• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh self eficacy tehadap komunikasi interpersonal pada siswa tunanetra dan tunarungu smun 66 Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh self eficacy tehadap komunikasi interpersonal pada siswa tunanetra dan tunarungu smun 66 Jakarta"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA

TUNANETRA DAN tunaruiセgu@

SMUN 66 JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Siti Hikmah

101070022987

Fakultas Psikologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Pembimbing I

lambang-Su yadi Ph.D セipZ@ 150 326891

Disusun 0/eh :

Siti Hikmah

101070022987

Dibawah bimbingan

Pembimbing U

ura. Agustyawati M.P/1sil NIF': 132121898

FAKUL TAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Skripsi yang berjudul PENGARUH SELF EFF/CACYTERHADAP

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA TUNAl\IETRA DAN TUNA RUNGU DI SMUN 66 JAKARTA ini tel ah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 Februari 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

gkap Anggota

Ora. H'. tt Hartati M.Si. NIP. 150 2 5 938

Penguj I

Pembimbing I

, _ /

M.Si.

Bambang Surva i. Ph.D. NIP. 150 326 891

27 Februari 2007 Sidang Munaqasyah,

Pembantu Oekan I/

Sekretaris Merangkap Anggota

Anggota:

Penguji II

セセ@

NIP. 150 326 891 Pembimbing II
(4)

セセウオョァァオィョケ・N@

tllle.h

エセャ・Nィ@

ュセョ・ゥーエ・Nォ・Nョ@

me.nusia dalam

「セョエオォ@

ウセ「・NゥォM「

・Nゥォョァ・N@

(e.T-Tiin:6)

(5)

C) Siti Hikmah

A) Fakultas Psikologi UIN Syahid

Jakarta 13) Februari 2007 D) Pengaruh self efficacy terhadap komunikasi interpersonal pada siswa

tunanetra dan tunarungu di SMUN 66 Jakarta E) +126

F) Setiap manusia dilahirkan oleh Allah SWT berbeda-beda. Setiap kekurangan pasti ditutupi oleh kelebihan yang lainnya. Menjadi seorang tunanetra dan tunarungu, bukanlah hambatan untuk dapat meraih cita-cita yang tinggi serta mampu dipandang sama oleh individu lainnya yang normal, termasuk untuk bersekolah di sekolah umum atau inklusi. Bersekolah di sE;kolah inklusi bagi siswa tunanetra dan tunarungu diharapkan mampu melakukan hubungan atau komunikasi interpersonal yang baik dengan siswa normal lainnya. Komunikasi interpersonal ini dapat terwujud jika dalam diri siswa tunanetra dan tunarungu terdapat keyakinan diri atau self efficacy.

Menurut Bandura (1982) self efficacy adalahkeyal<inan indlividu mengenai seberapa besar kemampuan untuk menampilkan perilaku yang dibutuhkan dalam mengatasi situasi atau tugas tertentu. Sedangkan komunikasi interpersonal menurut Onong Uchyana Effendy ('1988) adalah Proses

penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh self efficacy (keyakinan diri) pada siswa tunanetra dan tunarungu pada. komunikasi interpersonalnya dalam pergaulannya di SMUN 66 Jakarta.

Penelitian ini dilakukan pada 2 orang penyandang cacat netra dan 2 orang penyandang cacat rungu. 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah p•endekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Metode yang digunakan dalam

peneltiian ini adalah deskriptif dengan jenis studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Proses pengumpulan data didikuti oleh proses analisis. Analisis penelitian ini menggunakan teori self

(6)

Berdasarkan perolehan data dan analisa kasus, kesemua siswa tunanetra dan tunarungu yang menjadi responden penelitian, mempunyai self efficacy yang positif dan yang mempengaruhinya untuk berkomunil<asi interpersonal dengan teman-teman mereka yang normal di sekolah inklusi. Tiga orang subyek

mempunyai komunikasi inerpersonal yang bagus dengan teman-teman mereka yang normal, tetapi satu subyek memiliki komunikasi interpersonal yang kurang bagus, terutama teman-teman yang asing baginya. Mereka yakin dan mampu untuk masuk dalam pergaulan dengan teman-teman mereika yang normal, siswa tunanetra dan tunarungu menunjukkan bahwa keyakinan mereka timbul karena keinginan untuk maju sehingga semua orang akan melihat mereka sama seperti siswa normal lainnya.Bersekolah di sekolah umum atau inklusi, mejadikan mereka harus selalu hidup mandiri, mampu menghadapi hambatan-hambatan yang timbul dan berkeyakinan untuk mampu ュQセャ。ォオォ。ョ@ hubungan atau komunikasi interpersonal dengan siswa normal lainnya.

Saran Peneliti agar semua pihak dapat memahami kebutuhan siswa tunanetra dan tunarungu untuk maju dan dipandang sama dengan siswa normal lainnya. Keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunanetra dan tunarungu, bukan suatu hambatan untuk mereka mampu rnengecam pendidikan yang lebih tinggi. Dengan bersekolah di sekolal1 umum menunjukkan bahwa siswa tunanetra dan tunarungu mampu menempuh hambatan dengan usaha yang gigih dalam dirinya. Bergaul dengan siswa lainnya yang normal tidal< menjadikan mereka harus minder dan putus asa, mereka mampu untuk berprestasi sama seperti siswa normal lainnya.

(7)

Aharndulillahi Rabbil'alarnin, segala pujian hanya milik Allah maha pengasih dan maha penyayang. Puji serta syulwr penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kernudahan, kesabaran, kesempatan dan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan baginda Rasulullah Muhammad SWT,telah menyarnpaikan kebenaran dan penerangan di muka bumi ini.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini tak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan pihak-pihak terkait. Oleh karena itu izinkan penulis berterirnakasih kepada rnereka yang telah banyak membantu, mernbirnbing,

mendukung, menasehati, menghibur, dan menernani dalam menyelesaikan skripsi ini.

1. Kepada kedua orang tuaku tercinta. Ayah Musa H.M dan lbu Khaeriyah. Terirnakasih atas segala doa-doanya, kesabarannya, dukungannya, dan cinta kasih yang diberikan kepada penulis selama ini semoga Allah SWT selalu menyayangi dan meridhaimu sepanjang hayat. Maafkan penulis karena baru saat ini mempersembahkan hadiah sederhana ini meskipun telah lama tertunda.

2. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatu!lah Dra. Hj. Netty Hartati, M.Si. para pembantu dekan, seluruh dosen serta seluruh staff dan karyawan fakultas psikologi UIN yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa psikologi UIN.

3. Bapak Bambang Suryadi Ph.D selaku pembimbing I, dan lbu Dra.

(8)

samwil terimakasih dengan sabar menjadi sasaran ke£1elisahan penulis selama ini, serta keponakan mafi, bang Noufal, dan de' Farah yang membuat hari-hari penulis penuh senyum.

5. Ramdhan Syafei, terimakasih untuk selalu menemani penulis dan mendengarkan segala keluh kesahku.

6.

Bapak Suparno dan guru-guru di SMUN 66 Pondok Labu, terimakasih bersedia menerima penulis di sana. Aris dan keluarga, Azizah dan keluarga, Fitri dan keluarga, serta Dimas dan keluarg, "terimaka:sih banyak ya ... ". 7. Sahabatku Irma yang selalu ada untuk penulis serta Vinanya yang selalu

membuat penulis tertawa dan bahagia. Saeni terimakasih untuk

dukungannya, lndi ayo semangat, kak Melok yang bersedia membantu penulis, dan semua teman-teman angkatan

2001

khususnya kelas B yang memberikan pengalaman indah selama menjadi mahasiswa . Teman-teman KKN Parakansalak, Teman-teman-Teman-teman PKL Sumida angk. 2005.Dan seluruh teman-teman yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana layaknya, baik dari segi bahasa maupun materi yang エ・イエオ[セョァ@ di dalamnya. Besar harapan penulis, skripsi ini dapat berguna untuk menambah wawasan baru yang lebih luas bagi pembaca sekalian.

