan alternatif variasi jenis seleksi (Roy
2000). Heritabilitas suatu karakter nilainya tidak konstan karena banyak faktor
yang dapat mempengaruhi nilai heritabilitas, yaitu: populasi yang digunakan,
metode estimasi, adanya pautan gen, pelaksanaan percobaan, generasi populasi
yang diuji, kondisi lingkungan dan lain-lain.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menduga nilai heritabilitas dan
komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan perhitungan
ragam turunan, dengan regresi parent-offspring, perhitungan komponen ragam dari analisis ragam dan dengan rancangan hibridisasi (Syukur et al. 2009). Nilai heritabilitas tergolong rendah jika kurang dari 20%, cukup tinggi jika 20-50% dan
tinggi jika lebih dari 50% (Stanfield 1983). Namun demikian, nilai-nilai tersebut
sangat tergantung dari metode dan populasi yang digunakan (Syukur et al. 2009). Seleksi yang dilakukan terhadap suatu populasi tanaman diharapkan dapat
menghasilkan keturunan yang lebih baik. Seleksi diharapkan dapat menghasilkan
kemajuan genetik. Secara konsep kemajuan genetik didasarkan pada perubahan
dalam rata-rata penampilan yang dicapai suatu populasi dalam setiap siklus
seleksi (Baihaki 2000).
Pendugaan kemajuan seleksi akan sangat bergantung pada heritabilitas,
intensitas seleksi dan simpangan baku fenotipe populasi yang diseleksi. Jika
baik. Intensitas seleksi merupakan ukuran pembakuan terhadap diferensial seleksi
sehingga dapat digunakan untuk membandingkan kekuatan seleksi terhadap dua
macam karakter atau lebih yang berbeda satuan pengukurannya. Intensitas seleksi
dipengaruhi oleh keragaman genetik dan jumlah individu keturunan. Seleksi pada
populasi dengan keragaman tinggi cenderung memerlukan intensitas seleksi lebih
rendah dibandingkan pada populasi dengan keragaman rendah. Semakin kecil
proporsi individu terseleksi maka semakin tinggi intensitas seleksinya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dibagi menjadi tiga percobaan, yaitu (1) Pendugaan
parameter genetik karakter agronomi sorgum di lahan masam, (2) Pendugaan
parameter genetik karakter agronomi dan kualitas galur-galur mutan sorgum
toleran lahan masam, serta (3) Uji daya hasil pendahuluan galur-galur toleran
lahan masam. Lahan yang digunakan untuk percobaan merupakan lahan kering
masam dengan pH tanah 4,8 – 5.4 (masam) dengan Al-dd 2.43 me/100 g dan
kejenuhan Al 28% (Tabel Lampiran 1).
I. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi Sorgum di Lahan Masam
Tujuan pada percobaan ini adalah mendapatkan informasi tentang parameter
genetik karakter agronomi sorgum di lahan masam. Selain itu, percobaan ini juga
bertujuan untuk memperoleh individu sorgum berpotensi hasil baik melalui
seleksi.
Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah 760 tanaman
sorgum generasi F4 hasil persilangan antara tetua UPCA S1 (tetua peka lahan
masam) dengan Numbu (tetua toleran lahan masam). Bahan tanaman merupakan
genotipe-genotipe yang merupakan hasil seleksi 10% terbaik berdasarkan karakter
bobot biji/tanaman populasi F3 yang ditanam dalam lingkungan optimal.
