• Tidak ada hasil yang ditemukan

batas minimal usia cakap hukum dalam undang-undang no.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak ditinjau dari perspektif hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "batas minimal usia cakap hukum dalam undang-undang no.3 tahun 1997 tentang pengadilan anak ditinjau dari perspektif hukum Islam"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

IBNU ABBAS NIM : 107043203264

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : IBNU ABBAS NIM : 107043203264

Dosen Pembimbing

Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A NIP : 197608072003121001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)
(4)
(5)

1.) Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.) Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.) Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 03 Desember 2011

(6)

I

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang

Maha Kuasa atas segala sesuatu yang telah memberikan Rahmat, Kasih Sayang-Nya.

Dialah sumber tempat bersandar, dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas

karena Rahman dan Rahimnya tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga penulis

diberikan kekuatan fisik dan psikis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta

salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Sayyidina Nabiyyina

Muhammad SAW Serta keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang senantiasa setia

mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.

Merupakan suatu kebahagiaan yang tak terkira bagi penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini, walaupun dalam penulisan ini banyak kendala dan

hambatan yang dihadapi. Penulis menyadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi

berbagai persoalan yang menggangu kelancaran dalam penulisan skripsi ini, tanpa

adanya bantuan dan dorongan motivasi yang bersifat materiil maupun sprituil baik

langsung maupun tidak langsung.

Selama masa perkuliahan ini hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini,

banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi bagi penulis. Oleh karena

itu, pada kesempatan ini secara khusus penulis haturkan ucapan terima kasih yang

(7)

II

2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Ketua Prodi

Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Sekretaris Prodi

Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum.

4. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., selaku Dosen Pembimbing

yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi

penulisan skripsi ini guna mendapatkan skripsi yang lebih baik.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum yang telah membekali

penulis dengan berbagai wawasan ilmu pengetahuan dari awal hingga

akhir masa studi ini.

6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah membantu penulis

mendapatkan referensi dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam

mengadakan studi perpustakaan.

7. Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta, Ayahanda Mashur dan Ibunda

Atiyah yang rela memberikan segala pengorbanannya baik harta dan jiwa

(8)

III

9. Saudara dan saudari ku tercinta yang telah banyak membantu memberikan

bantuan moril dan sprituil pada penulis dalam penulisan ini.

10.Teman-teman satu angkatan 2007 Konsentrasi Perbandingan Hukum (PH)

yang telah banyak membantu dalam bertukar pikiran (sharing), berkat

inspirasi dan bantuannya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini.

11.Sahabat-sahabatku kelompok SHEGA Team yang telah memberikan

motivasi dan semangatnya pada penulis.

Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu telah turut

membantu demi kelancaran dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Semoga segala

kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang setimpal serta mendapatkan

Ridha-Nya. Amin.

Jakarta, 03 Desember 2011

Muharram 1433 H

(9)

IV

KATA PENGANTAR ... I DAFTAR ISI ... IV

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi Terdahulu ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KAJIAN TEORETIS TENTANG MENDIDIK ANAK A. Pengertian Hadhanah... 14

B. Hak Anak dan Tanggung Jawab Orang tua Dalam Mendidik .... 19

C. Tantangan Orang tua Dalam Mendidik Anak……….27

BAB III TINJAUAN UMUM ATAS KENAKALAN ANAK A. Pengertian Anak ... 34

B. Kecenderungan Kenakalan Anak ... 38

(10)

V

B. Batas Minimal Cakap Hukum Anak Menurut Hukum Islam ... 61

C. Perspektif Hukum Islam Terhadap UU no. 3 tahun 1997 ... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 78

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Ada sebuah pepatah mengatakan bahwa sebuah masa depan bangsa sangat

ditentukan oleh generasi penerusnya yakni peran dan perilaku pemudanya. Selain itu

mereka sangat memiliki andil yang besar untuk melanjutkan cita-cita bangsa. Anak

dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena anak

merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak dalam generasi muda juga ada

yang disebut remaja dan dewasa.

Menurut Zakiah Darajat generasi muda terdiri atas masa kanak-kanak umur

0-12 tahun, masa remaja umur 13-20 tahun dan masa dewasa umur 21-25 tahun.

Masa kanak-kanak dibagi menjadi tiga tahap yakni masa bayi umur 0-2 tahun, masa

kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun, dan masa kanak-kanak terakhir umur 5-12

tahun.1

Pembicaraan sampai usia berapa seseorang tergolong anak banyak

undang-undang yang berlaku di Indonesia tidak seragam batasannya. Dalam undang-undang-undang-undang

no. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang disebut anak sampai batas usia

sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Dan kemudian dalam

undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan membatasi usia anak dibawah

kekuasaan orang tua sebelum mencapai 18 tahun dan dalam konvensi PBB tentang

1

(12)

hak-hak anak yang ditandatangani oleh pemerintah tanggal 26 januari 1990 batasan

umur anak adalah dibawah umur 18 tahun.2

Hak anak adalah bagian dari hak azasi manusia yang wajib dijamin,

dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan

Negara. Hal ini berarti kita tidak boleh memandang anak hanya sekedar sebagai

obyek atas nama apapun termasuk hukum kemudian diperlakukan tidak baik dan

sewenang-wenang saja, hukum dalam kaitannya dengan kasus pidana anak

hendaklah tetap menyatu dengan hati nurani yang jernih.3

Pembedaan ancaman pidana anak ditentukan oleh KUHP yang penjatuhan

pidananya ditentukan paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana orang dewasa

sebagai contoh delik pencurian diancam dengan pidana penjara selama 5 tahun maka

seorang anak dikenakan selama 2 tahun 6 bulan, sedangkan penjatuhan pidana mati

dan seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.4

Mayoritas anak yang berhadapan dengan hukum terutama yang sampai pada

lembaga pengadilan tetap divonis bersalah dan dihukum penjara walaupun

perbuatannya hanya sebatas kejahatan ringan. Orang menjadi tidak lebih baik tetapi

justru menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara terutama apabila pidana

penjara ini dikenakan kepada anak-anak. Sehubungan dengan hal ini sering pula

diungkapkan bahwa rumah penjara merupakan perguruan tinggi kejahatan atau pabrik

2

Ibid h.5 3

B. Simanjuntak,Latar Belakang Kenakalan Anak,. (Jakarta: Akasara Baru, 1984.) h.50 4

(13)

kejahatan.5 Di lapangan hukum pidana, anak-anak diperlakukan sebagai orang

dewasa kecil sehingga proses perkaranya di lembaga pemasyarakatan dilakukan sama

dengan perkara orang dewasa. Hal yang paling transparan dalam pemeriksaan, begitu