Jakarta, Februari

2007

(9)

Halarnan Judul ... . Halaman Persetujuan ... . Ha la man Pengesahan ... .. Motto ... . Dedikasi ... . Abstraksi ... . Kata Pengantar ... . Daftar lsi ... . Daftar Tabel ... . Daftar Lampiran ... . BAB I PENDAHULUAN ... . 1.1. Latar belakang ... . 1.2. ldentifikasi rnasalah ... . 1 .3. Batasan dan rurnusan masalah ... . 1.3.1. Pembatasan masalah ... .. 1.3.2. Perumusan masalah ... . 1.4. Tujuan dan manfaat penelitian ... . 1.4.1. Tujuan penelitian ... . 1.4.2. Manfaat penelitian ... . 1.4.2.1. Manfaat teoritis ... .. 1.4.2.2. Manfaat praktis ... . 1.5. Sistematika penulisan ... . BAB 2 KAJIAN PUST AKA ... . 2.1. Self efficacy ...... . 2.1.1. Pengertian Self efficacy ... ... . 2.1.2. Aspek-aspek Self efficacy ... ... . 2.1.3. Sumber lnformasi Self efficacy ... ... . 2.1.4. Dimensi Self efficacy ...... . 2.1.5. Perkembangan Selfefficacy ... . 2.2. Komunikasi interpersonal.. ... . 2.2.1. Pengertian komunikasi. ... . 2.2.1. Pengertian komunikasi interpersonal siswa

tunanetra dan tunarungu ... . 2.2.3. Faktor-faktor komunikasi interpersonal ... . 2.2.4. Ciri-ciri komunikasi interpersonal ... . 2.3. Tunanetra ... .

(10)

2.4 .. 2. Klasifikasi anak tunarungu ... ... 47

2.4.3. Penyebab ketunarunguan... ... 48

2.4.4. Karakteristik tunarungu ... ... 49

2.5. Sekolah inklusi... ... 53

2.5.1. Pengertian ... ... 53

2.5.2. Model pendidikan inklusi di Indonesia... ... 54

2.5.2.1. Alternatif penempatan... ... 54

2.5.2.2. Komponen yang perlu di persiapkan.. .. .. ... .. 56

2.6. Remaja ... ... 57

2.6.1. Pengertian remaja.... ... ... ... ... ... ... .. ... .. 57

2.6.2. Self efficacy dan komunikasi interpersonal rernaja terhadap penyesuaian Diri di Lingkungan Sekolah... ... 60

2.7. Kerangka berfikir... ... 62 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... .

3.1. Jen is penelitian ... . 3.1.1. Pendekatan penelitian ... .. 3.1.2. Metode penelitian ... . 3.2. Subyek penelitian ... . 3.2.1. Teknik pengambilan subyek ... . 3.2.2. Karakteristik subyek ... . 3.3. Pengurnpulan data ... . 3.3.1. Metode dan instrumen penelitian ... .. 3.4.2. Alat bantu pengumpulan data ... . 3.4. Teknik analisa data ... .. 3.5. Prosedur penelitian ... .

3.5.1. Prosedur persiapan penelitian ... . 3.5.2. Prosedur pelaksanaa penelitian ... .. BAB IV PRESENTASI DAN ANALISA DATA ... . 4.1. Gambaran um um subyek ... .. 4.2. Observasi dan wawancara ... . 4.3. Analisa individual subyek ... . 4.3.1. Kasus Andi. ... . 4.3.2. Kasus lcha ... ..

64-75 64 64 65 66 66

6]

67 67 .•
(11)

4.3.4. Kasus Ind ah ... . 4.4. Perbandingan kasus ... .. BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... . 5.1. Kesimpulan ... .. 5.2. Diskusi ... . 5.3. Saran ... . DAFTAR PUSTAKA

LAMPI RAN

105 112

117-121

(12)

1 . Skema gambaran kerangka berfikir... . . . 63

2. Tabel gambaran umum subyek ... .... ... 77

3. Gambaran self efficacy antar kasus... .... ... 114

(13)

Lampiran ·1. Pernyataan kesediaan Lampiran 2 Lembar Observasi

Lampiran 3. Panduan wawancara self efficacy

(14)

1.1

Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT berbeda-beda. Baik clari segi fisik maupun psikis mereka. Kelebihan dan kekurangan pasti terdapat didalam diri manusia. Jika mau disadari bahwa kekurangan dalam diri manusia selalu ditutupi oleh kelebihan-kelebihan yang lain. Seperti pada penderita tunane!ra dan tunarungu meskipun mereka tidak dapat melihat dan berbicara mereka mempunyai l<elebihan pada penciuman, pendengaran, dan penglihatan yang tajam.

Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan pendidikan khusus. Anak tunarungu adalah anak yang tidak mampu

menclengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyi lain, dalam derajat frekuensi dan intensitas.

(15)

seperti SLB tidak memuaskan dirinya, karena SLB biasanya hanya

memberikan suatu praktek-praktek keahlian saja. Bahkan seorang guru SLB tunanetra di Yogyakarta bernama SetiadiPurwanta yang juga penderita tunanetra mengatakan (seperti dikutip Jacinta Rini, 2004) bahwa SLB merupakan proses diskriminasi bagi siswa berkelainan.

Menurut Setiadi (dalam Jacinta Rini, 2004) anak-anak itu bersekolah, tapi apa yang bisa mereka dapat. Akan jadi apa mereka, apakah hanya akan jadi tukang pijat. Dunia pendidikan formal, dimata Setia, sering menampilkan salah satu bentuk diskriminasi yang paling mencolok. la meyakini, tanpa proses pembelajaran yang baik pola eksklusif rehabi/itat.if yang diterapkan pemerintah, misalnya pada sekolah sejenis SLB, hanya menjadi sebentuk

iso/asi bagi anal<-anak yang dikatakan cacat (dalam Jacinta Rini,2004).

Pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan Deklarasi Salamanca tahun 1994 oleh para menteri pendidikan se-dunia. Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education

For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO (Direktorat Pendidikan Luar

(16)

intemasional. Di Indonesia, penerapan pendidil<an rnernta bagi sernua anak tanpa rnemandang perbedaan atau inklusi dijamin oleh Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau rnerniliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2003).

Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak berkelainan di kelas regu/er bersama dengan anak-anak lainnya juga melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali. Jadi bukan hanya anak yang perlu dipersiapkan dalarn pola ini, tetapi juga ッイ。ョセQ@ tua, guru, dan sarana yang ada. Anak-anak bukan hanya belajar dari ouru dan orang tua, mereka juga belajar dari pergaulan dan teman-temannya. Jadi, jangan mencabut mereka dari dunia yang senyatanya, dunia yang apa adanya.

Ketika anak tunanetra dan tunarungu dapat bersekolah di sekolah inklusi, tentu mereka dihadapkan untuk beradaptasi dan bersosial dengan

lingkungan yang normal. Terutarna jika mereka harus 「Qセイァ。オャ@ dengan teman-teman mereka yang normal. Disini telah terjadi adanya hubungan komunikasi interpersonal. Menurut Hasan Basri (dalam Jalaludin Rakhmat,

(17)

pikiran, perasaan, kemauan dan penolakan diri tentang sesuatu dan menjadi sarana mengekspresikan diri.

Komunikasi interpersonal merupakan pengiriman pesan-pesan dari

seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung (De Vito, 1997). lnformasi tidak selalu diperoleh melalui komunikasi verbal. Tetapi juga memb•entuk kesan dari petunjuk proksemik, kinesik, para linguistik, dan ertifaktua/ (Jalaludin Rahmat, 2000). Yaitu dapat melalui gerak jari, tangan, penampilan di!.

Ketika mereka bersekolah disekolah umum (inklusi), tentu mereka melakukan komunikasi atau hubungan dengan teman-teman mereka yang normal.

(18)

serta keterbatasannya, sehingga ia mudah mengatasi kE9sukaran yang dialaminya dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhaclap lingkungannya.

