DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
MARINUS KRISTIADI HARUN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
MARINUS KRISTIADI HARUN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Istomo, M.Si.
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Analisis Pengembangan Jelutung dengan Sistem Agroforestri untuk Memulihkan Lahan Gambut Terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2011
Marinus Kristiadi Harun
NRP P052090151
Agroforestry System for Rehabilitation of Peatland Degradation at Central Kalimantan Province. Supervised by LAILAN SYAUFINA and NURHENI WIJAYANTO.
The aim of this research was to analyze the development of jelutung in the agroforestry system for the rehabilitation of the degraded peatland fulfilling technically applicable, socially acceptable by the local farmers, economically feasible and environmentally friendly. Primary data of this research were collected via interviews, observations, field visits and focus group discussion (FGD) involving all parties. The research results show that the development of jelutung in agroforestry system was technically applicable, socially acceptable, economically feasible and environmentally friendly for the rehabilitation of peatland degradation. There are 5 certified jelutung seed sources in Central Kalimantan Province that can produce about 126,920,000 seeds per years. The local people’s nursery can produce 1 – 3 million readily planted jelutung seedlings per years. In thin peatland there are 3 agroforestry systems that have already been developed by the local people. In thick peatland, there are 2 agroforestry systems that have already been developed by the local people. Jelutung growth performances on a variety of agroforestry systems show that the annual stem height increment reached 86.55 – 127.94 cm and stem diameter increased 1.56 – 2.15 cm. The analysis results on the social aspect show that in line with the superior non timber forest product criteria and indicators stated in Permenhut RI No. P.21/Menhut-II/2009 jelutung’s latex is categorized as a provincial superior NTFP with Superior Total Value (STV) of 72.62. The economic aspect shows that the marketing margin of jelutung latex is still inefficient as its value is > 50%. The financial analysis results show that jelutung forest is feasible to be developed both in the monocultural and agroforestry patterns. NPV, BCR and IRR of jelutung with agroforestry pattern were 69,799,338; 8.68 and 29% respectively. On the environmental aspect it is known that the diversity of peatland macro-fauna covered with jelutung agroforestry was greater than that covered with monoculture and abandoned land with Shannon Wiener index values of 1.8; 1.,2; 1.69 respectively for PSM method. The chemical analysis of peatland covered by jelutung agroforestry provides the following data: pH=3.94; N total = 0.4%; C organic = 48.58%; C/N = 121.45. The maturity level of peatland covered by jelutung agroforestry is sapric-hemic to hemic, that covered by monoculture is fibrous-hemic to sapric-hemic while the abandoned peatland is dominated by fibrous and fibrous-hemic. The microclimate of peatland covered by jelutung is better than the microclimate of that covered by monoculture or abandoned peatland.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2010 ini adalah pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri untuk rehabilitasi lahan gambut terdegradasi, dengan judul Analisis Pengembangan Jelutung dengan Sistem Agroforestri untuk Memulihkan Lahan Gambut Terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah.
Penghargaan dan ucapan rasa terimakasih penulis sampaikan dengan tulus kepada:
1. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat berguna. 2. Ir. Didik Purwito, M.Sc. selaku mantan Kepala Balai Penelitian Kehutanan
Banjarbaru dan Dr. Ir. Endang Savitri, M.Sc. selaku Kepala Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru yang telah berkenan memberikan kesempatan, motivasi dan dorongan selama menjalani studi.
3. Rekan-rekan peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru: Donny Rahmanady, S.Hut., M.Si.; Kushartati Budiningsih, S.Hut., M.Si.; Reni Setyo Wahyuningtyas, S.Hut., M.Sc.; Rusmana, S.Hut.; Purwanto Budi Santoso, S.Hut., M.Sc.; Wawan Halwani, S.Hut., M.Sc.; Junaidah, S.Hut., Pranatasari Dyah Susanti, S.P. serta Staf BPDAS Kahayan: Giri Suryanta, S.Si.; M.Sc. yang telah membantu kegiatan penelitian dan analisis data.
4. Para narasumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan: Kota Palangkaraya, Kabupaten Pulang Pisau; pimpinan PT. SAS dan PT. Sampit, para pihak yang hadir dalam FGD, Kepala Desa Mentaren II, Penyuluh Pertanian Kecamatan Jabiren Raya, Kelompok Tani “Sepakat Maju” Kelurahan Kalampangan yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam kegiatan penelitian.
5. Para petani yang telah mengembangkan jelutung dengan sistem agroforestri: Bapak Tamanurrudin (Kelurahan Kalampangan), Bapak Sukardi (Desa Tumbang Nusa), Bapak Agus Martedjo (Desa Jabiren) dan Bapak Rapingun (Desa Mentaren II) yang telah melayani dengan penuh keramahan dan kesabaran.
6. Dr. Ir. Istomo, M.Si. selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Hariyadi, M.S. selaku Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis.
7. Rekan-rekan mahasiswa PSL-IPB angkatan 2009 yang ikut memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini.
8. Orang tua, istri dan anak-anakku, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, namun demikian semoga masih ada manfaat bagi semua pihak yang memerlukan, terkhusus demi terwujudnya PEAT-GAP.
Bogor, November 2011
Penulis dilahirkan di Magelang (Jawa Tengah) pada tanggal 09 November 1977 sebagai anak sulung dari pasangan Christ Aronds (alm.) dan Sri Daryati. Pada tahun 2004 menikah dengan Nurwidyanti, S.Sos. dan dikaruniai dua orang anak, Petra Noor Imanuel Aronds (lahir 13 Februari 2005) dan Syalom Nooritha Putri Aronds (lahir 31 Agustus 2008).
Pada tahun 1996, setelah lulus dari SMA Negeri 2 Magelang, penulis melanjutkan studi ke Jurusan Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM) di Jogjakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2009 penulis memperoleh beasiswa dari Kementerian Kehutanan untuk melanjutkan studi pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor.
Sistem Agroforestri untuk Memulihkan Lahan Gambut Terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan NURHENI WIJAYANTO.
Lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikuatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologinya secara optimal, karena upaya yang mengarah kepada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan adanya kerusakan lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35%. Kondisi tersebut memerlukan kegiatan rehabilitasi dan penghijauan untuk pemulihannya. Kegiatan tersebut memerlukan pemilihan jenis dan sistem tanam yang tepat. Pada penelitian ini diajukan suatu pemikiran pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri pada kegiatan dimaksud. Pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri di lahan gambut untuk tujuan rehabilitasi dan penghijauan harus memenuhi syarat, secara teknis dapat diterapkan, secara sosial dapat diterima oleh petani setempat, secara ekonomi menguntungkan dan ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi yang memenuhi 4 persyaratan di atas.
Tahap persiapan penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 dan bulan Januari 2011. Tahap pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari – Juli 2011. Tahap penyusunan laporan hasil penelitian dilakukan pada bulan Agustus – September 2011. Pada aspek teknis, parameter yang diteliti mencakup teknik silvikultur jelutung dengan sistem agroforestri, performansi pertumbuhan jelutung pada beberapa tipologi lahan gambut dan pola agroforestri, serta rancangan agroforestri berbasis jelutung yang dapat dikembangkan di lahan gambut. Pada aspek sosial, parameter yang diteliti adalah potensi getah jelutung sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan sesuai Permenhut RI Nomor P.21/Menhut-II/2009. Pada aspek ekonomi, parameter yang diteliti mencakup margin pemasaran getah jelutung dan analisis finansial pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri. Pada aspek lingkungan, parameter yang diteliti mencakup kesuburan tanah, iklim mikro dan teknologi pengkomposan sebagai sumber amelioran alternatif pengganti abu hasil pembakaran. Data primer diperoleh melalui wawancara, observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta diskusi kelompok terfokus (FGD) yang melibatkan para pihak.
dengan melakukan masukkan teknologi tepat guna. Performansi pertumbuhan jelutung pada berbagai pola agroforestri menunjukkan riap tinggi batang mencapai 86,55 – 127,94 cm per tahun dan riap diameter batang mencapai 1,56 – 2,15 cm per tahun.
Hasil analisis aspek sosial menunjukkan bahwa menurut kriteria dan indikator HHBK Unggulan pada Permenhut RI Nomor P.21/Menhut-II/2009, getah jelutung termasuk HHBK Unggulan Provinsi dengan Total Nilai Unggulan (TNU) sebesar 72,62. Pada aspek ekonomi diketahui bahwa margin pemasaran getah jelutung belum efisien karena nilainya masih > 50%. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa hutan tanaman jelutung layak untuk dikembangkan baik secara monokultur maupun pola agroforestri. Nilai NPV, BCR dan IRR untuk agroforestri jelutung berturut-turut adalah 69.799.338; 8,68 dan 29%.
