48 LAMPIRAN I
Sinopsis Padan Batak Toba dalam Novel Senja Kaca Karya Almino Situmorang
Dahulu di suatu tempat ada dua keluarga yang berhubungan baik dan
dekat. Keluarga itu bernama Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali. Kedua istri dari keluarga tersebut sedang hamil tua dan akan segera melahirkan. Pada suatu
hari, Bapak Nainggolan Parhusip dan bapak Siregar Silali kemudian pergi ke danau Toba untuk menangkap ikan. Pada saat kedua bapak tersebut pergi, ternyata istri dari Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sama-sama akan melahirkan.
Maka terjadilah persalinan dan kedua bayi dari istri Nainggolan Parhusip dan istri Siregar Silali lahir dengan selamat. Bayi yang dilahirkan oleh istri Nainggolan
Parhusip berjenis kelamin laki-laki dan bayi yang dilahirkan oleh istri Siregar Silali berjenis kelamin perempuan. Karena istri Siregar Silali tidak puas dengan anak perempuan yang dilahirkannya, maka ia pergi kepada istri Nainggolan
Parhusip untuk menukarkan bayinya. Entah bagaimana, mereka sepakat untuk saling menukarkan bayi mereka sehingga bayi laki-laki tersebut menjadi milik
istri Siregar Silali dan bayi perempuan menjadi milik istri Nainggolan Parhusip. Saat kedua istri itu menukarkan anak mereka, tiba-tiba terdengarlah guntur yang sangat keras pada siang hari. Bapak Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali yang
berada di danau Toba terkejut mendengar suara guntur tersebut. Mereka segera pulang ke rumah karena takut terjadi apa-apa dengan istri dan bayi mereka. Saat
49
sehingga membuat dirinya bingung. Saat itu jugalah, istrinya ketakutan dan menceritakan dengan jujur bahwa anak itu bukanlah anaknya melainkan anak dari
Siregar Silali. Bapak Nainggolan Parhusip terkejut dan menjadi kecewa. Segera ia pergi ke rumah bapak Siregar Silali. Ketika sampai di rumah bapak Siregar Silali,
bapak Nainggolan Parhusip langsung memberitahukan kejadian yang sebenarnya bahwa anak laki-laki yang berada di rumahnya bukanlah anak yang dilahirkan
istrinya. Kemudian bapak Nainggolan Parhusip langsung mengucapkan sebuah sumpah yang disebut dengan padan kepada bapak Siregar Silali bahwa mereka akan menjadi seorang saudara dan anak mereka tidak boleh menikah. Bapak
Siregar Silali langsung lemas mendengar sumpah tersebut namun ia tidak bisa berbuat apa-apa karena semuanya telah menjadi bubur. Sumpah yang sudah
50 LAMPIRAN II
DAFTAR INFORMAN
1) K. Siregar Silali. 61 Tahun. Lobu Tangga, Desa Silali Toruan, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Wawancara pada Tanggal 23 Juli 2015.
51 Lampiran III
Biografi Pengarang
Nama Almino Situmorang adalah nama yang diberikan oleh ayahnya. Nama tersebut berasal dari kata ’all mine’. Beliau biasa dipanggil dengan Mino. Sewaktu kecil, beliau terobsesi dengan dongeng-dongeng
Hans Christian Anderson. Beliau diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Bogor tanpa ujian seleksi masuk, tetapi kemudian karena merasa tidak menemukan jurusan yang diinginkan, maka beliau mengambil UMPTN dan
diterima di Universitas Indonesia, lalu mendapatkan beasiswa program pertukaran mahasiswa ke Soka University, Tokyo.
Beliau menulis puisi dan draf cerpen sejak SMP namun baru berani mengirimkan ke media setelah SMA, dan cerpennya dimuat pertama kali di surat
kabar. Semasa kuliah, cerpennya dimuat di majalah Anita Cemerlang, dan setelah bekerja mulai sering menulis cerpen untuk majalah Femina.
Sekarang beliau tinggal di Selatan Jakarta dengan suami tercinta, Martua
Sianipar serta kedua anak mereka, Helena dan Evan. Novel-novelnya yang sudah terbit adalah Kau Tak Perlu Mencintaiku, Karena Ku Tahu Engkau Begitu,
SPARKS: Terkepung Tiga Cinta, SPRING. Novel SPLASH adalah novel ketiga
45
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, Julius. 2006. Cinta Rasional. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).
Dwityandhari, Kartika. 2012. ”Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan Rumah Retret di Yogyakarta”. (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Widyatama.
Firdaus, Zulfahnur Z. 1986. Analisis dan Rangkuman Bacaan Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hendra Sitorus, Raymond. 2012. ”5 Perkawinan yang Dilarang oleh Adat Batak” (Online). (https://raymondsitorus.wordpress.com/2012/08/05/5-perkawinan-yang-dilarang-dalam-adat-batak/). Diakses Tanggal 19 Maret 2015, Pukul 12.13 WIB.
Hutauruk, Maridup. 2011. ”Maukah Anda Menjadi Anak Haram?” (Online).
(https://hutaurukbona.files.wordpress.com/2011/05/maukah-anda-menjadi-anak-haram-hutauruk-bona.pdf). Diakses Tanggal 26 Oktober 2014, Pukul 22.10 WIB.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan. 2003. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Nugraha, Boyke Dian. 2010. It’s All About Sex A-Z Tentang Sex. Jakarta: Bumi Aksara.
Parhusip, Maria Novelita. 2011. ”Gambaran Konflik pada Individu yang Menikah Semarga Suku Batak Toba”. (Skripsi). Medan: Fakultas Psikologi USU.
Pujiati, Sri. 2014. ”Gambaran Perilaku Pacaran Remaja di Pondok Pesantren Putri
K.H Sahlan Rosjidi UNIMUS”. (Skripsi). Semarang: Fakultas Keperawatan
46
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan Dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Sinaga, Richard. 2008. Silsilah Marga-Marga Batak. Jakarta: Penerbit Dian Utama.
Situmorang, Almino. 2012. Senja Kaca. Yogyakarta: Sheila, Imprint Andi Offset.
Sukmadiarti. 2011. ”Kepuasan Pernikahan pada Pasangan yang Menikah dengan
Pacaran dan Tanpa Pacaran (Ta’aruf)” (Skripsi). Medan: Fakultas Psikologi USU.
Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan Massa. Bandung: Penerbit ITB.
Tambun, Rimson. 1995. Hukum Adat Dalihan Na Tolu. Medan: MITRA Medan.
Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya. Bandung: Penerbit Tarsito.
Tantawi, Isma. 2014. Bahasa Indonesia Akademik. Bandung: Citapustaka Media.
Vergouwen, J.C. 1986. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
47
Internet:
https://id.wikipedia.org/wiki/PomparAn_ni_Raja_Nai_Ambaton. Diakses Tanggal 9 September 2015, Pukul 23.03 WIB.
http://www.gobatak.com/5-perkawinan-yang-dilarang-adat-batak-toba/. Diakses Tanggal 10 Agustus 2015, Pukul 19.20 WIB.
17 BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Tenik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Dalam hal ini, (Endraswara, 2006:10) menjelaskan tentang dua perbedaan perspektif dalam penelitian budaya yaitu perspektif kualitatif dan
perspektif kuantitatif. Kedua perspektif tersebut merupakan cara untuk memandang fenomena budaya. Umumnya, gagasan penelitian kualitatif lebih cocok bagi penelitian humaniora, seperti bidang sosial, sastra, seni, dan budaya.
Titik penting kualitatif adalah penelitian yang menggunakan deskripsi lewat kata-kata. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Endraswara, 2006:85-86) menyatakan
bahwa kajian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selain itu, penulis menggunakan metode Hermeneutik. Menurut
Pradopo (dalam Tantawi, 2014:110), Hermeneutik adalah membaca novel kajian dengan cara memahami konvensi-konvensi yang berlaku terhadap sebuah karya
sastra, terutama konvensi sastra dan budaya sedangkan heuristik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan struktural bahasanya. Dalam memeroleh data yang berkaitan dengan penelitian ini, penulis menggunakan berbagai sumber data
18 3.1.1 Novel
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak digemari
masyarakat penikmat karya sastra. Aspek terpenting dari sebuah novel adalah menyampaikan cerita. Novel tidak hanya sebagai hiburan semata, tetapi juga
sebagai bentuk seni yang mempelajari dan menyelidiki segi kehidupan dan nilai-nilai baik dari kehidupan, serta memberi rangsangan terhadap tingkah laku yang
baik dan berbudi (Firdaus, 1986:103-108). Peneliti menggunakan novel Senja Kaca karya Almino Situmorang sebagai data primer (data pertama) mengenai
padan marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali.