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada bulan Agustus – November 2010 di Kebun
UPT (Unit Pelaksana Teknis) Teknologi Pengolahan Lahan Kering Dinas
Metode Pelaksanaan
Percobaan dilaksanakan dengan melakukan penanaman dalam baris (head
to row). Masing-masing genotipe ditanam dalam satu baris dengan jarak dalam baris sebesar 15 cm dan antar baris sebesar 70 cm. Benih ditanam sebanyak dua
benih per lubang dan disisakan hanya satu tanaman per lubang pada saat tanaman
berumur 3 minggu. Pupuk yang diberikan adalah Urea, SP-18 dan KCl dengan
dosis masing-masing sebesar 150 kg/ha, 200 kg/ha dan 100 kg/ha. Pupuk urea
diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya
diaplikasikan setelah tanaman berumur tujuh minggu. Pengendalian hama dan
penyakit dimulai sejak saat tanam dengan memberikan karbofuran 3G ke dalam
lubang tanam dan selanjutnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Metode seleksi yang digunakan adalah metode pedigree, dimana seleksi dilakukan dengan cara memilih individu-individu terbaik.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada saat panen diambil 10 tanaman contoh pada tiap
baris terhadap beberapa karakter, yaitu :
1. Tinggi tanaman (cm), diukur pada batang utama mulai dari permukaan tanah
sampai ujung malai.
2. Diameter batang (cm), diukur pada batang utama.
3. Bobot batang (gram), yaitu bobot total batang segar pada batang utama dan
batang sekunder tanpa malai dan akar.
4. Bobot total biomasa (gram), yaitu bobot total tanaman segar yang terdiri atas
akar, batang, daun dan malai yang masih terdapat biji.
5. Panjang malai (cm), diukur mulai dari pangkal hingga ujung malai.
6. Bobot biji per tanaman (gram), yaitu bobot seluruh biji yang terdapat pada
setiap malai tanaman yang terdapat pada batang utama dan percabangan.
7. Indeks panen, yaitu perbandingan antara berat biji per malai dengan berat total
biomasa per tanaman.
24
Pengolahan Data
1. Pendugaan ragam, heritabilitas dan koefisien keragaman genetik
Pendugaan komponen ragam terdiri atas ragam lingkungan, ragam genetik
dan ragam fenotipe yang diperoleh berdasarkan (Baihaki 2000):
Ragam lingkungan ( ) = , dimana P1=tetua 1, P2=tetua 2
Ragam fenotipe ( = ∑
Ragam genetik =
Pendugaan heritabilitas merupakan proporsi antara ragam genetik dengan
ragam fenotipe yang dihitung berdasarkan rumus (Singh dan Chaudary 1979):
Keterangan: = heritabilitas arti luas, = ragam genetik, = ragam fenotipe
Kriteria nilai heritabilitas (Stanfield 1983):
Tinggi (h2 > 0,5); sedang (0,2 ≤ h2≤ 0,5); rendah (h2 < 0,2).
Koefisien keragaman genetik (KKG) digunakan untuk menduga luas atau
tidaknya keragaman genetik yang dimiliki masing-masing karakter yang dihitung
berdasarkan (Knight 1979):
%
Keterangan: = ragam genetik dan = rata-rata populasi
Kriteria: Sempit (0-10%), sedang (10-20%) dan luas (> 20%).
2. Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui karakter yang berkaitan
dengan karakter utama, yaitu untuk memperbaiki respon ikutan dalam penerapan
seleksi tak langsung. Analisis korelasi dihitung berdasarkan (Gaspersz 1992):
∑ ∑ ∑
Keterangan :
= korelasi variabel X dan Y; n = jumlah objek pengamatan; x = nilai variabel X; dan y = nilai variabel Y
3. Analisis Lintasan (path analysis)
Analisis lintasan merupakan analisis regresi linier terstruktur yang
membahas hubungan kausal antara variabel-variabel baku dalam sistem yang
tertutup. Melalui analisis ini dapat diketahui kontribusi berupa pengaruh langsung
dan tidak langsung antara variabel bebas terhadap variabel respon. Analisis
lintasan dapat digunakan untuk mengatasi adanya kolinearitas, yaitu interaksi
antara komponen hasil yang sering terjadi pada analisis korelasi. Dalam analisis
lintasan selalu diikuti dengan diagram lintasan yang bertujuan memperjelas uraian
yang dikemukakan. Rumus analisis lintasan berdasarkan persamaan simultan
(Gasperz 1992) adalah sebagai berikut:
r r … . . r
Rx = matriks korelasi antar variabel bebas dalam model regresi berganda yang
memiliki p buah variabel bebas sehingga merupakan matriks dengan
elemen-elemen (I, j = 1, 2, …, p)
C = vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung dari
setiap variabel bebas yang telah dibakukan
Ry = vektor koefisien korelasi antara variabel bebas Xi (i = 1, 2, …, p) dan
variabel tak bebas Y.