Pada aspek lingkungan, diketahui bahwa keragaman makrofauna tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestri jelutung lebih besar dibandingkan dengan lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur dan lahan terlantar, dengan nilai Indeks Shannon Wiener berturut-turut sebesar 1,8; 1,2 dan 1,69 untuk metode PSM. Analisis kimia tanah pada lahan gambut berpenutupan agroforestri jelutung menghasilkan data sebagai berikut: pH=3,94; N total=0,4%; C organik=48,58%; C/N=121,45. Tingkat kematangan gambut pada lahan berpenutupan agroforestri jelutung adalah saprik-hemik sampai hemik, untuk lahan berpenutupan pertanian monokultur adalah fibrik-hemik sampai saprik-hemik, sedangkan lahan gambut terlantar didominasi oleh fibrik dan fibrik-hemik. Iklim mikro pada lahan gambut berpenutupan agroforestri jelutung lebih baik dibandingkan dengan lahan gambut berpenutupan pertanian monokultur dan lahan terlantar. Kompos berbahan baku bahan organik lokal ditinjau dari kandungan hara mampu menggantikan abu sebagai sumber amelioran dan memenuhi SNI untuk kompos. Pengembangan jelutung dengan sistem agroforesri harus tetap mempertimbangkan kearifan lokal yang berkembang di lokasi setempat.
Kata kunci: jelutung, sistem agroforestri, rehabilitasi, lahan gambut.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Kerangka Pemikiran ... 2
Perumusan Masalah ... 7
Tujuan Penelitian ... 10
Manfaat Penelitian ... 10
TINJAUAN PUSTAKA ... 11
Lahan Gambut ... 11
Kondisi Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah ... 12
Gambaran Umum Jelutung Rawa ... 15
Penyebaran dan tempat tumbuh ... 15
Sifat botanis ... 16
Sifat pohon ... 17
Pemanfaatan jelutung ... 18
Perlindungan tanaman ... 19
Pertumbuhan jelutung ... 19
Agroforestri ... 20
Definisi dan konsep agroforestri ... 20
Klasifikasi sistem agroforestri ... 21
Manfaat agroforestri ... 22
Bentuk-bentuk agroforestri ... 25
Kendala dan prospek pengembangan agroforestri di lahan gambut .. 26
Penelitian Sebelumnya ... 28
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 29
Kelurahan Kalampangan ... 29
Desa Tumbang Nusa ... 31
Desa Jabiren ... 32
Desa Mentaren II ... 34
METODE PENELITIAN ... 36
Tempat dan Waktu Penelitian ... 36
Bahan dan Alat ... 37
Jenis dan Sumber Data ... 37
xi
Kelayakan ekonomi ... 47
Kelayakan lingkungan ... 49
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58
Kelayakan Teknis ... 58
Pengadaan bibit ... 58
Pengadaan bibit dari biji (generatif) ... 58
Pengadaan bibit secara vegetatif ... 66
Pola pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforestri ... 70
Performansi pertumbuhan jelutung rawa ... 82
Plot penelitian di Kelurahan Kalampangan ... 82
Plot penelitian di Desa Tumbang Nusa ... 83
Plot penelitian di Desa Jabiren ... 84
Plot penelitian di Desa Mentaren II ... 85
Kelayakan Sosial ... 92
Kelayakan Ekonomi ... 118
Margin pemasaran getah jelutung ... 118
Analisis finansial ... 125
Analisis sensitivitas ... 129
Kelayakan Lingkungan ... 130
Kesuburan tanah ... 130
Sifat kimia gambut ... 130
Sifat fisik gambut ... 133
Sifat biologi gambut ... 135
Kondisi iklim mikro ... 144
Teknologi pengkomposan ... 149
KESIMPULAN DAN SARAN ... 153
Kesimpulan ... 153
Saran ... 154
DAFTAR PUSTAKA ... 155
xiii
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ... 6
2. Perumusan masalah penelitian ... 9
3. Profil pohon, buah, bunga dan daun jelutung ... 17
4. Profil permudaan tingkat semai, biji, dan kuncup daun jelutung ... 18
5. Batang yang ditoreh dan getah jelutung ... 19
6. Metode PSM pada analisis makrofauna tanah ... 52
7. Prosedur penentuan tingkat kematangan gambut ... 54
8. Proses memperoleh abu sebagai sumber amelioran lokal ... 55
9. Tahap penghalusan bahan organik sebelum dikomposkan ... 56
10. Profil polong buah jelutung yang masih di pohon ... 62
11. Tahapan proses ekstraksi dan seleksi biji jelutung ... 63
12. Perendaman benih jelutung, benih jelutung yang berkecambah .... 64
13. Tahapan perkecambahan benih jelutung sampai semai ... 65
14. Tahapan pengerasan batang (hardening) bibit jelutung ... 66
15. Ujung batang jelutung resting, flushing, dan tipe ... 67
16. Penampilan stek jelutung dengan metode persemaian KOFFCO .. 68
17. Cabang jelutung yang dicangkok ... 69
18. Penyiapan lahan teknik gundukan dan surjan ... 71
19. Tahapan penyiapan lahan dengan teknik surjan ... 72
20. Profil parit drainase dan tanaman nenas. Tanaman ubi kayu ... 76
21. Teknik penanaman bibit jelutung rawa di lahan gambut tebal ... 77
22. Kondisi bibit siap tanam. Aklimatisasi bibit jelutung ... 77
23. Proses pembuatan abu sebagai sumber amelioran ... 78
24. Profil sumur dan penyiraman dari sumur pompa ... 79
25. Rata-rata tinggi batang dan diameter batang jelutung rawa ... 82
26. Rata-rata tinggi dan diameter batang jelutung rawa ... 84
27. Performansi jelutung rawa umur 5,25 tahun pola mixcropping ... 85
28. Performansi jelutung rawa umur 7 tahun di Desa Mentaren II ... 87
29. Persen sulaman dan persen serangan penggerek batang ... 88
30. Riap pertumbuhan tinggi batang dan riap pertumbuhan ... 88
31. Riap tinggi batang dan riap diameter batang tanaman jelutung ... 91
32. Produksi getah jelutung oleh PT. SAS ... 94
33. Produksi getah jelutung di Kabupaten Kotawaringin Barat ... 94
34. Produksi getah jelutung menjadi bahan baku setengah jadi ... 95
35. Faktor-faktor yang diperlukan dalam pengembangan jelutung ... 105
36. Proses penumbuhan kerjasama ... 109
37. Proses penumbuhan kelembagaan pengembangan jelutung ... 109
38. Proses penumbuhan sistem kebersamaan ekonomi ... 110
39. Teknik penyadapan tradisional dan teknik infus ... 112
40. Produksi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah ... 118
41. Jalur distribusi pemasaran getah jelutung di Kota Palangkaraya ... 123
42. Hasil identifikasi makrofauna tanah per ordo di Kalampangan ... 136
43. Jumlah famili masing-masing ordo makrofauna tanah ... 136
xiv
48. Rata-rata berat serasah dan abu sebagai sumber amelioran ... 150
xii
Halaman
1. Klasifikasi pokok sistem agroforestri ... 23
2. Kedudukan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya ... 28
3. Tenaga kerja berdasarkan kelompok umur ... 30
4. Matapencaharian penduduk Kelurahan Kalampangan ... 30
5. Tenaga kerja berdasarkan kelompok umur ... 34
6. Jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data dan keluaran ... 38
7. Rincian aspek yang dikaji dalam FGD tingkat provinsi ... 45
8. Produksi benih jelutung rawa dari tegakan benih ... 59
9. Data lahan gambut kritis di Provinsi Kalimantan Tengah ... 60
10. Kapasitas produksi bibit jelutung rawa per tahun ... 61
11. Pola agroforestri yang telah dikembangkan di gambut dangkal .... 74
12. Pola agroforestri yang telah dikembangkan di gambut dalam ... 79
13. Sistem silvopastoral dan agrisilvopastoral berbasis jelutung ... 80
14. Sistem agrisilvikultur berbasis jelutung rawa ... 81
15. Performansi pertumbuhan jelutung pada berbagai tipologi lahan .. 89
16. Performansi pertumbuhan jelutung rawa pola tanam monokultur . 90 17. Realisasi ekspor getah jelutung di Kalimantan Tengah ... 93
18. Persentase gambut dan non gambut ... 96
19. Produksi getah jelutung di Provinsi Kalimantan Tengah ... 97
20. Rekapitulasi pembuatan tanaman jelutung ... 97
21. Pendapatan daerah dari retribusi getah jelutung ... 100
22. Penerima ijin lokasi penyadapan getah jelutung ... 103
23. Matrik kriteria dan indikator penilaian getah jelutung ... 104
24. Identifikasi masalah aspek kawasan dan pemasaran ... 106
25. Identifikasi masalah aspek budidaya, pengolahan dan kualitas ... 107