3.1.2 Informan
Penelitian ini bersumber kepada informan yang bermarga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sebagai data sekunder (data kedua) untuk mengetahui informasi lebih banyak dan terarah mengenai padan marga Nainggolan Parhusip
dan Siregar Silali yang terjadi di masa lampau. Sumber informan yang akan diwawancarai adalah informan yang berasal dari Kecamatan Muara, Kabupaten
Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
3.1.3 Studi Kepustakaan
Penelitian ini juga bersumber pada buku-buku yang berkaitan dengan sastra, budaya Batak Toba, dan teori yang bersumber dari perpustakaan untuk
19 3.2 Sumber Data
Spesifikasi sumber data yang digunakan di dalam penelitian berikut:
Judul Novel : Senja Kaca.
Pengarang : Almino Situmorang.
Penerbit : Sheila, Imprint Andi Offset.
Kota : Yogyakarta.
Tebal buku; ukuran buku : 230 hlm; 13 x19 cm. Cetakan; tahun buku : 1 (pertama); 2012.
Gambar Sampul : Sepatu kets dan dedaunan.
3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif yang sejalan dengan metode kualitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti
status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2005:54).
Metode deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk memeroleh pemaparan masalah secara objektif dan dijelaskan secara verbal, yaitu berupa kata-kata dan tulisan. Data yang dikumpulkan dalam metode deskriptif ini berupa
kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian, penelitian ini berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran laporan penyajian, seperti naskah
20 BAB IV
PADAN MARGA BATAK TOBA DALAM NOVEL SENJA KACA KARYA ALMINO SITUMORANG
4.1 Proses Terjadinya Padan Marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali Tidak mudah bagi masyarakat Batak Toba dalam mencari pasangan hidup
sesama suku. Selain menganut sistem eksogami, yaitu sistem perkawinan yang dilangsungkan dengan orang yang di luar marganya, masyarakat Batak Toba juga
memiliki beberapa peraturan tertentu yang harus dipatuhi ketika ingin melangsungkan pernikahan. Jika peraturan tersebut dilanggar maka si pelanggar akan mendapat hukuman yang sangat tegas. Beberapa daerah di Toba menerapkan
berbagai hukuman yang berlaku sejak dahulu kala, seperti: dipasung, dibakar hidup-hidup, diusir dari kampung serta dicoret dari silsilah keluarga (tarombo)
bagi mereka yang tidak mematuhi aturan tersebut. Meskipun demikian, sebagian masyarakat Batak Toba sudah ada yang melanggarnya di era modern sekarang ini.
Inilah beberapa peraturan pernikahan yang dilarang dalam kehidupan masyarakat Batak Toba sebagai berikut:
(http://www.gobatak.com/5-perkawinan-yang-dilarang-adat-batak-toba/).
Diakses Tanggal 10 Agustus 2015. 1. Pernikahan di antara Namarito
Namarito (ito) adalah kakak atau adik perempuan kandung. Ito yang
bermarga sama sangat dilarang untuk saling menikah, seperti keturunan Raja Nai Ambaton yang terdapat dalam Parsadaan Raja Nai Ambaton (PARNA).
21
sisada anak sisada boru” yang memiliki pengertian bahwa semua keturunan
marga dari Raja Nai Ambaton adalah sama-sama pemilik putra dan putri yang
tidak boleh saling menikahi antara satu dengan yang lain
(https://id.wikipedia.org/wiki/PomparAn_ni_Raja_Nai_Ambaton).
Diakses Tanggal 9 September 2015.
2. Pernikahan Dua Punggu Saparihotan
Dua Punggu Saparihotan artinya tidak diperkenankan adanya perkawinan
antara saudara dari abang atau adik laki-laki marga Aritonang dengan saudara
kakak atau adik perempuan dari istri yang bermarga Aritonang tersebut serta dua orang kakak beradik kandung memiliki mertua yang sama.
3. Pariban Nai So Boi Olion
Menurut peraturan adat Batak Toba, ada dua jenis kategori pariban na so boi
olion, yaitu:
a. Pariban kandung hanya diperbolehkan menikah dengan satu pariban saja.
Misalnya, dua orang laki-laki bersaudara memiliki lima orang perempuan pariban kandung. Pariban kandung yang dibenarkan untuk dinikahi
hanyalah salah satu perempuan dari kelima orang tersebut dan tidak bisa
kedua laki-laki itu menikahi pariban yang lainnya.
b. Pariban kandung atau bukan yang berasal dari marga ibu kandung yang
22
tersebut bermarga Siburian maka perempuan yang bermarga Siburian, baik keluarga dekat atau tidak, dilarang untuk menikah.
4. Marboru Namboru atau Nioli Anak ni Tulang
Larangan berikutnya adalah jika laki-laki menikahi boru (anak perempuan) dari namboru kandung atau seorang perempuan tidak bisa menikahi anak laki-laki
dari tulang kandungnya.
5. Namarpadan
Padan adalah janji, satu pendapat, bersetuju, bersehati, dan berdamai
(Tambun, 1995:79). Lebih jauh, pengertian padan adalah ikrar janji yang telah
diikat oleh leluhur orang Batak terdahulu yang mengharamkan pernikahan kedua belah pihak dengan maksud menjaga hubungan baik di antara keduanya.
(https://raymondsitorus.wordpress.com/-perkawinan-yang-dilarang-dalam-adat-batak/). Diakses Tanggal 19 Maret 2015.
Tindakan padan dalam adat Batak menempati posisi yang paling tinggi dari setiap tindakan lain yang dilakukan dengan maksud menjamin kepastian hukum
perjanjian dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh marga yang bersangkutan. Setiap marga yang mengikrarkan padan maka marga tersebut tidak boleh menikah dengan marga yang ikut terikat dengannya.
23
Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali diumpamakan ke dalam peribahasa (umpasa) berikut:
”Habang siruba-ruba, Paihut-ihut rura, Hata naung nidok, Sitongka mubauba”
”Terbang burung Cucak Rawa, Mengikuti jalur sungai,
Kata (padan) yang sudah diucapkan, Pantang berubah-ubah”
Ketika seseorang menyimpang dari padan yang mereka perbuat atau janjikan,
maka pihak yang ingkar tersebut akan menerima sapata (balasan atas derita hatinya) dari orang yang dikecewakan tersebut setimpal dengan apa yang diperbuatnya pada saat itu atau kelak terhadap keturunannya. Bukan hanya itu
saja, maka akan terjadi suatu marabahaya yang menimpa dirinya sendiri (Tambun, 1995:80).
4.1.1 Proses Terjadinya Padan Marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali dalam Novel Senja Kaca Karya Almino Situmorang
Banyak marga yang terikat dengan padan. Padan terjadi karena adanya suatu peristiwa di masa lampau yang membuat marga tersebut mengikat
perjanjian dengan marga lainnya. Salah satu marga yang mengalami padan adalah marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali.
Novel Senja Kaca menceritakan bahwa padan marga Nainggolan
24
mengandung. Tiba waktunya, kedua istri tersebut melahirkan secara bersama-sama. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
Kala itu istri Bapak Nainggolan dan istri Bapak Siregar sama-sama sedang hamil tua dan diperkirakan keduanya akan bersalin dalam waktu yang berdekatan. Ketika waktu persalinan tiba, para suami yang belum tahu tentang kelahiran kedua anak tersebut siang itu sedang pergi mencari ikan di tengah danau Toba. Di siang hari yang cerah itulah, istri Nainggolan melahirkan seorang anak laki-laki, kemudian lahir jugalah seorang putri yang cantik dari istri Siregar. (Situmorang, 2012:182).
Bapak Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali tidak mengetahui bahwa istri mereka akan sama-sama melahirkan karena pada saat itu mereka sedang
berada di danau Toba untuk mencari ikan. Meskipun melahirkan di waktu yang bersamaan namun istri dari Nainggolan Parhusip lebih awal melahirkan anaknya
yang berjenis kelamin laki-laki. Tidak lama berselang setelah istri dari Nainggolan Parhusip melahirkan anak laki-laki kemudian lahirlah seorang anak permpuan dari istri Siregar Silali.