petugas memeriksa terdakwa yang masih anak-anak diperlakukan sama dengan

orang dewasa bahkan kadang-kadang dengan cara dibentak dipukul, ditakuti atau

bahkan dengan kekerasan. Perlakuan yang berbeda hanya pada waktu sidang di

pengadilan, untuk perkara pidana anak sidang dilakukan secara tertutup.6

Terkait dengan penerapan Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak maka patut menjadi perhatian semua, bahwa anak-anak yang

dihukum penjara di Indonesia semakin besar jumlahnya. Menurut catatan UNICEF,

jumlahnya telah mencapai lebih dari 4000 orang anak per tahun. Padahal sebagian

besar mereka adalah hanya melakukan kejahatan ringan.7 Banyak anak-anak yang

dipenjara dengan masa kurang dari 1 tahun. Mereka kemudian menjalani pidananya

di dalam Rumah Tahanan Negara / lapas bahkan terdapat 529 orang anak yang

berada dilapas berusia dibawah 12 tahun.8

Sebagaimana yang ditegaskan dalam Konvensi Hak-hak Anak (Convention on

the Rights of the Child) pasal 37 huruf b Resolusi No. 109 maupun peraturan

minimum standar PBB tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak resolusi No. 40/33

5

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010. cet I)h.124-125

6

Lihat Pasal 153 ayat 3 KUHAP

7

www.Politik.Kompasiana.com/2010/04/29/Perlindungan Anak diIndonesia dan Solusinya /html diakses pada tanggal 21 juni 2011

8

(14)

tanggal 29 november 1985 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui

Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 Dinyatakan: “penangkapan, penahanan, dan

pemenjaraan haruslah menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak

yang berkonflik dengan hukum dan untuk jangka waktu yang terpendek atau untuk

waktu yang sesingkat-singkatnya”. Perlindungan terhadap anak secara yuridis

merupakan upaya yang ditujukan untuk mencegah agar anak tidak mengalami

perlakuan yang diskriminatif / perlakuan salah (Child Abused) baik secara langsung

maupun tidak langsung dalam rangka menjamin kelangsungan hidup, tumbuh, dan

perkembangan anak secara wajar baik fisik maupun mental dan sosial.

Selanjutnya tindakan jahat anak dimasa sahabat rasulullah saw diketahui pada

sebuah kasus. Abdurarazaq telah meriwayatkan dari Muhammad bin Hayyun ia

berkata bahwa: Ibnu Shaibah telah menuduh seorang wanita bahwa rambutnya

(wanita) berbeda dengan rambut orang tuanya yang tertuduh, kemudian perkaranya

diajukan pada Umar bin Khattab r.a. Beliau (Umar) memerintahkan kata-katanya

lihatlah disekitar kemaluannya, ternyata anak tersebut belum tumbuh rambut

kemaluannya. Umar berkata kepada anak itu (ibnu Abi Shaibah) kalau saja terbukti

telah tumbuh rambut kemaluanmu pastilah aku akan menjilidmu.9

Kasus diatas belum begitu terang apakah dalam hukum

Islam membebaskan anak begitu saja atau ada sanksi lain atau diberikan ta’zir

kepada anak itu apa bentuk ta’zir yang cocok serta umur berapa diterapkan ta’zir itu.

Disisi lain mayoritas umat Islam memahami aturan untuk kejahatan ada dan cukup

9

(15)

sederhana bahkan dipahami anak-anak diberikan pembebasan dalam pertanggung

jawaban hukum sebagaimana yang terdapat pada hadis Rasulullah saw :

نﻮﻨﺠﻤﻟا ﻦﻋو ﻢﻠﺘﺤﯾ ﻰﺘﺣ ﻲﺒﺼﻟا ﻦﻋو ﻆﻘﯿﺘﺴﯾ ﻰﺘﺣ ﻢﺋ ﺎﻨﻟا ﻦﻋ : ﺔﺛﻼﺛ ﻦﻋ ﻢﻠﻘﻟا ﻊﻓر

(دود اﻮﺑا هاور) ﻞﻘﻌﯾ ﻰﺘﺣ

Artinya

: “

Bebas dari hukuman tiga orang yaitu : orang tidur sampai ia bangun, anak-anak sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar / berakal”(H.R Abu Daud).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa apabila anak kecil yang belum baligh

melakukan jarimah, maka tidak dikenakan hukuman. Ketentuan mengenai orang

tidur, anak-anak dan orang gila menurut Haliman mengatakan bahwa mereka itu

adalah orang-orang yang tidak berakal dan mereka itu bukanlah mukallaf.10

Abdul Qadir Audah memberikan penjelasan tentang anak-anak yang belum

dewasa, bahwa apabila anak menjelang dewasa saat berusia 7 sampai 15 tahun lalu ia

melakukan pidana dengan niat merugikan orang lain maka ia tidak dikenakan

pertanggungjawaban pidana, hanya saja dikenakan hukuman pengajaran. Sedangkan

apabila ia telah dewasa (baligh) yakni antara 15 tahun, baru ia dikenakan

pertanggungjawaban pidana.11

Salah satu persoalan mendesak untuk memperoleh perhatian yang serius

adalah penanganan pemidanaan anak yang dalam proses peradilan cenderung

terjadi pelanggaran hak azasi manusia, bahkan bukti menunjukkan praktek kekerasan

dan penyiksaan terhadap anak yang masuk pengadilan. Padahal seorang anak

10

Haliman, Pidana Syari’at Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971.) h.171-215 11

(16)

belum pantas menjalani proses pengadilan, bahkan penjara bukanlah merupakan

solusi terakhir bagi anak karena akan menghilangkan hak-hak anak seperti hak

memperoleh pendidikan, hak kesehatan, hak berkomunikasi dengan orang tua, dan

stigma yang melekat pada anak setelah proses pengadilan.

Kasus pidana yang dilakukan seorang anak banyak kalangan menilai tidak

mengindahkan tata cara penanganan terbaik dan demi kepentingan terbaik bagi anak

oleh karena itu pemberian hukuman bukan berarti balas dendam dan jalan terakhir

apabila seorang anak terlibat kasus kejahatan.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan kajian

penelitian dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul “ Batas Minimal Usia

Cakap Hukum Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam“

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Meskipun Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah

berlaku sejak lama, bukan berarti menjadi celah bagi aparat penegak hukum dapat

memperlakukan anak secara tidak baik dan dapat dengan mudah melakukan

penyimpangan terhadap isi aturan yang telah dibuat khususnya dalam menanganii

perkara anak. Agar lebih terarah, maka penulis membatasi masalah yang dibahas

yaitu tentang peninjauan dari perspektif hukum Islam terkait permasalahan anak usia

(17)

Perumusan masalah adalah sebagai berikut:

1). Berapa batas minimal usia seseorang anak dapat bertindak cakap hukum baik

dari hukum Islam dan hukum Positif?

2). Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap ketentuan batasan usia cakap

hukum dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ilmiah bertujuan untuk menemukan mengembangkan

dan menguji kebenaran atas suatu obyek penelitian. Mengembangkan berarti

mengkaji lebih dalam apa yang akan atau sudah ada sedangkan menguji kebenaran

dilakukan jika terdapat kerugian terhadap apa yang akan terjadi yang sudah ada

sebelumnya.

Adapun tujuan yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

1). Untuk mengetahui batas minimal seorang anak yang dapat dikenakannya

sanksi pemidanaan.

2). Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap ketentuan batasan usia

cakap hukum anak dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997.

(18)

●Manfaat Praktis : Sebagai sumbangsih kepada pemerintah dalam menentukan

sebuah kebijakan khususnya yang berkaitan dengan pengadilan anak serta bahan

informasi sekaligus sebagai kontribusi pemikiran tentang usia cakap hukum dalam

perspektif Islam. Sekaligus memberikan jalan keluar mengenai penyelesaian

kasus pidana anak demi kepentingan terbaik bagi anak.

●Manfaat Akademis : Sebagai kesempatan pada penulis untuk menerapkan teori

maupun prinsip hukum baik dari hukum Islam maupun hukum Positif yang telah

dipelajari dalam perkuliahan.

Sebagai perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan

hukum pidana guna bermanfaat bagi mahasiswa pada khususnya dan masyarakat.

Selanjutnya guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Untuk sampai pada rumusan yang tepat terhadap kajian yang dibahas maka

metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian data yang digunakan penulis disini adalah dengan

menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, selanjutnya digunakan

pembahasan deskriptif analisis. Kemudian penelitian ini akan

(19)

research). Pendekatan normatif yakni kajian kepustakaan yang bertujuan

mengeksplorasi dan memahami berbagai konsep yang berkaitan dengan tema

penulis yang dilakukan agar mendapatkan data seluas mungkin dengan

mengacu kepada teori yang sudah dijelaskan pada kajian teoretis.

2. Sumber data

a. Data primer

Perundang-undangan yakni peraturan hukum yang berkaitan dengan topik

yang dibahas dalam penulisan ini yakni Undang-undang No. 3 tahun 1997

tentang pengadilan anak, KUHP dan KUHAP, dalil-dalil yang terdapat

dalam al-Qur’an dan al Hadis.

b. Data sekunder

Data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini mengacu

pada beberapa literature berupa buku-buku hukum yang ada kaitannya

dengan materi yang menjadi pokok masalah yang akan dibahas dan

pengunaan internet.

3. Teknik pengumpulan data

adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yakni :

a. Studi pustaka

Dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah buku-buku yang berkaitan

dengan judul skripsi ini baik berupa peraturan perundang-undangan

(20)

b. Penggunaan bahan dokumen

Dengan menelaah dan memahami objek kajian yang berhubungan dengan

judul skripsi ini.Adapun teknik pengumpulan datanya yaitu melalui

observasi langsung ke objek penelitian.

4. Teknik analisis data

Data skripsi ini menggunakan analisis kualitatif yakni pendekatan isi content

analisis yang menekankan pengambilan dari kesimpulan analisa yang bersifat

deskriptif dan deduktif seluruh data yang diperoleh akan diklasifikasikan dari

bentuk yang bersifat umum kemudian dikaji dan iteliti selanjutnya ditarik

kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan

mengenai data tersebut.

5. Teknik penulisan skripsi

Teknik penulisan skripsi menggunakan buku pedoman penulisan skripsi yang

diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.12

E.Review Studi Terdahulu

“Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam

Madzhab”13 Skripsi ini membahas mengenai batas usia melakukan perkawinan

menurut Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan didalam KHI

12

Tim Penyusun Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulllah Jakarta, 2007

13

(21)

yang menetapkan bahwa usia laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun akan

tetapi di dalam fiqih tidak disebutkan dalam bentuk angka karena agama islam tidak

membatasi usia tertentu dalam melakukan perkawinan oleh karena itu ditinjau

kembali pada dua sudut pandang yang berbeda yaitu dari hukum islam dan hukum

positif.

“ Batas Usia Dewasa untuk Menikah Menurut Undang-undang no. 1 tahun

1974 Ditinjau Dari Segi Hukum Islam”.14 Skripsi ini membahas mengenai tentang

batasan usia dewasa yang dibolehkan untuk menikah menurut Undang-undang No. 1

tahun 1974 ditinjau dari hukum Islam dan apa pandangan tentang aturan tersebut

yang juga merupakan menjadi pembahasan dari MUI se-Indonesia.

“Penetapan Batas Minimal Usia Nikah serta Relevansinya Dengan Pembentukan

Keluarga Sakinah (Studi Kasus Warga Kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan)”.15

Skripsi ini membahas tentang bahwa kematangan fisik atau organ refroduksi

seseorang wanita pada usia 21 tahun keatas yang tidak sesuai dengan usia yang telah

ditetapkan oleh undang-undang serta pernikahan usia muda yang dapat memicu

keretakan rumag tangga dan berakhir pada perceraian dan bagaimana mempersiapkan

diri untuk menikah agar tidak berakhir pada perceraian.

14

Muhammad Syarief Hidayatullah. Batas Usia Dewasa Untuk Menikah Menurut Undang-undang no. 1 tahun 1974 ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi S1 Program Studi Perbandingan madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

15

(22)

Dari berbagai karya tulis diatas seringkali batas usia menjadi fokus masalah

yang menarik untuk dikaji lebih jauh, karena dalam islam bahwa ukuran usia hanya

berdasarkan sifat alamiah. Oleh karena itu penafsiran akan usia seseorang yang dapat

disebut dewasa berbeda-beda pendapat. Sebagai contoh angka usia untuk melakukan

pernikahan hanya berdasarkan pada Undang-undang No. 1 tahun 1974, laki-laki

berusia 19 tahun dan wanita saat berusia 16 tahun. Hanya saja usia yang ditentukan

dalam pernikahan terkait pada bidang hukum perdata semata. Oleh karena itu penulis

melihat sisi lain yang menarik untuk dibahas dalam hal hukum pidana bagaimana

batasan minimal usia cakap hukum bila ditinjau dari perspektif hukum Islam.

F. Sistematika Penulisan

Dalam upaya memudahkan penyusunan skripsi ini serta agar lebih terarah maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

Pada Bab I merupakan bagian Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

Pada Bab II adalah Kajian Teoretis Tentang Mendidik Anak yang akan menjelaskan tentang Pengertian Hadhanah, Hak anak dan Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Mendidik, Tantangan Orang Tua dalam Mendidik Anak.

(23)

Pada Bab IV merupakan Perspektif Hukum Islam Terhadap Batas Minimal Usia Cakap Hukum Anak Dalam UU No.3 Tahun 1997 yang akan menganalisis tentang Ketentuan Batasan Minimal Usia Cakap Hukum Anak dalam UU No. 3 tahun 1997 dan Peraturan lainnya, Batasan Minimal Usia Cakap Hukum Anak dalam Hukum Islam, Perspektif Hukum Islam terhadap Ketentuan UU No. 3 tahun 1997.