Keyakinan diri dapat disebut juga clengan self efficacy. Self efficacy yaitu keyakinan seseorang bahwa dirinya akan mampu melafi:sanakan tingkah laku yang dibutuhkan dalam suatu tugas yang berarti keyakinan individu pada kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi dan mengatasi situasi tertentu. Anak tunanetra dan tunarungu yang mampu mengatasi hambatan tersebut dan mampu menyelesaikan tugas tersebut, tidal< pantang menyerah

menunjukkan bahwa self efficacy mereka tinggi. Sedangkan pad a anal< tunanetra dan tunarungu yang mudah menyerah dan tidal< mampu mengatasi

hambatan-hambatan yang di hadapinya menunjukkan SE9/f efficacy mereka rend ah.

(19)

remaja, tentu self efficacy yang tinggi diperlukan agar mereka mampu bergaul atau berkomunikasi interpersonal dengan baik.

Pada masa perkembangan, usia memasuki sekolah menengah dan lanjutan berada pada masa remaja, antara usia 12 -18 tahun (Monks & Rahayu, 2001). Dalam mempersiapkan diri untuk masa dewasa, remaja harus belajar bergaul dengan teman sebaya dan tidal< sebaya, sejenis maupun tidal<

sejenis. Tugas perkembangan ini selalu ditunjang oleh hasil perkembangan lainnya. Salah satunya adalah adanya suatu penyesuaian diri pada remaja. MenurutAA. Scheiders (1988) penyesuaian diri adalah reaksi seseorang terhadap ransangan-ransangan dari dalam diri sendiri maupun reaksi seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya.

Pada masa remaja terjadi keinginan bergaul atau berteman yang sangat besar. Disekolah keinginan ini sangat dipenuhi, karena disekolah remaja menemui teman-teman mereka yang sebaya dan orang-orang yang tidal< sebaya dengan mereka. Begitupun yang terjadi pada siswa tunanetra dan tunarungu yang sedang mengalami masa remaja, dan bersekolah di sekolah

(20)

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti

Pengaruh self efficacy pada siswa tunanetra dan tunanmgu terhadap

komunikasi interperscmalnya di SMU Negeri 66 Jakarta ..

1.2. ldentifikasi Masalah

Untuk lebih memudahkan penulis dalam meneliti masal<:1h ini maka dibuat identifikasi masalah penelitian sebagai berikut:

1.

Bagaimanakah self efficacy pada siswa tunanetra1 dan tunarungu di SMUN 66 Jakarta (sekolah inklusi)?

2. Bagaimana komunikasi interpersonal pacla siswa tunanetra dan tunarungu di SMUN 66 Jakarta (sekolah inklusi)?

3. Adal<ah pengaruh self efficacy terhadap komunikasi interpersonalnya pada siswa tunanetra dan tunarungu di SMUN 66 Jakarta (sekolah inklusi)?

1.3. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1.3.1. Pembatasan Masalah

(21)

1.

Sekolah inklusi adalah sekolah yang menempatkan anak berl<elainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. 2. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara dua orang yang

berlawanan antara siswa ketunaan dengan siswa normal lainnya secara akrab, terjadi tanya jawab diantaranya, terdapat usaha sating memahami dan disertai oleh segala macam lambang yang melengkapi kata demi kata sehingga timbul pengertian yang serasi diantara kedua belah pihak yang terlibat. Dalam hal ini adalah komunikasi

interpersonal antara siswa tunanetra dan siswa tunarungu terhadap siswa normal lainnya

3. Self efficacy adalah keyakinan individu atas kemampuannya untuk

mengatasi dan melakukan perilaku dalam situasi yang

membingungkan, tak terduga dan mengandung tekanan. Yaitu kemampuan anak tunanetra dan tunarungu ketika1 menghadapi suatu hambatan yaitu komunikasi dengan teman atau lawan komunikasinya yang normal.

(22)

5. Ramaja adalah masa transisi pada tahap perkembangan seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. IVlasa remaja

berlangsung antara usia

12

sampai

21

tahun. Pada penelitian ini peneliti melihat pada masa remaja madya, diantara masa ini adalah masa seseorang mengecam pendidikan menengah atas.

1.3.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada pengaruh self efficacy terhadap komunikasi interpersonal pada siswa tunanetra dan tunarungu SMU Negeri

66

Jakarta?

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujw:m

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh self efficacy terhadap komunikasi interpersonal pada siswa tunarungu dan tunanetra di SMUN Negeri 66 Jakarta ( sekolah inklusi).

1.4.2. Manfaat Penelitian

1.4.2.1.

Manfaat Teoritis
(23)

interpersonal dengan lingkungannya di sekolah inklusi, khususnya dengan orang-orang disekitar mereka yang normal. Serta dapat menambah dan memperkaya khasanah keilmuan psikologi.

1.4.2.2. Manfaat Praktis

Dapat memberikan sumbangsih bagi para guru yang mengajar di sekolah inklusi dalam mendidik para siswanya khususnya siswa tunarungu dan tunanetra yaitu self efficacy mereka terhadap komunikasi interpersonalnya. Dan kepada para siswa tunarungu dan tunanetra ketika memaharni self

efficacy mereka yang positif guna menciptakan komunikasi interpersonal

yang baik. Hal ini sangatlah penting bagi setiap individu khususnya siswa tunarungu dan tunanetra di dalam menyelami perkembangan kehidupan selanjutnya, sehingga diharapkan para siswa tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu dewasa yang lebih realistii> dan bermanfaat bagi semua.

1.5. Sistematika Penulisan

(24)

Bab 1 pendahuluan : Berisi latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan laporan.

Bab 2. landasan teori: Berisi teori self efficacy, komunil<asi interpersonal, siswa tunanetra dan tunarungu, sekolah inklusi, remaja, dan kerangka berfikir.

Bab 3 metodologi penelitian: Berisi jenis penelitian, subyek penelitian, pengumpulan data, , teknik analisa data, dan prosedur penelitian

Bab 4 hasil penelitian: Berisi laporan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti.

Bab 5 kesimpulan: Berisi kesimpulan, diskusi dan saran.

(25)

2.1.

Self Efficacy

KAJIAN PUSTAl<A

2.1.1. Pengertian self efficacy

lndividu dalam menjalankan rutinitas sehari-hari, tidak terlepas dari pengambilan keputusan, dimana pengambilan keputusan itu sangat dibutuhkan keyakinan dan kemantapan di dalam dirinya tentang apa yang dilakukannya, walaupun dalam situasi yang membingungkan, dikenal dengan istilah self efficacy.

Konsep tentang self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak

kemampuan yang terdiri dari aspek kognitif, sosial dan kernampuan untuk bertingkah laku. Menurut Bandura (dalam Litfiah, 1998) konsep dasar self

efficacy berdasarkan teori kognitif. Secara umum teori ォッセQョゥエゥヲ@ merupakan teori yang dijadikan untuk menerangkan dan meramalkan perilaku manusia. Perilaku itu sendiri merupakan hasil keputusan dan pilihan tindakan,

sedangkan teori kognitif sosial merupakan teori yang mempelajari mekanisme transformasi yang berkaitan dengan pemilihan tindakan yang dilakukan

(26)

Teori kognisi sosial memandang bahwa persepsi エ・ョエ。ョAセ@ self efficacy

berperan sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan individu

mengendalikan reaksi terhadap tekanan. Apabila individu percaya merasa mampu menghadapi tekanan otensial dengan afektif, maka individu tidak akan merasa gelisah. Sebaliknya bila individu percaya bahwa dirinya tidak dapat mengendalikan lingkungan yang mengancam, individu akan menderita karena tertekan. Hal tersebut karena individu 」・ョ、・イオョAセ@ memikirkan ketidak mampuannya dan melihat lingkungan sebagai sesuatu yang penuh ancaman. Dengan demikian individu merasa tertekan dan tidal< be1iungsi secara

normal (Yatmi, 2005).

Self efficacy dianggap sebagai bagian dari proses kognitif yang

mempengaruhi prilaku atau kinerja dengan memberikan informasi tersebut individu memilih tindakan yang sesuai dengan tuntutan tugas atau lingkungan tertentu. Apabila informasi tentang kemampuan dalam menghadapi tugas cukup negatif (merasa kurang mampu) maka individu cimderung

menghindari tugas yang dianggapnya sulit (Yatrni, 2005).