26. Ekspor getah jelutung ke Jepang ... 119
27. Perkembangan ekspor getah jelutung dari tahun 1993-2001 ... 119
28. Produksi kayu bulat jelutung di Indonesia tahun 2001 – 2005 ... 120
29. Potensi awal dan penyebaran jenis kayu jelutung ... 120
30. Margin pemasaran dan keuntungan getah jelutung ... 124
31. Analisis finansial hutan tanaman jelutung seluas 1 ha ... 128
32. Rekapitulasi analisis sensitivitas kelayakan usaha ... 129
33. Data hasil analisis laboratorium sifat kimia gambut ... 131
34. Kriteria penilaian sifat kimia tanah ... 133
35. Ketebalan gambut yang terbawa pada proses pembesikan lahan ... 149
xv
Halaman
1. Daftar hadir peserta FGD tingkat petani di Kalampangan ... 164
2. Daftar hadir peserta FGD tingkat peramu dan pengumpul ... 166
3. Daftar hadir peserta FGD tingkat provinsi ... 167
4. Peta lokasi penelitian ... 170
5. Tally sheet pengukuran pada agrosilvofishery ... 171
6. Tally sheet pengukuran pada alleycropping Mentaren II ... 172
7. Tally sheet pengukuran pada mixed cropping Mentaren II ... 173
8. Tally sheet pengukuran pada mixed cropping Jabiren ... 174
9. Tally sheet pengukuran pada mixed cropping Tumbang Nusa ... 175
10. Tally sheet pengukuran pada alleycropping I Kalampangan ... 176
11. Tally sheet pengukuran alleycropping II Kalampangan ... 177
12. Layout agrosilvofishery di Desa Mentaren II ... 178
13. Layout alleycropping dengan teknik surjan di Desa Mentaren II .. 179
14. Layout mixcropping dengan teknik surjan di Desa Mentaren II .... 180
15. Layout mixcropping dengan teknik surjan di Desa Jabiren ... 181
16. Layout mixcropping dengan teknik petak berparit ... 182
17. Layout alleycropping dengan teknik petak berparit ... 183
18. Materi diskusi tingkat petani di Kelurahan Kalampangan ... 184
19. Materi diskusi tingkat peramu dan pengumpul getah jelutung ... 185
20. Materi makalah pengarah pada FGD tingkat Provinsi ... 187
21. Foto kegiatan FGD ... 189
22. Data sumber benih jelutung dengan status tegakan benih ... 190
23. Metode PSM makrofauna tanah pada 3 tipologi penutupan lahan . 191 24. Metode PCT dan PSM makrofauna tanah ... 192
25. Makrofauna tanah yang ditemukan di lokasi penelitian ... 193
26. Jenis tanaman pangan yang dapat ditumpangsarikan ... 194
27. Jenis tanaman sayuran yang dapat ditumpangsarikan ... 195
28. Jenis tanaman buah yang dapat ditumpangsarikan ... 197
29. Jenis tanaman rempah dan minyak yang dapat ditumpangsarikan . 199 30. Foto beberapa tanda dan gejala serangan hama pada jelutung ... 200
31. Tingkat kematangan gambut pada beberapa tipologi ... 201
32. Data hasil identifikasi makrofauna tanah ... 203
33. Hasil analisis tanah ... 208
34. Hasil analisis pupuk dan abu ... 209
35. Data Klimatologi bulan April ... 210
36. Data Klimatologi bulan Mei ... 211
37. Data Klimatologi bulan Juni ... 212
38. Matrik kriteria dan indikator HHBK Unggulan ... 213
39. Data iklim mikro pada plot penelitian di Kalampangan ... 215
40. Data iklim mikro pada plot penelitian di Tumbang Nusa ... 216
41. Analisis finansial mixed cropping jelutung-karet ... 217
xvi
AFKL : Agroforestri Jelutung di Kalampangan AFTN : Agroforestri Jelutung di Tumbang Nusa BBM : Bahan Bakar Minyak
BCR : Benefit Cost Ratio
BKK : Bokhasi Kalampangan BKM : Bokhasi Mentaren BKT : Bokhasi Tumbang Nusa BOT : Built, Operate, Transfer
BPDAS : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPK : Balai Penelitian Kehutanan
BPTH : Balai Perbenihan Tanaman Hutan
CIDC : Canadian International Development Centre CKPP : Central Kalimantan Peat Project
CPO : Crude Palm Oil
D&D : Diagnosis and Designing
DPL : Di Atas Permukaan Laut DR : Dominasi Relatif
EM4 : Effective Microorganism FGD : Focus Group Discussion
GERHAN : Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu
HKm : Hutan Kemasyarakatan HMT : Hijauan Makanan Ternak
HOK : Hari Orang Kerja HPH : Hak Pengusahaan Hutan HTI : Hutan Tanaman Industri
HTR : Hutan Tanaman Rakyat
ICRAF : International Council for Research in Agroforestry INP : Indeks Nilai Penting
Inpres : Instruksi Presiden IRR : Internal Rate of Return
KB : Kejenuhan Basa
KHDTK : Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus KOFFCO : Komatsu Forda Fog Cooling System
KPH : Kesatuan Pemangkuan Hutan KR : Kerapatan Relatif
KTK : Kapasitas Tukar Kation KUR : Kredit Usaha Rakyat
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat LTTN : Lahan Terlantar di Tumbang Nusa NIT : Nilai Indikator Tertimbang NPV : Net Present Value
xvii
PIU : Penelitian Integratif Unggulan PLG : Pembukaan Lahan Gambut
PMKL : Pertanian Monokultur di Kalampangan PSB : Perkebunan Swasta Besar PSDH : Punggutan Sumberdaya Hutan PSM : Perangkap Sumuran
PT. SAS : Perusahaan Terbatas Sumber Alam Sejahtera RTRWP : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
SB : Sumber Benih
SDLP : Sumberdaya Lahan Pertanian SDM : Sumberdaya Manusia SKE : Sistem Kebersamaan Ekonomi SLT : Subsidi Langsung Tunai
SNI : Standar Nasional Indonesia TNS : Taman Nasional Sebangau TNTP : Taman Nasional Tanjung Puting TNU : Total Nilai Unggulan UK : United Kingdom
UMKMK Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi UNPAR : Universitas Palangkaraya
UPT : Unit Pelaksana Teknis USD : United State Dollar
Latar Belakang
Lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah dikuatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologinya secara optimal, karena upaya yang mengarah kepada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai dengan adanya kerusakan lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35% (Limin, 2004). Lahan gambut yang terdegradasi tersebut pada perkembangannya menjadi lahan terlantar, yang pada musim kemarau sangat rawan kebakaran. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologi dan menurunnya kesejahteraan masyarakat. Lahan gambut terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan kegiatan penanaman (rehabilitasi dan penghijauan). Upaya tersebut akan terkendala oleh sifat fisika lahan (penyusutan ketebalan, kering tak balik, kedalaman dan tingkat kematangan gambut yang sangat beragam), sifat kimia lahan (kemasaman dan kesuburan yang rendah) dan tata air lahan (adanya variasi genangan). Kendala lain adalah tidak selarasnya imbangan antara bahan organik, mineral, larutan tanah dan udara tanah (Anwar, 2000).
menjembatani kepentingan ekonomi petani lokal dengan kepentingan kelestarian lingkungan lahan gambut.
Faktor lain yang turut menentukan keberhasilan upaya memulihkan lahan gambut terdegradasi adalah pemilihan jenis yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Salah satu jenis yang memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung rawa. Jenis ini mempunyai nama ilmiah Dyera polyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F. yang merupakan salah satu jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jelutung rawa merupakan jenis pohon endemik, sebab di dunia hanya terdapat di dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia. Jenis pohon ini di Indonesia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Jenis jelutung saat ini mulai banyak digunakan dalam pengembangan hutan tanaman indutri (HTI) di lahan gambut. Kayunya memiliki sifat-sifat yang sangat baik untuk bahan baku industri pensil dan getahnya sebagai bahan baku industri permen karet (Daryono, 2000). Pengembangan jenis jelutung dengan sistem agroforestri perlu dikaji untuk memulihkan kondisi lahan gambut terdegradasi.
Kerangka Pemikiran
menunjukkan betapa lahan gambut memiliki arti yang sangat penting bagi penyangga (buffer) lingkungan.
