• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penyimpanan Dan Pengolahan Terhadap Kandungan Aflatoksin Jagung Dan Produk Olahannya Di Provinsi Di Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Penyimpanan Dan Pengolahan Terhadap Kandungan Aflatoksin Jagung Dan Produk Olahannya Di Provinsi Di Yogyakarta."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENYIMPANAN DAN PENGOLAHAN

TERHADAP KANDUNGAN AFLATOKSIN JAGUNG

DAN PRODUK OLAHANNYA DI PROVINSI

YOGYAKARTA

DYAH RATNA WIDYASWARI

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penyimpanan dan Pengolahan Terhadap Kandungan Aflatoksin Jagung dan Produk Olahannya di Provinsi Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

DYAH RATNA WIDYASWARI. Pengaruh Penyimpanan dan Pengolahan Terhadap Kandungan Aflatoksin Jagung dan Produk Olahannya di Provinsi DI Yogyakarta. Dibimbing oleh DIAN HERAWATI dan WINIATI P. RAHAYU.

Jagung merupakan salah satu komoditi yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia dan salah satu pusat produksi jagung adalah provinsi DI Yogyakarta (DIY). Jika ditangani dengan baik, jagung dapat terkontaminasi kapang Aspergillus sp. yang menghasilkan aflatoksin. Analisis kandungan aflatoksin dengan metode HPLC yang dilakukan di daerah A memberikan hasil bahwa kadar aflatoksin terdeteksi pada jagung yang dikemas dalam silo dan karung masing-masing 15.98-133.50 ppb dan 33.33-217.51 ppb. Sementara itu, kandungan aflatoksin untuk jagung yang dikemas karung pada daerah C adalah 4.08-89.08 ppb. Aflatoksin tidak terdeteksi pada sampel marning yang berasal dari daerah A baik berupa marning mentah maupun matang. Kadar aflatoksin emping mentah dan emping matang di daerah C masing-masing mencapai 3.39-31.77 ppb dan ND-25.45 ppb. Kadar aflatoksin emping mentah dan emping matang di daerah D masing-masing mencapai 3.49-3.85 ppb dan 1.03-3.79 ppb. Analisis terhadap sampel di daerah B menunjukkan bahwa aflatoksin tidak terdeteksi pada bahan baku jagung maupun produk emping olahannya. Kadar aflatoksin pada jagung pipil di DIY dipengaruhi oleh cara penyimpanan. Kadar afatoksin olahan jagung ditentukan oleh kondisi bahan bakunya.

Kata kunci: aflatoksin, Aspergillus sp., jagung, penyimpanan, pengolahan

ABSTRACT

DYAH RATNA WIDYASWARI. The Effect of Storage and Processing on Aflatoxin Content in Corn and Its Processes Food in DI Yogyakarta Province. Supervised by DIAN HERAWATI dan WINIATI P. RAHAYU.

Corn is one of food commodities which is often consumed by Indonesian people and Yogyakarta province is one of corn production center in Indonesia. Corn can be contaminated with Aspergillus sp. producing aflatoxin if it is not handled properly. The aim of this study was to investigate aflatoxin level in corn in Yogyakarta Province and its processed food using HPLC. Aflatoxin level in dried corn stored in silo and sack were 15.98-133.50 ppb and 33.33-217.51 ppb respectively for region A. Meanwhile its level reached 4.08-89.08 ppb for corn stored in sack from region C. Aflatoxin was not detected either in raw and fried marning made in region A. Aflatoxin analysis in raw corn chip and fried corn chip produced in region B also showed that aflatoxin was not detected in these products. However, aflatoxin level in raw corn chips and fried corn chips produced in region C were 3.39-31.77 ppb and ND-25.45 ppb; and it reached 3.49-3.85 ppb and 1.03-3.79 ppb respectively for raw corn chips and fried corn chips produced in region D. Aflatoxin level in corn based products was affected by its raw corn material and aflatoxin level in corn raw material was determined by storage condition.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

PENGARUH PENYIMPANAN DAN PENGOLAHAN

TERHADAP KANDUNGAN AFLATOKSIN JAGUNG

DAN PRODUK OLAHANNYA DI PROVINSI

YOGYAKARTA

DYAH RATNA WIDYASWARI

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang dilaksanakan sejak Juni hingga Oktober 2014. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dian Herawati S.TP, M.Si dan Ibu Prof. Dr Winiati P. Rahayu selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, pengarahan, dan bimbingan selama kuliah, penelitian, hingga tersusunnya skripsi ini serta dosen penguji atas arahan dan masukannya. . Terima kasih juga kepada keluarga besar penulis atas doa dan dukungannya, kepada dosen dan seluruh teknisi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah membantu dan memberikan masukan serta ilmu kepada penulis selama melaksanakan tugas akhir. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu (Retno Indriastuti SKM,M.Kes), Bapak (Toto Castro SKM,M.Kes) (alm), Mas Ditya, Mbak Nanda dan Mbak Yah atas doa, dukungan, kasih sayang, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis selama ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih atas dana penelitian yang telah diberikan oleh Kementerian Pertanian melalui DIPA Tahun Anggaran 2014 Badan Litbang Pertanian-Kantor Pusat Jakarta No. No. 018-09.1.441970/2014, tanggal 5 Desember 2013 dengan Kode 1809.006.002.011B.5522191 a.n. Prof. Dr Winiati P. Rahayu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh petani jagung, pengrajin marning jagung, pengrajin emping dari provinsi DI Yogyakarta serta SEAMEO BIOTROP atas kerjasamanya selama penulis melaksanakan penelitian. Teman-teman seperjuangan Mazaya, Tiaranissa, Alfia, Qabul, Aby, Qori, Andini, Tommy, Adiguna, Bachtiar, Abay, Furry, Rahmalia, Farisa, Anandya, Ghita dan teman-teman ITP 47 serta HIMITEPA atas dukungan, kerja sama, semangat serta segala masukan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan tugas akhir. Terima kasih juga kepada sahabat-sahabat Meta, Doni, Dodi, Putri, Lisa, Febrinita, Astari, Ajeng, Nandya, Dini, Ineke, Inez, Dita, Binar, Indri, Pipit, Mitha, Dani, Ria, Fitra dan Faisal yang senantiasa selalu memberi doa, motivasi dan inspirasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik. Terakhir, terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis baik secara langsung dan tidak langsung.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih belum sempurna dan memerlukan saran serta masukan. Penulis berharap tugas akhir ini memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan memberikan dampak terhadap perkembangan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang Ilmu dan Teknologi Pangan.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODOLOGI PENELITIAN 2