Kedua istri dari Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sama-sama melahirkan anak namun dengan jenis kelamin yang berbeda. Karena selalu
melahirkan anak perempuan maka istri dari Siregar Silali berniat untuk menukarkan anak perempuannya dengan anak laki-laki dari Nainggolan Parhusip. Ketika mereka sepakat maka anak tersebut segera mereka tukarkan dan menjadi
milik mereka masing-masing. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
25
Penukaran anak yang dilakukan oleh kedua istri tersebut merupakan awal terjadinya sebuah masalah yang akan menimpa keluarga mereka. Atas
ketidakpuasan istri dari Siregar Silali yang selalu melahirkan anak perempuan maka timbul suatu keinginan dalam dirinya untuk memiliki seorang anak laki-laki. Keinginannya yang kuat untuk memiliki anak laki-laki membuat dirinya rela
menukarkan anak perempuan yang baru dilahirkannya kepada istri dari Nainggolan Parhusip karena anak laki-laki akan menurunkan marga suaminya
supaya marga tersebut tidak hilang dari generasi selanjutnya. Selain itu, istri dari Nainggolan Parhusip juga tidak memiliki anak perempuan. Oleh karena sama-sama ingin memiliki anak dengan jenis kelamin berbeda dari sebelumnya maka
kedua istri sepakat untuk menukarkan mereka tanpa sepengetahuan kedua suami masing-masing. Istri dari Nainggolan Parhusip mendapatkan anak perempuan
sedangkan istri dari Siregar Silali mendapatkan anak laki-laki dari hasil pertukaran anak yang sudah disepakati bersama.
Ketika istri Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali selesai menukarkan anak mereka tiba-tiba muncul bunyi guntur yang sangat keras. Bapak Nainggolan Parhusip dan Bapak Siregar Silali terkejut karena muncul suara guntur yang
menggelegar pada siang hari secara tiba-tiba. Mereka menganggap bahwa guntur tersebut adalah pertanda turunnya hujan namun guntur itu adalah suatu pertanda
bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik di antara keluarga mereka. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
26
dan bingung. Bunyi guntur di siang bolong adalah sebuah keanehan. Mereka menyangka mungkin sebentar lagi akan turun hujan sehingga keduanya segera bergegas kembali ke rumah dan tiba di rumah dengan sangat gembira mengetahui bahwa anak mereka telah lahir. (Situmorang, 2012:183).
Akibat guntur yang muncul secara tiba-tiba pada siang hari maka Bapak
Nainggolan Parhusip dan Bapak Siregar Silali segera pulang untuk menemui istri mereka masing-masing. Ketika sampai di rumah maka kedua bapak tersebut
sangat senang karena mengetahui bahwa istri mereka masing-masing telah melahirkan anak mereka dengan selamat.
Bapak Nainggolan Parhusip bahagia karena bisa melihat anak
perempuannya lahir dalam keadaan sehat. Namun bapak Nainggolan merasa aneh karena paras anak perempuan yang bersamanya terlihat berbeda dengan dirinya.
Ketika suaminya merasakan adanya perbedaan terhadap anaknya maka sang istri langsung ketakutan. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
Mereka berdua begitu gembira karena anak mereka telah lahir dalam keadaan sehat. Tapi bapak Nainggolan merasa heran dan bertanya dalam hatinya, ”Kenapa paras bayi perempuan saya ini berbeda?”
Melihat wajah sang suami yang kelihatan curiga, istri Nainggolan menjadi ketakutan....Akhirnya istri Nainggolan tersungkur dan menyembah suaminya. Dia langsung mengakui bahwa anak yang diberikan pada suaminya itu bukan anaknya, dan mengakui bahwa mereka telah menukarnya dengan putri dari Siregar. (Situmorang, 2012:183).
Sama seperti perasaan seorang ibu, seorang ayah juga dapat merasakan sesuatu yang berbeda dari anaknya meskipun penukaran anak tersebut tidak
27
sedang bersamanya. Atas dasar kecurigaan suaminya terhadap anak perempuan yang bersamanya saat itu, sang istri menjadi takut dan langsung mengakui bahwa
anak perempuan itu bukanlah anak kandungnya. Istrinya secara jujur menyatakan bahwa anak laki-laki yang baru saja dilahirkannya telah ditukar dengan anak
perempuan dari istri Siregar Silali.
Selesai sang istri mengakui kesalahannya maka bapak Nainggolan
Parhusip segera bergegas menuju ke rumah bapak Siregar Silali untuk meminta penjelasan apakah benar anak laki-laki yang dilahirkan oleh istrinya sendiri telah ditukar kepada istri dari Siregar Silali. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
Tidak lama kemudian Nainggolan langsung menyusul ke rumah Siregar dengan membawa bayi yang baru dilahirkan itu. Melihat hal itu istri Siregar pun menjadi ketakutan dan sebelum dijelaskan, dia juga tersungkur di depan suaminya seperti istri Nainggolan, kemudian ia mengakui kesalahannya di depan suaminya. (Situmorang, 2012:183-184).
Istri dari Siregar Silali juga mengakui kesalahannya bahwa ia telah menukarkan anak perempuannya dengan anak laki-laki dari istri Nainggolan
Parhusip. Istri dari Siregar Silali tidak bisa berdalih karena bapak Nainggolan Parhusip membawa anak perempuan hasil penukaran yang dilakukan istrinya. Dengan begitu bapak Siregar Silali menjadi tahu bahwa anak laki-laki yang ada
bersamanya saat itu bukanlah anak kandung yang dilahirkan oleh istrinya.
Bapak Nainggolan Parhusip merasa sedih karena anak perempuan yang
28
mengucapkan padan atau janji kepada bapak Siregar Silali yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi seorang saudara. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
Mendengar hal itu bapak Siregar langsung lemas, menyadari bahwa ternyata anak laki-laki yang ada padanya bukan anaknya. Begitu bapak Nainggolan melihat bapak Siregar lemas tak berdaya, dia langsung mengucapkan sumpah, yang dalam bahasa Batak disebut Padan, kepada bapak Siregar.
”Mulai sadarion, ho Siregar, anggiku ma. Jala anakmu tung naso jadi mangoli tu boru Nainggolan ala mariboto.”
Artinya, mulai sekarang, kamu Siregar, kita marpadan, kau
kedua marga tersebut harus menanggung konsekuensi bahwa mereka tidak boleh menikah karena anak laki-laki Nainggolan Parhusip telah menjadi milik Siregar
Silali dan anak perempuan Siregar Silali telah menjadi milik Nainggolan Parhusip. Padan yang terjadi di masa lampau menjadi turun-temurun kepada generasi selanjutnya dari kedua marga tersebut . Terlihat dari kutipan dibawah ini:
Siregar langsung tersungkur dan ia pun mengiyakan perkataan Nainggolan tersebut. Sejak saat itulah Padan itu berlaku turun-temurun. (Situmorang, 2012:184).
Akibat padan yang telah disepakati oleh marga Nainggolan Parhusip dan
Siregar Silali, maka generasi dari kedua marga tersebut juga ikut menanggung padan yang tetap berlaku di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba hingga
sekarang. Saat ini tidak pernah terdengar kabar bahwa marga Nainggolan
29
mereka melanggar padan tersebut maka mereka harus menanggung hukuman yang akan diberikan bagi mereka yang tidak mematuhinya.
4.1.2 Proses Terjadinya Padan Menurut Informan Marga Nainggolan Parhusip
Menurut Bapak M. Nainggolan Parhusip, seorang informan asal
Simare-mare Dolok, Desa Sibandang, menerangkan proses terjadinya padan marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sebagai berikut:
Awal cerita marga Nainggolan Parhusip tinggal dalam satu rumah dengan marga Siregar Silali. Pekerjaan kedua marga tersebut adalah petani. Setelah kedua marga itu berumah tangga disebutkan bahwa marga Nainggolan Parhusip hanya mempunyai anak (laki-laki) dan Siregar Silali hanya memiliki boru (perempuan). Beliau mengatakan bahwa istri Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali berkomunikasi soal anak yang akan mereka tukar karena dari pihak Nainggolan Parhusip tidak memiliki boru (anak perempuan) dan pihak Siregar Silali tidak memiliki anak (laki-laki). Kedua suami tidak mengetahui bahwa anak yang dilahirkan akan ditukar oleh istri mereka. Setelah mereka berbincang-bincang dan merasa setuju maka istri dari pihak Nainggolan Parhusip memberikan anaknya (laki-laki) kepada istri dari Siregar Silali dan istri dari pihak Siregar Silali memberikan borunya (perempuan) kepada Nainggolan Parhusip yang mengakibatkan terjadinya pertukaran anak di antara mereka. Kedua istri berkata jika nanti para suami datang maka mereka harus memberitahukan bahwa telah terjadi pertukaran anak. Karena lama diberitahu maka saat kedua suami mereka mengetahui pertukaran anak tersebut, akhirnya terjadilah padan yang menyatakan bahwa mereka sah menjadi kakak beradik. Dengan padan yang sudah dinyatakan tersebut maka marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali tidak bisa menikah karena sudah menjadi seorang saudara.