Self efficacy juga merupakan bagian dari konsep diri yang lebih

menunjukkan pada bakat dan kemampuan ケ。ョセQ@ dimiliki seseorang terhadap tugas yang diberikan ( Bandura,

1977).

Self efficacy yaitu keyakinan
(27)

dibutuhkan dalam suatu tugas yang berarti keyakinan individu pada

kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi dan mengatasi situasi tertentu.

Menurut Bandura (1982) " Self efficacy adalah keyakinan individu mengenai seberapa besar kemampuan untuk menampilkan perilaku yang dibutuhkan dalam mengatasi situasi atau tugas tertentu". Self efficacy tidak

berhubungan dengan ketrampilan yang dimiliki individu tetapi dengan

penilaiannya mengenai mampu atau tidaknya individu melaksanakan suatu aktivitas dengan ketrampilan yang ada pada dirinya. S€'/f efficacy ini juga akan menentukan sampai seberapa besar usaha yang akan dilakukan dan sampai berapa lama individu mampu bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang kurang menyenangkan. Semakin tinggi self efficacy

individu maka semakin besar usaha yang dilakukan dan semakin besar pula daya tahan dalam menghadapi hambatan. Bila menghadapi hambatan, individu yang ragu-ragu tentang kemampuan dirinya, akan mengurangi usaha dan rnudah menyerah. Sebaliknya individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan mengeluarkan usaha yang besar untuk ュ・ョセゥィ。、。ーゥ@ hambatan tersebut.

(28)

tingkah laku yang diperlukan dalam situasi yang ambigius, tidal< terduga dan mengandung tekanan.

Woolkfolk (dalam Bandura, 1995) mengatakan definisi self efficacy yang tidak berbeda yaitu, "Keyakinan individu mengenai kemampuan yang dimilikinya dalam menghadapi situasi tertentu".

Sementara Shell dan Murphy ( 1989) mengatakan "self •:lfticacy adalah penilaian individu terhadap kemampuan dirinya dalam mengorganisasikan

ketrampilan-ketrampilan yang dimilikinya ke dalam satu tindal<an yang terintregasi dalam menghadapi suatu situasi atau tugas".

Self efficacy adalah sikap terhadap diri sendiri yang dapat memotivasi tingkah

laku, mempengaruhi baik tindakan maupun tujuan serta ambisi, merupakan salah satu penentu apakah seseorang akan mencoba melakukan suatu tugas atau aktivitas tersebut apabila menghadapi suatu hambatan.

(29)

yang ragu akan kemampuannya atau dengan kata lain individu yang memiliki

self efficacy yang rendah akan mengurangi usahanya dan menyerah.

Sedangkan orang yang memiliki self efficacy yang kuat akan mengerahkan usaha yang lebih besar mengatasi tantangan.

Jadi self efficacy adalah suatu bagian dari konsep diri individu yang

mengukur kemampuan diri dalam menghadapi hambatan yang dihadapinya. lndividu yang mampu mangatasi hambatan tersebut dan mampu

menyelesaikan tugas tersebut, tidak pantang menyerah menunjukkan bahwa

self efficacy individu tersebut tinggi. Sedangkan pada individu yang mudah

menyerah dan tidak mampu mengatasi hambatan-hambatan yang di hadapinya menunjukkan self efficacy individu tersebut rendah.

2.1.2. Aspek-aspek self efficacy

Menurut Bandura (1986) aspek-aspek dari self efficacytersebut adalah: a. Pengambilan keputusan untuk menentukan tingkah laku

lndividu dalam· kehidupan sehari-harinya harus mengambil keputusan mengenai kegiatan yang dipilihnya. Pengambilan keputusan yang

melibatkan pilihan tingkah laku ini adalah bagian dari ketentuan penilaian

self efficacy pada masing-masing individu. lndividu ce,nderung akan

(30)

ditanganinya. Penilaian diri akan keyakinan yang dimilikinya itu berguna dan mempengaruhi perkembangan individu selanjutnya.

b. Usaha yang dikeluarkan dan daya tahan dalam menghadapi kesulitan pengalaman yang tidak menyenangkan.

Seberapa usaha seseorang dan seberapa lama individu dapat bertahan dalam menghadapi rintangan atau pengalaman yang tidak menyenangkan (Bandura, 1986). lndividu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan berusaha bertahan dari segala tantangan yang dihadapinya. Segala

kegagalan yang dihadapinya dianggap suatu cobaan dan kurangnya usaha yang ada. Tetapi individu yang memiliki self efficacy yang rendah

mempunyai usaha yang kecil dan menganggap segala kegagalan adalah suatu kesalahan dirinya.

c. Pola pikir dan reaksi emosional

Penilaian mengenai kemampuan seseorang mempengaruhi juga pola reaksi emosionalnya. lndividu yang menilai dirinya sendiri tidak mampu dalam mengatasi suatu masalah atau tuntutan lingkungan ternyata memiliki

personal deficiency dan kesulitan dalam menggunakan potensi kognitifnya

(31)

dihadapinya. Keyakinan diri juga membentuk atribusi penyebab

(Collins, 1982,dalam Bandura , 1986) dalam menyelesaikan persoalan yang sulit, individu yang memiliki keyakinan diri tinggi menganggap kegagalan sebagai dari kurangnya usaha, sedangkan yang memiliki keyakinan rendah menganggap kegagalan sebagai akibat dari kurangnya kemampuan.

Beck ( dalam Bandura, 1982) mengatakan bahwa individu yang menilai dirinya tidak mampu mengatasi lingkungan, akan memandang kesulitan-kesulitan yang dihadapinya lebih menakutkan dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya.

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan diatas, self efficacy

siswa tunanetra dan tunarungu dalam penelitian ini adalah seberapa besar usaha yang akan dilakukan oleh mereka dalam menghadapi hambatan di sekolah inklusi. Untuk itu digunakan pengukuran pada pengambilan keputusan untuk menentukan tingkah laku, usaha yng dilakukan dan ketekunan berusaha, dan pola pikir serta reaksi emosionalnya.

2.1.3. Sumber lnformasi Self efficacy

(32)

1. Hasil yang dicapai secara nyata (Enactive Attainment)

Merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap tinggi rendahnya self

efficacy. Hal ini l<arena didasarkan pada pengalaman nyata seseorang

dalam melaksanakan suatu tugas. Keberhasilan seseorang pada tugas terdahulu dapat meningkatkan self efficacy dirinya sebaliknya kegagalan dapat menurunkan self efficacy seseorang.

2. Pengalaman orang lain (Vicarious Experiences)

Vicarious Experiences atau mengamati pengalaman orang lain

mempengaruhi self efficacy. Mengamati orang lain yang mendapatkan kesuksesan dapat menimbulkan persepsi tentang keyakinan diri

seseorang. Dengan melihat kesuksesan orang lain, individu dapat meyakinkan dirinya bahwa iapun mampu mendapatkan hal yang sama dengan orang lain yang diamatinya. Sebaliknya ュ・ョセゥ。ュ。エゥ@ kegagalan orang lain dapat membuat keyakinan seseorang menurun sehingga menurunkan usahanya (Brown

&

Inouye, 1978, dalam Bandura, 1986). Jadi self efficacy dapat berubah tergantung dari pengalaman model yang diamatinya.

3. Persuasi verbal (Verbal Persuasion)

Verbal Persuasion atau persuasi verbal digunakan untuk meyakinkan

(33)

diyakinkan secara verbal oleh lingkungannya bahwa ia memiliki kemampuan untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan terlihat mengeluarkan usaha yang lebih besar dibandingkan jika ia memiliki keragu-raguan akan kemampuan dirinya (Bandura, 1986).

4. Keadaan fisiologi (Physiological state)

Physiological state atau keadaan fisiologis pada tanda-tandanya biasanya

menjadikan individu menilai kemampuan dirinya. Misalnya dalam situasi yang menahan, individu cenderung menjadikan ketegangan yang timbul sebagai pertanda dimana ia tidak cukup mampu untuk menguasai keadaan, padahal bisa jadi sebenarnya ia mampu. Dalam ha! kekuatan dan stamina tubuh individu menilai keletihan dan rasa sakit sebagai tanda-tanda kelemahan fisik (Evert dalam Bandura, 1986).