Peranan lahan gambut sebagai penyangga lingkungan berhubungan dengan fungsinya dalam gatra hidrologis, biogeokimia dan ekologis. Fungsi gambut secara hidrologis adalah menyimpan air. Gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air antara 500% – 1.000% bobotnya. Gambut rawa alami selain sebagai daerah tampung air juga berfungsi sebagai penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air (aquafer) selama musim hujan, pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya banjir pada musim hujan besar dan kelangkaan air pada musim kemarau (Andriesse, 1988; Rydin dan Jeglum, 2006). Gambut dalam setiap meter kubik dapat menyimpan sekitar 850 liter air, sehingga setiap hektar gambut mampu menyimpan air sebesar 88,60 juta liter. Hal ini jika dikaitkan dengan kebutuhan air penduduk yang rata-rata sebesar 85 liter per hari per jiwa, maka setiap hektar gambut (tebal 1 m) dapat mencukupi kebutuhan air untuk 274 jiwa penduduk per tahun. Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air dapat berubah jika terjadi pengeringan terhadap gambut. Pengeringan dapat mengubah sifat gambut yang menyukai air (hidrofil) menjadi tidak menyukai air (hidrofob) yang tak terbalikkan. Gambut juga diperlukan sebagai penyangga antara wilayah marin dan wilayah air tawar. Upaya mempertahankan keseimbangan antara keduanya, dapat menghindari terjadinya penyusupan air laut ke pesisir dan pencemaran di perairan pantai akibat hasil buangan daratan (Rieley et al. 1996).
Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air dan pemendaman (sequestering) karbon berkaitan erat dengan kepentingan lingkungan, baik secara regional maupun global. Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut telah diteliti oleh beberapa peneliti (Sorensen, 1993; Notohadinegoro, 1996; Schimada
CO2 yang dihasilkan oleh lahan gambut diperkirakan antara 100 – 400 mg per m2 per jam, setara dengan 9 – 35 ton per hektar per tahun (Ridlo, 1997). Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat mencapai 5.000 ton per hektar, diantaranya 1.200 ton per hektar gambut dunia (Diemont et al. 1992). Lahan gambut juga menghasilkan emisi gas CH4 (metan) selain emisi gas CO2, sebagai hasil dari perombakan atas bahan organik secara anaerob. Peningkatan emisi gas seperti CO2 dan CH4 dalam jumlah besar akan mempengaruhi iklim global yang menimbulkan pemanasan secara global pula, yaitu naiknya suhu permukaan planet bumi (Noor, 2001).
Sumberdaya penting lain yang terdapat di kawasan gambut adalah keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang besar dan khas. Hasil penelitian Dahuri (1997) di hutan primer gambut sekitar Sungai Mentangai, Provinsi Kalimantan Tengah, menemukan 104 jenis satwa liar yang terdiri atas 32 jenis mamalia (di antaranya 13 jenis dilindungi), 8 jenis reptilia (5 jenis dilindungi) dan 60 jenis burung (19 jenis dilindungi). Lahan gambut juga mempunyai sumber air hitam (black water stream) yang masih bersifat misteri. Sumber air hitam tersebut di dunia hanya terdapat di dua tempat, yakni Amerika Utara dan Provinsi Kalimantan Tengah. Uraian tersebut menunjukkan bahwa kawasan gambut, selain dapat dijadikan obyek wisata flora dan fauna, juga dapat dijadikan obyek wisata lingkungan (ecoturism).
Kondisi ideal lahan gambut seperti telah dipaparkan di atas, bertolak belakang dengan kondisi existing lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah yang terancam tidak mampu lagi memerankan fungsinya sebagai penyangga lingkungan, akibat pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan (Limin, 2004). Degradasi tersebut telah menyebabkan terhambatnya proses pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan bencana ekologi berupa kekeringan serta kebakaran, sehingga menurunkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidup. Kondisi tersebut perlu segera diperbaiki melalui upaya pemulihan lahan-lahan gambut yang terdegradasi, sehingga dapat berfungsi kembali secara ekologi dan ekonomi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
hasil penelitian dan ujicoba penanaman di lahan gambut pasca kebakaran yang menunjukkan masih rendahnya tingkat keberhasilan tanaman (Limin et al. 2003). Kendala utama keberhasilan penanaman tertuju pada kondisi biofisik lahan yang tidak favourable untuk jenis tanaman yang dikembangkan. Bertitiktolak dari tantangan yang dihadapi dalam upaya pemulihan lahan gambut terdegradasi tersebut, maka pada penelitian ini diajukan suatu pemikiran perlunya untuk melakukan upaya pemulihan lahan gambut terdegradasi berbasis jenis lokal dengan sistem yang ramah lingkungan. Sistem tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (Suharjito et al. 2003): secara teknis dapat diterapkan (technically applicable), secara sosial dapat diterima petani setempat (socially acceptable), secara ekonomis menguntungkan (economically feasible) dan ramah terhadap lingkungan (environmentally friendly).
Kondisi Ideal Ekosistem Lahan Gambut
Perumusan Masalah
Keberlanjutan dalam konteks pertanian berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumberdaya. Suatu praktek pertanian dapat dikatakan berkelanjutan bila memenuhi lima (5) aspek berikut (Reijntjes et al. 1999). Pertama, mantap secara ekologis. Hal ini berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan (manusia, tanaman, hewan dan organisme tanah) ditingkatkan. Kedua hal tersebut akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Kedua, dapat berlanjut secara ekonomis. Hal ini berarti bahwa petani dapat menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Ketiga, adil. Hal ini berarti sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Keempat, manusiawi. Hal ini berarti semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai. Kelima, luwes (fleksibel). Hal ini berarti masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Pada penelitian ini berdasarkan kelima aspek tersebut diajukan suatu pemikiran upaya pemulihan kondisi lahan gambut yang terdegradasi dengan pengembangan jenis jelutung berbasis sistem agroforestri.
vegetatif), teknik persemaian, teknik penanaman sampai dengan teknik pemeliharaan telah diketahui (Daryono, 2000).
Justifikasi ilmiah penerapan sistem agroforestri untuk memulihkan kembali lahan gambut dapat dijelaskan sebagai berikut. Agroforestri merupakan suatu pola tanam yang menggunakan kombinasi komponen pohon, tanaman semusim dan atau kegiatan peternakan/perikanan. Pola tanam ini merupakan salah satu jawaban bagi usaha produksi yang mempertimbangkan konservasi sumberdaya alam, sehingga memungkinkan bagi kita untuk dapat memanfaatkan lahan yang rentan secara ekologis. Masuknya komponen pohon ke lahan usaha tani maupun masuknya komponen tanaman pertanian ke lahan hutan melalui sistem agroforestri, membuka jalan baru bagi penggunaan lahan yang lebih efisien dengan hasil yang lebih baik pada usaha konservasinya. Penerapan sistem agroforestri di lahan gambut akan memantapkan bentukan ekosistem yang berarti mengurangi input biaya. Stabilitas sistem menjadi tinggi tanpa atau sedikit ancaman degradasi lahan karena struktur agroforestri akan mengikuti kaidah struktur vegetasi asli, terutama dalam menimbulkan mekanisme ke internalnya. Kontribusi agroforestri dalam bidang sosial-ekonomi lebih bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan murni, karena komponen usahanya lebih beragam dan kombinasi hasil produksi yang lebih stabil serta dapat untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang (Huxley, 1999; Lahjie, 2001; Elevitch dan Wilkinson, 2010).
Pertanyaan utama penelitian yang diajukan berdasarkan rumusan tersebut di atas adalah: “Apakah pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi secara teknis dapat diterapkan, secara sosial dapat diterima petani setempat, secara ekonomi menguntungkan dan ramah lingkungan?”. Secara ringkas perumusan masalah penelitian ini seperti tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2 Perumusan masalah penelitian Lahan Gambut
Terdegradasi
Upaya Pemulihan
Pengembangan Jelutung dengan Sistem Agroforestri
Secara Ekonomi Menguntungkan
Ramah
Li k Secara Sosial dapat
Diterima Secara Teknis
dapat Diterapkan
Parameter:
(a) teknik silvikultur, (b) performansi pertumbuhan jelutung.
Metode:
Parameter: kriteria HHBK unggulan menurut
Permenhut No. P.21/Menhut-II/2009.
Metode:
W F
Parameter: (a) rantai dan margin pemasaran getah jelutung, (b) analisis finansial
(Suhardjito et al. 2003)
Parameter: (a) kesuburan tanah, (b) kondisi iklim mikro dan (c) teknologi amelioran alternatif selain abu hasil pembakaran gambut
Metode: observasi
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi yang ditinjau dari aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Manfaat Penelitian
Lahan Gambut
Tanah gambut adalah tanah yang berbahan induk organik (sisa-sisa tanaman). Klasifikasi tanah gambut digolongkan dalam ordo histosol atau organosol. Faktor drainase buruk merupakan syarat utama untuk terbentuknya tanah gambut. Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di bawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukannya (Noor, 2001).