30
dari Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali saja namun juga untuk semua marga Nainggolan dan Siregar lainnya.
4.1.3 Proses Terjadinya Padan Menurut Informan Marga Siregar Silali Seorang informan asal Lobu Tangga, Desa Silali Toruan, yaitu bapak
K. Siregar Silali, juga menceritakan proses terjadinya padan marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sebagai berikut:
Marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sama-sama memiliki istri yang mengandung. Pekerjaan mereka seperti kebanyakan orang-orang Toba seperti sekarag ini, yaitu bekerja sebagai nelayan. Istri yang satu tidak memiliki anak (laki-laki) sedangkan istri yang lainnya tidak memiliki boru (perempuan) namun beliau tidak bisa menyatakan secara pasti bahwa anak (laki-laki) yang ditukar apakah milik Nainggolan Parhusip atau Siregar Silali dan begitu juga dengan boru (perempuan), apakah itu milik Siregar Silali atau Nainggolan Parhusip. Hanya kedua marga itu sendiri yang tahu jenis kelamin anak mereka. Meskipun ada seseorang yang mengetahui sejarah pertukaran jenis kelamin anak mereka namun kejadian tersebut tidak bisa diceritakan secara sembarangan.
Berkatalah istri yang satu kepada yang lain: ”Jika anakmu lahir maka itu menjadi anakku (laki-laki) nanti sedangkan jika boruku lahir maka itu akan menjadi borumu (perempuan).” Suatu waktu, kedua istri tersebut sama-sama melahirkan. Saat anak yang dinantikan telah lahir maka mereka sepakat untuk menukarkan anak tanpa diketahui oleh suami mereka. Karena sudah lama suami mereka tidak tahu bahwa anak yang mereka lahirkan telah ditukar maka kedua istri segera memberitahukannya sebab menganggap anak orang lain seperti anak kandung sendiri bersifat pantang. Ketika suami mereka tahu bahwa itu bukan anak kandung mereka maka diucapkan sebuah perjanjian dan terjadilah padan di antara mereka.
31
peristiwa pertukaran anak. Untuk marga Nainggolan lainnya, seperti Nainggolan Lumban Raja diperbolehkan menikah dengan boru Siregar Silali atau sebaliknya.
Kesimpulan dari pandangan kedua informan dari marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali dengan cerita dalam novel Senja Kaca karya Almino
Situmorang mengenai proses terjadinya padan marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali adalah sama-sama menyatakan bahwa hal tersebut berawal dari
pertukaran anak yang dilakukan oleh kedua istri Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali. Pertukaran anak tersebut tidak diketahui oleh kedua suami mereka. Istri dari Siregar Silali menukarkan borunya (perempuan) untuk mendapatkan anak
(laki-laki) dan istri dari Nainggolan Parhusip menukarkan anaknya (laki-laki) untuk mendapatkan boru (perempuan). Istri dari Siregar Silali ingin memiliki
anak (laki-laki) karena di dalam adat Batak Toba hanya anak (laki-laki) yang bisa menurunkan marga supaya marga Siregar Silali tidak punah atau menghilang. Istri dari Nainggolan Parhusip ingin memiliki boru (perempuan) karena dalam adat
Batak Toba seorang boru dapat membantu orang tua di dalam kehidupan sehari-hari dan ketika menikah maka boru (perempuan) tersebut harus dibeli dengan ’sinamot’ yang berarti ’mahar’ sesuai dengan persetujuan keluarga kedua belah
pihak masing-masing.
Pada saat bapak Nainggolan Parhusip dan bapak Siregar Silali tahu
bahwa anak yang bersama mereka bukanlah anak kandungnya, terjadilah sebuah ucapan padan di antara mereka yang menyatakan bahwa marga Nainggolan
32
hubungan bahkan menikah. Namun bapak M. Nainggolan Parhusip mengatakan bahwa marga Nainggolan yang terdiri dari Nainggolan Batuara, Nainggolan
Lumban Tungkup, Nainggolan Lumban Raja, Nainggolan Hutabalian, dan Nainggolan Lumban Siantar beserta marga Siregar Silo, Siregar Dongoran, dan
Siregar Siagian menyatakan bahwa marga mereka juga ikut memegang padan karena bagi mereka padan bukan hanya milik dari Nainggolan Parhusip dan
Siregar Silali saja tapi sudah menjadi milik semua keturunan marga Nainggolan dan Siregar lainnya. Berbeda dengan pendapat bapak M. Nainggolan Parhusip, bapak K. Siregar Silali justru mengatakan bahwa marga Nainggolan, seperti:
Batuara dan Parhusip memang tidak boleh menikah karena mereka adalah satu keturunan tetapi lain halnya dengan marga Nainggolan Lumban Raja. Marga
tersebut boleh menikah dengan boru Siregar Silali ataupun sebaliknya karena hanya marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali saja yang terikat dengan padan.
4.2 Keuntungan dan Kerugian Padan Bagi Marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali dalam Novel Senja Kaca Karya Almino Situmorang
Padan termasuk adat yang tidak tertulis namun keterikatannya menyatakan
bahwa adat tersebut masih hidup dan diingat oleh sebagian besar masyarakatnya. Terjadinya sebuah padan bagi marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali
ternyata memiliki keuntungan dan kerugian, terutama bagi kedua generasi marga tersebut yang sampai saat ini ikut menanggung konsekuensi dari padan. Keuntungan dan kerugian padan bagi marga Nainggolan Parhusip dan Siregar
33 4.2.1 Keuntungan Padan
Setiap peristiwa di dalam hidup ini pasti memiliki keuntungan ataupun
kerugian bagi yang mengalaminya. Ternyata padan yang terjadi di antara marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali memiliki keuntungan. Keuntungan bagi kedua marga tersebut adalah mereka telah sah menjadi seorang saudara. Seorang
saudara harus memiliki perbuatan yang dilandasi kasih kepada sesama saudara lainnya. Menurut Chandra (2006), ada beberapa jenis kasih di dalam bahasa
Yunani, yaitu Eros, Philia, Storge, dan Agape. Setiap interpretasi kasih dari masing-masing orang akan berbeda antara satu dengan yang lain. Menurut Sizemore (dalam Dwityandhari, 2012), inilah beberapa pengertian jenis kasih
dalam bahasa Gerika sebagai berikut: 1. Eros
Kata ini dipergunakan khususnya untuk kasih antara pria dan wanita (lawan jenis). Eros selalu memiliki dorongan tubuh atau fisik yang menonjol di satu
pihak dan selalu melibatkan nafsu sebagai pendorongnya. Istimewanya, hal tersebut menyangkut relasi dan hubungan kasih antara pria dan wanita.
2. Philia
Kata ini menggambarkan kehangatan, keakraban, keintiman, dan pengaruh dekat pribadi seorang sahabat, kawan, saudara, atau sanak keluarga.
3. Storge
34 4. Agape
Kata ini paling sering digunakan secara khusus ketika berbicara mengenai kasih terhadap Tuhan. Agape di definisikan sebagai ”Kehendak Tuhan Yang
Maha Tinggi.”
Jenis kasih yang dimiliki oleh marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali adalah Philia, yaitu kasih yang menggambarkan kehangatan, keakraban,
keintiman, dan pengaruh dekat pribadi seorang saudara atau sanak keluarga. Kasih yang terjadi antara marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali menjadikan mereka seorang saudara yang saling membantu, mengasihi, dan menyayangi.
Terlihat dari kutipan di bawah ini:
”Aster, ucap mama sabar. Padan itu bukan kutukan. Padan justru lambang ketaatan, kesetiaan, kasih sayang, dan persaudaraan.” (Situmorang, 2012:185).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa padan yang mengikat marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali merupakan lambang kasih persaudaraan
yang begitu tinggi dan tetap dipegang erat oleh kedua marga tersebut. Hal ini serupa dengan pendapat Bapak M. Nainggolan Parhusip yang mengatakan bahwa
beliau tidak merasa rugi dengan adanya padan karena hal itu memang sudah menjadi kesepakatan dari kedua belah pihak marga yang bersangkutan meskipun awalnya dimulai dengan pertukaran anak. Beliau justru merasakan adanya
keuntungan padan saat ini. Beliau dapat merasakan kasih persaudaraan (philia) antara marganya dengan Siregar Silali. Beliau menjelaskan ketika ada seorang
35
bekerja maka marga Nainggolan akan membantu mencarikan sebuah pekerjaan untuk marga Siregar, begitu juga sebaliknya. Ketika ada marga Nainggolan
sedang dalam keadaan sulit maka marga Siregar akan siap membantu saudaranya yang mengalami kesulitan tersebut. Misalnya, memenuhi kebutuhan sehari-hari
sampai marga Nainggolan mendapatkan pekerjaan.
