• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Sebaran Spasial dan Kesesuaian Habitat Spesies Invasif Mantangan (Merremia peltata) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Sebaran Spasial dan Kesesuaian Habitat Spesies Invasif Mantangan (Merremia peltata) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

i

MODEL SEBARAN SPASIAL DAN KESESUAIAN HABITAT

SPESIES INVASIF MANTANGAN (Merremia peltata) DI

TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

RUDI HERMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Model Sebaran Spasial dan Kesesuaian Habitat Spesies Invasif Mantangan (Merremia peltata) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya ilmiah saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

(4)

RINGKASAN

RUDI HERMAWAN. Model Sebaran Spasial dan Kesesuaian Habitat Spesies Invasif Mantangan (Merremiapeltata) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRASETYO.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) mengalami ancaman kelestarian habitat akibat berupa deforestasi, degradasi hutan, dan invasi spesies. Khusus ancaman yang berupa invasi spesies disebabkan oleh adanya umbuhan invasif yaitu liana berkayu yang termasuk Famili Convolvulaceae, yaitu mantangan (Merremia peltata (L.) Merr.). Adanya invasi mantangan di TNBBS tidak terlepas dari faktor-faktor habitat yang mempengaruhi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor habitat yang penting bagi suatu spesies adalah pemodelan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi distribusi dan karakteristik habitat mantangan, serta membangun model sebaran spasial dan kesesuaian habitat mantangan di Resort Tampang, TNBBS.

Metode yang digunakan untuk menduga sebaran spasial dan kesesuaian habitat mantangan adalah pemodelan berbasis SIG. Analisis statistika yang digunakan adalah regresi logistik biner. Variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah keberadaan mantangan di lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan adalah titik koordinat lokasi kehadiran dan ketidakhadiran mantangan. Data diolah menggunakan perangkat lunak ERDAS, ArcGis, FCD Maper dan SPSS untuk memodelkan sebaran spasial dan kesesuaian habitat mantangan tersebut. Pengolahan data secara statistik melibatkan beberapa variabel. Variabel tersebut yaitu ketinggian tempat, kelerengan, arah lereng, jarak dari jalan, jarak dari kebun, suhu permukaan, Normalized Difference Index (NDVI), Normalized Difference Moisture Indeks (NDMI), dan Forest Canopy Density (FCD).

Pengumpulan data data titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran dilakukan dengan cara mendatangi lokasi-lokasi yang sebelumnya ditetapkan sebagai titik sampel. Titik sampel ditetapkan berdasarkan hasil analisis overlay peta antara peta NDVI dengan kelerengan (slope). Tiap titik koordinat sampel yang didata berbentuk grid dengan ukuran 30 m x 30 m.

Hasil uji VIF menunjukkan bahwa tidak ada variabel yang mengalami multikolinieritas sehingga semua variabel bisa diikutsertakan pada analisis regresi logistik biner. Hasil analisis regresi logistik biner terhadap kesembilan variabel yang diamati menunjukkan bahwa hanya jarak dari jalan yang memiliki taraf nyata secara statistik (α <0.005). Meskipun demikian, sluruh variabel tetap disertakan dalam pemodelan karena tujuan utama adalah membangun dengan variabel-variabel yang telah ditentukan tanpa melihat keeratan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

(5)

atau variabel yang tidak termasuk di dalam model yang terbentuk. Hasil uji persentase ketepatan klasifikasi (percentage correct) menunjukkan bahwa 72.2% dari model yang dibangun dapat memprediksi kondisi yang terjadi dengan benar.

Hasil validasi model menunjukkan bahwa model mampu memprediksi kehadiran mantangan di lapangan hingga 96.87%, sedangkan prediksi untuk ketidakhadiran mantangan hingga 50%. Hasil validasi model untuk memprediksi kehadiran mantangan yang mencapai 96.87% merupakan validasi yang cukup tinggi.

Hasil interpolasi model terhadap seluruh kawasan Resort Tampang TNBBS menunjukkan bahwa Resort Tampang didominasi oleh kawasan yang memiliki kesesuaian tinggi bagi mantangan seluas 1 6188.54 Ha (89.86%), diikuti diikuti oleh habitat dengan kesesuaian sedang 1 549.27 Ha (8.60%), dan paling sedikit yaitu habitat dengan kesesuaian rendah 277.30 Ha Ha (1.54%). Selain itu, jika kesesuaian habitat mantangan dilihat dari tipe tutupan lahan maka 11 969.29 Ha (66.22%) kawasan Resort Tampang telah terinvasi mantangan.

(6)

SUMMARY

RUDI HERMAWAN. Spatial Distribution Model and Habitat Suitability of Invasive Species of Mantangan (Merremia peltata) in Bukit Barisan National Park. Supervised by AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRASETYO.

Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) is under threat habitat preservation due to deforestation, forest degradation, and habitat invasion. Especially for habitat invasion is caused by plant invasive species like Merremia peltata (L) Meril (local name: mantangan), that is a woody liana from Family of Convolvulaceae. Invasion by M. peltata in BBSNP is influenced by habitat factors. One of the methods that can be used to gain insight into the factors that are important for habitat of a species is a Geographic Information System (GIS)-based modeling. The aim of this study is to build a model of the spatial distribution and habitat suitability of M. peltata as well as to identify the distribution and habitat characteristics of M. petata at Tampang Resort BBSNP.

The method that was used to estimate the spatial distribution and habitat suitability of M. peltata is GIS-based modeling. Statistical analysis used binary logistic regression. The dependent variable that was used in this study are the presence of M. peltata at the study site. The collected data are the points of location coordinate of the presence and absence of M. peltata. The data processing used software like ERDAS, ArcGIS, FCD Maper and SPSS for modeling the spatial distribution and habitat suitability of M. peltata. Data processing statistically involves multiple variables. The variables are altitude, slope, direction of slope, distance from roads, distance from the garden, surface temperature, Normalized Difference Index (NDVI), Normalized Difference Moisture Index (NDMI), and the Forest Canopy Density (FCD).

Data collection of coordinate points of presence and absence was done by visiting the locations that were previously designated as sample points. Sample points are determined based on the results of the map overlay analysis between NDVI maps with slopes. Each sample point coordinate is recorded in the form of a grid with a size of 30 m x 30 m.

The result of Variance Infaltion Factors (VIF) test showed that is no variables having multicollinearity so that all of variables can be included in the binary logistic regression analysis. Results of binary logistic regression analysis of the nine observed variables showed that only distance from the road that has a statistically significant level (α <0.05). Nevertheless, all of variables were included in the modeling because the main objective is modeling with all of determined variables regardless of the closeness of the relationship between independent variables with dependent variables.

(7)

Model validation results show that the model is able to predict the M. peltata presence in the field up to 96.87%, while the prediction for the absence of the M. peltata up to 50%. Model validation results for predicting the presence of the M. peltata which reaches 96.87% is enough high validation.

The results of the interpolation model of the entire Tampang Resort BBSNP shows that the Tampang Resort is dominated by areas that have a high habitat suitability for M. peltata presence 1,6188.54 ha (89.86%), followed by medium habitat suitability 1,549.27 ha (8.60%), and at least the with low habitat suitability 277.30 Ha Ha (1.54%). In addition, if the M. peltata habitat suitability is seen from the land cover type so 11,969.29 ha (66.22%) of the Tampang Resort have been invaded by M. peltata.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

i

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

MODEL SEBARAN SPASIAL DAN KESESUAIAN HABITAT

SPESIES INVASIF MANTANGAN (Merremia peltata) DI

TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Model Sebaran Spasial dan Kesesuaian Habitat Spesies Invasif Mantangan (Merremia peltata) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Nama : Rudi Hermawan NIM : E351120181

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop Ketua

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dr Ir Burhanuddin Masyud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah mantangan (Merremia peltata) secara spasial, dengan judul Model Sebaran Spasial dan Kesesuaian Habitat Spesies Invasif Mantangan (Merremiapeltata) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MScFTrop dan Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku dosen pembimbing yang telah begitu banyak memberikan saran dan masukan selama penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Iwan Hilwan, MS selaku penguji luar komisi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin Masyud, MS sebagai ketua program studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas saran dan masukannya yang berharga untuk perbaikan karya ilmiah ini, terima kasih kepada Ibu Dr Titiek Setyowati dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam atas bantuan logistik untuk jalannya penelitian ini, terima kasih kepada Bapak Ir Maniful Hamid selaku Pelaksana Harian Kepala BBTNBBS yang telah membantu perijinan masuk kawasan Resort Tampang TNBBS, terima kasih kepada pihak manajemen Artha Graha atas ijin masuk Resort Tampang TNBBS, terima kasih kepada Bapak Uhar Suharto sebagai polisi hutan di TNBBS atas bantuannya selama pengambilan data di lapangan. Ungkapan terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya juga disampaikan kepada ibu, ayah, serta seluruh keluarga.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pemikiran 3