2.1.4. Dimensi self efficacy

Menurut Bandura ( 1986) dimensi self efficacy adalah: 1. Tingkat kesulitan tugas.

(34)

2. Situasi yang dihadapi.

Seseorang mungkin hanya memiliki keyakinan pada suatu situasi tertentu, namun tidak memiliki keyakinan diri pada situasi umum.

3.

Derajat kekuatan keyakinan.

Keyakinan diri yang lemah pada seseorang mudah dikalahkan oleh

masalah-masalah pada situasi sedangkan orang yang memiliki keyakinan diri yang kuat akan mampu bertahan menghadapi masalah yang timbul dalam suatu situasi.

2.1.5.

Perkembangan Self efficacy

Sejak lahir individu belajar banyak hal dengan melihat individu lain

(35)

Menurut Bandura lingkungan yang mempengaruhi perkembangan self

efficacy antara lain:

a. Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama bagi perkembangan self

efficacy. Hal ini karena merupakan tempat pertama bagi individu untuk

mengembangkan, menilai, dan menguji kemampuan fisik, kompetensi sosial, kemampuan bahasa dan kemampuan kognitifnya untuk memahami dan mengatasi berbagai situasi yang dihadapi sehari-hari.

b. Lingkungan sebaya

Lingkungan teman sebaya sebagai tempat selanjutnya yang dapat mempengaruhi perkembangan self efficacy individu setelah lingkungan keluarga. Dalam berinteraksi dengan teman sebaya, terjadi proses belajar sosial yaitu dengan cara membandingkan dan meniru teman sebaya yang lebih mampu dan lebih berpengalaman. lndividu

beranggapan apabila teman sebaya yang memiliki banyak persamaan dengan dirinya mampu melakukan sesuatu hal, maka tentu individu juga akan melakukan hal serupa.

c. Lingkungan sekolah

Menurut Bandura sekolah dapat menjadi lembaga bagi penanaman self

efficacy individu. Hal ini karena sekolah merupakan tempat utama yang

(36)

adanya kegiatan yang dilakukan di sekolah maka individu akan

mengetahui sejauh mana kemampuan kognitif, afektif dan konatif yang dimiliki, sehingga hal inilah yang dapat mempengaruhi perkembangan self efficacy.

Ketiga lingkungan diatas merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi perkembangan self efficacy individu. Dan ketiga lingkungan tersebut memiliki keterkaitan satu sama yang lain.

2.2. Komunikasi Interpersonal

2.2.1 Pengertian komunikasi

Komunikasi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Sejak lahir manusia telah melakukan komunikasi yang sangat sederhana. Seiring dengan perkembangan individu komunikasipun menjadi lebih sempurna. Sehingga terjadi suatu proses antara pemberi pesan dengan penerima pesan.

(37)

Onong Uchyana Effendy (1988) juga menyebutkan bahwa komunikasi adalah "Proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media".

Widjaja (1998) menyebutkan komunikasi sebagai hubungan kontak antara dan antar manusia baik individu maupun kelompok. Selanjutnya menurut Ludlow dan panton (dalam Widjaja,1988), komunikasi dapat dipandang sebagai suatu proses pribadi yang meliputi pengalihan informasi dan input perilaku. Pandangan senada dikemukakan oleh James Adf Stoner (dalam Widjaja, 1988) yang mendefinisikan komunikasi sebagai proses dimana seseorang berusaha memberikan pengertian dengan pemindahan pesan.

Menurut Riyono Pratikto (1992) komunikasi merupakan pengoperan

lambang-lambang yang berarti, yang merupakan penuangan semua pikiran, perasaan, kekecewaan, harapan, dan sebagian dari seseorang dengan tujuan yang dapat mempengaruhi orang lain.

(38)

perubahan yang timbul pada diri komunikan disebabkan terjadinya kegiatan komunikasi.

2.2.2 Pengertian komunikasi interpersonal siswa tunanetra dam tunarungu

Secara umum komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai proses

pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Pengertian proses mengacu pada perubahan dan tindakan (action) yang berlangsung terus menerus, komunikasi antar pribadi juga merupakan suatu pertukaran yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik; sedangkan makna yaitu sesuatu yang dipertukarkan dalam proses tersebut adalah kesamaan pemahaman diantara orang-orang yang berkomunikasi terhadap pesan-pesan yang digunakan dalam proses komunikasi.

Komunikasi yang dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang adalah komunikasi interpersonal. Dikatakan paling efektif karena prosesnya yang memungkinkan bersifat dialogis. Komunikasi yang berlangsung secara dialogis selalu lebih baik dari pada secara monologis.

(39)

ganda, masing-masing menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi dialogis tampak adanya upaya dari para perilaku komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama dan empati. Disitu terjadi rasa saling menghormati bukan disebabkan status sosial ekonomi, melainkan didasarkan pada anggapan bahwa masing-masing adalah manusia wajib, berhak, pantas, dan wajar dihargai dan dihormati sebagai manusia.

Komunikasi interpersonal sering juga dikatakan sebagai komunikasi antar pribadi, karena pengertian interpersonal antar pribadi. Keduanya

dipergunakan dalam ilmu komunikasi.

Komunikasi antar pribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat didalamnya sering mempengaruhi. Sebagaimana diungkapkan oleh Devito (1997) menyebutkan:

"Interpersonal communication is the process of sending and receiving

messages between two persons or among a small group of persons with

some effect and some immediate feedbaclf'. (komunikasi interpersonal

adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa

(40)

Menurut Tan (dalarn Allo Liliweri, 1991) bahwa "komunikasi antar pribadi

adalah komunikasi tatap muka antara dua orang atau lebih". Sedangkan

Everet M. Rogers ( dalarn Allo Liliweri, 1991) rnengernukakan bahwa

"Komunikasi antar pribadi adalah merupakan komunikasi dari mulut ke mulut

yang tetjadi da/am interaksi tatap muka antara beberapa pribadi". Dalarn

kornunikasi antar pribadi, kornunikator mengetahui pasti apakah kornunikasi yang dilakukannya berhasil atau tidak, jika tidak penerima pesan diberi kesernpatan untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Dalarn rnelakukan

komunikasi ini pesan dari komunikator langsung diterirna oleh komunikan dan tanggapan langsung diterirna dari kornunikan tanpa tunda. Kornunikator rnengetahui tanggapan kornunikan saat itu juga ketika komunikasi dilakukan.

berhasil atau tidak berhasil dari kornunikasi itu, tarnpak pada tanggapan yang rnuncul.

Dalam melakukan kornunil<asi rnasing-rnasing pihak merniliki kesernpatan luas untuk mendapatkan tanggapan sesuai dengan tujuannya, karena ketika terjadi kesalahpahaman dalam rnenerima pesan hal itu dapat segera diatasi dengan cara rnenyarnakan pengertian. lni terjadi karena dalarn kornunikasi interpersonal, suasana hubungan bebas dan akrab.

(41)

MMM[[NセャャstOAゥGL

NMMMLZNセ

セセセMMQ@

UIN SYAr1!l·

. .

·

jAセkャゥヲAtLセ@

1 - - · - - - . - -.... セᄋMMM ---··--·-·---·---·--··-·--! i

pada proses interaksi atau komunikasi, misalnya interaksi sosial di sekolah, dimana terjadi komunikasi antara siswa dengan siswa yang lain.

Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan bahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara khusus. Bicara dan bahasa anak tunarungu pada awalnya seringkali sukar ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama dengan mereka kita akan terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah kita dalam memahami maksud bicara anak itu.

Begitupun yang terjadi pada siswa tunanetra. Menurut Tilman dan Osborne (dalam Anastasi, 1995) menyimpulkan bahwa siswa tunanetra kurang dapat mengembangkan penguasaan kosa katanya. Tetapi Kepzhart san Schwartz (dalam Anastasi, 1995) dalam studinya menunjukkan bahwa anak tunanetra berat mempunyai kemampuan berkomunikasi secara lisan dan mereka mampu berprestasi seperti anak normal.