Keuntungan lain dari padan adalah pihak Nainggolan Parhusip harus
lebih sayang kepada boru (perempuan) Siregar Silali karena sudah diikrarkan bahwa marga Nainggolan Parhusip telah sah menjadi anak Siregar Silali sedangkan boru Siregar Silali harus mengasihi anak (laki-laki) Nainggolan
Parhusip karena Siregar Silali sudah sah menjadi boru Nainggolan Parhusip. Sebagai contoh, ketika boru Nainggolan Parhusip dan boru Siregar Silali
sama-sama memiliki sebuah permintaan kepada seorang marga Nainggolan Parhusip maka permintaan dari boru Siregar Silali harus diutamakan lebih dulu daripada permintaan dari boru Nainggolan Parhusip. Begitu juga sebaliknya, laki-laki
Siregar Silali akan lebih mengutamakan permintaan boru Nainggolan Parhusip daripada permintaan boru Siregar Silali karena tumbuhnya rasa persaudaraan dan
kasih sayang yang begitu besar akibat padan yang pernah terjadi di antara mereka di masa lampau.
4.2.2 Kerugian Padan
Bagi sebagian orang, banyak yang menganggap padan merupakan
36
padan, contohnya mereka tidak bisa bersatu sebagai suami istri karena marga
yang sudah terikat dengan padan telah ditakdirkan untuk menjadi seorang
saudara. Inilah beberapa kerugian padan yang dialami oleh Aster boru Nainggolan Parhusip dan Paul Siregar Silali dalam novel Senja Kaca karya
Almino Situmorang sebagai berikut:
1. Tidak bisa berpacaran
Terjadinya padan di antara marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali menyebabkan beberapa konsekuensi yang muncul, salah satunya adalah mereka
tidak bisa menjalin hubungan mesra atau yang disebut dengan pacaran. Menurut Kyns (dalam Sukmadiarti, 2011), pacaran adalah hubungan antara dua orang yang
berlawanan jenis dan mereka memiliki keterikatan emosi, di mana hubungan ini didasarkan karena adanya perasaan-perasaan tertentu di dalam hati masing-masing. Aster dan Paul sama-sama memiliki keterikatan emosi yaitu perasaan
saling suka sehingga mereka sepakat untuk berpacaran.
Aster tidak terima jika dirinya tidak bisa berpacaran dengan Paul karena
marga mereka telah terikat dengan padan. Inilah respon Aster saat dirinya harus berpisah dengan Paul, pria yang dicintainya. Terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Aster hanya menatap Paul dengan frustasi. Dia tak mampu bersuara, tapi hatinya menjerit. Bagaimana mungkin dia bisa hidup tanpa Paul? Bagaimana mungkin dia bisa menerima keputusan untuk berpisah dengan Paul? Bagaimana dia akan mengorbankan cintanya pada padan leluhur yang tak masuk akal baginya?
37
”Aku tak bisa, Paul...,” desis Aster, Tangisnya pecah.” (Situmorang, 2012:202-203).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Aster tidak bisa melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan Paul karena hubungan mereka dilarang oleh
banyak pihak, termasuk adat. Padan membuat Aster merasa frustasi karena mau tak mau dirinya harus mengakhiri hubungan mesra yang telah dibangun bersama
Paul. Aster tidak menyangka bahwa padan telah memberikan batas-batas yang keras kepada mereka untuk tidak berpacaran. Hubungan Aster dan Paul harus segera diakhiri. Ketika Aster dan Paul masih tetap mempertahankan hubungan
tersebut maka mereka akan mendapat banyak penolakan, baik dari adat maupun dari keluarga kedua belah pihak yang bersangkutan.
2. Tidak bisa melakukan hubungan kontak fisik
Ketika seseorang berpacaran dengan penyesuaian normatif maka hubungan
tersebut akan menghasilkan sesuatu yang baik. Menurut Paul dan White (dalam Pujiati, 2014), pacaran dalam penyesuaian normatif adalah masa yang dapat
dipandang sebagai masa persiapan untuk menguji kemampuan dan menyalurkan kebutuhan seksual secara normatif, terhormat, dan sesuai dengan norma masyarakat. Namun hal yang berbeda justru telah dilakukan oleh Aster dan Paul.
Bukan hanya berpacaran tetapi mereka juga telah melakukan hubungan kontak fisik. Nugraha (2010) mengemukakan adanya beberapa hubungan kontak fisik
38 1. Kissing
Ciuman ini adalah ciuman yang sering dilakukan dan umum. French Kiss
adalah berciuman dengan bibir, mulut terbuka, dan menggunakan lidah. 2. Necking
Ini adalah ciuman yang digambarkan dengan ciuman dan pelukan mesra yang lebih mendalam. Ciuman ini biasanya ke arah wajah dan leher.
3. Petting
Hal ini biasanya untuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan yang berorientasi ke arah lengan, dada, buah dada, kaki, atau kadang-kadang di daerah
kemaluan, baik itu di luar atau di dalam pakaian.
Hubungan kontak fisik yang dilakukan oleh Aster dan Paul adalah necking.
Mereka saling berciuman dan berpelukan mesra dengan perasaan yang mendalam. Mereka melakukan hal tersebut karena mereka tidak ingin berpisah. Seseorang yang telah diikat dengan padan tidak boleh melakukan hubungan kontak fisik
karena perbuatan itu sangat memalukan. Aster dan Paul tetap tidak peduli dengan larangan padan tersebut. Aster dan Paul melakukan necking saat mereka hendak
memutuskan untuk berpisah karena perbuatan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
39
”Aster, kelakuanmu sungguh tak pantas!”. Ujar Mama murka.” Tidak pantas disebutkan sebagai sikap boru ni raja. Kau boru ni raja, kau putri raja!” (Situmorang, 2012:217).
Tidak pantas bagi seorang saudara untuk melakukan hubungan kontak fisik yang sebenarnya sangat tidak diperbolehkan oleh adat, termasuk padan. Namun Aster dan Paul tetap melanggar hal tersebut sehingga membuat orang tua Aster,
yaitu sang Mama menjadi sangat marah kepada Aster. Melakukan hubungan kontak fisik terhadap seorang saudara merupakan kesalahan terbesar yang tidak
dapat ditoleransi karena menyangkut harga diri dari kedua belah pihak marga yang terikat dengan padan. Sebagai seorang wanita, Aster tidak mampu menolak untuk melakukan hubungan kontak fisik dengan Paul karena pada saat itu adalah
masa dimana dirinya dan Paul harus berpisah. Mereka sama-sama terbawa gejolak perasaan yang membuat mereka melakukan hubungan kontak fisik. Apapun
alasannya hal itu tidak dapat dibenarkan karena selain dipandang orang kurang baik, perbuatan tak senonoh yang dilakukan oleh Aster membuat gelar boru ni
raja (br.) di depan marganya menjadi tercoreng karena melakukan hubungan
kontak fisik terhadap saudara yang diikat oleh padan adalah sesuatu yang sangat pantang (tongka) bagi masyarakat Batak Toba.
3. Tidak bisa saling mencintai
Menurut Chandra (2006), cinta adalah suatu daya penyatu yang menghidupkan. Dalam masa berpacaran seorang individu diwajibkan untuk saling memperhatikan pasangannya. Selain itu, individu tersebut juga harus menerima
40
belajar untuk memahami sikap dan perilaku pasangannya masing-masing. Namun semua itu adalah hal yang terlarang bagi padan. Sesama saudara yang sudah diikat
oleh padan tidak bisa saling mencintai.
Bagi Aster sangat tidak masuk akal ketika dirinya harus memutuskan untuk
berpisah dengan Paul karena padan yang melarang hubungan di antara mereka berdua. Aster merasa rugi hanya karena padan yang diikrarkan oleh nenek
moyang terdahulu membuat dirinya tidak bisa mencintai Paul. Mungkin Aster masih menerima jika cintanya dengan Paul harus pupus karena mereka berbeda agama atau karena alasan lain, hal itu tidak menjadi masalah bagi dirinya tetapi
padan justru menyatakan bahwa cinta yang mereka rasakan adalah cinta terlarang.