Tempat Penelitian 2

Alat dan Bahan 2

Bahan 2

Alat 2

Metode Penelitian 2

Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara 3

Pengukuran Kadar Air (AOAC 2012) 3

Pengukuran Aktivitas Air (aw) 4

Pengukuran Kadar Aflatoksin (AOAC 2012) 4

Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Kondisi Penyimpanan Bahan Baku 5

Suhu, kelembaban udara, kadar air dan aw bahan 5

Aflatoksin pada Bahan Baku Jagung 7

Pengaruh Pengolahan Jagung Terhadap Kandungan Aflatoksin 11

Produk Pangan Olahan Berbasis Jagung 11

Marning Jagung 11

Emping Jagung 13

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

(12)

DAFTAR TABEL

1. Gambaran pengambilan sampel bahan baku di daerah Yogyakarta 3 2. Gambaran pengambilan sampel produk di daerah Yogyakarta 3

3. Karakteristik kondisi penyimpanan jagung 5

4. Karakteristik jagung pada setiap penyimpanan 6

5. Kandungan aflatoksin pada bahan baku 8

6. Besarnya penurunan aw dan kadar air marning 12

7. Kandungan aflatoksin pada jagung dan marning olahannya 12 8. Besarnya penurunan aw dan kadar air emping jagung 13

9. Kandungan aflatoksin pada jagung dan emping olahannya 14

10.Besarnya penurunan aflatoksin emping 15

DAFTAR GAMBAR

1. Kondisi tempat penyimpanan karung daerah A 9

2. Kondisi tempat penyimpanan silo daerah A 10

3. Kondisi tempat penyimpanan karung daerah B 10

4. Kondisi tempat penyimpanan karung daerah C 11

5. Nilai kadar air dan aw marning di daerah A 12

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup banyak ditanam dan dikonsumsi di Indonesia. Konsumsi jagung di Indonesia mengalami peningkatan sejak sepuluh tahun terakhir dari tahun 2000 sekitar 9.7 juta ton menjadi 17.6 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik 2010). Selain menjadi bahan pangan, jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan dan bahan baku industri, bahkan 50 % penggunaan jagung dimanfaatkan sebagai bahan pakan (Susanto dan Sirappa 2005). Perkembangan konsumsi jagung yang cukup pesat di Indonesia menjadikan jagung banyak diolah menjadi bahan pangan. Jagung merupakan salah satu tanaman yang berisiko terkontaminasi kapang Aspergillus sp. khususnya Aspergillus flavus yang menghasilkan aflatoksin yang bersifat karsinogen dan berbahaya bagi manusia maupun hewan. Cemaran Aspergillus sp. dapat mencemari tanaman jagung saat masih berada di kebun atau pada saat penyimpanan. Kapang ini merupakan kapang yang secara alami dapat tumbuh didalam tanah, sehingga bagian tanaman jagung yang sering terkena Aspergillus sp. ini adalah bagian akar, kemudian batang, daun, buah jagung dan kemudian merambat kebagian yang lebih dalam (Somantri 2005).

Menurut BPOM (2009) kadar aflatoksin total maksimum yang boleh terkandung dalam pangan adalah sebesar 20 ppb dengan kandungan aflatoksin B1 maksimum sebesar 15 ppb. Aflatoksin dapat berbahaya bagi tubuh karena dapat menyebabkan aflatoksiosis yang dapat menjadi cikal bakal penyakit hepatitis B dan kanker hati (Paulin et al. 2011). Oleh karena efek yang disebabkannya, aflatoksin dianggap sebagai mikotoksin yang memiliki daya racun yang tinggi. Komoditi pangan yang sering terkontaminasi Aspergillus sp. adalah kacang tanah, jagung dan kedelai. Pertumbuhan kapang ini dapat terjadi saat penanaman maupun selama penyimpanan (Saini dan Kaur 2012). Pertumbuhan kapang Aspergillus sp. secara langsung dipengaruhi oleh beberapa hal saat penanganan pasca panen jagung, antara lain kadar air, suhu penyimpanan, kelembaban relatif udara, dan lama penyimpanan (FAO 2001). Peningkatan cemaran Aspergillus sp. dalam bahan pangan seperti jagung biasanya terjadi pada tingkat pengumpul. Hal tersebut terjadi dikarenakan kondisi penyimpanan yang tidak sesuai sehingga rawan terhadap perkembangan Aspergillus sp. (Kusumaningrum et al. 2010).

Jagung yang terkontaminasi Aspergillus sp. jumlah kandungan aflatoksinnya dapat meningkat dengan pesat karena penanganan pasca panen yang kurang tepat, sehingga tata cara penyimpanan jagung hingga pengolahannya perlu diperhatikan. Biasanya petani jagung menyimpan jagung yang sudah kering dalam sebuah silo atau karung yang disimpan di dalam gudang penyimpanan sebelum didistribusikan atau diolah menjadi bahan pangan. Salah satu daerah yang memproduksi tanaman jagung beserta olahan bahan pangannya adalah Provinsi DI Yogyakarta.