2 METODE 4

Waktu dan Lokasi Penelitian 4

Objek dan Alat Penelitian 6

Jenis Data 6

Metode Pengambilan Data 6

Metode Analisis Data 8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 15

Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran Mantangan 15

Model Sebaran Spasial dan Kesesuaian Habitat Mantangan 16 Distribusi dan Karakteristik Habitat Mantangan Berdasarkan

Faktor Penentu Kesesuaian Habitat 21

Implikasi Model untuk Pengelolaan Mantangan 39

4 SIMPULAN DAN SARAN 40

DAFTAR PUSTAKA 41

(14)

DAFTAR TABEL

1 Variabel lingkungan yang digunakan untuk analisis distribusi mantangan 9 2 Hasil diagnosa multikolinieritas antar Variabel bebas 18 3 Hasil validasi model kesesuaian habitat mantangan 19

4 Tutupan lahan di Resort Tampang TNBBS 21

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 3

2 Lokasi penelitian di Resort Tampang, TNBBS 8

3 Sebaran titik sampel di Resort Tampang TNBBS 10

4 Bagan alir metode penelitian 14

5 Sebaran titik kehadiran mantangan di Resort Tampang TNBBS 17

6 Peta kesesuaian habitat mantangan 20

7 Peta sebaran mantangan berdasarkan ketingggian tempat (elevation) 22 8 Peta sebaran mantangan berdasarkan kelerengan (slope) 24 9 Peta Sebaran mantangan berdasarkan arah lereng (aspect) 26 10 Peta sebaran mantangan berdasarkan jarak dari jalan 27 11 Peta sebaran mantangan berdasarkan jarak dari kebun 29 12 Peta sebaran mantangan berdasarkan suhu permukaan 31

13 Peta sebaran mantangan berdasarkan NDVI 33

14 Peta sebaran mantangan berdasarkan NDMI 35

15 Peta sebaran mantangan berdasarkan FCD 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Titik kehadiran dan ketidakhadiran mantangan yang dijadikan bahan

penyusun model 46

2 Titik kehadiran dan ketidakhadiran mantangan yang dijadikan bahan

validasi model 51

3 Hasil analisis statistik dengan metode regresi logistik biner 54

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan kawasan lindung terbesar ketiga di Sumatera, berlokasi di ujung selatan Pulau Sumatera, dengan luas 315.695 ha, membentang dari bagian selatan Propinsi Lampung hingga bagian utara Propinsi Bengkulu (BTNBBS 1999 dalam Master etal. 2013). Kelestarian kawasan TNBBS tidak selalu berjalan ideal. Suyadi (2011) menyatakan bahwa 20% dari total area TNBBS telah mengalami degradasi serta menghadapi aksi deforestasi yang serius.

Selain ancaman berupa degradasi dan deforestasi, kawasan TNBBS juga mengalami tekanan habitat oleh adanya spesies tumbuhan lokal yang invasif. Tumbuhan tersebut yaitu mantangan (Merremiapeltata (L.) Merr.) yang termasuk dalam Convolvulacea. Saat ini 2% dari total luas kawasan TNBBS terinvasi oleh mantangan (Azis 2012, FORDA 2013, Master etal. 2013).

Mantangan di TNBBS dikategorikan sebagai tumbuhan lokal yang invasif karena dapat dijumpai di lapangan serta keberadaannya membahayakan bagi lingkungan. Bahaya yang ditimbulkan bagi lingkungan tersebut seperti menjadi pesaing spesies asli lainnya yang mengisi relung ekologis yang sama; mengganggu jaring makanan; mengurangi keanekaragaman hayati, antara lain membunuh spesies asli lainnya dengan cara mencekik; mengancam populasi tumbuhan yang ada di sekitar tempat tumbuhnya; menurunkan tingkat kualitas habitat; mengganggu nilai estetik alamiah; dan menghambat mobilitas fauna besar di TNBBS. Salah satu contoh kasus bahaya invasi dari mantangan yaitu mengganggu habitat alami beberapa jenis satwaliar di TNBBS (Master et al. 2013).

Selain bersifat invasif, mantangan juga cenderung bermanfaat sebagai tumbuhan obat. Hasil dari beberapa penelitian menyatakan bahwa masyarakat suku tertentu biasa menggunakan mantangan sebagai tumbuhan obat, misalnya sebagai obat sakit kepala dan obat kesegaran pada masyarakat Isenebuai, Distrik Rumberpon, Kabupaten Teluk Wondama (Pical 2013); sebagai obat yang dapat memperlancar aktifitas kelahiran pada masyarakat sekitar Kepulauan Vanuatu (Bourdy et al. 2013); dan ekstrak etanol yang diperoleh dari mantangan memiliki bahan aktif anti kanker pada mencit putih (Alen et al. tanpa tahun).

(16)

2

tempat di Polynesia Prancis yaitu 0 – 600 mdpl dan hidup secara melilit (vine), sedangkan di Vanuatu banyak terdapat di tepian hutan (SPREP 2000).

Persebaran mantangan di alam tidak terlepas dari sistem reproduksi yang ada padanya, baik secara vegetatif maupun generatif. Terkait reproduksi mantangan tersebut, Bacon (1982) menyatakan bahwa jenis mantangan ini memiliki distribusi dan kelimpahan dalam dua cara, yaitu secara vegetatif dengan cara menyebar ke lokasi-lokasi terdekat atau dengan perakaran yang muncul dari simpul tempat tumbuh akar, sedangkan cara kedua yaitu secara generatif melalui biji. Selain itu, Bacon (1982) menyatakan bahwa cara persebaran dengan daya kecambah biji sangat rendah di Kepulauan Solomon, sehingga bentuk utama penyebaran mantangan yaitu secara vegetatif secara menjalar.

Kecepatan pertumbuhan mantangan di TNBBS tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi sebaran dan kesesuaian habitatnya. Faktor-faktor-faktor tersebut bisa berupa biologi, fisik, lingkungan, bahkan faktor manusia. Dalam pemodelan spasial, semua faktor yang mempengaruhi penyebaran dan kesesuaian habitat mantangan tersebut diusahakan dapat diolah dalam bentuk spasial. Data faktor manusia misalnya, harus bisa disajikan dalam bentuk spasial. Osborne (2001) menyatakan bahwa terdapat banyak spesies yang secara nyata dipengaruhi oleh aktivitas manusia dalam skala ruang yang luas, serta tindakan konservasi membutuhkan informasi yang detail terkait sebarannya.

Sampai saat ini belum ada penelitian terkait faktor-faktor kesesuaian habitat mantangan dan sebaran spasialnya di Indonesia, khususnya di TNBBS. Menurut Hasan (2012) salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor habitat yang penting bagi suatu spesies adalah pemodelan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Perluasan penggunaan metode SIG memberikan kesempatan pada pengguna untuk bisa menghitung beberapa indikator berdasarkan bahan kartografi digital (Papadimitriou 2002), menduga kecocokannya terkait kualitas habitat yang akan diprediksi (Oja 2005), serta menghitung beberapa hubungan antara jenis dengan lingkungan yang mewakili pemodelan prediksi geografis dalam bidang ekologi (Guisan etal. 2000).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Membangun model sebaran spasial dan kesesuaian habitat mantangan di Resort Tampang, TNBBS, dan

2. Mengidentifikasi distribusi dan karakteristik habitat mantangan di Resort Tampang, TNBBS.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Menjadi sumber informasi dan data tentang habitat yang sesuai bagi persebaran mantangan di TNBBS.

(17)

3 pengendalian mantangan sebagai spesies invasif di TNBBS dapat berjalan lebih terfokus dan menyeluruh.

Kerangka Pemikiran

Kawasan TNBBS saat ini sedang menghadapi beragam tekanan habitat, salah satunya diakibatkan oleh adanya perkembangan spesies invasif yang tidak terkendali. Sampai saat ini pengelolaan tumbuhan invasif di TNBBS belum mencapai hasil yang optimal. Akibat belum optimalnya pengelolaan maka dampak terhadap ekologi pun belum bisa dituntaskan. Dampak ekologi akan bisa dituntaskan jika terdapat upaya mitigasi diantara berupa upaya mengetahui faktor-faktor sebaran dan kesesuaian habitat mantangan. Faktor-faktor-faktor sebaran dan kesesuaian habitat mantangan tersebut meliputi faktor biotik dan abiotik. Dari faktor-faktor tersebut dapat dianalisis secara spasial.