4. Diferensial Seleksi
Seleksi dilakukan dengan memilih sebanyak 10% genotipe terbaik.
Penghitungan diferensial seleksi dilakukan dengan perhitungan yang terdiri atas;
Rataan awal = nilai rataan seluruh populasi F4
26
Diferensial seleksi (%) = rataan tanaman terseleksi rataan awal
rataan awal x %
II.Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi dan Kualitas Galur-Galur Mutan Sorgum Toleran Lahan Masam.
Percobaan kedua bertujuan untuk memperoleh informasi nilai parameter
genetik karakter agronomi dan karakter kualitas biji galur-galur mutan sorgum di
lahan masam.
Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah genotipe
sorgum generasi M9 dan varietas nasional, yang terdiri atas 7 genotipe toleran
lahan masam, yaitu : Kawali, Mandau, Numbu, GH-ZB41-07, ZH30-29-07, B-76
dan B-92; dan 3 genotipe moderat lahan masam, yaitu : Higari-G,
BR-ZH30-07-07 dan Patir-cty 33.
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada Februari – Juni 2011. Percobaan dilakukan di
Kebun UPT Teknologi Pengolahan Lahan Kering Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor, Laboratorium Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan
Laboratorium Pemuliaan Tanaman PATIR-BATAN (Pusat Aplikasi Teknologi
dan Radiasi – Badan Tenaga Nuklir Nasional).
Metode Rancangan Percobaan
Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap
teracak dengan 10 genotipe sebagai perlakuan.
Pelaksanaan
per lubang dan disisakan hanya satu tanaman per lubang pada saat tanaman
berumur 3 minggu. Pupuk yang diberikan adalah Urea, SP-18 dan KCl dengan
dosis masing-masing sebesar 150 kg/ha, 200 kg/ha dan 100 kg/ha. Pupuk urea
diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya
diaplikasikan setelah tanaman berumur tujuh minggu. Pengendalian hama dan
penyakit dimulai sejak saat tanam dengan memberikan karbofuran 3G ke dalam
lubang tanam dan selanjutnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Analisis kualitas biji sorgum akan meliputi beberapa pengujian, yaitu
penentuan kadar pati, lemak, protein dan tanin. Metode masing-masing pengujian
adalah :
1. Kadar amilosa (Juliano 1971)
100 mg tepung sorgum dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml kemudian
diberi 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan dibiarkan selama 23 jam
pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100 oC selama
10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan
air akuades menjadi 100 ml. 5 ml larutan tersebut dipipet dan dimasukkan ke
dalam labi ukur 100 ml yang telah berisi air 60 ml. Kemudian ke dalam larutan
ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml I2 2% serta diencerkan sampai
volume 100 ml. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian
diukur absorbannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620
nm.
Kurva standar amilosa dibuat dengan menghubungkan antara absorban
dengan konsentrasi amilosa. 40 mg tepung kentang dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 ml kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N.
Larutan dibiarkan selama 23 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam
penangas air bersuhu 100 oC selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam.