Luas lahan gambut di Indonesia sekitar 17 juta ha atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Lahan gambut di Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar, yaitu Kalimantan (9.309.000 ha), Sumatra (4.276.000 ha) dan Papua (4.600.000 ha). Berdasarkan kedalamannya, lahan gambut yang tergolong sangat dalam (tebal antara 4 m – 12 m) sekitar 3,16 juta ha; lahan gambut dalam sampai dengan sangat dalam (tebal antara 2 m – 4 m) sekitar 1,30 juta ha dan gambut dalam campuran dengan jenis tanah lainnya sekitar 4,34 juta ha (Notohadiprawiro, 1996).
Luas lahan rawa di Provinsi Kalimantan Tengah diperkirakan 4,3 juta ha yang terdiri atas 0,7 juta ha rawa pasang surut dan 3,6 juta ha rawa non pasang surut. Lokasi lahan rawa tersebut berada di antara Sampit – Palangkaraya ke arah Timur Hulu Sungai Kapuas dan termasuk ke dalam Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Selatan dan sebagian kecil Kota Palangkaraya. Tanah di lokasi ini merupakan lahan rawa yang didominasi gambut dengan ketebalan 0,5 – 2 m dan tanah sulfat masam (Kartamihardja, 2002).
Lahan gambut mempunyai potensi sebagai penghasil berbagai produk seperti kayu, flora (tanaman) dan fauna (ikan, burung, dan lain-lain). Jenis kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di hutan rawa gambut antara lain ramin (Gonystylus bancanus Kurtz), belangeran (Shorea belangeran), jelutung (Dyera lowii Hook. F), nyatoh (Palaquium cochlearia), bintangur (Calophyllumkuntsleri
auriculata Hook. F), geronggang (Cratoxylon arborescens Bl.), punak (Tetramerista glabra), kapurnaga (Calopyllum macrocarpum Hk. F), dan lain-lain. Daryono (2000) menyatakan bahwa jenis-jenis pohon rawa gambut yang mempunyai nilai komersial (prospektif) untuk dikembagkan pada pembangunan HTI maupun untuk kegiatan rehabilitasi terdapat sebanyak 27 jenis.
Potensi lain dari lahan gambut yang tidak kalah besar adalah ikan. Jenis ikan penghuni rawa gambut yang bernilai ekonomi penting antara lain papuyu (Anabas testudineus), lele (Clarias spp.), baung (Mystus nemurus), ikan gabus (Channa
spp.), sepat (Trichogaster spp.), dan jelawat (Ceptobarbus hoeveni). Pada rawa gambut terdapat tidak kurang dari 100 jenis ikan di perairan tawar Provinsi Kalimantan Tengah yang sebagian besar termasuk ikan penghuni rawa yang bernilai ekonomi penting (Kartamihardja, 2002).
Uraian di atas menunjukkan bahwa lahan gambut mempunyai potensi yang besar. Pemanfaatan lahan gambut harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya degradasi yang berdampak sangat luas, baik terhadap sumber kehidupan maupun terhadap fisik lingkungan.
Kondisi Lahan Gambut di Provinsi Kalimantan Tengah
Lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah diperkirakan mencakup areal seluas 3.472.000 ha, atau sekitar 21,98 % dari total luas wilayah provinsi ini yang mencapai 15.798.000 ha. Kondisi obyektif lahan gambut di provinsi ini dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok utama (Limin et al. 2003).
terletak pada tiga (3) kawasan utama yakni: (a) kawasan hutan yang terletak di antara areal eks PLG di sebelah Timur (dibatasi oleh Sungai Sebangau) hingga areal Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di sebelah Barat, dengan batas Utara adalah Jalan Trans Kalimantan dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, (b) kawasan hutan yang terletak pada Blok E di sebelah Utara areal Eks PLG, (c) kawasan hutan yang terletak di antara kawasan TNTP hingga ke batas provinsi dengan Provinsi Kalimantan Barat.
Kedua, lahan gambut areal eks PLG. Total luasan areal eks PLG adalah seluas 1.119.493 ha, yang terdiri atas 4 (empat) blok, masing-masing Blok A seluas 227.100 ha, Blok B seluas 161.480 ha, Blok C seluas 568.635 ha dan Blok D seluas 162.278 ha.
Ketiga, lahan gambut yang termasuk wilayah Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) dan Taman Nasional Sebangau (TNS). Kawasan TNTP mempunyai luas areal 415.040 ha, yang secara khusus diperuntukkan sebagai habitat bagi satwa langka yang dilindungi yakni orangutan (Pongo pygmaeus). Sedangkan TNS mempunyai luas areal 568.700 ha.
Keempat, lahan gambut terlantar.Sebaran dari lahan gambut pada kelompok ini terletak di sepanjang kiri kanan jalan negara, seperti Jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan Palangkaraya - Kuala Kapuas - Banjarmasin, jalan negara yang menghubungkan Sampit - Ujung Pandaran, Sampit - Kuala Pembuang, Palangkaraya - Tumbang Talaken - Tumbang Jutuh, dan Kotawaringin - Sukamara. Lahan gambut di kanan-kiri jalan negara menjadi terlantar karena pada umumnya kawasan bergambut pada kelompok ini berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) sudah tidak lagi merupakan Kawasan Hutan Tetap dan diclaim oleh masyarakat sebagai areal tanah milik mereka, namun tidak digarap atau diolah sebagaimana mestinya. Kelompok ini lebih tepat disebut sebagai lahan gambut terlantar (lahan gambut tidak produktif).
gambut yang dikelola masyarakat setempat baik sebagai lahan perkebunan maupun hasil hutan ikutan lainnya (seperti kebun kelapa, kebun karet, budidaya jelutung, kebun rotan, dan lain-lain).
Dari kelima kelompok tersebut di atas, ditinjau dari perspektif pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, maka kelompok keempat (lahan gambut terlantar) merupakan lahan gambut yang perlu mendapat prioritas penanganan, dengan memperhatikan berbagai kondisi obyektifnya masing-masing.
Perkembangan pengelolaan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah dapat dibedakan sebagai berikut (Limin et al. 2003).
Pertama, pengelolaan lahan gambut melalui program pemerintah. Penetapan lahan gambut tertentu untuk tujuan-tujuan konservasi berupa penetapan Kawasan Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Cagar Budaya, Taman Wisata, Hutan Lindung, termasuk Kawasan Konservasi Air Hitam. Masing-masing fungsi kawasan tersebut telah secara jelas diatur dan ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (RTRWP) hasil Paduserasi Tahun 1999. Pengelolaan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan wilayah pada umumnya dalam bentuk pembukaan lahan baru untuk dijadikan sebagai lokasi pemukiman penduduk melalui program transmigrasi atau resettlement dan pembangunan jaringan atau akses jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Tengah.
Kedua, pengelolaan lahan gambut oleh pihak swasta. Pengelolaan lahan gambut yang masih berupa hutan (kawasan hutan) yang dilakukan oleh para pemegang HPH dalam rangka memanfaatkan tegakan hutan yang bernilai ekonomis melalui kegiatan-kegiatan eksploitasi dan silvikultur. Pengelolaan lahan gambut yang sudah tidak berupa hutan (bukan merupakan kawasan hutan) oleh perusahaan perkebunan swasta besar (PSB) yang dikonversi menjadi kebun-kebun kelapa sawit sekaligus sebagai sentra-sentra produksi crude palm oil (CPO) di Provinsi Kalimantan Tengah.
yakni sebagai Hutan Penelitian. Selain itu juga terdapat Laborarium Gambut di Sungai Sebangau yang dikelola oleh pihak Universitas Palangkaraya bekerja sama dengan pihak Nottingham University, UK.
Keempat, pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat. Kegiatan pengelolaan lahan gambut yang dilakukan oleh masyarakat lebih merupakan pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan kebun-kebun rakyat dan pengolahan lahan gambut sebagai lahan pertanian tanaman pangan, dengan pola sebaran mengikuti konsentrasi pemukiman penduduk di sepanjang kiri-kanan jalan negara.