Faktor kemahiran berkomunikasi sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap siswa tunanetra dan tunarungu. Komunikasi yang selaras antar siswa

(42)

lingkungan sekolah inklusi dapat mengembangkan sikap demokratif dan

terbuka, serta perlu adanya keaktifan dari pihak tunanetra dan tunarungu.

Perlu diingat bahwa komunikasi antara siswa tunanetra dan tunarungu terhadap orang-orang yang normal dilingkungan sekolah inklusi bersifat edukatif bahwa komunikasi yang berlangsung dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam hal ini membantu pribadi siswa tunanetra dan tunarungu untuk mengembangkan potensi dalam dirinya.

Diharapkan proses komunikasi siswa tunanetra dan tunarungu terhadap orang-orang yang normal dilingkungan sekolah inklusi ini berlangsung efektif, dengan terciptanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan. Jika seseorang salah komunikasinya (misscommunication) maka orang yang dijadil<an sasaran mengalami salah persepsi (missperception), yang pada gilirannya salah interpreasi (missinterpretation). Dalam hal tertentu salah pengertian ini menimbulkan salah prilaku (missbehavior) artinya bahwa ada kesenjangan komunikasi yang mnegakibatkan tujuan belajar tidak tercapai.

(43)

siswa tunanetra dan tunarungu terhadap orang-orang yang normal di

lingkungan sekolah inklusi, yang bertujuan untuk mempengaruhi komunikan.

2.2. 3 Faktor-faktor komunikasi interpersonal

Dalam berkomunikasi individu dipengaruhi oleh beberapa hal yang pada akhirnya menjadi faktor penentu dalam mencapai komunikasi interpersonal yang baik. Menurut Jalaludin Rakhmat (1992) akan lebih baik lagi bila dilandasi beberapa faktor dan faktor yag mempengaruhi komunikasi interpersonal adalah :

a) Persepsi Interpersonal

Yaitu penangkapan makna terhadap seseorang yang menjadi obyek persepsi dalam konteks hubungan sosial. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang adalah pengalaman, motivasi, dan kepribadian.

b) Konsep diri

(44)

c) Atraksi interpersonal

Yaitu daya tarik yang dimiliki seseorang sehingga orang menjadi suka padanya. Atraksi interpersonal dipengaruhi oleh daya tarik fisik, ganjaran, familiar, kedekatan dan kemampuan.

d) Hubungan Interpersonal

Seperti dekat dan akrab turut menentukan proses komunikasi

interpersonal. Hubungan interpersonal ditentukan oleh sikap percaya, sikap sportif, dan sikap terbuka yang nantinya menentukan efektivitas komunikasi interpersonal.

Sedangkan menurut Lunandi (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal adalah:

a) Mendengarkan

Telinga bisa mendengar segala suara tetapi mendengarkan suatu

komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati serta segenap indera yang diarahkan kepada si pembicara.

b) Pernyataan

(45)

c) Keterbukaan

Keterbukaan dalam hal ini melibatkan perasaan terhadap penyampaian informasi. Perasaan yang dilibatkan dalam komunikasi ini seperti

kecemasan, harapan, kebanggaan, dan kekecewaan. d) Kepekaan

32

lndividu sangat perlu memiliki kepekaan untuk mampu membaca gerakan tubuh lawan bicaranya yang tidak diucapkan lewat kata-kata.

e) Urnpan balik

Komunikasi baru dapat bermakna apabila adanya suatu tanggapan yang dikirim kembali atau mendapatkan jawaban.

Seseorang yang kondisi emosinya tidak stabil komunikasi yang dilakukannya cenderung kurang stabil artinya orang yang bersangkutan tidak dapat

memberi respon yang sesuai dengan stimulus yang diterima. Ada kalanya manusia mengalami kegagalan dalam berkomunikasi.

Kegagalan dalam berkomunikasi yang timbul karena adanya kesenjangan antara apa yang sebenarnya dimaksud oleh pengirim dengan apa yang oleh penerima diduga oleh pengirim (A. Supratiknya, 1995), faktor-faktor

kegagalan tersebut adalah :

(46)

b. Sering mendengar dengan maksud sadar maupun tidak sadar untuk memberikan penilaian dan menghakimi pembicara. Akibatnya ini menjadi bersikap defensive atau menutup diri dan sangat berhati-hati dalam berkata-kata.

c. Sering gaga! dalam menangkap maksud konotatif dibalik ucapanya kendati tahu arti denotatif kata-kata yang digunakan oleh seorang pembicara.

d. Kesalah pahaman atau distorsi dalam komunikasi sering terjadi karena tidak saling mempercayai.

Komunikasi interpersonal pada umumnya dilaksanakan karena adanya berbagai faktor pendorong dari komunikan. Siswa tunanetra dan tunarungu membutuhkan siswa lain yang normal untuk mendengarkan perasaan dan pendapatnya, dan siswa lain mampu memberikan nasehat dan saran kepada siswa tunanetra dan tunarungu tersebut. Selain itu juga dalam

(47)

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal dalam penelitian ini adalah komunikasi yang dilakukan antar pribadi dengan berbagai faktor pendorong, dan suasana hubungan yang bebas, bervariasi dan ada keterpengaruhan.

Pesan-pesan dan tanggapan yang muncul dapat secara verbal maupun non verbal, yang dapat berakibat disengaja atau tidak terhadap komunikan. Hal itu menunjukan bahwa komunikasi interpersonal memberikan pengaruh pada hubungan antara komunikan dan komunikatornya.

2.2.4 Ciri-ciri komunikasi interpersonal

Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang diambil dengan tetap memperhatikan kedinamisannya. Menurut Hardjana (2003) komunikasi interpersonal mempunyai ciri-ciri yang tetap sebagai berikut :

a. Komunikasi interpersonal adalah verbal dan non verbal

Dalam komunikasi pada umumnya mencakup dua unsur pokok yaitu isi pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal maupun non verbal.

b. Komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu

(48)

1. Perilaku spontan

Adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif, artinya perilaku itu terjadi begitu saja. Jika verbal, perilaku spontan, bernada asal bunyi, misalnya, "hai", "aduh", atau "hore". Perilaku spontan non verbal, misalnya meletakkan telapak tangan pada dahi waktu kita sadar bahwa berbuat keliru atau lupa, melambaikan tangan pada waktu berpapasan dengan teman.

2. Perilaku menurut kebiasaan (script behaviour)

Adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti orang. Misalnya, ucapan "selamat datang" kepada teman yang datang. Dalam bentuk non verbal, misalnya berjabat tangan dengan teman atau mencium tangan orang tua.

3. Perilaku sadar (contrived behaviow]

Adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada.

c. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berproses pengembangan

(49)

pengenalan yang amat mendalam. Tetapi juga dapat putus, sampai akhirnya saling melupakan.

d. Komunikasi interpersonal mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi.

Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka, karena itu, kemungkinan umpan balik (feedback) besar sekali. Dalam komunikasi interpersonal penerima pesan dapat langsung menanggapi dan

menyampaikan umpan balik, dengan demikian diantara pengirim dan penerima pesan terjadi interaksi yang satu mempengaruhi yang lain, dan kedua-duanya saling mempengaruhi dan memberi serta menerima dampak. Pengaruh itu terjadi pada dataran kognitif-pengetahuan, efektif-perasaan, dan behaviour-perilaku.

e. Komunikasi interpersonal berjalan menurut peraturan tertentu.

(50)

f. komunikasi interpersonal adalah kegiatan aktif

komunikasi interpersonal bukan hanya komunikasi dari pengirim kepada penerima pesan dan sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim pesan dan penerima pesan.

g. Komunikasi interpesonal saling mengubah

Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat komunikasi dapat saling memberi inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas bersama. Karena itu, komunikasi interpersonal dapat merupakan wahana untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan dan kepribadian.

Berdasarl<an pendapat ahli yang telah dikemukakan diatas mka efektifitas komunikasi interpersonal siswa tunanetra dan tunarungu dalam penelitian ini adalah kemampuan dalam proses interaksi yang melibatkan antara siswa tunanetra dan tunarungu terhadap siswa normal lainnya baik verbal maupun

(51)

2.3. Tunanetra

2.3.1. Pengertian tummetra

Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, '1990) tuna artinya rusak, Iuka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra artinya mata (Departemen pendidikan dan kebudayaan, 1990).