(18)

4

2 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian di lapangan dilakukan pada Maret, April, dan Mei 2014. Lokasi penelitian dilakukan di Resort Tampang (18 079.89 ha), Kawasan TNBBS (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Objek dan Alat Penelitian

Objek penelitian adalah mantangan (Merremia peltata (L) Merill). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kompas, pita ukur, tallysheet, tambang plastik, meteran, Alat Global Positioning System (GPS) receiver, kamera digital, binokuler, SPSS Statistic 16, Arc GIS 9.3, dan ERDAS Imagine 9.1, citra LANDSAT 8/OLI-TIRS (Onboard Operational Land Imager-Thermal Infrared Sensor) path 124/row64 USGS akuisisi 4 Juni 2013 (USGS 2013); Aster DEM (Digital Elavation Model); peta batas kawasan dan peta zonasi dari TNBBS; dan data digital peta rupa bumi skala 1:50 000 dengan Nomor Lembar Peta (NLP) 1010-24, 1010-22, 1010-33, dan 1010-31 dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan selama penelitian merupakan data yang memiliki hubungan dengan sifat-sifat invasif tumbuhan dan sifat ekologi serta habitat yang dimiliki oleh mantangan. Data tersebut dalah:

1. Data kehadiran (presence) dan ketidakhadiran (absence) mantangan,

2. Data Variabel/faktor biofisik tempat tumbuh mantangan, meliputi ketinggian tempat (elevation) dan kemiringan lereng (slope), arah kemiringan lereng (aspect), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)/penutupan vegetasi, Normalized Difference Moisture Index (NDMI)/kelembaban vegetasi, suhu, Forest Canopy Density (FCD), dan faktor gangguan seperti jarak terdekat dari jalur patroli/perlintasan penduduk, serta jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia.

(19)

5 beberapa pustaka terkait mantangan seperti Master (2012), SPREP (2000), dan Kirkham (2005). Hasil penumpangtindihan (overlay) dua variabel tersebut diperoleh 25 titik kombinasi yang berbeda.

(20)

6

(21)

7 Setiap titik kombinasi tersebut ditetapkan sebagai titik sampel. Setiap titik sampel harus diambil minimal satu sampel. Tiap titik sampel berupa plot berukuran 30 meter x 30 meter. Ukuran tersebut berdasarkan pada data citra Landsat 8 yang digunakan, dimana ukuran pikselnya adalah 30 meter x 30 meter. Titik sampel yang terebntuk kemudian dikunjungi satu per satu untuk memastikan kehadiran atau ketidakhadiran mantangan di titik sampel tersebut dengan menggunakan GPS (Gambar 3).

Variabel Biofisik Lingkungan

Variabel-variabel (covariate) biofisik lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain biofisik tempat tumbuh mantangan berupa ketinggian tempat (elevation), kelerengan (slope), arah lereng (aspect), Normalization Difference Vegetation Index (NDVI)/kondisi vegetasi, Normalized Difference Moisture Index (NDMI)/kelembaban vegetasi, dan suhu.

Adapun jarak terdekat dari jalur patroli/perlintasan penduduk setempat, serta jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia adalah data yang digunakan untuk mengetahui gangguan terhadap keberadaan mantangan. Data tersebut diperoleh dengan melakukan verifikasi hasil pengambilan titik koordinat di lapangan menggunakan GPS dengan data citra.

Metode Analisis Data

Analisis Variabel Bebas

Faktor-faktor variabel biofisik jika dirinci secara keseluruhan meliputi banyak sekali variabel ekologi yang berperan dalam membentuk seluruh komunitas dengan kompleks-kompleks hubungan biotik-fisik di mana spesies ini hidup (Odum 1993). Dalam pemodelan spasial, pemilihan variabel ekologi ini bergantung pada ketersediaan data spasial. Hal ini mengingat ketersediaan data spasial merupakan pembatas utama dalam membangun model-model terkait dengan perjumpaan spesies (Osborne et al. 2002).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk membangun model pada penelitian ini dipilih variabel ekologi yang diduga berpengaruh terhadap relung habitat mantangan secara fungsional sesuai dengan ekologi mantangan di mana variabel ekologi tersebut dapat dibuat data spasialnya berdasarkan nilai masing-masing titik koOrdinat (Y)ang diolah melalui proses zonal pada ArcGis (Tabel 1). a. Ketinggian tempat (x1), Kemiringan lereng (x2), dan Arah kemiringan lereng (x3)

(22)

8

(23)

9 b. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) (x4)

Data variabel NDVI diperoleh dari pengolahan citra landsat 8 OLI-TIRS akuisisi 4 juni 2013, dengan menggunakan band 4 (visible red layer) dan band 5 (near infra red layer). Danoedoro (2012) menyatakan bahwa transformasi NDVI merupakan salah satu produk standar NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), satelit cuaca yang berorbit polar namun memberi perhatian khusus pada fenomena global vegetasi dan cuaca. Tucker (1986) menyatakan bahwa berbagai penelitian mengenai perubahan liputan vegetasi di Benua Afrika banyak menggunakan transformasi NDVI ini. Formulasi NDVI menurut Danoedoro (2012) adalah:

��= (��� � � ℎ � � − �� � ℎ)

(��� � � ℎ+ �� � ℎ)

Sebelumnya dilakukan ekstraksi data, terlebih dulu dilakukan pra pengolahan data dengan melakukan koreksi geometrik terhadap citra tersebut dengan peta digital kawasan TNBBS sebagai acuan. Selain itu juga dilakukan reproject image dengan nearest neighbour sebagai resample method-nya untuk transformasi resolusi spasial citra tersebut dari 20 meter menjadi 30 meter.

c. Suhu (x5)

Data variabel suhu menggunakan Erdas Imagine 9.1, kemudian dibangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat-8/OLI. Hal yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai DN (Digital Number) untuk dilakukan konversi menjadi nilai radiansi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi nilai radiansi (USGS 2012).

Lλ = MLQcal + AL

dimana:

= TOA spectral radiance (Watts/(m square * srad * m))

ML = Band khusus hasil rescalling faktor multiplikatif yang diperoleh dari

metadata (RADIANCE_MULT_BAND_x, dimana x merupakan nomor band) AL = Band khusus faktor rescalling tambahan yang diperoleh dari metadata

(RADIANCE_ADD_BAND_x, dimana x merupakan nomor band)

Qcal = Nilai produk piksel standar yang telah dihitung dan dikalibrasi (DN)

Atau secara praktis (Srinivasan 2013) adalah:

[Spec_rad_B―X‖.tif ] = [RADIANCE_MULT_BAND_‖X‖] * [―identifier‖_B‖X‖.tif] + [RADIANCE_ADD_BAND_‖X‖]

Dimana ―X‖ merupakan angka band tertentu, nilai RADIANCE diperoleh dari file metadata, dan [Spec_rad_B‖X‖.tif] merupakan nama file dari hasil radiansi spectral (output spectral radiance).

Prediksi suhu permukaan diperoleh dengan melakukan konversi band 11 pada Landsat 8 OLI (Operational Land Imager) dengan rumus (USGS 2012) di bawah ini:

(24)

10

dimana:

T = Suhu cerah pada satelit (Kelvin)

= TOA spectral radiance (Watts/( m2 * srad * m))

K1 = Band khusus untuk tetapan perubahan panas (suhu) yang diperoleh dari

metadata (K1_CONSTANT_BAND_x, dimana x merupakan nomor band 10 atau band 11)

K2 = Band khusus untuk tetapan perubahan panas yang diperoleh dari metadata

(K2_CONSTANT_BAND_x, dimana x merupakan nomor band 10 atau band 11) Atau secara praktis adalah (Srinivasan 2013):

[Temp_B‖X‖.tif] = [K2_CONSTANT_BAND_‖X‖]

/[ln((K1_CONSTANT_BAND_‖X‖ / [Spec_rad_B‖X‖.tif]) + 1)]

Dimana ―X‖ merupakan angkan band spesifik, nilai [K2_CONSTANT_band_X] dan nilai [K1_CONSTANT_band_X] diperoleh dari file metadata Landsat 8, dan file [Temp_B‖X‖.tif] merupakan luaran dari nama file suhu (temperature) dalam satuan Kelvin.

d. Normalized Difference Moisture Index (NDMI) (x6)

Data kelembaban vegetasi diperoleh dengan NDMI yang dihasilkan dari normalisasi band 4 dan band 5 pada Citra Landsat 7 (Price dan Tinant 2000). Jika NDMI menggunakan data Citra Landsat8 maka band yang digunakan yaitu band 5 dan band 6. Formulasi untuk NDMI jika menggunakan Citra Landsat 8:

� = ( 5− 6)

( 5 + 6)

e. Jarak dari jalan (x7) dan Jarak dari kebun atau aktivitas manusia (x8)

Jarak dari jalan dan jarak dari kebun merupakan representasi dari gangguan yang disebabkan oleh adanya aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi distribusi mantangan.