Gambaran Umum Jelutung Rawa
Penyebaran dan tempat tumbuh
Jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis) merupakan jenis pohon asli lahan gambut (indigenuos tree species). Sinonim nama ilmiah jenis ini adalah
Sifat botanis
Jelutung rawa termasuk genus Dyera, famili Apocynaceae. Habitus dan ciri morfologinya dapat dijelaskan sebagai berikut (Daryono, 2000):
a. Profil pohon. Pohon besar, tinggi dan bertajuk tipis. Tinggi pohon dapat mencapai 60 meter dan diameter 260 cm, sedangkan tinggi bebas cabang dapat mencapai 30 meter.
b. Profil batang. Bentuk batang silindris dan tidak berbanir. Kulit batang berwarna abu-abu atau kehitam-hitaman. Kulit luar rata tetapi kasar, mempunyai sisik berbentuk bujur sangkar, tebal kulit batang 1-2 cm, tidak berbulu, bergetah putih sampai kuning, halus dan tidak berteras.
c. Profil daun. Daun tunggal tersusun melingkar pada ranting sebanyak 4-8 helai, berbentuk lonjong atau bulat telur, ujung daun membulat, panjang 15-20 cm dan lebar 6-8 cm. Tajuk tipis atau jarang.
d. Profil buah. Buah berupa polong kayu yang kembar (berpasangan) menyerupai tanduk berbentuk bulat memanjang yang berangsur-angsur memipih apabila buah menjadi tua. Panjang polong 12 – 26 cm (rata-rata 23 cm), berat kering polong 20,2 – 31,9 gram (rata-rata 28,02 gram). Buah yang telah matang (fisik dan fisiologis) akan merekah setelah dijemur selama 1 – 3 hari, sedangkan buah yang belum masak akan pecah setelah dijemur lebih dari 4 hari. Pohon berbuah hampir setiap tahun.
e. Profil biji. Biji berbentuk oval, pipih, dan berwarna coklat. Kulit biji berupa selaput tipis yang melebar dan memanjang membentuk sayap. Biji tersusun dalam dua baris yang berhimpitan di dalam polong buah. Jumlah biji per polong 12 – 26 biji (rata-rata 18 biji).
Gambar tidak bisa dalam set r dan Janua e, 1972). P an bahwa m Desember. P s gundul h i, ada kalan ru muncul ngan, seperti
ah), bunga d a
hon
mbutuhkan n a untuk per semai jelutu unga hampi di setiap bu a dikemuka n jelutung b
ggugurkan a hari saja. nya pohon m
selama beb
ir setiap bul ulan kecuali akan oleh Y berlangsung
daun setia . Saat men menggugurk berapa hari mbar 4.
kanan) jelutu
ada waktu m selanjutnya ri respon te lan kecuali b
Ga
ambar 4 Pro
Mula-mul uat dari kar pi setelah k k dapat bers nakan untuk a kulit batan ). Torehan p
ofil permuda
a getah jelu ret sebelum
aret dapat b aing lagi. P k pembuata gkat setelah atu jenis poh elutung wal
namun san halus dan hasilkan g
perti pada mulai disada ± 15 tahun.
ng sampai k pertama pad
aan tingkat (kanan)
Pemanfa
utung digun m ada pemb
berkembang Pada Tahun
an permen k h sumber ba
hon tropis d laupun keaw ngat disuka warnanya etah berwa
Gambar 5. ap setelah b
Penyadapan ke batas kam
da batang d
semai (kiri) jelutung ra
aatan Jelutu ahan baku p dari Amerik
n getah dila mbium mem dibuat seting
), biji (tenga awa
ung
k pembuatan jenis karet produk yang rdiri dari 20 diameter pa
g lebih baik a getah jelu 2). Perhatia et yaitu poh
populasiny ling kecil 2 ngan membu uruf V (met
er, lebar tor
ncup daun
arang yang
rasiliensis), k, jelutung utung dapat an terhadap hon Achras
hampir m kulitnya t terbungku an telurnya
terbuka pa us corion. B
gera aktif m yu teras. Sik
upa selama on jelutung u melekat pa
on jelutung tinggi 45 – batang me
batang de s getah per
yang ditore
Per
ng yang ser erambycida di dalam ce ada saat p Beberapa w
memakan b klus hidup
21 hari, ku dapat terlih ada lubang g
Per
g pada ha – 60 meter ncapai 100
engan meny r pohon jelu
eh (kiri), get
rlindungan umbang 23 h hat oleh ada gerekan (Da
tah (tengah
tanaman
erang pohon e). Serangga kulit yang s
Setelah t dian corion istem kayu ama ini tida hari dan lar anya serbuk
n jelutung a ini memp sehat atau p telur mene n terobek d u, kemudian
ak lebih dar rva ± 4 bula
k/bubuk kay 00).
adaan yang as cabang s jelutung da
gian yang 0,15 – 1,5
) jelutung ra
adalah Bato
punyai kebi pada batang
tas larva m dan larva ke
n menembu ri 6 bulan, y an. Kehadira
yu yang jat
paling baik pada intensitas penyinaran nisbi sekitar 33%, sehingga diperoleh riap tinggi, diameter, permukaan daun dan produksi bahan kering secara optimum (Aminuddin, 1982). Pada umur 2 tahun pertumbuhan jelutung dapat mencapai 1,8 – 2,4 meter. Pada umur 3 tahun mencapai tinggi 2,5 – 2,9 meter dan pada umur 5 tahun dapat mencapai tinggi 5 – 5,5 meter dengan diameter batang 5,2 – 5,5 cm dan tingkat hidup mencapai 60% dari saat penanaman. Pada umur 15 tahun tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 10 meter dengan diameter rata-rata 13 cm. Pada umur 39 tahun pada tanah yang kurang subur pohon jelutung mempunyai riap diameter 0,93 cm/tahun dan pada umur 40 tahun diameternya hanya mencapai 30 – 35 cm. Sedangkan pada tanah yang relatif lebih baik pada umur tersebut diameternya dapat mencapai 60 cm (Daryono, 2000). Menurut Foxworthy (1972) riap diameter pohon jelutung adalah 1,58 cm/tahun. Pohon yang berumur 46 tahun mencapai diameter sekitar 50 cm dan pada umur 70 tahun mencapai ± 70 cm.
Agroforestri
Definisi dan konsep agroforestri
Agroforestri bukanlah sesuatu yang baru. Hal yang baru adalah ilmu agroforestri, budayanya sendiri merupakan hal yang lama bahkan sangat lama. Konsepsi agroforestri dirintis oleh suatu tim dari Canadian International Development Centre (CIDC), yang bertugas untuk mengidentifikasi prioritas-prioritas pembangunan di bidang kehutanan di negara-negara berkembang dalam tahun 1970-an. Menurut tim CIDC, hutan-hutan di negara-negara berkembang tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan terdapat kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perusakan lingkungan. Kecenderungan perusakan lingkungan ini perlu dicegah dengan sungguh-sungguh dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengawetkan lingkungan fisik secara efektif dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pangan, papan dan sandang bagi masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan laporan dan usul-usul dari tim tersebut maka pada tahun 1977, didirikan suatu badan bernama International Council for Research in Agroforestry
Nairobi, Kenya. Direktur yang pertama adalah K.F.S. King, yang mendefinisikan agroforestri sebagai berikut:
“suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pepohonan), tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan Chandler, 1978)”.
Pada seminar mengenai agroforestri dan perladangan berpindah di Jakarta Tahun 1981, agroforestri didefinisikan sebagai suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan sistem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan asas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau di luarnya, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat (Lahjie, 2001).
Agroforestri didasarkan pada dua macam premis dasar, yaitu biologis dan sosial-ekonomi (King, 1979). Secara biologis, komponen pohon dalam agroforestri mempunyai kemampuan untuk menjerap nutrisi jauh dari dalam tanah (di luar jangkauan perakaran tanaman pertanian) kemudian memprosesnya dan memanfaatkan nutrisi tersebut untuk pembangunan tubuhnya dan kemudian mendaur-ulang dalam bentuk seresah yang selanjutnya berubah menjadi humus dan dimasukkan lagi ke dalam tanah. Hal ini membentuk siklus nutrisi yang efisien. Kontribusi agroforestri dalam bidang sosial ekonomi lebih bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan murni, karena komponen usahanya lebih beragam dan kombinasi hasil produksi yang lebih stabil. Selain itu, agroforestri mampu memenuhi tiga segmen ekonomi masyarakat yaitu kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang (Sabarnurdin, 2000).
Klasifikasi sistem agroforestri
agroforestri. Sistem agroforestri mencakup bentuk-bentuk agroforestri yang banyak dilaksanakan di suatu daerah atau merupakan suatu pemanfaatan lahan yang sudah umum dilakukan di suatu daerah. Teknologi agroforestri digunakan untuk menunjukkan adanya perbaikan atau inovasi yang biasanya berasal dari hasil penelitian dan digunakan untuk mengembangkan hasil-hasil yang baik dalam mengelola sistem-sistem agroforestri yang telah ada. Sistem agroforestri meliputi bentuk-bentuk asli praktek agroforestri (indigenous agroforestry). Teknologi agroforestri menghasilkan bentuk agroforestri yang telah diperbaiki (improved agroforestry) misalnya: improved fallow, alley cropping, multipurpose trees on farm lands, dan sebagainya.
Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam pengklasifikasian sistem agroforestri adalah sebagai berikut (Nair, 1993): (a) pengaturan komponen-komponennya menurut waktu dan tempat ⇒ struktur, (b) kepentingan dan peran komponen ⇒ fungsi, (c) tujuan produksi atau hasil sistem ⇒output, (d) karakter sosial ekonominya ⇒ dasar sosial ekonomi, dan (e) basis ekologinya ⇒ dasar ekologi. Klasifikasi pokok sistem agroforestri tersaji pada Tabel 1.