Terlihat dari kutipan di bawah ini:
Cinta terlarang mereka bukan seperti kisa Sitti Nurbaya-perjodohan oleh orang tua, atau Romeo dan Juliet-pertentangan keluarga, atau Titanic-perbedaan kelas sosial, atau Roswell High Twilight-perbedaan dua dunia, ataupun Anne Karenina-karena mereka sudah ada yang memiliki.
Seandainya karena perbedaan, atau larangan orang tua, atau cinta terlarang lainnya seperti di film-film, akan lebih mudah bagi akalnya untuk menerima. Tapi ini adalah cinta terlarang karena perjanjian dua marga, akibat keputusan nenek moyang yang secara sepihak membuat padan atau kutuk yang berlaku untuk keturunannya, bukan untuk dirinya sendiri saja. Keturunan kesekian yang tak tahu-menahu dan tak mengerti mengenai adat nenek moyanglah yang kini menjadi korban yang tak bersalah dan tak tahu apa-apa. (Situmorang, 2012:196-197).
Secara normal, cinta yang dirasakan oleh Aster dan Paul sebenarnya tidak salah namun karena padan yang membuat cinta mereka menjadi cinta terlarang. Cinta yang tumbuh di antara Aster dan Paul harus segera diakhiri agar tidak
41
antara Aster dan Paul adalah cinta yang tidak dapat dipersatukan karena secara padan mereka tidak dibenarkan untuk saling mencintai sebab mereka sudah
ditakdirkan untuk menjadi seorang kakak beradik.
4. Tidak bisa menikah
Kerugian terbesar yang dialami oleh Aster dan Paul akibat padan adalah
tidak bisa menikah. Ketika seseorang ingin menikah maka terlebih dulu ia harus mengikat komitmen yang kuat. Menurut Kelly (dalam Sukmadiarti, 2011), komitmen adalah tahapan di mana seseorang menjadi terikat dengan sesuatu atau
seseorang dan terus bersamanya hingga hubungannya berakhir. Ketika hubungan seseorang telah berakhir maka ia terlepas dari komitmen tersebut. Seorang
individu yang telah mengikat komitmen untuk menikah tidak bisa diingkari secara sembarangan atau sekadar bermain-main. Menurut Newman dan Newman (dalam Sukmadiarti, 2011) menyatakan jika jalinan hubungan seseorang berhasil atau
tidaknya menuju pernikahan maka hal itu tergantung dari masing-masing individu, apakah ada atau tidaknya keinginan yang mendasar dari dalam diri
individu tersebut untuk menikah. Aster dan Paul memiliki komitmen yang kuat untuk bisa menikah. Namun pernikahan yang telah mereka rancangkan harus pupus karena padan tidak memperbolehkan marga Nainggolan Parhusip dan
Siregar Silali menikah. Terlihat dari kutipan di bawah ini:
”Paul itu marga Siregar, kamu boru Nainggolan. Kedua marga itu tidak boleh saling menikahi!”, ucap Mama, kali ini tegas sekali.
42
”Padan, anakku. Padan,” jawab Mama makin miris. Leluhur kita telah saling berjanji dan membuat padan bahwa keturunan kedua marga itu akan dianggap sebagai saudara, tak boleh saling menikahi.” (Situmorang, 2012:181-182).
Padan memang tidak memperbolehkan kedua marga yang mengikatnya untuk
menikah karena hal itu sangat bertentangan. Tidak menutup kemungkinan bahwa marga yang mengikrarkan padan di masa lampau akan selalu terikat menjadi
seorang saudara walaupun zaman sudah tidak lagi mempedulikan hal tersebut. Meskipun begitu jika ada yang berani melanggar padan maka si pelanggar akan mendapat hukuman yang siap menimpa dirinya. Terlihat dari kutipan di bawah
ini:
”Apa yang terjadi jika padan itu dilanggar, Ma?”, tanya Eddy hati -hati.
”Dulu, hukumannya ditenggelamkan di danau Toba. Sekarang, sanksinya selain dikucilkan dari adat, juga sanksi moral lainnya.... Kemudian sanksi berupa kutukan, contohnya keturunannya akan sakit-sakitan, cacat, atau mungkin meninggal. Mama menahan nada pilu dalam suaranya. Matanya berkaca-kaca.”
(Situmorang,2012:185).
Ada banyak sanksi yang akan diberikan kepada si pelanggar jika orang tersebut tidak mematuhi padan. Secara adat maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi dikucilkan dari acara-acara penting ketika orang tersebut menghadiri pesta
adat di sebuah kampung. Secara moral maka si pelanggar akan mendapat cibiran dan ejekan dari penduduk satu kampung. Kemudian secara fisik maka si
43 BAB V
SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
Masyarakat Batak Toba identik dengan berbagai macam adat, salah
satunya padan. Sebenarnya kisah padan banyak dimiliki oleh marga-marga lain namun padan yang terkenal di masyarakat adalah padan marga Nainggolan
Parhusip dan Siregar Silali. Terjadinya padan di antara kedua marga tersebut diawali dengan pertukaran anak yang dilakukan oleh istri Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada suami mereka.
Istri Siregar Silali yang tidak memiliki anak (laki-laki) akhirnya menukarkan borunya (perempuan) kepada istri Nainggolan Parhusip, begitu juga sebaliknya,
istri Nainggolan Parhusip menukarkan anak (laki-laki) kepada istri Siregar Silali karena tidak memiliki boru (perempuan). Ketika kedua suami mereka tahu bahwa anak yang bersama dengan mereka bukanlah anak kandungnya maka terucaplah
sebuah perjanjian atau dalam bahasa Batak disebut dengan padan.
Mohon maaf (sattabi hata), jika istri Siregar Silali tidak menukarkan
borunya kepada istri Nainggolan Parhusip maka tidak ada marga Siregar Silali
sampai hari ini karena seorang perempuan tidak bisa menurunkan marga kepada anak-anaknya. Masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilineal yaitu garis
keturunan (marga) yang diturunkan ayah kepada anak-anaknya sedangkan marga Nainggolan Parhusip sendiri tidak pernah merasakan boru (perempuan) karena
44
bisa merasakan anak (laki-laki) dan boru (perempuan) di dalam hidup mereka. Hingga saat ini masyarakat yang bermarga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali
masih memegang teguh padan yang mereka jalani. Hal ini dapat dibuktikan bahwa memang marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali tidak pernah ada
yang menikah sampai sekarang karena hal itu memang tidak boleh terjadi di antara mereka.
5.2 Saran
1. Kepada marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sebagai pemilik
padan hendaknya menjaga, melestarikan, dan menceritakan secara turun
temurun kepada anak cucu guna menghindari adanya hubungan spesial yang
terjalin di antara kedua marga tersebut karena ketidaktahuan anak cucu tentang terjadinya padan Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali ketika mereka berada di perantauan.
2. Kepada orang tua (etnis Batak Toba) yang sudah tinggal di kota besar, terutama bagi mereka yang bermarga Nainggolan Parhusip dan Siregar
Silali agar menceritakan terjadinya padan di antara kedua marga tersebut supaya mereka tahu dan tidak salah memilih pasangan hidup nantinya. 3. Kepada Pemerintah dan penerbit buku untuk bekerjasama dalam
menerbitkan buku-buku yang berhubungan dengan budaya Batak, terutama tentang padan yang bukan hanya dialami oleh Nainggolan Parhusip dan
8 BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Penelitian ini melibatkan beberapa konsep sebagai berikut: 2.1.1 Marga
Marga sangat penting bagi masyarakat Batak Toba karena marga merupakan klan patrilineal terbesar di dalam masyarakat tersebut. Marga adalah sebuah nama yang menjadi predikat dari setiap anggota keluarga yang berasal dari
satu rumpun dan di dalam kesatuannya terdapat pada nama induk. Dasar penentu marga adalah keluarga karena marga yang terdapat pada suku Batak Toba
berdasarkan pada genealogi atau hubungan keluarga sedarah.
Ada beberapa alasan timbulnya marga yang diungkapkan oleh (Tambunan, 1982:194) sebagai berikut:
1. Sosial
Marga adalah sebuah hubungan kesatuan antara yang satu dengan lainnya
yang berpengaruh di bidang ekonomi dan sosial. Orang Batak suka membantu teman satu marganya yang sedang dalam kesulitan. Ketika seorang Batak yang sukses di perantauan melihat teman satu marganya tidak bekerja maka seorang
Batak yang sukses itu akan mengajak orang tersebut bekerja dengannya. Inilah sosial yang dimiliki oleh orang Batak, terutama terhadap saudara dan teman satu
9 2. Perkawinan
Perkawinan akan mudah diatur berkat adanya marga yang mengadakan
pembatasan perkawinan eksogami. Marga dapat menentukan apakah seorang Batak dapat menikah atau justru malah sebaliknya, dilarang menikah dengan
marga tersebut karena incest (sedarah) atau marpadan (perjanjian).