Larutan kemudian diencerkan dengan air akuades menjadi 100 ml. Selanjutnya
sebanyak 0,5 ml; 1 ml; 1,5 ml; 2 ml; 3 ml dan 4 ml larutan dipipet dan
dimasukkan ke dalam 6 buah labu ukur 100 ml dan masing-masing
ditambahkan 1 ml asam asetat dan 2 ml I2 2% serta diencerkan dengan akuades
hingga volume 100 ml. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi terhadap
28
Kadar amilosa dihitung dengan rumus :
% %
Keterangan:
Fk : faktor koreksi, dimana
A : Absorbansi
ka : kadar air
2. Kadar protein, dilakukan dengan metode Kjeldahl (BSN 1992)
Penentuan kadar nitrogen dalam protein pada analisis ini melalui tiga
tahapan analisis kimia, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Destruksi yaitu
dengan menghancurkan bahan menjadi komponen sederhana, sehingga
nitrogen dalam bahan terurai dari ikatan organiknya. Destilasi yaitu pemisahan
larutan berdasarkan perbedaan titik didih, dimana dalam larutan hasil destruksi
NH4OH bila dipanaskan akan berubah menjadi gas NH3 dan air, yang
kemudian dikondensasi dan ditangkap oleh larutan asam borat 5% membentuk
(NH4)3BO3. Sedangkan proses akhir titrasi destilat (NH4)3BO3 dengan HCl
akan menentukan kadar nitrogen dalam sampel.
0,51 g sampel ditimbang dengan seksama dan dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl 100 ml. Ke dalam sampel ditambahkan 2 g campuran selen dan 25 ml
H2SO4 pekat. Campuran tersebut dipanaskan di atas pemanas listrik atau api
pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijauan (sekitar 2
jam). Selanjutnya larutan tersebut dibiarkan dingin, kemudian diencerkan dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml (tepat sampai tanda garis). Larutan
tersebut dipipet 5 ml dan dimasukkan ke dalam alat penyuling dan
ditambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Selanjutnya
dilakukan penyulingan selama ± 10 menit, sebagai penampung digunakan 10
ml larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator. Larutan hasil
penyulingan dititrasi dengan HCl 0,01 M dengan penetapan blanko. Kadar
, 4
Dimana : w = bobot sampel
V1 = volume HCl yang dipergunakan pada penitaran sampel
V2 = volume yang digunakan pada penitaran blanko
N = konsentrasi HCl
fk = faktor konversi untuk protein makanan secara umum (6,25)
fp = faktor pengenceran
3. Kadar tanin (Price et al. 1978 yang dimodifikasi).
Sebanyak 500 mg sampel ditambahkan 5 mL metanol dan dikocok dengan
disperser dengan kecepatan 5000 rpm selama 3 menit. Ekstraksi dilakukan
pada hari yang sama dengan penggilingan untuk menghindari oksidasi tanin.
Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 4500 rpm selama 10 menit. Setiap
sampel dikerjakan secara duplo. Supernatan yang dihasilkan dipisahkan dan
dibiarkan selama 10 menit pada suhu 20 oC dalam penangas air. Pereaksi
vanilin dibuat dengan mencampurkan vanilin 1% dalam metanol dan HCl 8%
dalam metanol dengan perbandingan volume yang sama. Pereaksi vanilin harus
tersedia segar dan dibiarkan bersama-sama supernatan pada penangas air
bersuhu 30 oC. Sebanyak 1 ml supernatan dipipet ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 5 ml pereaksi vanilin, dibiarkan bereaksi dengan suhu 30 oC
selama 30 menit. Blanko dibuat dengan menambahkan 4 ml HCl 4% dalam
metanol ke dalam 1 ml supernatan. Absorbansi sampel dan blanko diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm. Selisih keduanya
adalah absorbansi tanin. Kadar tanin sampel diukur dengan menggunakan
kurva standar D-katekin dengan cara mereaksikan larutan katekin standar
dengan peraksi vanilin menggunakan prosedur seperti di atas. Kadar tanin
sampel dihitung dalam mg katekin/100 mg bobot kering sampel.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan meliputi pengamatan karakter agronomi dan karakter
kualitas biji. Pengamatan terhadap karakter agronomi dilakukan pada saat panen