(24)

14

A.Pengertian Hadanah

Kata Hadanah berasal dari kata ﺔﻨﻀﺣ yang berarti menempatkan sesuatu

diantara ketiak dan pusar1. Seekor burung betina yang mengerami telurnya diantara

sayap dan badannya disebut juga ﺔﻨﻀﺣ2. Hadanah menurut bahasa berarti meletakkan

sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan. Dalam literatur lain secara etimologi

berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong atau meletakkan

sesuatu dalam pangkuan3. Biasanya sang ibu sering meletakkan anaknya pada

pangkuannya maka dari itu istilah hadhanah digambarkan seperti itu.

Para ulama fiqih mendefinisikan hadanah ialah melakukan pemeliharaan

anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar

tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya

dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya

agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.4 Dalam

literatur fiqh lain hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminology diantaranya :

1

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004. cet IV) h. 391 2

Ibid, h.395

3

DEPAG RI Ilmu Fiqh Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta 1984-1985 h. 206

4

(25)

a.Menurut Muhammad Ibnu Ismail al-shan’ani

“Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan

menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakan”.

b. Menurut Sayyid Sabiq5

“ Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau orang yang kurang berakal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk belum mampu dengan bebas mengurus dirinya sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal supaya menegakkan kehidupan sempurna

dan bertanggung jawab.”

c. Menurut imam Abi Zakaria An-Nawawi

“Menjaga anak yang belum mumayyiz dan belum mampu mengurus kebutuhannya sendiri, mendidiknya dengan hal-hal yang bermanfaat dan

menjaganya dari hal-hal yang membahayakannya”.

Memelihara anak dalam Islam dikenal dengan istilah hadanah. Hadanah

berarti mendidik dan memelihara anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri

untuk mengurus dirinya, agar menjadi manusia yang hidup sempurna dan

bertanggung jawab. Anak yang sah pernikahannya, berarti beban dan tanggung jawab

dipikul oleh kedua orang tuanya. Hadanah dapat diartikan dengan mendidik dan

memelihara. Mendidik dan memelihara disini adalah menjaga, memimpin dan

mengatur segala hal yang anak-anak itu belum sanggup mengatur dirinya sendiri.6

5

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Daar al Fikri, 1983.) jilid 8 h. 228 6

(26)

Dasar hukum Hadanah sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT :

























Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At Tahrim : 6)

Ayat di atas paling tidak mengandung dua pengertian. Pertama, mencintai

harta dan anak merupakan fitrah manusia, karena keduanya adalah perhiasan dunia

yang dianugerahkan Sang Pencipta. Kedua, hanya harta dan anak yang shaleh yang

dapat dipetik manfaatnya. Anak harus dididik menjadi anak yang shaleh (dalam

pengertian anfa’uhum linnas) yang bermanfaat bagi sesamanya.7 Yang dimaksud

memelihara keluarga pada ayat diatas adalah yakni mengasuh dan mendidik mereka.

Sehingga menjadi seorang muslim yang berguna bagi Negara. Disamping itu Allah

SWT memerintahkan untuk memelihara keluarganya dari api neraka dan berusaha

agar seluruh anggota keluarga melaksanakan perintah dan menjauhi

larangan-larangan-Nya termasuk anak.

Pelaksanaan hadanah hukumnya adalah wajib. Apabila anak yang masih

dibawah umur dibiarkan begitu saja dikhawatirkan akan mendapatkan bahaya jika

tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan sehingga anak harus dijaga agar tidak

7

(27)

sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan

dari segala sesuatu yang dapat merusaknya. Menurut Sayyid Sabiq hukum

melaksanakan hadanah terhadap anak adalah wajib sebab apabila mengabaikannya

berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.8

Kewajiban orang tua merupakan hak bagi anak. Menurut Abdurrazak anak

memiliki hak-hak sebagai berikut

1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.

2. Hak anak dalam kesucian keturunan.

3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik.

4. Hak anak dalam menerima susuan.

5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemelihraan.

6. Hak anak dalam pemilikan harta benda/ warisan bagi keberlangsungan hidup.

7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Dari pembagian-pembagian hak-hak anak diatas poin yang sangat

diprioritaskan yakni pembagian tentang hak anak dalam mendapatkan asuhan,

perawatan dan pemeliharaan dan hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran,

sebab ini dapat memiliki akibat-akibat yang penting dalam hukum.

Seseorang yang memiliki rasa kasih sayang, kesabaran, santun dan memiliki

waktu yang cukup dalam kebersamaan dengannya yaitu seorang ibu maka dari itu

8

(28)

Islam menetapkan bahwa wanitalah secara kodrati orang yang tepat dalam

melaksanakan hadanah. Wanita sebagai ibu dari anak-anaknya sebab memiliki

sifat-sifat khusus seperti : sifat-sifat halus, lemah lembut, pemurah, penyantun, penyayang.

Seorang ibu lebih baik dalam melaksanakan hadanah, karena kekhususan sifat

yang dimilikinya. Selama anak belum mampu memilih untuk ikut ayah atau ibu bila

terjadi perceraian. Menurut mazhab Hanafi dalam masa hadanah (asuhan) ini

berlangsung selama 7 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan ketika kelak

mereka mencapai usia akil baligh.

Dengan demikian seorang ibu paling memungkinkan memberikan pendidikan,

perawatan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang terhadap anak-anaknya yang

semua itu dilakukan dengan ikhlas, sabar dan penuh tanggung jawab. Oleh karena itu

seorang ibu harus memberikan peranan yang baik dalam membentuk perilaku dan

perbuatan seorang anak hingga memasuki tahapan baligh mereka sudah dapat

memahami dan mengerti mana perbuatan baik dan perbuatan jahat. Maka dengan

begitu anak yang dididik sejak kecil dengan pemahaman dan rasa kasih sayang

(29)

B.Hak Anak dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik

Keberhasilan dalam suatu keluarga dalam mengantarkan anak-anaknya dalam

menggapai cita-citanya sebenarnya tidaklah mudah, banyak kendala dan hambatan

yang dihadapi oleh orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab. Bapak adalah

bertugas dan berkewajiban mencari nafkah untuk membiayai hidup anak dan isterinya

sedangkan ibu adalah orang yang bertugas dan bertanggung jawab dalam mengasuh,

mendidik, dan membimbing anaknya agar tidak terjerumus pada perbuatan jahat

disamping bapaknya. Islam pun telah menggariskan tugas masing-masing antara ibu

dan bapak.

Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia dan UNICEF menegaskan

bahwa perawatan ini dalam istilah fiqh disebut dengan Hadanah yaitu menjaga,

merawat dan memelihara anak yang belum mampu memelihara kepentingannya

sendiri sebagi upaya dalam rangka membina kesejahteraan dan kemaslahatan anak.9

Hak-hak anak dalam tanggung jawab ibu adalah hak perawatan dan pendidikan.

Perawatan adalah salah satu aspek dasar dari pemeliharaan kelangsungan hidup

seorang anak.

Perawatan kesehatan mental yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya

berarti pula penanaman pendidikan kesehatan dan mental anak secara tidak langsung,

maka segala usaha ibu dalam memelihara badan dan merawat jiwa anak dari segala

9

(30)

macam gangguan baik lahir maupun bathin akan menjadi bekal bagi anak-anak dalam

menuju pertumbuhan dan perkembangan pisik dan psikisnya dikemudian hari.

Keberhasilan pendidikan seorang anak didalam suatu rumah tangga adalah

tanggung jawab bersama. Namun seorang ibu paling berperan penting dalam

mendidik anak-anaknya di rumah, sebab ia memiliki banyak waktu luang untuk

belajar bersama dan memberikan pemahaman nilai-nilai moral yang baik sehingga

menjauhkan perilaku seorang anak dari perbuatan buruk seperti berbohong, mencuri,

sombong dan berlaku kasar terhadap adiknya. Maka seorang ibu memiliki kewajiban

memenuhi hak pendidikan atas anaknya.

Dengan pendidikan, anak akan dapat mengembangkan potensi-potensi dan

bakat yang ada pada dirinya. Sehingga ia akan menjadi generasi-generasi yang kuat,

kuat dari faktor psikologis maupun fisiologis. Seorang anak merupakan generasi

penerus dari generasi sebelumnya. Setiap generasi ke generasi akan memiliki

pengaruh yang ditimbulkan dari generasi sebelumnya, generasi yang lemah akan

mewariskan kelemahan kepada generasi berikutnya begitu juga dengan generasi yang

kuat akan mewariskan kekuatan kepada generasi sesudahnya. Dengan memenuhi hak

anak atas pendidikan diharapkan akan menjadi generasi yang kuat yang dapat

mewariskan kekuatan pada generasi berikutnya.

(31)













Artinya :dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.(QS. An Nisa : 9)

Abdul Nashih Ulwan menguraikan tentang tanggung jawab para pendidik

terhadap anak didik itu terbagi manjadi 5 bagian yakni :

1. Tanggung jawab pendidikan iman.

2. Tanggung jawab pendidikan akhlak.

3. Tanggung jawab pendidikan pisik.

4. Tanggung jawab pendidikan intelektual.

5. Tanggung jawab pendidikan psikis.10

Disamping itu sejak dini anak harus diajarkan dan dididik harus berbuat pada :

a) Mengajarkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sehingga ia sudah

terbiasa berbuat dan selalu mengingat penciptanya.

b) Mengenalkan hukum halal dan haram dalam melakukan perbuatanya.

c) Menyuruh anak untuk beribadah diusia 7 tahun dan memukulnya diusia 10

tahun.

d) Mendidik anak untuk mencintai Rasul dan ahlul baitnya.

10

(32)

Penanaman keimanan pada Allah SWT merupakan pendidikan yang paling

prinsip sebab akan mewarnai seluruh corak kehidupan anak bahkan pendidikan ini

merupakan pondasi dari keseluruhan bidang pendidikan lainnya yang dilaksanakan

pada anak. Setelah pendidikan iman yang kedua adalah pendidikan akhlak yang

paling meresap dalam jiwa anak adalah keteladanan dan tingkah laku yang baik dari

figur seorang ibu. Sebab tanpa keteladanan yang baik akan sulit membiasakan prilaku

baik seorang anak. Banyak contoh perbuatan baik / akhlak mahmudah yang dapat

diajarkan kepada anak, namun yang perlu mendapat perhatian besar dari seorang ibu

pada khususnya diantaranya :

a. Membiasakan berbuat baik kepada bapak dan ibu dengan sikap

menghormati, mendoakan, mematuhi perintahnya.

b. Tidak mudah marah, sabar dan tidak sombong.

c. Membiasakan berlaku adil dalam setiap perbuatan jujur taqwa dan

tanggung jawab.

d. Menanamkan sifat saling menghargai dan menghormati satu sama lain.

Kewajiban berbuat baik kepada orang tua adalah akhlak yang mulia serta

merupakan ajaran syariat Islam yang harus dipatuhi dan diajarkan, akan tetapi

kebanyakan umat pada umumnya lupa dan kadang-kadang melalaikan kewajiban ini.

Melatih sifat penyabar dan tidak mudah marah adalah suatu perbuatan yang sangat

dianjurkan dalam Islam. Penanaman sifat jujur, takwa dan tanggung jawab dimana

(33)

Tanggung jawab pisik meliputi; pertama memilihkan makanan, memenuhi

kebutuhan hidup si anak, sebab makanan halal berarti yang diperbolehkan dalam

Islam baik dari cara mendapatkannya maupun jenis makanannya itu sendiri. Kedua

menghindari penyakit dengan cara selalu membiasakan diri hidup bersih baik dalam

pakaian, perabotan lingkungan dan fasilitas yang dimilikinya. Ketiga

mengembangkan bakat minat dan keterampilan yang dimiliki anak. Sejak kecil orang

tua dapat memperhatikan dan mengetahui bakat yang diminati dan dimiliki seorang

anak, kemudian mengikutsertakan dalam organisasi keterampilan, guna melatih bakat

dan kemampuannya.

Tanggung jawab intelektual / pendidikan akal bahwa upaya didalam

menumbuh kembangkan akal itu dapat dilakukan dengan memberikan pengertian dan

kenyataan baru kepada anak karena bertambahnya pengetahuan maka akalnya akan

tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain itu memberikan latihan yang baik dan

bermanfaat bagi anak dengan adanya latihan merangsang otak dapat berpikir dan

menemukan jawaban. Menempatkan anak pada lembaga pendidikan seperti sekolah

dapat melatih dan mengasah otaknya untuk dapat memahami dan mengerti ilmu

pengetahuan.

Akal merupakan sumber hikmah sumber hidayah cahaya mata hati dan media

kebahagian manusia di dunia dan akhirat.11 Dengan akal kita dapat mengkaji

al-Qur’an untuk disampaikan perintah-Nya, maka itu pula manusia berhak menjadi

11

(34)

pemimpin dimuka bumi ini. Adanya akalnya tersebut pun manusia menjadi makhluk

yang sempurna, mulia dan berbeda dengan makhluk lainnya :





















Artinya :Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di

daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S al Isra : 70)

Tanggung jawab terhadap pendidikan psikis. Faktor penting yang harus

dihindari anak ini adalah sifat-sifat minder, penakut, hasud dan marah. Sifat minder

ini merupakan faktor keturunan anak-anak yang bergaul akan lebih merasa percaya

diri dibandingkan anak yang tertutup yang tidak suka bergaul. Bersilahturahmi dapat

bertujuan mengajarkan pada anaknya agar dapat berteman satu sama lain dan bergaul

dengan teman sebayanya.