Data x7 dan x8 diperoleh dari hasil analisis spasial menggunakan teknik Euclidean distance untuk pemetaan kedekatan (proximity mapping), yaitu masing-masing sel diberi nilai terhadap objek terdekatnya, di mana objek terdekat ditentukan berdasarkan jarak Euclidean (Puntodewo etal.2003).

f. Forest canopy density (FCD) atau persentase penutupan vegetasi yang berdasarkan pada (x9)

Variabel FCD diperoleh dari data citra Landsat TM, yang dibangun dari empat faktor seperti vegetasi, tanah kosong, panas, dan bayangan (Rikimaru et al. 2002). Keluaran dari nilai FCD ini berupa persentase tutupan lahan yang berkisar dari 0-100%. FCD merupakan pemodelan dari fenomena biofisik dan analisis fungsi yang diturunkan dari empat indeks yaitu Advanced Vegetation Index (AVI), Bare Soil Index (BI), Shadow Index or Scaled Shadow Index (SI, SSI), dan Thermal Index (TI). Persamaan untuk indeks-indeks tersebut sebagai berikut:

Persamaan untuk Advanced Vegetation Index (AVI) yaitu: B1-B7: TM Band 1-7 data

(25)

11 Jika B43 > 0 maka AVI = [(B4 +1) x (256-B3) x (B4 - B3)]^1/3

Persamaan untuk Bare Soil Index (BI) yaitu:

BI= [(B5+B3)-(B4+B1)]/[(B5+B3)+(B4+B1)] x 100 + 100 Dengan nilai kisaran BI yaitu 0<BI<200

Persamaan untuk Vegetation Density (VD) yaitu:

VD merupakan prosedur untuk menggabungkan antara AVI dengan BI. Prosedur penggabungan ini menggunakan principal component analysis (PCA). Secara mendasar, VI dengan BI memiliki korelasi negatif yang tinggi. Setelah dianalisis dengan PCA kemudian ditentukan titik 0% dan titik 100% untuk menghasilkan citra baru yang disebut VD (Rikimaru et al 2002, Danoedoro 2012).

Persamaan untuk Shadow Index (SI) yaitu: SI = [(256-B1) x (256-B2) x (256-B3)]^(1/3) Persamaan untuk Thermal Index (TI) yaitu:

Rumus TI dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa ada dua hal yang menyebabkan area di dalam hutan menjadi relatif lebih sejuk. Dua hal penyebab tersebut yaitu (a) kanopi menahan masuknya energi matahari menembus sampai ke bawah liputan pepohonan, dan (b) dedaunan melakukan evapotranspirasi sehingga suhu (temperature) menjadi lebih rendah. Model TI dikembangkan dengan memanfaatkan saluran inframerah termal (saluran 6) pada citra Landsat TM dan Landsat ETM+ (Danoedoro 2012).

Persamaan untuk Scaled Shadow Index (SSI) yaitu:

SSI diperoleh berdasarkan SI yang diproses terlebih dahulu menjadi Advanced Shadow Index (ASI). Rikimaru et al. (2002) menyatakan bahwa SSI dikembangkan supaya SI bisa diintegrasikan dengan VI. Wilayah-wilayah dengan nilai SSI=0 adalah Wilayah-wilayah yang juga nilai bayangannya (SI)=0. Wilayah dengan nilai SSI=100 adalah area dengan tutupan bayangan 100%.

Persamaan FCD yaitu:

FCD = [(VD x SSI+1)^(1/2)] -1

Dari persamaan FCD tersebut, data dianalisis dengan bantuan perangkat lunak FCD Mapper.

Analisis Regresi Logistik Biner

Penggunaan regresi logistik biner dimulai dengan memasukkan variabel-variabel ke dalam perangkat lunak SPSS 16. Jumlah data kehadiran dan ketidakhadiran yang digunakan untuk membangun model sebanyak 70% dan 30% lagi digunakan untuk validasi model. Peta kesesuaian habitat dibuat dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3. ArcGIS menggabungkan semua informasi yang hingga membentuk sebuah peta kesesuian dengan fungsi regresi logistic biner.

(26)

12

diskriminan variabel terikat adalah data rasio, maka pada regresi logistik biner variabel terikatnya adalah data nominal yang berbentuk biner.

Nilai duga regresi logistik biner (ŷ) ini merupakan nilai peluang yang berkisar antara 0 – 1. Kaidah peluang yang berlaku dalam penelitian ini adalah seberapa besar peluang suatu area secara potensial sesuai untuk habitat mantangan berdasarkan penilaian pada variabel penduganya. Nilai peluang 0< Pi<0.5 dikategorikan sebagai area yang tidak sesuai untuk habitat mantangan, sedangkan nilai peluang 0.5<Pi<1 dikategorikan sebagai area yang sesuai untuk habitat mantangan. Nilai ambang batas (threshold) 0.5 ini telah digunakan secara luas dalam pendugaan distribusi spesies (Manel et al. 1999; Bailey et al. 2002; Stockwell & Peterson 2002). Model regresi logistik biner dirumuskan sebagai berikut:

Pi = peluang kesesuaiam habitat mantangan untuk titik observasi ke-i e. = exponent, bilangan natural (= 2.718281828)

xn = variabel penduga ke-n i = titik observasi ke-i

β0 = intersep atau konstanta persamaan βn = koefisien dari variabel penduga ke-n k = jumlah variabel penduga (n)

Penghitungan regresi logistik ini menggunakan perangkat lunak SPSS. Hasil penghitungan menggunakan regresi logistik berupa persamaan regresi logistik yang kemudian diolah menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3. Penggunaan ArcGis ini bertujuan untuk menggabungkan data-data dari berbagai variabel bebas sehingga diperoleh peta kesesuaian habitat bagi mantangan.

Model spasial regresi logistik kesesuaian habitat hanya menunjukkan habitat yang sesuai dan tidak sesuai bagi mantangan. Pembagian kelas/kategori kesesuaain tersebut diperoleh dari seluruh area studi. Pembagian kelas ditentukan berdasarkan ambang batas kelas/kategori. Penentuan ambang batas kategori mengacu pada Supranto (2000) yang menentukan interval ambang batas suatu kategori berdasarkan persamaan berikut:

Perkiraan besar interval = Pmax −Pmin

Jumlah kelas atau kategori

Berdasarkan persamaan tersebut, ambang batas yang digunakan untuk masing-masing kategori sebagai berikut:

- Nilai 0.003 < P < 0.334 termasuk kategori ―kesesuaian habitat rendah‖, - Nilai 0.334< P < 0.665 termasuk kategori ―kesesuaian habitat sedang‖,

dan

- Nilai 0.665 < P < 0.λλ6 termasuk kategori ―kesesuaian habitat tinggi‖. Uji Kelayakan Model

(27)

13 nilai pengamatan. Uji kelayakan model menggunakan uji Hosmer-Lemeshow. Uji Hosmer-Lameshow cocok untuk model yang terdiri dari beberapa variabel bebas yang bernilai diskrit ataupun kontinu (Hosmer et al. 1997). Variabel bebas dinyatakan cocok (fit) dengan model jika signifikansi pada hasil uji Hosmer-Lemeshow di atas 0.05.

Koefisien determinasi (R2) ditentukan dengan melihat hasil uji Negelkerke R2 dan percentage correct (overall percentage). Negelkerke R2 menunjukkan tingkat kepentingan variabel bebas dalam memprediksi variabel terikat. Semakin besar nilai Negelkerke R2 yang dihasilkan maka model tersebut semakin baik. Percentage correct untuk melihat kemampuan model dalam menebak kondisi yang terjadi. Semakin besar Percentage Correct maka semakin baik.