(14)

2

pakan ternak. Marning jagung merupakan makanan jagung olahan yang berupa biji jagung yang direndam selama satu malam, kemudian direbus, dikeringkan dan digoreng. Tidak berbeda dengan marning jagung, emping jagung dibuat dengan menghilangkan kulit ari pada jagung dengan cara direndam, kemudian direbus, dipipihkan dan digoreng. Kandungan aflatoksin jagung mulai dari penyimpanan hingga diolah menjadi bahan pangan perlu dimonitor lebih lanjut agar jagung dan olahan pangannya aman untuk dikonsumsi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar aflatoksin disepanjang rantai penanganan pasca panen jagung yang dihasilkan Aspergillus sp. dengan menggunakan metode HPLC. Sampel jagung yang diambil berasal dari bahan baku jagung setelah panen, selama penyimpanan dalam silo, penyimpanan dalam karung hingga menjadi produk pangan. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah aflatoksin dalam penanganan jagung dari penyimpanan hingga pengolahan juga diteliti.

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel pada 5 kecamatan di Provinsi Yogyakarta. Selanjutnya analisis sampel dilakukan di Laboratorium ITP dan SEAMEO BIOTROP.

Alat dan Bahan

Bahan

Bahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah jagung terdiri dari jagung basah, jagung kering, marning jagung mentah, marning jagung matang, emping jagung mentah dan emping jagung matang. Bahan –bahan yang digunakan untuk menganalisis antara lain NaCl, aquades, metanol 100%, kertas saring Whatman 41, AflaTest Vicam dan larutan proAnalysis .

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah TFA Digital Thermo-Hygrometer, aw meter, oven, HPLC Agilent 1260 Infinity Isocratic LC, neraca

analitik, vortex. blender, dan alat-alat gelas yang dibutuhkan.

Metode Penelitian

(15)

3 pada setiap tempat penyimpanan. Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar air, kadar aw dan kandungan total aflatoksin pada setiap sampel yang telah

didapatkan.Analisis terhadap marning dan emping dilakukan dengan mengukur kadar air, nilai aktivitas air (aw) dan kadar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 dengan

menggunakan metode HPLC (AOAC 2012).

Tabel 1 Gambaran pengambilan sampel bahan baku di daerah Yogyakarta

Daerah Bahan Baku

Tempat Penyimpanan N

A Karung (Pakan) 5

Silo (Pakan) 3

Karung (Pangan) 4

B Karung (Pangan) 2

C Karung (Pangan/Pakan) 3

Tabel 2 Gambaran pengambilan sampel produk di daerah Yogyakarta

Daerah Produk

Jenis Produk N

A Marning 1 Mentah Marning 1 Matang 2

- Marning 2 Matang 2

B Emping 1 Mentah Emping 1 Matang 2 C Emping 2 Mentah Emping 2 Matang 3

D Emping 3 Mentah Emping 3 Matang 2

Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara

Analisis suhu udara ruangan diukur menggunakan alat higrometer. Selain untuk mengukur suhu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengukur kelembaban relatif udara ruangan penyimpanan. Cara menggunakannya adalah dengan meletakkan higrometer di udara terbuka namun tidak terkena sinar matahari.

Pengukuran Kadar Air (AOAC 2012)

Cawan aluminium yang digunakan ditimbang dengan tepat dan dicatat nilainya (c). Bobot sampel juga ditimbang dengan neraca analitik dan dicatat sebagai bobot basah sampel (a). Sampel beserta cawan dikeringkan dalam oven dengan suhu 130 ± 3 ˚C selama 1 jam. Perhitungan 1 jam dimulai pada saat suhu telah mencapai 130 ˚C. Setelah 1 jam cawan alumunium yang berisi sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Bobot yang diperoleh kemudian disebut bobot kering sampel+cawan (b). Data yang diperoleh kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut ini.

(16)

4

Pengukuran Aktivitas Air (aw)

Aktivitas air jagung diukur dengan menggunakan alat pengukur aktivitas air yaitu aw meter. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi terlebih dahulu

menggunakan larutan BaCl2.2H2O, kemudian ditutup dan dibiarkan selama

3 menit sampai angka pada skala pembacaan aw meter menjadi 0.9. aw meter

kemudian dibuka dan tempat sampel dibersihkan lalu sampel jagung dimasukan kedalam wadah, kemudian wadah ditutup. Setelah 3 menit, skala aw dibaca dan

dicatat.

Pengukuran Kadar Aflatoksin (AOAC 2012)

Setiap sampel ditimbang sebanyak 25 g kemudian ditambahkan 5 g NaCl dan 125 mL metanol 70 % kemudian dihaluskan dengan blender selama 2 menit dengan kecepatan tinggi. Hasil cairan tersebut kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman 41 dan hasil filtratnya diambil sebanyak 15 mL. Filtrat tersebut kemudian ditambahkan dengan 30 mL air aquades dan disaring menggunakan glass microfibre filter. Filtrat hasil penyaringan diambil sebanyak 15 mL kemudian dimasukkan ke dalam kolom AflaTest yang berisi antibodi monoklonal yang spesifik terhadap aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 untuk dipurifikasi. Kemudian kolom dicuci menggunakan 20 mL aquades dan aflatoksin dielusi dari kolom dengan 1 mL metanol. Filtrat hasil elusi dengan 1 mL metanol tersebut kemudian ditampung dalam vial kemudian ditambahkan kembali 1 mL aquades. Filtrat kemudian divortex kemudian diinjeksikan ke HPLC.