Tanggung jawab orang tua terhadap anak merupakan perwujudan atas hak-hak

yang dimiliki oleh seorang anak, karena itu orang tua harus mampu berperan.

Sebagaimana yang diharapkan oleh peraturan dan kasih sayang orang tua terhadap

anak. Tanggung jawab orang tua terhadap anak diatur dalam Konvensi PBB,

Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Undang-Undang-undang No. 4 tahun 1979 yakni sebagai

(35)

Dalam Konvensi PBB tentang hak-hak anak hanya terdapat satu peraturan

tentang tanggung jawab orang tua terhadap anak yakni orang tua bertanggung jawab

untuk membesarkan dan membina anak.Negara mengambil langkah membantu orang

tua yang bekerja agar anak mendapat fasilitas dan perawatan.12

Kemudian dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 mengatur tentang

tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam Bab X pasal 45 – 49 sebagai berikut :

a.) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya. Kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat

berdiri sendiri, dan berlangsung terus menerus meskipun perkawinan

kedua orang tua putus.

b.) Orang tua mewakili anak dibawah kekuasaannya, mengenai segala

perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan.

c.) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau memindahkan

barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur sampai

18 tahun atau belum menikah.

d.) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap

berkewajiban untuk memberi biaya pendidikan kepada anaknya.

Apabila orang tua dicabut kekuasaannya karena akibat perceraian maupun

terbukti melalaikan tanggung jawabnya, tidak menghapuskan kewajiban orang tua

12

(36)

yang bersangkutan untuk membiayai, menghidupi, memelihara, dan mendidik

anaknya sesuai dengan kemamampuannya.13

Selanjutnya dalam Undang-undang No. 4 tahun 1979 tanggung jawab orang

tua terhadap anak diatur dalam Bab II pasal 9 dan pasal 10, yang menyebutkan bahwa

orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya

kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Oleh Karena itu orang

tua sangat bertanggung jawab sekali terhadap anak dalam hal memelihara,

membiayai, menghidupi dan mendidik anak sejak ia masih berada dalam kekuasaan

orang tua dan sampai ia telah berumur 18 tahun atau telah menikah, hingga

menjadikan seorang anak yang telah berdiri sendiri (mampu menikah) dan

membentuk keluarga kecil dengan orang lain.

Keberhasilan dalam suatu keluarga dalam mengantarkan anak-anaknya ke

target yang ingin dicapai, sebenarnya merupakan tanggung jawab kedua orang tua.

Oleh karena itu sudah sepantasnya lah terjadinya pembagian peranan pada orang tua.

Ayah yang berkewajiban mencari nafkah untuk membiayai anak dan isterinya yang

sekaligus menjadi kepala rumah tangga. Pihak yang paling banyak waktu dan

kesempatan di rumah adalah seorang ibu, maka ibu lah yang lebih dekat memberikan

kasih sayang, pengasuhan dan pengawasan. Ayah pun turut serta membantu peran ibu

karena dalam saat-saat tertentu ia dapat menangani masalah yang tidak bisa dihadapi

ibu tentang masalah anak-anaknya.

13

(37)

C.Tantangan Orang Tua Dalam Mendidik Anak

1.) Faktor dari dalam diri orang tua

Anak adalah karunia Allah SWT yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Ia

menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Ketika beranjak dewasa anak dapat

menampakkan wajah manisnya, santun, berbakti pada orang tua, berprestasi di

sekolah, dan bergaul dengan baik pada lingkungan masyarakat, tapi di lain pihak.

Perilakunya semakin tidak terkendali berubah menjadi bentuk kenakalan anak dan

orang tua pun semakin cemas memikirkannya. Seperti yang banyak kita jumpai

dalam kehidupan sehari-hari munculnya perlakuan pembangkangan anak terhadap

orang tua.14 Hal ini sehingga menjadikan kurang wibawanya seorang ibu.

Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak,

bahkan sejak masih dalam kandungan. Jika anak sejak dini telah mendapat

pendidikan Islami insya Allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah

dan Rasulnya dan berbakti kepada orang tua. Kita sebagai umat Islam hendaklah

mendidik dan memelihara anak sejak dini dengan pembekalan nilai-nilai Islami, kelak

ia tumbuh dewasa dan besar telah mengenal dan menyakini Allah sebagai tuhannya

dan membiasakan dirinya melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Kita tentu mengetahui upaya dalam mendidik anak sering mengalami kendala,

tidak semudah seperti membalikkan kedua tangan. Perlu disadari disini betapun

14

(38)

beratnya kendala hendaklah orang tua bersabar dan menjadikan kendala tersebut

sebagai ujian dan tantangan. Dalam mendidik anak setidaknya ada dua macam

tantangan dimana faktor itu ada yang bersifat internal dan eksternal. Sumber

tantangan internal yang utama adalah orang tua itu sendiri.15 Dan tantangan eksternal

berasal dari pengaruh lingkungan sosial masyarakat.

Islam telah menggariskan bahwa pengembangan kepribadian anak haruslah

berimbang antara pikiran, ruhaniyah, dan jasadiyah. Keteladanan akhlak dari seorang

ibu sangat erat kaitannya dengan pengetahuan yang dimiliki ibu. Jika kita telaah

seorang ibu yang tidak berpengetahuan dan tidak mau mengembangkan diri

bersama-sama dengan berkembangnya pengetahuan anak, sangat mungkin figur seorang ibu

kurang atau bahkan mungkin tidak berwibawa dimata anak-anaknya.

Oleh karena itu meningkatkan pengetahuan seorang ibu sangat diperlukan

dalam menghadapi putra putrinya misalnya pengetahuan dalam keagamaan dan

pendidikan. Bila ditakdirkan anak menjadi seorang yang pandai kelak si ibu harus

tetap menyiraminya dengan siraman rohani keagamaan agar si anak tidak keluar dari

jalan yang benar. Anak akan tumbuh sesuai kebiasaannya yang telah dilakukan secara

rutin dalam kehidupan sehari-hari.

Kita mengetahui apabila anak dibimbing dan diajarkan tentang kebaikan,

maka ia akan tumbuh menjadi anak yang berakhlak baik dan menjadi anak yang

15

(39)

berguna bagi siapa saja. Namun sebaliknya jika anak tumbuh tanpa ada orang yang

membimbing pada kebaikan, tidak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang

layak maka besar kemungkinan ia akan tumbuh menjadi orang yang berakhlak buruk

dan menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat lingkungannya. Ibu yang

berpengetahuan dan yang tidak berpengetahuan akan terdapat perbedaan dalam

mendidik anak-anaknya.16 Hasil pendidikan yang diterima anak-anaknya pun berbeda

pula. Oleh karena itu agar anak menjadi orang yang berakhlak baik maka orang tua

wajib mendidik dan membimbingnya dengan penuh kesabaran dan keuletan.