Validasi Model

Terdapat dua kesalahan yang mungkin muncul dalam mebangun model sebaran dan kesesuaian habitat mantangan ini. Kesalahan pertama, model memprediksi suatu lokasi sebagai habitat yang tidak sesuai bagi mantangan padahal mantangan tersebut ditemukan ada pada lokasi tersebut. Kesalahan kedua, model memprediksi bahwa di suatu lokasi merupakan habitat yang sesuai bagi mantangan padahal mantangan tidak pernah ditemukan pada lokasi tersebut. Untuk mengantisipasi kemungkinan kesalahan prediksi dari model yang dibangun, maka dilakukan uji validasi.

Validasi model regresi logistik kesesuaian habitat mantangan dilakukan dengan menggunakan data kehadiran dan ketidakhadiran. Data ini dipisahkan terlebih dahulu dan dipilih secara acak sebelum membangun model. Validasi berguna untuk meminimalisir kesalahan pada penggunaan model selanjutnya. Nilai validasi dilakukan terhadap hasil interpolasi model secara spasial. Tingkat validitas model dilihat dari tingginya persentase data kehadiran mantangan pada kesesuaian yang tinggi bagi habitat mantangan. Persamaan terkait persentase validitas model adalah sebagai berikut:

Validasi=n

N ×100%

Dengan n = jumlah titik ditemukannya mantangan pada suatu kelas kesesuaian, dan N = jumlah total titik ditemukannya mantangan pada seluruh kelas kesesuaian. Interpolasi Model

Interpolasi adalah prosedur untuk menduga nilai-nilai yang tidak diketahui dengan menggunakan nilai yang diketahui pada lokasi yang berdekatan (bertetangga), yang mana titik-titik yang berdekatan tersebut berjarak teratur atau tidak teratur (Barus et al. 2000). Interpolasi model dilakukan dengan menggunakan program interpolasi kriging. Kriging merupakan metode yang fleksibel dan banyak dipakai meskipun untuk data besar akan lambat (Keckler 1994 dalam Barus etal. 2000).

Implikasi Model untuk Pengelolaan Mantangan

(28)

14

teoritis di bidang konservasi semakin maju maka segala aktifitas konservasi ke depan akan berjalan semakin mantap. Bagan alir metode penelitian disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Bagan alir metode penelitian.

(29)

15

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Bukit Barisan Selatan dikukuhkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 seluas 356 800 Ha, dan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan (CAL-BBS) seluas 21 600 Ha sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Februari 1990 (BBTNBBS 2009). Berdasarkan luasan yang ada, TNBBS termasuk kawasan lindung terbesar ke tiga di Pulau Sumatera (Master 2012). Secara geografis Kawasan TNBBS terletak antara 402λ’ – 5057’ Lintang Selatan dan 103024’ – 104044’ Bujur Timur, sedangkan secara administratif Kawasan TNBBS termasuk kedalam dua propinsi yaitu Lampung dan Bengkulu, atau secara rinci luas kawasannya termasuk dalam wilayah Kabuapaten Tanggamus dengan luas sekitar 10 500 Ha; Kabupaten Lampung Barat dengan luas sekitar 280 300 Ha; Kabupaten Kaur dengan luas sekitar 66 000 Ha (BBTNBBS 2009).

Keberadaan TNBBS tidak terlepas dari kondisi fisik dan lingkungan yang menyusunnya. Kondisi fisik dan lingkungan tersebut yaitu jenis tanah yang paling luas penyebarannya yaitu podsolik merah kuning (PMK); geologi, dengan batuan vulkanik merupakan batuan yang paling luas dijumpai di bagian tengah dan utara taman nasional (BTNBBS 2005); iklim menurut Badan Metereologi dan Geofisika (1998), di bagian barat taman nasional memiliki curah hujan 3 000 – 3 500 mm/tahun dan bagian timur taman nasional memilki curah hujan 2 500 – 3 000 mm/tahun; hidrologi, Kawasan TNBBS merupakan daerah hulu dari 23 sungai besar dan merupakan daerah tangkapan air, sehingga berperan penting dalam melindungi sistem tata air (hidroorologi) (BBTNBBS 2009).

Jika ditinjau dari kondisi bioekologi, kawasan TNBBS memiliki beragam ekosistem karena ketinggian lokasinya pada 0 – 2 000 mdpl; beragam flora seperti tumbuhan langka Rafflesia (Rafflesia sp.) serta jenis bunga bangkai seperti Amorphophallus titanum dan Amorphophallus deculsivae; beragam fauna Secara umum telah teridentifikasi 122 jenis mamalia termasuk 7 jenis primata, 450 jenis burung termasuk 9 jenis burung rangkong, 91 jenis herpetofauna (reptil dan amphibi) serta 53 jenis ikan hidup di kawasan TNBBS (di air tawar, payau, dan laut). Terdapat 6 jenis binatang mamalia yang terancam menurut Red Data Book IUCN masing-masing Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus), Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus), Beruang Madu (Helarctos malayanus) dan Ajag (Cuon alpines)(BBTNBBS 2009).

Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran Mantangan

(30)

16

Dari total titik kehadiran dan ketidakhadiran dipilih secara acak (random) sebanyak 70% (108 titik) sampel yang akan digunakan untuk model, dan 30% (48 titik) untuk validasi model. Dari 70% (108) titik sampel tersebut komposisinya harus 50% (54 titik) merupakan titik kehadiran dan 50% (54 titik) merupakan titik ketidakhadiran. Ditetapkan titik model 70% untuk kehadiran dan ketidakhadiran mantangan karena bertujuan agar memenuhi kaidah bahwa sampel minimal untuk regresi logistik biner adalah 50 sampel titik kehadiran, dan 50 sampel titik ketidakhadiran (Lampiran 1).

Model Sebaran Spasial dan Kesesuaian Habitat Mantangan

Analisis Regresi Logistik Biner

Pemodelan dengan regresi logistik ini menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS 16, dengan metode enter. Sebelum dilakukan analisis regresi logistik, dilakukan uji multikolinieritas antar variabel bebas yang digunakan. Uji multikolinieritas ini menggunakan metode uji VIF (Variance Inflation Model).. Variabel penduga yang digunakan untuk membangun model terdiri dari 9 variabel, yaitu ketinggian tempat, kelerengan, arah lereng, jarak dari jalan, jarak dari kebun, suhu permukaan, NDVI, NDMI, dan FCD. Pemodelan dilakukan dengan menghimpun titik kehadiran dan ketidakhadiran mantangan sebanyak 108 titik. Nilai statistik pada tiap titik kehadiran dan ketidakhadiran diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3 secara zonal statistic as tabel (Lampiran 1).

Variabel yang dihimpun merupakan beberapa variabel yang memiliki satuan yang beragam sehingga data yang dihasilkan memiliki nilai yang besarannya beragam pula. Misalnya pada variabel jarak dari jalan memiliki nilai ribuan, sedangkan pada variabel NDVI dan NDMI memiliki nilai kurang dari satu (nol koma sekian). Kondisi data yang nilai besarannya beragam tersebut berdampak pada sebaran data yang cenderung jauh dari normal. Supaya data menyebar normal maka dilakukan transformasi data dengan metode akar (square root, SQRT). Transformasi tidak optimal jika data masih ada yang bernilai negatif. Nilai data yang negatif tersebut dihilangkan dengan cara menambahkan nilai dua pada data asli sehingga bentuk tansformasinyanya yaitu ―[SQRT (data asli variabel + 2)]‖.

(31)

17

(32)

18

Hasil analisis regresi logistik biner memperlihatkan bahwa setiap variabel berpengaruh terhadap variabel terikat (kehadiran atau ketidakhadrian mantangan di lapangan) (Lampiran 3).

Tabel 2 Hasil diagnosa multikolinieritas antar variabel bebas

Model Collinearity Statistics

Berdasarkan hasil analisis dengan metode regresi logistik (Lampiran 3), maka persamaan probabilitas kesesuaian habitat mantangan (P) yang terbentuk adalah:

P= exp . Z

1+ exp. Z dengan

Z= -130.868 + [0.53*SQRT(jarak dari jalan+2)] + [0.128*SQRT(elevasi+2)] +

[41.636*SQRT(NDVI+2)] + [1.820*SQRT(NDMI+2)] +

[12.188*SQRT(suhu+2)] + [0.083*SQRT(FCD+2)] – [0.106*SQRT(slope+2)] – [0.55*SQRT(aspect+2)] + [0.002*SQRT(jarak dari kebun+2)].