Kondisi HPLC yang digunakan adalah sebagi berikut,

Kolom : Column Poroshell 120 SB C18, 4.6x150 mm, 2.7um

Post Kolom : Photochemical Reactor Derivatization (PHRED) Merk AUR Detektor : Kratos 950 Detektor Fluoresensi

Panjang gelombang : Eksitasi = 365 nm. Emisi = 465 nm Eluen : H2O : ACN : MeOH = 60:20:20

Tahapan analisis konsentrasi aflatoksin diawali dengan pembuatan larutan standar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 yang dibuat masing-masing dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 ng/mL. Larutan standar disuntikan ke dalam HPLC sehingga menghasilkan area peak. Selanjutnya kurva standar dibuat dengan memplot luas area peak terhadap konsentrasi aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Konsentrasi aflatoksin dihitung dengan menggunakan rumus :

� � � =

��� −

� � �

� �

Keterangan :

(17)

5 b : Slope (LU.s)/(ng/mL)

V final : Volume akhir larutan sampel (mL)

V aliquot : Volume larutan yang dipipet untuk IAC (mL) V solvent : Volume metanol:air untuk ekstraksi (mL) W sampel : Bobot sampel (g)

Suhu, kelembaban udara, kadar air dan aw bahan

Tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis basah dengan keadaan tanah agak kering. Salah satu daerah di Indonesia yang tepat untuk penanaman jagung adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jagung sebelum diolah menjadi produk pangan disimpan dengan berbagai cara yaitu dikemas dalam karung dan diletakkan dalam sebuah gudang atau disimpan dalam silo yang berada dalam gudang. Aspergillus sp. merupakan jenis kapang yang dapat menyerang jagung sejak masih ditanam di sawah dan pada saat perlakuan pascapanen dari mulai penanganan hingga penyimpanan. Penyimpanan merupakan salah satu faktor penyebab kontaminasi aflatoksin oleh Aspergillus sp.. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan Aspergillus sp. dalam menghasilkan aflatoksin antara lain suhu, kelembaban relatif, kadar air, pH dan aktivitas air (aw) (Schmidt et al. 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Aspergillus sp. dalam menghasilkan aflatoksin dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat berasal dari kondisi bahan baku seperti kadar air bahan dan aktivitas air (aw) bahan. Kadar air bahan baku selama penyimpanan berpengaruh

penting terhadap umur biji, kerusakan mekanik dan serangan kapang seperti Aspergillus sp. Selain itu, faktor eksternal seperti suhu dan kelembaban merupakan factor lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Aspergillus sp. dalam menghasilkan aflatoksin. Hasil pengukuran suhu, kelembaban udara tempat penyimpanan, kadar air dan aw bahan disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Karakteristik kondisi penyimpanan jagung

(18)

6

Tabel 4 Karakteristik jagung pada setiap penyimpanan

Parameter Karung Daerah A Daerah B Daerah C

**Jagung bonggol basah yang sedang dalam proses pengeringan

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa suhu tempat penyimpanan berada pada kisaran 30.35 – 33.20 °C. Pengujian statistika dengan menggunakan uji One Way ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan suhu yang signifikan antar jenis tempat penyimpanan jagung di setiap daerah (P>0.05). Menurut Pratiwi et al. (2015) suhu optimum Aspergillus sp. dalam memproduksi aflatoksin adalah pada kisaran 20 – 40 °C. Hasil tersebut menunjukkan bahwa suhu tempat penyimpanan bahan baku baik yang dikemas dalam karung maupun yang dikumpulkan dalam silo berada pada kisaran suhu optimum Aspergillus sp. untuk memproduksi aflatoksin. Menurut Galati et al. (2010) pertumbuhan Aspergillus sp. dalam tempat penyimpanan dapat meningkat pada kisaran suhu 10 – 30 °C. Menurut Pratiwi et al. (2015) pada suhu optimum, aflatoksin dapat dihasilkan dengan masa inkubasi selama 7 hari.

Hasil pengujian One Way ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kelembaban udara yang nyata antar tempat penyimpanan jagung (P<0.05) seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tempat penyimpanan jagung yang mempunyai kelembaban paling tinggi adalah di dalam karung di gudang daerah A. Sementara itu, kelembaban udara terendah dicapai pada tempat penyimpanan jagung di dalam karung di daerah B yaitu 55.00 ± 2.83 %. Namun demikian, kelembaban udara di setiap tempat penyimpanan jagung masih lebih rendah dari batas optimum produk aflatoksin oleh Aspergillus sp..

Semakin tinggi besarnya kelembaban udara pada tempat penyimpanan, maka risiko kontaminasi aflatoksinnya akan semakin tinggi. Kondisi penyimpanan bahan baku jagung pada daerah A dan daerah C baik yang berupa pengemasan dalam karung maupun dikumpulkan dalam silo berada pada sebuah gudang penyimpanan dengan lantai yang terbuat dari semen dan atap yang terbuat dari seng. Lain halnya dengan kondisi gudang penyimpanan pada daerah B yang bangunannya beratapkan genting dan lantainya menggunakan keramik. Adanya perbedaan kondisi tempat penyimpanan tersebut dapat membuat kelembahan udara menjadi berbeda.

(19)

7 basah dalam karung hanya bersifat sementara. Semua sampel jagung pipil kering mempunyai kadar air yang tidak berbeda nyata. Kadar air bahan biji-bijian seperti jagung agar aman selama penyimpanan harus dikeringkan hingga kadar air berada pada nilai 14 % (Magan dan Aldred 2007). Mengacu hal tersebut, kadar air bahan jagung pipil kering selama penyimpanan pada setiap daerah baik yang telah disimpan dalam karung maupun yang dikumpulkan dalam silo telah memenuhi standar karena berada dibawah 14 %.

Aktivias air (aw) sebagai faktor internal kerusakan bahan baku berpengaruh

terhadap perkembangan Aspergillus sp.. Pengujian statistika menggunakan One Way ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai aw yang signifikan

antar sampel jagung dari kondisi penyimpanan di berbagai daerah (P<0.05) seperti yang tercantum pada Tabel 4. Uji lanjut memperlihatkan bahwa perbedaan nilai aw hanya terdapat pada jagung pipil kering dan jagung bonggol basah. Nilai aw

bahan baku untuk perkembangan Aspergillus sp. berada pada kisaran 0.88 - 0.96 (Galati et al. 2010). Mengacu hal tersebut, nilai aw sampel jagung pipil kering

dalam penyimpanan (0.71 – 0.79) masih berada dibawah nilai aw optimum

pertumbuhan aflatoksin.

Besarnya aktivitas air erat hubungannya dengan kadar air dan kelembaban udara. Bonggol jagung basah memiliki kadar air tinggi sehingga nilai awnya juga

relatif lebih tinggi dibanding jagung pipil kering. Pada kondisi penyimpanan yang relatif lama dan tanpa kemasan yang memadai, kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan adanya peningkatan kadar air dan aw jagung pipil kering. Namun demikian, dari hasil pengamatan tidak terlihat adanya pengaruh kelembaban terhadap kadar air jagung pipil kering. Hal ini ditunjukkan dengan nilai kadar air dan aw jagung pipil yang tidak berbeda nyata antar tempat penyimpanan jagung dengan kelembaban yang berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh relatif keringnya lingkungan udara di semua tempat penyimpanan jagung dan waktu simpan jagung yang beragam.

Aflatoksin pada Bahan Baku Jagung

(20)

8

Tabel 5 Kandungan aflatoksin pada bahan baku

ND : Not Detected

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap sampel bahan baku jagung pipil kering di provinsi Yogyakarta didapatkan hasil bahwa aflatoksin terdeteksi pada daerah A dan daerah C untuk jagung yang disimpan dalam silo maupun yang dikemas dalam karung. Jagung pipil kering yang terdeteksi aflatoksin pada daerah A adalah bahan baku jagung yang digunakan untuk pakan hewan, sedangkan jagung pipil kering pada daerah C adalah jagung untuk bahan baku pangan dan pakan. Sementara itu, jagung pipil kering yang berasal dari daerah A dan daerah B untuk jagung bahan pangan tidak terdeteksi kadar aflatoksin dengan batas limit deteksi aflatoksin B1 < 2.25 ppb, limit deteksi aflatoksin B2 < 1.67 ppb, limit deteksi aflatoksin G1 < 2.50 ppb dan limit deteksi aflatoksin G2 < 1.83 ppb. Kandungan aflatoksin total yang paling tinggi adalah pada jagung yang dikemas dalam karung untuk bahan baku pakan pada daerah A yaitu pada kisaran 33.33 - 217.51 ppb dan jagung yang dikemas dalam silo pada kisaran 15.98 - 133.50 ppb. Kadar aflatoksin total untuk jagung pipil kering daerah C masih berada di bawah daerah A yaitu berkisar pada 4.08 - 89.08 ppb.

Kadar aflatoksin total jagung untuk konsumsi ternak adalah 100 ppb pada jenis pakan ternak mutu I dan 150 ppb untuk jenis pakan ternak mutu II (SNI 2013). Mengacu pada hal tersebut, kadar aflatoksin jagung pada karung jagung untuk pakan pada daerah A dengan penyimpanan silo serta daerah C masih berada dibawah kadar aflatoksin maksimum jagung sebagai pakan ternak. Sedangkan kadar aflatoksin jagung pakan yang disimpan dalam karung di daerah A melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan oleh SNI.

(21)

9 pangan kualitasnya lebih bagus dibandingkan jagung pipil kering untuk pakan. Selain itu kondisi gudang tempat penyimpanan di daerah A, B dan C kebersihannya masih kurang terjaga. Karung jagung pipil kering yang disimpan pada gudang diletakkan langsung di lantai tanpa palet, banyak jagung-jagung yang berceceran di lantai dan tidak dibersihkan. Kondisi tempat penyimpanan bahan baku pada daerah A, daerah B dan daerah C disajikan pada Gambar 1, 2, 3 dan 4. Pada daerah A dan daerah C terlihat karung-karung bahan baku jagung yang akan digunakan untuk pangan olahan diletakkan bercampur dengan bahan baku jagung yang bermutu rendah. Berbeda dengan keadaan tersebut, gudang penyimpanan di daerah daerah B dikhususkan untuk tempat penyimpanan bahan baku jagung yang sudah bermutu baik dan siap diolah menjadi bahan pangan. Hal tersebut berkorelasi dengan rendahnya risiko tercemarnya aflatoksin pada daerah B.

Jagung – jagung yang disimpan pada setiap daerah nantinya akan diolah lebih lanjut menjadi marning dan emping jagung. Pengamatan pada kondisi lapang tempat pengolahan pengrajin marning jagung maupun emping sebagian besar merupakan industri rumahan yang dikelola secara pribadi maupun bersama kelompok tani. Bahan baku jagung yang didapatkan berasal dari pegepul jagung berupa jagung kering yang telah dikeringkan atau berasal dari jagung milik kebun pribadi. Waktu produksi setiap pengrajin berbeda, pada pengrajin marning jagung pada daerah A dan emping jagung pada daerah B, produk dibuat secara berkala dan teratur untuk dipasarkan ke koperasi-koperasi kecil maupun ke toko buah tangan. Pengrajin emping jagung pada daerah C dan daerah D hanya membuat produk jika ada pesanan produksi. Lamanya produk yang disimpan dalam gudang pengrajin biasanya berkisar pada satu minggu hingga satu bulan.

(22)

10

Gambar 2 Kondisi tempat penyimpanan silo daerah A

(23)

11

Gambar 4 Kondisi tempat penyimpanan karung daerah C

Pengaruh Pengolahan Jagung Terhadap Kandungan Aflatoksin

Produk Pangan Olahan Berbasis Jagung

Jagung dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan antara lain, tepung jagung, mie jagung, tortilla, roti jagung, pop corn, produk ekstrusi, marning jagung dan emping jagung. Produk pangan olahan jagung yang diproduksi di provinsi Yogyakarta adalah marning jagung dan emping jagung. Marning jagung diproduksi di daerah A sedangkan emping jagung diproduksi di daerah B, daerah C dan daerah D. Pengambilan sampel dilakukan pada produk olahan pangan berbasis jagung yang telah diolah menjadi makanan siap santap maupun yang masih mentah.

Marning Jagung

Sebagai salah satu penghasil jagung terbesar di Indonesia, masyarakat di provinsi DI Yogyakarta mengolah jagung menjadi makanan khas daerah yang dapat dijadikan buah tangan, salah satunya adalah marning jagung. Marning atau jagung goreng dibuat dari biji jagung tua melalui proses pencucian, perendaman dalam larutan air kapur atau soda kue selama satu jam, perebusan selama 6 jam, pengeringan, penggorengan menggunakan minyak panas dan kemudian pengemasan ( Histifarina 2010). Produk marning jagung ini dapat diberi tambahan bumbu seperti bawang putih dan garam sebagai penambah citarasa.

Pada Gambar 5 terdapat penurunan kadar air dan nilai aw pada sampel

yang belum digoreng (mentah) dan sampel yang telah digoreng (matang). Menurut SNI Marning Jagung (1996), nilai maksimal kadar air pada marning jagung adalah sebesar 1.5 %. Kadar air marning matang baik untuk pengrajin A maupun pengrajin B masih tinggi melebihi standar SNI. Proses penggorengan pada marning 1 dapat menurunkan nilai aw dan kadar air dari 7.12 % dan 0.58

menjadi 2.89 % dan 0.45 (Gambar 5), dengan kata lain penurunan aw dan kadar air

(24)

12

itu, pada marning 2 hanya terdapat sampel matang, sehingga besarnya penurunan nilai aw dan kadar air sebelum dan sesudah digoreng tidak terlihat. Nilai aw yang

berada dibawah 0.60 dapat dikategorikan sebagai pangan kering.

Gambar 5 Nilai kadar air dan aw marning di daerah A

Tabel 6 Besarnya penurunan aw dan kadar air marning

Besarnya

Penurunan Marning 1 Marning 2

aw 22.41 % -

Kadar Air 59.41 % -

Pada Tabel 7 terlihat bahwa pada setiap sampel, baik berupa bahan baku jagung, produk marning mentah dan produk marning matang tidak terdeteksi aflatoksin dengan batas limit deteksi aflatoksin B1 < 2.25 ppb, limit deteksi aflatoksin B2 < 1.67 ppb, limit deteksi aflatoksin G1 < 2.50 ppb dan limit deteksi aflatoksin G2 < 1.83 ppb. Kadar maksimum aflatoksin bahan olahan jagung yang diperbolehkan adalah 15 ppb untuk aflatoksin B1 dan 20 ppb untuk aflatoksin total (BPOM 2009). Bahan baku yang tidak terdeteksi aflatoksin mengindikasikan bahwa bahan baku yang baik akan menghasilkan produk yang baik.

Tabel 7 Kandungan aflatoksin pada jagung dan marning olahannya Jenis Produk Jenis

Bahan

Kandungan Aflatoksin (ppb)

B1 B2 G1 G2 Total

Bahan Baku Jagung

Basah < 2.25 < 1.67 < 2.50 < 1.83 *ND Kering < 2.25 < 1.67 < 2.50 < 1.83 *ND Marning 1 Mentah Matang < 2.25 < 2.25 < 1.67 < 1.67 < 2.50 < 2.50 < 1.83 < 1.83 *ND *ND Marning 2 Mentah

(25)

13

Emping Jagung

Emping jagung atau marning gepeng merupakan salah satu produk pangan olahan jagung yang potensial untuk dikembangkan. Secara sederhana emping jagung ini berbentuk seperti emping yang terbuat dari biji blinjo dan di negara barat emping jagung ini disebut dengan corn flakes (Antarlina dan Krismawati 2011). Cara pembuatan emping jagung ini dimulai dengan perendaman jagung dalam air kapur selama satu malam, kemudian perebusan jagung dengan air kapur hingga setengah matang dan setelahnya pengukusan jagung hingga matang, pemipihan, pengeringan hingga kadar airnya mencapai 23 %. Setelah setengah kering, jagung yang telah pipih diberi bumbu dan dilakukan pengeringan dan kemudian penggorengan dengan minyak panas ( Histifarina 2010).

Pada Gambar 6, terdapat penurunan kadar air dan nilai aw pada sampel

yang belum digoreng (mentah) dan sampel yang telah digoreng (matang). Menurut SNI (1995) kadar air emping mlinjo maksimal adalah 12 %, jika dilihat dari hasil yang didapatkan kadar air emping jagung masih berada dibawah batas maksimal standar tersebut. Sehingga dapat dikatakan produk emping jagung cukup aman dari pertumbuhan Aspergillus sp. dalam menghasilkan afaltoksin selama penyimpanan. Pada proses penggorengan emping jagung, penurunan aw

dan kadar air yang terbesar adalah pada daerah B (Tabel 8 dan Gambar 6), yaitu dari 0.57 dan 9.31 % untuk emping mentah menjadi 0.38 dan 1.83 % pada emping yang matang. Besarnya penurunan nilai aw dan kadar air pada daerah B

menyebabkan nilai aw dan kadar air emping matang pada daerah B lebih rendah

dibandingkan emping matang daerah C dan daerah D. Penggorengan merupakan salah satu aktivitas untuk merubah suatu bahan pangan yang dapat berfunsi mengawetkan makanan karena dapat menguapkan air bahan sehingga kadar air serta nilai aw bahan akan menurun.

Gambar 6 Nilai kadar air dan aw emping jagung di daerah B, C dan D

Tabel 8 Besarnya penurunan aw dan kadar air emping jagung

Besarnya

Penurunan Daerah B Daerah C Daerah D

aw 33.33% 24.56% 12.28%

(26)

14

Analisis kadar aflatoksin yang dilakukan terhadap ketiga sampel emping jagung dari ketiga pengrajin disajikan pada Tabel 9. Data olahan tersebut mengindikasikan adanya 2 jenis sampel yang terkontaminasi aflatoksin, yaitu pada sampel emping daerah C dan sampel emping daerah D. Kadar aflatoksin B1 pada sampel emping mentah daerah C mencapai angka 3.39 - 29.58 ppb dan kadar aflatoksin total berada pada kisaran 3.39 - 31.77 ppb sedangkan pada sampel emping adalah < 2.25 - 23.30 ppb untuk aflatoksin B1 dan not detected - 25.45 ppb untuk aflatoksin total. Sampel emping daerah D juga terkontaminasi aflatoksin B1 sebesar 3.49 - 3.85 ppb dan sebesar 1.03 - 3.79 ppb masing-masing untuk sampel emping yang mentah dan matang. Anslisis kadar aflatoksin pada sampel emping B baik pada sampel matang maupun mentah tidak terdeteksi adanya aflatoksin dengan batas limit deteksi aflatoksin B1 < 2.25 ppb, limit deteksi aflatoksin B2 < 1.67 ppb, limit deteksi aflatoksin G1 < 2.50 ppb dan limit deteksi aflatoksin G2 < 1.83 ppb. Mengacu pada standar BPOM (2009), kadar aflatoksin B1 dan kadar aflatoksin total pada sampel emping daerah C maupun sampel emping daerah D masih berada dibawah kadar maksimum aflatoksin yang ditentukan. Namun hal tersebut tidak menjamin tingkat keamanan sampel emping daerah C dan sampel emping daerah D, karena pengemasan dan cara penyimpanan yang buruk akan berisiko memicu kontaminasi silang Aspergillus sp. penghasil aflatoksin. Analisis bahan baku jagung yang akan diolah menjadi emping pada daerah B dan C juga mengindikasikan hasil akhir produk. Bahan baku emping daerah B tidak terdeteksi adanya aflatoksin sehingga produk akhir yang dihasilkan pada pengrajin emping daerah B tidak terdeteksi adanya aflatoksin. Berbeda dengan emping daerah B, bahan baku emping daerah C terindikasi kandungan afaltoksin total yang berada pada kisaran 4.08 - 89.08 ppb. Tabel 9 Kandungan aflatoksin pada jagung dan emping olahannya

(27)

15 Selain proses pengolahan, terlihat adanya kecenderungan penurunan aflatoksin pada produk emping di daerah C dan daerah D (Tabel 9 dan 10). Aflatoksin sendiri memiliki sifat yang stabil terhadap panas, tahan terhadap perlakuan fisik maupun kimia dan tidak mudah hancur dengan suhu masakan biasa, sehingga dapat dikatakan aflatoksin akan sulit dihilangkan pada makanan yang telah terkontaminasi (Pratiwi et al. 2015). Meski demikian menurut Tandi dan Purawisastra (2011), aflatoksin dapat direduksi oleh perlakuan perendaman dengan kapur dan penggorengan. Pengolahan jagung menjadi emping mengalami banyak perlakuan, salah satunya perendaman dan perebusan menggunakan larutan kapur serta penggorengan menggunakan minyak panas. Perendaman dan perebusan jagung menggunakan larutan kapur pada suhu panas dapat melunakkan serta mengembangkan jaringan biji jagung, sehingga masuk ke dalam biji dan merusak cincin lakton pada struktur aflatoksin B1. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa penurunan aflatoksin total dari bahan baku jagung hingga menjadi emping jagung mentah adalah pada kisaran 16.91 - 64.33% untuk emping jagung daerah C. Walaupun aflatoksin memiliki sifat stabil terhadap panas, namun proses penggorengan menggunakan minyak panas hingga diatas 180 °C dapat mereduksi aflatoksin (Samarajeewa 1977). Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa penurunan aflatoksin total dari emping mentah ke emping matang setelah mengalami proses penggorengan adalah sebesar 19.89 - 100 % untuk emping jagung daerah C dan 1.56 - 17.49 % untuk emping jagung daerah D.

Tabel 10 Besarnya penurunan aflatoksin emping

Penurunan Daerah B Daerah C Daerah D

Jagung - Mentah - 16.91 - 64.33% -

Mentah - Matang - 19.89 - 100% 1.56 - 70.49%

Berdasarkan keseluruhan data yang disajikan pada Tabel 9 dapat dikatakan bahwa kandungan aflatoksin pada produk emping ditentukan oleh kandungan aflatoksin pada bahan baku. Emping di daerah C mengandung aflatoksin yang relatif tinggi karena bahan baku jagung yang digunakan terkontaminasi aflatoksin. Sementara itu aflatoksin tidak terdeteksi pada emping di daerah B karena bahan bakunya tidak terkontaminasi aflatoksin. Kandungan aflatoksin total produk emping jagung di daerah C dan D mencapai 25.45 ppb dan 3.79 ppb karena bahan baku awalnya yang telah terkontaminasi aflatoksin. Meskipun data kandungan aflatoksin bahan baku emping jagung di daerah D tidak tersedia, sumber kontaminasi aflatoksin pada emping D dapat diduga berasal dari bahan bakunya seperti halnya pada daerah lain.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(28)

16

berada dibawah kelembaban optimum perkembangan Aspergillus sp.. Kadar air dan nilai aw sampel bahan baku jagung masih berada dibawah kadar

maksimumnya. Pengukuran kadar aflatoksin pada setiap bahan baku menghasilkan data bahwa hanya sampel dari daerah B dengan pengemasan karung yang tidak terdeteksi aflatoksin dengan batas limit deteksi yang telah ditentukan. Besarnya kadar aflatoksin pada daerah A dan daerah C disebabkan karena suhu tempat penyimpanan yang berada pada suhu optimum Aspergillus sp. dalam menghasilkan aflatoksin serta tingkat sanitasi tempat penyimpanan.

Kandungan aflatoksin produk olahan jagung ditentukan oleh kondisi bahan baku awal. Aflatoksin tidak terdeteksi pada produk olahan jagung di daerah A dan daerah B karena bahan bakunya yang tidak terkontaminasi aflatoksin. Pengolahan dapat sedikit menurunkan kandungan aflatoksin pada bahan baku jagung.