Manfaat agroforestri
Kontribusi agroforestri dalam bidang sosial-ekonomi lebih bervariasi dibandingkan dengan pertanian murni atau kehutanan murni, karena komponen usahanya lebih beragam dan kombinasi hasil produksi yang lebih stabil. Selain itu, agroforestri mampu memenuhi tiga segmen ekonomi masyarakat (Lahjie, 2001), yaitu:
a. kebutuhan jangka pendek, merupakan kebutuhan yang bersifat harian berupa pangan dan sandang. Komoditas yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah: pertanian tanaman pangan dan peternakan kecil (unggas),
c. kebutuhan jangka panjang, merupakan kebutuhan yang memerlukan biaya besar, misalnya pembangunan rumah (papan), pendidikan tinggi (kuliah) dan peribadatan besar (naik haji). Komoditas yang dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang ini adalah tanaman kehutanan.
Tabel 1 Klasifikasi pokok sistem agroforestri
Pengelompokan berdasarkan struktur dan fungsi komponen agroforestri
Pengelompokan berdasarkan penyebaran dan pengelolaan agroforestri
Struktur
(asal dan susunan komponen kayu)
Fungsi (output dari komponen ekonomi dan manajemen Asal komponen Susunan
komponen
Agrisilvikultur.
(tanaman pertanian dan tanaman kayu, termasuk shrub).
Silvopastoral.
(ternak dan tanaman kayu).
Agrosilvopastoral.
(tanaman pertanian, ternak dan tanaman kayu).
Lainnya.
(multipurpose tree lots, apiculture, aquaculture, dll.)
Spasial/ruang
Campuran tanaman yang padat, misal: pekarangan. Campuran terpisah, misal: pada kebanyakan tanaman HMT. Strip. Lebar strip lebih dari satu pohon.
Tanaman batas.
Pada sudut-sudut ladang. Kayu bakar Produksi lain
Fungsi lindung
Windbreak Sabuk hijau Konservasi tanah
Konservasi air tanah Dataran tinggi tropika ( > (misal: daerah savana di Afrika, Cerrado di Amerika Selatan). Dataran tinggi subtropis (misal: di Kenya dan Ethiopia).
Berdasarkan tingkat input teknologi:
Input rendah (marginal) Input sedang Input tinggi
Berdasarkan
Wiersum (1984) menyatakan bahwa dengan mencampurkan berbagai jenis tanaman pepohonan dengan tanaman pertanian secara bersama-sama atau dalam arti rotasi, maka akan diperoleh keuntungan sebagai berikut. Pertama, keuntungan ekologi yaitu penggunaan sumberdaya alam secara efisien. Kedua, keuntungan ekonomis, yakni jumlah produksi yang dicapai akan lebih tinggi, kenaikan produksi kayu dan pengurangan biaya pemeliharaan tegakan kayu. Ketiga, keuntungan sosial, yakni memberikan kesempatan kerja sepanjang tahun, menghasilkan kayu pada waktu paceklik, menghasilkan komoditas pertanian yang diarahkan pada keperluan sendiri dan pasar. Keempat, keuntungan psikologis, yakni perubahan relatif kecil dari cara produksi tradisional dan lebih mudah untuk dapat diterima oleh penduduk dari teknik-teknik pertanian yang berlandaskan sistim monokultur. Kelima, keuntungan politis, yakni sebagai alat untuk memberikan pelayanan sosial dan kondisi yang lebih baik bagi petani.
Fungsi utama pepohonan dan tanaman keras lainnya dalam sistem agroforestri adalah memberikan jasa dan juga untuk memberikan penghasilan langsung dalam bentuk buah-buahan, biji bijian, buah-buahan berbiji keras, rebung, kulit bahan akar. Pepohonan dalam agroforesrty juga dapat berfungsi sebagai cadangan plasma nutfah dan dapat memperbaiki iklim mikro. Menurut Akhdiat (1990) pelaksanaan agroforestri memberikan manfaat sebagai berikut.
adanya jumlah aneka ragam hasil panen yang dapat diperoleh, dan (c) perbaikan sifat masyarakat dalam cara bertani dan sistem penggunaan lahan yang tetap.
Effendy (1983) menyatakan bahwa agroforestri memberikan beberapa keuntungan yaitu: (a) keuntungan ekologi, berupa pemanfaatan sumberdaya alam secara maksimal, seperti pemanfaatan sinar matahari lebih efisien dari lapisan strata yang berbeda. Adanya fungsi lindung dari pohon yang ditanam, yaitu mengurangi erosi; (b) keuntungan ekonomi, karena pemanfaatan sumberdaya alam lebih efisien sehingga setiap unit akan meningkat; (c) keuntungan sosial ekonomi, dapat memberikan hasil sepanjang tahun dari jenis-jenis tanaman tahunan di samping hasil dari tanaman semusim; dan (d) keuntungan psikologi, di beberapa tempat agroforestri dapat berarti suatu perubahan yang relatif kecil dari metode bercocok tanam yang kurang optimal dan sistem ini mudah diterima oleh petani dibandingkan dengan cara monokultur.
Bentuk-bentuk agroforestri
King dan Chandler (1978) menggolongkan bentuk-bentuk agroforestri sebagai berikut:
a. agrisilvikultur yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan,
b. sylvopastural, yaitu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan untuk memelihara ternak,
c. agrosylvopastural, yaitu sistem pengelolaan lahan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak,
d. multipurpose forest trees production system, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu yang tidak hanya kayunya, tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia atau pakan ternak.
a. agrisilvikultur adalah agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen pertanian (tanaman nonkayu),
b. silvopastural adalah sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (hewan ternak),
c. agrosilvopastural adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (tanaman semusim) dan sekaligus peternakan/hewan pada unit manajemen lahan yang sama.
Kendala dan prospek pengembangan agroforestri di lahan gambut
Keragaman karakteristik gambut yang tinggi pada jarak yang berdekatan merupakan suatu kendala yang sulit untuk diatasi. Kondisi ini mengharuskan untuk memetakan areal gambut untuk mendapatkan gambaran kondisi karakteristik yang dihubungkan dengan teknik pengelolaan. Karakteristik gambut perlu dipelajari sedetail mungkin agar keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dapat diantisipasi dan diprediksi sehingga dapat memberikan arahan dalam pengelolaannya. Data karakteristik tanah gambut yang perlu diinventarisasi adalah (Subagyo, 2000): (1) sifat fisik tanah gambut, meliputi: kerapatan lindak (bulk density), bobot jenis dan kandungan air tanah gambut, (2) sifat kimia tanah gambut, meliputi: kandungan unsur hara makro, kandungan unsur hara mikro, pH tanah, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kejenuhan aluminium, kedalaman lapisan pirid dan salinitas, (3) tingkat kedalaman dan kematangan gambut, dan (4) fluktuasi genangan air, kedalaman air tanah dan kondisi lapisan bawah tanah gambut (mineral di bawah tanah gambut). Kekurangan informasi mengenai sifat-sifat karakteristik tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam memanfaatkan lahan gambut.
satu komponen penyusun agroforestri, dalam memperbaiki kondisi tanah rawa gambut. Peranan pohon dalam memperbaiki tanah rawa gambut dapat dijelaskan sebagai berikut (Lahjie, 2001). Pertama, proses yang bersifat meningkatkan masukan pada tanah, yaitu: (a) pemeliharaan bahan organik tanah melalui fiksasi karbon dalam fotosintesis dan transfer selanjutnya melalui pelapukan, (b) fiksasi N oleh legum dan beberapa nonlegum, (c) penyerapan nutrisi hasil pelapukan oleh akar pohon, (d) masukan lewat atmosfir, (e) meningkatkan aerasi tanah melalui perbaikan sifat fisik tanah, dan (f) penyerapan air dari kedalaman tanah. Kedua, proses yang bersifat mereduksi yang hilang dari tanah, yaitu: (a) melindungi dari erosi yang berarti mencegah hilangnya bahan organik dan nutrisi, (b) pengembalian nutrisi dan siklus: penangkapan dan resiklus nutrisi oleh akar dan mikoriza, (c) reduksi kecepatan dekomposisi bahan organik, dengan adanya naungan dan mulsa, (d) reduksi hilangnya air akibat evaporasi, oleh naungan dan seresah, dan (e) meningkatkan kapasitas menyimpan air, melalui kondisi fisik yang lebih baik. Ketiga, proses yang mempengaruhi kondisi fisika tanah, yaitu: (a) pemeliharaan sifat fisik melalui bahan organik dan pengaruh perakaran, (b) modifikasi suhu tanah yang ekstrim, akibat naungan dan seresah. Keempat, proses yang mempengaruhi kondisi kimia tanah, yaitu: (a) reduksi kemasaman, melalui basa yang terkandung dalam seresah, (b) reduksi kegaraman, oleh pohon diikuti dengan tindakan manajemen lainnya, dan (c) reduksi toksisitas tanah yang disebabkan oleh polusi. Kelima, proses yang mempengaruhi kondisi biologi tanah, yaitu: (a) produksi seresah daun yang bermutu tinggi mengandung suplai nutrisi yang seimbang dan mentransfernya lewat dekomposisi, (b) meningkatkan aktivitas fauna tanah, (c) meningkatkan mineralisasi nitrogen melalui pengaruh naungan, (d) meningkatkan ketersediaan P melalui asosiasi mikoriza, (e) nodulasi akar meningkatkan bintil nitrogen dari pohon pengikat N dekat akar pohon yang bukan pengikat N, (f) transfer nutrisi antar sistem perakaran pohon, dan (g) eksudasi substansi perangsang tumbuh oleh rhizosphere.