Penting kita sebagai orang tua seharusnya mengajarkan anak tentang apa saja

yang termasuk perilaku baik dan perilaku tidak baik. Dengan demikian mereka dapat

memahami dan membedakan antara yang baik dan buruk sehingga ia tidak tertarik

untuk melakukan perbuatan buruk yang dapat merugikan dirinya, keluarga dan

masyarakat sekitar.

2.) Faktor yang datang dari luar

Seperti seorang ibu yang menjadi wanita karir. Persoalan dasar yang perlu kita

perhatikan adalah keterlibatan wanita pada segala bidang pekerjaan laki-laki apakah

dengan perannya seorang ibu yang menjadi wanita karir tidak melupakan kodratnya

sebagai wanita. Sebagaimana kita ketahui seorang ibu berperan sebagai orang tua

16

(40)

yang mendidik, mengasuh, memelihara dan mengayomi anak-anaknya sejak lahir

sampai si anak dapat mengurus sendiri kebutuhannya.

Seorang ibu merupakan tonggak bagi keberhasilan anak-anaknya dan juga

penting dalam mendidik anaknya agar berakhlak baik dan jangan sampai terjerumus

pada tindak pidana yang dilakukannya. Jadi eksistensi ibu dalam kehidupan keluarga

dengan instingnya serta kesadaran yang tumbuh dari dalam dirinya sebagaimana yang

telah ditakdirkan oleh Allah SWT merupakan sumbangan yang berharga bagi putra

dan putrinya.17 Secara fitrah bila kita tinjau laki-laki dan wanita berbeda dari fisik dan

psikologis atau dalam hal kesigapan. Perbedaan diantaranya adalah :

1. Secara psikologis wanita lebih halus, lentur dan lunak sehingga mampu

mengikuti perilaku anakanaknya dan bersabar dalam mengendalikan emosi

dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

2. Laki-laki secara psikologis lebih kuat dan lebih gesit sehingga ia lebih cepat

melakukan tindakan dan mampu melakukan perjuangan dalam mengatasi

kesulitan dan kemelut serta mampu mempertahankan eksistensi diri dan

keluarga dan menangkis ancaman dari luar terhadap diri dan keluarga.

3. Laki-laki sebagai kepala keluarga yang berperan penting dalam mencari

nafkah bagi anak dan isterinya maka dari itu si ibu tak perlu lagi menjadi

wanita karir. Sudah selayaknya dan kewajiban sang suami untuk memberikan

17

(41)

nafkah bagi keluarga kecilnya disamping itu melakukan pengawasan atas

tingkah laku isteri dan keluarganya. 18

Secara prinsip seorang ayah adalah pemimpin bagi keluarganya sebagaimana

dalam firman-Nya :



































Artinya:Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(Q.S an Nisa : 34)

Dalam Islam ibu memiliki batas-batas tertentu didalam perannya apabila ia

ingin bekerja menggantikan peran suami yaitu :

a. Sepanjang yang dibenarkan oleh ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban bagi

ibu menurut hukum islam dan peraturan yang berlaku.

18

(42)

b. Bagi seorang ibu yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah hal ini mutlak

harus ada izin dari suami, disamping itu tetap melakukan pengawasan bagi

putra dan putrinya dalam membina akhlak dan perbuatannya.

c. Selalu menjadi ibu yang sangat peduli bagi anak-anaknya dikala mereka suka

dan duka dan menjadi tempat curhat untuk anak-anaknya dikala menemui

masalah.

d. Tidak menggangu dan menelantarkan bahkan melupakan fungsi utama di

dalam sebuah keluarga kecilnya, guna mencapai kehidupan yang harmonis

dan bahagia. 19

Tantangan eksternal pun juga sangat berpengaruh dan lebih luas lagi

cakupannya. Tantangan pertama bersumber dari lingkungan rumah. Informasi yang

yang didapat melalui interaksi dengan teman bermain dan kawan sebayanya sedikit

banyak akan terekam. Lingkungan yang tidak Islami dapat melunturkan nilai-nilai

religius yang telah ditanamkan di rumah.

Yang berikutnya adalah lingkungan sekolah. Bagaimanapun juga guru-guru

sekolah tidak mampu mengawasi anak didiknya setiap saat. Interaksi anak dengan

teman-teman sekolahnya apabila kita tidak pantau di rumah bisa berdampak negatif.

Sehingga memilihkan sekolah yang tepat untuk anak sangatlah penting demi

terjaganya akhlak sang anak, seperti pesantren yang banyak mengajarkan nilai-nilai

19

(43)

islami. Anak-anak Muslim yang disekolahkan di tempat yang tidak islami akan

mudah tercemar oleh pola pikir dan akhlak yang tidak baik sesuai dengan pola

pendidikannya.

Disamping itu peranan media massa sangat pula berpengaruh. Informasi yang

disebarluaskan media massa baik cetak maupun elektronik memiliki daya tarik yang

sangat kuat. Begitu banyak media massa yang menampilkan hiburan atau tontonan

yang kurang mendidik anak sehingga dapat mempengaruhi perilaku seorang anak

berakibat melunturkan nilai-nilai yang mereka peroleh dari agama dan keluarga. Jika

orang tua tidak mengarahkan dan mengawasi dengan baik, maka si anak akan

menyerap semua informasi yang ia dapat, tidak hanya yang baik bahkan yang dapat

(44)

34

A. Pengertian Anak

Pengertian anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak

membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya

karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak

mungkin dapat mencapai taraf kemanusian yang normal. Menurut John Locke anak

adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang

berasal dari lingkungan. 1

Anak merupakan bagian dari keluarga dan keluarga memberi kesempatan bagi

anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik

dalam kehidupan bersama. Disamping itu, anak juga dapat ditinjau dari berbagai

aspek seperti aspek hukum, aspek sosial dan juga aspek biologis.

1. Anak ditinjau dari aspek hukum positif Indonesia

Dalam Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pasal 1 dan

2 dirumuskan sebagai orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8

tahun sampai 18 tahun dan belum pernah menikah.2

Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan atau pun pernah kawin dan

telah bercerai, apabila si anak sudah pernah menikah sebelum atau perkawinannya

1

Suryabrata Sumadi, Perkembangan Alat Ukur Psikologis, (Yogyakarta : Andi, 2000) h.55 2

(45)

terputus akibat perceraian maka si anak dianggap telah dewasa meskipun umurnya

belum genap 18 tahun.