3. Membentuk klasifikasi golongan menurut adat
Jauh sebelum peradaban modern, masyarakat Batak Toba telah mengenal satu susunan masyarakat oleh hukum adat yang disebut dengan Dalihan Na Tolu.
Itulah sebabnya, peranan adat sangat besar dalam masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Pada umumnya orang Batak memiliki minat yang
tinggi terhadap martutur, yaitu permintaan untuk membicarakan posisi seseorang dalam hubungan kekerabatan sehingga diketahui sebutan apa yang pantas untuk menyapa seorang Batak yang lain. Dengan hal itu dapat dipahami apakah orang
tersebut masih satu kerabat dengannya, apakah mereka kemudian menjadi kerabat melalui perkawinan, dan bagaimana mereka harus saling bertutur sapa melalui
sebuah marga (Vergouwen, 1986:6). Dengan menyebut marga, masing-masing orang Batak Toba harus mengetahui kedudukan dan letak posisinya di dalam adat Dalihan Na Tolu.
2.1.2 Batak Toba
Sejarah nama Batak Toba belum diketahui secara pasti kebenarannya
10
Konon menurut sebuah cerita bahwa leluhur orang Batak berasal dari India Belakang yang datang ke Sumatera melalui Selat Malaka. Setelah berlayar beberapa lama, akhirnya tibalah mereka di pantai Asahan (sekarang ini). Di sana mereka menemukan air tawar di bagian salah satu muara sungai dan di daerah muara sungai itu terdapat suatu tempat berbentuk tanjung. Kemudian mereka membangun bale-bale yaitu tempat untuk membaringkan tubuh. Pada waktu rombongan itu bermukim di muara sungai tersebut, mereka memutuskan untuk mencari tempat sebagai sumber air tawar yang dirasa oleh mereka pastilah dari daerah pegunungan di sebelah barat. Mereka mudik mengikuti sungai yang bermuara di daerah tanjung tadi. Kini sungai itu disebut dengan sungai Asahan.
Setelah berjalan kaki beberapa lama tibalah mereka pada satu bukit yang mereka namakan ’Pintu Pohan’, yang artinya ’Pintu Bahagia’. Dari tempat itu rombongan kemudian memandang ke arah Barat pada suatu lembah dan danau yang indah permai. Atas kekaguman mereka, secara serentak mereka berkata, ’Tah Bah’, yang artinya ’Indah Permai’. Tempat inilah mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba di danau Toba. Kemudian mereka mengelilingi danau itu untuk memeriksa keadaan sekeliling sambil mencari tempat yang baik untuk mengisolasi diri. Tibalah mereka pada suatu gunung yang kemudian menyebut itu Gunung Pusuk Buhit.
Mereka membangun perkampungan bersahaja di tempat itu dan kemudian mengusahakan pertanian. Setelah beberapa generasi perkampungan itu semakin ramai. Akhirnya sebagian dari antara mereka mulai bergerak mencari pemukiman lain, memisahkan diri, dan membangun kampung baru. Dari sanalah keturunan mereka berpencar ke sekeliling danau Toba yang hidup di tepi air. Mereka menyebut diri mereka orang Toba, yang artinya ’orang yang hidup dekat air’. Pinggiran itulah kemudian orang-orang Batak berpencar ke seluruh tanah Batak.
Batak Toba adalah sub suku Batak yang berada di Sumatera Utara,
Indonesia. Sub suku Batak lainnya meliputi Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, dan Batak Simalungun. Suku Batak Toba lebih banyak bermukim di daerah Tapanuli, tepatnya di sekitar danau Toba. Sejak masuknya penginjil yang
11
menganut agama Kristen. Namun ada juga yang tetap menganut kepercayaan asli suku Batak yang disebut Parmalim. Suku Batak Toba lebih banyak berdiam di
wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, dan Sarulla. Hingga pada tahun 2008, Kabupaten
Tapanuli Utara sendiri telah dimekarkan menjadi empat Kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, dan
Kabupaten Humbang Hasundutan.
(https://watchsons.files.wordpress.com/2008/05/sketch-of-culture.pdf). Diakses Tanggal 9 September 2015.
2.1.3 Padan
Padan adalah janji, satu pendapat, bersetuju, bersehati, dan berdamai
(Tambun, 1995:79). Lebih jauh, pengertian padan adalah ikrar janji yang telah
diikat oleh leluhur orang Batak terdahulu yang mengharamkan pernikahan kedua belah pihak dengan maksud menjaga hubungan baik di antara keduanya
(https://raymondsitorus.wordpress.com/-perkawinan-yang-dilarang-dalam-adat-batak/). Diakses Tanggal 19 Maret 2015.
Sehubungan dengan hal itu, sahnya suatu keputusan atas kesepakatan
pihak yang terkait dinyatakan dengan tindakan padan yang sama-sama setuju menerima keputusan tersebut. Tingginya wewenang padan dalam hukum adat
12
Makna padan setara dengan kuasa Tuhan yang memiliki pengaruh besar bagi yang melakukan kesepakatan tersebut. Ketika kita menjaga, menghormati,
dan menjunjung tinggi wewenang Tuhan, demikian juga kita seperti menjaga, menghormati, dan menjunjung tinggi wewenang padan.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Antropologi Sastra
Penelitian ini menggunakan antropologi sastra. Antropologi sastra terdiri dari dua kata, yaitu antropologi dan sastra. Antropologi berasal dari kata
anthropos dan logos yang berarti ilmu tentang manusia, sedangkan sastra berasal
dari kata sas- dan tra- yang berarti alat untuk mengajar. Secara etimologis,
kelompok kata tersebut belum menunjukkan arti seperti yang dimaksudkan dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun dengan pengertian lain, antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Secara
historis menurut Koentjaraningrat (dalam Ratna, 2011:28), objek kajian antropologi dikaitkan dengan masyarakat sederhana. Dengan demikian,
antropologi sastra memiliki tugas untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan pada masyarakat tertentu. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur
antropologi itu sendiri sebagai pelengkap.
Ciri khas antropologi sastra adalah aspek kebudayaan, khususnya masa
13
moyang. Antropologi sastra lebih banyak dikaitkan dengan keberadaan masa lampau tetapi masa yang dimaksudkan bukan ruang dan waktu, namun isinya
(Ratna, 2011:359-360). Antropologi sastra dapat digunakan untuk menganalisis masa lampu, seperti: kearifan lokal, adat istiadat, mitos, sistem religi, dan
sebagainya.
Seorang novelis mentransformasikan keragaman semesta total,
khususnya fakta masa lampau ke dalam bentuk literer, memodifikasikannya ke dalam ruang-ruang fiksional sehingga dipahami oleh pembaca sebagai gejala-gejala yang masuk akal. Fungsi utama karya sastra adalah karya seni yang
memiliki energi dan dialog dan terus-menerus menggugah perhatian pembaca, khususnya dalam menggali emosi-emosi literernya. Dikaitkan dengan
dimensi-dimensi antropologis manusia, khususnya kerinduan terhadap masa lampau. Pandangan dunia yang dianggap relevan adalah citra primordial dan citra arketipe.
Penelitian yang dilakukan terhadap novel Senja Kaca karya Almino
Situmorang adalah padan marga Batak Toba dengan menggunakan teori citra primordial karena padan merupakan sebuah perjanjian antara marga Nainggolan
Parhusip dan Siregar Silali yang sudah terjadi di masa lampau dan ikrar tersebut masih dipegang teguh oleh marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali sampai saat ini.
2.2.2 Citra Primordial
14
yang bergerak ke dalam dirinya sendiri (Ratna, 2011:245). Secara leksikal primordial berasal dari kata primordium (Latin) yang diturunkan melalui akar kata
yaitu primis dan ordior. Primus (primo, primum) yang berarti pertama dan berkaitan dengan waktu, tempat, pangkat serta kedudukan.