Dan menurut pendidikan kebutaan (dalam anastasia, 1995) tunanetra difokuskan pada kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatan sebagai suatu saluran untuk belajar. Anak yang tidak dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera lain seperti pendengaran, perabaan, inilah yang disebut buta secara pendidikan.

Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

(52)

dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera lain seperti pendengaran, penciuman dan perabaannya.

2.3.2. Klasifikasi anak tummetra

Anastasia (1995) mengelompokkan tunanetra menjadi 4 kriteria yaitu: 1. Tunanetra berdasarkan ketajaman dan penglihatannya

a. 6/6 - 6/16 m atau 20/20 -20/50 feet. Klasifikasi ini masih dikatakan sebagai tunanetra ringan atau masih dapat dikatakan normal, mampu mempergunakan peralatan pendidikan di sekolah umum.

b. 6120 -60160 m atau 20/70 - 201200 feet. Pada tingkat ketajaman ini

sering disebut tunanetra kurang lihat atau low vision disebut juga partially sight atau tunanetra ringan, taraf ini mampu melihat dengan bantuan kacamata.

c. 6/60m lebih atau 20/200 lebih. Pada tingkat ini dikatakan juga tunanetra berat. Taraf ini masih dapat menghitung dengan jari, menggerakkan tangan, dan dapat membedakan terang dan gelap. d. Mereka yang memiliki visus 0, atau sering disebut buta. Tingkat

(53)

2. Saat terjadinya kebutaan

a. Tunanetra sebelum dan sesudah lahir. Pada tahap ini anak belum mempunyai konsep terang atau gelap, peran oran1J tua dan lingkungan sekitar sangat penting , untuk membimbing anak mengenali

lingkungannya.

b. Tunanetra balita. Tahap ini anak yang mengalami kebutaan ketika usia 3 tahun. Pada tahap ini konsep terang dan gelap telah ada, tetapi mudah hilang, sehingga masih perlu bimbingan orang tua dan lingkungan sekitar.

c. Tunanetra balita. Yaitu anak yang mengalami kebutaan ketika usia 5 tahun. Konsep tidak hilang tetapi selalu dihidupkan, butuh peran orang tua dan guru taman kanak-kanak dalam membina dan mengarahkan konsep yang telah dimiliki anak.

d. Tunanetra pada usia sekolah. Tahap ini anak mengalami kebutaan ketika usia 6 tahun sampai 12 tahun. Konsep dan kesan-kesan visual sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan. Tidak jarang mereka mengalami goncangan jiwa akan lebih hebat bila dibandingkan balita sebab masa sekolah adalah masa bermain. Tugas pendidik adalah menyadarkannya agar mau menerima kenyataan.

(54)

dua konflik batin dan konflik jasmani. Butuh bimbingan dari orang tua dan orang-orang terdekat agar mereka mau menerima kenyataan dan dapat berinteraksi sosial dengan lingkungan sosial.

f. Tunanetra dewasa. Yaitu individu yang mengalami kebutaan ketika usia 19 tahun keatas. Pada tahap ini tidak sedikit yang frustasi dan putus asa. Bimbingan jasmani diperlukan agar mereka mampu bekerja dan bimbingan rohani sangat diperlukan untuk mempertebal iman mereka agar dapat menerima keadaannya.

3. Tunanetra berdasarkan tingkat kelemahan visual

a. Tidak ada kelemahan visual. Ketajaman lebih dari 20/25 m dan luas lantang pandang 120 derajat.

b. Kelemahan visual ringan. Ketajaman kurang dari 20/25 m dan luas lantang pandang 120 derajat tidak ada pengaruh kegiatan sehari-hari. c. Kelemahan visual ringan. Ketajaman 20/60 m dan luas pandang 60

derajat, membutuhkan penggunaan kacamata.

d. Kelemahan visual parah. Ketajaman 20/60 m dan luas pandang 20 derajat, penggunaan kacamata tidak dapat berfungsi

(55)

2.3.3. Karakteristik siswa tunanetra

Abu Ahmadi dan widodo supriyono (1991) menyebutkan bahwa siswa tunanetra memiliki ciri-ciri tersendiri dalam menyesuaikan diri. Adapun bermacam-macam jenis tingkah laku siswa cacat itu sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan diri anak cacat untuk sosial atau adjusment.

Anastasia (1995) menyebutkan bahwa siswa tunanetra yang mengalami kebutaan total mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Rasa curiga

2.

Perasaan mudah tersinggung

3.

Ketergantungan yang berlebihan

4. Blind ism

5.

Rasa rendah diri

6.

Suka melamun

7. Fantasi yang kuat untuk mengingat suatu objek 8. Kritis

9. Pemberani

10. Perhatian terpusat (konsentrasi)

(56)

1. Perkembangan kognitifnya

Akibat dari ketunanetraannya, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengan anak-anak normal umumnya. Bagi anak tunanetra setiap bunyi yang didengarnya, bau yang diciumnya, kesan yang dirabanya, dan rasa yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kognitifnya. Anak

tunanetra cenderung memiliki daya ingat yang tinggi namun rendah dalam pengembangan konsep. Pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya juga cenderung tidak tersusun secara terintegrasi tetapi cenderung terpisah-pisah.

2. Perkembangan motorilmya

(57)

gerak motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam me Ii hat.

3. Perkembangan emosinya

Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses

belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungan secara tapat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang

diharapkan oleh diri maupun lingkungannya. Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi

emosi, yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki

(58)

4. Perkembangan sosialnya

Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat, anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri menyebabkan terhambatnya perkembangan sosial pada anak tunanetra. Kesulitan lain adalah

keterbatasan anak tunanetra untuk belajar sosial melaui proses identifikasi dan imitasi. la juga memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk-bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma-norma atau aturan-aturan dalam bersosialisasi.

5. Perkembangan kepribadiannya

Pertahanan diri yang kuat sering dijumpai pada anak tunanetra terutama usia dewasa. Anak tunanetra cenderung bertahan dengan ide atau

(59)

2.4. Tunarungu

2.4.1. Pengertian tunanmgu

Menurut Moores (dalam Bunawan, 1995) yang dimaksud dengan tunarungu adalah individu yang tidak mampu mendengar dan hat ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyi lain, dalam derajat frekuensi dan intensitas. Secara medis kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan dan mal/dis/non fungsi dari sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran.

Menurut Somantri (2006) tunarungu dapat diartikan sebagai sesuatu keadaan kehilangna pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat

menangkap berbagai ransangan, terutama melalui indera pendengarannya.

Walaupun ketulian dapat mempengaruhi berbagai aspek perilaku seseorang, fungsi otak mereka sebenarnya masih utuh dan kesukaran utama terletak dalam memasukkan informasi kebahasaan ke pusat syaraf. Namun seperti anak dengar, kaum tunarungu tetap memiliki potensi untuk berbahasa dan banyak diantara mereka masih memiliki sisa pendengaran yang dapat

dimanfaatkan untk memperoleh informasi kebahasaan. Suasana emosional, cara penanganan, dan kualitas lingkungan kebahasaan keluarga anak

(60)

Lani Bunawan (1995) menjelaskan bahwa anak tunarungu mengalihkan pengamatannya kepada mata, anak tunarungu sering disebut "insan

permata". Melalui mata anak tunarungu memahami bahasa lisan atau oral, selain gerakan dan ekspresi wajah lawan bicaranya mata anak tunarungu juga digunakan untuk membaca gerak bibir orang yang berbicara.

2.4.2. Klasifikasi anak tunanmgu

Secara garis besar tunarungu dibagi menjadi dua (Bunawan, 1995) yaitu: 1. Orang tuli, adalah seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan

mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengarannya, baik itu memakai ataupun tidak memakai alat bantu. 2. Orang kurang dengar, adalah seseorang yang mengalami kehilangan

sebagian kemampuan mendengar, akan tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan pemakaian alat bantu mendengar memungkinkan keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui pendengaran.