Penerapan model yang terbentuk menghasilkan peta probabilitas kesesuaian habitat mantangan (Gambar 6). Peta probabilitas tersebut dibagi berdasarkan ambang batas yang telah ditetapkan dan menghasilkan peta kesesuaian habitat mantangan. Peta kesesuaian yang diperoleh terdiri atas tiga kategori, yaitu kesesuaian rendah, kesesuaian sedang, dan kesesuaian tinggi. Penetapan peta probabilitas dan peta kesesuaian habitat mantangan diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3. Ambang batas kategori kelas kesesuaian adalah sebagai berikut:

Perkiraan besar interval (P) =1−0.00009

3 = 0.333303

(33)

19 Uji Kelayakan Model

Hasil uji kelayakan model dengan menggunakan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan bahwa model dinyatakan cocok (fit) karena memiliki signifikansi secara statistik 0.224 (>0.05). Nilai Nagelkerke R2 menggambarkan bahwa 33.5% keragaman dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor di luar model (Lampiran 3). Nilai Nagelkerke R2 yang terbentuk merupakan nilai pendekatan saja karena pada regresi logistik koefisien determinasi tidak dapat dihitung seperti regresi linier. Dengan semikian yang lebih perlu diperhatikan yaitu nilai Classification Plot. Nilai ClassificationPlot (OverallPercentage) yang diperoleh dari analisis adalah 72.2% (Lampiran 3). Nilai Classification Plot tersebut menggambarkan bahwa 72.2% dari model yang dibangun dapat memprediksi dengan benar kondisi yang terjadi.

Validasi Model

Validasi model dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Hasil uji validasi menunjukkan bahwa model yang terbentuk mampu memprediksi kehadiran mantangan di lapangan hingga 96.87% (31 titik), sedang ketidakhadiran hingga 50% (8 titik) (Tabel 3).

Khusus untuk uji validasi model antara kesesuaian habitat mantangan dengan titik ketidakhadiran menunjukkan bahwa validasi model dengan kesesuaian rendah adalah 0% (Tabel 3). Hal tersebut terjadi karena terbatasnya titik ketidakhadiran yang dilibatkan dalam uji validasi dan sangat sempitnya luas areal yang memiliki kelas kesesuaian rendah dibanding kelas kesesuaian lainnya (Gambar 6). Berdasarkan hal tersebut maka uji validasi untuk ketidakhadiran terhadap peta kesesuaian mantangan diambil dari kelas kesesuaian sedang.

Tabel 3 Hasil validasi model kesesuaian habitat mantangan

No. Kelas Kesesuaian Titik Kehadiran Titik Ketidakhadiran Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)

Tingkat keakuratan model didasarkan pada hasil uji penumpangtindihan (overlay) antara titik kehadiran mantangan dengan peta (layer) yang dibangun dengan model regresi logistik biner yang terbentuk. Hasil uji validasi memperlihatkan bahwa nilai akurasi cukup tinggi, yaitu 96.87% (Tabel 3 dan Gambar 6).

(34)

20

dikelilingi rawa. Hasil analisis model memperlihatkan bahwa lokasi yang paling sesuai untuk pertumbuhan mantangan yaitu pada lokasi yang bertajuk terbuka dan yang masih bisa ditumbuhi vegetasi lain.

(35)

21 Salah satu syarat pertumbuhan mantangan hingga mencapai kategori invasi yaitu di lokasi yang masih bisa ditumbuhi vegetasi lain dan masih menerima cahaya matahari secara penuh. Adanya vegetasi lain untuk pertumbuhan mantangan mengindikasikan bahwa mantangan lebih menyukai tempat tumbuh yang subur. Master (2012) menyatakan bahwa mantangan cenderung tumbuh di lokasi yang subur. Jadi semakin subur tanah, dan keberadaan tajuk yang cenderung terbuka atau sinar matahari tersedia penuh maka mantangan lokasi tersebut akan semakin sesuai bagi pertumbuhan mantangan. Berdasarkan hasil analisis tutupan lahan diketahui bahwa lokasi yang bervegetasi dan menerima sinar matahari penuh yaitu hutan sekunder dan semak belukar. Hutan sekunder dan semak belukar adalah tipe tutupan lahan yang paling luas di Resort Tampang TNBBS jika keduanya digabungkan, yaitu 11 969.29 Ha (66.22%) (Tabel 4). Selain itu, jika dilihat dari segi luasan, 66.22% dari total Resort Tampang adalah semak belukar dan hutan sekunder, maka bisa disimpulkan bahwa saat ini 66.22% dari luas total Resort Tampang TNBBS telah terinvasi mantangan.

Tabel 4 Tutupan lahan di Resort Tampang TNBBS

No. Tipe tutupan Luas (Ha)

Distribusi dan Karakteristik Habitat Mantangan berdasarkan Faktor Penentu Kesesuaian Habitat

Ketinggian Tempat (Elevation)

Variabel ketinggian tempat menggunakan peta (layer) hasil rekaman satelit ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) dalam bentuk DEM (Digital Elevation Model). ASTER DEM tersebut diolah dengan bantuan perangkat lunak ArcGis 9.3 sehingga menghasilkan peta ketinggian tempat.

(36)

22

(37)

23 Diketahui bahwa ketinggian tempat di Resort Tampang hanya 0 – 294 mdpl, maka pengkelasan berdasarkan pada asumsi lain. Asumsi tersebut yaitu setiap adanya perubahan ketinggian tempat 100 mdpl maka akan terjadi perubahan suhu (Handoko 1993). Oleh karena itu pengkelasan dalam visualisasi peta di sini dibagi menjadi tiga kelas ketinggian yaitu 0 – 100 mdpl, 100 – 200 mdpl, dan >200 mdpl (Gambar 7).

Lokasi dengan ketinggian 0 – 100 mdpl merupakan lokasi yang paling banyak sebaran mantangannya tetapi secara keseluruhan area yang ada di Resort Tampang (0 – 295 mdpl) adalah cocok untuk pertumbuhan mantangan jika hanya dilihat dari ketinggian tempat (Gambar 6). Hal tersebut sesuai dengan keberadaan mantangan pada lokasi lain yang mampu tumbuh dari 0 – 600 mdpl (SPREP 2000, Whistler 1995a dalam Kirkham 2005, Smith 1991 dan PIER 2005 dalam ISSG 2006).

Pada lokasi dengan ketinggian >100 mdpl lebih sedikit frekuensi ditemukannya mantangan. Keadaan tersebut terjadi karena lokasinya merupakan perladangan yang baru dibuka dan merupakan kawasan bekas perladangan yang ditinggalkan kurang dari lima tahun. Kawasan bekas perladangan yang dibiarkan kurang dari lima tahun cenderung didominasi oleh tumbuhan yang tahan terhadap kondisi miskin hara seperti ilalang dan beberapa tumbuhan pionir seperti mahang. Pada ketinggian >100 mdpl tersebut kadang ditemukan mantangan tapi dalam frekuensi lebih sedikit dibanding lokasi dengan ketinggian <100mdpl. Pada lokasi dengan ketinggian >100 mdpl biasa ditemukan mantangan yang bentuk daunnya lebih kecil dan secara nyata tidak menunjukkan sifat invasi (mendominasi total kawasan secara masif).

Kelerengan (Slope)

Salah satu hubungan antara kelerengan dengan tumbuhan yaitu terkait adanya aliran permukaan ketika terjadi hujan. Adanya aliran permukaan akan berpengaruh pada keberadaan beberapa mineral hara di permukaan tanah pada sekitar tempat tumbuh suatu tumbuhan. Bochet et al. (2000) menyatakan bahwa aliran permukaan pada lokasi yang miring akan mengalami perlambatan jika aliran tersebut menabrak gundukan tanah (mound). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan analisis terhadap faktor kelerengan yang ada pada lokasi penelitian.

Berhubungan dengan analisis kelerengan secara spasial yang ada di wilayah studi, Resort Tampang dibagi menjadi lima kelas kelerengan yaitu datar (0% – 8%), landai (8% – 15%), agak curam (15% –25%), curam (25% – 40%), dan sangat curam (>40%) (Gambar 8). Pembagian kelas kelerengan tersebut berdasarkan pada pembagian kelas oleh Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Nomor: P.4/v-set/2013 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis (Kemenhut 2013).

(38)

24

(2012) menyatakan bahwa mantangan di areal hutan terinvasi lebih menyukai lokasi yang kandungan unsur haranya lebih tinggi dibanding areal hutan yang kurang/tidak terinvasi.