Dalam pasal 1 ayat (1) undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.3 Sedangkan dalam pasal 45

KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum mencapai usia 16

tahun, maka dari itu apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh

memerintahkan supaya si terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau

pemeliharanya atau memerintahnya supaya diserahkan kepada pemerintah tanpa

pidana apapun.4 Ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP sudah dihapuskan dengan

lahirnya Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Menurut hukum adat yang berlaku di Indonesia, dikatakan anak adalah

mereka yang belum menunjukan tanda fasis yang konkrit, bahwa ia telah dewasa.

Dalam hukum adat seseorang dapat dikatakan dewasa ditunjukan secara biologis saja.

Bahkan menurut adat jawa seseorang dianggap dewasa kalau ia sudah dapat mandiri

seperti sudah menikah atau hidup berumah tangga.

2. Anak ditinjau dari aspek sosial

Badan Koordinasi Nasional untuk Kesejahteraan Keluarga dan Anak

(BKKBN) sebagai suatu lembaga yang beranggotakan wakil-wakil dari departemen,

3

Lihat pada UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 4

(46)

lembaga swadaya masyarakat serta badan sosial swasta memberikan pendapatnya

tentang batas usia anak dibawah umur yakni :

« untuk menentukan perlakuan yang tepat terhadap remaja nakal demi

kepentingan statistik perlu penentuan batas umur terhadap remaja yaitu mereka yang

telah mencapai usia 13 sampai 17 tahun ».5

Berdasarkan hal diatas, bahwa saat memasuki usia remaja seseorang harus

lebih matang pemikirannya dalam menghadapi masalah-masalahnya juga

berpandangan realistis, karena dalam akhir keremajaan mempunyai arti yang sangat

penting bagi seorang anak sebab masa ini merupakan jenjang terakhir bagi anak

untuk memasuki masa dewasa. Proses pendewasaan biasa dimulai dengan adanya

pemahaman terhadap nilai-nilai moral dan perwujudan sosial.

Jadi menurut badan ini yang digolongkan anak adalah mereka yang telah

mencapai usia 13 sampai 17 tahun. Badan ini juga menyebutkan umur 20 tahun

dikategorikan sebagai umur menjelang dewasa, sedangkan pada umur 21 tahun orang

sudah dianggap dewasa penuh.

3. Anak ditinjau dari aspek biologis

Jika dilihat dari segi biologis, terdapat istilah bayi, anak, remaja, pemuda dan

dewasa.6 Kita dapat mengklasifikasikannya menjadi beberapa tahapan pertumbuhan

5

Badan Koordinasi Nasional Kesejahteraan Keluarga dan Anak, Pola Penanggulangan Kenakalan Remaja Indonesia, (Jakarta: BKKBN, 1972.) h. 3

6

(47)

a. Bayi : usia 0-1 tahun

b. Anak : usia 1-12 tahun

c. Remaja : usia 12-15 tahun

d. Pemuda : usia 15-30 tahun

e. Dewasa : usia 30 tahun keatas

Dari segi biologis lebih ditekankan pada perubahan fisik seseorang. Zakiah

Darajat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan remaja adalah salah satu dari

unsur manusia yang paling banyak mengalami perubahan, sehingga membawanya

pindah dari masa anak menuju masa dewasa, perubahan yang terjadi meliputi segi

segi kehidupan manusia yaitu jasmani, rohani, pikiran, perasaan, dan sosial.

Biasanya dimulai perubahan jasmani yang menyangkut segi seksual, biasanya

terjadi pada anak diumur 13-14 tahun. Perubahan itu disertai dan diiringi oleh

perubahan-perubahan lain yang berjalan sampai umur 20 tahun karena itu masa

remaja dapat dianggap terjadi antara umur 13 dan 20 tahun. Masa muda dimulai pada

usia 12 tahun dan berakhir di usia 15 tahun. Walaupun dari segi biologis seorang

anak lebih ditekankan pada perubahan fisik. Namun hal ini masih menyangkut

aspek-aspek lainnya seperti tingkat intelektualitasnya, perasaan, rohani dan lainnya. Usia

remaja ini merupakan masa transisi dimana seorang anak masih memiliki sikap

emosional yang labil dalam upaya mencari jati diri yang sebenarnya, maka dari itu

(48)

B. Kecenderungan Kenakalan Anak

Istilah kenakalan anak pertama kali ditampilkan pada badan peradilan di

Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu undang-undang peradilan

negara bagi seorang. Kenakalan anak berasal dari istilah Juvenile Deliquency yang

tersusun dari kata Juvenile artinya anak-anak, anak muda dan Delinquency yang

artinya terabaikan yang kemudian diperluas lagi menjadi jahat, criminal, asocial,

pelanggar aturan, pembuat ribut. Oleh karena itu kenakalan anak biasa disebut

dengan istilah Juvenile Deliquency.7 Menurut pendapat Prof. Dr. Romli Atmasasmita

sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Gultom, SH., MHum. dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Juveniledelinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di

suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai

perbuatan yang tercela.8

Menurut Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan

perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan

perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam

masyarakat yang bersangkutan.

7

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama 2006. cet. I) h. 9

8

(49)

Kenakalan anak bukanlah suatu pengertian yang sederhana. Sebagaimana

diketahui ada beberapa macam definisi tentang juvenile delinquency oleh berbagai

ilmuan yakni :

Menurut Kartini kartono yang disebut juvenile delinquency adalah perilaku

jahat atau kejahatan merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak

dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu

mengembangkan bentuk pengabaian, tingkah laku yang menyimpang.

R. KusumantoSetyonegoro dalam hal ini mengungkapkan pendapatnya antara

lain adalah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan

pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik oleh suatu lingkungan

maysrakat atau hukum yang berlaku disuatu masyarakat yang berkebudayaan

tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak maka sering tingkah laku serupa itu

disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent

atau preadolescent maka tingkah laku itu sering disebut delikuen dan jika ia telah

dewasa tingkah laku ia seringkali disebut psikopatik dan jika terang terangan

melawan hukum disebut kriminal.

Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan juvenile delinquency ialah

setiap perbuatan atau tingkah laku anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin

yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat

membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.9 Kenakalan anak

berarti hal yang berbeda bagi individu-individu yang berbeda dan ini berarti

9

(50)

hal yang berbeda bagi kelompok-kelompok yang berbeda. Kenakalan anak adalah

gejala sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan pengabaian sosial sehingga

Referensi

Dokumen terkait

Terkait dengan batas kecakapan hukum, dua konsepsi hukum yaitu hukum positif dan hukum Islam memiliki beberapa titik singgung yang sama serta beberapa tolak ukur yang

terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu

Anak Nakal adalah: Anak yang melakukan tindak pidana; atau Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan

(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana

Bahwa dengan alasan tersebut di atas maka frasa ” Menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan” dimaksud bertentangan dengan

Anak Nakal adalah: Anak yang melakukan tindak pidana; atau Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan

Menurut Hukum Indonesia, “perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah

11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 2 huruf a yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun