• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia Di Selat Makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur Dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia Di Selat Makassar"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARUS LINTAS

INDONESIA DI SELAT MAKASSAR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan tesis berjudul Struktur dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Selfrida Missmar Horhoruw

NIM C551124021

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

(4)

RINGKASAN

SELFRIDA MISSMAR HORHORUW. Struktur dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar. Dibimbing oleh AGUS S. ATMADIPOERA dan MULIA PURBA.

Selat Makassar (SM) yang merupakan pintu masuk utama Arus Lintas Indonesia (Arlindo) diketahui membawa transpor Arlindo sekitar 75% dari total 15 Sv (Sv= ). Kontur Selat yang berupa kanal dengan keragaman kedalaman sangat mempengaruhi karakteristik massa air yang bergerak di dalamnya sehingga diperlukan penelitian mencakup seluruh kawasan SM. Analisis deret waktu dari arus di SM dengan menggunakan mooring arus telah dilakukan sejak tahun 1996 hingga sekarang namun demikian pengukuran hidrografi yang mencakup seluruh kawasan SM masih jarang dilakukan. Selain itu telah dibuat pemodelan untuk mengetahui variabilitas pada seluruh kawasan SM oleh beberapa peneliti. Namun analisis deret waktu pada setiap kedalaman yang dilewati Arlindo masih jarang dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji struktur dan variabilitas Arlindo di kawasan SM. Data hidrografi merupakan data hasil Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN) pada Juni 2013. Data terdiri dari 29 stasiun CTD dan data arus dari SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profilers) sepanjang lintasan survei. Untuk analisis deret waktu digunakan data hasil model INDESO (Infrastructure Development for Space Oceanography) selama tahun 2007-2013 pada kedalaman 25, 92 dan 318 m dengan penerapan analisis EOF (Empirical Orthogonal Function) menggunakan 3 mode terbesar serta analisis trajektori partikel massa air.

Hasil penelitian menunjukkan Arlindo SM dicirikan oleh arus jet kuat pada kedalaman termoklin (75-125 m), dimana aliran masuk menuju barat daya. Mendekati 1°LS, arah aliran berubah ke tenggara menyusuri lereng dangkalan Kalimantan yang mengarah ke Kanal Labani. Arus jet berubah arah menuju selatan pada Kanal Labani dan menjadi semakin kuat. Aliran mengalami resirkulasi membentuk pusaran arus searah jarum jam pada tepi barat laut SM. Massa air Arlindo SM didominasi oleh massa air Pasifik Utara, yaitu North Pacific Subtropical Water (NPSW) di kedalaman termoklin dan North Pacific Intermediate Water (NPIW) di kedalaman bawah termoklin. Terdapat variasi spasial dari massa air NPSW dan NPIW, dimana semakin ke arah selatan karakteristik massa air mengalami transformasi. Ketebalan lapisan termoklin di sisi timur pintu masuk selat lebih besar sehingga distribusi massa air Pasifik Utara tersebut berasal dari sisi timur dan mengalir dengan arah menuju barat daya. Sehingga ditemukan intensifikasi Arlindo pada tepi barat dengan posisi sekitar 1-2˚LS.

Hasil model INDESO menunjukan eksistensi 4 eddy besar pada tepi SM dengan pusaran searah dan berlawan jarum jam. Energi kinetik serta aliran pada

(5)

termoklin aliran lebih kuat pada cabang barat selama musim barat yang disebabkan oleh melemahnya eddy yang terbentuk pada wilayah barat di selatan SM.

Analisis temporal dengan menggunakan metode EOF untuk menemukan variabilitas dominan yang terjadi pada wilayah SM menunjukan variabilitas yang berbeda pada setiap kedalaman. Explained variance 79.1 % pada EOF Mode 1 di kedalaman permukaan menunjukan pengaruh periode antar tahunan (512 harian) yang kuat yang diduga dipengaruhi oleh siklus ENSO. Variabilitas antar tahunan ditemukan bersamaan dengan variabilitas intra musiman dengan periode 33,57 dan 73 harian namun dengan energi densitas yang lebih rendah. Energi signifikan 73 harian diduga akibat kedatangan gelombang Kelvin. EOF Mode 2 dengan varians 6.2 % serta EOF Mode 3 dengan varians 3.2 % menunjukan adanya asosiasi periode tahunan (342 harian) yang terjadi bersamaan dengan periode intra musiman.

EOF Mode 1 dengan explained variance 85.8%, 3.9 % pada Mode 2 serta 3.5 % pada Mode 3 di kedalaman termoklin menunjukan kuatnya variabilitas tahunan yang menyebabkan berkurangnya pengaruh variabilitas antar tahunan. Variabilitas intra musiman juga berperan mengurangi kekuatan variabitas antar tahunan pada kedalaman termoklin. Hal ini terlihat pada EOF Mode 2 yang memiliki energi densitas yang cukup signifikan pada periode 32 dan 64 harian yang diduga sebagai hasil perambatan Gelombang Rossby.

Analisi variabilitas pada kedalaman bawah termoklin menunjukan kuatnya pengaruh periode antar tahunan yang berasosiasi dengan periode semi tahunan dan periode intra musiman. EOF Mode 1 dengan explained variance 87.3 % dan Mode 2 dengan explained variance 4.4 % menunjukan kuatnya pengaruh periode intra musiman (51-60 harian) di kedalaman bawah termoklin. Sedangkan pada EOF Mode 3 dengan explained variance 3.0 % menunjukan adanya variabilitas semi tahunan yang berulang selama bulan Mei dan November yang diduga akibat intrusi gelombang Kelvin semi tahunan.

Trajektori partikel yang dibuat pada kedua musim yang berbeda mengungkapkan partikel massa air bergerak mengikuti arus utama Arlindo. Adanya perbedaan waktu pergerakan massa air maupun karakteristik massa air yang mengangkut partikel, yakni pada musim timur partikel massa air bergerak lebih cepat di bandingkan dengan partikel yang dilepas pada musim barat.

(6)

SUMMARY

SELFRIDA MISSMAR HORHORUW. Structure and variability of Indonesian Throughflow in Makassar Strait. Supervised by AGUS S. ATMADIPOERA and MULIA PURBA.

Makassar strait as the main entrance of the Indonesian Throughflow (ITF) known carry the ITF transport about 75% of 15 Sv (Sv= ) total transport. The canal countour and bathymetry diversity of the strait affect the characteristic of the moving water mass so that the research which cover the entire of the Makassar Srait is needed. Time series analysis of the currents in Makassar Strait using mooring has been conducted since 1996. In addition the modeling to determine the variability in the entire Makassar Strait has made by some researchers. However, the analysis of time series at each ITF layer is still rarely done. The aims of this study were to investigate the structure and variation of Indonesian Throughflow (ITF) in Makassar Strait. The hydrography data was the data from Eksedisi Widya Nusantara (EWIN) on Juny 2013. Hidrographic data consists of 29 CTD station that distributed over the Makassar Strait waters and current data was from SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profilers) along the survey path. To defined the time seriers analysis used the data from INDESO (Infrastructure Development for Space Oceanography) model during 2007-2013 at 25, 92 and 318 m. EOF (Empirical Orthogonal Function) and Particle Trajectory analysis was used to determine the Makassar Strait variability.

The result showed that ITF of Makassar Strait was characterized by a strong jet current in thermocline depth (75-125 m), where the flow pattern toward

southwest. The jet current continues to approach the 1˚S, then the direction

changed to southeast down the shallow Kalimantan slope to Labani Channel and become stronger. In the edge of Northwest Makassar Strait, circulation form cyclone eddies. ITF waters stratification was dominated by North Pacific Subtropical Water (NPSW) in the thermocline depth and North Pacific Intermediate Water (NPIW) in the below of thermocline depth. There was spatial variation of mass water NPSW and NPIW where ITF characteristics transformation toward southern. Thermocline layer in the eastern get way was thicker so that the distribution of North Pasific mass water flow from eastern to southwest Makassar Strait. So there was the ITF intensification in edge of western Makassar Strait at 1-2˚S.

The INDESO model results found the existence of four large eddy in Makassar Strait with the clockwise and anti-clockwise directions The Eddy Kinetic Energy and flow were faster during east monsson period. In southern of Makassar Strait, there were 3 ITF branch tends to flow through the eastern and central branches. ITF flow weakned during west monsoon period at surface depth allegedly by the influence of mass water movement to the northern. While at

thermocline depth it’s flow stronger at west branches during the western monsoon

due to the weakening of eddy formed in western of soth Makassa Strait.

(7)

allegedly by the ENSO cycle. The inter-annual variability found with the low energy of intra-seasonal variability 33, 57, and 73 daily period. Energy of 73 daily allegedly by Kelvin Wave intrusion. EOF Mode 2 and Mode 3 showed the association of annual (342 daily) and intra seasonal period. Inter annual period found at EOF Mode 2 and 3 with the lower effect.

Explained variance 85.8% at EOF Mode 1, 3.9% at EOF Mode 2 and 3.5% at EOF Mode 3 in the below of thermocline showed the strong annual variability that reduces the effect of inter-annual variability. Intra-seasonal variability also reduce inter-annual variabitas strength in depth of the thermocline. Period of 32 and 64 daily allegedly as a result of Rossby wave propagation.

Analysis of variability at depths below thermocline shows the strong influence of inter-annual period associated with semi-annual and intra-seasonal period. EOF Mode 1 with a 87.3% explained variance and Mode 2 with a 4.4%

explained variance show the strong intra-seasonal period (day 51-60) at depth below the thermocline. While the EO Mode 3 with a explained variance of 3.0% showed the presence of semi-annual variability repeated during May and November that allegedly caused the intrusion of semi-annual Kelvin wave.

Particle trajectories from both different seasons revealed that the water mass particles move in to the mainstream of Arlindo. The difference of moving time and characteristic of water mass moving time that carrying the particle showed that the water mass particle moving faster in the east moonson than west moonson.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

SELFRIDA MISSMAR HORHORUW

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Kelautan

STRUKTUR DAN VARIABILITAS ARUS LINTAS

INDONESIA DI SELAT MAKASSAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Struktur dan Variabilitas Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar Nama : Selfrida Missmar Horhoruw

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas hikmat dan kasih penyertaan-Nya sehingga tesis dengan judul “Struktur dan

Variabilitas Arus Lintas Indonesia di Selat Makassar” ini berhasil diselesaikan.

Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr Ir Agus S. Atmadipoera, DESS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Mulia Purba, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingam, arahan dan masukan kepada penulis dalam penulisan tesis.

2. Ibu Dr Ir Neviaty P. Zamany, MSc selaku ketua program studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB.

3. Pusat PenelitianOseanografi LIPI, terkhusus Pak Adi Purwandana yang telah membantu menyediakan data observasi yang dilaksanakan dalam program Ekspedisi Widia Nusantara tahun2013.

4. Kedua orang tua tercinta Papa Anis dan Mama Meti, serta saudara-saudara Windy,Sami,Ei, Hani dan kekasih Gerald.

5. Rekan-rekan IKL 2012, IKL 2013, Laboratorium Oseanografi Fisika dan Laboratorium Pemrosesan Data, terkhusus ibu Nita, Nabil, Agita, Dimi, Rifqie, Ipeh, Ferdy, Risko, dan Mbak Isna atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

6. Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) di Bogor. Para sahabat Alin, Echa, Kak Sofi, Kak Vera, Dandi, Amel, Kak Ona, Kak Tila, Ibu Fonike, Kak Ela, Kity, Kang Asep, Bang Syahrial, Bang Finri, Nufus, Bang Kemal dan Mbak Dahlia.

7. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh studi, menjalani penelitian, hingga akhir penyusunan tesis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Bogor, Maret 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 4

Hipotesis 4

2 METODE 4

Lokasi dan Waktu Penelitian 4

Sumber Data 4

Prosedur Analisis Data 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Validasi Model 12

Struktur Massa Air Arlindo Hasil Observasi EWIN 2013 13

Distribusi Arus Hasil Observasi EWIN 2013 21

Struktur Vertikal Arus Meridional dan Energi Kinetik Arlindo SM 24

Siklus Tahunan Arlindo SM dari Model INDESO 27

Struktur Spasial dan Fluktuasi Temporal Arlindo SM 32

Analisis Trajektori Partikel Massa Air 42

4 SIMPULAN DAN SARAN 46

Simpulan 46

Saran 47

DAFTAR PUSTAKA 48

LAMPIRAN 52

(14)

DAFTAR TABEL

1 2

Input Data pada model MERCATOR

Pra-pemrosesan data CTD menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing.

6 8

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram perumusan masalah dan proses penyelesaian massalah untuk

mencapai tujuan 3

2 Stasiun pengukuran CTD dan lintasan SADCP pada Ekspedisi EWIN

2013 di SM. 5

3 Variabilitas arus pada Kanal Labani di SM selama tahun 2007-2009 dari hasil model INDESO dan pengukuran mooring (Susanto et al.

2012). 13

4 Profil menegak salinitas, temperatur potensial, dan oksigen di

perairan SM. 14

5 Diagram TS, TO dan SO dengan posisi transek utara-selatan di SM. 15 6 Energi Kinetik dan Arus komponen meridional rerata tahun

2007-2013 keluaran model INDESO selama bulan Juni dan sebaran salinitas pada 24.5 kg/m3 serta 26.5 kg/m3 di SM dari hasil

Observasi EWIN tahun 2013. 17

7 Sebaran melintang salinitas pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan

kontur kedalaman. 18

8 Sebaran melintang temperatur pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan

kontur kedalaman. 19

9 Sebaran melintang oksigen pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan

kontur kedalaman. 20

10 Distribusi vektor arus pada SM pada beberapa lapisan kedalaman. 21 11 Konfigurasi Batimetri sepanjang lintasan traking SADCP. 22 12 Sebaran Komponen Arus zonal dan arus meridional (v) di SM pada

kedalaman 0-200 m. 23

13 Penampang melintang rerata arus komponen meridional (v) Arlindo

SM. 25

14 Struktur aliran Arlindo SM dan energi kinetik rataan tahun 2007-2013 dari hasil model INDESO pada kedalaman 0.5, 25, 55.76, 92.3,

130.7 dan 318 m. 26

15 Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) dari tahun 2007-2013 dan EK /satuan massa pada kedalaman dekat permukaan di SM. 28 16 Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) dari tahun 2007-2013

dan EK /satuan massa pada kedalaman termoklin di SM. 30 17 Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) dari tahun 2007-2013

(15)

18 EOF dari arus meridional (v) di kedalaman permukaan pada SM

selama tahun 2007-2013. 33

19 Fluktuasi temporal EOF dan Continues wavelet transform (CWT) arus meridional (v) pada kedalaman permukaan SM. 34 20 Energi densitas spektral EOF arus meridional (v) dengan selang

kepercayaan 95% dengan panjang segmen data 512 (hari) di

kedalaman permukaan. 35

21 EOF dari arus meridional (v) di kedalaman termoklin pada SM

selama tahun 2007-2013. 36

22 Grafik temporal EOF dan Continues wavelet transform (CWT) arus meridional (v) pada kedalaman termoklin di SM. 37 23 Energi densitas spektral EOF arus meridional (v) dengan selang

kepercayaan 95% dengan panjang segmen data 512 (hari) di

kedalaman termoklin. 38

24 EOF dari arus meridional (v) di kedalaman bawah termoklin/

intermediate pada SM selama tahun 2007-2013. 39

25 Grafik temporal EOF dan Continues wavelet transform (CWT) arus meridional (v) pada kedalaman bawah termoklin di SM. 40 26 Power Spectral Density EOF arus meridional (v) pada kedalaman

bawah termoklin di SM. 41

27 Trajektori dan karakteristik partikel massa air di SM selama musim barat pada kedalaman permukaan, termoklin dan bawah termoklin. 43 28 Trajektori dan karakteristik partikel massa air permukaan pada SM

selama musim barat dengan posisi awal pada sepanjang 4.4˚LS. 44 29 Trajektori dan karakteristik partikel massa air pada SM selama

musim timur pada kedalaman permukaan, termoklin dan bawah

termoklin. 45

30 Trajektori dan karakteristik partikel massa air permukaan pada SM selama musim timur dengan posisi awal pada sepanjang 0.4˚LU. 46

DAFTAR LAMPIRAN

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Pelapisan massa air di Selat Makassar Karakteristik massa air NPSW.

Karakteristik massa air NPIW Salinitas permukaan Selat Makassar

Sebaran salinitas dan temperatur hasil model INDESO

Penampang melintang salinitas dan temperatur hasil model INDESO Diagram Hovmoler pada Kanal Labani

Periode dan spektrum energi densitas dengan panjang segmen 512 harian

Energi densitas spectral EOF dengan panjang segmen 1024 harian Arus meridional (v) rata-rata dan standar deviasi

Kejadian El Nino dan La Nina

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki dua sistem arus utama, yaitu Arus Muson Indonesia dan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) (Ilahude & Nontji 1993). Arus Muson digerakan Angin Muson, yang disebabkan adanya perbedaan tekanan antara Asia Tenggara dan Australia (Wyrtki 1961), sedangkan Arlindo disebabkan bertiupnya angin pasat timur yang mengakibatkan permukaan bagian barat Samudera Pasifik tropika lebih tinggi dibandingkan pada bagian timur Samudera Hindia (Hirst & Godfrey 1993). Fenomena tersebut menghasilkan gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Perairan Indonesia yang dilalui Arlindo merupakan satu-satunya jalur penghubung antara dua massa air besar Samudera Pasifik dan Hindia. Sistem arus ini berperan penting dalam pembentukan El-Nino dan Southern Oscilation (ENSO) serta penting dalam sirkulasi termohalin yang kemudian mempengaruhi iklim secara global melalui penyaluran bahang dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia (Gordon 1986; Godfrey 1996). Sebagian besar massa air Arlindo berasal dari Pasifik Utara dan sebagian lagi berasal dari Pasifik Selatan.

Sirkulasi Arlindo terjadi dari barat ekuator Pasifik ke Samudera Hindia (Godfrey 1996). Sistem arus tersebut bergerak sepanjang batas barat (western boundary) dan dikenal juga dengan nama Western Boundary Current (WBC) di bagian tropis Samudera Pasifik kemudian melintasi ekuator menjadi Arlindo (Lee

et al. 2002; Bingham dan Lukas, 1994; Kashino et al. 1999). Perpindahan massa air tersebut dikenal dengan nama low latitude western boundary current

(LLWBCs) (Qiu dan Masumoto 2011). Arus LLWBCs masuk ke Indonesia melalui Selat Makassar (SM) yang berasal dari Arus Mindanao di tepi timur Filipina (Hautala et al. 1996), dan membawa massa air North Pacific Subtropical Water (NPSW) di lapisan termoklin serta North Pacific Intermediate Water

(NPIW)di lapisan bawah termoklin (Du & Qu 2010).

Massa air NPSW menyebar pada perairan Indonesia dengan ciri salinitas maksimum di lapisan termoklin (Wyrtki 1961). Massa air ini dibawa oleh arus

North Equatorial Current (NEC)dari Pasifik subtropis ke arah barat, kemudian di lepas pantai timur Filipina. NEC ini mengalami percabangan, ke utara menjadi sumber Arus Kuroshio, dan ke selatan menjadi Arus jet Mindanao, dimana sebagian cabang arus ini terus bergerak menuju selatan dan memasuki Laut Sulawesi serta berlanjut ke SM. Di SM nilai salinitas maksimum NPSW berkisar antara 34.5-34.8 psu pada lapisan termoklin (Naulita, 1998). Massa air NPIW dicirikan salinitas minimum pada lapisan bawah termoklin/ intermediate. Menurut Ilahude dan Gordon (1996), NPIW yang melewati SM mempunyai nilai salinitas minimum antara 34.4-34.5 psu ditemukan pada kedalaman bawah termoklin (Naulita, 1998).

(18)

lemah sedangkan salinitas massa air NPIW semakin kuat di Laut Banda (Illahude & Gordon 1996; Naulita 1998). Ketika memasuki perairan Indonesia, 40% massa air mengalami transformasi pada wilayah dekat Sangihe, 30% di SM dan Laut Flores, 26% di daerah Laut Halmahera, Laut Maluku dan Seram, sedangkan 26% tertransformasi pada wilayah Selat Ombai dan Timor. Transformasi dengan arah berlawanan sebesar -20% terjadi pada Laut Jawa dan Samudera Hindia (Koch-Larrouy et al. 2008).

Di SM sekitar 80-85% massa air yang berasal dari Pasifik Utara yang dibawa Arlindo dan dapat dipakai untuk menghitung seluruh transpor antar Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia sehingga dapat dijadikan kunci dalam integrasi skala besar antar samudera (Gordon et al. 2010; Tillinger 2011). Pengukuran hidrografi transek tunggal dalam program Arlindo (Ilahude & Gordon 1996) di sepanjang bagian tengah SM telah dilakukan pada musim berbeda, namun pengukuran hidrografi yang mencakup hampir sebagian besar wilayah SM baru dilaksanakan pada program EWIN 2013. Hasil model menunjukan SM memiliki keunikan yakni ditemukannya jet seperti western boundary current yang mendorong massa air ke arah Barat kanal sepanjang jalur lintasan Arlindo di SM (Mayer & Damm 2012).

Arlindo bervariasi secara musiman akibat pergantian musim (Wyrtki 1961; Illahude & Gordon 1996; Shinoda et al. 2012). Penguatan amplitudo aliran Arlindo terjadi pada lapisan termoklin dengan kecepatan tertinggi terjadi selama musim timur (Susanto et al. 2012). Mayer & Damm (2012) menyatakan bahwa Arlindo di SM memiliki variabilitas ruang dan waktu yang besar. Pengukuran langsung time series Arlindo SM dilakukan pada wilayah Kanal Labani sejak tahun 1996 hingga sekarang, selain itu beberapa model juga telah dibuat untuk melihat variabilitas Arlindo di SM (Shinoda et al. 2012; Susanto et al. 2012; Mayer & Damm. 2012).

Penelitian Arlindo penting dilakukan untuk memprediksi fenomena skala besar lautan atmosfer seperti perubahan iklim sehingga dapat dimanfaatkan untuk memprediksi gejala-gejala alam seperti banjir, kekeringan, gelombang dan badai yang ditimbulkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pola spasial Arlindo berdasarkan data observasi EWIN terbaru di SM serta mengkaji variabilitas Arlindo baik pada skala waktu maupun skala ruang. Dengan menggambungkan data observasi dan data model dapat dianalisis variabilitas massa air Arlindo serta bagaimana transformasi Arlindo selama perjalanannya melalui SM. Perbandingan antara hasil output model dan hasil observasi akan memberikan informasi yang lebih baik mengenai distribusi dan pola sirkulasi Arlindo pada SM.

Perumusan Masalah

(19)

pada arah Timur-Barat serta bagaimana variabilitas Arlindo yang berasal dari Pasifik Utara pada setiap kedalaman yang dilalui Arlindo baik permukaan, termoklin maupun kedalaman di bawah termoklin?

Untuk menjawab masalah di atas, diperlukan data observasi dengan transek timur-barat. Data tersebut dikombinasikan dengan keluaran model akan mampu menjawab permasalahan yang dikemukaan. Secara sistematik, perumusan masalah serta tahapan dalam penyelesaian masalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Arlindo SM

Bagaiman karakteristik massa air dan pola aliran Arlindo pada

Transek Barat-Timur ?

Bagaimana variabilitas Arlindo SM pada 3 level kedalaman berbeda (tercampur, termoklin dan

bawah termoklin)?

Anailisis EOF

Analisis Trajektori Data hasil Model INDESO

2007-2013

Validasi

Energi Kinetik

Variabilitas dan struktur spasial dan temporal

Arus di SM Analisis CWT

dan PSD Data Observasi

(CTD dan SADCP)

Pra-Pemrosesan Data Karakteristik massa Air Struktur spasial arus Diagram TS Profil Vertikal Massa air

Struktur dan variasi spasial massa air dan Arus Arlindo

di SM

Data Arlindo SM

(20)

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pola dan struktur massa air dan aliran Arlindo SM. 2. Menganalisis variabilitas Arlindo SM secara spasial dan temporal.

Hipotesis

Aliran massa air Arlindo bergerak masuki SM dengan arah menuju Barat Daya. Diduga aliran dibelokan ketika bertemu dengan wilayah yang dangkal pada sisi barat SM sehingga Arlindo akan menyusuri lereng Pulau Kalimantan menuju Kanal Labani. Karakteristik massa air Arlindo semakin berkurang selama perjalannya, yang diakibatkan oleh percampuran massa air. Di bagian selatan, kehadiaran Ambang Dewakang menyebabkan pada wilayah barat percabangan massa air terbentuk eddy yang membawa massa air ke dalam pusaran sehingga diduga akan menghambat aliran melalui cabang barat dan lebih dominan melewati cabang tengah dan timur.

2

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SM pada wilayah antara 4°LS s/d 2°LU dan 115.5°BT s/d 120.5°BT (Gambar 2). Pengukuran hidrografi (karakteristik massa air dan arus) dalam program EWIN-2013 dilakukan pada tanggal 3-22 Juni 2013. Untuk mengkaji variabilitas sirkulasi Arlindo di SM digunakan hasil keluaran model INDESO dengan rentang waktu 5 tahun yang dimulai dari Januari 2007 hingga Agustus 2013.

Sumber Data

Data Observasi terdiri dari data CTD untuk analisis karakteristik massa air, serta data SADCP untuk analisis arus laut yang diperoleh dari hasil Ekspedisi Widya Nusantara (EWIN-2013) pada 3-22 Juni 2013 yang merupakan kerja sama LIPI dengan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization

dan IOC Sub-Commission for the Western Pacific (WESTPAC) menggunakan kapal riset Baruna Jaya VIII.

Data untuk menganalisis variabilitas Arlindo SM dalam penelitian ini diperoleh dari hasil simulasi model Ocean General Circulation Model (OGCM) dengan konfigurasi INDESO (Infrastructure Development for Space Oceanography) tahun 2007-2013. INDESO merupakan salah satu contoh pengembangan Mercator Ocean yaitu program ilmiah yang bekerja sama dengan

Collecte Localisation Satellites (CLS) untuk menyediakan data kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP). Memodelkan INDESO memerlukan Mercator Ocean System and Interface Relocatable Nesting tools

(21)

batas (Theetten et al. 2014). Model INDESO dibangun dengan menggunakan model MERCATOR. Input data dalam pengembangan model ini berupa data pengukuran insitu serta data penginderaan jauh. Data untuk memodelkan INDESO dikumpulkan selama ekspedisi INDOMIX berlangsung. Beberapa data yang digunakan untuk membangun, mengasimilasi serta melakukan validasi pada model INDESO dapat dilihat pada Tabel 1 (Bahurel & MERCATOR Project Team 2006).

Data yang digunakan dari keluaran hasil model INDESO berupa data temperatur, salinitas, arus (komponen zonal dan meridional) serta mash mask

dengan resolusi horizontal 1/12° atau sekitar 9.25 km serta memiliki 50 level kedalaman standarisasi.

(22)

Tabel 1 Input Data pada model MERCATOR (Bahurel dan MERCATOR Project Team 2006)

Data Center/ Author Retrieval

Frequency F or cing Assim il ati on Va li da ti on

In situ data : high resolution XBT and CTD, low resolution TESAC and BATHY, ARGO profiling floats, moorings (TAO/PIRATA/TRITON/), drifters,...

Coriolis Data

Center weekly x x

Altimetry : Jason-1, GFO, Envisat, Topex-Poseidon

SSALTO/DUACS

weekly x

Reynolds Sea Surface Temperature

NOAA

weekly x x High Resolution SAF Ocean &

Ice Atlantic Sea Surface Temperature (10 km, produk harian)

Eumetsat/

Météo-France daily x

Climatologic Sea Surface Salinity

Reynaud & al.

(1998) x x

6-hour analyses and predictions of winds, heat fluxes,

Evaporation-Precipitation, cloudiness, air surface temperature, air surface humidity, surface wind

ECMWF for operational forcing

weekly x

Monthly Climatologic Runoffs

Unesco database J. D. Milliman and RH. Meade, 1983

G. L. Russell and J. R. Miller, 1990 F. Van D Leeden & al .

x

Real-time scatterometry winds Cersat

x Mean Sea Surface Height

combining gravity/in situ data

M.H. Rio & al. (2004)

Regularly

upgraded x

High resolution daily sea ice concentration (12 km) and drift (60 km). Real-time.

Cersat

R. Ezraty and J.-FPiollé (2004) R. Ezraty & al. (2004

(23)

Prosedur Analisis Data

a. Pemrosesan data CTD

Alat CTD yang digunakan dalam pengambilan data adalah CTD SBE 911 plus. Data yang diambil berupa data kedalaman, temperatur, konduktivitas/ salinitas, dan oksigen. Spesifikasi dari alat CTD ini adalah sebagai berikut (Onboard Report EWIN-2013) :

Type : 911plus

Sensor : C,T,D, Fluorometer, Oxygen, Tranmissiometer, Turbidity meter, PH meter

Winch : 5000 m Last Calibration : 2013

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran CTD harus melalui tahap pra-pemrosesan terlebih dahulu. Pengolahan data CTD dilakukan menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing. Pengolahan data tersebut dilakukan berurutan sesuai tipe situasi kapal di lintang rendah. Penurunan instrumen dilakukan dengan kecepatan 1 meter/detik. Tahapan pra-pemrosesan data dapat dilihat pada Tabel 2 (McTaggart et al. 2010). Setelah tahapan pra-pemrosesan data dilakukan, kemudian data dikoreksi secara manual seperti membuang noise

dan spike. Hal ini dilakukan karena proses pengolahan data tidak sepenuhnya menjamin data siap untuk diolah pada tahapan selanjutnya. Interpolasi dilakukan pada data yang mengalami missing.

Analisis data CTD menggunakan program Ocean Data View (ODV) Versi 4

untuk menampilkan diagram Temperatur-Salinitas (TS), Temperatur-Oksigen (TO) dan Salinitas-Oksigen (SO) serta struktur karakteristik massa air pada SM.

b. Pemrosesan data arus

Pengukuran arus dilakukan dengan menggunakan alat SADCP (Shipboard Acoustic Doppler Current Profilers) 75 kHz merk RDI. Alat ini digunakan untuk mengukur arus dan echo intensity. Tipe SADCP yang digunakan pada penelitian ini adalah broard band VMADCP, frekuensi 75 kHz, blank after transmit 8 m,

minimum bin zise 5 m, number of bin 128 dengan maksimum kedalaman 700 m (EWIN 2013), namun kedalaman maksimum yang digunakan pada penelitian ini adalah sekitar 200 m.

(24)

Tabel 2. Pra-pemrosesan data CTD menggunakan perangkat lunak SBE Data Processing.

Program Fungsi

Data conversion

Mengubah data mentah (HEX) ke dalam bentuk .cnv, memilih ASCII sebagai format data yang dikonversi. Pengkonversian ini bertujuan agar data hasil perekaman CTD dapat diolah menggunakan berbagai perangkat lunak. Konversi data ini meliputi : scan count, tekanan (db), temperatur (ITS-90, °C), dan (%), Salinitas (psu), pH.

Align CTD

Mensinkronkan semua parameter data (konduktivitas, temperatur dan oksigen) agar berada pada waktu dan tekanan yang sama. Proses ini hanya dilakukan terhadap oksigen sebesar 5 detik.

Wild edit Menghapus data dengan nilai ekstrim pada setiap scan 100 bin. Tahap pertama menghapus nilai pada setiap bin yang lebih besar dari 2 standar deviasi. Kedua mengestimasi nilai rata-rata dan standar deviasi baru serta menghapus nilai yang lebih besar dari 20 standar deviasi dari nilai rata-rata yang baru.

Cell thermal mass

Menapis secara recursive untuk mengoreksi temperatur pada sel konduktivitas saat pengukuran berlangsung. Cell thermal

dilakukan pada amplitudo 0.03 dan nilai anomali waktu (1/beta) adalah 7.

Filter Menghilangkan bias (noise) berupa frekuensi tinggi pada data tekanan dan meningkatkan resolusi tekanan untuk proses loop edit, serta low pass filter pada temperatur dan konduktivitas untuk menghaluskanfrekuensi yang tinggi pada data. Low pass filter yang digunakan adalah low pass filter A dengan frekuensi 0.03 s dan B dengan frekuensi 0.15. Low pass filter A diaplikasikan pada kedalaman sedangkan low pass filter B dipakai pada konduktivitas.

Loop edit Memperbaiki data CTD akibat ketidakstabilan kecepatan penurunan CTD yang kurang dari kecepatan minimum. Kecepatan minimum yang dipakai adalah 0.25 .

Derive Menurunkan parameter lain selain parameter yang sudah diperoleh setelah konversi data. Data yang diturunkan dalam proses ini adalah anomali densitas (kg/m3), dan kedalaman air laut (m).

Bin average

Merata-ratakan tekanan atau kedalaman bin yang diinginkan. Ukuran bin yang dipakai adalah 0.5 m.

Koreksi manual

Memeriksa dan memperbaiki hasil keluaran bin average untuk menghilangkan noise/spike/erorr pada data.

c. Validasi model

Validasi data hasil model INDESO dilakukan dengan membandingkan hasil

mooring yang dilakukan pada Kanal Labani di dua posisi masing-masing Barat

(2°51.9’ LS, 118°27.3’BT) dan Timur (2°51.5LS, 118°37.3BT) selama tahun

(25)

perbandingan arus hasil model INDESO pada sepanjang Kanal Labani dengan hasil mooring yang dilakukan oleh Susanto et al. (2010). Perbandingan hanya dilakukan selama 3 tahun. Hal ini dibatasi hasil penelitian Susanto et al. (2012) yang hanya sampai tahun 2009, sehingga perbandingan hasil mooring dengan hasil model INDESO dilakukan selama tahun 2007, 2008 dan 2009.

d. Analisis EOF

Untuk mengestimasi struktur variabilitas baik secara spasial maupun temporal di SM digunakan metode EOF (Empirical Orthogonal Function) pada arus meridional (v) di SM, dengan asumsi bahwa arus meridional dapat mewakili arus pada SM. Hal ini disebabkan pergerakan Arlindo dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia yang melewati SM memiliki arah dominan utara-selatan atau bergerak dari utara menuju selatan (Susanto et al. 2012; Shinoda et al. 2012; Gordon et al. 2012; Mayer & Damm 2012). EOF diaplikasikan pada 3 kedalaman berbeda yang mewakili lapisan permukaan (25m), termoklin (92m) dan kedalaman bawah termoklin (318m) yang diduga dilewati oleh massa air yang bersal dari Pasifik Utara (Gordon, 2005).

Metode EOF lebih dikhususkan untuk membahas variabilitas suatu bidang skalar, misalnya pada komponen arus zonal (u) atau meridional (v), SSH, atau SST (Bjornsson & Venegas 1997). Penelitian ini mengambil 3 mode EOF terbesar dari 10 mode EOF yang dihasilkan. EOF dibuat dengan menggunakan perangkat lunak Ferret versi 6.0.

Perhitungan EOF pada persamaan (1) dilakukan dengan persamaan yang dikembangkan oleh Hanachi et al. (2007) dimana t dan s menunjukkan waktu dan posisi spasial, M pada persaman (1) merupakan jumlah mode yang terdapat pada bidang dengan menggunakan suatu set optimal dari fungsi ruang dan ekspansi fungsi waktu . Bentuk persamaanya dapat ditulis sebagai berikut :

(1)

Analisis EOF diaplikasikan pada 3 lapisan perairan yaitu lapisan tercampur, termoklin dan lapisan dalam. Jumlah bidang pada diskrit waktu dan ruang diwakili untuk i 1,…,n dan j 1,…,p. Selanjutnya data dalam bentuk ruang dan waktu diubah menjadi bentuk matriks sebagai berikut :

) (2)

dimana adalah fungsi transpose matriks atau , adalah nilai dari bidang pada waktu . Perata-rataan waktu pada grid ruang ke i disimbolkan dengan ̅ , diberikan oleh persamaan di bawah ini :

(26)

Atau dengan menggunakan matriks, perata-rataan persamaan (3) dapat ditulis sebagai berikut:

̅ ( ̅ ̅ (4)

dimana merupakan kolom vektor dengan panjang n yang hanya berisikan nilai 1 (matriks identitas). Anomali siklus tahunan arus meridional (v) (t,

t=1, ... n, dan k=1, .... p ditentukan dengan persamaan berikut :

̅ (5)

Dalam bentuk matriks persamaan (5) dapat ditulis sebagai berikut :

̅ (6)

dimana adalah matriks identitas n x n dan H adalah pusat matriks pada orde ke n. dinyatakan sebagai data matriks anomali. Setelah menentukan nilai anomali matriks, tahap selanjutnya adalah mendefinisikan matriks kovarians dengan persamaan (7) di bawah ini:

(7)

Persamaan di atas berisi nilai kovarians Sij, i, j=1,...p, antara deret waktu pada setiap titik grid (si, sj), misalnya

(8)

Analisis EOF bertujuan untk menemukan kombinasi linear yang uncorrelated

pada variabel-variabel berbeda yang dapat menjelaskan varians maksimum yaitu dengan mencari suatu unit-panjang pada arah sehingga Xu memiliki variable maksimum sehingga menghasilkan

(9)

Hal inilah yang menyebabkan EOF ditentukan sebagai solusi untuk mencari nilai eigen seperti pada persamaan:

(10)

Jika EOF ke k, adalah vektor eigen pada S dan nilai eigen maka:

(27)

Setelah menemukan elemen eigen pada kovarians matriks S (pers 9), maka nilai eigen diurutkan menjadi . Nilai varians dihitung dalam bentuk persentase sebagai berikut :

(12)

Anomali X pada EOF ke-k , misalkan jika adalah mode (komponen utama) ke-k maka komponen adalah sebagai berikut :

. (13) Jadi dapat dikatan bahwa nilai eigen mewakili varians mode ke-k . Hingga didapatkan hubungan antara persamaan (1) dan persamaan (13). Agar menemukan solusi nilai eigen (persamaan 10), penjabaran persamaan (7) hingga (10) dapat disederhanakan menggunakan aljabar linear yang disebut singular value decomposition (SVD). Jika n x p merupakan data matrix X, maka persamaan dapat ditulis sebagai berikut :

(14) A = n x r dan U = r x p adalah kesatuan matriks, misalnya UTU = ATA=Ir, dimana r ≤ min (n,p) merupakan pangkat dari X dan Ir adalah matriks identias dari ordo r.

Λ adalah nilai singular dari X, . Aplikasi SVD pada

bidang matriks √ untuk matriks kovarians (4) dapat ditulis sebagai berikut : (15) dimana dan matriks data anomali X koefisien ekspansi menjadi :

(16) Dekomposisi data spasial bidang X pada waktu ke-t diberikan oleh persamaan di bawah ini :

(17)

e. Analisis trajektori partikel massa air

(28)

musim barat, posisi awal partikel juga diletakan pada wilayah selatan (4.4˚LS). Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pergerakan arus (resirkulasi) dari selatan SM menuju utara selama musim barat (Gordon et al. 2003). Setiap perpindahan partikel massa air adalah 1 hari (86400 detik). Analisis dilakukan menggunakan algoritma off-line lagrangian (Blanke dan Grima 2005).

Bidang transpor massa air dihitung dengan persamaan sebagai berikut : (18) dimana , , dan merupakan arah aliran tiga dimensi (dalam Sverdrups), sedangkan i, j dan k merupakan indeks grid pada ketiga sumbu.

Untuk integrasi transpor vertikal atau integrasi transpor pada suatu zonal, maka didefinisikan dan sebagai berikut :

∑ ∑ (19)

∑ ∑ (20)

Kontur dan akan memberikan tampilan yang memadai dari pergerakan dalam proyeksi ke dalam bidang yang dipilih.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Validasi Model

Keluaran model INDESO (Gambar 3a) selama tahun 2007-2009 memiliki pola mirip seperti hasil observasi (Gambar 3b) yang dianalisis oleh Susanto et al. (2012). Amplitudo kecepatan maksimum ditemukan pada rentang bulan Agustus-September, dan velositas tertinggi kedua ditemukan selama bulan April-Mei. Penurunan velositas dan pembalikan arah arus tampak pada bulan November-Desember dan pada sekitar bulan Mei.

(29)

Gambar 3 Variabilitas arus pada Kanal Labani di SM selama tahun 2007-2009 dari hasil model INDESO (a) dan pengukuran mooring (Susanto et al.

2012) (b). Warna menunjukan kecepatan arus meridional (v). Struktur Massa Air Arlindo Hasil Observasi EWIN 2013

Profil menegak massa air pada kedalaman 5-600 m (Gambar 4) menunjukkan terdapat 3 lapisan perairan yakni lapisan tercampur, termoklin dan lapisan dalam. Karakteristik massa air pada setiap lapisan disajikan pada Lampiran 1. Pada wilayah barat SM, ditemukan adanya massa air bersalinitas rendah dan bertemperatur hangat yang dicirikan dengan anomali densitas potensial kurang dari 20.5 di permukaan (Lampiran 4). Diperkirakan rendahnya salinitas pada sisi barat juga dipengaruhi masukan air tawar terutama sungai besar seperti Sungai Mahakam. Namun setelah diselidiki lebih lanjut karakteristik massa air ini terlihat pada wilayah barat di hampir seluruh transek (2-5) kecuali pada Transek 1. Hal tersebut terjadi karena adanya aliran menuju utara (Gambar 10a, Gambar 12b dan Lampiran 4). Diduga massa air tersebut merupakan bagian dari massa air dari Laut Cina Selatan dan massa air Laut Jawa seperti yang diduga oleh Gordon et al. (2003).

Struktur massa air menunjukan bahwa terjadi transformasi masa air ke arah selatan (Gambar 5). Hal ini terlihat dengan berkurangnya nilai salinitas maksimum ke arah selatan, dengan nilai salinitas maksimum pada transek 1-5 berturut-turut adalah 34.840 psu (Transek 1), 34.802 psu (Transek 2), 34.801 psu (Transek 3), 34.814 psu (Transek 4) dan 34.803 psu (Transek 5).

a

(30)

Nilai salinitas minimum juga semakin meningkat ke arah selatan. Hasil ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnnya (Ilahude & Gordon 1996; Naulita 1998; Waworuntu et al. 2000; Koch-Larouy et al. 2007).

[image:30.595.96.473.237.648.2]

Diagram Temperatur-Salinitas (TS), Temperatur-Oksigen (TO), dan Salinitas-Oksigen (SO) pada Gambar 5 menunjukan 2 jenis massa air utama yang melewati SM, yaitu North Pacific Subtropic Water (NPSW) dan North Pacific Intermediate Water (NPIW). Karakteristik massa air NPSW secara umum memiliki kisaran salinitas antara 34.597-34.877 psu, temperatur 18.16-2.9°C dan oksigen 2.91–3.56 serta pada kedalaman antara 100-230 m dengan nilai densitas potensial antara 22.5-25.5 .

Gambar 4 Profil menegak salinitas (a), temperatur potensial (b), dan oksigen (c) di perairan SM. Warna pada grafik menunjukan posisi transek pada SM (d). Merah Transek 1, Kuning Transek 2, Biru Transek 3, Hitam Transek 4, Hijau Transek 5 dan Merah muda Transek 6.

a

b

(31)
[image:31.595.120.500.82.482.2]

Gambar 5 Diagram TS (a), TO (b) dan SO (c) dengan posisi transek utara-selatan di SM. Keterangan warna pada diagram disajikan pada kiri bawah gambar (d). Warna Abu-abu (T. 1) St 25-29, Hijau (T. 2) St 22-24, Kuning (T. 3) St 15-21, Merah (T. 4) St 9-14, Biru (T. 5) St 4-8, Tosca (T. 6) St 1-3.

Nilai salinitas maksimum berkisar antara 34.77-34.88 psu pada kedalaman 110 m-180 m. Nilai ini mendekati hasil observasi yang dilakukan Gordon et al. (2008) yakni antara 100-150 m dan sejalan dengan simulasi Kida dan Wijffels (2012) yang menyatakan bahwa aliran maksimum di SM berada pada kedalaman antara 110-120 m.

Lapisan tercampur lebih tebal pada sisi barat selat (70.5-79 m) di jalur masuk Arlindo. Hal ini ditandai dengan penurunan kontur kedalaman 0-100 m ke arah timur akibat desakan massa air yang lebih hangat, tawar dan kandungan oksigen yang lebih tinggi (Gambar 7a, 8a dan 9a) pada sisi barat. Lebih tipisnya lapisan permukaan tercampur pada sisi timur (17-24 m) diduga akibat mengalirnya massa air Arlindo yang juga dijelaskan pada Gambar 6. Massa air NPSW ditemukan pada anomali densitas antara 22.20-25.67 dengan

a

b

c

d

NPSW

(32)

kedalaman berkisar 58.5-247 m pada Transek 1. Kisaran densitas massa air NPSW semakin sempit dengan nilai antara 22.56-25.61 serta pada kedalaman antara 83.5-216.5 m di Transek 2 (Gambar 7b, 8b dan 9b). Sebaran massa air pada kedalaman bawah termoklin juga menunjukan eksistensi massa air ini pada sisi timur di jalur masuk (Transek 1 dan 2). Inti (core) salinitas minimum massa air utama pada Transek 1 adalah sebesar 34.406-34.413 psu (Stasiun 25 dan 26), mengalami peningkatan pada Transek 2 sebesar 34.410-34.415 psu (Stasiun 22 dan 23). Karakteristik massa air NPSW dan NPIW hasil observasi EWIN 2013 pada setiap stasiun disajikan pada Lampiran 2 dan 3.

Pergerakan Arlindo mulai menuju sisi barat SM pada wilayah tengah selat (Transek 3 dan 4). Kehadiran massa air Arlindo bersalinitas maksimum (NPSW) ditandai dengan peningkatan kontur kedalaman 100-150 m akibat percampuran yang kuat pada kedalaman antara 106-139.5 m dengan gradient penurunan suhu yang sangat kecil yakni 0.0094 °C/m pada Stasiun 16 (Gambar 7c,8c dan 9c). Hal ini turut mendukung pernyataan Sprintall et al. (2014) bahwa percampuran vertikal yang terjadi di perairan Indonesia sangat menentukan kedalaman temperatur, salinitas dan kecepatan massa air. Meningkatnya kontur kedalaman pada Stasiun 16 juga mengindikasikan adanya aliran yang kuat terutama pada kedalaman antara 106-139 m sehingga percampuran turut menguat. Eksistensi Arlindo pada Stasiun 16 ditemukan pula pada sebaran salinitas pada densitas 24.5 dan 26.5 (Gambar 6c dan 6d). Salinitas maksimum pada Stasiun 16 adalah 34.821 psu dengan salinitas minimum 34.422 psu. Pada Transek 4 massa air NPSW ditemukan dengan rentang densitas 22.71-25.51 (Gambar 7d, 8d dan 9d). Semakin ke selatan (Transek 4), eksistensi massa air utama Arlindo ditemukan semakin mendekati tepi barat pada batas wilayah yang dalam. Akibatnya pada wilayah barat (Stasiun 13 dan 14) ditemukan massa air NPSW yang lebih tebal (Lampiran 2). Mayer dan Damm (2012) menjelaskan aliran arlindo akan bergerak menyusuri tepi kanal yang dalam pada sisi barat SM. Adanya intensifikasi massa air NPSW pada tepi barat terlihat dari pola salinitas yang terbentuk pada Gambar 6c dan 6d. Massa air utama Arlindo bergerak melalui Stasiun 11 dan 12 dengan nilai salinitas maksimum semakin berkurang menjadi 34.820 psu serta salinitas minimum meningkat menjadi 34.411-34.425 psu (Lampiran 2 dan 3). Sebaran salinitas maksimum dan minimum salinitas pada densitas 24.5 dan 26.5 (Gambar 6c dan 6d) mirip dengan pola energi kinetik dan arus keluaran model INDESO selama bulan Juni yang disajikan pada Gambar 6a

(33)

resirkulasi Arlindo dari selatan yang kemudian berkembang sebagai eddy

dibandingkan oleh aliran Arlindo yang berasal dari utara.

Nilai salinitas maksimum semakin berkurang pada Transek 6 dengan nilai berturut-turut dari Stasiun 3, 2 dan 1 adalah 34.841, 34.813 dan 34.808 psu sedangkan nilai salinitas minimum berturut-turut dari Stasiun 3, 2 dan 1 adalah 34.429, 34.429 dan 34.427 psu. Hasil ini turut mendukung pernyataan Sprintall et al. (2014) bahwa sebelum memasuki perairan Laut Banda telah terjadi transformasi massa air Arlindo yang cukup signifikan di SM.

[image:33.595.130.492.212.603.2]

Gambar 6 Distribusi energi kinetik yang ditumpang tindih dengan arus komponen meridional rerata bulan Juni tahun 2007-2013 keluaran model INDESO (a) dan sebaran salinitas pada 24.5 (c) serta 26.5 (d) di SM dari hasil Observasi EWIN tahun 2013. Inti massa air NPSW dan NPIW ditunjukan oleh tanda panah. Penentuan nilai densitas diperoleh berdasarkan Diagram TS (b). Garis putus-putus pada gambar c dan d menunjukan isodepth 250 m sebagai batas wilayah yang dangkal pada sisi barat SM.

c

d

(34)

Jarak (km)

Jarak (km) Jarak (km)

Kedalaman (m) Salinitas (psu)

Jarak (km) Jarak (km)

Kedalaman (m) Salinitas (psu)

Kedalaman (m) Salinitas (psu) Kedalaman (m) Sal (psu) Kedalaman (m) Salinitas (psu)

D

en

si

ta

s

(

��

��

D

en

si

ta

s

(

��

��

Skala bar salinitas (psu) Jarak (km)

a

b

c

[image:34.595.79.479.97.581.2]

d

e

(35)

Gambar 8 Sebaran melintang temperatur pada Transek 1(a), Transek 2(b), Transek 3(c), Transek 4(d) dan Transek 5(e) pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan kontur kedalaman (m).

Jarak (km) Jarak (km) Jarak (km)

Jarak (km) Jarak (km)

D

en

si

ta

s

(

��

��

Kedalaman (m) Temp (˚C) Kedalaman (m) Temp (˚C) Kedalaman (m) Temp (˚C)

Kedalaman (m) Temp (˚C) Kedalaman (m) Temp (˚C)

Skala bar temperatur (˚C)

D

en

si

ta

s

(

��

��

a

b

c

[image:35.595.117.505.95.603.2]
(36)

Gambar 9 Sebaran melintang oksigen pada Transek 1(a), Transek 2(b), Transek 3(c), Transek 4(d) dan Transek 5(e) pada SM dengan densitas potensial sebagai sumbu menegak, yang ditumpang susun dengan dengan kontur kedalaman (m).

Jarak (km) Jarak (km) Jarak (km)

Jarak (km) Jarak (km)

Kedalaman (m) Oksigen (ml/l)

D

en

si

ta

s

(

��

��

D

en

si

ta

s

(

��

��

Skala bar oksigen ( )

Kedalaman (m) Oksgn (ml/l) Kedalaman (m) Oksigen (ml/l)

Kedalaman (m) Oksigen (ml/l) Kedalaman (m) Oksigen (ml/l)

a

b

c

[image:36.595.89.478.91.603.2]
(37)

Distribusi Arus Hasil Observasi EWIN 2013

Distribusi vektor arus dari hasil ekspedisi EWIN 2013 di SM disajikan pada Gambar 10. Hasil visualisasi arus menunjukan pergerakan arus sesuai dengan karakteristik massa air yang telah dibahas sebelumnnya. Arus yang memasuki pintu utara SM cenderung bergerak menuju barat daya, intensifikasi arus pada sisi barat SM terlihat pada Transek 4 dan 5.

Magnitud arus yang kuat di dekat permukaan ditemukan pada wilayah barat hingga tengah Transek 1 dan 2 (Gambar 10a dan 10b). Celah antara Tanjung Mangkaliat dan Tanjung Dondo dengan lebar sekitar 60 km menyebabkan aliran massa air (arus) pada jalur masuk Arlindo menjadi lebih kuat. Hal ini sesuai dengan hukum konservasi massa yang mengharuskan jumlah massa air yang memasuki SM sama dengan jumlah massa air sebelum memasuki celah tersebut

[image:37.595.134.486.276.670.2]

Gambar 10 Distribusi vektor arus pada SM pada beberapa lapisan kedalaman. (a) kedalaman 50 m, (b) kedalaman 75 m, (c) kedalaman 100 m dan (d) kedalaman 125 m (Atmadipoera, kom. pribadi 2015).

a

b

(38)

sama sehingga aliran dipercepat. Arus kuat ini masih terlihat sampai di Transek 3. Kuatnya pergerakan massa air dekat permukaan pada sisi barat Transek 1 dan 2 ini juga terlihat dari tebalnya lapisan tercampur pada sisi barat di kedua transek tersebut (Stasiun 28, 29 dan 24 pada Lampiran 1).