Ciri khas antropologi sastra adalah hal-hal yang berhubungan dengan hakikat masa lampau yang mempertimbangkan keterlibatan antara pengarang,
karya sastra, dan pembaca, maka karya sastra yang paling banyak memeroleh perhatian dan ditopang oleh kedua kompenen, yaitu pengarang dan pembaca. Antara pengarang dan pembaca seolah-olah terjadi semacam perjanjian bahwa
masa lampau sebagai struktur primordial yang dianggap sebagai jiwa atau roh yang berfungsi untuk menggerakkan seluruh komponen dan unsur-unsur yang ada
di dalamnya. Dalam intensitas masa lampau dipertimbangkan tiga ciri sebagai berikut:
1. Adanya kekayaan masalah-masalah kebudayaan, seperti adat istiadat, mitos,
religi, kearifan lokal, dan sebagainya, yang secara keseluruhan mengimplikasikan masa lampau.
2. Adanya ciri khas manusia secara psikologis, sebagai ketaksadaran yang apada dasarnya merupakan gudang memori yang menggerakkan keseluruhan kehidupan manusia.
3. Masa lampau dengan sendirinya sudah terjadi, dibuktikan melalui narasi historis, artefak arkeologis, dan berbagai bentuk memori yang tersimpan
15
Seniman besar yang memiliki visi primordial adalah seniman dengan kepekaan tertentu mengenai masa lampau yang memungkinkan untuk memindahkan ’dunia dalam’ kepada dunia luar melalui bentuk-bentuk karya seni,
salah satunya karya sastra. Oleh karena itu, pengalaman di dalam karya satsra
identik dengan masa lampau, khususnya dengan citra primordial. Dibandingkan dengan masa yang akan datang, historisitas masa lampau jelas lebih nyata sebab
masa lampau di alami langsung oleh subyek.
2.3 Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan penulis belum ada yang mengkaji mengenai padan dengan menggunakan novel Senja Kaca karya Almino Situmorang sebagai objek
penelitian, namun ada beberapa penelitian yang hampir sama dilakukan oleh peneliti lain sebagai berikut:
Maria Novelita Parhusip (2011) mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara di dalam skripsinya yang berjudul ”Gambaran Konflik pada Individu yang Menikah Semarga Suku Batak Toba”. Penelitian ini menyinggung
masalah padan marga Nainggolan dan Siregar yang menyebabkan terjadinya konflik interpersonal di dalam diri seorang Batak Toba ketika memutuskan untuk menikah dengan seorang yang semarga (mariboto) atau menikah dengan marga
yang sudah diikat oleh perjanjian (marpadan). Dengan adanya konflik interpersonal inilah, maka seorang Batak Toba yang melanggar hal tersebut akan
16
maka pernikahannya dianggap tidak sah menurut adat Batak Toba. Sedangkan sanksi sosial dari masyarakat adalah tidak diperbolehkannya seseorang yang
melanggar hal tersebut untuk mengikuti acara adat serta berbicara dalam acara-acara penting lainnya karena orang tersebut dikucilkan dan dijauhi oleh
masyarakat.
Maridup Hutauruk (2011) di dalam artikelnya yang berjudul ”Maukah Anda Menjadi Anak Haram?” juga menyinggung masalah padan yang terjadi karena kesepakatan abang beradik di dalam marga yang setuju dengan
terbentuknya Padan Raja. Padan Raja juga tidak memperbolehkan adanya hubungan dan mengharamkan terjadinya pernikahan di antara mereka.
Padan Raja terjadi pada kelompok marga keturunan Raja Nai Ambaton
(PARNA) yang menganggap bahwa mereka masih sebagai kakak beradik dan tidak diperbolehkan menikah antara laki-laki dan perempuan yang tergabung
dalam satu marga tersebut. Marga yang masuk dalam PARNA sekitar 72 marga. Ada 13 marga yang masuk dalam kelompok marga Sigalingging, 12 marga
yang masuk dalam kelompok marga Ginting, 8 marga yang masuk dalam kelompok marga Saragih, 6 marga dari kelompok marga Simbolon, 4 marga dari kelompok marga Sitanggang, dan selebihnya marga-marga tersebut memiliki
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra adalah salah satu unsur budaya yang terkandung di dalam
kehidupan masyarakat (Sumardjo, 1995:60). Unsur-unsur budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang menjadi milik manusia itu sendiri serta tidak terlepas dari proses kegiatan belajar
(Koentjaraningrat, 2007:180). Dengan proses kegiatan belajar tersebut manusia dapat menghasilkan sebuah karya seni, termasuk karya sastra.
Karya sastra adalah refleksi, rekonstruksi bahkan tiruan hasil kebudayaan pada masa tertentu. Karya sastra adalah cara lain untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik secara emosional maupun intelektual. Melalui karya sastra,
identitas kebudayaan suatu bangsa secara keseluruhan dikenal oleh negara lain. Dalam hubungan inilah karya sastra bermanfaat untuk mengungkapkan sekaligus
mendokumentasikan keberagaman kebudayaan.
Karya sastra, baik dalam genre fiksi maupun nonfiksi, banyak mengambil
fakta yang ada di dalam masyarakat. Keterlibatan masyarakat merupakan faktor utama masa lampau dalam menduduki posisi sentral. Masa lampau yang berada di dalam kehidupan masyarakat ikut memberikan makna sehingga memiliki nilai
yang berfungsi untuk menampilkan ciri-ciri masyarakat tertentu di dalam karya sastra (Ratna, 2011:84).
Pada hakikatnya, masa lampau adalah keseluruhan pengalaman, termasuk hal yang paling menyakitkan sekalipun berguna untuk membentuk pribadi
2
manusia. Masa lampau tidak hilang, melainkan terekam dan tersimpan di dalam ketaksadaran manusia yang disebut dengan memori. Memori inilah yang akan
muncul sewaktu-waktu di dalam individu tersebut, yang disebut sebagai kenangan, lamunan, dan khayalan, dalam berbagai bentuk ingatan yang berkaitan
dengan peristiwa-peristiwa lalu atau yang sudah lewat.
Salah satu disiplin ilmu yang berhubungan dengan masyarakat dan
kejadian masa lampau adalah antropologi sastra. Antropologi sastra bukan hanya berbicara tentang kebudayaan secara umum, tetapi juga berkaitan dengan tradisi, adat istiadat, mitos, dan peristiwa-peristiwa kebudayaan, sebagai peristiwa yang
khas dan umumnya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu. Dengan demikian, sebuah karya sastra dapat ditelusuri melalui keseluruhan aktivitasnya,
baik yang terjadi pada masa yang sudah lewat maupun sekarang, bahkan juga pada masa yang akan datang (Ratna, 2011:74).
Seorang pengarang harus dipastikan memiliki kemampuan yang berbeda
dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya, khususnya dalam mengadopsi berbagai gejala yang terjadi di masyarakat. Demikian halnya dengan Almino
Situmorang, seorang pengarang yang mampu mengadopsi suatu peristiwa masa lampau dari masyarakat Batak Toba dan menjadikan peristiwa itu sebagai budaya yang mereka jalani sampai saat ini. Peristiwa masa lampau tersebut digambarkan
ke dalam sebuah novel yang berjudul Senja Kaca. Dengan budaya yang mereka miliki, ada hal yang boleh atau tidak dapat dilakukan oleh masyarakat Batak Toba
3
Masyarakat Batak Toba memiliki sistem kekerabatan berdasarkan marga dan menurut garis keturunan bapak (Tambun, 1995:8). Marga berasal dari satu
kakek dan diturunkan oleh ayah kepada anaknya yang disebut dengan sistem patrilineal (Koentjaraningrat, 2007:106). Sistem patrilineal adalah garis keturunan
yang selalu dihubungkan dengan laki-laki. Namun, kebanyakan masyarakat Batak Toba akan merasa lengkap hidupnya jika mempunyai anak laki-laki karena anak
laki-laki adalah penerus yang dapat mempertahankan silsilah marga (tarombo) yang dimilikinya agar tidak punah.
Menggunakan marga di belakang nama bertujuan sangat positif agar tetap
merasa satu keluarga, terutama di lingkungan orang Batak. Bila tetap merasa satu keluarga maka akan tumbuh rasa kebersamaan dan kerukunan (Sinaga, 2008).
Namun, ketika ada orang Batak menggunakan marga yang sama dan terjalin oleh hubungan darah maka konsekuensinya adalah larangan untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan yang memiliki marga yang sama tersebut.
Novel Senja Kaca yang ditulis oleh Almino Situmorang adalah salah satu karya sastra yang menggambarkan suatu budaya dari masyarakat Batak Toba.
Budaya tersebut adalah sebuah perjanjian antara marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali yang sampai saat ini masih diakui keberadaanya di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba meskipun peristiwa tersebut sudah terjadi di masa
lampau. Perjanjian yang telah disepakati oleh marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali ternyata menimbulkan suatu masalah yang mengakibatkan kedua