Didalam buku pedoman pendidikan inklusi Direktorat pendidikan Luar Biasa (2004) ciri-ciri anak tunarungu sebagai berikut :

1 . Secara nyata tidak mampu mendengar 2. Terlambat perkembangan bahasa

(61)

4. Kurang atau tidak tanggap bila diajak bicara

5.

Ucapan kata tidak jelas

6.

Kualitas suara aneh atau monoton

7.

Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar

8. Banyak perhatian terhadap getaran 9. Keluar cairan nanah dari kedua telinga

2.4.3. Penyebab ketunanmguan

Trybus (dalam Bunawan, 1995) mengemukakan penyebab l<etunarunguan pada anak-anak di Amerika Serikat yaitu :

1. Faktor dalam diri anak

a. keturunan, orang tua yang mengalami tunarungu 30 sampai 60 persen akan melahirkan anak yang mengalami tunarungu pula.

b. campak jerman (Rubella) dari pihak ibu, dari penelitian 199 anak-anak yang ibunya terkena virus rubella selagi mengandung 50% akan

mengalami kelainan pendengaran

c. komplikasi pada kehamilan dan kelahiran, seperti keracunan darah atau toxaminia, dapat mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang

(62)

2. Faktor dari luar diri anak

a. Radang selaput otak (meningitis), ketunarunguan yang disebabkan oleh meningitis adalah sebanyak 8, 1 %.

b. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah), telinga akan bernanah dan nanah tersebut akan mengumpul clan menghambat hantaran bunyL Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering terjadi pada masa anak-anak sebelum mencapai usia 6 tahun. otitis media dapat ditimbulkan karena infeksi pernafasan atau pilek dan penyakit anak-anak seperti campak.

c. Penyakit anak-anak, radang dan Iuka-Iuka yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat pendengaran bagian tengah dan dalam.

2.4.4. Karakteristik anak tunanmgu

Lani Bunawan (1995) menjelaskan karakteristik anak tunarungu dari segi emosi dan sosialnya adalah sebagai berikut :

1. Egosentrisme yang melebihi anak normal

(63)

2. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang luas

Anak tunarungu lebih sering mengalami ketakutan, hal tersebut dikarenakan mereka sering merasa kurang menguasai keadaan yang diakibatkan oleh pendengaran yang tergangggu, sehingga ia merasa khawatir dan menimbulkan ketakutan.

3. Ketergantungan terhadap orang lain

Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang lain.

4. Perhatian mereka sulit dialihkan

Suatu hal yang biasa terjadi pada anak tunarungu ialah menunjukkan keasyikan bila mengerjakan sesuatu, apalagi jika ia menyukai benda atau pandai mengerjakan sesuatu. Kesempitan bahasa menyebabkan

(64)

5.Lebih mudah marah dan cepat tersinggung

Karena seringnya mengalami kekecewaan yang timbul dari kesukaran menyampaikan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dan sulitnya dia mengerti apa yang disampaikan oleh orang lain kepadanya, ha! ini biasa diekspresikan dengan kemarahan.

Sedangkan menurut Soemantri (2006) karakteristik anak tunarungu dapat dilihat dari:

1. Perkembangan kognitifnya

Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan

(65)

2. Perkembangan emosinya

Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau

salah dan ini seringkali menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan.

3. Perkembangan sosialnya

Lingkungan melihat mereka sebagai individu yang memimliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya. Dengan

penilaian lingkungan yang demikian, anal< tunarungu merasa benar-benar kurang berharga dan besar terhadap perkembangan fungsi sosialnya. Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini mengakibatkan pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat egosentris.

4. Perkembangan kepribadiannya

(66)

berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat

perkembangan kepribadiannya.

2.5. Sekolah inklusi

2.5.1. Pengertian

Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Staiback (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil (Direktorat pendidikan luar biasa, 2004). Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan ternpat setiap anak dapat diterirna, rnenjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling rnernbantu dengan guru dan ternan sebayanya, rnaupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

(67)

Di Dunia landasan yuridis dari pendidikan inklusi adalah pada deklarasi Salamanca (dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004), dan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus (Direktorat Pendidikan Luar Biasa, 2004).

2.5.2. Model pendidikan inklusi di indonesia

2.5.2.1 Alternatif penempatan

Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaugh, Bos & Schum (dalam Ditektorat Pendidikan Luar Biasa, 2004).

Dalam buku pedoman pendidikan inklusi Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:

1. Kelas reguler (inklusi penuh)

(68)

2. Kelas reguler dengan cluster

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.

3. Kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal} di kelas reguler namun dalam waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

4. Kelas reguler dengan clusterdan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasia

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal} di kelas reguler.

6. Kelas khusus penuh

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada :

(69)

3. Gradasi (tingkat) kelainan anak

4. Ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, 5. Sarana dan prasarana yang tersedia.

2.5.2.2. Komponen yang perlu disiapkan

Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses belajar-mengajar, sementara itu mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:

1. Input siswa

2. Kurikulum (bahan ajar)

3. Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih)

4. Sarana-prasarana 5. Dana

6. Manajemen (pengelolaan)

7. Lingkungan (sekolah,masyarakat,dan keluarga)

(70)

2.6. Remaja

2.6.1. Pengertian Remaja

Remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Monks dan kawan-kawan (1989) menyebutkan remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dekenal dengan fase "mencari jati diri" atau fase "topan dan badai''. Remaja masih belum mampu menguasai dan

memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya.

(71)

Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah

berusaha:

1. Mampu menerima keadaan fisiknya

2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa

3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis

4. Mencapai kemandirian emosional 5. Mencapai kemandirian ekonomi

6. Mengembangkan konsep dan ketrampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat 7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan

orang tua

8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki usia dewasa

9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga

(72)

ini dapat terjadi dengan baik dalam diri remaja dengan ditunjang oleh faktor-faktor tugas perkembangan yang lainnya.

Havighurst (dalam Hurlock, 1991) menyebutkan ada sejumlah tugas perkembangan yang harus di selesaikan dengan baik oleh remaja, yaitu:

1. Mencapai hubungan baru yang lebih baik dan matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

2. Mencapai peran sosial dan wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif 4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang

dewasa lainnya

5. Mencapai jaminan kebebasan ekonomis 6. Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan 7. Persiapan untuk memasuki kehidupan keluarga

8. Mengembangkan l<etrampilan intelektual dan konsep yang penting untuk kompetensi kewarganegaraan

9. Mencapai dan mengharapkan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab

(73)

Masing-masing tugas perkembangan itu membawa implikasi yang berbeda dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan non akademik berkenaan dengan penyesuaian peran sosial, pemahaman terhadap kondisi fisik dan psikologis, serta pemahaman dan penghayatan peran jenis kelamin.

2.6.2. Self efficacy dan komunikasi interpersonal remaja terhadap

penyesuaian diri di lingkungan sekolah

Self efficacy mempunyai pengaruh yang posistif terhadap motivasi

(Bandura,1986) begitu pula ketika remaja melakukan penyesuaian diri disekolah mereka membutuhkan adanya motivasi. Yatrni (2005)

menyebutkan motivasi mempunyai pengaruh kuat terhadap penyesuaian diri pada remaja. Motivasi itu bisa didapat secara internal yaitu dari dalam diri remaja itu sendiri, atau secara eksternal atu diluar diri remaja itu sendiri s

Gambar

Tabel 4.1 Gambanm umum subyek

Referensi

Dokumen terkait

6. Periode Undang-Undang No. 21 Periode Undang-Undang No. 21 Periode Undang-Undang No. 21 Periode Undang-Undang No. 21 Periode Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret.. Terselesaikannya skripsi ini juga tidak terlepas dari dukungan

[r]

Alat yang digunakan yaitu mikrokontroller ATMEGA8535, Kontraktor Elektronik (Relay), LCD, catudaya dan sensor kelembaban tanah (soil moisture sensor) [8]. Penelitian

lubang bekas galian ini akan mengakibatkan daya tahan lahan atau tanah berkurang,. sehingga sangat mudah

This chapter has discussed the methodological description of the conduct of the study, which includes the research questions formulated, research design, setting, participants,

satuan darat atau satuan laut atau satuan udara Tentara Nasional Indonesia. 5) Unsur kekuatan bersenjata negara lain yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Gambar