Pola sirkulasi menunjukan bahwa aliran Arlindo mengalami intensifikasi pada kedalaman termoklin (Gambar 10c) dengan kecepatan mencapai -1.43 pada jalur masuk Arlindo (Transek 1) dan merupakan kecepatan tertinggi yang ditemukan dengan arah aliran semakin menuju barat daya selat. Penelitian sebelumnya mengungkapkan Arlindo yang berasal dari Pasifik Utara bergerak pada massa air yang relatif tawar dan dingin di kedalaman termoklin (Gordon 2005). Arlindo memasuki perairan Indonesia melewati ambang/sill di gugusan kepulauan Sangir-Talaud yang selanjutnya diteruskan ke SM. Aliran massa air tersebut kemudian didinginkan oleh massa air permukaan yang lebih tawar yang mampu menghalangi massa air permukaan yang hangat selama musim barat (Gordon et al. 2003). Sebagai hasilnya transpor utama Arlindo tidak terjadi pada lapisan permukaan melainkan pada lapisan termoklin.

Pada jalur keluar Arlindo di Kanal Labani kecepatan massa air adalah -0.90 . Hasil ini hampir sama dengan penelitian Susanto et al. (2012) selama tahun 2004-2009 yang menemukan aliran massa air terkuat ditemukan pada kedalaman sekitar 120 m namun memiliki nilai sedikit lebih kecil yakni -0.80 selama periode musim timur. Konfigurasi Kanal Labani yang sempit dan dalam (2000 m) merupakan faktor utama kuatnya aliran pada wilayah tersebut (Gambar 11).

Aliran massa air pada Transek 4 berbenturan dengan topografi dasar laut SM, sehingga menghasilkan pembelokan arah arus menuju tenggara menyusuri lereng SM (Gambar 10c dan 10d). Arus ini dikenal sebagai Arlindo Makassar (Gordon et al. 2012). Model dari Mayer dan Damm (2012) menemukan arus jet pada lapisan di bawah lapisan permukaan bergerak menyerupai western boundary current pada sepanjang jalur lintas Arlindo dari Laut Sulawesi memasuki SM hingga keluar melewati Selat Lombok.

Gambar 11 Konfigurasi Batimetri sepanjang lintasan traking SADCP dari selatan (ujung kiri) hingga utara (ujung kanan) SM. Keterangan lokasi transek arus berada pada kanan gambar.

(39)

Arlindo mengalami resirkulasi membentuk eddy. Massa air terhalang batas kanal SM di kedalaman sekitar 35 m pada sisi Barat Transek 3 (0.106-0.509°LU dan 117-118.8.9°BT) yang mengakibatkan terjadinya resirkulasi. Arus menuju timur (bernilai positif) juga menguat terutama pada lapisan antara 50-75 m dan 125-150 m di sisi tengah hingga barat Transek 3 dan 4, yang menjelaskan terjadinya eddy di wilayah tersebut (Gambar 12a). Resirkulasi massa air juga tampak di sisi timur antara Transek 3 dan 4 (0.0263 -0.884°LS dan 119.2 - 119.5°BT) yang terlihat di setiap lapisan kedalaman (0-200 m).

Sebaran arus meridional (v) pada Gambar 12b menunjukan bahwa secara umum, arus mengalir ke arah selatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wyrtki (1991) bahwa arus utama Arlindo di SM selalu mengalir dengan arah dominan menuju selatan sepanjang tahun. Namun pada kedalaman permukaan (0-30 m) mengalir arus dengan arah sebaran menuju utara di tepi barat selat. Hal ini menyebabkan massa air permukaan bergerak dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan massa air pada lapisan bagian bawah.

Menurut Gordon et al. (2003), arus permukaan di SM memiliki korelasi yang tinggi dengan angin zonal pada Laut Jawa sebesar 0.8 pada periode musim barat sehingga terdapat aliran permukaan massa air Laut Cina Selatan dan Laut Jawa yang bersalinitas rendah memasuki wilayah perairan SM. Aliran menuju utara di sisi barat SM diperkuat dengan hasil tracking arus dari SADCP pada komponen meridional (v) (Gambar 12b) dan karakteristik salinitas permukaan (Lampiran 4). Aliran ini turut diduga akibat time lag /waktu jeda pergerakan arus musiman, dimana pada periode musim barat terdapat aliran massa air (arus) permukaan bersalinitas rendah dari Laut China Selatan dan Laut Jawa yang membangkitkan gradien tekanan barotropik pada sepanjang SM dari arah selatan menuju utara dan melemahkan aliran di dekat permukaan sedangkan pada periode

Gambar 12 Sebaran Komponen Arus zonal; (u) (a) dan arus meridional (v) (cm/detik) (b) dari selatan (ujung kiri) hingga utara (ujung kanan) SM pada kedalaman 0-200 m, keterangan lokasi transek arus berada pada kanan bawah gambar.

(a)

[image:39.595.114.509.453.657.2]
(40)

musim timur terjadi hal sebaliknya (Gordon et al. 2003; Tozuka et al. 2009; Atmadipoera et al. 2009). Diduga pada saat mulai terjadi pembalikan arah angin (memasuki musim timur), aliran massa air permukaan tidak langsung berbalik mengikuti arah angin, namun terdapat jedah waktu (time lag) dimana massa air membutuhkan waktu untuk secara penuh berbalik mengikuti arah angin.

Struktur Vertikal Arus Meridional dan Energi Kinetik Arlindo SM

Struktur vertikal komponen arus meridional (v) dari Arlindo SM pada beberapa penampang melintang, yang merupakan rerata v dari model INDESO 2007-2013 disajikan pada Gambar 13. Di transek A, penampang menegak Arlindo SM ditandai dengan pola aliran kearah selatan (warna biru), dimana lapisan inti Arlindo dengan magnitude kecepatan > 0.5 m/s berada di lapisan termoklin dan semakin bertambah kedalaman kecepatan Arlindo semakin melemah (0.1 m/s). Di transek A ini, batas bawah aliran Arlindo SM berada di kedalaman sekitar 350 m, sedangkan batas tepi baratnya berada di sekitar bujur 118.6°E yang berada di sekitar slope dangkalan Kalimantan dan batas tepi timur hampir dekat dengan pantai barat Sulawesi (199.8°E). Di transek B, C dan D struktur vertikal Arlindo SM masih mirip dengan di transek A, dimana ekstensi vertikal Arlindo SM mencapai kedalaman sekitar 350 m, tetapi batas tepi barat dan timur menjadi berbeda karena konfigurasi selat yang berbeda. Misalnya, di bagian Kanal Libani yang sempit dan dalam, magnitude kecepatan jet Arlindo SM menjadi lebih kuat dan intensif. Di transek D, topografi dasar laut yang berupa multi-kanal, menjadikan aliran Arlindo SM mengalami partisi kedalam 3 kanal, sehingga struktur vertikal alirannya menjadi lebih dangkal (Gambar 13 d).

Penampang melintang rerata arus meridional (v) pada model INDESO menunjukan pola aliran Arlindo yang mirip dengan hasil observasi EWIN 2013 dimana pada jalur masuk Arlindo (Gambar 13a) arus komponen meridional (v) yang kuat terjadi di sisi timur selat, sedangkan di sisi barat selat ditemukan resirkulasi massa air berbentuk eddy yang teridentifikasi hingga kedalaman 350 m. Selain itu, intensifikasi arus juga ditemukandi tepi barat SM (Gambar 13b) pada wilayah 0.1- 1.7˚LS, yang mulai terlihat pada kedalaman termoklin. Selanjutnya aliran dibelokan ke arah tenggara menuju Kanal Labani akibat arus yang membentur topografi dangkalan Kalimantan. Di Kanal Labani kecepatan arus meningkat dengan magnitud arus meridional (v) mencapai sekitar -1 .

Pergerakan arus ke arah selatan di Kanal Labani ditemukan hingga kedalaman 450 m. Arus yang kuat memiliki ketebalan antara 100-200 m. Hasil tersebut sejalan dengan mooring yang pernah dilakukan misalnya pada program INSTANT tahun 2004-2009 (Susanto et al. 2012) serta hasil simulasi pemodelan laut (Du dan Qu 2010; Metzger et al. 2010; Shinoda et al. 2012; Mayer & Damm 2012). Percabangan Arlindo ditemukan pada wilayah sekitar 5.7˚LS (Gambar 13e) dengan partisi aliran yang kuat ditemukan pada percabangan tengah dan timur.

(41)

Gambar 13 Penampang melintang rerata arus komponen meridional (v) Arlindo SM. Keterangan lokasi transek arus (a,b,c,d dan e) berada pada sebelah kanan gambar (f). Warna pada arus meridional menunjukan skala kecepatan ( ).