(39)

25 Arah Kelerengan (Aspect)

Arah kelerangan atau arah kemiringan lereng dijadikan sebagai variabel yang diperhitungkan dalam membangun model kesesuaian habitat mantangan karena arah kelerengan erat hubungannya dengan intensitas cahaya matahari yang diterima mantangan. Arah lereng ke barat dengan arah ke timur akan berdamapak pada adanya perbedaan intensitas cahaya yang siterima oleh mantangan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tumbuhan invasif cenderung menyukai kawasan yang memiliki penyinaran matahari optimal. Utomo et al. (2007) menyatakan bahwa tumbuhan invasif memiliki sifat membutuhkan cahaya matahari yang tinggi, sehingga akan menyebabkan jenis ini lebih banyak mengikat karbon dalam jaringan daun untuk pertumbuhannya. Berdasakan aliran energi dan siklus materi, bahwa energi dan materi di alam berputar dalam jumlah yang tetap, yang berubah hanya bentuknya. Hal tersebut berlaku juga untuk aliran energi dan siklus materi pada tumbuhan invasif. Tumbuhan invasif cenderung rakus energi dan materi, seperti karbon dan sebagainya, jika dibanding tumbuhan lain. Utomo et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya karbon dan banyaknya energi yang diserap oleh daun ketika fotosintesis akan menyebabkan jenis ini rakus unsur hara.

Mantangan dapat tumbuh pada berbagai aspect yang ada di Resort Tampang (Gambar 9). Keberadaan mantangan pada setiap aspect tersebut sesuai dengan sifat liana secara umum, yaitu dapat tumbuh pada rentang habitat yang lebih lebar dibanding dengan pepohonan. Bazzaz et al. (1982) dalam Toledo-Aceves et al. (2008) menyatakan bahwa liana memiliki sifat daya survive yang jauh lebih tinggi dibanding tumbuhan lain dalam ekosistem. Liana, termasuk mantangan, masih bisa hidup dalam kondisi hutan gundul ataupun dalam kondisi hutan lebat. Keadaan tersebut tidak terlepas dari kemampuan mantangan untuk hidup/tumbuh ke samping dan atau ke atas. Sifat hidup tersebut tidak dimiliki oleh kayu (trees). Kemampuan tumbuh kesamping dan keatas tersebut yang menyebabkan liana lebih mampu bersaing hidup dengan pepohonan hutan (trees) (Toledo-Aceves et al. 2008). Keberadaan mantangan di setiap aspect yang ada mungkin dipengaruhi juga oleh intensitas cahaya matahari yang tidak jauh berbeda sepanjang waktu penyinarannya, yaitu dari pagi hingga sore hari. Intensitas matahari tersebut dipengaruhi oleh posisi lokasi penelitian yang berada di daerah tropis.

Jarak dari Jalan

Jalan merupakan salah satu tempat aktifitas manusia. Persebaran tumbuhan invasif tidak dapat dilepaskan dari aktifitas manusia, bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor manusia merupakan salah satu faktor utama distribusi tumbuhan invasif. Jalan merupakan saluran utama terkait penyebaran tumbuhan asing di kawasan alami khususnya yang gersang (arid) dan semi gersang (semi arid) di Amerika Barat (BLM 1999 dalam Gelbard et al. 2003). Selain itu, jalan juga dinyatakan sebagai lokasi yang bisa mempercepat persebaran tumbuhan invasif karena memiliki pasokan cahaya matahari yang optimal (Lundgren et al. 2004). Dengan demikian, jalan dijadikan sebagai variabel yang dilibatkan dalam analisis (Gambar 10).

(40)

26

(41)

27

(42)

28

Kondisi jalan tikus yang ada di lokasi penelitian terkadang berada di kawasan hutan yang tutupan tajuk pohonnya tidak ada, terkadang juga berada di dalam kawasan hutan dengan kondisi tajuk yang rapat di atas jalan tikus tersebut. Pada kondisi lokasi jalan dengan tutupan tajuk terbuka, dan merupakan vegetasi pionir yang umur suksesinya kurang dari lima tahun, maka sangat susah menemukan mantangan. Pada lokasi dengan kiri-kanan jalan merupakan lokasi yang telah mengalami suksesi sekitar lima hingga sepuluh tahun akan banyak ditemukan mantangan. Mantangan pada lokasi tersebut, hutan sekundernya misalnya, sifatnya cenderung menginvasi habitat tempat tumbuhnya. Berbeda lagi dengan lokasi kiri-kanan jalan yang tertutup rapat oleh pohon, bahkan di atas jalan ternaungi oleh tajuk pohon, maka sangat sulit menemukan mantangan. Mantangan bisa dijumpai pada lokasi kiri-kanan jalan yang ternaungi tapi sifatnya tidak menginvasi.

Jarak dari Kebun

Salah satu bentuk serangan biologis terhadap keseimbangan lingkungan yaitu adanya tumbuhan invasif. Adanya serangan biologis tersebut berhubungan juga dengan sejarah dan aktifitas manusia yang pernah terjadi pada suatu area tertentu (Garcı´a-Llorente etal. 2008). Sejarah dan aktifitas manusia salah satunya adalah adanya kegiatan berkebun dan bertempat tinggal. Penggunaan lahan memiliki hubungan positif dengan pertambahan kelimpahan spesies invasif (Lundgren et al. 2004).

Hasil analisis data citra menunjukkan bahwa kisaran jarak dari kebun yang ada pada lokasi penelitian yaitu 0 – 8 736.13 meter (Gambar 11). Rentang jarak dari kebun tersebut dikelaskan. Standar pengekelasan sama dengan standar pengkelasan pada faktor jarak dari jalan, yaitu 0 – 400 meter, 400 – 800 meter, dan >800 meter.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat, Resort Tampang sebelum tahun 1982 merupakan areal Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Setelah 1982 ditetapkan sebagai kawan lindung atau Pusat Pelestarian Alam (PPA). Ketika masih berstatus HPH, banyak sekali pembukaan hutan dan tidak sedikit dijadikan kebun kopi, cokelat, dan lada, bahkan dijadikan pemukiman oleh masyarakat sekitar. Hanya lokasi tertentu yang tidak dibuka seperti lokasi-lokasi yang aksesnya susah, curam, tebing berbatu, dan sebagainya. Suyadi (2011) menyatakan bahwa laju deforestasi di TNBBS cenderung beragam menurut tingkat kelerengan, yang mana pada kelerengan datar (0 – 20%) deforestasi terjadi seluas 16.5 km2/tahun, sedangkan pada kelerengan >40% deforestasi hanya 0.8 km2/tahun. Hal tersebut terbukti, ketika penelitian lapangan ini dilakukan, lokasi-lokasi yang susah aksesnya masih dapat dijumpai pohon dengan kelas diameter sekitar 150 cm.

(43)

29

(44)

30

Suhu Permukaan

Di hutan tropis, dari total radiasi matahari yang datang, hanya 1% – 2% radiasi yang sampai ke lantai hutan (Chazdon 1988 dalam Poorter 1999, Clark 1996). Hal tersebut akan berbeda dengan lokasi hutan yang tidak bervegetasi, maka radiasi matahari akan sepenuhnya mengenai lantai hutan. Dengan demikian suhu memiliki hubungan erat dengan radiasi matahari yang menimpa areal hutan sehingga suhu dianggap sebagai faktor yang penting untuk disertakan dalam membangun model. (Whistler 1995). Dengan demikian rentang suhu bagi persebaran mantangan sangat lebar yaitu dari rentang suhu daerah tropis hingga suhu sub-tropis. Dengan rentang suhu yang lebar, maka sangat dimungkinkan bagi mantangan untuk menginvasi lebih luas ke daerah-daerah dengan suhu beragam. Rentang suhu yang lebar berkaitan juga dengan rentang pasokan intensitas cahaya yang lebar juga. Banyak spesies invasif memiliki kemampuan menyebar dan mampu bertahan hidup pada rentang intensitas cahaya yang lebih lebar (Dreyer et al. 1987, Lutz 1943 dan Yost et al. 1991).

Diketahui bahwa sebaran suhu permukaan >260C sangat terbatas dan lokasinya tepat di pinggir pantai yang berpasir (Gambar 12). Lokasi yang memiliki suhu permukaan >260C tersebut merupakan lokasi berpasir dan landai serta tidak ada tutupan vegetasinya. Sepanjang penelitian di lapangan tidak pernah ditemukan mantangan pada lokasi berpasir dan tidak bervegetasi (terbuka). Dengan demikian, penambahan suhu akan berbanding lurus dengan semakin besarnya peluang menemukan mantangan jika di lokasi tersebut ditumbuhi vegetasi lain.