Penelitian Sebelumnya
Kedudukan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya seperti tersaji pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Kedudukan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya
Peneliti Tahun Topik Lokasi Metode Hasil
Monika 2002 Analisis kelayakan
Analisis finansial, analisis sensitivitas
Meskipun terjadi penurunan harga, kenaikan biaya operasi dan penurunan produksi proyek jelutung masih layak dilaksanakan.
Mamat Rahmat dan Bastoni
2006 Analisis kelayakan finansial budidaya jelutung pengganti sonor
Kab. Ogan Ilir Indikator yang digunakan untuk menganalisis kelayakan: NPV, IRR, BCR.
Keuntungan dari budidaya jelutung jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil budidaya padi sonor serta dapat mencegah kebakaran gambut.
Ari Subiantoro
2006 Aspek ekonomi, lingkungan fisik dan biologi sistem agroforestri di lahan gambut
Desa Batunindan, Kab. Kapuas, Prov. Kal-Teng.
Analisis deskriptif, analisis pendapatan, analisis
performansi, profil vertikal & horisontal.
Sistem agroforestri yang terdapat di lahan rawa gambut terdiri dari dua sistem yaitu sistem agrisilvikultur dan sistem apikultur dengan tiga sub-sistem agroforestri.
Yunus Afifuddin
2006 Penilaian ekonomi agroforest tembawang
Sintang dan Sanggau, Kal-bar.
Menghubungkan valuasi ekonomi total dengan keanekaragaman spesies di
Tembawang dengan contingen valuation method.
Kurva hubungan keanekaragaman spesies dan TEV membentuk kurva pangkat empat. Sedangkan kurva hubungan kompatibilitas tembawang dan TEV membentuk kurva pangkat tiga.
RR. Citra Rapati
2008 Alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan kritis dengan sistem agroforestri
Analisis finansial, analisis sensitivitas dan analisis program tujuan ganda.
Daerah sekitar TNRAW memiliki potensi lahan layak Kyoto seluas 45.416 ha. Alternatif sistem agroforestri yang paling layak secara finansial adalah kombinasi jati, mete, jagung dan pisang. Bukhari 2009 Desain
agroforestri pada lahan kritis
Kecamatan Indrapuri, Kab. Aceh Besar
Metode studi kasus. Analisis deskriptif dan analisis finansial.
Desain agroforestri pada lahan kritis lebih ditujukan pada pengaturan letak dan jarak tanam dengan mempertimbangkan interaksi antar komponen. Marinus
Kristiadi Harun
2010 Analisis pengembangan jelutung dengan sistem agroforestri untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah
Kab. Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya
Analisis finansial, analisis rantai dan margin
pemasaran, FGD, analisis deskriptif, analisis tanah dan iklim mikro
Kelayakan pengembangan jelutung secara teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi.
Kelurahan Kalampangan
Kelurahan Kalampangan secara Geografis terletak pada 200 16’ 00” - 200 19’ 20” LS dan 1130 58’ 20” - 1140 03’ 50” BT. Kelurahan ini secara administrasi termasuk wilayah Kecamatan Sabangau, Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Jarak Kelurahan Kalampangan ke Ibukota Kecamatan sejauh 3 km dan jaraknya dari Ibukota Provinsi sejauh 18 km. Batas wilayahnya dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) disebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Bereng Bengkel, (b) disebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Kameloh Baru, (c) disebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sabaru dan (d) disebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Panarung. Wilayah Kelurahan Kalampangan mempunyai luas 5.000 ha dengan topografi wilayah datar (kemiringan 0 – 3 %) dan ketinggian tempat 14 – 18 m dpl (Kelurahan Kalampangan, 2010).
Tanah di Kelurahan Kalampangan termasuk jenis glei humus dan organosol dengan struktur tanah topsoil berlapis gambut tebal. Tekstur tanah di Kelurahan Kalampangan termasuk dalam bahan organik gambut belum masak dengan klasifikasi tanah IV notasi 01 + 4H1. Tataguna lahan di kelurahan ini terdiri atas: lahan pekarangan seluas 200 ha, lahan kebun seluas 1.000 ha dan jalur hijau seluas 50 ha. Kondisi iklim di kelurahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bulan basah terjadi pada November – Februari dan bulan kering pada Juni – September. Kelembaban udara maksimum 97%. Kelembaban udara minimum 79% dan kelembaban udara rata-rata 88%. Suhu maksimum 340C dan suhu minimum 240C (Kelurahan Kalampangan, 2010).
Tabel 3 Tenaga kerja berdasarkan kelompok umur
No. Kelompok Umur Laki-laki Perempuan
1. Usia 18 – 56 tahun yang bekerja 641 617 2. Usia 18 – 56 tahun yang belum/tidak bekerja 130 110
3. Usia 0 – 6 tahun 220 248
4. Usia sekolah 7 – 18 tahun 376 499
5. Usia 56 tahun keatas 196 197
Sumber: Kelurahan Kalampangan, 2010.
Mata pencaharian penduduk Kelurahan Kalampangan seperti tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Matapencaharian penduduk Kelurahan Kalampangan
No. Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan
1. Petani 687 230
2. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 48 15 3. Pengrajin Industri Rumah Tangga 5 2
4. Peternak 687 -
5. Montir 5 -
6. Pembantu Rumah Tangga - 16
7. TNI 2 -
8. POLRI 6 -
9. Pensiunan PNS/TNI/POLRI 8 -
10. Pengusaha kecil dan menengah 4 -
11. Dukun kampung terlatih - 5
12. Seniman/artis 6 -
13. Karyawan perusahaan swasta 3 -
14. Karyawan BUMN 4 -
Jumlah 1.462 270
Jumlah Total 1.732
Sumber: Kelurahan Kalampangan, 2010.
Luas tanaman buah-buahan menurut komoditasnya adalah sebagai berikut: jeruk seluas 80 ha, rambutan seluas 31 ha, pepaya seluas 1 ha, pisang seluas 12 ha, melon seluas 2 ha, nenas seluas 10 ha dan jambu klutuk seluas 5 ha. Luas tanaman obat (apotik hidup) adalah sebagai berikut: rosela seluas 4 ha, jahe seluas 3 ha, kunyit seluas 2 ha, lengkuas seluas 4 ha, sambiloto seluas 1 ha, temulawak seluas 1 ha dan dewi-dewi seluas 0,5 ha. Tanaman rosela merupakan komoditas tanaman obat unggulan dengan nilai produksi mencapai Rp 40.000.000 per tahun. Tanaman perkebunan yang banyak dikembangkan oleh petani di Kelurahan Kalampangan adalah kelapa seluas 2 ha, pinang seluas 0,25 ha, karet seluas 45 ha, jelutung seluas 12 ha dan gaharu seluas 13 ha (Kelurahan Kalampangan, 2010).
Jenis ternak yang banyak dikembangkan di Kelurahan Kalampangan adalah: (a) sapi sejumlah 320 ekor dengan peternak berjumlah 170 orang, (b) kerbau sejumlah 18 ekor dengan peternak berjumlah 6 orang, (c) babi sejumlah 18 ekor dengan peternak berjumlah 4 orang, (d) ayam kampung sejumlah 700 ekor dengan jumlah peternak 311 orang, (e) ayam broiler sejumlah 300 ekor dengan peternak berjumlah 2 orang, (f) bebek sejumlah 90 ekor dengan peternak berjumlah 5 orang dan (g) kambing sejumlah 200 ekor dengan peternak berjumlah 60 orang. Jenis ikan yang banyak dibudidayakan di kolam adalah patin, nila, papuyu dan lele dengan luas total kolam mencapai 1,5 ha (Kelurahan Kalampangan, 2010).
Desa Tumbang Nusa