Pusaran arus (eddies) dari hasil model yang teridentifikasi di SM berjumlah empat eddy yang dominan (Gambar 13 dan 14). Eddy di SM terbentuk antara jet Arlindo SM dan batas tepi SM. Stevana et al. (2001) menyatakan eddy pada daerah pesisir terbentuk akibat pertemuan antara aliran dengan struktur pesisir sehingga menghasilkan resirkulasi massa air dalam hal ini pada SM, jet Arlindo serta topografi selat mempengaruhi luas dan kecepatan eddy yang terbentuk.

Dua eddy ditemukan pada wilayah utara Kanal Labani, sedangkan kedua

eddy lainnya ditemukan di Selatan Kanal Labani. Eddy searah jarum jam pada utara Kanal Labani ditemukan pada sisi barat selat dengan posisi antara 0.8° LS – 0.8° LU dan 117.5° - 119° BT, sedangkan pada sisi timur SM, eddy berlawanan

arah jarum jam ditemukan pada 0.9˚-2.7˚LS dan 118.4˚-199.2˚BT (Gambar 14). Radius eddy pada wilayah utara SM adalah 145 km. Dengan melihat arah pusaran

Eddy, maka eddy yang terjadi pada sisi barat di wilayah utara Kanal Labani menyebabkan tenggelamnnya massa air. Hal ini diketahui dari hasil sebaran salinitas dan temperatur permukaan yang rendah (Lampiran 5). Tenggelamnya massa air pada kedua eddy di utara Kanal Labani juga terlihat dari turunnya garis isoterm serta isohalin pada wilayah eddy hingga kedalaman 20 m (Lampiran 6a dan 6b).

(a) (b) (c)

[image:41.595.115.502.83.397.2]
(42)

Eddy di Selatan Kanal Labani (4.5° - 5° LS) memiliki radius 85 km. Kedua

eddy ini dipisahkan oleh jet arus Arlindo (Gambar 13d) yang keluar dari Kanal Labani. Eddy di sisi timur bergerak berlawanan jarum jam dan pada sisi barat bergerak searah jarum jam. Eddy terjadi karena sirkulasi lokal pada lokasi dimana

eddy ditemukan. Eddy pada sisi timur terbentuk pada dekat permukaan dan menghilang pada kedalaman saat ditemukannya eddy di sisi barat yakni 55.76 m akibat dangkalnya perairan pada sisi timur. Pergerakan eddy yang berlawanan arah jarum jam menyebabkan massa air terangkat dari kedalaman 40 m menuju

permukaan (Lampiran 6d) sehingga terjadi upwelling pada wilayah timur di selatan Kanal Labani. Eddy pada sisi barat bergerak searah jarum jam yang berdampak pada tenggelamnnya massa air. Penampang melintang salinitas dan temperatur pada Lampiran 6c menunjukan adanya penurunan isoterm dan isohalin hingga kedalaman 160 m. Pergerakan eddy sisi barat semakin kuat pada kedalaman termoklin.

Gambar 14 Struktur aliran Arlindo SM dan energi kinetik (m2/s2/unit massa) rataan tahun 2007-2013 dari hasil model INDESO pada kedalaman 0.5, 25, 55.76, 92.3, 130.7 dan 318 m. Warna menunjukan skala EK.

0.5 m 25 m

92.23 m 130.7 m 318.1 m

[image:42.595.85.486.289.652.2]
(43)

Terdapat 3 percabangan arus pada selatan Ambang Dewakang. Percabangan ini menyebabkan massa air dari permukaan hingga kedalaman 130.7 m mengitari daerah ambang (Gambar 14). Cabang bagian timur dan tengah memasok massa air Arlindo ke arah timur menjadi Arus Nusa Tenggara dan pada cabang barat massa air langsung keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok (Metzger et al.

2010). Menurut Mayer dan Damm (2012), transpor Arlindo pada kedalaman 52-420 m yang disimulasikan menggunakan model HYCOM dominan mengalir melalui cabang barat. Namun hasil model INDESO menunjukan arus dominan mengalir pada cabang tengah dan timur (Gambar 13e dan 14). Hal ini dikarenakan pada cabang barat, massa air dibelokan oleh adanya eddy yang terjadi akibat benturan massa air dengan Ambang Dewakang di sisi barat (Gambar 14). Massa air sekitar 20% langsung dipasok ke Samudera Hindia dari percabangan tersebut melalui Selat Lombok dan sebagian besar lainnya akan diteruskan ke Laut Banda dan keluar pada Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan celah Timor (Sprintall

et al. 2009; Molcard et al 1996,2003).

Siklus Tahunan Arlindo SM dari Model INDESO

Siklus tahunan sirkulasi Arlindo SM pada 3 level kedalaman (25 m, 92 m, dan 318 m) menunjukkan adanya variasi tahunan dari Arlindo SM (Gambar 15, 16, dan 17), yang dikontrol oleh kekuatan angin yang bervariasi secara musiman, baik yang berasal dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Masumoto dan Yamagata, 1996; Potemra 1999; Shinoda et al. 2012).

Sirkulasi Arlindo SM di kedalaman dekat permukaan (25 m) teridentifikasi pada nilai energi kinetik, EK > 0.05 m2/s2 (Gambar 15). Pada segmen Arlindo SM di lintang 1 °LS, variasi nilai EK menunjukkan variasi tahunan yang tegas, dimana nilai EK dan arus permukaan tercatat lebih kuat selama musim timur (Agustus-September) dibandingkan dengan musim barat (Desember-Februari). Pada musim timur, arus maksimum pada Kanal Labani sebesar 1.45 m/s dan lebar jet Arlindo sebesar 150 km yang dihitung pada bulan September sedangkan arus terendah terjadi pada musim barat dengan arus maksimum yang ditemukan selama musim barat pada Kanal Labani sebesar -0.91m/s dan lebar jet Arlindo pada

wilayah 1˚LS adalah 132 km pada bulan Februari. Lemahnya arus permukaan

pada musim barat disebabkan adanya tekanan massa air dari selatan SM yang menghambat aliran massa air permukaan dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia, sedangkan pada musim timur gradien ke utara berkurang akibat pembalikan arah angin sehingga arus permukaan menguat (Gordon et al. 2003).

(44)

Gambar 15 Vektor rata-rata bulanan arus meridional (v) (m/s) dari tahun 2007-2013 dan EK /satuan massa (m2/s2) pada kedalaman dekat permukaan di SM. Warna menunjukan nilai EK per unit massa. Interval kontur EK adalah 0.05. Arus utama Arlindo ditunjukan oleh kontur EK >0.05 m2/s2.

Percabangan arus di wilayah selatan Kanal Labani juga mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Hasil model INDESO menunjukan aliran pada cabang barat mulai melemah pada bulan November, hingga mencapai nilai minimum pada bulan Januari dengan tidak terlihat adanya percabangan di bagian barat. Hal ini dipengaruhi oleh intrusi massa air yang berasal dari selatan seperti yang dijelaskan sebelumnya (Fang et al. 2010; Gordon et al. 2003). Selama musim

Desember

Juli Juni

Mei April

Maret Februari

Januari

November September

[image:44.595.86.485.83.549.2]
(45)

pera

Gambar

Gambar 4 Profil menegak salinitas (a), temperatur potensial (b), dan oksigen (c) di perairan SM
Gambar 5 Diagram TS (a), TO (b) dan SO (c) dengan posisi transek utara-selatan
Gambar 6 Distribusi energi kinetik yang ditumpang tindih dengan arus komponen meridional rerata bulan Juni tahun 2007-2013 keluaran model INDESO (a) dan sebaran salinitas pada    24.5       (c) serta 26.5       (d) di SM dari hasil Observasi EWIN tahun 201
Gambar 7 Sebaran melintang salinitas pada Transek 1(a), Transek 2(b), Transek
+7

Referensi

Dokumen terkait

Orang- orang yang memiliki status sosial yang tinggi biasanya lebih diutamakan baik dalam hal penyediaan barang maupun jasa dengan kualitas yang baik... dengan status

Jika yang ada di bawah bagan rambo dengan menggunakan lampu merkuri adalah ikan teri atau musim ikan teri maka pengangkatan jaring sebanyak 3 kali dapat

- Alat ini tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh orang (termasuk anak- anak) dengan cacat fisik, indera atau kecakapan mental yang kurang, atau kurang pengalaman dan

1) Penyajian proposal skripsi yang belum memenuhi syarat menurut dosen penilaian tidak akan diberikan nilai dan penyajian proposal skripsi tersebut harus diulang kembali

Dari pengumpulan informasi ini tidak hanya data tentang umur, jarak tempuh, jenis perizinan saja yang didapat, namun dengan mengetahui keadaan mengemudi

Penampang melintang rerata arus meridional (v) pada model INDESO menunjukan pola aliran Arlindo yang mirip dengan hasil observasi EWIN 2013 dimana pada jalur

Masing-masing koridor memiliki sembilan sektor ekonomi yang dapat dikembangkan potensinya sehingga dapat memberikan konstribusi terhadap daerah masing-masing,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik massa air di sekitar perairan Sangihe Talaud dimana terdapat percabangan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) pada jalur utama