Saran

Penelitian awal keberadaan Aspergillus sp. perlu dilakukan jika akan meneliti kadar aflatoksin dalam bahan. Agar dapat menunjang keakuratan data perlu dilakukan pengambilan sampel dari bahan baku hingga produk dengan jagung yang sama. Selain itu untuk mencegah kontaminasi aflatoksin pada bahan olahan pangan berbasis jagung di provinsi DI Yogyakarta dibutuhkan sosialisasi tentang standar penyimpanan dan pengolahan yang benar pada setiap pengrajin.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2012. Official Methods of Analysis. USA. AOAC International.

Antarlina SS dan Krismawati Amik. 2011. Pengkajian Pembuatan Emping Jagung dari Tiga Varietas dengan Dua Teknik Pembuatan. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2011.Sulawesi Selatan. hlm 530-538.

Atehnkeng J, Ojiambo PS, Ikotun T, Sikora RA, Cotty PJ, dan Bandyopadhyay R. 2008. Evaluation of atoxigenic isolates of Aspergillus flavus as potential biocontrol agents for aflatoxin in maize. Food Addit. and Contam. Part A. 25: 1264-1271.

[BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2010. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Jagung Seluruh Propinsi .[Internet]. [20 September 2014]. Tersedia pada: http//www.bps.go.id. September 2014]. Tersedia pada : http://www.fao.org.

Galati S, Giannuzzi L dan Giner SA. 2010. Modelling the effect of temperature and water activity on the growth of Aspergillus parasiticus on irradiated Argentinian flint maize. Journal of Stored Products Research 47(2011): 1-7. Histifarina Dian. 2010. Teknologi Aneka Makanan Olahan (Jagung dan Cabai).

(29)

17

Kusumaningrum HD, Suliantari, Toha AD, Putra SH, dan Utami AS. 2010. Contamination of Aspergillus flavus and aflatoxin at distribution chain of maize based food product and its influencing factors. Jurnal Teknologi dan IndustriPangan 21(2): 171-176.

Magan N dan Aldred D. 2007. Post – harvest control strategies: minimizing mycotoxins in the food chain. Internationl; Journal of Food Microbiology 119 : 131-139.

Paulin LEG, Ernesto MM, Susana PMC. 2011. Aflatoxin and their impact on human and animal helath : an emerging problem. Aflatoxins Biochemistry and Molecular Biologi. 1. hlm 255-282.

Pratiwi C, Rahayu WP, Lioe HN, Herawati D, Broto W dan Ambarwati S. 2015. The effect of temperature and relative humidity for Aspergillus flavus BIO 2237 and aflatoxin production on soybeans. International Food Research Journal 22(1): 82-87.

Saini SS dan Kaur A. 2012. Aflatoxin B1: Toxicity, characteristics and analysis. Glo. Adv. Res. J. Chem. Mat. Sci. 1(4): 063-070.

Schmidt HM, Ahmed AH, Naresh, Rolf Geisan. 2009. Complex regulation of the aflatoxin biosynthesis gene cluster of Aspergillus flavus in relation to various combinations of water activity and temperature. International Journal of Food Microbiology. 135: 231-237.

[SNI] Standar Nasional Indonesia (ID). 1995. Emping Mlinjo. No 01-3712-1995. [SNI] Standar Nasional Indonesia (ID). 1996. Jagung Marning. No 01-4300-1996. [SNI] Standar Nasional Indonesia (ID). 2013. Jagung Pakan Ternak. No

4483:2013.

Samarajewa U, SN Arseculeratne dan CHSR Bandunatha. 1977. Degredation of aflatoxin in coconut oil and copra meal. J. Natn. Sci. Coun. Sri Lanka. 5 (1) 1-12.

Susanto AN dan MP Sirappa. 2005. Prospek dan strategi pengembangan jagung untuk mendukung ketahanan pangan di Maluku. Jurnal Litbang Pertanian. 24 (2) :70-79.

Somantri A S. 2005. System Analysis of Postharvest Handling and Shelflife Prediction of Maize. [Internet]. [20 September 2014]. Tersedia pada : http://www.pascapanen.litbang.deptan.go.id.

Tandi Rubak Y dan Purawisastra. 2011. Reduksi kandungan aflatoksin B1 (AFB1) pada pembuatan kacang telur melalui perebusan dalam larutan kapur. Jurnal Peneliti Gizi Makanan. 34(1) : 21-28.

(30)

18

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 5 Kandungan aflatoksin pada bahan baku
Gambar 1 Kondisi tempat penyimpanan karung daerah A
Gambar 2 Kondisi tempat penyimpanan silo daerah A
Gambar 4 Kondisi tempat penyimpanan karung daerah C
+3

Referensi

Dokumen terkait

2. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, serta menemukan sesuatu melalui

Dalam perencanaan yang dilakukan oleh redaksional terkait pengelolaan pemberitan meliputi beberapa aspek, seperti perencanaan dari segi isi pemberitaan, perencanaan

Program bantuan bidikmisi disusun untuk memberikan kesempatan dan harapan kepada masyarakat yang kurang mampu dan memiliki keterbatasan ekonomi dan mempunyai kemampuan

Disini peneliti mencoba mencari data dengan jalan yang berbeda yang bisa jadi akan bertentangan dengan data yang telah ditemukan, namun bila tidak ada lagi data yang

Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

Karena adanya pro dan kontra yang terjadi khususnya pada bentor sebagai sarana transportasi publik di Kota Padangsidimpuan, perlu disusun teori-teori yang

Strategi promosi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata melalui media cetak maupun elektronik adalah hal yang menjadi kekuatan untuk menarik wisatawan datang ke obyek

Di dalam pembangunan bendungan, diperlukan analisa stabilitas tubuh bendungan terhadap berbagai kondisi agar bendungan yang direncanakan aman dan sesuai dengan usia guna