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Formulasi indeks vegetasi itu tidak hanya NDVI. Jensen (2004) dalam Danoedoro (2012) menyatakan bahwa indeks vegetasi itu hingga saat ini sudah mencapai 12 formulasi. Salah satu formulasi yang sering digunakan untuk penelitian terkait vegetasi yaitu NDVI. Sebuah indeks yang sering digunakan dalam penginderaan jauh adalah NDVI yang berdasarkan pada bagaimana tumbuhan memantulkan spektrum panjang gelombang yang berbeda (Fotiou 2014). NDVI juga merupakan indeks spektral yang sangat terkenal dipakai dalam analisis terkait vegetasi dan lingkungan yang memerlukan variabel kerapatan vegetasi (Danoedoro 2012). ―Berbagai penelitian mengenai perubahan liputan vegetasi di Benua Afrika banyak menggunakan transformasi NDVI ini‖ (Tucker 1986).

(45)

31

(46)

32

(non-vegetated) seperti lahan/tanah kosong yang kering atau basah, dan badan air; sedangkan nilai -1 merupakan air atau badan air.

Hasil analisis terhadap data citra digital, diperoleh bahwa nilai NDVI yang ada pada keseluruhan Resort Tampang berkisar antara -0.16 sampai dengan 0.62 (Gambar 13). Selain itu, berdasarkan hasil penumpangtindihan (overlay) antara luas area nilai NDVI dengan luas area kesesuaian diperoleh bahwa nilai NDVI -0.16 – 0 memiliki luas area kesesuaian 2.82 Ha, kemudian nilai NDVI 0 – 0.32 memiliki luas area kesesuaian 15.54 Ha, kemudian nilai NDVI 0.32 – 0.42 memiliki luas area kesesuaian 369.22 Ha, dan nilai NDVI 0.42 – 0.62 memiliki luas kesesuaian yang paling tinggi yaitu 15 793.21 Ha. Berdasarkan hal tersebut maka peningkatan nilai NDVI diikuti oleh peningkatan luasan area yang memiliki kesesuaian yang tinggi untuk habitat mantangan. Peningkatan nilai NDVI dengan kehadiran mantangan di lapangan tidak bisa dijelaskan dengan bentuk pendekatan kurva linier, melainkan dengan pendekatan kurva logistik. Kurva logistik lebih cocok jika digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara NDVI dengan kehadiran mantangan di lapangan karena NDVI memiliki interval antara -1 – +1. Antara interval NDVI tersebut terdapat titik sebaran mantangan dalam jumlah maksimal dan minimal. Kisaran NDVI pada interval 0.42 – 0.62 dianggap sebagai interval yang maksimal untuk sebaran mantangan karena pada interval lebih dari 0.62 memiliki kecenderungan tutupan lahan berupa hutan primer (tingkat kehijauan paling tinggi). Diketahui bahwa kesesuaian habitat mantangan di lahan hutan primer cenderung lebih sedikit dibanding di hutan skunder.

Nilai NDVI di Resort Tampang tidak mampu mencapai +1 karena diketahui bahwa Resort Tampang merupakan bekas areal deforestasi sejak tahun 1982 (Suyadi 2011) (Gambar 13). Jaya (2010) dan Danoedoro (2012) menyatakan bahwa nilai NDVI akan maksimal (+1) jika keadaan vegetasinya berdaun lebar yang sangat rapat seperti pada hutan primer.

Pada kisaran nilai NDVI -0.16 – 0 tidak ditemukan mantangan karena sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa mantangan tidak dapat tumbuh di tanah yang basah apalagi di area tergenang seperti rawa. Nilai NDVI = 0 jarang atau bahkan tidak dapat menemukan mantangan karena kisaran nilai itu sudah termasuk juga pantai berpasir yang terbuka seperti pasir pantai yang terbuka. Nilai NDVI pada kisaran minimal 0 dan maksimal 0.62 sudah dapat ditemukan mantangan dengan frekuensi perjumpaan yang beragam. Lokasi dengan pantai berpasir dan atau berbatu sama sekali tidak ditemukan mantangan (Gambar 13). Frekuensi mantangan di hutan primer dengan tajuk rapat dan didominasi kelas pertumbuhan kayu lebih sedikit dibanding dengan frekuensi kehadiran mantangan di tempat terbuka yang masih ditumbuhi vegetasi. Hal tersebut sesuai dengan Master (2012) yang menyatakan bahwa hasil analisis vegetasi memberikan gambaran bahwa frekuensi perjumpaan mantangan akan lebih tinggi jika tutupan tajuk hutan semakin terbuka.

Normalized Difference Moisture Index (NDMI)

(47)

33

(48)

34

Karena kelembaban yang diharapkan adalah kelembaban seluruh lokasi penelitian maka jalan keluarnya yaitu dengan menggunakan data citra satelit. Data citra tersebut dapat diolah sehingga menghasilkan peta NDMI. NDMI biasa digunakan untuk menilai kelembaban vegetasi (Hemmleb et al. 2006 dalam Adab et al. 2011). Kisaran indeks NDMI sama dengan kisaran indeks pada NDVI, yaitu -1– +1.

NDMI di Resort Tampang memiliki rentang nilai indeks dari -0.06 – +0,4 (Gambar 14). Rentang tersebut sangat berhubungan dengan kondisi kelembaban pada saat perekaman oleh satelit Landsat, yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Juni. Brom et al. (2012) meneliti perubahan tutupan vegetasi di dam Velka Podkruˇsnohorska, dengan data citra 1λ84 hingga 200λ, menunjukkan bahwa musim berpengaruh terhadap kelembaban vegetasi suatu area. Hasil analisis antara luas area kesesuaian habitat dengan luas area NDMI memperlihatkan bahwa interval NDMI 0.3 – 0.4 memiliki kesesuaian yang paling tinggi seluas 12 252.66 Ha, diikuti oleh interval NDMI 0 – 0.3 seluas 3869.63 Ha, kemudian diikuti interval NDMI -0.06 – 0 seluas 4.49 Ha. Batas bawah nilai NDMI tersebut (0.3) akan lebih besar (>0.3) jika perekaman oleh satelit dilakukan pada musim penghujan. Selain dipengaruhi oleh adanya musim, kisaran nilai NDMI suatu lokasi juga dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi yang ada di areal studi. Diketahui bahwa berdasarkan hasil analisis tutupan lahan, Resort Tampang didominasi oleh hutan skunder (6 196.10 Ha). Keberadaan hutan sekunder tersebut berhubungan erat dengan kelembaban vegetasi yang terbentuk. Brom et al. (2012) menyatakan bahwa NDMI di dam Velka Podkruˇsnohorska sangat dipengaruhi oleh adanya jumlah dan kondisi vegetasi.

Kisaran nilai NDMI yang diperoleh dari hasil analisis data citra kemudian dihubungkan dengan sebaran mantangan yang lebih menyukai tempat terbuka (Master 2012), maka dapat disimpulkan bahwa Resort Tampang TNBBS merupakan areal yang cocok untuk persebaran mantangan. Jika kondisi vegetasi didominasi oleh hutan primer maka kelembaban vegetasi akan meningkat, dan persebaran mantangan akan berkurang. Hubungan antara kelembaban vegetasi (NDMI) dengan keberadaan mantangan menunjukkan hubungan logistik yang positif (Lampiran 3).

Forest Canopy Density (FCD)

Kerapatan dan struktur vegetasi yang ada di habitat mantangan perlu diketahui dengan menggunakan model indeks vegetasi. Model indeks vegetasi yang satu dengan lainnya memiliki kekurangan dan kelebihan dalam melakukan estimasi kerapatan dan struktur vegetasi. FCD merupakan model baru yang telah dikembangkan untuk memenuhi kekurangan dari akurasi model indeks vegetasi sebelumnya, terutama akurasi pada estimasi mengenai kerapatan dan struktur vegetasi hutan tropis (Rikimaru et al. 2002). Model FCD lebih komplek dibanding model indeks vegetasi lainnya karena FCD tidak hanya melibatkan informasi spektral dari saluran merah dan inframerah dekat, tetapi juga memanfaatkan beragam informasi spektral dari saluran biru hingga termal (Danoedoro 2012).

(49)

35

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 2  Lokasi penelitian di Resort Tampang TNBBS.
Gambar 3 Sebaran titik sampel di Resort Tampang TNBBS. Keterangan: 0 24 adalah ragam titik sampel
Tabel 1  Variabel lingkungan yang digunakan untuk analisis distribusi mantangan
+7

Referensi

Dokumen terkait